Anda di halaman 1dari 21

MENILIK NETRALITAS TNI-POLRI DAN APARATUR SIPIL NEGARA

DALAM PENYELENGGARAAN PILKADA SECARA SERENTAK


BERDASARKAN UU PEMILUKADA

Nama : Muh Ivan Cahyadi

NIM : B011191303

HUKUM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

ILMU HUKUM/HUKUM TATA NEGARA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2022

i
Abstrak

Poin-poin Isi Pasal 71 UU Pilkada membahas segala hal yang Terkait dengan
penyelenggaraan Pilkada kali ini, menurut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu RI) yang
sempat melakukan sosialisasi penerapan Pasal 71 Undang-Undang (UU) Nomor 10
Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau biasa disebut UU
Pilkada. dalam pasal 71 ayat 3 tertulis larangan menggunakan kewenangan program dan
kegiatan yang menguntungkan dan merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah
sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan
pasangan calon sampai dengan tanggal penetapan pasangan calon terpilih.“Dalam hal
gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati dan walikota atau wakil
walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), petahana tersebut dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU
Provinsi atau kabupaten/kota. Dalam Pasal 71 UU Pilkada terdapat dua larangan yang
menarik untuk dikritisi, yaitu pada ayat (2) dan ayat (3).Adapun rumusan normanya
adalah, Kesatu, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan
Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan
sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali
mendapat persetujuan dari Menteri (ayat 2), dan Kedua, Gubernur atau Wakil
Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang
menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain
dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan
penetapan calon terpilih (ayat 3).

Perubahan diksi “dan” (bermakna kumulatif) menjadi diksi “atau” (alternatif) sudah
diimplementasikan oleh KPU setelah mengubah PKPU tentang Pencalonan, dari PKPU
No.lebih jelasnya: Petahana dinyatakan tidak memenuhi syarat jika: (a) melakukan
penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai
dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang
menyelenggarakan urusan dalam negeri; atau (b) menggunakan kewenangan, program,
dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Pasangan Calon baik di
daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal
penetapan Pasangan Calon sampai dengan penetapan Pasangan Calon terpilih 1 Tahun
2020, selain menambah syarat tambahan bagi bakal calon Petahana, juga memilih diksi
“atau” untuk menetapkan TMS jika ada bakal calon Petahana yang terbukti melanggar
salah satu dari dua larangan dalam Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada.

Kata Kunci : UU Pilkada, Kepala Daerah, Peserta pemilu ii


Abstract

Content Points Article 71 of the Regional Head Election Law discusses all matters
related to the implementation of this election, according to the Election Supervisory
Body (Bawaslu RI) which had socialized the application of Article 71 of Law (UU)
Number 10 of 2016 concerning the Election of Governors, Regents and Mayors or
commonly referred to as the Pilkada Law. Article 71 paragraph 3 states that it is
prohibited to use authority programs and activities that are beneficial and detrimental to
one pair of candidates, both in their own area and in other areas within 6 (six) months
before determining the pair of candidates until the date of determination of the elected
candidate. governor or deputy governor, regent or deputy regent and mayor or deputy
mayor as an incumbent violates the provisions as referred to in paragraphs (2) and (3),
the incumbent is subject to sanctions as a candidate by the Provincial or
Regency/Municipal KPU. In Article 71 of the Pilkada Law there are two interesting
prohibitions to criticize, namely in paragraph (2) and paragraph (3). The formulation of
the norm is, First, the Governor or Deputy Governor, Regent or Deputy Regent, and
Mayor or Deputy Mayor are prohibited from serving as officials 6 (six) months before
the date of determination of the candidate until the end of the term of office unless
approved by the Minister (paragraph 2), and Second, the Governor or Deputy Governor,
Regent or Deputy Regent, and Mayor or Deputy Mayor are prohibited from using
programs and activities that benefit or harm one pair of candidates either in their own
region or in another region within 6 (six) months prior to the determination of the pair
of candidates. until the determination of the elected candidate (paragraph 3).

The change from “and” diction to “or” diction has been implemented by the KPU
after changing the PKPU on Nominations, from PKPU No. ) months before the date of
stipulation of the Candidate pair until the end of the term of office unless obtaining
written approval from the minister in charge of domestic affairs; or (b) use the authority,
programs, and activities that are beneficial or detrimental to one of the candidates both
in their own region and in other regions within 6 (six) months prior to the determination
of the pair of candidates until the determination of the elected pair of candidates 1 of
2020, in addition to adding additional requirements for incumbent candidates, also
choose the diction “or” to determine the TMS if there is an incumbent candidate who
violates Article one of the two prohibitions in 71 paragraph (5) of the Pilkada Law.

Keywords: Pilkada Law, Regional Head, Election Contestants iii


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 1 Juli 2016 lalu telah mengesahkan Perubahan
Kedua atas Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016. Sebelumnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut telah disahkan oleh
Sidang Paripurna DPR-RI, di kompleks Parlemen, Undang-Undang nomor 10 tahun
2016 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Namun karena ada beberapa kelemahan dalam undang-undang tersebut, Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi Undang-Undang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Ada beberapa
pertimbangan di dalamnya diantaranya;1

a. Bahwa dalam rangka mewujudkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati
dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang demokratis, perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur,
bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota.

b. Bahwa beberapa ketentuan penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur,


bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti UndangUndang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan menjadi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, perlu dilakukan perubahan;

c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,


perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
1
AMBOK TUO, A. T. (2021). ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP SANKSI PIDANA KEPALA
DAERAH YANG MELAKUKAN PELANGGARAN PASAL 71 UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN
2016 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PADA PILKADA SERENTAK
TAHUN 2020 DI SUNGAI PENUH (Doctoral dissertation, Universitas Batanghari). Hlm 58-59

1
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-Undang.”

