Anda di halaman 1dari 22

KAJIAN YURIDIS DAMPAK PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH

SERENTAK TAHUN 2024

Oleh :
Abdul Ghofur
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember

Abstrak
Penelitian ini menganalisa tentang dampak-dampak atau akibat hukum yang akan
timbul ketika pelaksaan pemilihan kepala daerah yang harus dilaksanakan serentak pada
tahun 2024. Rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah Bagaimanakah dampak
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah serentak pada tahun 2024 terhadap jabatan
Kepala Daerah ?. Metode penelitian dalam menganalisa permasalahan dalam penelitian ini
adalah yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini adalah dampak Pilkada serentak yang akan
dilaksanakan pada tahun 2024 akan ada ratusan kabupaten/kota dan provinsi yang akan
dipimpin pejabat kepala daerah, Hal ini terjadi pertentangan (kontradiksi) antar peraturan
perundang-undangan perihal masa jabatan Kepala Daerah hasil pemiliahan kepala daerah
tahun 2020, dimana hanya menjabat sampai 2024, atau hanya sekitar kurang dari 4 tahun
masa jabatan. Hal ini menimbulkan suatu keadaan ketidakpastian hukum terjadi di
masyarakat, dimana Berdasarkan pasal 162 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, bahwa gubernur, wakil gubernur, bupati dan
wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, memegang jabatan selama 5 tahun, hal yang
sama juga tercantum pada Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa masa jabatan kepala daerah yakni gubernur,
bupati, dan wali kota adalah selama 5 tahun.

Kata Kunci : Dampak Hukum, Pemilihan Kepala Daerah, Serentak


Abstract
This study analyzes the impacts or legal consequences that will arise when the
implementation of regional head elections that must be held simultaneously in 2024. The
formulation of the problem from this study is How will the impact of holding simultaneous
Regional Head Elections in 2024 on the position of Regional Head?. The research method in
analyzing the problems in this study is normative juridical. The result of this study is the
impact of the simultaneous regional elections that will be held in 2024 there will be hundreds
of regencies/cities and provinces that will be led by regional head officials, this is a conflict
(contradiction) between laws and regulations regarding the term of office of the Regional
Head as a result of the election of regional heads in 2020, where they only serve until 2024,
or only about less than 4 years of term. This creates a state of legal uncertainty occurring in
the community, which is based on article 162 of Law Number 10 of the Year 2016,
concerning the Election of Governors, Regents and Mayors, that governors, deputy
governors, regents and deputy regents, as well as mayors and deputy mayors, hold office for
5 years, the same is also stated in Article 60 of Law Number 23 of 2014 concerning Regional
Government, which states that the term of office of regional heads, namely governors,
regents, and mayors, is for 5 years.
Keyword : Legal Impact, Regional Head Elections, Simultaneously
I. Pendahuluan

Indonesia adalah “Negara hukum” demikian bunyi pasal 1 ayat (3). Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai Negara hukum (Rechtsstaat)
yang menjunjung tinggi nilai-nilai norma hukum berdasarkan Undang-undang dan bukan
merupakan Negara berdasarkan kekuasaan semata (Machtsstaat) Indonesia memiliki norma
hukum tertinggi yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai induk peraturanperaturan perundang-undangan. Untuk itu adanya kebijakan yang
tertuang dalam bentuk perundang-undangan tidak boleh menyalahi norma hukum tersebut.1
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilukada) langsung
serentak merupakan instrumen penting dan strategis untuk membangun pemerintahan daerah
yang demokratis. Pemilukada langsung serentak mendorong rakyat/pemilih untuk memilih
kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, serta bupati dan wakil
bupati/walikota dan wakil walikota) secara demokratis.
Pemiilihan kepala daerah sebagai mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah secara langsung oleh rakyat di daerah telah dijalankan sejak
berlakunya Pasal 24 ayat (5) Undang-ndang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
menyatakan: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang
bersangkutan.”

