Anda di halaman 1dari 15

KASUS MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG BATAS USIA CAPRES

DAN CAWAPRES
untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Publik
Dosen pengampu :
YUSRAN FAHMI, S.IP,M.AP

Oleh:
Nama: Shalihah
Npm: 212308106
Lokal: 5 C reguler

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK


SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI (STIA) AMUNTAI
2023
KATA PENGATAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengajar mata kuliah kebijakan
Publik yang telah memberikan kami kesempatan untuk membuat Makalah ini
sebagai salah satu acuan serta menjadi sumber belajar.
Akhir kata, kami menyadari bahwa dalam Makalah yang telah penulis
selesaikan masih terdapat kesalahan baik dari segi Bahasa, tulisan, maupun
kalimat yang kurang tepat dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari Dosen serta semua kalangan pembaca yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah yang akan kami tulis
selanjutnya.

Amuntai, 18 Nov 2023

Penyusun

II
DAFTAR ISI

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Balakang
Perhelatan politik lima tahunan merupakan simplikasi demokratisasi
dalam sebuah negara, atau lebih dikenal sebagai instrumen formil demokrasi.
Di dalam arena tersebut mengisyaratkan rotasi kekuasaan yang diyakini
sebagai bagian dari representasi kepentingan rakyat. Kontestasi politik yang
tinggal beberapa bulan lagi, tepatnya 14 Februari 2024, telah memacu
atmosfer politik semakin terasa bergelombang di antara para kontestan
ataupun konfigurasi partai politik (parpol). Parpol diberikan legitimasi
konstitusional untuk menjadi institusi rekrutmen jabatan-jabatan kenegaraan
termasuk Presiden dan Wakil Presiden.
Orkestrasi pencalonan Presiden dan Wakil Presiden menjadi potret
elektoral bagi parpol pengusung ataupun pendukung dalam rangka
meyakinkan rakyat untuk menentukan pilihannya. Parpol dan/atau gabungan
parpol dituntut mereka-reka strategi jitu dalam rangka menemukan formulasi
pasangan capres-cawapres. Saling-silang di antara parpol dalam menentukan
koalisi untuk memenuhi presidential threshold sebagai tiket menuju
perhelatan 2024 semakin dinamis. Bahkan, terkesan telah terjadi turbulensi
politik hingga dramatisasi penegakan hukum yang terjerembap dalam skema
aura pemilihan presiden dan wakil presiden. Di tengah tarik ulur pendaftaran
pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada
Oktober ini terdapat atmosfer politik yang menakjubkan, yaitu proses
pengujian batas minimal usia capres dan cawapres di Mahkamah Konstusi
(MK). Menjelang batas akhir pendaftaran capres-cawapres, publik
dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai
kontroversial.
Dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa kepala daerah di
bawah usia 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai calon presiden atau calon
wakil presiden, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala
daerah. Putusan ini buntut dari JR UU No.7/2017 mengenai pemilu

4
5

terkait batas usia capres cawapres dan diajukan oleh seorang mahasiswa
Universitas Sebelas Maret (UNS) bernama Almas Tsaqibbirru.

B. Rumusan Masalah
1. Apa perubahan pada Undang-Undang nomor 7 tahun 2017?
2. Apa alasan dari perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017?
3. Apa yang menyebabkan terjadinya pro dan Kontra terhadap perubahan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017?

C. Tujuan makalah
1. Untuk mengetahui perubahan pada Undang-Undang nomor 7 tahun 2017.
2. Untuk memahami alasan dari perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun
2017.
3. Untuk mengetahui penyebab terjadinya pro dan Kontra terhadap perubahan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perubahan pada Undang-undang nomor 7 tahun 2017.


Pada Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum yang berbunyi: “Persyaratan menjadi calon Presiden dan
calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”
dan Mahkamah Konstitusi telah memutuskan dan memberikan tafsir
terhadap Pasal tersebut dengan bunyi amar :“Menyatakan Pasal 169 huruf q
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan,“berusia paling
rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Peraturan perundang-undangan maupun produk hukum yang lebih
operasional, antara lain sebagai berikut: Kebutuhan hukum yang mendesak
agar putusan Mahkamah Konstitusi segera dilaksanakan. Putusan Mahkamah
Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tentu tidak dapat dilakukan upaya
hukum lagi, sehingga secara hukum berlaku dan mengikat secara umum
layaknya undang-undang. Oleh karena itu, tidak ada alasan yang dapat dijadikan
dasar untuk menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi, selain untuk
melaksanakannya. Kebutuhan hukum yang mendesak agar putusan Mahkamah
Konstitusi segera dilaksanakan, antara lain dikarenakan putusan Mahkamah
Konstitusi dapat memengaruhi tahapan agenda ketatanegaraan dan/atau
pemerintahan, atau memengaruhi proses/tahapan hukum yang sedang berjalan.
Di mana beberapa putusan Mahkamah Konstitusi memengaruhi proses
pemilihan umum sebagai salah satu agenda ketatanegaraan. Tahapan pemilihan
umum telah diatur dengan cukup ketat, agar tidak menggangu proses pergantian
kekuasaan pemerintahan dan pengisian jabatan-jabatan negara. Setiap keadaan
hukum baru yang timbul pada saat tahapan/agenda pemilihan umum sedang
berlangsung, dan dapat memengaruhi tahapannya maka harus segera ditindak

