Anda di halaman 1dari 15

0

JUDUL ESAI

“PERTARUNGAN NIAT BAIK : HUKUM ATAU MORALITAS?”

Karya Ini Disusun untuk Mengikuti EdConex Essay Competition 2018

“Bhinneka Tunggal Ika”

Disusun oleh:
Juwita purnama sari

UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
TAHUN 2018
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perhelatan akbar pemilihan umum sudah di depan mata, tentunya pemilu 2019
yang akan menentukan nasib Bangsa Indonesia lima tahun ke depan, bukan hanya
pemilihan presiden tetapi juga pemilihan anggota legislatif, Komisi Pemilihan
Umum, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum sebagai penyelenggara yang kini
menjadi sorotan, lantaran pertarungan ‘Niat Baik’ KPU mengenai mantan terpidana
korupsi kembali mengabdi melalui lembaga legislasi. Berdasarkan PKPU No.20
Tahun 2018, KPU menunjukkan niat baiknya dalam mencegah kejahatan korupsi,
pada pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa partai politik dalam mengusung kader, tidak
boleh mengusung mantan terpidana narkoba, terpidana kejahatan seksual terhadap
anak, dan terpidana korupsi. Begitupun niat baik dari calon legislatif dari mantan
koruptor yang mengaku bahwa hak politiknya dicabut seakan tidak ada kesempatan
bagi para mantan koruptor untuk mengabdi kembali kepada negara.
Kebebasan untuk dipilih dan memilih tercantum dalam UUD 1945 pasal
28 J bahwa setiap warga negara berhak dipilih dan memilih, dan kemudian diatur
secara teknis dalam UU Pemilu. PKPU hadir dianggap sebagai pembatasan hak
politik dan bertentangan secara hirarkis dengan aturan di atasnya. Pada dasarnya
niatan KPU dalam memberantas perilaku korupsi dengan mengeluarkan aturan PKPU
tentu menuai banyak pro dan kontra terhadap ‘cara KPU’ dalam mencegah perilaku
korupsi, tetapi apakah menjadi wewenang dari KPU dalam membatasi hak, padahal
dalam UUD 1945 pasal 28 J juga menyebutkan bahwa pembatasan hak hanya dapat
melalui UU tidak bisa dengan aturan biasa. Pembatasan hak yang diatur dalam UU
Pemilu hanya membatasi hak bagi para mantan terpidana kasus narkoba dan kasus
kejahatan seksual pada anak untuk menjadi calon legislatif.
Rumusan Masalah
Niat baik KPU dalam PKPU yang berbenturan dengan UU Pemilu sesuai dengan
putusan Mahkamah Agung menjadi polemik di masyarakat. Kepercayaan masyarakat
pada pemilu terancam mengalami penurunan pada tahun ini, semua pilihan kembali
2

pada masyarakat. Bagaimanakah polemik perumusan PKPU hingga polemik putusan


Mahkamah Agung? apakah masyarakat mampu memahami lebih jauh mengenai
track record para calon legislatif? Mengapa partai politik masih tetap mengusung
calon legislatif mantan narapidana korupsi?
Tujuan
1. Menganalisis pro kontra mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif
dalam perspektif Yuridis, Sosilogis, dan Filosofis.
2. Menganalisis sebab dan akibat mantan napi korupsi menjadi caleg kepada
penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan masyarakat.
Manfaat
Manfaat dari essai ini adalah untuk menambah perspektif baru dalam menguras
polemik pro kontra mantan napi korupsi sebagai pertarungan niat baik antar
penyelenggara dengan peserta pemilu, serta pada masyarakat umum.