1
Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan Umum Ditinjau Dari
Fiqh Siyasah Dusturiyah Dan Sadd Al-Dzari’ah,” (Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel,
Surabaya, 2019), Hlm. 1
Dan Pasal 56 ayat (1) menyatakan: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih
dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Sementara itu, pemilukada langsung serentak
dijalankan semenjak berlakunya Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 jo.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilukada yang menyatakan: “Pemilihan
dilaksanakan setiap lima (5) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.” Pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (7) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 yang kemudian diamandemen dengan Pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (8)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilukada, mengatur perihal pemilukada
langsung serentak tahun 2015, 2017, 2018, 2020, dan pemilukada serentak nasional tahun
2024.
Ketika lahir Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 yang didalamnya MK merujuk
kepada UU No. 7 Tahun 2017 ke dalam UU Pilkada,secara tidak langsung menimbulkan
benturan pemahaman, dimana Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 mengaitkan UU No. 7
Tahun 2017 yang mengatur mengenai Pemilu kedalam pengaturan Pilkada, padahal Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 secara tegas MK menyatakan bahwa Pilkada
bukanlah rezim Pemilu. Pemisahan rezim tersebutlah yang kemudian menjadi pijakan bagi
pembentuk undang-undang yang pada akhirnya menerbitkan undang-undang yang berbeda.
Demikian pula ketika kita melihat Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, MK justru
memberikan sejumlah alternatif model keserentakan Pemilu yang baru yang memasukkan
Pilkada dalam alur keserentakan tersebut. Dengan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019
maka timbul ketidakpastiaan terkait apakah Pilkada masuk rezim Pemilu atau tidak. Hal ini
terlihat dari Putusan MK No. 48/PUUXVII/2019 dan Putusan MK No. 55/PUUXVII/2019.
Dalam putusan a quo, meskipun secara formil MK menolak keseluruhan
permohonan, namun secara substantif MK memberikan sejumlah model desain pemilu
serentak yang konstitusional dalam kerangka UUD NRI Tahun 1945 untuk pelaksanaan
pemilu di tahun 2024 dan mungkin untuk diaplikasikan. Terdapat 6 (enam) varian untuk
desain penyelenggaraan pemilu serentak yang dikemukakan oleh MK dalam pertimbangan
hukumnya. Merujuk dari beberapa model pemilu serentak tersebut kemudian menjadi suatu
hal yang menarik untuk dikaji mengingat MK sebagai the final interpreter of constitution
(penafsir final konstitusi) telah memberikan suatu gagasan pemikiran yang progresif dalam
pertimbangan hukumnya, yang tentunya dapat menjadi jalan pembuka bagi advokasi dan
pembenahan bagi kerangka hukum pemilu (electoral law).
Begitu pula dampak yang akan timbul ketika pelaksaan pemilukada harus
dilaksanakan serentak pada tahun 2024, dimana pada tahun 2022 akan ada 101 Kepala
Daerah yang akan habis masa jabatannya, dan pada tahun 2023 akan 170 Kepala daerah yang
akan habis masa jabatannya, dimana akan ada Pejabat sementara yang akan mengisi
kekosongan jabatan tersebut, sehingga hal ini menimbulkan kekhawatiran akan
keberlangsungan pemerintahan. Dampak berikutnya yaitu Kepala Daerah hasil Pemilukada
tahun 2021 dimana mereka tidak akan menjabat 1 periode secara penuh (5tahun) karena
ketentuan dari pelaksanaan Pemilu secara serentak.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan rumusan
permasalahan sebagai berikut : “Bagaimanakah dampak penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah serentak pada tahun 2024 terhadap jabatan Kepala Daerah ?”
II. Metode Penelitian
Dalam pembuatan suatu karya ilmiah tentu tidak akan terlepas dari metode penelitian.
Penelitian hukum dilakukan untuk dapat menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru
sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.2 Dalam penelitian ini, tipe-
tipe penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif (legal research).
Penulisan skripsi ini utamanya menggunakan pendekatan Undang-Undang (statute
approach), yaitu dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dalam kegiatan praktis pendekatan ini membuka
kesempatan untuk mempelajari konsisten dan kesesuaian antara Undang-Undang dengan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 atau antar regulasi. Disamping itu
juga menggunakan pendekatan konseptual (conseptual approach), yang beranjak dari
pandangan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan pendekatan ini
akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian yang relevan dengan isu
hukum yang dihadapi.3

Kemudian menggunakan pendekatan Kasus (Case Approach) yaitu pendekatan


dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi
yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap”.4
“Pendekatan kasus dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk mempelajari norma-
5
norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum”. “Dalam menggunakan

2
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, kencana prenada Media Group,2005, hlm. 29
3
Ibid, Hlm 93-95
4
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2008, Hlm 134
5
Ibid, Hlm 158
pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yakni alasan-
alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada keputusannya”. 6 Dengan
pendekatan kasus ini, diharapkan pertimbangan hakim dapat menambah argumentasi hukum
dalam penelitian ini.
1) Bahan primer yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945
2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada)
4) Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 7 Tahun 2017. Tentang Pemilihan
Umum
5) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 48/PUUXVII/2019 Tahun 2019
6) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 55/PUUXVII/2019 Tahun 2019
2) Bahan hukum sekunder menurut Soetandyo Wigjosubroto adalah juga seluruh informasi
tentang hukum yang berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negara. 7 Bahan hukum
sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen
resmi.Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-
jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.8 Bahan hukum sekunder
yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah buku-buku literatur, jurnal-jurnal hukum dan
tulisan-tulisan tentang hukum.
III. Hasil dan Pembahasan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 berpendapat bahwa :
“Setelah menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak, keterkaitan
antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensiel
serta menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-
XI/2013, terdapat beberapa model pilihan keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat
dinilai kosntitusional berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu : 9
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, dan anggota DPRD;

6
Ibid, Hlm 181
7
Ibid, hlm. 27
8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian..op cit, hlm 141
9
Muzayanah, Kajian Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Menolak Gugatan Uji Materi
Undang-Undang Pemilihan Umum, Jurnal Komunikasi Hukum Vol.8 No.1, Februari 2022 Hlm. 11
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, Anggota DPRD, Gubernur dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, Anggota DPRD, Gubernur dan Bupati/Walikota;
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden dan
Wakil Presiden dan beberapa waktu setelahnya kenudian dilaksanakan pemilihan
umum serentak lokal untuk memilih Anggota DPRD Provinsi, Anggota DPRD
Kabupaten/Kota, Pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden dan
Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum
serentak provinsi untuk memilih Anggota DPRD Provinsi dan Memilih Gubernur
dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak
kabupaten/kota untuk memilih Anggota DPRD dan Memilih Bupati dan Walikota;
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum
untuk memilih Anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden.
Model format keserentakan Pemilu yang diusulkan oleh MK dapat menjadi pilihan
model bagi Pembentuk Undang-Undang dengan syarat yang tekah diberikan sangat jelas,
yakni dengan menghitung betul setiap implikasi teknis dari setiap format keserentakan dan
tentu harus memastikan agar pilihan keserentakan tetap berada dalam batas penalaran yang
wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas.10
Penyelenggaraan pilkada serentak yang dilaksanakan secara bertahap dimulai pada
2015, kemudian tahap kedua akan dilaksanakan pada 15 Februari 2017 untuk kepala daerah
yang masa jabatannya berakhir pada semester kedua 2016 dan yang berakhir pada 2017.
Selanjutnya, secara bertahap gelombang ketiga direncanakan Juni 2018, berikutnya tahun
2020, 2022, dan 2023 hingga pilkada serentak nasional pada tahun 2027 yang meliputi
seluruh wilayah Indonesia. Namun, draft Revisi Undang-undang Pemilu dan Pilkada terkait
pelaksanaan pilkada serentak yang dinormalisasi dan diadakan pada 2022 atau 2023, menuai
pro dan kontra di tengah masyarakat dan elite partai politik, yang mana draf tersebut berisi
tentang aturan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM)
Yasonna Laoly sepakat untuk mencabut revisi Undang-Undang RUU) Pemilu dari Prolegnas
Prioritas 2021. Dengan pencabutan RUU tersebut, maka Pilkada 2022 dan 2023 akan tetap

