Anda di halaman 1dari 11

DINAMIKA PENEMUAN HUKUM DALAM PUTUSAN MAKHAMAH

KONSTITUSI NO.98/PUU-XXI/2023 – PERUBAHAN KETENTUAN


SYARAT BATAS USIA CAPRES DAN CAWAPRES DI INDONESIA

Andi Masduki
2008010386

Fakultas Hukum Universital Islam Kalimantan


Jl. Salak No.44, Loktabat Selatan, Banjarbaru,
Kalimantan Selatan

Abstrak

Perhelatan politik lima tahunan merupakan simplikasi demokratisasi dalam sebuah negara,
atau lebih dikenal sebagai instrumen formil demokrasi. Di dalam arena tersebut mengisyaratkan
rotasi kekuasaan yang diyakini sebagai bagian dari representasi kepentingan rakyat. Kontestasi
politik yang tinggal beberapa bulan lagi, tepatnya 14 Februari 2024, telah memacu atmosfer politik
semakin terasa bergelombang di antara para kontestan ataupun konfigurasi partai politik (parpol).
Parpol diberikan legitimasi konstitusional untuk menjadi institusi rekrutmen jabatan-jabatan
kenegaraan termasuk Presiden dan Wakil Presiden.
Kata kunci : Pemilu, Partai Politik, Presiden dan Wakil Presiden.

PENDAHULUAN

Pemilu merupakan pranata terpenting bagi pemenuhan tiga prinsip pokok


demokrasi dalam pemerintahan yang berbentuk republik, yakni kedaulatan
rakyat, keabsahan pemerintah dan pergantian pemerintah secara teratur.

Pemilu sebagai perwujudan demokrasi dianggap sebagai sarana atau


mekanisme ideal dalam rangka proses peralihan kekuasaan secara damai dan

1
tertib. Dengan penyelenggaraan pemilu, maka diharapkan proses peralihan
kekuasaan dalam suatu negara akan dapat berjalan dengan baik.1

Berbeda dengan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) sebelumnya.


Pemilu 2024 memiliki dua hal penting yang menjadi sorotan utama terkait dengan
pelaksanaan dan substansi pelaksanaan sirkulasi kepemimpinan tersebut. Pertama,
Pemilu 2024 menggunakan landasan hukum yang sama dengan Pemilu 2019 lalu,
yakni berpegang pada Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum. Dasar hukum UU tersebut yang kemudian mendorong Komisi
Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
sebagai dasar pelaksanaan Pemilu 2024. Penggunaan UU yang sama tidak terlalu
lazim dalam peta politik nasional, mengingat hampir setiap akan dilakukan
pemilu, terdapat revisi besar terhadap pengaturan kontestasi pemilu oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Hal ini kerap dikenal dengan
paket UU politik,2 fase ketika partai-partai politik membahas bagaimana pemilu
mendatang dilakukan.

Kedua, disadari maupun tidak, pelaksanaan Pemilu 2024 ditandai dengan


beragam dinamika politik, mulai dari isu terkait dengan perpanjangan masa
jabatan presiden, isu terkait tiga periode, hingga terakhir terkait dengan gugatan
kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penerapan sistem proporsional terbuka
atau tertutup,3 dan gugatan terkait batas usia minimal dari calon presiden
(capres) dan calon wakil presiden (cawapres).4 Dinamika politik ini menjadikan

1
Ansori, L. (2017). Telaah Terhadap Presidential Threshold Dalam Pemilu Serentak
2019. Jurnal Yuridis, 4(1), 15-27.
2
Paket UU politik biasanya berkaitan dengan UU krusial yang menyangkut UU Pemilu
maupun UU Pilkada. Pada tahun 2020, telah terdapat usulan untuk melakukan revisi terhadap UU
politik, termasuk diantaranya UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik yang diajukan oleh
Perludem (Perludem, 20/02/2020). Pada akhirnya pelaksanaan pemilu tetap menggunakan UU
7/2017 sebagai landasan hukum pelaksanaan Pemilu 2024.
3
Persoalan mengenai pemilu yang tidak kalah krusial berkisar pada persoalan gugatan sistem
proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi. Secara singkat, sistem ini digugat karena tidak
ada pembahasan secara spesifik bahwa sistem pemilu yang diterapkan di Indonesia menggunakan
sistem proporsional terbuka dalam UUD (Antara, 22/02/2023).
4
Terdapat gugatan kepada MK terhadap batas usia capres dan cawapres agar sesuai
dengan batas usia pada pemilu-pemilu sebelumnya. Gugatan dilakukan oleh Partai Solidaritas
Indonesia (PSI) dengan argumentasi utama bahwa anak muda harus diberikan kesempatan untuk
dapat menjadi pemimpin nasional (Liputan 6, 04/04/2023).