PEMBAHASAN
Perumusan peraturan Komisi Pemilihan Umum : KPU vs Bawaslu ?
Upaya untuk memasukkan kasus mantan narapidana korupsi dalam aturan yang
setara dengan UU telah dilalui KPU termasuk diantaranya yakni upaya mengadakan
peraturan perundang-undangan, sebab KPU beranggapan bahwa untuk memasukkan
norma dalam UU pemilu tentu melalui tahapan yang sangat panjang, sehingga KPU
menggunakan cara perumusan melalui PKPU yang akan berlaku setelah para
komisioner KPU menandatangani, namun dalam prosesnya PKPU di rumuskan
sebanyak dua kali dengan nomor yang sama tetapi isi berbeda yakni pada tanggal 30
Juni dan pada tanggal 2 Juli yang kemudian diundangkan oleh Kementerian Hukum
dan HAM. Meskipun, telah diundangkan oleh Menkumham, gugatan pada
Mahkamah Agung terus bertambah, hingga belasan gugatan telah masuk, sehingga
Mahkamah Agung menunggu uji materil PKPU dari Mahkamah Konstitusi sebelum
keluarnya keputusan MA.
Polemik mantan koruptor di larang mencalonkan diri dimulai dari perdebatan
antara KPU dengan Bawaslu, KPU dalam hal ini ketua KPU RI Arief Budiman
3

berpendapat bahwa kejahatan korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary


crime), dalam UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 hanya terdapat dua kejahatan yang
dimaksudkan luar biasa adalah kejahatan pedofil dan narkoba. Lantaran komisioner
KPU, Wahyu Setiawan menegaskan bahwa perlu adanya norma baru dalam
memasukkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, maka dengan adanya
PKPU, kejahatan korupsi menjadi norma baru sebagai penyamarataan dengan
kejahatan pedofil dan narkoba. Namun, Bawaslu secara sepihak menganulir PKPU
dengan landasan menurut Rahmat Bagja mengemukakan bahwa PKPU bertentangan
dengan UU, yakni UU Pemilu No. 7 tahun 2017 pada Pasal 240 ayat 1 huruf (g)
yakni seorang mantan napi yang telah menjalani hukuman selama 5 tahun atau lebih,
boleh mencalonkan diri, asalkan mantan narapidana tersebut mendeklarasikan diri
pernah sebagai terpidana ke media massa. Selain itu pada UUD tahun 1945 Pasal 28J
tentang Hak warga negara untuk dipilih dan memilih, sehingga bawaslu kemudian
berpendapat bahwa PKPU sejak awal sudah bermasalah.
Pernyataan Bawaslu kemudian diperkuat dengan sikap Bawaslu meloloskan 12
mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan yang sebelumnya ditetapkan statusnya
oleh KPU sebagai calon legislatif yang tidak memenuhi syarat (TMS), 12 caleg
tersebut merupakan calon legislatif di DPRD yang masing-masing berasal dari
Bulukumba, Palopo, DKI Jakarta, Belitung Timur, Mamuju, Tojo Una-Una, Aceh,
Toraja Utara, Sulawesi Utara, Rembang, dan Pare-Pare. Pelolosan tersebut kemudian
di tentang oleh Arief Budiman dengan penangguhan terhadap keputusan Bawaslu
dengan mengirim surat edaran KPU ke daerah sebelum adanya putusan dari
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi RI. Menurut Fadli Ramdanil selaku
perwakilan peneliti dari perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi mengemukakan
bahwa Bawaslu seharusnya mengikuti PKPU dengan landasan dalam UU pemilu
Bawaslu memiliki mandat untuk menaati seluruh peraturan perundang-undangan,
termasuk yang bukan merupakan undang-undang, hal ini dijelaskan dalam PKPU
pasal 95 huruf H yang berisi bahwa PKPU merupakan bagian dari perundang-
undangan. Fadli menambahkan bahwa ketika Bawaslu kemudian bertentangan
4

dengan PKPU maka akan menimbulkan efek ketidakpercayaan masyarakat kepada


penyelenggara pemilu.
Putusan Mahkamah Agung : Asas Hirarkis Hukum atau Asas Kemanfaatan

Putusan MA tertanggal 13 September 2018 yang menyatakan bahwa PKPU No.


