Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang berkaitan dengan uji
konstitusionalitas Pasal 169 huruf q dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dimana dalam putusan tersebut menegaskan bahwa usia minimal untuk seseorang dapat menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah 40 tahun. Dalam putusannya sendiri MK menyatakan batas usia minimal 40 tahun untuk seseorang menjadi calon presiden dan wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945. Namun, batas usia tersebut dapat dikesampingkan dengan syarat sedang atau pernah menduduki jabatan kepala daerah yang dipilih melalui pemilu. Dalam putusannya, MK memutus pasal “bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 4 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki wewenang untuk menguji Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sesuai dengan apa yang tercantum pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Pengujian UU ini dilakukan dengan menguji suatu pasal yang ada dalam UU apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak yang nanti hasil dari pengujian tersebut adalah putusan konstitusional atau inkonstitusional. Permohonan pengujian ini diajukan oleh seorang mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret, yakni Almas Tsaqibbirru. Statusnya sebagai mehasiswa membuat legal standing dari pemohon sangat lemah, namun MK mengakui pemohon dikarenakan pemohon adalah seorang mahasiswa. Pemohon mengajukan permohonan berdasarkan kekagumannya terhadap Gibran Rakabuming yang merupakan Walikota Solo, dimana Gibran tidak bisa mengajukan dirinya sebagai calon presiden atau calon wakil presiden berdasarkan Pasal 169 huruf q. Sehingga kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon sebenarnya tidak ada sehingga legal standing pemohon lemah. Tetapi, MK memberikan izin untuk pemohon mengajukan permohonan, padahal berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, seseorang dapat mengajukan permohonan apabila kerugian konstitusional ini dialami secara langsung, sifatnya spesifik, dan aktual. Mahkamah Konstitusi bersikap tidak konsisten karena mengubah pandangannya dalam pengujian pasal yang berkiatan dengan Pemilu. Sebelumnya terdapat tiga pola dari tujuh perkara yang berkaitan dengan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang telah diputus oleh MK yakni perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Garuda, dan perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh kepala daerah. Apabila satu dari tiga pola diatas ditolak untuk diuji dikarenakan alasan kebijakan hukum terbuka, maka seharusnya pola lainnya ditolak dengan alasan yang sama. Hal ini dikarenakan pola perkara tersebut memohon MK untuk memutus suatu perkara yang bukan wilayah kewenangan MK, tapi merupakan wewenang pembentuk UU (open legal policy). Keberadaan MK yang fungsinya seharusnya menguji norma yang sudah ada, di perkara ini permintaan yang diajukan menambah norma sehingga putusan ini tidak sesuai dengan konsep awal keberadaan MK. Dalam putusan MK itu, yang benar-benar cocok dengan amar putusan hanya tiga hakim, dua hakim lain yang menyatakan concurring opinion tetapi berbeda kesimpulan. Dalam menangani sebuah perkara judicial review, ada tiga hal yang harus diputuskan MK sebelum memutuskan perkara itu bisa diuji atau tidak. Yang pertama adalah terkait dengan UU yang diajukan, apakah MK berwenang mengadili UU tersebut. Dalam kasus ini, UU yang diajukan termasuk dalam kewenangan MK. diputusan tersebut clear, MK berwenang, karena ini adalah judicial review terhadap Undang-Undang. Kedua, masalah legal standing. Dalam putusan terhadap pasal 169 huruf q dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut, hakim menyatakan pemohon tidak mempunyai legal standing. Sementara delapan hakim lainnya memutuskan pemohon mempunyai legal standing. Menurut mereka, untuk melakukan judicial review tidak harus memiliki kepentingan langsung. Demikian pula, Mahkamah Konstitusi seringkali mempunyai pandangan eksternal yang luas atau ekspansif mengenai legal standing. Namun belakangan ini Mahkamah Konstitusi cenderung menggunakan penafsiran yang sempit. Contohnya adalah judicial review terhadap presidential threshold yang diajukan oleh salah satu partai baru peserta pemilu 2024. Sehingga, terkait legal standing tersebut, Mahkamah Konstitusi tidak konsisten. Yang ketiga berkaitan dengan pokok perkara. Dalam kasus putusan terakhir, MK terlebih dahulu menolak gugatan pemohon. Inti penolakan gugatan itu masuk pada wilayah open legal policy atau wilayah DPR. Namun, pada putusan terakhir, gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa, MK mengabulkan permohonan dengan memberikan alternatif usia 40 tahun atau pernah berpengalaman menjadi pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah. Dalam putusan ini, empat hakim menolak gugatan pemohon. Tiga hakim menyatakan UU yang diuji masuk dalam wilayah open legal policy dan satu hakim menyatakan si pemohon tidak memiliki legal standing. Tiga hakim menerima permohonan dan bahkan memperluas pengalaman itu pada wilayah elected person atau pemilu. Sementara dua hakim menyatakan concurring opinion, yaitu cara berpikir yang beda tetapi kesimpulannya sama. Dua hakim itu mengabulkan sebagian gugatan pemohon yakni berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi terbilang aneh. Tampaknya ada yang belum terselesaikan secara internal di Mahkamah Konstitusi. Namun apapun keputusan MK, tetap hukum yang harus diterapkan. Apapun yang diputuskan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.