2
pemilu 2024 mendatang meletakkan dinamisasi politik tepat pada saat proses
pemilu sedang berjalan, dan bukan sebelum pemilu dilakukan, seperti layaknya
ketika dinamika UU Politik sebelum pemilu 2004, 2009, maupun 2014.

Dari banyaknya fragmen dalam pemilu tersebut, tulisan ini hendak


melihat salah satu persoalan penting yang berkaitan denganpelaksanaan pemilu
mendatang, yakni terkait dengan gugatan penerapan sistem proporsional terbuka
atau tertutup hingga tulisan ini ditulis pada bulan April 2023 masih dalam
pembahasan MK. Secara singkat, gugatan mengenai penerapan sistem
proporsional terbuka yang selama ini digunakan dalam pemilu di Indonesia dan
diatur pada UU no 7/2017 digugat oleh 6 (enam) orang pemohon, yakni Demas
Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan, Yuwono Pintadi,
Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono (Mahkamah
Konstitusi, 23/02/2023). Gugatan yang terdaftar dengan nomor registrasi
114/PPU/XX/2022 tersebut mendapatkan atensi publik, mengingat pelaksanaan
pemilu sudah berlangsung dan para calon anggota legislatif (caleg) akan
mendaftarkan diri pada tanggal 1 hingga 14 Mei 2023.

Artikel pendek ini hendak melakukan elaborasi terkait debat mengenai


penerapan sistem proporsional terbuka dan tertutup terhadap kuat atau tidaknya
kontrol publik dalam pemilu. Mengingat pelaksanaan sistem pemilu sangat
ditentukan oleh kondisi masyarakat sebuah negara yang menerapkan sistem
pemilu tersebut. Oleh karenanya terlepas dari persoalan sistem pemilu terbuka
dan sistem pemilu tertutup, fokus perhatian yang paling perlu untuk diperhatikan
ada pada sistem apa yang memungkinkan menghasilkan tata kelola pemerintahan
yang lebih baik.

RUMUSAN PERMASALAHAN

Rumusan masalah yang dapat diambil dari latar belakang di atas adalah :

1. Bagaimana Pengujian batas usia calon presiden dan calon wakil presiden ?
2. Bagaimana eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam pengujian batas usia
calon presiden dan calon wakil presiden ?

3
METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian


hukum normatif, yaitu suatu jenis penelitian hukum yang diperoleh dari studi
kepustakaan, dengan menganalisis suatu permasalahan hukum melalui peraturan
perundang-undangan, literaturliteratur dan bahan-bahan referensi lainnya yang
berhubungan dengan pembatalan putusan arbitrase internasional.

Pendekatan melalui metode penelitian hukum normatif yang digunakan


dalam menyusun artikel ini dilakukan dengan cara mempelajari ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku dan ajaran-ajaran para ahli hukum melalui bahan-
bahan hukum yang dikumpulkan dengan melakukan studi kepustakaan.

PEMBAHASAN

1. Pengujian Batas Usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden

Perhelatan politik lima tahunan merupakan simplikasi demokratisasi dalam


sebuah negara, atau lebih dikenal sebagai instrumen formil demokrasi. Di dalam
arena tersebut mengisyaratkan rotasi kekuasaan yang diyakini sebagai bagian dari
representasi kepentingan rakyat. Kontestasi politik yang tinggal beberapa bulan
lagi, tepatnya 14 Februari 2024, telah memacu atmosfer politik semakin terasa
bergelombang di antara para kontestan ataupun konfigurasi partai politik (parpol).
Parpol diberikan legitimasi konstitusional untuk menjadi institusi rekrutmen
jabatan-jabatan kenegaraan termasuk Presiden dan Wakil Presiden.

Orkestrasi pencalonan Presiden dan Wakil Presiden menjadi potret elektoral


bagi parpol pengusung ataupun pendukung dalam rangka meyakinkan rakyat untuk
menentukan pilihannya. Parpol dan/atau gabungan parpol dituntut mereka-reka
strategi jitu dalam rangka menemukan formulasi pasangan capres-cawapres.