20 Tahun 2018 Pasal 4 ayat (3) bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf (g) dan
Pasal 182 huruf (g) UU No.7 Tahun 2017, berarti bahwa mantan narapidana korupsi
tetap dapat mencalonkan dengan syarat-syarat sesuai UU Pemilu. Pada asas hirarkis
bertentangan dengan di atasnya, dalam hal ini perumusannya dengan memasukkan
norma baru melalui PKPU agar dapat dikatakan setara dengan norma lain yang
kemudian menjadi masalah. Secara asas kemanfaatan dari PKPU memang pada
dasarnya keinginan KPU untuk menciptakan pemilu yang berintegritas, salah satu
caranya adalah larangan bagi mantan narapidana korupsi dan menaikkan status
kejahatan korupsi. Masyarakat secara umum mendukung niatan baik dari KPU dalam
menciptakan pemilu yang berintegritas, namun secara hukum, penempatan dari
norma baru yang diusung oleh PKPU menjadi masalah, sehingga menimbulkan
perdebatan pada ranah hukum, dan tentunya tidak pada ranah kemanfaatan dari
PKPU. Setelah perdebatan panjang mengenai PKPU hingga pada putusan MA bahwa
mantan narapidana korupsi dapat kembali mencalonkan, Bawaslu kemudian
meloloskan calon legislatif mantan narapidana koruptor yang akan dilampirkan pada
tabel 1.1 dan 1.2.
DCT (daftar calon legislatif tetap) yang di keluarkan KPU pada tingkatan DPR-RI
tidak ada satupun calon legislatif yang merupakan mantan narapidana korupsi,
sedangkan, pada tingkat provinsi terdapat 12 calon legislatif mantan koruptor, dan 26
calon legislatif tingkat kabupaten yang merupakan mantan koruptor. Secara tidak
langsung putusan MA seakan memberikan kepastian mantan koruptor untuk
mendapatkan hak politiknya dengan syarat dan juga memberikan tanggung jawab
sepenuhnya kepada masyarakat untuk menentukan pilihan. Akan tetapi, kepercayaan
masyarakat terhadap penyelenggara hingga ke kontestan pemilu tentu akan semakin
5

mengalami degradasi yang disebabkan oleh mantan koruptor ini boleh untuk
mencalonkan diri.
Degradasi kepercayaan masyarakat ini dapat dilihat dari hasil petisi yang dibuat
oleh koalisi masyarakat sipil untuk pemilu bersih yang hingga saat ini telah
ditandatangani 250 ribuan orang dan terus meningkat. Petisi ini kemudian diberi judul
‘Tolak Bawaslu RI Loloskan Koruptor Nyaleg’ yang tentunya mengarah pada
Bawaslu dalam menjalankan fungsinya. Pernyataan tersebut juga didukung dari hasil
survey yang dilaksanakan oleh Saut mengemukakan hasil survey tahun 2005
mencatat ketidakpercayaan publik terhadap moral elit politik sebesar 34,6%. Pada
tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 39,6% dan kemudian berlanjut pada
tahun 2013 menjadi 51,5%. Hafil (2015) memaparkan hasil survei lainnya yang
dilakukan lembaga Founding Fathers House (FFH) yang menunjukkan bahwa
kepercayaan terhadap parpol hanya berkisar 23%-29% dan sekitar 60% publik tidak
percaya..
Berdasarkan data di atas ditemukan bahwa 5 dari 10 masyarakat tidak
memercayai moral elit politisi Indonesia, serta 6 dari 10 masyarakat tidak percaya
terhadap partai politk. Atas dasar inilah penyelenggara hingga kontestan politik
mempertimbangkan untuk mengajukan dan meloloskan calon legislatif mantan
koruptor agar kepercayaan masyarakat terhadap pemilu meningkat, dengan
meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu tentu akan meningkatkan
partisipasi dalam demokrasi. Sehingga, terbangun sinergitas antara pemerintah dan
masyarakat, hal tersebut di dukung dengan hasil wawancara dari pengamat psikologi
politik yakni Muh. Rhesa,. yang mengemukakan bahwa kepercayaan masyarakat
tentunya akan sangat berpengaruh terhadap partisipasi dalam pesta demokrasi. Dalam
menjalankan pemerintahan, kepercayaan masyarakat tentunya menjadi pendorong
untuk menjalankan segala kinerja-kinerja pemerintah dengan baik
Dalam demokrasi, masyarakat sebagai pemilih tentunya memiliki beberapa
kategori, sebagaimana masyarakat pada umumnya berbeda dalam hal pemahaman
politik, serta tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Dalam demokrasi suara
terpelajar tentunya setara dengan suara masyarakat yang tidak mengenyam
6

