Anda di halaman 1dari 4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Problematika Penjabat dalam Mengisi Kekosongan Kepala Daerah Akibat Pilkada


Serentak

Sedikitnya ada 3 (tiga) problem penjabat dalam mengisi kekosongan kepala daerah imbas
pilkada serentak nasional. Problem pertama, ketidaksesuaian aturan akan pengisian jabatan
kepala daerah apabila terjadi kekosongan jabatan. Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Pasal 201
ayat 9 menyatakan bahwa Penjabat akan mengisi kekosongan jabatan kepala daerah.
Diperkirakan akan ada 20 bulan rentang masa jabatan kepala daerah yang kosong imbas akan
dilaksanakannya Pilkada Serentak Nasional tahun 2024.1 Ketidakpastian sebab mekanisme
pengisian kekosongan jabatan Kepala Daerah oleh Penjabat imbas pilkada serentak nasional
secara tidak langsung tidak selaras dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Pasal 176 yang
menyatakan bahwa seyogyanya pengisian kekosongan jabatan kepala daerah apabila masih
memiliki masa waktu lebih dari 18 bulan maka harus dipilih DPRD.2

Selain itu, pengangkatan kepala daerah yang diangkat dari Pejabat ASN untuk
menggantikan kepala daerah yang telah usai masa jabatannya tidak mencitrakan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) yaitu, kepastian hukum, kemanfaatan,
ketidakberpihakan atau tidak diskriminatif, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan,
keterbukaan, kepentingan umum serta pelayanan yang baik. Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang No.
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa Pejabat Pemerintahan
(Pejabat yang akan mengangkat Penjabat untuk mengisi kekosongan Kepala Daerah) hendaknya
berasaskan pada asas kepastian hukum.3 Asas ini salah satunya mengutamakan keajegan. Artinya
dalam hal pengaturan pengisian kekosongan jabatan Kepala Daerah pun seyogyanya haruslah
ajeg tidak saling bertentangan atau tidak sinkron.

1
Pasal 201 ayat 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang  Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
2
Pasal 176 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang  Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
3
Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Problem yang kedua, yaitu permasalahan legitimisai penjabat serta pengisian kekosongan
kepala daerah yang terlalu lama. Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional pada tahun
2024 mendatang menyebabkan adanya penjabat yang mengisi jabatan Gubernur dan Bupati atau
Walikota. Akan ada 101 kepala daerah yang masa jabatannya usai pada tahun 2022 yang
terdiri atas 7 gubernur, 18 wali kota, serta 76 bupati. 4 Sehingga, penjabat kepala daerah yang
nantinya akan mengisi kekosongan ini akan memangku sekurang-kurangnya 20 bulan
sebagaimana telah diuraikan di atas.

Adapun pada tahun 2023, terdapat 170 kepala daerah yang masa jabatannya usai yang
terdiri atas 17 gubernur, 38 wali kota, serta 115 bupati 5. Apabila diakumulasikan, ada 271 kepala
daerah yang akan lengser sepanjang periode 2022-2023, terdiri atas 24 gubernur, 56 wali kota,
serta 191 bupati. Sehingga, kekosongan jabatan gubernur yang berakhir pada tahun 2023 ini akan
diisi oleh penjabat kurang lebih selama 12 Bulan.

Penjabat yang akan mengisi kekosongan jabatan kepala daerah akan dipilih oleh Presiden
dan Menteri. Pakar otonomi daerah, Profesor Djohermansyah Djohan, mengatakan bahwasanya
legitimasi penjabat yang akan dijadikan sebagai kepala daerah untuk mengisi kekosongan
kepemimpinan pada periode tahun 2022 hingga tahun 2024 ini sangat kurang. Selain itu, terdapat
kecurigaan pada pemerintah yang boleh jadi ditaruh pihak-pihak yang berpihak terhadap
kepentingan politik praktis dari penguasa. 6

Pengangkatan secara langsung penjabat kepala daerah oleh presiden dan menteri dinilai
tak sesuai. Hal itu disebabkan, sebagai negara demokrasi Indonesia telah mempunyai lembaga
khusus untuk mewakili suara rakyat di tingkat provinsi serta daerah, yaitu lembaga negara
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik di tingkat provinsi maupun di tingkat daerah,
selaras dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan
Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Maka

4
Viva Budy Kusnandar, 271 Kepala Daerah akan Lengser sebelum Pilkada 2024,
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/05/12/271-kepala-daerah-akan-lengser-sebelum-pilkada-2024
diakses pada 21 Oktober 2022
5
Ibid.
6
Mimi Kartika, Jabatan 101 Kepala Daerah Berarkhir 2022, Termasuk Anies, terdapat dalam
https://repjabar.republika.co.id/berita/qo1atc396/jabatan-101-kepala-daerah-berakhir-2022-termasuk-anies diakses
tanggal 21 Oktober 2022.
dari itu, lembaga tersebut diakui menjadi lembaga yang lebih berwenang serta penunjukan
penjabat kepala daerah oleh presiden dan Menteri dianggap tidak sesuai.

