Kelas Internasional
2018
1
anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten atau kota untuk Pemilu 2019
akan dibuka mulai 4 hingga 17 Juli 2018.
Seperti biasanya, kebijakan yang akan dikeluarkan itu menyulut sikap pro
dan kontra. Ada yang setuju ada juga yang menentangnya. Mereka
menyampaikan pandangan dan alasan masing masing kenapa harus menerima dan
kenapa pula harus menolaknya. Pihak KPU sendiri yang berencana
mengeluarkan ketentuan tersebut menjelaskan alasan kenapa harus keluar
peraturan yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg atau pejabat
negara. Pengaturan mantan narapidana kasus korupsi tidak diperbolehkan nyaleg,
tujuannya adalah supaya masyarakat bisa mendapatkan pemimpin dan wakil yang
bersih dari penyalahgunaan kekuasaannya. 1
Sementara itu Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, juga sepakat
tidak dibolehkannya mantan napi korupsi menjadi caleg. Menurut Ray, menjadi aneh
kalau mereka yang telah berbuat jahat terhadap negara namun, masih diberikan
peluang untuk kembali dapat menempati posisi-posisi penting di negara. Sebab,
politik merupakan hajat besar dan titik pertemuan kepentingan setiap warga negara
untuk berbagai kebaikan sosial. Sedangkan korupsi adalah penghianatan atas
komitmen sosial tersebut.
2
koruptor menjadi caleg. KPU juga dapat mengumumkan kepada masyarakat caleg
mana saja yang pernah menjadi terpidana korupsi. Namun sementara ini, Riza
mempersilakan pihak-pihak yang keberatan dengan PKPU itu melakukan gugatan uji
materi ke Mahkamah Agung.
3
pertemuan dengan partai-partai politik dan akan mengunjungi markas-markas
partai politik dimulai sejak Selasa 3 Juli 2018. Ahmad Baidowi Anggota Komisi II
dari Fraksi PPP menilai aturan PKPU yang melarang mantan narapidana korupsi maju
menjadi calon legislatif melanggar beberapa UU. Atas terbitnya aturan itu, Komisi II
mempertimbangkan untuk menggunakan hak angket kepada KPU. Sejumlah aturan
yang ditabrak oleh KPU dengan terbitnya PKPU tersebut. Aturan pertama yakni pasal
240 ayat 1 huruf g UU Nomor 7 tahun 2017. Dalam pasal 240 ayat 1 huruf g
menyebutkan caleg tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ancaman hukuman 5 tahun atau
lebih kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa
yang bersangkutan mantan terpidana. UU 7/2017 pasal 240 ayat 1 huruf g secara
nyata dan tegas tidak ada larangan bagi mantan napi untuk jadi caleg asalkan yang
bersangkutan secara terbuka menyatakan dirinya sebagai mantan napi. Pasal kedua
yang dilanggar yakni pasal 75 ayat 4. Pasal tersebut mengatur kewajiban KPU
berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam menyusun PKPU. KPU juga
berpotensi melanggar UU Nomor 17 tahun 2014 jo UU 2 tahun 2018 tentang MD3
pasal 74 ayat 2 tentang MD3. Hal ini karena KPU menolak hasil RDP bersama DPR
dan Pemerintah terkait aturan larangan eks napi korupsi menjadi Caleg. Padahal pasal
itu mewajibkan setiap lembaga negara termasuk badan hukum menindaklanjuti hasil
RDP. Maka dari itu sebenarnya aturan dari KPU khusus larangan mantan napi korupsi
melanggar UU. Termasuk juga PKPU yg belum diundangkan menkumham juga batal
demi hukum. PKPU ini tidak begitu berpengaruh terhadap proses rekrutmen
Caleg dari partai PPP. PPP telah menerapkan syarat yang melarang mantan
koruptor maju sebagai Caleg sejak Pemilu 2014 silam. Yasonna Laoly Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa dirinya tidak akan
menandatangani draf Peraturan Komisi Pemilihan Umum ( PKPU) yang mengatur
larangan mantan narapidana kasus korupsi untuk maju dalam Pemilu Legislatif 2019.
PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu
menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama
lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang
bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
Dengan demikian mantan narapidana korupsi, menurut UU Pemilu, dapat
mencalonkan diri sebagai caleg. KPU tidak memiliki kewenangan untuk
4
menghilangkan hak politik seseorang selama tidak diatur dalam undang-undang.
peraturan KPU tersebut tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK tahun 2016 terkait uji materi Undang-Undang Nomor Nomor 10 Tahun
2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) menyebut,
terpidana atau terdakwa masih boleh mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah
selama tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun penjara.