pendidikan. Kategorisasi ini merupakan kategori pemilih rasional dan pemilih


irrasional, pemilih rasional mungkin saja memahami dampak dari perilaku korupsi,
sedangkan dibandingkan pemilih irrasional yang memilih bukan lagi berdasarkan
pemahaman mendalam track record calon legislatif dan juga tidak merasakan
langsung dampak dari perilaku korupsi. Masyarakat yang mengenyam pendidikan
tinggi dengan masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan tentu sangat berbeda
jauh jumlahnya menurut Menko BPMK, Puan Maharani mengungkapkan bahwa 9
dari 10 generasi muda tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. berdasarkan dari
data tersebut 90% dapat dikatakan sebagai pemilih yang kurang memiliki
pertimbangan, termasuk apakah calon legislatif yang mereka pilih merupakan mantan
koruptor atau tidak. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan elektabilitas calon legislatif
mantan koruptor masih tergolong tinggi, sehingga parpol tetap mempertahankan
calon legislatif dengan kesempatan terpilih kembali tinggi.
Partai Politik dan kekuasaan legislasi
Partai politik atau yang biasa disebut sebagai parpol menjadi pengusung para calon
legislatif tentu merasakan juga dampak dari PKPU No. 20 Tahun 2018. Salah satu
dampak terbesarnya adalah para elit politik partai yang memiliki elektabilitas tinggi
untuk meraup suara masyarakat dalam pemilu namun pernah terlibat dalam kasus
korupsi tidak akan memenuhi syarat untuk diajukan. Pengusung mantan narapidana
korupsi tentu akan menimbulkan citra yang kurang baik terhadap masyarakat.
Meskipun akan menciptakan citra buruk beberapa parpol tetap mencalonkan mantan
narapidana koruptor, seperti berikut :
Citra buruk partai politk dan calon
legislatifnya tentu akan sangat
berpengaruh untuk perolehan suara di
pemilu 2019, namun sebaliknya jika
masyarakat belum mengetahui, atau
belum merasakan dampak dari perilaku
korupsi dari calon legislatif mantan
Sumber : Farisa. Caleg mantan koruptor.
koruptor dapat dipastikan bahwa calon (Internet: kompas.com) diakses
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/11/1
0093791/38-caleg-mantan-napi-korupsi-
diloloskan-bawaslu-berikut-daftarnya
7