4
Saling-silang di antara parpol dalam menentukan koalisi untuk memenuhi
presidential threshold sebagai tiket menuju perhelatan 2024 semakin dinamis.
Bahkan, terkesan telah terjadi turbulensi politik hingga dramatisasi penegakan
hukum yang terjerembap dalam skema aura pemilihan presiden dan wakil presiden.

Ditengah tarik ulur pendaftaran pasangan calon presiden (capres) dan calon
wakil presiden (cawapres) pada Oktober ini terdapat atmosfer politik yang
menakjubkan, yaitu proses pengujian batas minimal usia capres dan cawapres di
Mahkamah Konstusi (MK). Muncul berbagai pertanyaan publik, adakah
kepentingan mendesak sehingga perlu diuji perihal soal batas minimal usia capres
dan cawapres itu? Kenapa pengujian dilaksanakan pada saat tahapan pemilu sudah
berjalan?

Pasal 169 huruf q UU Nomor 17/2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa


syarat menjadi capres dan cawapres ialah berusia paling rendah 40 tahun. Berbagai
macam permohonan telah diperiksa dalam persidangan MK dari yang mengajukan
permohonan batas usia minimal 21 tahun, 25 tahun, 30 tahun, dan 35 tahun.
Argumentasi atas permohonan pengujian batas minimal usia capres dan cawapres
itu dilakukan dengan berbagai perspektif. Sebagai catatan dalam negara demokrasi
pergumulan pemikiran ialah hal biasa dan merupakan kewajaran. Bahkan,
perbedaan menjadi magnitude bagi tegaknya pilar demokrasi sepanjang dalam
koridor konstitusi.

Kedudukan MK sebagai guardian of constitution menjadi bagian dari


mengurai dan melerai dinamika argumentasi terkait dengan penafsiran atas
konstitusionalitas hak warga negara, yang mempertanyakan kedudukan konstitusi
atas norma perundangan yang dianggap berdampak kerugian konstitusional hak-
hak fundamental rakyat. Indonesia pernah menetapkan Perdana Menteri Sutan
Syahrir pada usia 36 Tahun. Syahrir diangkat Presiden Soekarno dan ditugaskan
menjalani roda pemerintahan serta bertanggung jawab kepada Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) atau Dewan Perwakilan Rakyat
Sementara (DPRS).

5
Di banyak negara muncul pemimpin di bawah usia 40 tahun, misalnya Kim
Jongun, pemimpin Korea Utara berusia 35 tahun. Sanna Marin, Perdana Menteri
Finlandia (34 tahun), Perdana Menteri Ukraina Olesksiy Valeriyovych (35 tahun),
Pemimpin Selandia Baru Jacinda Ardern (39 tahun), dan Sheikh Tamim bin Hamad
Al-Thani dari Emir Qatar (39 tahun). Bahkan, jika menelaah partisipasi politik
dalam kontestasi politik 2024, sekitar 56% pemilih yang terdaftar ialah berusia di
bawah 40 tahun sehingga ini juga yang menjadi magnitude bagi para pemohon
untuk mengajukan judicial review ke MK. Tidak sedikit publik khawatir bahwa
permohonan tersebut beririsan dengan kepentingan calon yang pada Oktober 2023
menginjak usia 35 tahun. Namun, terlepas dari itu, jika MK mengabulkan
permohonan, setiap orang yang berusia minimal 35 tahun berhak dicalonkan
menjadi capres dan cawapres oleh parpol dan/atau gabungan parpol. Saat ini gairah
publik terfokus pada permohonan pengujian syarat batas minimal usia capres dan
cawapres karena baru ada satu pasangan caprescawapres, yaitu Anies Baswedan-
Muhaimin Iskandar.

Sementara itu, capres lain, yakni Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo
belum ada pasangan. Karena itu, wajar publik bertanya apakah penetapan cawapres
harus menunggu putusan MK, padahal MK dalam pengujian terhadap UU tidak
terpaku batas waktu. Pertanyaan publik dalam momentum kontestasi politik itu
menjadi hal menarik. Apalagi Ketua MK Anwar Usman mencontohkan Nabi
Muhammad SAW yang mengangkat panglima perang berusia 17 tahun,
Muhammad Alfatih melawan kekuasaan Bizantium, mendobrak Konstantinopel
yang sekarang menjadi Istanbul. "Saya tidak menyinggung apa pun putusan. Jangan
dikaitkan dulu," kata Anwar Usman.