Diketahui, niat KPU melarang mantan napi kasus korupsi untuk menjadi caleg ini
sebelumnya mendapat penolakan dari DPR, Kementerian Dalam Negeri, hingga
Bawaslu. Bahkan kini, penolakan tersebut juga datang dari Presiden Joko Widodo.
Namun, KPU menegaskan akan tetap membuat aturan tersebut dan memasukkannya
dalam Peraturan KPU tentang pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan
kabupaten/kota 2019. 3
5
politik pemerintah saat ini. Seharusnya PKPU ini didukung, bukan ditolak ramai-
ramai.
4
http://www.tribunnews.com/nasional/2018/09/18/bolehkan-mantan-koruptor-jadi-calon-
legislatif-ma-beri-penjelasan-landasan-hukum-yang-dipakai Di kunjungi tanggal 3/10/ 2018, jam :
19.54.00
6
Sementara itu, larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon
anggota DPD tertuang dalam pasal 60 huruf (j) PKPU Nomor 26 Tahun 2018. Pasal
tersebut menyatakan, 'perseorangan peserta pemilu dapat menjadi bakal calon
perseorangan peserta pemilu anggota DPD setelah memenuhi syarat bukan mantan
terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.
Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi Pasal 60 huruf j Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang tentang Pencalonan
Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.5
Pasal yang diuji materikan itu mengatur soal larangan bagi mantan narapidana
kasus korupsi, mantan bandar narkoba dan kejahatan seksual pada anak untuk maju
menjadi calon legislatif.
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus
korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.
Sebelumnya, larangan bagi eks koruptor jadi legislator menuai polemik.
Itu lantaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meloloskan para mantan narapidana
kasus korupsi sebagai bakal calon legislatif. Bawaslu merujuk pada UU Pemilu yang
membolehkan eks koruptor jadi caleg. Sementara KPU tetap bersikeras bahwa mereka
tak jadi wakil rakyat.6
C. Kesimpulan
5
https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/09/17/pf74i3354-mendagri-
putusan-ma-soal-caleg-eks-napi-korupsi-mengikat Di kunjungi 5/10/2018, jam 03.25.00
6
http://aceh.tribunnews.com/2018/09/14/mahkamah-agung-putusan-mantan-napi-
koruptor-boleh-jadi-calon-legislatif Di kunjungi tanggal 7/10/2018, jam : 09.21.00
7
calon wakil rakyat. Diharapkan dengan adanya pelarangan itu, para pemilih mendapat
pilihan yang berkualitas.
Nantinya akan menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik untuk menyeleksi
calon wakil rakyat yang bener-bener bersih. Dengan demikian adanya peraturan untuk
tidak membolehkan mantan napi korupsi maju menjadi caleg merupakan langkah
KPU yang cukup baik untuk memberikan batasan kepada mantan koruptor untuk
maju dalam pemilihan legislatif. Dengan adanya pembatasan itu, tentu akan
melindungi pemilih dari calon yang cacat jejak rekamnya bermasalah, apalagi kasus
korupsi. Karena seorang yang sudah terbukti secara sah dan meyakinkan
menyalahgunakan wewenang, menerima suap, dan melakukan tindak pidana korupsi
lainnya tidak patut kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, maupun
jabatan politik lainnya. Hak mereka seyogyanya memang dicabut untuk memberikan
efek jera kepada yang lainnya. Oleh karena itu adanya rencana peraturan KPU yang
akan melarang mantan napi korupsi untuk mengajukan diri sebagai caleg perlu
dimaknai sebagai upaya rekayasa sosial untuk mendapatkan wakil-wakil rakyat yang
berkualitas . Hal ini tentumya demi kepentingan umum, kepentingan bersama. Kalau
kemudian Peraturan KPU yang akan dibuat itu bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan yang ada maka yang dibutuhkan perlu mencari solusi atau jalan
keluarnya. Kira pemerintah bisa mencarikan formula bagaimana mengupayakan
ketentuan hukum yang lebih baik demi kemaslahatan bersama tanpa melanggar
ketentuan yang sudah ada.
Asalkan hal tesebut tidaklah melanggar ketentuan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagaimana pasal 28 J ayat 1yang mengangkat materi
mengenai hak asasi manusia di dalamnya, sebagaimana bunyi ayat tersebut :
” Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara “.