Anda di halaman 1dari 6

Kompetisi Esai Hukum Tata Negara

Tanya Tanya Hukum Community

2023

UNICE

Nomor Tim 02

DIRECT CONVERSION: PERUBAHAN INDIKATOR PRESIDENTIAL


THRESHOLD PADA PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN

Universitas Negeri Semarang

Dengan tema :

Perspektif Hukum Tata Negara terkait Presidential Threshold


dalam Sistem Pemilu di Indonesia

1
PENDAHULUAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum,
pelaksanaan pemilu tahun 1999 di Indonesia menggunakan sistem demokrasi secara tidak
langsung. Kemudian pelaksanaan pemilu pada tahun 2004 dilaksanakan sebanyak dua
kali atas dasar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yaitu
pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden setiap lima tahun sekali.
Maka sejak saat itu, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Tidak ada perbedaan signifikan antara
pemilu tahun 2004 dengan pemilu tahun 2009 dan 2014. Pelaksanaan pemilu tahun 2009
dan 2014 tetap dilaksanakan sebanyak dua kali yaitu pemilihan legislatif dan pemilihan
presiden dan wakil presiden.1
Kemudian, pada tahun 2013, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
mengeluarkan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 mengenai hasil uji materi (judicial
review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden mengenai pelaksanaan pemilu tahun 2019 dan pemilu seterusnya yang
dilaksanakan secara serentak.2 Akan tetapi yang masih menjadi permasalahan hukum
dalam undang-undang ini yaitu masih adanya ketentuan mengenai presidential threshold
parpol dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden. Hal ini termuat dalam Pasal
222 UU Pemilu menyebutkan bahwa Parpol atau Gabungan Parpol Peserta Pemilu yang
mencalonkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden setidaknya memperoleh kursi
minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional
pada Pemilu DPR sebelumnya.

PEMBAHASAN
Pada awalnya tujuan diadakannya presidential threshold untuk melihat jumlah
parpol yang mendapatkan kursi di pemilihan umum dalam sistem proporsional. Akan
tetapi, pada pelaksanaan pemilihan umum belakangan ini penerapan presidential
threshold bertujuan untuk memperkuat sistem presidensial yang ada sehingga presiden
dan wakil presiden terpilih mempunyai kekuatan di legislatif. Akan tetapi, tidak sedikit

1
Muhammad Mukhtarrija, dkk, “Inefektifitas Pengaturan Presidential Threshold dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No.
4 Volume 24 (Oktober 2017), 646
2
Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013

2
juga masyarakat yang menolak presidential threshold dikarenakan berpotensi
menghilangkan hak parpol dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden.3
Namun, yang perlu diperhatikan salah satu putusan MK yaitu Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-IX/2013 menyatakan mengabulkan sebagian dengan
membatalkan beberapa pasal UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden yang kontradiksi dengan UUD NRI 1945. Namun, Pasal 9 UU No.
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak dibatalkan
karena MK menyatakan bahwa presidential threshold adalah kebijakan dari pembentuk
undang-undang (opened legal policy).4
Teori hukum responsif oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick menyampaikan
bahwa hukum harus selalu responsif memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan sosial
masyarakat.5 Penerapan presidential threshold di Indonesia harus dipahami secara sosio-
teleologis dan bukan secara gramatikal. Maka, penolakan penerapan presidential
threshold berpotensi menghasilkan pelaksanaan pemilu yang buruk baik secara proses
pelaksanaannya maupun tataran sistematis pemilu.
Oleh karena itu, problematika yang terjadi tidak harus diselesaikan dengan cara
menolak presidential threshold namun melakukan perubahan sistem secara langsung
(direct conversion) dengan beberapa rekomendasi terhadap penerapan presidential
threshold. Adapun rekomendasi yang diajukan yaitu merevisi ketentuan Pasal 222 UU
Pemilu yaitu dengan mengubah ketentuan presidential threshold yang didasari dari
jumlah kursi DPR dan suara sah nasional dari hasil pemilu sebelumnya menjadi jumlah
parpol yang ikut serta sebagai kontestan pemilu dan lolos verifikasi KPU pada tahun
pelaksanaan pemilreu, seperti menerapkan maksimal 20 persen dari jumlah parpol peserta
pemilu sebagai ambang batas koalisi.
Misalnya, pada tahun 2024 terdapat 30 parpol yang ikut serta pemilihan umum
pada tahun itu, maka apabila setiap partai berniat mengajukan calon presiden dan calon
wakil presiden masing-masing maka tindakan tersebut tidak melanggar undang-undang
dan telah sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 namun

3
Sultoni Fikri, “Problematika Konstitusionalitas Presidential Threshold di Indonesia,” Jurnal Hukum
Positum Volume 7 Nomor 1 (Juli 2022) hlm. 3.
4
Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
5
Henry Arianto, “Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia”, Lex Jurnalica Volume 7 Nomor
2 (April 2010), hlm 119.

