2
Syaukani, Affan Gaffar, M. Ryass Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Kerjasama Pusataka
Pelajar dan Pusat Kajian Etika Politik dan Pemerintahan, Yogyakarta, 2002, h. 12-13.
beranggotakan 3 (tiga) orang. PPL berjumlah 1 (satu) orang setiap desa atau sebutan
lain/kelurahan. Pengawas TPS berjumlah 1 (satu) orang setiap TPS. Panwas
Kabupaten/Kota dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan persiapan
penyelenggaraan Pemilihan dimulai dan dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan setelah
seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan selesai (ad hoc).
Lembaga pengawas penyelenggaraan pemilihan dalam UU Pemilu terdiri atas
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu
Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan
Bawaslu Kabupaten/ Kota bersifat tetap. Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa,
Panwaslu LN, dan Pengawas TPS, sebegai'nana dimaksud pada ayat (1) bersifat ad hoc.
Jumlah anggota Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang, Bawaslu Provinsi sebanyak 5 (lima)
atau 7 (tujuh) orang, Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang, dan
Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang.
Norma Konstitusi:
Pandangan hukum berdasarkan asas lex specialist derogat legi general (hukum yang
khusus lebih diutamakan daripada hukum yang umum) dan asas lex posteriori derogat legi
priori (peraturan yang baru didahulukan daripada peraturan yang lama) 3 memberikan
pemahaman bahwa ada ketidakharmonisan substansi4 perihal kelembagaan lembaga
pengawas pemilihan/pemilihan umum di tingkat kabupaten/kota dalam UU Pilkada dan UU
Pemilu. Berdasarkan ketentuan UU Pemilu, komposisi keanggotaan Bawaslu Provinsi dan
Bawaslu Kabupaten/Kota berjumlah 5 orang dengan kewenangannya yang terbagi dibagi
ke dalam 5 (lima) divisi, yakni divisi organisasi dan sumber daya manusia, divisi
pengawasan dan hubungan antar lembaga, divisi hukum dan informasi, divisi penindakan
pelanggaran, dan divisi sengketa. Sedangkan, berdasarkan UU Pilkada, lembaga pengawas
pemilihan dan/atau pemilihan umum di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (Bawaslu
Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota) hanya berjumlah 3 (tiga) orang.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVII/2019 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah
3
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, h. 98-99.
4
Wahiduddin Adams, “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, dalam
Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2012, h. 137-142.
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVII/2019 tentang
Pengujian UU Pilkada terhadap UUD NRI 1945), nomenklatur Panwas Kabupaten/Kota
dalam UU Pilkada harus dipahami pula sebagai Bawaslu Kabupaten/Kota dalam UU
Pemilu.
Argumentasi Konstitusional:
Pelibatan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) Kabupaten/Kota dalam Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di tahun 2020 memunculkan sejumlah
problematika. Hal ini dikarenakan dalam pengaturan Pilkada yang diatur oleh UU No. 1
Tahun 2015 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 10 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang menyebutkan bahwa
pengawasan Pilkada untuk ditingkatan kabupaten/kota dilaksanakan oleh Panwas (Panitia
Pengawas Pemilihan) Kabupaten/Kota. Kedua penyelenggara ini memang berbeda
bilamana dilihat dari sisi masing-masing undang-undangnya. Perbedaan ini muncul karena
dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No. 7 Tahun 2017) untuk
tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh Bawaslu Kabupaten/Kota bukan Panwas
Kabupaten/Kota. Banyak pihak termasuk dalam hal ini Bawaslu Republik Indonesia sendiri
(bawaslu.go.id) merasa pelibatan Bawaslu Kabupaten/Kota telah selesai ketika Mahkamah
Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019 yang terbit pada
tanggal 29 Januari 2020, namun demikian apakah problematika pelibatan Bawaslu
Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020 telah terselesaikan sesuai dengan norma?
Amar Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 sebagaimana terlampir adalah sebagai
berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan frasa “Panwas Kabupaten/Kota” dalam Pasal 1 angka 17; Pasal 1
angka 18; Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1); Pasal 22A ayat (3); Pasal
22B huruf e; Pasal 22B huruf f; Pasal 22B huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal
22D; Pasal 23 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25 ayat (2);
Pasal 30; Pasal 32; Pasal 34 huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82
ayat (5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105 ayat (1); Pasal 105 ayat (7);
Pasal 110 ayat (1); Pasal 110 ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119 ayat (2);
Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5); Pasal 134 ayat (6); Pasal 135 ayat (2);
Pasal 141; Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144 ayat (3); Pasal 146
ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal 152 ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154
ayat (1); Pasal 154 ayat (2); Pasal 193 ayat (1); Pasal 193 ayat (2); Pasal 193B
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Bawaslu
Kabupaten/Kota”;
3. Menyatakan frasa “masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang” dalam Pasal
23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sama dengan jumlah
anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109);
4. Menyatakan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5898), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Dengan adanya Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 ini, pelibatan Bawaslu
Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020 menjadi lebih berdasar setelah sebelumnya pelibatan
Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020 hanya didasarkan pada peraturan kebijakan
(beleidsregel) berupa surat edaran, yakni Surat Edaran Nomor
0410/K.Bawaslu/HK.05/XI/2019 tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Pengawasan
Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati,
Serta Walikota Dan Wakil Walikota Tahun 2020.
Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh para pemohon atas nama
Surya Efitrimen (Ketua Bawaslu Provinsi Sumatera Barat), Nursari (Ketua Bawaslu Kota
Makassar), dan Sulung Muna Rimbawan (Anggota Bawaslu Kabupaten Ponorogo) bisa
dianggap sebagai solusi praktis untuk saat ini mengingat sifat putusan MK sendiri yang
seketika berlaku sesuai Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Jika kita mencermati secara seksama, sejatinya Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 dapat
diketahui bahwa hanya menyelesaikan untuk 3 (tiga) hal saja yakni: nomenklatur
(penyebutan) Panwas Kabupaten/Kota menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota, jumlah
pengawas ditingkatan Kabupaten/Kota yang disesuaikan dengan UU No. 7 Tahun 2017 ,
dan status pengawas yang semula bersifat ad hoc (sementara) menjadi bersifat
permanen/tetap sebagaimana UU No. 7 Tahun 2017. Namun demikian, bagaimana dengan
hal yang lebih penting yakni terkait dengan tugas, wewenang, ataupun kewajiban Bawaslu
Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020 ini, apakah sama seperti halnya dalam Pemilihan
Umum (Pemilu) atau tidak. Bahwa di luar permasalahan norma yang mengatur kedudukan
kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota yang telah dipermanenkan dalam UU No. 7 Tahun
2017, terdapat pula pertentangan norma antara UU Pilkada dengan UU7/2017 berkaitan
jumlah keanggotaan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.
Buku:
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.
Syaukani, Affan Gaffar, M. Ryass Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan,
Kerjasama Pusataka Pelajar dan Pusat Kajian Etika Politik dan Pemerintahan,
Yogyakarta, 2002.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota.