Anda di halaman 1dari 4

TUGAS HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

NAMA : ANDI AULIA RAMADHANI

NIM : B011211015

CRITICAL REVIEW PUTUSAN Nomor 90/PUU-XXI/2023

Mahkamah Konstitusi merupakan Lembaga yang memiliki tugas dan wewenang yang sangat
penting sebagai the guardian of constitution, Salah satu bentuk perwujudan hal tersebut yakni
dengan berwenangnya Mahkamah Konstitusi untuk menguji UU terhadap UUD 1945
sebagaimana dalam pasal 24 C UUD 1945 “Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
UUD 1945”. Selain itu diatur juga syarat atau legal standing yang berhak melakukan
permohonan pengujian materil maupun formil , yakni diatur kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

a) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD
1945;
b) hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan
oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c) kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-
tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d) adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-
undang yang dimohonkan pengujian;
e) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Dalam hal ini diatur bahwa pemohon harus memnuhi 5 syarat diatas untuk menentukan legal
standing berdasarkan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional .

Apabila kita melihat dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pada pokok
permohonannya mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang mengatur
ambang batas usia calon presiden dan wakil presiden, dimana salah satu argemntasi alasan
pemohon yang merupakan seorang mahasiswa menyatakan bahwa ketentuan pada Pasal 169
huruf q UU 7/2017 merupakan suatu bentuk pelanggaran moral. Sebab, hal ini berhubungan
erat dengan diskriminasi karena ketentuan pasal a quo, menciptakan suatu diskriminasi dari
perbedaan golongan umur yang mengakibatkan terciderainya satu golongan kelompok umur
yang seharusnya diberikan kesempatan yang sama sebagaimana dimaksud pada Pasal 28D ayat
(3) UUD 1945; yang pada akhirnya MK memutuskan bahwa Pasal 169 huruf q UU 7/2017
menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang
menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Tentunya hal tersebut menua banyak pro kontra dan terdapat dissenting opinion anatara hakim
mahkamah konstitusi dan beberapa hal yang perlu dikritisi

LEGAL STANDING

Berdasarkan yang telah dipaparkan diatas bahwa pemohon haruslah memenuhi syarat legal standing
dan harus membuktikan kerugian hak konstutusional sebagaimana yang telah diatur, namun dalam
hal ini kedudukan pemohon sebagai seorang mahasiswa seharusnya tidak memenuhi 5 syarat
penilaian terhadap kerugian konstitusional yang pada akhirnya menghasilkan putusan tidak dapat
diterima pun Ketika pemohon mendalilkan kerugina konstitusionalnya bersifa spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak - tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat
dipastikan akan terjadi. Hal tersebut juga tidak dapat dibenarkan dan tidak memenuhi konteks yang
wajar karena pemohon sama sekali buka merupakan anggota partai politik sehingga alasan
Mahkamah Konstitusi untuk enerima kedudukan hukum pemohon juga perlu dipertanyakan ,
sebagaimna juga pendapat Hakim Wahiduddin mengungkapkan, MK melakukan praktik legislating or
governing from the bench tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup (sufficient
reason) dalam batas penalaran yang wajar .

Hal inipun sejalan dengan dissenting opinion oleh para hakim salah satunya adalah Suhartoyo yang
mangatakan bahwa Pemohon bukan subjek hukum yang berkepentingan langsung untuk
mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden, sehingga Pemohon tidak relevan memohon
untuk memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain, sebagaimana
selengkapnya dalam petitum permohonannya.

OPEN LEGAL POLICY

Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution , and the final interpreter of consititution
berkedudukan sebagai legislator dalam arti negatif karena berwenang untuk
menghapus/membatalkan suatu norma dari Undang-Undang artinya mahkamah tidak berwenang
untuk membuat norma baru melainkan hanya berfungsi untuk membatalkan suatu norma hal ini
tentunya berbeda dengan Legislatif yang berperan sebagai positif legislator yakni berwenang
membuat norma baru. Sehingga dalam hal ini pokok permohoan pada Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang
menguji ambang batas usia calon presiden tidak menjadi ranah kewenagan MK untuk membuat
norma baru melainkan bentuk open legal policy yang artinya pengaturannya dikembalikan kepada
pembuat UU sehingga Ketika Mhakamah Konstitusi memutus hal yang demikian sejatinya hal tersebut
telah melenceng dari fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai Ngetive Lgislator Sebagaimana hal tersebut
juga sesuai dengan maksud Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Syaratsyarat untuk menjadi
Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan 60 undang-undang .

INKONSISTENSI DAN CACAT ETIKA

Sebelum dibacakannya putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK telah lebih dulu


membacakan putusan terkait ambang batas usia calon presiden dan wakil presiden yang
diajukan oleh beberapa partai politik dimana MK telah menolak beberapa perkara sebelumnya,
baik yang mempersoalkan kriteria ”batas usia” maupun ”pernah berpengalaman sebagai
pejabat (daerah)”. Namun pada putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mempersoalkan hal
yang sama dikabulkan Sebagian oleh MK dengan memutuskan bahwa Pasal 169 huruf q UU
7/2017 menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh)
tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk
pemilihan kepala daerah”.tentunya hal menimbulkan tidak konsistennya MK dala memberi
putusan sekaligus tidak mempunyai alasan hukum yang kuat mengapa kemudian putusan ini
dikeluarkan.

Pun putusan MK ini juga sarat akan kepentingan dimana dalam berkas perkara itu tersurat nama
seorang wali kota yang berkepentingan dalam kontestasi pemilu nantinya. Namun, justru
proses persidangannya dihadiri oleh Ketua MK yang berkerabat dengan pihak-pihak yang
dapat diuntungkan melalui putusan ini. Sehingga putusan ini diambil bukan berdasarkan
adanya ratio dicedendi namun konflik kepentingan hal inipun menunjukkan bahwa adanya
pelanggaran etika yang dilakukan oleh MK sehingga pelanggaran etika moral pejabat publik
akan berarti mempertaruhkan martabat institusi, hilangnya kepercayaan publik dan legitimasi
sosial, yang berdampak Panjang.
KESIMPULAN

Hadirnya putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menunjukkan hilangnya marwah dari


Mahkamah konstitusi sebagai the guardian of constitution ada banyak hal yang sangat perlu
dikritisi Kembali terkait dengan dikeluarkanya putusan batas usia capres cawapres yang sarat
akan unsur politik pada akhirnya melahirkan putusan yang telah enciderai nilai-nilai dan
marwah Lembaga independent Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi pun dalam putusanya tidak konsiten untuk menerapkan paradigma
kerugian konstitusional dan 5 syarat penilaian terhadap kerugian konstitusional dan syarat
pemohon sebagai mahasiswa harusnya tidak memenuhi legal standing, pun juga terjadi
inkonsistensi pertimbangan hukum dari pputusan usia capres sebelumnya dan putusan Nomor
90/PUU-XXI/2023, serta terdapat pelanggaran kode etik yang telah dilakukan oleh hakim MK
dalam memutus perkara tersebut, maka dari itu Produk kebijakan dan hukum yang dihasilkan
pejabat publik yang dianggap cacat etika moral akan selalu dipertanyakan akuntabilitasnya dan
tidak dipercaya

Anda mungkin juga menyukai