Pilkada merupakan nikmat yang diberikan oleh ALLAH swt bagaimana cara
mensyukuri nikmat tersebut adalah dengan menjalankan pilkada itu dengan sebaik-
baiknya dan sejujur-jujurnya rasa syukur yang dapat kita lakukan adalah salah satunya
dengan menjalankan fungsi dan menggunakan hak kita dalam pemilihan tersebut,
Namun rasa syukur tersebut biasa dinodai oleh tiindakan nakal yang dilakukan peslon
dengan melakukan politik uang, melakukan kampanye hitam, hingga perbuatan
melawan hukum lainnya yang melanggar UU Pilkada yang telah diatur.2 Apalagi
Pelanggaran yang masih terjadi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah, disebabkan
oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang mempunyai kepentingan pribadi
maupun golongan. Pemerintah bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum harus lebih
tegas menindak para pelanggar ketentuan yang melakukan pelanggaran administrasi
maupun tindak pidana dalam pemilihan umum. Pasangan calon yang melanggar
ketentuan dapat langsung didiskualifikasi apabila terbukti telah melakukan kesalahan.
Evaluasi mengenai kinerja para petugas yang terlibat dalam pelaksanaan pemilihan
kepala daerah perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kecurangan maupun bentuk
pelanggaran lainnya.

Terkait Sanksi Politisasi Bantuan Sosial Pemilihan Kepala Daerah Menurut Pasal 71
Dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tindak pidana pemilihan kepala
daerah sekalipun dikelompokkan sebagai pelanggaran, namun jenis perbuatan pidana
yang termuat di dalamnya tetap dapat dikategorikan sebagai kejahatan dan pelanggaran.
Artinya, sepanjang suatu perbuatan dilarang atau diwajibkan untuk dilaksanakan, hal
mana perintah dan larangan tersebut diiringi dengan ancaman pidana, maka pelanggaran
terhadap perintah serta larangan tersebut dijatuhi pidana sesuai yang ditentukanoleh
undang-undang.

Sedangkan perbuatan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala


Daerah, terdapat rumusan tindak pidana yang secara perumusan dapat dikelompokkan
menjadi delik materil dan formil.Menurut Andi Hamzah, delik materil adalah
disebutkan adanya akibat tertentu, dengan atau menyebut perbuatan tertentu.16 Delik
formil dengan demikian hanya disebut sebagai suatu perbuatan tertentu.17 Van Hamel
tidak setuju dengan adanya pembedaan delik formil dan delik materil, di mana ia hanya
mau membedakan keduanya dalam konteks perumusan delik formil atau materil.18
Mengikuti pendapat Van Hammel, perbedaan delik formil dan materil lebih pada
perumusan normanya, apakah juga menyebut akibat atau sebatas perbuatan saja. Norma
tersebut dengan demikian juga menghendaki adanya akibat sebagai dasar penjatuhan
pidana kepada orang yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana yang terjadi
dalam proses pendaftaran pemilih hanyalah memberikan keterangan yang tidak benar

2
Das,ad Latif. 2018. Pilkada Nikmat atau Bencana. 2018. PT . Elex Media Komputindo. Jakarta.Hlm 85
2
dalam pengisian daftar pemilih. 3 Dugaan perbuatan pidana dalam masa kampanye yang
telah diperiksa dan diputus dapat berupa: Perbuatan pidana calon kepala daerah
melibatkan pejabat Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Aparatur
Sipil Negara, anggota Tentara Nasional Polisi Republik Indonesia dan kepala desa
dalam kampanye.Perbuatan pidana dalam masa kampanye pemilihan kepala daerah
tahun 2020 tercatat sebagai delik yang paling banyak terjadi.

B. Rumusan Masalah.

1. Apa saja poin-poin yang harus dipatuhi oleh TNI-Polri dan ASN dalam UU
Pemilukada ?
2. Bagaimana implementasi UU Pemilukada terhadap Netralitas ASN dan TNI- POLRI
?

C. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitataif deskriptif analitis.


Tujuan dari metode penelitian deskriptif analitis ini adalah untuk mendapatkan data
yang mendalam mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi Penerapan
pasal 71 UU Pilkada . Pada penelitian ini peneliti akan berfokus pada UU Pilkada dan
Implementasi pada penyelenggaraan pemilu di daerah apakah sudah sejalan dengan UU
tersebut.. Dengan menggunakan pendekatan ini, bertujuan untuk mempelajari sedalam
dalamnya tentang salah satu gejala nyata yang ada dalam kehidupan masyarakat yang
dapat digunakan untuk menelaah suatu keadaan, kelompok, masyarakat, lembaga
lembaga maupun individu individu untuk mendukung penelitian ini maka perlu
mempersiapkan mengidentifikasi dan merumuskan masalah, mengumpulkan literature
dari jurnal dan buku.

3
Suatan, A. I. P. (2022). SANKSI POLITISASI BANTUAN SOSIAL PEMILIHAN KEPALA DAERAH
MENURUT PASAL 71 DAN PASAL 73 UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016. LEX
CRIMEN, 10(12). Hal 116 3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kebanyakan kasus kecurangan atau pelanggaran hukum pemilu di lapangan


melipatkan oknum aparatur sipil negara Secara jelas larangan keterlibatan Aparatur
Sipil Negara dalam melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu peserta pemilu
telah diatur dalam ketentuan Pasal 188 Jo Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 5 Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubenur, Bupati, dan Walikota (UU
Pemilukada). Pasal 188 “Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan
Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah).” Meskipun telah ada Undang-Undang serta peraturan yang khusus tentang
pelaksanaan pemilu supaya dapat berjalan dengan baik namun pada kenyataannya masih
saja ada pelanggaran dan kejahatan. Contoh kasus yang melibatkan H. Syahruddin
Laupe selaku Aparatur Sipil Negara dengan jabatan sebagai Kepala Dinas Sosial,
Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sidenreng Rappang
dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan
atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye.4

Kepemimpinan pemerintahan daerah dimaknai pada kepemimpinan pada seseorang


di suatu wilayah baik di tingkat provinsi maupu kabupaten/kota yang mempunyai
tanggungjawab dari segi wilayah, kelembagaan higga masyarakat untuk melihat
keberhasilan kepala daerah sangat sulit diukur karena masyarakat terfokus pada hasil
sejauh mana kepala daerah mengevaluasi, meningkatkan atau membangun infrasruktur,
kebahagiaan masyarajat dan konsisi ekonominyang baik maka dari itu hadirnya pilkada
sebagai wadah untuk mencapai itu semua.5 Dalam sejumlah literatur menjelaskan
bahwa pemilu merupakan sarana yang tidak terpisahkan bagi negara demokratis modern
dengan kata lain jalannya pemilu menandakan bahwa negara tersebut menjalankan
demokrasi yang fungsi perwakilannya sangat tergantung baik dalam pemilu maupun
pilkada untuk itu ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar pemilu tersebut dapat
berjala dengan baik dalam pemilu maupun pilkada diantaranya; pertama Pengakuan

