Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 48/PUU-XVII/2019

TERKAIT PELIBATAN BAWASLU KABUPATEN/KOTA DALAM HAL


PENGAWASAN PILKADA (PEMILIHAN KEPALA DAERAH) 2020

Istilah Pemilihan Kepala Daerah 2020 (Pilkada 2020) dalam Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (UU Pilkada) menggunakan istilah “pemilihan”. Istilah Pemilihan dalam UU
Pilkada merupakan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pemilihan adalah
pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur,
Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis.1 Disebut demokratis apabila
mekanisme pemilihan kepala daerahnya memenuhi parameter adanya rotasi kekuasaan,
rekrutmen secara terbuka, dan akuntabilitas publik.2
Untuk mewujudkan amanah tersebut di atas, yang juga sesuai dengan ketentuan
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945), maka diperlukan satu lembaga pengawas pemilihan, yaitu Bawaslu. Bawaslu
merupakan singkatan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum. Yaitu lembaga
penyelenggara pemilihan umum yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan
umum di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bawaslu sebagai bagian dari lembaga penyelenggara pemilihan umum
(penyelenggara pemilu) di Indonesia, tunduk pada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara
Pemilu). Namun, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (UU Pemilu), maka UU Penyelenggara Pemilu tersebut dicabut dan
dikodifikasikan dalam satu undang-undang yang secara substansi mengatur tentang
kelembagaan penyelenggara Pemilu dan mekanisme mekanisme Pemilu.
Namun, ada perbedaan kelembagaan dan kewenangan Bawaslu di tingkat
kabupaten/kota dalam UU Pilkada dan UU Pemilu, sehingga dalam konteks Pilkada,
menimbulkan ketidakpastian sistem kelembagaan penyelenggara Pilkada yang berimbas
pada kewenangannya.
Lembaga pengawas penyelenggaraan pemilihan dalam UU Pilkada, terdiri dari
Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS.
Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, dan Panwas Kecamatan masing-masing
1
Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).

2
Syaukani, Affan Gaffar, M. Ryass Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Kerjasama Pusataka
Pelajar dan Pusat Kajian Etika Politik dan Pemerintahan, Yogyakarta, 2002, h. 12-13.
beranggotakan 3 (tiga) orang. PPL berjumlah 1 (satu) orang setiap desa atau sebutan
lain/kelurahan. Pengawas TPS berjumlah 1 (satu) orang setiap TPS. Panwas
Kabupaten/Kota dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan persiapan
penyelenggaraan Pemilihan dimulai dan dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan setelah
seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan selesai (ad hoc).
Lembaga pengawas penyelenggaraan pemilihan dalam UU Pemilu terdiri atas
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu
Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan
Bawaslu Kabupaten/ Kota bersifat tetap. Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa,
Panwaslu LN, dan Pengawas TPS, sebegai'nana dimaksud pada ayat (1) bersifat ad hoc.
Jumlah anggota Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang, Bawaslu Provinsi sebanyak 5 (lima)
atau 7 (tujuh) orang, Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang, dan
Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang.

Norma Konstitusi:
Pandangan hukum berdasarkan asas lex specialist derogat legi general (hukum yang
khusus lebih diutamakan daripada hukum yang umum) dan asas lex posteriori derogat legi
priori (peraturan yang baru didahulukan daripada peraturan yang lama) 3 memberikan
pemahaman bahwa ada ketidakharmonisan substansi4 perihal kelembagaan lembaga
pengawas pemilihan/pemilihan umum di tingkat kabupaten/kota dalam UU Pilkada dan UU
Pemilu. Berdasarkan ketentuan UU Pemilu, komposisi keanggotaan Bawaslu Provinsi dan
Bawaslu Kabupaten/Kota berjumlah 5 orang dengan kewenangannya yang terbagi dibagi
ke dalam 5 (lima) divisi, yakni divisi organisasi dan sumber daya manusia, divisi
pengawasan dan hubungan antar lembaga, divisi hukum dan informasi, divisi penindakan
pelanggaran, dan divisi sengketa. Sedangkan, berdasarkan UU Pilkada, lembaga pengawas
pemilihan dan/atau pemilihan umum di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (Bawaslu
Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota) hanya berjumlah 3 (tiga) orang.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVII/2019 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah

3
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, h. 98-99.

4
Wahiduddin Adams, “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, dalam
Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2012, h. 137-142.
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVII/2019 tentang
Pengujian UU Pilkada terhadap UUD NRI 1945), nomenklatur Panwas Kabupaten/Kota
dalam UU Pilkada harus dipahami pula sebagai Bawaslu Kabupaten/Kota dalam UU
Pemilu.