6
7

lanjuti. Sedangkan apabila harus menunggu proses legistrasi di Dewan


Perwakilan Rakyat yang membutuhkan waktu/proses lama, tentu dapat
menghambat penyelenggaraan pemilihan umum sebagai salah satu agenda
ketatanegaraan yang harus diselenggarakan tepat waktu. Jika dilihat dari
Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang
menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun2017 tentang
Pemilihan Umum yang menyatakan “berusia paling rendah 40 (empat puluh)
tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau
pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum
termasuk pemilihan kepala daerah”, Tidak saja sekadar membatalkan norma,
akan tetapi mengubah atau membuat baru bagian tertentu dari isi suatu undang-
undang yang diuji, sehingga norma dari undang-undang itu juga berubah,
sehingga berpotensi akan berdampak luas sehingga perlu tindak lanjuti
putusan MK tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari munculnya
anggapan telah terjadi kekosongan hukum,maka pembentuk undang-undang
memiliki kewajiban untuk merespon putusan MK tersebut.
Terkait tindak lanjut putusan MK dalam konteks legislasi terdapat
ketentuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dimana Pasal 10 ayat (1) menyatakan
sebagai berikut: “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang
salah satunya berisi tentang tindak lanjut atas putusan MK. Selanjutnya
dinyatakan, tindak lanjut putusan MK tersebut dilakukan oleh DPR atau
Presiden. Proses tindak lanjut Putusan MK dengan undang-undang
membutuhkan waktu yang begitu lama, atas putusan Mahkamah Konstitusi
dengan beragam peraturan perundang-undangan maupun produk hukum yang
lebih operasional dengan alasan-alasan diantara-Nya. Ada beberapa pendapat
terkait usia capres dan cawapres terkait putusan MK Sehingga meskipun
seseorang yang telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara, namun
tidak diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan umum, maka sudah tentu tidak dapat menjadi
8

calon Presiden dan atau Wakil Presiden. Selanjutnya, seandainya seseorang


diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum, maka mereka tentu harus melewati syarat
konstitusional berikutnya, yaitu Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat. Oleh karena itu, terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden
yang berusia minimal 40 (empat puluh) tahun tetap dapat diajukan sebagai calon
Presiden dan Wakil Presiden. Pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu,
penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua
putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama namun karena
petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara
sehingga berdampak pada putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah
putusan yang terbaru. Artinya, putusan serta merta mengesampingkan putusan
sebelumnya. Ihwal pemahaman ini sejalan dengan asas lex posterior derogat
legi priori. Dengan demikian, tafsir konstitusional dalam mengesampingkan
putusan yang dibacakan sebelumnya dalam isu konstitusional yang sama, dan
putusan selanjutnya menjadi landasan konstitusional.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak dapat dilepaskan dari
konteks politik, karena putusan ini sudah berkaitan dengan batas waktu
pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Sehingga analisisnya pasti
siapa yang diuntungkan dari putusan tersebut.

B. Alasan perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017


Dalam Putusan MK No. 29/PUU-XXI/2023, uji materi mengenai Pasal
169 huruf q UU Pemilu tentang batas minimal usia capres dan cawapres ditolak
untuk seluruhnya. Adapun petitum pemohon adalah Pasal 169 huruf q UU
Pemilu bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia sekurang-kurangnya 35 tahun.
Pertimbangan hukum yang disampaikan oleh MK dalam putusan ini menurut
hemat kami pada pokoknya adalah ketentuan batas minimal usia capres dan
cawapres merupakan open legal policy.
9