10
Ibid, Hlm. 12
dilakukan serentak pada 2024. Berbarengan dengan Pileg dan Pilpres, sehingga implikasi dari
hal tersebut Pilkada pada tahun 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada 2024 sudah
masuk dalam program Legislasi Nasional (prolegnas). Menelisik kembali di tahun 2020
Indonesia memang telah melaksanakan pesta demokrasi yaitu dengan pemilihan umum
kepala daerah secara serentak. Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak artinya Pemilihan
kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat
yang memenuhi syarat, yang dilakukan secara bersamaan di daerah-daerah yang ada di
Indonesia. Pemilihan kepala daerah dilakukan sekaligus bersama wakil kepala daerahnya,
yang mana mencakup Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil
Bupati untuk kabupaten, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk kota. Ada 270 wilayah di
Indonesia akan menggelar Pilkada 2020. Pilkada serentak 2020 ini merupakan Pilkada
serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember
2015. Ada 270 daerah yang melaksanakan pilkada serentak 2020, rinciannya adalah 9
provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pilkada Serentak 2020 seharusnya diikuti 269 daerah,
namun menjadi 270 karena Pilkada Kota Makassar diulang pelaksanaannya.
Kemudian berkaitan dengan diskursus pilkada serentak pada tahun 2024 masih terus
menjadi polemik. Berdasarkan Pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemungutan suara serentak nasional
untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024. Terkait
dengan Pilkada serentak tersebut, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri), total terdapat 101 kepala-wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya
pada tahun ini.11 Oleh karena itu, menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan WalikotaTerkait dengan Pilkada serentak tersebut, berdasarkan data Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri), total terdapat 101 kepala-wakil kepala daerah yang berakhir
masa jabatannya pada tahun ini. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang No. 10 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU No. 10 Tahun 2016 tentang
Pilkada), pada Pasal 201 Ayat (9) disebutkan untuk mengisi kekosongan jabatan kepala
daerah tersebut, maka diangkat penjabat kepala daerah sampai dengan terpilihnya kepala

11
Andi Pandowo, Tinjauan Pembaharuan Hukum Tentang Dampak Pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2024,
Jurnal Hukum Magister Hukum Univ. Pamulamg, 2021, Hlm 3-4
daerah yang baru. Kekosongan jabatan kepala daerah dimulai pada 15 Mei 2022 dengan
jumlah 5 (lima) gubernur-wakil gubernur yaitu dari Kepulauan Bangka Belitung, Banten,
Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Selanjutnya, pada 22 Mei 2022, menyusul 6
(enam) wali kotawakil wali kota serta 37 bupati-wakil bupati. Adapun 53 kepala-wakil kepala
daerah lainnya berakhir masa jabatannya, Juli-Desember 2022. Setelah berakhirnya masa
jabatan kepalawakil kepala daerah tersebut, semua daerah akan dipimpin penjabat kepala
daerah hingga terpilih kepala-wakil kepala daerah baru pada Pilkada 2024. Sementara itu,
terkait penjabat kepala daerah, terdapat permohonan uji materi Pasal 201 UU No. 10 Tahun
2016 tentang Pilkada atas pengangkatan ASN sebagai penjabat kepala daerah karena
dianggap bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Namun Mahkamah Konstitusi
(MK) menolak permohonan uji materi tersebut karena penunjukan penjabat dari kalangan
Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk mengisi kekosongan pimpinan kepala daerah yang masa
jabatannya berakhir di 2022 dan 2023 tidak menghilangkan hak konstitusional publik dalam
memilih kepala daerah. Ketentuan peralihan penjabat periode 2022 dan 2023 hanya bersifat
transisi dan sementara. Penunjukan penjabat dilakukan untuk menghindari kekosongan
hukum di tahun 2022 dan 2023.
Penunjukan penjabat kepala daerah adalah hak prerogatif presiden, sedangkan
penugasan penjabat gubernur dan penjabat bupati/wali kota dilaksanakan oleh Menteri Dalam
Negeri sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah (UU Pemda). Sedangkan Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 2016
tentang Pilkada menyebutkan, penjabat yang mengisi kekosongan posisi kepala daerah akan
memimpin sampai terpilihnya kepala daerah pada Pilkada serentak pada 2024. Dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tersebut juga mengatur mengenai
syarat formal penjabat kepala daerah yaitu Pejabat Pimpinan Tinggi Madya untuk penjabat
gubernur, sementara Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama untuk penjabat bupati/wali kota.
Penjabat kepala daerah memiliki tugas dan wewenang yang sama dengan kepala
daerah sesuai dengan Pasal 65 Ayat (1) Dalam Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 2016
tentang Pilkada. Adapun tugas penjabat Kepala Daerah adalah:
1. memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD;
2. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
3. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang Rancangan Pembangunan
Jangka Panjang Daerah dan rancangan Perda tentang Rancangan Pembangunan
Jangka Menengah Daerah kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta
menyusun dan menetapkan RKPD;
4. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang
perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama;
5. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah;
7. dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara, wewenang penjabat kepala daerah tertuang dalam Pasal 65 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, meliputi:

1. mengajukan rancangan Perda;


2. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
3. menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;
4. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh
daerah dan/atau masyarakat;
5. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Meskipun penjabat kepala daerah memiliki tugas dan wewenang yang sama, namun
terdapat pembatasan kewenangan penjabat kepala daerah karena keberadaannya berdasarkan
penunjukan bukan hasil pemilihan. Pembatasan kewenangan penjabat kepala daerah diatur
dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang antara lain:
(a) Melakukan mutasi pegawai; (b) Membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat
sebelumnya dan/ atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan
pejabat sebelumnya; (c) Membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan
dengan kebijakan sebelumnya; dan (d) Membuat kebijakan yang bertentangan dengan
kebijakan penyelenggaraan pemerintah dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
Pembatasan kewenangan sebagaimana dimaksud dapat dikecualikan setelah mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Dinamika penundaan Pilkada yang akan dilaksanan pada tahun 2024 bagi 271
daerah yang akan berakhir masa jabatannya di tahun 2022 dan 2023. Seperti yang telah
dikethui, bahwa Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk melakukan penundaan pilkada bagi
271 daerah pada tahun 2024, hal ini telah diperkuat dengan hasil Rapat Kerja (RAKER) dan
Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan Pemerintah (Mendagri) bersama (KPU RI dan
Bawaslu RI) pada tanggal 24 Januari 2022, bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam
pemilihan umum yang dimulai dari memilih (Presiden dan wakil Presiden, Anggota DPR RI,
DPD RI, DPRD, Provinsi, dan DPRDKota/Kabupaten) akan dilaksanakan serentak pada
tanggal 24 Februari 2024. Sedangkan, pada pemungutan suara serentak secara nasional dalam
pemilihan umum untuk memilih (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati
serta Walikota dan Wakil Walikota yang kemudian dilaksanakan pada tanggal 27 November
2024. 12

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 201 ayat (9). (10), dan (11) Undang-
Undang Nomor. 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor. 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Menjadi Undan-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang kemudian berbunyi
sebagai berikut: ayat (9) dijelaskan, bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa
jabatannya berakhir di tahun 2022 dan 2023 sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan (5),
maka diangkat penjabat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu Gubernur,
Bupati dan Penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur
Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak nasional pada
tahun 2024. Selanjutnya, ayat (10) dijelaskan pula, bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan
Gubernur, maka diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi
madya smpai dengan pelantikan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian ayat (11) juga dijelaskan, bahwa dalam mengisi kekosongan pada jabatan
Bupati/Walikota maka diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan
tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati dan Walikota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

12
Ismed Kelibay, Dinamika Pemilihan Kepala Daerah Serentak Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun
2024, Jurnal Noken Ilmu Sosial Vol 7 No2,2022, hlm 167-168
Menurut Ni’matul bahwa satu-satunya legitimasi yang menjadi dasar kekuasaan
yang sah adalah legitimasi demokratis. Setiap wewenang untuk memberikan perintah kepada
orang lain harus berdasarkan atau sesuai dengan tatanan masyarakat yang telah disetujui
bersama oleh masyarakat.13 Kedaulatan rakyat itu berdasarkan hak setiap orang dalam
menentukan dirinya sendiri dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut seluruh masyarakat. Dalam kaitannya dengan negara yang menganut asas
desentralisasi, kedaulatan rakyat tersebut tidak semata-mata berada pada pemerintahan pusat
melainkan juga pemerintahan di daerah.

Sebagaimana perbandingan untuk pengaturan pelaksana tugas yang ditentukan


dalam Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 tentang Cuti di Luar
Tanggungan Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota, dalam Pasal 9 yang mengatur tentang tugas dan wewenang Pelaksana
Tugas Gubernur, Pelaksana Tugas Bupati, dan Pelaksana Tugas Walikota sebagai berikut: 1)
Pelaksana Tugas Gubernur, Pelaksana Tugas Bupati, dan Pelaksana Tugas Walikota
mempunya tugas dan wewenang diantaranya adalah: a) Memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang telah ditetapkan bersama DPRD; b) Memfasilitasi
penyelenggaraan dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati
serta Walikota dan Wakil Walikota yang definitif serta untuk menjaga netralitas PNS; c)
Memelihara ketentraman dan ketertiban di masyarakat; d) Menandatangi Perda tentang
APBD dan Perda tentang Organisasi Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis
dari Menteri; e) Melakukan pengisian dan penggantian pejabat berdasarkan Perda Perangkat
Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. 2) Dalam melaksanakan tugas dan
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bahwa Pelaksana Tugas Gubernur,
Pelaksana Tugas Bupati, dan Pelaksana Tugas Walikota dapat di pertanggungjawabkan.

Pada 3 Februari 2021, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Mendagri No.
120/738/OTDA yang menegaskan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 131 ayat (4) PP No. 49
Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
dalam hal terjadi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana

13
Ni’matul. Pilkada Serentak. Hubungan Pusat Dan Daerah Dan Kebijakan Penanganan Covid-19.
Yogyakarta ,FH UII Press.2020, Hlm 55
dimaksud pada ayat (3), maka selanjutnya Sekretaris Daerah dapat melaksanakan tugas
sehari-hari kepala daerah hingga Presiden mengangkat penjabat kepala daerah sementara.

Dari beberapa contoh tersebut di atas dapat diketahui, bahwa kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah terkait adanya kekosongan pada jabatan kepala daerah cukup
beragam, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, sedangkan menurut Peraturan Menteri dalam
Negeri Nomor 74 Tahun 2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Bagi Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, nomenklaturnya
adalah Pelaksana Tugas Gubernur, Pelaksana Tugas Bupati, dan Pelaksana Tugas Walikota.
Kemudian terkait dinamika penundaan dan pengisian jabatan kepala daerah pada tahun 2024
yaitu, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 201 ayat (9), (10), dan (11) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 dengan tegas telah menjelaskan di atas, dinamika penundaan
Pilkada bagi 271 daerah tersebut harusnya dikaji lagi lebih mendalam, cermat, adil, dan
demokratis, agar kebijakan yang dilakukan dapat mengarah kepada kepentingan rakyat di
daerah, kebijakan yang dilakukan jangan hanya semata-mata atas kekuasaan politik yang
akan diselenggarakan dalam Pemilu pada tahun 2024. Selain itu, sebagai pilar penting dalam
demokrasi, sejatinya Pilkada diharapkan mampu menghasilkan proses konsolidasi politik
yang jauh lebih sehat dan juga bermartabat bagi daerah. Dengan begitu, maka akan lahir
pemimpin terpilih yang berkualitas yang mampu untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan
yang ada di daerahnya. Sungguh disayangkan, jika Pilkada yang berbiaya mahal maka akan
melahirkan pemimpin yang hanya prosedural yang dominan penguasa.