4
Amirullah, A. Z. (2020). Tindak Pidana Pemilihan Umum Kepala Daerah Yang Dilakukan Oleh
Aparatur Sipil Negara (ASN)(Studi Kasus Putusan Nomor 147/Pid. Sus/2018/PN. Sdr) (Doctoral
dissertation, Universitas Hasanuddin). Hlm 50

5
Johannes, A. W. (2020). PILKADA: Mencari Pemimpin Daerah. Cendikia Press.Hlm 21 4
terhadap hak universal, Kedua ada wadah sebagai penampung aspirasi dan ketiga
menciptakan sistem perwakilan yang produktif. 6

Maraknya diskualifikasi calon kepala daerah diajang pesta demokrasi daerah


dikarenakan terbukti melanggar ketentuan perundang-undangan, yaitu melakukan
penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai
dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri (Pasal 71
Ayat (2)), menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau
merugikan pasangan calon kompetitornya, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain
dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan
penetapan pasangan calon terpilih (Pasal 71 Ayat (3)). Selain UU Pilkada, KPU
mengatur pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
dan/atau Walikota dan Wakil Walikota mengenai pelanggaran yang dapat dikenakan
sanksi diskualifikasi bagi calon kepala daerah petahana apabila melanggar ketentuan
Pasal 89 ayat (2).7 Polemik pasal 71 UU Pilkada juga sempat dijadikan batu uji ke
PTUN terkait pembatalan pencalonan walikota dan wakil walikota Makassar di tahun
2018 dalam pertimbangan hukum hakim mengutip kesaksisan Prof Hamdan Zoelfa
menyatakan bahwa bagi KPU atau Panwas (in casu KPU Kota Makassar atau Panwas
Kota Makassar) merupakan norma yang bersifat aktif karena Lembaga tersebut
memiliki kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan, sehingga keputusan penetapan
pasangan calon petahana apabila terbukti melakukan pelanggaran menggunakan
kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon, keputusan penetapan pasangan calon petahan tersebut dapat dikenai
sanksi pembatalan sebagai calon oleh Tergugat sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 71 ayat (5) jo ketentuan Pasal 89 ayat (3).8

Untuk Mekanisme dan format diskualifikasi oleh KPU apabila ditemukan atau
terdapat Petahana yang melakukan penyimpangan sebagaimana diatur dalam ayat 1
sampai dengan ayat 3 patut untuk dikaji lebih mendalam. Konteks diskualifikasi tidak
diatur secara detail dalam Pasal 71 ayat 5 tersebut. Secara umumdalam Undang-
Undang tentang Pilkada mengatur pelanggaran administrasi yang berujung
pada Diskualifikasi Calon dikategorikan dalam 4 (empat) bentuk pelanggaran
administrasi1. Pertama, Bentuk/Metode kampanye yang menggunakan media massa
cetak dan elektronik di luar jadwal. Kedua, jika ditemukan laporan dana
kampanye yang tidak benar. Ketiga, jika calon petahana melakukan mutasi jabatan

6
Haboddin, M. (2017). Ketika mahasiswa bicara pilkada. Universitas Brawijaya Press. Malang. Hlm 5
7
Helmi, H. H., & Erliyana, A. (2019). Kontruksi Hukum Diskualifikasi Calon Petahana Pada Pemilihan
Kepala Daerah. Pakuan Law Review,. Hlm 148-149
8
Tomo, W. G., & Natsif, F. A. (2021). Analisis Putusan Terhadap Pembatalan Pencalonan Walikota dan
Wakil Walikota Makassar Tahun 2018. Alauddin Law Development Journal, 3(2), Hlm 372 5
enam bulan sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon. Keempat, money politik
yang terstruktur. Sistematis dan maasif (TSM). Dalam tulisan ini spesifik akan
membahas tentang diskualifikasi calon petahana yang melakukan mutasi jabatan
enam bulan dan pelanggaran lainnya sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon. 9
Ketika menghubungkan antara konseo pilkada dengan prespektif relasi kekuasaan dapat
ditarik sebuah benang merah bahwa pandangan relasi kekuasaan yang terkesan
pesimistis tersebut bukan lah pandangan etis yang anti-demokratisasi. Apa yang dieks
planasikan perspektif relasi kekuasaan sebagai “muka belakang” de mokrasi merupakan
realitas empiris demokratisasi kita saat ini. Dengan kata lain, perspektif relasi kekuasaan
mencoba meng ambil posisi kritis dan tidak terbuai dengan hingar-bingar
institusionalisasi demokrasi pasca-rezim otoriter yang telah berjaya selama beberapa
dasawarsa. 10

9
MAWARDI, I. (2018). PENGUJIAN ADMINISTRASI TERHADAP PROSES DISKUALIFIKASI
PETAHANA DALAM PENCALONAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH/ADMINISTRATION
EXAMINATION ON THE PROCESS OF DISQUALIFICATION OF INCUMBENT IN THE
REGISTRATION OF LOCAL ELECTIONS. Jurnal Hukum Peratun, 1(2), Hlm 372
10
Muhammad Aqil Irham. 2016. Demokrasi Muka Dua: Membaca Ulang Pilkada di Indonesia.
Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta Hlm 71
6
BAB III

PEMBAHASAN

Selama dua kali periodisasi pelaksanaan Pilkada Langsung itu dilaksanakan,


kontestasi politik di ranah lokal itu tak pernah sepi dari sengketa, yang dipicu oleh
kecurangan salah satu pihak yang berkontestasi. Tersebab karena hal itulah, sistem
Pilkada Langsung itu digugat oleh rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan
asumsi bahwa sistem tersebut lebih banyak mudaratnya. Kementerian Dalam Negeri,
sebagai lembaga yang berwenang dalam urusan politik dalam negeri, telah
mengevaluasi pelaksanaan sistem Pilkada Langsung, dan selama 10 tahun terakhir
pelaksanaannya ditengarai memberikan dampak buruk sebagai berikut: 11