Jika ditelusuri dari original intent dalam risalah perubahan UUD 1945,
mayoritas pengubah UUD 1945 atau fraksi di MPR berpendapat usia minimal
presiden adalah 40 tahun. Namun, dengan alasan persoalan usia di kemudian
hari dimungkinkan adanya dinamika dan tidak ada patokan yang ideal,
pengubah UUD sepakat untuk menentukan persoalan usia diatur dengan
undang-undang. Artinya, penentuan usia minimal presiden dan wakil presiden
menjadi ranah pembentuk undang-undang. Berkaitan dengan persyaratan batas
minimal usia capres dan cawapres, penting untuk memperhatikan berbagai
putusan MK mengenai batas usia bagi pejabat publik seperti calon kepala
daerah, pimpinan KPK, hakim konstitusi, usia pensiun hakim ad hoc yang
sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (open legal
policy), Suatu norma yang merupakan open legal policy atau kewenangan
pembentuk undang-undang bisa menjadi persoalan konstitusionalitas dengan
pertimbangan hukum sebagai berikut:
1. jika tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-
undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta nyata-nyata
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, maka pilihan
kebijakan demikian tidak dapat dilakukan pengujian oleh MK;
2. produk legal policy pembentuk undang-undang tidak dapat dibatalkan kecuali
jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang
intolerable;
3.Jika pada pokoknya tidak menimbulkan problematika kelembagaan yaitu
tidak dapat dilaksanakan, menyebabkan kebuntuan hukum, dan menghambat
pelaksanaan kinerja lembaga negara yang bersangkutan yang pada akhirnya
menimbulkan kerugian konstitusionalitas bagi warga negara, maka tidak
dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945;
4. berkaitan dengan usia minimal dan maksimal pengisian jabatan publik tidak
secara eksplisit bertentangan dengan konstitusi, namun bila secara implisit
normanya menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif
dikaitkan dengan persyaratan yang bersifat substantif, misalnya terkait dengan
yang pernah atau sedang menjabat dan mempunyai rekam jejak yang baik
berkaitan dengan integritas.
10

Dalam konteks batas usia capres/cawapres tersebut, ketentuan dalam


Pasal 169 huruf q UU Pemilu menurut MK telah memenuhi empat kriteria di
atas (hal. 219 – 221), sebagai open legal policy.
Dalam putusan tersebut, terdapat dissenting opinion yang disampaikan
oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah yang mengabulkan sebagian
permohonan dan menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu
inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40
tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan
umum, termasuk pemilihan kepala daerah (hal. 232).
Amar putusan dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 adalah
mengabulkan pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 169 huruf q UU
Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 atau
pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum
termasuk pemilihan kepala daerah” (hal. 58).
Artinya, tidak ada penurunan batas usia capres dan cawapres, yaitu
tetap minimal berusia 40 tahun. Hanya saja, terdapat pengecualian bagi
individu yang sedang/pernah dipilih dalam pemilu termasuk kepala daerah,
maka batas usia minimal tersebut tidak berlaku kepadanya.
Permohonan tersebut diajukan oleh Almas Tsaqibbiru Re A seorang
mahasiswa, yang dilanggar hak konstitusionalnya untuk dipilih dan memilih
capres/cawapres yang berusia di bawah 40 tahun pada pemilu 2024 (hal. 11).
Pemohon adalah pengagum Gibran Rakabuming Raka, Walikota Solo, yang
masih berusia 35 tahun (hal. 15).
Alasan yang diajukan oleh pemohon yaitu diskriminasi usia atau
ageisme. Selain itu, apabila seseorang sudah pernah dipilih dan menduduki
jabatan eksekutif, maka ia telah teruji dan telah berpengalaman dalam
memimpin daerah. Pemohon merasa jika sosok yang dikagumi generasi muda
tidak bisa mendaftar capres, maka hal tersebut inkonstitusional
11

Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu


bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “berusia paling
rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota” (hal. 18).
Pertimbangan hukum yang disampaikan MK dalam putusan ini,
menurut hemat kami berkaitan dengan pemaknaan open legal policy,
kesamaan karakteristik jabatan publik, dan ketidakadilan yang intolerable.

