Anda di halaman 1dari 7

REKONSTRUKSI REGULASI DALAM PEMILU 2024

DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PEMILU YANG


BERKUALITAS DAN BERMARTABAT
Oleh :
HENDRIK
(Universitas HKBP Nommensen Medan)

Introduksi
Pemilihan umum (pemilu), termasuk pemilihan langsung kepala daerah
(pilkada), oleh rakyat, merupakan salah satu cara mewujudkan kedaulatan rakyat
untuk mewujudkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang bersifat umum, bebas, rahasia, adil dan
jujur dapat terlaksana apabila dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang jujur,
profesional dan akuntabel.
Pemilu merupakan salah satu elemen terpenting dalam menjaga kedaulatan
rakyat, karena pemilu menempatkan rakyat sebagai focal point dalam
menjalankan kedaulatan. Indonesia telah menyelenggarakan lima pemilihan
parlemen dan empat pemilihan presiden reformasi, mulai tahun 1999, 2004, 2009,
2014, dan 2019.
Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak pertama yang menggabungkan
pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilu presiden dan wakil presiden.
Pemilu 2019 dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Pemilu kini telah memasuki tahapan Pemilu 2024. Pemilu serentak 2024
akan tetap berlangsung sesuai dengan Undang-Undang Pemilu yang menjadi
dasar Pemilu 2019. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2019, ada beberapa
persoalan yang harus diperhatikan. yang perlu diantisipasi ketika mengubah atau
menyempurnakan pemilu tahun 2024. Namun bersama harus menyadari bahwa
tidak ada perubahan yang dilakukan untuk mengantisipasi dan mencegah
kekurangan dan permasalahan yang akan timbul dalam pelaksanaan Pilkada
Serentak tahun 2024.
Setidaknya ada dua isu utama implementasi pemilu 2024 yang perlu
diantisipasi. Masalah pertama adalah pemilihan serentak dan pemilihan voivode
(pemilu) pada tahun 2024. Masalah kedua adalah tingginya beban tugas dan teknis
penyelenggara, baik dari pusat maupun ad hoc. Dalam artikel tersebut, penulis
akan mencoba membahas secara singkat kedua masalah tersebut,
menggabungkannya dengan serangkaian solusi dari sudut pandang regulasi.

Keserentakan Pemilu dan Pemilihan


Negara Republik Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional
dimana kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi negara diatur dengan undang-
undang. Demokrasi dan supremasi hukum hidup berdampingan dan tidak
didahulukan dari yang lain. Konsep tersebut didasarkan pada berlakunya Pasal
1(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 22E(1) UUD 1945 mengatur tentang konsep pemilihan wakil rakyat
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun. Namun
dalam praktiknya, pemilihan seperti itu hanya dapat dicapai jika pemilih
memberikan suaranya berdasarkan informasi yang diberikan secara memadai dan
benar.
Diketahui, pada tahun 2024 akan diadakan pemilihan serentak dan
pemilihan kepala daerah (pilkada). Dalam setahun, orang akan menggunakan hak
pilihnya, dengan begitu banyak calon pejabat.
Pemilihan itu sendiri akan menampilkan pasangan calon presiden dan
wakil presiden; 575 anggota DPR, 2.207 anggota DPRD provinsi; 17.610 anggota
DPRD kabupaten/kota; dan 136 anggota DPD. Sedangkan pada pilkada akan
dipilih 33 gubernur, 415 bupati, dan 93 walikota.
Pemilu 2024 akan tetap menggunakan undang-undang pemilu yang sama
dengan pemilu 2019, sehingga dapat menghadapi tantangan dan kompleksitas
yang sama dengan pemilu 2019. Seperti disebutkan di atas, model pemilu serentak
yang berhasil untuk pemilu 2019 juga akan berhasil untuk pemilu 2019. 2024.
Hanya, untuk Pilkada 2024 juga berjalan serentak dengan Pilkada 2024/pilkada
serentak.
Adapun model pemilihan umum serentak yang diatur dalam undang-
undang pemilu, latar belakangnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.
Dokumen No. 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014 menyatakan bahwa
penyelenggaraan pemilihan presiden dan pemilihan anggota badan perwakilan
secara tidak serentak bertentangan dengan prinsip konstitusional yang
mewajibkan penyelenggaraan pemerintahan dan hak yang efektif. warga memilih
dengan bijak.
Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Peraturan Pemerintah menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan tiga perubahannya (UU
Pilkada) tetap efisien pada Pemilu 2024.
Pasal 8 UU Pilkada Pasal 201 menyebutkan bahwa “Pemilihan Gubernur,
Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil walikota Republik
Indonesia akan dilaksanakan pada November 2024.” Artinya, akan ada fase
crossover antara Pilkada 2024 dan Pilkada, dan selama fase elektoral, di beberapa
titik fase elektoral, pilkada. Fase ini juga akan dimulai.
Pasal 201(8) UU Pilkada menyatakan bahwa “Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di
wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dilakukan dengan pemungutan suara
serentak secara nasional. ” Ini akan diadakan pada November 2024. Artinya, akan
ada fase crossover antara pilkada 2024 dan pilkada, dan selama fase pilkada
berlangsung, di beberapa titik fase pilkada, fase pilkada juga akan dimulai.
Pilkada serentak 2024 dan pelaksanaan pirkada merupakan pesta
demokrasi terbesar yang akan menentukan perjalanan bangsa Indonesia dalam
lima tahun ke depan. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu harus
mempersiapkan diri dengan baik dan matang. Jadwal dan tahapan pemilu 2024
telah ditetapkan, dengan hari pemungutan suara 14 Februari 2024. Adapun
Pilkada adalah 27 November 2024.