MK pernah mengabulkan permohonan mengenai batas usia jabatan publik.


Di antaranya soal usia pensiun panitera MK, usia pensiun jaksa, dan usia minimal
anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, MK juga pernah
menolak permohonan pengujian batas usia. Paling tidak delapan putusan
menyatakan ditolak dan lima permohonan tidak dapat diterima atau NO (niet
ontvankelijke verklaard).

6
2. Eksistensi Mahkamah Konstitusi

Eksistensi MK saat ini sedang diuji. Pasal yang dimohonkan oleh pemohon
sesungguhnya bukanlah urusan konstitusionalitas, melainkan urusan teknis yang
bukan merupakan kewenangan MK untuk menguji dan/atau menafsirnya sehingga
MK tidak berwenang mengabulkan permohonan tersebut dengan alasan-alasan di
luar konstitusionalitas, kecuali terdapat unsur diskriminasi. Batas usia capres dan
cawapres sama sekali tidak terdapat unsur diskriminasi.

Keberadaan Mahkamah Konsitusi (MK) dalam sistem hukum indonesia


dimaksudkan untuk memperkuat sistem check and balances dalam rangka
mewujudkan serta menjamin demokrasi. Kampanye merupakan hak bagi segala
peserta pemilu untuk menyuarakan pendapatnya berupa visi dan misi dari program
yang akan dibawakan ketika terpilih. Wujud dari kampanye pemilu berdasarkan
pernyataan piagam DUHAM yang memuat atas penyelenggaraan pemilu sebagai
sarana penyampaian keinginan rakyat sebagai dasar kewenangan pemerintah.
Secara tidak langsumg kampanye sudah dinyatakan melalui Pasal 21 ayat (3)
DUHAM bahwa “ Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah;
kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara
berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan
pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin
kebebasan memberikan suara” (Didi.Nazmi.2023). Mahkamah Konsitusi (MK)
mengetok putusan larangan total kampanye di tempat ibadah, namun membolehkan
kampanye disekolah dan kampus meski dengan berbagai aspek.

Presiden dan Wakil Presiden merupakan jabatan politik yang dipilih secara
langsung oleh rakyat (elected officials) sebagaimana diatur dalam Pasal 6A UUD
1945. Sebagai jabatan politik, syarat konstitusional (constitutional requirements)
untuk dapat dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 6
ayat (1) UUD 1945 bahwa Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang
warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima

7
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati
negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Jika MK memutus batas usia sebagaimana dimaksud karena berdimensi


diskriminatif, lantas apakah 35 tahun dan/atau di bawah 35 tahun tidak berimplikasi
mengandung makna diskriminatif? Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
'Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut
dengan undang-undang'. Dengan demikian, perumus UUD 1945 secara tegas
menyatakan bahwa urusan usia capres dan cawapres merupakan kewenangan
pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR sebagai positif legislation.

Dengan demikian, norma tersebut jelas bukan urusan konstitusionalitas,


melainkan urusan pembentuk UU atau open legal policy. Menelaah UUD 1945,
terkait dengan usia jabatan-jabatan kenegaraan diserahkan kepada lembaga
pembentuk UU. Para perumus UUD 1945 berkeyakinan bahwa batas usia jabatan
kenegaraan bersifat dinamis.

Jika dirumuskan dalam UUD 1945, akan menjadi statis dan tidak mudah
menyesuaikan dengan dinamika perkembangan sosial-politik kenegaraan. Karakter
dinamis juga dapat dilihat dari syarat usia hakim konstitusi semula minimal 47
tahun berubah menjadi 55 tahun, bahkan akan diubah lagi dalam UU MK menjadi
60 tahun. Demikian juga dengan syarat kelembagaan negara lain tidak diatur dalam
konstitusi, seperti DPR, DPD, dan DPRD ialah 21 tahun, Komisi Yudisial ialah 40
tahun, hakim agung ialah 45 tahun, dan BPK ialah 35 tahun.

Berbahaya jika konstitusi mengatur syarat minimal dan maksimal usia


jabatan kenegaraan karena jika terjadi perkembangan dinamika kenegaraan, harus
mengubah konstitusi. Padahal perubahan UUD 1945 berdasarkan Pasal 37 UUD
1945 termasuk dalam kategori rigid dan tidak mudah. Konstitusi tidak mengatur
hal-hal yang bersifat teknis, bahkan termasuk hal yang bersifat penting, melainkan
hanya hal-hal pokok dan mendasar.