1. Sistem Pilkada Langsung menyebabkan demokrasi mahal, dan ia harus ditanggung


negara;

2. Kontestasi politik antar kandidat cenderung berbiaya tinggi, karena adanya praktik
“politik uang”;

3. Kepala Daerah yang terpilih melalui Pilkada Langsung banyak yang tersangkut
masalah hukum, karena terindikasi melakukan tindak pidana korupsi;

4. Adanya konflik horizontal akibat sengketa pilkada langsungyang melibatkan massa


pendukung kandidat yang berbeda

5. Adanya ekses lanjutan menyangkut PNS di lingkungan Pemda yang tidak


mendukung salah satu kandidat, yang kebetulan memenangkan kontestasi Pilkada
Langsung, akhirnya dipindahtugaskan oleh Kepala Daerah yang memenangkan
kontestasi. Disebutkan sebagai contohnya adalah PNS di Pemda Palembang.

Pada dasarnya elit partai dan partai politik memiliki peran yang sangat besar dalam
menentukan pasangan calon yang akan didukung oleh partainya, selain berpengaruh
pada penentuan pasangan calon, elit partai dan partai politik juga mempunyai pengaruh
yang besar terhadap massa pendukung ataupun konstituennya. Dalam konteks pilkada,
elit partai politik dan partai politik merupakan alat/kendaraan serta alternatif pasangan
calon untuk mendaftar dan berkontestasi dalam pilkada, setelah ditetapkan pasangan
calon oleh KPUD maka sudah selesai tugas dari elit partai politik dan partai politik,
karena pasangan calon tersebut biasanya membentuk tim sukses kembali yang kadang
kala bukan berasal dari partai politik yang mendukungnya Berdasarkan temuan di
lapangan, kami menganalisa bahwa peran elit dan partai politik sedikit berkurang atau
bahkan tidak memiliki peran sama sekali setelah pasangan calon telah ditetapkan oleh
KPUD.

11
Mukhtar Sarman. 2015. Pilkada Serentak: Quo Vadis Kedaulatan Rakyat. PT. LKiS Printing
Cemerlang. Yogjakarta. Hlm 27
7
Meskipun konflik disebabkan oleh elit partai politik dan partai politik, hal yang
demikian sulit dibuktikan mengingat elit parpol merupakan seseorang yang mempunyai
pengaruh yang besar terhadap keputusan dan kebijakan partai yang dipimpinnya. 12

Dalam pasal 71 UU Pilkada berisi beberapa poin diantaranya;

 Pejabat Publik Harus Berhenti dan Mengundurkan Diri


 DPR dan DPRD Harus Mengundurkan Diri
 Larangan Kepala Daerah atau Petahana Melakukan Pergantian
 Kewenangan Calon
 Netralitas ASN, TNI-Polri

Pejabat Publik Harus Berhenti dan Mengundurkan diri

Terdapat 3 macam sistem pengisian jabatan kepala daerah dalam peraturan


perundangan Pemerintahan Daerah/Pemilihan Kepala Daerah yang pernah berlaku,
yakni: pertama, Sistem pengangkatan; kedua, sistem pemilihan tidak langsung; dan
ketiga, sistem pemilihan langsung. Peraturan perundangan yang pertama kali
mempersyaratkan pengunduran diri bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD serta anggota
TNI/Polri, PNS dan Kepala Desa serta dari jabatan pada BUMN dan BUMD yang
mencalonkan diri menjadi kepala daerah adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.Implikasi dari persyaratan
pengunduran diri dari anggota DPR, DPD dan DPRD serta anggota TNI/Polri, PNS dan
Kepala Desa serta dari jabatan pada BUMN dan BUMD yang mencalonkan diri menjadi
kepala daerah adalah persyaratan tersebut telah membatasi anggota DPR, DPD dan
DPRD serta anggota TNI/Polri, PNS dan Kepala Desa serta dari jabatan pada BUMN
dan BUMD untuk mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah. 13 pengunduran diri dari
anggota DPR, DPD dan DPRD serta anggota TNI/Polri, PNS dan Kepala Desa serta
dari jabatan pada BUMN dan BUMD yang mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah
adalah setelah benarbenar terpilih dan ditetapkan menjadi Kepala Daerah, bukan setelah
ditetapkan menjadi peserta dalam pilkada seperti yang ditentukan dalam peraturan
perundangan sekarang ini. 14Disarankannya hal ini adalah agar tidak lagi ada
keengganan bagi anggota DPR, DPD dan DPRD serta anggota TNI/Polri, PNS dan
Kepala Desa serta dari jabatan pada BUMN dan BUMD untuk mencalonkan diri
sebagai Calon Kepala Daerah. Turut sertanya anggota DPR, DPD dan DPRD serta

12
Tony Yuri Rahmanto, S.H., M.H. Penny Naluria Utami, S.Sos, M.H. Harison Citrawan, S.H., LL.M
DR. Hidayat. 2016. PERAN ELIT POLITIK DAN PARTAI POLITIK DALAM MENCEGAH
KONFLIK DI PILKADA. Percetakan Pohon Cahaya. Hlm 126-128
13
Sitepu, R. (2020). ANALISIS TERHADAP SYARAT PENGUNDURAN DIRI DARI
KEDUDUKAN/JABATAN TERTENTU BAGI CALON KEPALA DAERAH. TAQNIN: Jurnal Syariah
dan Hukum, 2(1). Hlm 40-41
8
anggota TNI/Polri, PNS dan Kepala Desa serta dari jabatan pada BUMN dan BUMD
dalam pelaksaan pilkada akan dapat memperluas pilihan calon, sehingga pilkada dapat
menghasilkan/kepala daerah yang benar-benar terbaik, kuat dan mumpuni.