Sejauh ini, proses dalam konsolidasi demokrasi melalui pilkada langsung serentak
sulit terwujud, hal ini dikarenakan reformasi dan pelembagaan partai yang belum begitu
memadai sehingga rentan terhadap konflik internal. Disamping itu, partai politik juga masih
belum merespon tuntutan publik yang sangat dinamis tersebut, termasuk era disrupsi yang
penuh ketidakpastian hingga sekarang. Lebih lanjut, dalam demokratisasi di daerah, baik itu
desentralisasi dan juga demokratisasi pada dasarnya saling memperkuat antara satu sama lain.
Misalnya desentralisasi, terkait proses perubahan dalam pemilihan pejabat-pejabat daerah.
Sebelumnya pejabat-pejabat di daerah yang merupakan penunjukan langsung dari pusat. Kini
dengan adanya kebijakan desentralisasi, pejabat-pejabat tersebut selalu berdasarkan atas
pemilihan. Desentralisasi telah banyak membuka ruang yang begitu besar kepada masyarakat
untuk terlibat langsung dalam proses pembuatan keputusan-keputusan politik di daerah. Hal
ini berkaitan realitas bahwa setelah adanya konsep desentralisasi, lembaga-lembaga yang
memiliki otoritas dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik kini menjadi
lebih dekat rakyat. Kedekatan itulah yang memungkinkan rakyat kini bisa melakukan kontrol
terhadap pemerintah di daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah sangat diharapkan dapat
memiliki akuntabilitas yang lebih baik. Dengan adanya akuntabilitas pemerintah daerah yang
baik, tentu rakyat di daerah akan tetap mempercayakan mandat akan diberikan dalam proses
pemilihan.

Pilihan yang lebih rasional dan demokratis akibat dinamika penundaan Pilkada
hingga tahun 2024. Hal yang dilakukan dengan perpanjangan masa jabatan kepada kepala
daerah sampai tahun 2024 karena kepala daerah tersebut sebelumnya sudah pernah terpilih
langsung oleh rakyat melalui Pilkada, sedangkan, penjabat tidak dipilih langsung oleh rakyat
melainkan penunjukkan lansung dari Presiden dipandang kurang demokratis, karena proses
pemilihannya langsung ditentukan atas kekuasaan Presiden. Meskipun dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang dengan tegas telah menjelaskan, bahwa yang akan
menjadi penjabat Gubernur adalah dari jabatan pimpinan tinggi pratama, hal tersebut
memungkinkan dapat diisi oleh orang-orang dekat Presiden dan bahkan bisa merupakan
bagian dari koalisi politik Presiden. Perpanjangan masa jabatan kepal daerah yang dipandang
lebih demokratis adalah mereka yang sebelumnya telah terpilih oleh rakyat melalui Pilkada.

Usulan terkait perpanjangan masa jabatan kepala daerah bukanlah sesuatu yang baru
dalam kancah politik maupun ketatanegaraan di Indonesia. Dalam memberikan perpanjangan
masa jabatan bagi kepala daerah yang berakhir masa jabatann, sebelumnya telah dilakukan
oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, yang saat itu diberikan kepada Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta, ketika masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang akan
berakhir di tahun 2008, sementara pembahasan RUU Keistimewaan DIY yang diketahui saat
itu belum disahkan, maka Presiden SBY mengeluarkan kebijakan sebagai berikut: 1)
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86/P Tahun 2008 tentang perpanjangan masa
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 3 (tiga) tahun; 2) Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 55/P Tahun 2011 tentang perpanjangan masa jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur selama 1 (satu) tahun.

Dengan adanya penunjukkan yang dilakukan terhadap penjabat kepala daerah dalam
masa jabatan selama satu sampai dua tahun tersebut akan menimbulkan perspektif negatif
ditengah-tengah masyarakat, sebab pemerintah dan juga partai politik telah menyetujui
kebijakan yang dianggap sebagai tindakan yang tidak demokratis tersebut. Pemerintah Orde
Baru di masa Kepemimpinan Presiden Soeharto pernah menyeragamkan pemimpin di hampir
semua daerah, yaitu orang-orang yang menjadi kepercayaan Presiden, yaitu orang-orang yang
berasal dari Jawa dan juga orang Jawa dari unsur Militer. Kebijakan politik Presiden Soeharto
pada saat itu dikenal dengan istilah “Jawanisasi”, yang kemudian menimbulkan sikap
perlawanan dari tokoh-tokoh masyarakat di daerah karena dinilai tidak menghargai kapasitas
masyarakat daerah, khususnya yang berada diluar Jawa. Kebijakan Pemerintah Republik
Indonesia yang sentralistik tersebut telah dikoreksi oleh masyarakat, yaitu dengan cara
melakukan aksi demontrasi yang terjadi besar-besaran di seluruh wilayah NKRI yang
bertujuan untuk menurunkan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. 14

Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam Pasal 18, Pasal 18 a, dan
Pasal 18 b telah menjadi landasan hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang mengacu pada asas otonomi daerah. Sehingga
apa yang diperjuangkan oleh masyarakat di daerah akan terus menjadi pertimbangan dalam
menentukan siapa orang yang akan dipilih untuk menjadi pemimpin di daerahnya, hal ini
dilakukan agar masyarakat di daerah merasa bahwa telah mendapat perhatian dari pemerintah
pusat. Pasca amandemen, kemudian Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lagi menjadi
sentralistik akan tetapi menjadi desentralistik. Oleh sebab itu, diperlukan langkah yang lebih
efektif dan demokratis yang dapat dilakukan pemerintah berupa perpanjangan masa jabatan
selama satu atau dua tahun sesuai batas akhir jabatan kepala daerah di masing-masing daerah,
yakni dapat dilakukan dengan cara merevisi kembali Undang-Undang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota.