legislatif mantan koruptor akan memiliki suara yang tinggi pada dapilnya. Dalam UU
Pemilu Pasal 240 Ayat 1 huruf (g), dengan jelas bahwa mantan narapidana harus
mendeklarasikan dirinya sebagai mantan narapidana, agar masyarakat dapat memilih
berdasarkan pertimbangan tersebut. Darmawaty Dareho menyatakan bahwa
berikanlah kesempatan agar bisa mengabdi kembali di daerahnya. Niat baik mantan
koruptor untuk mengabdi tentunya dapat diterima. Namun, dalam pengabdian
terhadap masyarakat tentu bukan hanya melalui lembaga legislatif, tetapi keterikatan
sebagai kader partai tentu akan menarik kembali untuk mencalonkan diri.
Bermain pada untung rugi, parpol seakan menjadi sebuah perusahaan, yang
berupaya untuk semua calon legislatifnya mampu untuk meraup suara yang banyak
sebagai sebuah keuntungan. Keuntungan ini tercantum pada UU No. 7 Tahun 2017
pada pasal 222 yakni partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki suara
nasional sebesar 25% atau perolehan kursi DPR sebesar 20% pada pemilu
sebelumnya dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden (Presidential
Treshold). Belum lagi penguasaan suara terbanyak dalam parlemen (Parlementery
Treshold) yang berpengaruh besar dalam merumuskan dan menentukan kebijakan
serta kepentingan-kepentingan tertentu, semisal ideologi partai yang dimasukkan
dalam perumusan kebijakan. Sistem parlemen dalam legislasi adalah sistem dengan
permusyawaratan. Namun dalam bermusyawarah tentunya tidak selalu mencapai
mufakat, maka dalam sistem parlemen voting dapat dilaksanakan, dan suara
terbanyaklah menjadi pemenang. Sistem tersebut memungkinkan partai politik untuk
memasang calon legislatif dengan elektabilitas tinggi agar meraih kursi sebanyak
mungkin, sehingga partai politik seakan menomor sekiankan aspek moralitas.

PENUTUP
Perbedaan KPU dengan Bawaslu mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika dalam
Indonesia, berbeda dalam gagasan tetapi tetap satu tujuan yang ingin di capai KPU
dan Bawaslu yakni terciptanya pemilu yang berintegritas dengan ruh persatuan. Niat
baik KPU dalam PKPU No. 20 Tahun 2018 dalam mencegah dan memberantas
korupsi hingga ke akarnya, sejak pemilu pada tahun 2004 pertama kali dilaksanakan,
8

baru pada hari ini keberanian KPU dalam memasukkan larangan mantan koruptor
untuk mencalonkan diri. Namun dalam lembaga terkecil hingga skala sebesar negara
tentu ada aturan main, PKPU dalam putusan MA secara yuridis berada bukan pada
tempatnya, namun secara filosofis subtansi dari ‘Pelarangan Mantan Koruptor Sudah
Tepat!’ dan tentunya didukung oleh hampir seluruh elemen masyarakat.
Lolosnya mantan koruptor sebagai calon legislatif, bukan hanya memengaruhi
persepsi masyarakat terhadap penyelenggara, tetapi juga sebagai sebuah pendidikan
politik bagi masyarakat berupa stimulus agar tetap berhati-hati dan mengkaji serta
menganalisis para calon legislatif sebelum memilih para wakil rakyat. Masyarakat
pada dasarnya masih banyak yang belum paham mengenai dunia politik, atau bisa
dikatakan buta politik, dan itulah yang sebetulnya sangat berbahaya sebab menurut
Berthold Brecht (1898-1956):
“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak
berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu
bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa,
harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang
yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan
dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu
bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri
terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional
dan multinasional yang menguras kekayaan negeri"
Partai politklah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas buta
politik masyarakat, tapi dalam penerapannya partai politik sendiri yang kemudian
melahirkan perbedaan baru dengan menarik dan mencetak kader-kader partai sesuai
dengan kepentingan masing-masing partai politik. Partai politik kemudian
mendapatkan ketidakpercayaan masyarakat, bahkan menjadi skeptis terhadap partai
politik, pandangan skeptis ini kemudian semakin membesar dengan mengusung para
caleg mantan koruptor. Bukan pada pembatasan hak tapi pada efek domino dari
subtansi larangan mantan koruptor. Efek yang akan membuat pemilu berintegritas
9

dengan efek jera maksimal, sebab masyarakat tentu berpikir, mengapa para caleg
boleh dari mantan koruptor, sedangkan untuk menjadi PNS saja harus ada SKCK!.