3
apabila parpol berniat melakukan koalisi dengan parpol lainnya maka akan dibatasi
maksimal 20 persen dari jumlah parpol peserta pemilu saat itu sehingga koaliresi yang
terbentuk minimal sebanyak 5 (lima) koalisi parpol atau terdapat 5 (lima) pasangan calon
presiden dan wakil presiden.
Adapun yang menjadi landasan perubahan indikator presidential threshold yakni
sebagai berikut. Pertama, menjaga penerapan prinsip presidensial di Indonesia. Kedua,
tidak ada korelasi dan rasionalitas yang kuat antara hasil pemilihan umum sebelumnya
dengan pelaksanaan pemilihan umum saat itu sebagai ambang batas. Penggunaan
indikator presidential threshold pada pemilihan umum legislatif sebelumnya seperti
layaknya memasukan komposisi politik legislatif ke dalam pemilihan eksekutif sehingga
mencederai prinsip presidensial dianut.
Kemudian, rekomendasi kedua yakni merevisi salah satu ketentuan persyaratan
calon presiden dan calon wakil presiden mengenai minimal tingkat pendidikan yaitu
tamat SMA sebagaimana termuat pada Pasal 169 huruf (r) UU No.7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum dengan meningkatkan satu tingkat minimal pendidikan pasangan calon
menjadi strata-1. Selain itu menambah satu klausul persyaratan baru yakni mempunyai
pengalaman kerja di pemerintahan minimal selama 5 (lima) tahun.

PENUTUP
Pada mulanya penerapan presidential threshold bertujuan untuk melihat tingkat
kompetitif parpol untuk mendapatkan kursi di DPR. Kemudian, tujuan presidential
threshold mulai berubah untuk memperkuat sistem presidensial di Indonesia. Namun,
penerapan presidential threshold juga mendapat penolakan yang beralasan
menghilangkan hak politik parpol, sehingga dianggap kontradiksi dengan Pasal 6A ayat
(2) UUD NRI 1945. Akan tetapi problematika tersebut tidak harus diselesaikan dengan
melakukan penolakan melainkan melakukan perubahan langsung sistem (direct
conversion). Perubahan tersebut dapat dilakukan dengan merevisi Pasal 222 UU Pemilu
mengenai ketentuan indikator presidential threshold dari hasil pemilu sebelumnya
menjadi jumlah parpol peserta pemilu pada tahun pelaksanaan pemilu. Sehingga, tercipta
pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden yang efisien dan efektif serta sistem
presidensial tetap terjaga tanpa menghilangkan hak parpol.

4
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL ATAU ARTIKEL ILMIAH
Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Dalam Pemilu Serentak,
Rekonseptualisasi, and Rahmat Teguh Santoso Gobel. 2019. “‘Re-Conceptualizing
the Presidential Threshold in Concurrent Election.’”
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/18/23255461/effendi-ghazali-ajukan-.
Arianto, Henry. 2010. “HUKUM RESPONSIF DAN PENEGAKAN HUKUM DI
INDONESIA.”
Fikri, Sultoni, Baharuddin Riqiey, Muhammad Iffatul, and Miftaqul Janah. 2022.
“PROBLEMATIKA KONSTITUSIONALITAS PRESIDENTIAL THRESHOLD
DI INDONESIA.” Jurnal Hukum POSITUM 7 (1): 1–24.
Mukhtarrija, Muhammad, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, and Agus Riwanto.
2017. “INEFEKTIFITAS PENGATURAN PRESIDENTIAL THRESHOLD
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG
PEMILIHAN UMUM.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 24 (4): 644–62.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss4.art7.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden

PUTUSAN
Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013

5
Kompetisi Esai Hukum Tata Negara
Tanya Tanya Hukum Community
2023

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama : Edward Michael Harapan Simangunsong
NIM : 8111420346

Nama : Tama Amelia Putri Sijabat


NIM : 8111422530

Merupakan Delegasi dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang dalam


“Kompetisi Esai Hukum Tata Negara” yang diselenggarakan oleh Tanya Tanya Hukum
Community 2023, dengan ini menyatakan bahwa:
- Berkas Esai Hukum Tata Negara yang diserahkan kepada Panitia, adalah benar hasil
karya sendiri dan bukan hasil plagiarisme.
- Berkas Esai Hukum Tata Negara yang diserahkan kepada Panitia, belum pernah
diikutsertakan dalam kompetisi lain dan belum pernah dipublikasikan.
- Apabila di kemudian hari terbukti Berkas Esai Hukum Tata Negara yang diserahkan
kepada Panitia bukan hasil karya sendiri dan/atau hasil plagiarisme, maka saya bersedia
menerima sanksi berupa Diskualifikasi dari kompetisi ini, dan melepaskan seluruh hak
saya sebagai Delegasi dari kompetisi ini.

Semarang, 25 September 2023


Membuat Pernyataan,
KetuaDelegasi Anggota Delegasi

Edward Michael Harapan Simangunsong Tama Amelia Putri Sijabat


NIM. 8111420346 NIM. 8111422530

Anda mungkin juga menyukai