Sebagai sarana komunikasi politik yakni dalam konteks Pilkada, partai politik
mempunyai tanggungjawab untuk turut serta dalam menciptakan Pilkada yang penuh
aspiratif, partisipatif, transparan, dan juga akuntabel. Sebab partai politik merupakan
perpanjangan tangan rakyat kepada pemerintah. Dengan kompleksitas masalah yang dihadapi
Pilkada saat ini, hal yang menjadi permasalahan krusial dan patut dicermati adalah
bagaimana membangun reputasi pemerintah dan partai politik dalam Pilkada serentak 2024
mendatang.

14
https://www.iainpare.ac.id/opini-polemik-penunjukan-pj-kepala-daerah/, diakses Pada tanggal 15 Juli 2022
Melihat fenomena hal tersebut, perlu adanya aturan main terkait dengan
pengangkatan penjabat kepala daerah agar memudahkan masyarakat mengontrol kebijakan
mereka apakah menguntungkan salah satu pihak atau tidak dalam Pemilu 2024. Selain itu,
regulasi yang lebih tegas mengenai sanksi bagi penjabat kepala daerah yang terbukti
memihak atau tidak netral dalam proses pemilu. Dengan adanya aturan tersebut, dapat
menjadi dasar bagi publik melakukan kontrol terhadap kepala daerah agar netral dalam
pemilu dan sekaligus menjadi dasar bagi Badan Pengawas Pemilu, Komisi ASN, atau
Kemendagri dalam menjatuhkan sanksi bagi penjabat kepala daerah yang terbukti tidak
netral.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ini hanya mengatur kualifikasi
penjabat pengganti kepala daerah, sedangkan pengaturan teknis mengenai pemilihan dan
penetapan kepala daerah belum diatur. Dalam proses penunjukan penjabat kepala daerah,
pemerintah yang dalam konteks ini adalah Presiden dan Menteri dalam Negeri perlu
memastikan transparansi dalam proses penunjukan penjabat. Diperlukan mekanisme yang
transparan di samping adanya syarat formal sebagaimana amanat undang undang. Hal
tersebut diperlukan untuk menghindari lobi politik yang dilakukan secara tertutup serta
memberikan ruang kepada masyarakat untuk turut terlibat dalam penetapan penjabat kepala
daerah. Perekrutan dan penetapan penjabat kepala daerah harus dilakukan berdasarkan sistem
merit sehingga menekankan kompetensi dan kinerja.
Dalam menjalankan pemerintahan di daerah, kepala daerah pengganti harus
memastikan bahwa hal yang berkaitan dengan pelayanan terhadap masyarakat perlu terus
diberikan. Dalam kehidupan bernegara, pemerintah memiliki fungsi memberikan pelayanan
publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau
pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang
pendidikan, kesehatan, dan lainnya.15
Dari analisis data sosial-ekonomi yang dilakukan oleh litbang Kompas terlihat
bahwa 101 kabupaten/kota dan provinsi yang akan dipimpin pejabat daerah itu memiliki
kondisi yang mayoritas belum menggembirakan Sebagian besar daerah tersebut, yakni 66
kabupaten/kota dan 4 provinsi, memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata kemiskinan
nasional yang sebesar 9,71%. Untuk tingkat pengangguran juga demikian, sekitar 55% daerah
atau 54% memiliki tingkat pengangguran di atas rata-rata nasional yang mencapai 6,49%.
Sedangkan untuk IPM, sekitar 55% memiliki tingkat IPM dalam kategori sedang dan

15
Agustinus, Leo. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV. Alfabeta.2009, Hlm 29
rendah.16 Keadaan tersebut menunjukkan bahwa masih banyak kendala dalam pelaksanaan
fungsi pemerintahan dan sekaligus harapan yang besar dalam meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, kehadiran para penjabat kepala daerah yang mengenal
betul kondisi wilayah dan mampu menciptakan kemajuan bagi daerahnya masingmasing
sangat dibutuhkan.
Kandidat dengan kompetensi dan kinerja terbaik menjadi wajib untuk diajukan.
Adapun persyaratan penjabat kepala daerah harus berasal dari Pejabat Pimpinan Tinggi
Madya untuk penjabat gubernur, dan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama untuk penjabat
bupati/wali kota, dianggap mampu untuk memastikan bahwa penjabat pengganti kepala
daerah nanti memiliki kemampuan dalam tata kelola pemerintahan yang tinggi. Selain
tantangan dari tugas dalam menjalankan fungsi pemerintahan, tantangan lain bagi para
penjabat kepala daerah adalah menjaga netralitas serta terbebas dari kepentingan politik.
Sebab, momen kekosongan kepala daerah bersamaan dengan suasana tahun politik Pemilu
dan Pilkada Serentak 2024. Sebagai ASN, penjabat kepala daerah harus netral dan tidak
berpihak. Mereka harus mampu menjaga penyelenggaraan pemerintahan agar berjalan
dengan baik dan menciptakan birokrasi yang lebih kondusif.
Melihat tantangan-tantangan tersebut membuat kualitas penjabat kepala daerah yang
akan menjabat cukup lama harus terseleksi dengan baik selayaknya yang dikatakan presiden.
Jika begitu, kriteria penunjukan memang tak bisa hanya dilakukan di atas kertas yang
didasarkan pada posisi dalam struktur jabatan lembaga, baik tingkat madya maupun pratama.
Pemahaman yang baik atas daerahnya masing-masing wajib dimiliki oleh para penjabat
pengganti kepala daerah. Penjabat kepala daerah juga perlu menjaga netralitas dan
independensi mereka sebagai ASN. Begitu juga terkait mekanisme dan aturan teknis
perekrutan dan pengangkatan penjabat kepala daerah. Diperlukan mekanisme yang transparan
untuk menghindari lobi politik yang dilakukan secara tertutup serta memberikan ruang
partisipasi kepada masyarakat untuk turut terlibat dalam penetapan penjabat kepala daerah.
Proses rekrutmen yang dilakukan dengan kriteria posisi jabatan tinggi struktural
pemerintahan perlu juga diimbangi dengan berbagai pertimbangan yang lebih mendetail yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter tiap daerah. Hal tersebut diperlukan mengingat
penjabat akan menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan tugasnya antara lain dalam
menciptakan kemajuan bagi daerahnya masing-masing serta menjaga stabilitas dan netralitas
pada tahun politik akibat Pemilu 2024. Komisi II DPR RI melalui fungsi pengawasan dapat