Hak politik Aparatur Sipil Negara pada era Orde Baru dapat dikatakan lebih maju
dari pada UU Nomor 5 Tahun 2014 yang berlaku saat ini, karena pada jaman Orde
Baru, Pegawai Negeri yang menjadi pejabat Negara hanya dibebaskan untuk sementara
waktu dari jabatan organiknya selama menjadi pejabat Negara dan dapat kembali
melaksanakan tugasnya setelah selesai menjadi pejabat Negara tampa kehilangan
statusnya sebagai Pegawai Negeri seperti yang tertera dalam UU Nomor 8 Tahun
1974.40 ‛ Hak politik Aparatur Sipil Negara pada masa setelah reformasi yakni
pembangunan hak asasi manusia di Indonesia memperoleh landasan hukum yang
signifikan semenjak diberlakukannya keputusan presiden (Keppres) Republik Indonesia
Nomor 129 Tahun 1998 tentang rencana rencana aksi nasional hak-hak asasi manusia
1998-2003 atau yang lebih dikenal dengan istilah ‚RANHAM‛, yang ditetapkan di
Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1998.‚Pembentukan KePres Nomor 129 Tahun 1998
tersebut kemudian diikuti dengan penerbitan intruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 Tahun
1998 tentang ‚Menghentikan penggunaan islitah pribumi dan nonpribumi dalam semua
Perumusan dan Penyelenggaraan kebijakan, Perencanaan Program, ataupun
Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah‛ yang dikeluarkan di Jakarta pada
tanggal 16 September 1998.42 ‛ ‚Eksistensi kedua peraturan (keppres dan inpres)
tersebut kemudian diikuti dengan pemberlakuan undang-undang nomor 5 Tahun 1998
tentang pengesahan ‚convention Againt Torture and Other Cruel, Inhuman, or
Degaeding Treatment or Punishment.‛ Pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1998
tersebut, kemudian diikuti dengan menetapkan berlakunya ketetapan Majelis
permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, yang ditetapkan dalam sidang istimewa MPR pada tanggal
13 November 1998.15

Utrech membedakan pengertian mengenai pejabat dan jabatan karna keduanya


merupakan suatu lingkungan pekerjaan yang dibuat oleh organisasi tertinggi yaitu
negara itulah yang dimaksud dengan jabatan sedangkan pejabat merupakan seseorang
yang diberikan wewenang untuk menjalankan fungsi-fungsi dri pekerjaan tersebut
dalam bentuk pertanggungjawaban dikemudian hari. Pejabat dan jabatan merupakan hal
yang tidak bisa dipisahkan dari pilkada di era reformasi pasca demiliterisasi posisis
jabatan publik oleh ABRI memberikan angin segar dimana karena secara langsung
rakyat memberikan kepercayan kepada yang mereka berikan mandate dalam mengisi

15
Fadhilah, N. C. (2019). Larangan Pegawai Negeri Sipil untuk Mencalonkan Diri dalam Pemilu dan
Pemilukada: Studi Analisis Siyasah Dusturiyah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-
XII/2014 (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya). Hlm 30-32
9
suatu posisi jabatan.16 Pelaksanaan pilkada mesti dilakukan secara bijak karena hasil
dari pemilihan tersebut akan menentukan masa depan daerah pemilihan dan
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan diantaranya fungsi pemerintahan absolute,
Wajib, Pilihan dan umum 17

DPR dan DPRD Harus Mengundurkan Diri .

Persyaratan pengunduran diri tersebut telah membatasi anggota DPR, DPD, dan
DPRD, begitu pula PNS, anggota TNI/Polri dan Kepala Desa serta dari jabatan pada
BUMN dan BUMD untuk mendaftarkan diri sebagai Calon Kepala Daerah sebab
mereka sudah harus mengundurkan diri padahal belum tentu terpilih dan ditetapkan
sebagai Kepala Daerah.6 Pilkada yang hanya diikuti oleh calon yang kecil dan terbatas
menurut Penulis tidak baik dan tidak mendukung untuk terpilihnya Kepala Daerah yang
terbaik, kuat dan mumpuni. Kepala Daerah yang terbaik, kuat dan mumpuni akan lahir
melalui pilkada yang diikuti oleh Calon Kepala Daerah secara luas, dari setiap golongan
dan setiap latar belakang tanpa ada pembatasan-pembatasan, termasuk dari anggota
DPR, DPD dan DPRD serta PNS, anggota TNI/Polri dan Kepala Desa serta jabatan
pada BUMN dan BUMD. Pengunduran diri dari anggota DPR, DPD, dan DPRD serta
anggota TNI/Polri, PNS dan Kepala Desa serta dari jabatan pada BUMN dan BUMD
setelah ditetapkan menjadi peserta pilkada dijadikan alasan untuk menjamin netralitas
anggota TNI/Polri, PNS dan Kepala Desa dalam pelaksanaan pilkada. 18Namun ada juga
yang berpendapat bahwa pengunduran diri dari anggota DPR, DPD dan DPRD serta
anggota TNI/Polri, PNS dan Kepala Desa serta dari jabatan pada BUMN dan BUMD
yang mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah adalah setelah benarbenar terpilih dan
ditetapkan menjadi Kepala Daerah, bukan setelah ditetapkan menjadi peserta dalam
pilkada seperti yang ditentukan dalam peraturan perundangan sekarang ini.
Disarankannya hal ini adalah agar tidak lagi ada keengganan bagi anggota DPR, DPD
dan DPRD serta anggota TNI/Polri, PNS dan Kepala Desa serta dari jabatan pada
BUMN dan BUMD untuk mencalonkan diri sebagai Calon Kepala Daerah. Turut
sertanya anggota DPR, DPD dan DPRD serta anggota TNI/Polri, PNS dan Kepala Desa
serta dari jabatan pada BUMN dan BUMD dalam pelaksaan pilkada akan dapat
memperluas pilihan calon, sehingga pilkada dapat menghasilkan/kepala daerah yang
benar-benar terbaik, kuat dan mumpuni.