“SESUNGGUHNYA ALLAH TIDAK AKAN MENGUBAH NASIB


SUATU KAUM KECUALI KAUM ITU SENDIRI YANG MENGUBAH
APA APA YANG PADA DIRI MEREKA ” (QS 13:11)
10

DAFTAR PUSTAKA

Amindoni A. (3 April 2018). DPR menentang rencana KPU untuk melarang napu
korupsi mencalonka diri di pemilu. (Internet : BBC Indonesa).
https://www.change.org/p/tolak-bawaslu-ri-loloskan-koruptor-nyaleg-
koruptorkoknyaleg diakses pada 30 Oktober pukul 20.00 pm

Hafil, M. (9 April 2015). Ubah perilaku politik agar dipercaya. (Internet :


Republika).
https://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/04/09/nmjou2-
ubahperilaku-politik-agar-dipercaya diakses pada 29 Oktober pukul
21.00

Haryanto, H. C., Rahmania, T., Mubarok, A. F., Dopo, Hafil, Fauzi dkk. (2015).
Bagaimanakah Persepsi Keterpercayaan Masyarakat terhadap Elit
Politik. Jurnal Psikologi, 42(3), 243-258.

Indonesian Lawyers Club. (14 september 2018) https://www.youtube.com/watch?


v=WPDcr2HrALw&t=747s diakses pada 29 Oktober 2018 pikul 17.00
am

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018

Rahadian L. (20 September 2018). Rencana KPU umumkan caleg mantan napi
korupsi jangan Cuma wacana.https://tirto.id/rencana-kpu-umumkan-
caleg-mantan-napi-korupsi-jangan-cuma-wacana-c1eg diakses pada 29
Oktober pukul 08.00 am

Republik Indonesia. Undang Undang Dasar 1945


11

Ridhoi M Ahsan. (3 September 2018). Loloskan caleg koruptor, bawaslu bikin


masyarakat bingung (Internet: Tirto.id).https://tirto.id/loloskan-caleg-
koruptor-bawaslu-bikin-masyarakat-bingung-cWES, diakses pada 1
Oktober 2018 pukul 12.00 am.

Simbolon C. ( 19 April 2018). Larangan napi koruptor nyaleg. (Internet : IDN


Times). https://rappler.idntimes.com/christian-simbolon/pro-kontra-
larangan-napi-koruptor-jadi-calon-legislatif/full diakses pada 30
Oktober 2018 pukul 19.00 pm

Undang undang RI No. 7 tahun 2017 Tentang Pemilu

Wirodono S. (8 Juli 2014) Politik quotes buta terburuk adalah buta politik.
(Internet :
Kompasiana).https://www.kompasiana.com/sunardianwirodono/54f6b
d23a33311fb598b4722/politic-quotes-buta-terburuk-adalah-buta-
politik diakses pada 01 Oktober 2018 pukul 12.00 am

Yanuar H. (21 Juni 2016). Menko puan hanya 10 persen pemuda lanjut ke
perguruantinggi.https://www.liputan6.com/news/read/2536181/m
enko-puan-hanya-10-persen-pemuda-lanjut-ke-perguruan-tinggi
diakses pada 30 Oktober 2018 pukul 14.00 am
12