16
Survei Litbang Kompas: Mayoritas Masyarakat Tidak Tahu Masa Jabatan Kepala Daerahnya Akan Berakhir
Halaman All - Kompas.Com, Di Akses Pada Tanggal 15 Juli 2022
terus mendukung pemerintah dalam proses penunjukan penjabat kepala daerah agar
dilakukan secara transparan dan akuntabel, dengan memperhatikan aspirasi publik, serta
bebas muatan politik
Untuk mengantisipasi berbagai potensi kekacauan hukum dan berbagi problematika
yang akan terjadi, DPR RI melalui Komisi II mengharapkan Presiden Joko Widodo atau
Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) terkait jadwal
Pilkada Serentak 2024, Perppu tersebut diperlukan untuk mengantisipasi berbagai potensi
kekacauan hukum terutama hukum administrasi masa jabatan kepala daerah. Bahwa jadwal
Pilkada 2024 di bulan November memiliki konsekuensi pelantikan kepala daerah terpilih
baru bisa dilaksanakan secepat-cepatnya pada Januari 2025. Perkiraan jadwal pelantikan
tersebut, belum termasuk jika terjadi sengketa administrasi, pidana maupun perselisihan hasil
pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi (MK). Akibatnya, jeda waktu yang dibutuhkan
akan bertambah panjang sekaligus penuh ketidakpastian. Alasan berikutnya, pemerintah
harus menyiapkan sebanyak 270 Pejabat (Pj) kepala daerah untuk mengisi kekosongan
jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 31 Desember 2024. Kepala daerah
yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2022 dan 2023 telah diisi Pj kepala daerah terlebih
dahulu hingga memiliki kepala daerah definitif hasil Pilkada 2024. Pengisian Pj kepala
daerah di 542 daerah bukanlah pekerjaan mudah bagi pemerintah karena akan menyedot
energi sejumlah pejabat Eselon I dan II di pemerintahan untuk melaksanakan tugas ganda.
Alasan ketiga, Pilkada 2024 yang dilaksanakan pada November merupakan sebuah pekerjaan
rumah bagi Presiden dan Wakil presiden hasil Pilpres 2024. Pilkada 2024 akan membuat
pemerintahan yang baru terbentuk pada Oktober 2024 langsung menghadapi tugas berat
seperti menghadapi pemungutan suara, termasuk potensi sengketa hasil pilkada dan berbagai
potensi pasca-tahapan. Oleh Karena itu, Perppu menjadi solusi yuridis ketatanegaraan di
tengah telah disepakatinya ketiadaan revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Keterkaitan dengan pilkada serentak pada tahun 2024 masih terus menjadi
polemik. Berdasarkan Pasal 201 ayat (7) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, bahwa kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Wali Kota)
hasil pemilu tahun 2020 yang di lantik pada januari tahun 2021 hanya menjabat sampai
2024, atau hanya sekitar kurang dari 4 tahun masa jabatan. Hal ini menimbulkan suatu
keadaan kontrakdiksi antar peraturan perundang-undangan sehingga mengakibatkan
ketidakpastian hukum terjadi di masyarakat, hal ini tercantum dalam pasal 162 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, bahwa
gubernur, wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota,
memegang jabatan selama 5 tahun, hal yang sama juga tercantum pada Pasal 60 UU Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa masa jabatan kepala
daerah yakni gubernur, bupati, dan wali kota adalah selama 5 tahun. Masa jabatan 5 tahun
tersebut terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Namun, berkurangnya masa jabatan kepala daerah terpilih dari Pilkada 2020,
disebabkan oleh Pilkada yang rencananya akan digelar serentak pada 2024 mendatang.
Kondisi ini yang kemudian merusak kualitas demokrasi dan menimbulkan disharmoni
kebijakan pembangunan. Padahal sejatinya, salah satu prasyarat negara demokratis yakni
terjadi pertukaran elite berkuasa/kepala daerah secara reguler, yaitu 1 periode selama 5
tahun. Salah satu implikasi hukumnya adalah Rancangan Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan dokumen perencanaan
pembangunan suatu daerah yang menjadi penjabaran Visi Misi Pasangan Kepala Daerah
dan Calon Kepala Daerah terpiilih. Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) tersebut menjadi pedoman perencanaan pembangunan daerah selama 5 tahun
yang seharusnya mengikuti masa jabatan kepala daerah. Persoalan yang muncul adalah
kepala daerah hasil pilkada 2020 lalu hanya menjabat kurang lebih 3,5 tahun dan waktu 3,5
tahun tersebut sangatlah singkat untuk melaksanakan janji politik yang sudah tertuang
dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Oleh karena itu, pemerintah harus segera merevisi aturan perundang-undangan
yang mengatur tentang masa jabatan Kepala Daerah yaitu Gubernur, Bupati dan Walikota,
Yaitu Pasal 162, Pasal 201 ayat 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang terjadi
pertentangan dengan pasal 60 Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah,
agar segera terselsaikan keadaan ketidakpastian hukum di masyarakat.

IV Kesimpulan dan Saran


4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai permasalahan diatas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa dampak Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2024
adalah akan ada ratusan kabupaten/kota dan provinsi yang akan dipimpin pejabat kepala
daerah, Hal ini terjadi pertentangan (kontradiksi) antar peraturan perundang-undangan perihal
masa jabatan Kepala Daerah hasil pilkada tahun 2020, dimana hanya menjabat sampai 2024,
atau hanya sekitar kurang dari 4 tahun masa jabatan. Hal ini menimbulkan suatu keadaan
ketidakpastian hukum terjadi di masyarakat, dimana Berdasarkan pasal 162 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, bahwagubernur,
wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, memegang
jabatan selama 5 tahun, hal yang sama juga tercantum pada Pasal 60 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa masa jabatan kepala
daerah yakni gubernur, bupati, dan wali kota adalah selama 5 tahun.