16
Widodo, H. (2022). Hukum acara perselisihan hasil pilkada serentak di Mahkamah Konstitusi. Sinar
Grafika. Hlm 10
17
Widodo, H. (2022). Hukum acara perselisihan hasil pilkada serentak di Mahkamah Konstitusi. Sinar
Grafika. Hlm 66
18
Sitepu, R. (2020). ANALISIS TERHADAP SYARAT PENGUNDURAN DIRI DARI
KEDUDUKAN/JABATAN TERTENTU BAGI CALON KEPALA DAERAH. TAQNIN: Jurnal Syariah
dan Hukum, 2(1). Hlm 40-41
10
Berdasarkan hasil pengamatan awal di KPU Kabupaten Solok juga ditemukan bahwa
dalam Pendaftaran calon anggota legislatif daerah (DPRD) Kabupaten Solok terindikasi
bermasalah. Terjadi tarik ulur antara KPUD dengan beberapa partai politik peserta
pemilu yang mengajukan namanama bakal calon anggota legislatif, khususnya bakal
calon anggota DPRD Kabupaten Solok. Ada kelengkapan dokumen pendaftaran calon
yang terindikasi pemalsuan, ada nama-nama bakal calon anggota DPRD Kabupaten
Solok yang oleh KPU Kabupaten Solok dianggap belum memenuhi syarat administratif
sehingga nama-nama mereka tidak lolos verifikasi administratif19 Bagi bacaleg yang
didaftarkan oleh partai politik sesuai tingkatan nya, proses pendaftaran calon ini
memunculkan temuan kepada peneliti bahwa, banyak partai politik yang tidak siap
dalam menghadapi proses ini, hal ini dibuktikan dengan kesulitan bacaleg dalam
melengkapi bahan-bahan adminstratif yang merupakan sebagai suatu syarat pokok yang
harus dipenuhi dalam proses pendaftaran calon, seperti, ijazah yang tidak dilegalisir,
manipulasi dalam melengkapi bahan SKCK, Surat keterangan tidak pernah dipidana
penjara dari Pengadilan, tidak cukup umur dan kewajiban mengundurkan diri sebagai
kepala daerah, wakil kepala daerah, aparahrr sipil negara, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan
pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang
dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali. Oleh karena
ini perlu pengawasan terhadap partai politik dalam UU Pilkada agar tidak ada
permufakatan jahat yang berimplikasi pada runtuhnya demokrasi kitaapalagi parpol
menjadi kendaraan utama bagi seseorang untuk duduk dalam kekuasaan perwakilan 20.

Larangan Kepala Daerah atau Petahana Melakukan Pergantian.

Salah satu aspek penting dalam Pemilihan Umum (PEMILU) maupun Pemilihan
Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA) yakni rasa keadilan dalam bersaing. Keadilan
dalam berkompetisi dalam pemilu atau pemilukada rasanya akan susah di wujudkan
apabila salah satu pasangan calon merupakan pemimpin yang sedang menjabat.
Pemimpin yang sedang menjabat mempunyai banyak potensi sumber daya untuk
digunakan untuk menguntungkan dirinya dalam meraup suara dan simpati dari
masyarakat. Disisi lain calon kepala daerah akan susah bersaing karena dirinya akan
mengeluarkan sumber daya ekstra dalam mengenalkan dirinya 21. Salah satu contoh yang
bisa diliha seperti, kasus calon petahana di Pilkada serentak tahun 2018 di Makassar,
19
Darma, V., Effendi, N., & Fahmi, K. (2019). Dinamika Proses Pencalonan Anggota Dprd Kabupaten
Solok Untuk Pemilu Serentak Tahun 2019. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 6(2), Hlm
356
20
Gunawan, M. (2008). Buku pintar calon anggota & anggota legislatif, DPR, DPRD & DPD.
Visimedia. Jakarta Selatan. Hlm 9
21
Arbani, T. S., & Ishak, N. (2022). Secure And Fair Elections dari Kebijakan Calon Kepala Daerah
Petahana. Justice For Law, 1(1), Hlm 31-32
11
dimana Dannny Pumanto yang merupakan petahan maju menjadi calon walikota. Dari
segi aturan Pemilukada, adanya larangan yang tegas bagi Gubernur atau wakil
Gubernur, Bupati, atau wakil Bupati, dan walikota dan wakil Walikota dilarang
melakukan penggantian pejabat serta dilarang menggunakan kewenangan, Program, dan
atau kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik
sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan
pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih. Pada sisi ini kita
ketahui bersama tentu semua kebijakan yang diambil oleh petahana pastilah kebijakan
yang menguntungkan dirinya sejak hari dia terpilih karena calon petahana memiliki
kecendrungan masih ingin melanjutkan masa jabatannya untuk dua kali.

Pada masa orba, afiliasi politik birokrasi dan aparaturnya hanya kepada Golkar,
tetapi orde reformasi ini afiliasinya bercabang tidak pada satu kekuatan politik tertentu
seiring dengan kecerdasan dan kebutuhan politik aparaturnya. Sekarang ini aparatur
birokrasi dapat berafiliasi pada partai-partai dan kekuatan politik yang lain sesuai
kebutuhan pada situasi saat itu. Potensi kekuatan politik birokrasi ini berasal dari jumlah
aparatur birokrasi baik yang berstatus PNS maupun honorer. Jumlah aparatur yang
cukup banyak tersebut dapat memberikan dukungan politik yang cukup signifikan
dalam pemilu dan pilkada. Kekuatan politik birokrasi juga berasal dari kewenangan
yang dimiliki birokrasi dari struktur pemerintahan yang paling atas sampai struktur
paling bawah. 22Korupsi-korupsi yang selama ini terjadi, selain melibatkan aktor politik
juga aparatur birokrasi yang saling bekerja sama dalam sebuah pemufakatan
jahat.Modus lain adalah menggunakan/mendompleng pada program/anggaran birokrasi
untuk aktivitas politik seperti pemilu dan pilkada terutama untuk kegiatan sosialisasi
atau kampanye yang biasanya dilakukan oleh kelompok politik yang sedang berkuasa
(incumbent). Dengan potensi politik dan ekonomi yang dimiliki oleh birokrasi, maka
yang terjadi adalah partai politik berlomba-lomba untuk menguasai birokrasi.Misalnya,
ada isu yang sangat santer pada Pilkada Banten yang lalu bahwa ada blok/kubu di
kalangan ASN (khususnya pejabat eselon II) dalam soal dukungan.Tidak
mengherankan, setelah pilkada selesai akan terjadi mutasi aneh, ada yang melejit naik
tetapi ada juga yang terjun bebas, sehingga dapat berpengaruh pada manajemen ASN
yang jauh dari standar baik mulai dari rekrutmen, pengembangan karier, dan mutasi.