8
Jika MK memutus batas usia capres dan cawapres, terkunci sudah dinamika
perkembangan ketatanegaraan termasuk dinamika kebangsaan. Memperhatikan
perkembangan keterangan DPR dan pemerintah sesungguhnya tersirat bahwa
perubahan batas minimal usia capres dan cawapres ialah sebuah kewajaran.

Sehubungan hal tersebut, menurut Mahkamah, keberadaan kebijakan


hukum atau kebijakan hukum terbuka (open legal policy) meskipun dapat diterima
dalam praktik ketatanegaraan, namun dalam perkembangannya seperti dalam
beberapa putusan Mahkamah tersebut di atas, Mahkamah dapat
mengabaikan/mengesampingkan seraya memberi tafsir ulang terhadap norma yang
merupakan open legal policy tersebut. Bahkan, Mahkamah dapat menilai norma
yang sebelumnya termasuk open legal policy dimaksud apakah tetap konstitusional
atau inkonstitusional atau pun konstitutional/inkonstitusional bersyarat, sebagian
atau seluruhnya. Terlebih, setiap pengujian undang-undang meskipun sama isu
konstitutionalnya, belum tentu sama karakter perkaranya baik karena berbeda batu
ujinya, posita dan petitumnya, maupun perbedaan dari segi makna (frasa) yang
dimohonkan oleh pemohon. Sehingga, perbedaan karakter perkara dimaksud dapat
berimplikasi pada perbedaan hasil atau putusan Mahkamah, antara lain seperti
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, dan/atau Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022, serta Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 121/PUU-XX/2022, yang telah dikemukakan di atas.

Bagi penulis, batas usia minimal capres dan cawapres bukanlah masalah
konstitusionalitas, melainkan merupakan open legal policy berdasarkan Pasal 6 ayat
(2) UUD 1945. MK tidak berwenang memutus hal-hal yang bersifat teknis apalagi
tidak menyangkut urusan konstitusionalitas. Jika MK memutus, norma batas usia
minimal capres dan cawapres menjadi stagnan, dan bahkan bisa menabrak
konstitusi.

9
PENUTUP

KESIMPULAN

Perhelatan politik lima tahunan merupakan simplikasi demokratisasi dalam


sebuah negara, atau lebih dikenal sebagai instrumen formil demokrasi. Di dalam
arena tersebut mengisyaratkan rotasi kekuasaan yang diyakini sebagai bagian dari
representasi kepentingan rakyat. Kontestasi politik yang tinggal beberapa bulan
lagi, tepatnya 14 Februari 2024, telah memacu atmosfer politik semakin terasa
bergelombang di antara para kontestan ataupun konfigurasi partai politik (parpol).
Parpol diberikan legitimasi konstitusional untuk menjadi institusi rekrutmen
jabatan-jabatan kenegaraan termasuk Presiden dan Wakil Presiden. Keberadaan
Mahkamah Konsitusi (MK) dalam sistem hukum indonesia dimaksudkan untuk
memperkuat sistem check and balances dalam rangka mewujudkan serta menjamin
demokrasi. Kampanye merupakan hak bagi segala peserta pemilu untuk
menyuarakan pendapatnya berupa visi dan misi dari program yang akan dibawakan
ketika terpilih.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ansori, L. (2017). Telaah Terhadap Presidential Threshold Dalam Pemilu Serentak


2019. Jurnal Yuridis, 4(1).
Anak Muda Punya Hak, https://www.liputan6.com/news/read/5251403/gugat-
batasminimal-usia-capres-dan-cawapres-ke-mk-psi-sebut-ingin-anak-
muda-punya-hak
BBC Indonesia, 15 April 2019, Pemilu 2019: Pemungutan suara Indonesia paling
'rumit' dan 'menakjubkan' di dunia,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47879833
Atang Irawan, 2023. Pengujian Batas Usia Capres-Cawapres. E-Paper Media
Indonesia.
Kompas, 16 Februari 2023, Agar Kompetisi Pemilu Sehat, Sumber Dana
Ilegal Perlu Diawasi Ketat,
https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/02/16/agar-kompetisi-pemilu-
sehat-sumber-dana-ilegal-perlu-diawasi-ketat
Liputan 6, 4 April 2023, Gugat Batas Minimal Usia Capres dan Cawapres ke MK,
PSI Sebut Ingin

11

Anda mungkin juga menyukai