4.2 Saran
Berdasarkan pembahasan mengenai permasalahan diatas, maka penulis dapat
memberikan saran :
1. Diperlukan mekanisme dan aturan teknis perekrutan dan pengangkatan penjabat
kepala daerah yang transparan untuk menghindari lobi politik yang dilakukan secara
tertutup serta memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat untuk turut terlibat
dalam penetapan penjabat kepala daerah.
2. Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) terkait jadwal
Pilkada Serentak 2024, Perppu tersebut diperlukan untuk mengantisipasi berbagai
potensi kekacauan hukum terutama hukum administrasi masa jabatan kepala daerah.
Bahwa jadwal Pilkada 2024 di bulan November memiliki konsekuensi pelantikan
kepala daerah terpilih baru bisa dilaksanakan secepat-cepatnya pada Januari 2025.
Perkiraan jadwal pelantikan tersebut, belum termasuk jika terjadi sengketa
administrasi, pidana maupun perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah
Konstitusi (MK). Akibatnya, jeda waktu yang dibutuhkan akan bertambah panjang
sekaligus penuh ketidakpastian. Alasan berikutnya, pemerintah harus menyiapkan
sebanyak 270 Pejabat (Pj) kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala
daerah yang berakhir masa jabatannya pada 31 Desember 2024.
3. Pemerintah harus segera merevisi aturan perundang-undangan yang mengatur tentang
masa jabatan Kepala Daerah yaitu Gubernur, Bupati dan Walikota, Yaitu Pasal 162,
Pasal 201 ayat 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang terjadi pertentangan
dengan pasal 60 Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, agar
segera terselsaikan keadaan ketidakpastian hukum di masyarakat. V. Daftar Pustaka

BUKU:
Asikin zainal, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2012,
Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya),
Universitas Indonesia:UI Press, 1995
Agustinus, Leo. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV. Alfabeta.2009,
Amiruddin, Zainal Asikin, , Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2004
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Semarang, PT. Ghalia indonesia, 1997
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Yogyakarta :
Liberty, 1989,
Fatkhurohman, Dian Aminudin dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi
di Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2004,
Gotfridus Goris Seran dan Chairul Amri Zakariyah, Pilkada Langsung Serentak: Model,
Kerangka Kebijakan dan Kaitan dengan Sinkronisasi Tata Kelola Pemerintahan di
Indonesia, Bogor: Unida Press, 2017,
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi 1, Cetakan 6, Jakarta:
Rajawali Pers, 2014,
Moh. Koesnardi, S.H dan Bintan R. Saragih S.H. Ilmu Negara (edisi Revisi), Jakarta:
GayaMedia Pratama, 1988
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik
dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik.(Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama 2008
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Cetakan IV, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2017,
Ni’matul. Pilkada Serentak. Hubungan Pusat dan Daerah dan Kebijakan Penanganan
Covid-19. FH UII Press. Yogyakarta, 2020.
Peter mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2008,
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT Grasindo 1992
Ridwan. Hukum Administrasi di Daerah. FH UII Press. Yogyakarta, 2009.
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,
Bandung:Alumni, 1992,
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2011Soerjono Soekanto,
Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, , Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Soedarsono, Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Demokrasi, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2005,
Soetandyo Wigjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, Malang, Setara Press, 2013
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015,

Peraturan Perundang- Undangan :


Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada)
Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 7 Tahun 2017. Tentang Pemilihan Umum
Putusan-Putusan :
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 48/PUUXVII/2019 Tahun 2019
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 55/PUUXVII/2019 Tahun 2019
Jurnal :
Andi Pandowo, Tinjauan Pembaharuan Hukum Tentang Dampak Pelaksanaan Pemilu
Serentak Tahun 2024, Jurnal Hukum Magister Hukum Univ. Pamulamg, 2021
Firdaus Ayu Palestina, “Analisis Penataan Kewenangan Antar Penyelenggara Pemilihan
Umum Ditinjau Dari Fiqh Siyasah Dusturiyah dan Sadd Al-Dzari’ah,” (Tesis
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2019),
Harry S Nugraha, “Gagasan Amandemen Ulang Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Lex Renaissance, Vol. 3, No. 1, 2018,
Heru Nugroho, “Demokrasi Dan Demokratisasi: sebuah kerangka konseptual untuk
memahami dinamika sosial-politik di Indonesia”, Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol.1
No.1, (2012)
Ida Budhiati, “Quo Vadis Demokrasi Prosedural dan Pemilu: Sebuah Refleksi Teoritis”
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, No. 2, 2013,
Ismed Kelibay, Dinamika Pemilihan Kepala Daerah Serentak Nasional Dalam Pemilihan
Umum Tahun 2024, Jurnal Noken Ilmu Sosial Vol 7 No2,2022
Muzayanah, Kajian Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Menolak Gugatan
Uji Materi Undang-Undang Pemilihan Umum, Jurnal Komunikasi Hukum Vol.8 No.1,
Februari 2022.
Samudra Putra Indratanto, Nurainun, and Kristoforus Laga Kleden, “Asas Kepastian Hukum
Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Berbentuk Peraturan Lembaga
Negara Dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,” Jurnal Imu Hukum
16, no. 1 (2020):
W. Melfa, “Penataan Hukum Menuju Hukum Ideal Dalam Pengaturan Pemilukada”, Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, Vol. 42, (No. 2), 2013,
Website:
Survei Litbang Kompas: Mayoritas Masyarakat Tidak Tahu Masa Jabatan Kepala Daerahnya
Akan Berakhir Halaman all - Kompas.com, di akses pada tanggal 15 Juli 2022
https://www.iainpare.ac.id/opini-polemik-penunjukan-pj-kepala-daerah/, diakses Pada
tanggal 15 Juli 2022

Anda mungkin juga menyukai