C. Penyebab terjadinya pro dan kontra


Paska Mahkamah Konstitusi membacakan beberapa putusan terhadap
permohonan pengujian undang-undang (judicial review) mengenai
konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum yang mengatur batas minimal usia calon presiden dan wakil
presiden, muncul berbagai pendapat dari kalangan masyarakat yang turut
memberikan penilaian atas putusan-putusan tersebut. Ada diantara masyarakat
yang pro dan kontra terhadap Putusan MK tersebut, khususnya perkara
nomor 90/PUU-XXI/2023. Tidak sedikit masyarakat yang berkomentar
beragam mengenai Putusan MK yang telah dibacakan pada Senin, 16
Oktober 2023 lalu. Dari berbagai putusan yang telah dibacakan, ada satu
putusan perkara yang memunculkan keriuhan beragam komentar publik,
yakni Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang putusannya mengabulkan
sebagian permohonan dengan menyatakan konstitusionalitas usia
capres/cawapres yang sebelumnya ditetapkan “paling rendah 40 tahun”.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menyatakan bahwa usia “paling
rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan UUD NKRI 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai
“berusia paling rendah 40 tahun.
Isu ini disorot oleh pakar hukum dan politik UGM melalui diskusi
Election Corner bertajuk “MKDK: Mau ke Mana Demokrasi Kita” pada
Kamis (19/10). Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum UGM menyebutkan,
12

putusan hukum MK kali ini berdampak besar pada nama baik MK dan hukum
Indonesia.
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) memandang pro
dan kontra atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal capres-cawapres
yang belum berusia 40 tahun bisa maju asal kepala daerah berpengalaman,
adalah hal yang sah-sah saja. LMND menyebutkan fokus pihaknya di masa
pemerintahan periode mendatang adalah mendorong masalah-masalah
pendidikan di Tanah Air teratasi dengan baik. "(Pro-kontra) sah-sah saja
sesuai dengan kepentingan politik mereka pada pemilu 2024. Saya hanya
menekankan siapapun pasangan capres dan cawapres yang dinyatakan lolos
oleh KPU, harus berkompetisi secara manipolis dan mengedepankan politik
gagasan," ucap Ketua Umum LMND, Muhammad Asrul, kepada wartawan,
Rabu (18/10/2023).
Masalah global dan nasional yang dimaksudnya adalah geopolitik
global yang memanas, krisis pangan dan energi di depan mata, bonus
demografi, persoalan pendidikan, pengangguran, disrupsi teknologi, krisis air
bersih di beberapa daerah, ketimpangan sosial, kenaikan harga kebutuhan
pokok, krisis lingkungan, masalah stunting. "Di atas segalanya, kehidupan
demokrasi politik hari ini tidak bisa dijauhkan dari urat nadi penderitaan
rakyat," imbuh Asrul. Oleh sebab itu dia menekankan kepentingan organisasi
yang dipiminya adalah memastikan pemimpin ke depan memiliki program
terkait masalah pendidikan nasional. "Kepentingan LMND dalam politik 2024
adalah mendorong manifesto pendidikan nasional sebagai jalan keluar atas
persoalan pendidikan nasional, dan akan ditawarkan kepada para calon
presiden dan wakil presiden termasuk para calon legislatif dan kepala daerah,"
ungkap dia.
Asrul menyebut kelompok yang kontra dengan putusan MK, akan
mengaitkan putusan dengan sosok anak sulung Presiden Joko Widodo
(Jokowi) yang juga Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Namun Asrul
menyebut dirinya belum mendengar dan membaca Gibran menyatakan
kesediaan sebagai cawapres sejauh ini. "Perspektif pertama menanggapi
putusan MK ini dianggap syarat atas kepentingan politik kekuasaan, lantaran
13

membuka kran konstitusional bagi Mas Gibran untuk menjadi calon


presiden maupun cawapres. Hal ini didasarkan pada posisi Mas Gibran
sebagai anak dari Presiden Jokowi, dan keponakan dari Hakim di MK,
sekaligus disinyalir sebagai upaya memperkuat politik dinasti dari Pak
Jokowi," terang Asrul. "Selain itu argumentatif ini juga didukung oleh
elektabilitas Mas Gibran yang tinggi sebagai kepala daerah yang usianya di
bawah 40 tahun jika dibandingkan dengan kepala daerah yang lain. Ini baru
hanya sebatas perspektif publik. Karena sampai detik ini belum membaca dan
mendengar kesiapan Gibran untuk menjadi calon wakil presiden dan
situasinya masih terus dinamis," lanjut dia.
Terakhir, Asrul menyebut pihak yang pro akan putusan tersebut
memandang kaum muda akan memiliki ruang seluas-luasnya untuk
berkompetisi di dunia politik tingkat nasional. Asrul mengatakan kondisi saat
ini adalah penduduk usia produktif mendominasi, namun ruang untuk kaum
muda berpolitik di tingkat nasional minim. "Menganggap bahwa putusan MK
ini memberikan ruang seluas-luasnya bagi kepala daerah yang berusia di
bawah 40 tahun untuk bisa berkompetisi di tingkat nasional sebagai calon
presiden, maupun calon wakil presiden. Hal ini sandarkan pada situasi
demografi nasional, di mana usia produktif dominan dan minimnya ruang
politik bagi anak muda dalam kancah politik nasional," tutur Asrul. “Ruang
politik nasional bukan hanya capres-cawapres, tetapi kalau kita lihat secara
obyektif, cukup banyak kepala daerah dan anggota legislatif yang secara usia
masih muda. Selain itu hal ini juga menjadi PR bagi partai-partai politik untuk
menguatkan proses kaderisasi secara simultan dan membuka ruang seluas-
luasnya untuk posisi-posisi strategis di dalam struktural partai. Hal yang perlu
diingat bahwa zaman telah berubah dan perubahan ini menuntut anak zaman
untuk memberi arah dan menjawab tantangan zamannya," pungkas dia
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengatakan, putusan
MK tak bisa memuaskan semua pihak. Ia yakin akan selalu ada pro kontra
dalam proses uji materi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa batas usia calon