Problem ketiga, yaitu adanya potensi diselewengkannya otonomi daerah dengan


sentralisasi kekuasaan di bawah Kemendagri. Pejabat dalam birokrasi pemerintah sangat terpaut
dengan rekrutmen. Rekrutmen dibedakan menjadi dua jenis, yakni:

a. Rekrutmen jabatan negara bersumber dari kekuatan politik melalui pemilihan umum
ataupun pengangkatan oleh pejabat politik yang dipilih rakyat
b. Rekrutmen pejabat birokrasi bersumber dari pejabat pegawai negeri yang memenuhi
persyaratan pemerintah diangkat oleh pejabat yang berwenang mengangkatnya.7
Rekrutmen penjabat kepala daerah sebagaimana pembahasan di atas merupakan bagian
dari proses rekrutmen poin yang kedua, sementara itu, nantinya penjabat akan mengisi
kekosongan kepala daerah kurang lebih 20 bulan. Oleh karena itu, menilik mekanisme rekrutmen
dan pertanggung jawaban penjabat yang telah diatur sedemikian rupa, maka diklasifikasikan
Indonesia menganut prinsip otonomi terbatas. Sehingga sejatinya telah bertolak belakang dengan
amanah konstitusi, yakni prinsip pelaksanaan otonomi seluas-luasnya yang dimiliki daerah.8

B. Solusi Hukum atas Pengisian Kekosongan Kepala Daerah Akibat Pilkada Serentak

Atas dasar pertimbangan kewenangan serta legitimasi penjabat dalam teori dan peraturan
perundang-undangan yang sungguh terbatas, serta untuk menjamin penyelenggaraan otonomi
daerah yang merata, maka alternatif penyelesaian atas problem-problem penjabat dalam mengisi
kekosongan kepala daerah akibat pilkada serentak nasional dapat menggunakan dua opsi, yakni:

a. Pertama, bagi jabatan kepala daerah yang masa jabatannya kosong kurang dari 18 bulan,
yakni jabatan kepala daerah yang usai tahun 2022, maka diangkat Penjabat.
b. Kedua, sementara bagi jabatan kepala daerah yang masa jabatannya kosong lebih dari 18
bulan, yakni jabatan kepala daerah yang usai tahun 2023, maka kepala daerah akan
dipilih melalui DPRD yang akan menjabat hingga terpilihnya kepala daerah yang baru.
7
Rahma Aulia dkk, Pengisian Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang Berhalangan dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Studi Kasus Pengisian Jabatan Wakil Bupati Kabupaten Grobogan), Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, No. 3, Juli 2018, hlm, 302.
8
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum UII, Yogyakarta, 2005, hlm. 11-
12.
Ketentuan ini sesuai dengan aturan yang ada dalam Pasal 176 Undang-Undang No. 10
Tahun 2010. Pemilihan Kepala Daerah diselenggarakan melalui mekanisme pemilihan oleh
DPRD Provinsi ataupun DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan arahan dari Partai Politik atau
gabungan Partai Politik pengusung. Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung
mengajukan 2 (dua) orang calon kepala daerah untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD.
Dengan diangkatnya kepala daerah melalui DPRD sejatinya telah memberikan solusi atas
limitasi kewenangan penjabat daerah, sebab kewenangan kepala daerah definitif telah selaras
dengan salah satu asas negara hukum, yaitu setiap tindakan organ pemerintah harus berlandaskan
kewenangan. Bahkan wewenang pemerintahan semestinya bersifat expressimplied, yakni jelas
maksud serta tujuannya, terikat pada waktu tertentu dan tunduk kepada batasan-batasan hukum
tertulis dan hukum tidak tertulis.9 Lebih-lebih lagi, pengisian kekosongan jabatan kepala daerah
akibat pilkada serentak nasional melalui DPRD juga telah mencukupi prinsip pelaksanaan
otonomi seluas-luasnya yang dimiliki daerah karena daerah mempunyai peran independen dalam
mengelola rumah tangganya.10 Ketentuan ini juga lebih sinkron dengan sistem pengisian
kekosongan jabatan kepala daerah yang diatur dalam UU Pilkada. Untuk mendukung gagasan di
atas, maka harus dilakukan revisi atas UU Pilkada guna menyelaraskan opsi solusi hukum yang
sesuai dengan bahasan di atas.

9
SF Marbun, Hukum Administrasi Negara 1, FH UII Press, Yogyakarta, 2018, hlm. 116- 118.
10
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2014, hlm. 325- 328

Anda mungkin juga menyukai