Kepentingan Hukum Dalam Norma Beserta Korelasi Terhadap Norma Hukum:


Sifat kelembagaannya di tingkat kabupaten/kota menjadi permanen, bukan lagi
tidak tetap (ad hoc). Hal tersebut sesuai amanah konstitusi yang mengamanatkan bahwa
penyelenggara Pemilu bersifat tetap, bukan ad hoc. Artinya, tidak perlu membentuk
lembaga pengawasan pemilihan (Panwas) Kabupaten/Kota di luar kelembagaan Bawaslu
Kabupaten/Kota. Jumlah anggotanya, di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, mengacu
pada UU Pemilu, bukan UU Pilkada. Sebagai misal di Jawa Timur, jumlah anggota
Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota dalam Pilkada bukanlah 3 (tiga),
melainkan berjumlah 7 (tujuh) untuk Bawaslu Provinsi, dan berjumlah 5 (lima) untuk
Panwas Kabupaten/Kota Blitar.18 Kewenangan membentuk dan menetapkan Panwas
Kabupaten/Kota, bukan menjadi kewenangan Bawaslu Provinsi, melainkan menjadi
kewenangan Bawaslu (Pusat), seperti halnya pada penyelenggaraan Pemilu. Hal tersebut
memberikan gambaran terhadap penyelenggaraan pemilu dapat mengacu pada hukum yang
terlah diatur diatasnya dan memberikan kepastian hukum dan tidak menimbulkan
malfungsi dan maltafsir.

Argumentasi Konstitusional:
Pelibatan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) Kabupaten/Kota dalam Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di tahun 2020 memunculkan sejumlah
problematika. Hal ini dikarenakan dalam pengaturan Pilkada yang diatur oleh UU No. 1
Tahun 2015 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 10 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang menyebutkan bahwa
pengawasan Pilkada untuk ditingkatan kabupaten/kota dilaksanakan oleh Panwas (Panitia
Pengawas Pemilihan) Kabupaten/Kota. Kedua penyelenggara ini memang berbeda
bilamana dilihat dari sisi masing-masing undang-undangnya. Perbedaan ini muncul karena
dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No. 7 Tahun 2017) untuk
tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh Bawaslu Kabupaten/Kota bukan Panwas
Kabupaten/Kota. Banyak pihak termasuk dalam hal ini Bawaslu Republik Indonesia sendiri
(bawaslu.go.id) merasa pelibatan Bawaslu Kabupaten/Kota telah selesai ketika Mahkamah
Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019 yang terbit pada
tanggal 29 Januari 2020, namun demikian apakah problematika pelibatan Bawaslu
Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020 telah terselesaikan sesuai dengan norma?
Amar Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 sebagaimana terlampir adalah sebagai
berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan frasa “Panwas Kabupaten/Kota” dalam Pasal 1 angka 17; Pasal 1
angka 18; Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1); Pasal 22A ayat (3); Pasal
22B huruf e; Pasal 22B huruf f; Pasal 22B huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal
22D; Pasal 23 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25 ayat (2);
Pasal 30; Pasal 32; Pasal 34 huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82
ayat (5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105 ayat (1); Pasal 105 ayat (7);
Pasal 110 ayat (1); Pasal 110 ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119 ayat (2);
Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5); Pasal 134 ayat (6); Pasal 135 ayat (2);
Pasal 141; Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144 ayat (3); Pasal 146
ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal 152 ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154
ayat (1); Pasal 154 ayat (2); Pasal 193 ayat (1); Pasal 193 ayat (2); Pasal 193B
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Bawaslu
Kabupaten/Kota”;
3. Menyatakan frasa “masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang” dalam Pasal
23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sama dengan jumlah
anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109);
4. Menyatakan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5898), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Dengan adanya Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 ini, pelibatan Bawaslu
Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020 menjadi lebih berdasar setelah sebelumnya pelibatan
Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020 hanya didasarkan pada peraturan kebijakan
(beleidsregel) berupa surat edaran, yakni Surat Edaran Nomor
0410/K.Bawaslu/HK.05/XI/2019 tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Pengawasan
Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati,
Serta Walikota Dan Wakil Walikota Tahun 2020.
Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh para pemohon atas nama
Surya Efitrimen (Ketua Bawaslu Provinsi Sumatera Barat), Nursari (Ketua Bawaslu Kota
Makassar), dan Sulung Muna Rimbawan (Anggota Bawaslu Kabupaten Ponorogo) bisa
dianggap sebagai solusi praktis untuk saat ini mengingat sifat putusan MK sendiri yang
seketika berlaku sesuai Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Jika kita mencermati secara seksama, sejatinya Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 dapat
diketahui bahwa hanya menyelesaikan untuk 3 (tiga) hal saja yakni: nomenklatur
(penyebutan) Panwas Kabupaten/Kota menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota, jumlah
pengawas ditingkatan Kabupaten/Kota yang disesuaikan dengan UU No. 7 Tahun 2017 ,
dan status pengawas yang semula bersifat ad hoc (sementara) menjadi bersifat
permanen/tetap sebagaimana UU No. 7 Tahun 2017. Namun demikian, bagaimana dengan
hal yang lebih penting yakni terkait dengan tugas, wewenang, ataupun kewajiban Bawaslu
Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020 ini, apakah sama seperti halnya dalam Pemilihan
Umum (Pemilu) atau tidak. Bahwa di luar permasalahan norma yang mengatur kedudukan
kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota yang telah dipermanenkan dalam UU No. 7 Tahun
2017, terdapat pula pertentangan norma antara UU Pilkada dengan UU7/2017 berkaitan
jumlah keanggotaan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.

Analisis Putusan Hakim:


Sebagaimana kita ketahui berdasarkan Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 terkait
persoalan nomenklatur, jumlah, dan status dari pengawas Pilkada ditingkatan
Kabupaten/Kota telah terselesaikan. Putusan ini memang menyelesaikan persoalan utama
untuk sementara, yakni terkait dengan keraguan daerah dalam hal pencairan Naskah
Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Hal ini dikarenakan bilamana menggunakan Panwas
Kabupaten/Kota untuk pengawasan Pilkada 2020 maka perlu dilakukan perekrutan baru
pengawas yang membutuhkan anggaran yang jumlahnya tidak sedikit. Perekrutan Panwas
Kabupaten/Kota untuk Pilkada 2020 memang bisa dianggap kontraproduktif jika dilihat
dari sisi ketika untuk kebutuhan Pemilu 2019 yang lalu telah dibentuk Bawaslu
Kabupaten/Kota yang bersifat permanen dengan masa kerja 5 (lima) tahun. Kondisi ini
menjadi semakin rumit karena tahapan Pilkada sudah berjalan dengan puncaknya
pemungutan suara pada tanggal 23 September 2020, namun hingga kini belum ada revisi
terbaru dari UU No. 1 Tahun 2015, baik dalam UU Pilkada yang baru maupun dalam
bentuk revisi ketiga UU No. 1 Tahun 2015 untuk mengharmoniskan pengaturan Pilkada
dengan pengaturan Pemilu. Kepastian hukum bagi Bawaslu sangat penting karena Bawaslu
akan melakukan fungsi penegakan hukum, fungsi pengawasan, sehingga pertanyaan
mengenai kepastian hukum itu menjadi dasar dan memiliki peran yang signifikan
Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 tidak menyelesaikan masalah yang teramat
penting terkait dengan tugas, wewenang, ataupun kewajiban. Hal ini dikarenakan tugas,
wewenang, ataupun kewajiban Panwas Kabupaten/Kota dalam UU No. 1 Tahun 2015 dan
perubahan-perubahannya berbeda dengan tugas, wewenang, ataupun kewajiban Bawaslu
Kabupaten/Kota dalam UU No. 7 Tahun 2017. Perbedaan ini muncul karena memang
kelembagaan penyelenggara Pemilu termasuk didalamnya Bawaslu Republik Indonesia
beserta jajarannya (termasuk pengawas ditingkatan Kabupaten/Kota) mendapatkan
sejumlah penguatan guna menghadapi penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019.
Dalam UU No. 7 Tahun 2017, pengawas Kabupaten/Kota statusnya menjadi
permanen dari sebelumnya hanya bersifat sementara (pengawas Pemilu yang permanen
selama ini hanya ada ditingkat pusat dan provinsi). Jumlah pengawas pun mengalami
perubahan menjadi lebih banyak dari sebelumnya yang umumnya hanya berjumlah 3 (tiga)
orang saja. Namun bukan hanya itu saja yang diperkuat, terkait dengan tugas, wewenang,
ataupun kewajiban, lembaga pengawas pun diperkuat, dengan demikian nomenklatur dari
pengawas kabupaten/kota yang biasanya bernama Panwas Kabupaten/Kota berubah
menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota.
Penguatan kelembagaan pengawas ini pun tercermin dalam hal perekrutannya, oleh
karena itu terdapat perbedaan antara syarat merekrut Bawaslu Kabupaten/Kota bilamana
dibandingkan dengan syarat merekrut Panwas Kabupaten/Kota. Karena lebih berat dan
lebih selektif dalam merekrut pengawas yang bersifat permanen akibatnya lembaga
tersebut diperkuat.
Solusi yang terbaik jika ingin menyelesaikan problematika yang muncul dari
perbedaan pengawas di versi Pilkada dan versi Pemilu, adalah melalui revisi UU Pilkada.
Revisi ini penting karena ketika MK memutuskan sebagaimana tertuang dalam Putusan
MK No. 48/PUU-XVII/2019, secara tidak langsung menimbulkan benturan pemahaman.
Bagaimana mungkin Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 mengaitkan UU No. 7 Tahun
2017 yang mengatur mengenai Pemilu kedalam pengaturan Pilkada. Padahal Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 secara tegas MK menyatakan bahwa Pilkada
bukanlah rezim Pemilu. Pemisahan rezim tersebutlah yang kemudian menjadi pijakan bagi
pembentuk undang-undang yang pada akhirnya menerbitkan undang-undang yang berbeda.