Beban Tugas Penyelenggara Pemilu


Salah satu unsur keberhasilan pemilu tidak terlepas dari peran
penyelenggara pemilu. Dalam UU Pemilu disebutkan bahwa penyelenggara
pemilu meliputi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu), dan Dewan Etik Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketiga lembaga ini
merupakan satu unit fungsional administrasi dengan bagian mandat yang berbeda.
Ada peran yang berbeda di antara penyelenggara. KPU berfungsi sebagai
pelaksana teknis tahapan pemilu. Bawaslu memiliki fungsi pengawasan terhadap
semua tahapan utama, mulai dari peserta pemilu, masyarakat, dan penyelenggara
pemilu (dalam hal ini KPU). Sementara itu, DKPP memiliki fungsi menjunjung
tinggi etika penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu. Hal ini dilakukan agar
penyelenggara pemilu tetap jujur dan dipercaya masyarakat. Kode Etik adalah
salah satu cara menjunjung tinggi etika sebagai penyelenggara pemilu.
Penyelenggara Pemilu harus mampu menyelenggarakan Pemilu 2024
dengan baik dan profesional, secara adil dan transparan. Tidak bisa dipungkiri,
penyelenggara pemilu akan menghadapi banyak persoalan kompleks dalam
pemilu 2024, dan kompleksitasnya adalah beban kerja yang semakin bertambah.
Pemilu 2019 lalu, merupakan pemilu serentak yang menggabungkan
pemilihan DPR, DPD, Presiden, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota. Dengan
format tersebut, Pemilu Indonesia bahkan dinobatkan sebagai pemilu satu hari
tersulit yang pernah dilaksanakan.
Beberapa masalah muncul dan harus dinilai bersama. Pertama, terkait
dengan beban kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Penyelenggara bekerja nonstop sejak H-3 hingga larut malam bahkan hingga pagi
hari. KPPS bekerja mulai dari mendistribusikan surat pemberitahuan kepada
pemilih, mendirikan Tempat Pemungutan Suara (TPS), hingga menyelenggarakan
pemungutan dan penghitungan surat suara untuk beberapa surat suara (5
pemilihan). Itu melelahkan bagi pelenggara dan beberapa tidak dapat mengisi
formulir C1 atau salah mengisi formulir. Lebih buruk lagi, beberapa orang jatuh
sakit dan bahkan meninggal.
Oleh karena itu, KPU harus memperbaiki teknis pelaksanaan
penghitungan suara TPS, yang juga terkait dengan waktu pelaksanaan tugas serta
pendidikan dan pelatihan petugas KPPS. Contohnya adalah penerapan sistem
informasi rekapitulasi yang dilakukan secara elektronik, tidak hanya untuk lebih
optimal dalam hal rekapitulasi dan akurasi data, tetapi juga untuk memudahkan
tugas-tugas lembaga ad hoc KPU.
Kedua, banyaknya logistik yang harus diamankan dan disalurkan sebelum
hari pemungutan suara dilaksanakan, yang membuat penyelenggara ad hoc di
tingkat PPK, PPS di tingkat desa, dan KPPS agak kewalahan. Belum lagi tugas
ekstra memantau langsung dan menyiapkan Tempat Pemungutan Suara (TPS)
yang menambah tingkat kelelahan para penyelenggara di bawahnya.