pressiden dan wakil presiden adalah 40 tahun atau menduduki jabatan yang
dpilih dari pemilu atau pilkada. Putusan ini memungkinkan kepala daerah
dibawah usia 40 tahun unutk mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres,
asalkan mereka pernah atau menjabat sebagi kepala daerah. Tidak sedikit
masyarakat yang berkomentar beragam mengenai Putusan MK yang telah
dibacakan. Dari berbagai putusan yang telah dibacakan, ada satu putusan
perkara yang memunculkan keriuhan beragam komentar publik, mereka
beranggapan bahwa putusan itu akan memengaruhi tingkat kepercayaan publik
terhadap mahkamah konstitusi(MK). meskipun terdapat pandangan
kontroversial terkait putusan ini, mahkamah konstitusi telah memutuskan batas
usia capres dan cawapres sesuai dengan amar putusan pengujian materiil Nomor
90/PUU-XXI/2023. Dengan adanya batasan usia setidaknya 40 tahun sebagai
capres dan cawapres atas dasar apapun hal demikian termasuk perlakuan yang
bersifat diskriminatif. Beberapa negara seperti Argentina, Kolombia, dan
Prancis menyaratkan usia 30 tahun untuk dapat menjadi capres dan cawapres
negaranya, sementara Lebih muda lagi ada Prancis yang mensyaratkan usia 18
tahun dapat dijadikan usia untuk mengajukan diri sebagai pemimpin negara.
MKDK menyebutkan bahwa putusan hukum tersebut berdampak besar
pada nama baik MK dan hukum Indonesia, dan penegakan hukum yang penting
dalam demokrasi itu diganggu ketika esensi demokrasi dasar, seperti syarat
capres-cawapres, itu tiba-tiba dihilangkan oleh hakim.

B. Saran

Berdasarkan dari pembuatan makalah yang telah dikerjakan, saya


bermaksud untuk memberikan saran yang dapat bermanfaat bagi pembaca
mengenai kasus Mahkamah Konstitusi(MK) tentang batas usia capres dan
cawapres.

14
DAFTAR PUSTAKA

Vibhisana, A. D. A., Nugroho, M. R., & Rofiulhaq, F. M. (2023). DI BAWAH


KONTROL PUBLIK: Analisa kritis penerapan sistem proporsional terbuka
maupun tertutup terhadap peluang penguatan kontrol publik pada Pemilu
2024. Jurnal Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau, 5(01), 24-34.
Muhdar, M., & Susilowati, T. (2023). Analisis Yuridis Putusan Mahkamah
Konstitusi Tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Terhadap Penegakan dan Kepastian Hukum di Indonesia. Perkara: Jurnal Ilmu
Hukum dan Politik, 1(4), 148-167.
Subandri, R. (2024). Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
90/PUU-XXI/2023 Tentang Persyaratan Batas Usia Pencalonan Presiden Dan
Wakil Presiden. Jaksa: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Politik, 2(1), 135-153.
Naufiatul Munaworah S.H., M.H(2023). penecualian batas usia capres dan
cawapres, ini alasan MK.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengecualian-batas-usia-capres-dan-
cawapres-ini-alasan-mk-lt65311a4618f88
Audrey santoso (2023) LMND: Pro dan kontra Putusan MK soal capres/cawapres
U-40 Sah-sah saja.
https://news.detik.com/pemilu/d-6989755/lmnd-pro-dan-kontra-putusan-mk-
soal-capres-cawapres-u-40-sah-sah-saja

15

Anda mungkin juga menyukai