Ketika MK mengeluarkan Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019, maka kemudian
pertanyaanya apakah Pilkada kembali dianggap sebagai rezim Pemilu? Karena hal ini akan
menimbulkan banyak perdebatan akibat landasan Pilkada hanyalah Pasal 18 ayat (4) UUD
NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 ini memang bagi Bawaslu RI beserta
jajarannya dapat diibaratkan seperti “oase di tengah padang pasir”, namun banyak hal
yang tidak selesai dengan hanya terbitnya Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019. Sejumlah
masalah yang ada terkait dengan pelibatan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pilkada hanya
dapat diselesaikan melalui revisi ketiga UU No. 1 Tahun 2015, apalagi Pilkada 2020 ini
merupakan Pilkada serentak terakhir yang dilakukan secara bertahap sebelum pelaksanaan
Pilkada serentak nasional di bulan November tahun 2024 sebagaimana amanat Pasal 201
ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016. Terkait dengan Pilkada serentak nasional 2024 juga, kita
masih memiliki 1 (satu) kewajiban besar yang juga sangat penting untuk segera
diwujudkan, yakni membentuk badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan Pilkada
serentak nasional 2024, hal ini sesuai dengan pengaturan Pasal 157 ayat (2) UU No. 10
Tahun 2016.
Urgensi penting lainnya yang menjadi alasan perlunya segera terwujudnya revisi
ketiga UU No. 1 Tahun 2015 yang selaras dengan pengaturan Pasal 10 UU No. 12 Tahun
2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dimana
salah satu materi muatan dari undang-undang adalah tindak lanjut dari Putusan MK.
Pengaturan ini sesuai dengan sistem hukum yang kita anut yakni civil law, dimana
peraturan perundang-undangan menjadi yang utama daripada putusan pengadilan. Bahkan
jikalau dihitung-hitung, sejak diundangkannya UU No. 10 Tahun 2016, terdapat 6 (enam)
Putusan MK yang dikabulkan, yakni Putusan MK No. 54/PUU-XIV/2016, Putusan MK
Nomor 71/PUU-XIV/2016, Putusan MK Nomor 92/PUU-XIV/2016, Putusan MK Nomor
56/PUU-XVII/2019 , Putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019, dan Putusan MK Nomor
135/PUU-XIII/2015. Dengan demikian, begitu penting segera dibentuk revisi ketiga UU
No. 1 Tahun 2015, apalagi kebutuhannya untuk Pilkada 2020.
Banyak isu lainnya dalam Pilkada yang juga perlu dijawab dan hanya dapat
terjawab dengan revisi undang-undang. Seperti misalnya ketika ingin menerapkan
penghitungan elektronik untuk menghitung suara dalam Pilkada (e-rekap) agar tidak
terulang kembali banyaknya korban dalam penghitungan suara di Pemilu 2019 yang lalu.
Ataupun misalnya terkait dengan penggunaan surat keterangan pengganti KTP yang
mengacu ke Pasal 200A ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 dan hanya berlaku sampai dengan
bulan Desember 2018. Lalu ketika norma ini masih hidup, bagaimana mungkin
memberlakukan surat keterangan pengganti KTP untuk Pilkada di tahun 2020. Sejumlah
persoalan hukum tersebut jelas merupakan “bom waktu” yang suatu saat nanti akan
menjadi masalah dan ketika beragam persoalan itu muncul, jelas orang mengadu kepada
Bawaslu RI beserta jajarannya. Namun demikian, hal tersebut kembali kepada “political
will” dari DPR dan Pemerintah walaupun revisi ketiga UU No. 1 Tahun 2015 masuk dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020-2024.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.
Syaukani, Affan Gaffar, M. Ryass Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan,
Kerjasama Pusataka Pelajar dan Pusat Kajian Etika Politik dan Pemerintahan,
Yogyakarta, 2002.

Wahiduddin Adams, “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, dalam


Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta:
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019


tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

Anda mungkin juga menyukai