Kewenangan Calon

Petahana yang merupakan Pimpinan eksekutif di daerah nya sangat berpotensi


melakukan kecurangan yang sering di sebut dengan penyalahgunaan wewenangnya
sebagai kepala daerah (Abuse Of Power ) untuk memuluskan jalan mereka kembali
merebut kursi sebagai pimpinan eksekutif di daerahnya dengan melakukan kampanye
terselubung dan memberikan tekanan terhadap Aparatur Sipil Negara di lingkungan

22
Habibi, F. Buku: Negara Darurat Etika; Esai-Esai tentang Pelanggaran Etika di Ranah Publik Halaman:
102-119 Penerbit: PS2PM FISIP UNSERA bekerjasama dengan SeraBook, 2018. Hlm 9
12
pemerintahan yang mereka pimpin. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 sudah
memberikan jalan keluar sebagai antisipasi atau pencegahan terhadap kemungkinan
penyalahgunaan wewenang (Abuse Of Power ) namun masih ada celah dimana calon
petahana hanya di wajibkan cuti sebagai kepala daerah pada saat menjadi calon yang
telah di tetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum tidak seperti anggota legislatif yang di
wajibkan mundur apabila menjadi calon kepala daerah, dan pengaturan cuti ini juga
hanya berlaku bagi petahana apabila telah di tetapkan menjadi calon peserta Pilkada hal
ini memungkin terjadinya penyalahgunaan wewenang (Abuse Of Power) pada saat
petahana telah menjadi Bakal Calon Peilihan Umum Kepala Daerah. Guna mencegah
abuse of power (penyalahgunaan wewenang) oleh calon kepala daerah petahana, maka
peran pengawasan penyelenggaraaan pemilihan kepala daerah harus diperkuat.Jika
pengawasan diperkuat melalui Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) maupun Panwaslu
(Panitia Pengawas Pemilu).penyalahgunaan wewenang secara teknis sebenarnya
diawasi oleh Bawaslu dan Panwaslu. Hal ini sudah ditegaskan dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (UU PPU). Pasal 1
angka 16 UU PPU menyebutkan bahwa Bawaslu adalah lembaga penyelenggara
pemilihan umum yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di
seluruh Indonesia. Secara ketatanegaraan, penyalahgunaan kekuasaan petahana saat
kampanye bisa dicegah dan diantisipasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan
upaya penyelesaian sengketa pilkada, persoalan penyalahgunaan kekuasaan juga
menjadi pertimbangan hakim konstitusi dalam memutuskan perkara sengketa pilkada. 23

2. Netralitas ASN, TNI-POLRI dalam pelaksanaan pilkada.

Berdasarkan data yang dihimpun Bawaslu hingga 16 November 2020 terdapat 1.038
pelanggaran netralitas ASN yang terdiri dari 934 merupakan temuan Bawaslu
sedangkan 104 laporan masyarakat. Dari data tersebut KASN telah mengeluarkan
rekomendasi 938 kasus, 5 kasus telah diproses, dan 95 kasus dinyatakan bukan
pelanggaran. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran netralitas ASN, diantaranya
memengaruhi warga dengan politik uang untuk memilih paslon tertentu,
melarang/menghalangi pemasangan alat peraga kampanye paslon tertentu. Lalu ada pula
penggunaan fasilitas dan anggaran negara, memengaruhi perangkat desa untuk berpihak
kepada paslon tertentu, menyalahgunakan kewenangan dalam merencanakan program
dan distribusi bantuan sosial. Selain itu ada pelanggaran dengan cara terlibat dalam
kampanye, terlibat sebagai tim kampanye atau tim sukses paslon, membuat kebijakan
dalam bentuk Surat Keputusan, dan menggerakkan struktur birokrasi/memengaruhi/
mengintimidasi para pegawai bawahan di jajaran. 24 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

23
Anugrah, F. N. (2019). Penyalahgunaan Wewenang (Abuse Of Power) Calon Petahana
Terhadap Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 Tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah. WASAKA HUKUM, 7(1), Hlm 280-281

24
Sari, D. M. (2021). Regulasi Netralitas Aparatur Sipil Negara Pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun
2020. Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 5(02), Hlm 270-271 13
2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dapat dimaknai bahwa
pencalonan kepala daerah dari unsur TNI dan Polri boleh dan tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Pilkada sepanjang yang bersangkutan mengundurkan diri dari
statusnya sebagai anggota TNI atau Polri. Inilah kemudian yang menjadi bias, antara
Undang-undang TNI dan Undang-Undang Polri dan Undang-Undang Pilkada.
Sehingga, meski telah mengundurkan diri, anggota TNI dan Polri aktif yang ingin
mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah seharusnya terlebih dahulu menunggu
selama jeda minimal dua tahun, untuk menjamin netralitas serta menjaga marwah
institusi TNI dan Polri. 25

25
Soedarsono, T. (2010). Netralitas Polri Dalam Pesta Demokrasi Pemilu Perspektif Pendidikan
Kewarganegaraan. Millah: Jurnal Studi Agama, Hlm 268
14
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan beberapa poin-poin yang telah dipaparkan dalam pasal 71 UU Pilkada


dapat disimpulkan bahwa apa yang diatur tidak sesuai ekpektasi di lapangan kareena
masalah saja dijumpai berbagai masalah yang bertentangan dengan pasal 71 sehingga
perlu diberikan perhatian khusus berupa pengawasan terhadap pasal tersebut, perlu juga
ditekankan netralitas TNI-Polri beserta ASN dalam pelaksanaan pilkada di daerah ahar
berjalan demokratis tanpa ada penyimpangan sama sekali yang berpotensi dilakukan
olehcalon kepala daerah apalagi yang berasak dari petahana apalagi banyak yang
melakukan kampanye dengan menggunakan fasilitas dari APBN dan APBD dimana
masalah tersebut masih sering dijumpai.