LAMPIRAN

Tabel 1.1 Data para narapidana korupsi tingkat DPRD Provinsi

Partai Nama Dapil Kasus


Gerindra Mohamad DKI III Korupsi pengadaan barang dan alat
Taufik peraga pemilu 2004
Herry Jones Sulut Menerima gaji PNS saat berstatus
Kere anggota DPRD
Husen Kausaha Malut Kasus belum ditemukan
Golkar Hamid Usman Malut III Korupsi dana APBD 2002 dan
APBD 2003 di DPRD Halmahera
Barat
Partai Meike Nangka Sulut II Korupsi MBH Gate
Berkarya
Arief Armalyn Malut II Korupsi revitalisasi keratin sultan
jailolo Halmahera Barat
Perindo Smuel Gorontalo Korupsi dana koperasi nelayan
Buntuang VI
PAN Abd. Fattah Jambi II Korupsi pengadaan mobil damkar
Kabupaten Batanghari 2004
Hanura Midasir Jateng IV Korupsi dana hibah APBD untuk
KONI tahun 2012
Welhelmus Malut III Korupsi dana bansos tahun 2010
Tahalele
Ahmad Ibrahim Malut III Kasus belum ditemukan
PBB Nasrullah Jambi I Korupsi pengerjaan lintasan atletik
Hamka Jambi 2012
Sumber : Ridhoi A. 24 September 2018. Caleg eks koruptor yang diloloskan bawaslu.
(Internet:Tirto.id). https://www.youtube.com/watch?v=ZJLlK5xYv8g diakses pada tanggal
9 Oktober 2018 pukul 18.00 pm
13

Tabel 1.2 Data para narapidana korupsi tingkat DPRD Kabupaten

Partai Nama Dapil Kasus


Gerindra Alhajar Syahyan Tanggamus Korupsi uang makan dan minum
tamu pimpinan DPRD
Tanggamus 2006-2009
Ferizal Belitung Korupsi proyek pembangunan
Timur pelabuhan apung di Pulau
Ketapang Kab. Belitung TImur
Mirhammuddin Belitung Kasus belum dapat ditemukan
Timur
PDIP Idrus Tadji Poso IV Korupsi dana jaminan hidup
bekal hidup pasca konflik Poso
Golkar Heri Baelanu Pandeglang Korupsi penyaluran dana bansos
Provinsi Banten 2010
Dede Widarso Pandeglang Korupsi penyaluran raskin tahun
2010
Saiful L Tami Tojo Una- Kasus belum dapat ditemukan
una
Nasdem Abu Bakar Rejang Korupsi beras raskin 2016
Lebong IV
Edi Ansori Rejang Kasus belum dapat ditemukan
Lebong III
Partai Garuda Julius Dakhi Nias Korupsi proyek water park di
Selatan NIas Selatan
Ariston Moho Nias Korupsi pengadaan baju dinas
Selatan DPRD Nias Selatan 2015
Partai Yohanes Ende I Kasus belum dapat ditemukan
Berkarya Marinus
Andi Muttamar Bulukumba Korupsi proyek Bappeda
Mattotorang III Kabupaten Bulukumba tahun
2013
PKS Maksum DG Mamuju II Korupsi proyek peningkatan
14

rehabilitasi jalan tajun 2012


Perindo Zulfikri Pagar Kasus belum dapat ditemukan
Alam II
PAN Masri Belitung Kasus belum dapat ditemukan
Timur II
Muhammad Lingga III Korupsi proyek pencetakan
Afrizal sawah dinas pertanian dan
perkebunan Lingga 2009
Bahri Syamsu Cilegon II Korupsi pembahasan dana
Arief RAPBD Kota Cilegon tahun
2005
Hanura Warsit Blora III Korpsi APBD Kabupaten Blora
2004
Nur Hasan Rembang Korupsi proyek pembangunan
IV mushola tahun 2013
Demokrat Jones Khan Pagar Korupsi peningkatan jalan
Alam I lingkar meringgang
Jhoni Husban Cilegon I Korupsi pembangunan dermaga
Trestle Kubangsari tahun 2010
Syamsuddin Lombok Kasus pungli terhadap
Tengah pemberian rekomendasi tambang
galian
Sumber : Ridhoi A. 24 September 2018. Caleg eks koruptor yang diloloskan bawaslu.
(Internet:Tirto.id). https://www.youtube.com/watch?v=ZJLlK5xYv8g diakses pada tanggal 9 Oktober
2018 pukul 18.00 pm

Anda mungkin juga menyukai