Menangani Masalah dengan Rekonstruksi Regulasi


Adanya masalah-masalah di atas dapat diperkirakan membuat undang-
undang yang tepat yang masuk akal, manusiawi dan universal dan Memperkuat
penyelenggaraan pemilu untuk menjamin kualitas pemilu yang langsung, terbuka,
bebas, rahasia, bersih, dan adil. Selain itu, juga dapat menghindarkan
penyelenggara dari terlalu banyak pekerjaan, sehingga terhindar dari hal-hal yang
tidak kondusif bagi kesehatan atau bahkan mengancam keselamatan jiwa.
Tanpa rekonstruksi (penjadwalan ulang) dan harmonisasi regulasi,
pelaksanaan tahapan pemilu 2024 tidak akan berjalan semulus yang diharapkan.
Dengan tidak adanya perubahan UU Pemilu dan UU Pilkada, maka pengaturan
teknis setiap tahapan pemilu kini berpijak pada Peraturan KPU (PKPU).
Baik UU Pemilu maupun UU Pilkada memberi wewenang kepada KPU
untuk membentuk PKPU sebagai implementasi undang-undang tersebut.
Kekuasaan ini memberikan peluang bagi KPU untuk mengatur dan
mengantisipasi permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilu
sebelumnya. Namun demikian, berdasarkan asas hirarki norma hukum, norma
yang ada dalam PKPU tentunya tidak akan bertentangan dengan perangkat
peraturan tersebut di atas, dalam hal ini UU Pemilu dan UU Pilkada serta undang-
undang terkait lainnya.
Penyusunan dan pengesahan PKPU yang akan datang harus terikat waktu
dan pembahasan harus dilakukan dengan hati-hati. Artinya, penetapan PKPU
harus dilakukan jauh sebelum tahapan dimulai, agar pengurus memiliki waktu
untuk memahami substansi apa yang diatur dalam spesifikasi PKPU. Internalisasi
dan Bimbingan Teknis (Bimtek) harus detail, sehingga persepsi sponsor benar-
benar utuh, dan kesalahan serta pelanggaran dalam pelaksanaan tugas dapat
dihindari.
Selain itu, waktu yang cukup harus disediakan untuk konsultasi dan
sosialisasi PKPU kepada pemilih dan peserta pemilu serta pemangku kepentingan.
Sosialisasi dan konsultasi yang sangat terbatas dapat menimbulkan
ketidaksepahaman di antara berbagai pemangku kepentingan dan dapat
menimbulkan banyak kontroversi dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada.

Penutup
Setelah menentukan jadwal dan tahapan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024,
KPU sebagai salah satu penyelenggara pemilu harus siap menghadapi Pesta
Demokrasi yang akan digelar serentak.
KPU tidak boleh berpuas diri dalam persiapannya agar Pemilu dan Pilkada
2024 dapat berjalan lebih baik dibandingkan Pemilu 2019 dan Pilkada
sebelumnya. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam proses
penyusunannya adalah peraturan yang menjadi pedoman pelaksanaannya.
Peraturan yang dikembangkan sebagai bagian dari fase pemilu harus
mengatasi masalah yang dihadapi dalam pemilu sebelumnya dan pemilu lokal.
Walaupun PKPU memiliki keterbatasan yaitu tidak dapat mengatur hal-hal yang
secara jelas tertuang dalam undang-undang, namun setidaknya ada peluang yang
dapat dimanfaatkan dalam penataan kembali undang-undang tersebut.
Di berharap dalam hal ini, peraturan PKPU dapat direstrukturisasi
kembali, yang dapat membuka pintu untuk menyelesaikan permasalahan pada
pemilihan umum 2024 dan pemilihan serentak. Tidak diragukan lagi bahwa
pemilu akan lebih demokratis, sehat dan bermartabat.
BIODATA PESERTA LOMBA ESAI BAGI MAHASISWA/I
FAKULTAS DAN PRODI HUKUM DARI UNIVERISITAS
SE-SUMATERA UTARA 2023

Nama : Hendrik
NPM : 22600002
Tempat, Tanggal lahir : Medan, 27 Agustus 1996
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat Rumah : Jalan Lumban Tonga-tonga Kec. Sipahutar Kab.
Tapanuli Utara Prov. Sumatera Utara.
Alamat domisili : Jalan Palang Merah Balakang No. 8p
No. Handphone/Wa : 0822-7423-7625
E-mail : hendriktamsil69@gmail.com
Perguruan Tinggi : Universitas HKBP Nommensen Medan
Program Study : Ilmu Hukum
Judul esai : Rekonstruksi Regulasi Dalam Pemilu 2024 Dalam
Rangka Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas Dan
Bermartabat

Anda mungkin juga menyukai