Saran

Perlu diperkuat fungsi pengawasan dari berbagai daerah tentunya ini bukan hanya
tugas panwascam atau banwaslu tapi tugas kita juga sebagai warga negara yang
mempunyai hak politik untuk mengawal suara kita agar tidak dimanipulasi oleh orang-
orang yang tidak bertanggung jawab

15
DAFTAR PUSTAKA

AMBOK TUO, A. T. (2021). ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP SANKSI


PIDANA KEPALA DAERAH YANG MELAKUKAN PELANGGARAN PASAL 71
UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR
DAN WAKIL GUBERNUR PADA PILKADA SERENTAK TAHUN 2020 DI SUNGAI
PENUH (Doctoral dissertation, Universitas Batanghari). Hlm 58-59

Das,ad Latif. 2018. Pilkada Nikmat atau Bencana. 2018. PT . Elex Media Komputindo.
Jakarta.Hlm 85

Suatan, A. I. P. (2022). SANKSI POLITISASI BANTUAN SOSIAL PEMILIHAN


KEPALA DAERAH MENURUT PASAL 71 DAN PASAL 73 UNDANG-UNDANG
NOMOR 10 TAHUN 2016. LEX CRIMEN, 10(12). Hal 116

Amirullah, A. Z. (2020). Tindak Pidana Pemilihan Umum Kepala Daerah Yang


Dilakukan Oleh Aparatur Sipil Negara (ASN)(Studi Kasus Putusan Nomor 147/Pid.
Sus/2018/PN. Sdr) (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin). Hlm 50

Johannes, A. W. (2020). PILKADA: Mencari Pemimpin Daerah. Cendikia Press.Hlm


21

Haboddin, M. (2017). Ketika mahasiswa bicara pilkada. Universitas Brawijaya Press.


Malang. Hlm 5

Helmi, H. H., & Erliyana, A. (2019). Kontruksi Hukum Diskualifikasi Calon Petahana
Pada Pemilihan Kepala Daerah. Pakuan Law Review,. Hlm 148-149

Tomo, W. G., & Natsif, F. A. (2021). Analisis Putusan Terhadap Pembatalan


Pencalonan Walikota dan Wakil Walikota Makassar Tahun 2018. Alauddin Law
Development Journal, 3(2), Hlm 372

MAWARDI, I. (2018). PENGUJIAN ADMINISTRASI TERHADAP PROSES


DISKUALIFIKASI PETAHANA DALAM PENCALONAN PEMILIHAN KEPALA
DAERAH/ADMINISTRATION EXAMINATION ON THE PROCESS OF
DISQUALIFICATION OF INCUMBENT IN THE REGISTRATION OF LOCAL
ELECTIONS. Jurnal Hukum Peratun, 1(2), Hlm 372

Muhammad Aqil Irham. 2016. Demokrasi Muka Dua: Membaca Ulang Pilkada di
Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta Hlm 71

Mukhtar Sarman. 2015. Pilkada Serentak: Quo Vadis Kedaulatan Rakyat. PT. LKiS
Printing Cemerlang. Yogjakarta. Hlm 27

16
Tony Yuri Rahmanto, S.H., M.H. Penny Naluria Utami, S.Sos, M.H. Harison Citrawan,
S.H., LL.M DR. Hidayat. 2016. PERAN ELIT POLITIK DAN PARTAI POLITIK
DALAM MENCEGAH KONFLIK DI PILKADA. Percetakan Pohon Cahaya. Hlm
126-128

Sitepu, R. (2020). ANALISIS TERHADAP SYARAT PENGUNDURAN DIRI DARI


KEDUDUKAN/JABATAN TERTENTU BAGI CALON KEPALA
DAERAH. TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum, 2(1). Hlm 40-41

Fadhilah, N. C. (2019). Larangan Pegawai Negeri Sipil untuk Mencalonkan Diri dalam
Pemilu dan Pemilukada: Studi Analisis Siyasah Dusturiyah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014 (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel
Surabaya). Hlm 30-32

Widodo, H. (2022). Hukum acara perselisihan hasil pilkada serentak di Mahkamah


Konstitusi. Sinar Grafika. Hlm 10

Widodo, H. (2022). Hukum acara perselisihan hasil pilkada serentak di Mahkamah


Konstitusi. Sinar Grafika. Hlm 66

Sitepu, R. (2020). ANALISIS TERHADAP SYARAT PENGUNDURAN DIRI DARI


KEDUDUKAN/JABATAN TERTENTU BAGI CALON KEPALA
DAERAH. TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum, 2(1). Hlm 40-41

Darma, V., Effendi, N., & Fahmi, K. (2019). Dinamika Proses Pencalonan Anggota
Dprd Kabupaten Solok Untuk Pemilu Serentak Tahun 2019. NUSANTARA: Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial, 6(2), Hlm 356

Gunawan, M. (2008). Buku pintar calon anggota & anggota legislatif, DPR, DPRD &
DPD. Visimedia. Jakarta Selatan. Hlm 9

Arbani, T. S., & Ishak, N. (2022). Secure And Fair Elections dari Kebijakan Calon
Kepala Daerah Petahana. Justice For Law, 1(1), Hlm 31-32

Habibi, F. Buku: Negara Darurat Etika; Esai-Esai tentang Pelanggaran Etika di Ranah
Publik Halaman: 102-119 Penerbit: PS2PM FISIP UNSERA bekerjasama dengan
SeraBook, 2018. Hlm 9

Anugrah, F. N. (2019). Penyalahgunaan Wewenang (Abuse Of Power) Calon Petahana


Terhadap Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah. WASAKA HUKUM, 7(1),
Hlm 280-281

17
Sari, D. M. (2021). Regulasi Netralitas Aparatur Sipil Negara Pada Pemilihan Kepala
Daerah Tahun 2020. Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 5(02), Hlm 270-271

Soedarsono, T. (2010). Netralitas Polri Dalam Pesta Demokrasi Pemilu Perspektif


Pendidikan Kewarganegaraan. Millah: Jurnal Studi Agama, Hlm 268

18

Anda mungkin juga menyukai