Anda di halaman 1dari 12

Ujian Akhir Semester Hukum Tata Negara

oleh:
Maulana Fadillah
110110170271

Hukum Tata Negara Kelas C

Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran
2019
1. Jawaban atas pertanyaan apakah pemilu serentak telah mewujudkan tujuan-tujuan yang
hendak dicapainya (Coattail Effect)?

Sistem pemilihan umum dalam suatu negara merupakan sebagian dari objek
penyelidikan hukum tata negara sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr
.J.H.A. Logemann yaitu mengenai bagaimana cara memperlengkapi mereka (jabatan-
jabatan yang terdapat di dalam susunan kenegaraan) dengan pejabat-pejabat 1.
Selain Prof.Dr.J.H.A. Logemann, ahli hukum tata negara lain yang memasukkan
pemilu ke dalam salah satu persoalan hukum tata negara ialah Prof.Usep
Ranawidjaja,S.H. di dalam bukunya yang berjudul Hukum Tata Negara Dasar-
Dasarnya yaitu cara pembentukan (melalui pengangkatan, melalui pemilihan umum
secara langsung, melalui pemilihan bertingkat) Badan-badan ketatanegaraan yang
mempunyai kedudukan di dalam organisasi negara sebagai bagian yang menentukan
arah dan haluan dari negara, sebagai bagian yang memimpin penyelenggaraan usaha
negara, sebagai bagian yang memegang dan menjalankan kebijaksanaan umum dari
negara.2 Pelaksanaan pemilu secara serentak itu sendiri, pada tahun 2019 adalah
buah dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Dalam putusan
tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon yaitu bahwa
Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat 3.
Konsekuensi dari amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadikan
pemilihan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden dengan pemilihan anggota DPR,
DPD, dan DPRD dilaksanakan secara bersamaan, tanpa menunggu terlebih dahulu
pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD4.

Mengenai pertimbangan diadakannya pemilu serentak yang diharapkan


mucul coattail effect, yakni kecenderungan bagi pemilih untuk memilih partai politik

1
Prof.Usep Ranawidjaja, S.H, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1983,
hlm. 14
2
Ibid, hlm. 30
3
Amar Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 Angka 1.1 dan 1.2
4
Bandingkan dengan Pasal 3 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden
di parlemen yang sama dengan partai politik presiden, yang dimaksudkan untuk
memperkuat sistem presidensial agar nantinya presiden terpilih memiliki dukungan
yang kuat di DPR dan membantu penyederhanaan partai politik yang ada. Hal ini
menurut saya sudahlah tepat dalam konteks tujuan dilaksanakannya pemilu
serentak, namun kedepannya dalam proses penyelenggaraan negara yang menganut
prinsip check and balances, Ketiadaan atau minimnya oposisi dalam DPR, akibat
partai politik di parlemen yang sama dengan partai politik presiden, menimbulkan
permasalahan ketatanegaraan berkaitan dengan salah satu tugas dan fungsi badan
perwakilan, yakni fungsi kontrol dan checks and balances yang dimandulkan5. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oposisi diartikan sebagai partai penentang di
dewan perwakilan dan mengkritik pendapat atau kebijakan politik golongan
mayoritas yang berkuasa. Urgensi dari oposisi ini, Prof. Sri Soemantri dalam
bukunya yang berjudul Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945
mengomentari syarat-syarat representatif government under the rule of law
menurut International Comision of Jurist, yang terdiri dari: (1) adanya proteksi
konstitusional; (2) adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak; (3) adanya
pemilihan umum yang bebas; (4) adanya kebebasan untuk menyattakan pendapat
dan berserikat; (5) adanya tugas oposisi; dan (6) adanya pendidikan
kewarganegaraan6. Keberadaan oposisi dalam parlemen ini perlu agar dapat
menekankan adanya pengawasan dari legislatif kepada eksekutif, sebagaimana
fungsi dari DPR itu sendiri dalam pasal 20A ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, guna
mewujudkan fungsi pengawasan yang baik oleh legislatif itu sendiri kepada eksekutif,
diperlukan partai yang menjadi oposisi dalam badan legislatif terhadap presiden
yang diusung dari partai lainnya sebagai pihak oposisi agar terwujudnya sistem
pemerintahan dengan prinsip check and balances yang baik.

Selanjutnya, mengenai tujuan dilaksanakannya pemilu serentak dalam


konteks yang diharapkan yaitu munculnya coattail effect, hal ini tentu menjadi suatu
mekanisme pemilu yang tepat jika memang yang diharapkan itu muncul coattail
effect. Menurut Mahkamah Konstitusi, pelaksanaan pemilihan umum secara
5
Mei Susanto, S.H,M.H, “Pelembagaan Oposisi dalam Badan Perwakilan Rakyat Indonesia”, Interaksi
Konstitusi dan Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri Bab 1 : Kelembagaan Negara dan Sistem
Pemerintahan, PSKN : FH Unpad , 2016, hlm. 97
6
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung : Alumni, 1981, hlm. 12-13
serentak dapat memperkuat sistem presidensial yang dibangun berdasarkan
konstitusi7. Dalam sistem presidensial, Moh. Mahfud MD mengatakan dalam
bukunya yang berjudul Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia mengatakan
bahwa prinsip pokok sistem presidensial adalah: (1) Kepala negara menjadi kepala
pemerintahan (eksekutif); (2) Pemerintah tidak bertanggungjawab kepada parlemen
(DPR). Pemerintah dan Parlemen adalah sejajar; (3) Menteri-menteri diangkat dan
bertanggungjawab kepada presiden; (4) Eksekutif dan legislatif sama-sama kuat 8.
Selanjutnya Menurut ahli lainnya yakni, Saldi Isra juga mengatakan bahwa salah satu
ciri sistem pemerintahan presidensial memiliiki karakter yang utama dan beberapa
karakter lainnya yang salah satunya yakni, Hubungan antara eksekutif dan legislatif
terpisah, sehingga akan adanya pemilihan umum untuk memilih presiden dan
memilih lembaga legislatif,oleh karena itu dengan pemisahan secara jelas antara
pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif, pembentukan pemerintah tidak
tergantung kepada proses politik di lembaga legislatif 9. Namun sebelum pelaksanaan
pemilihan umum secara serentak, dimana pemilihan umum presiden dilakukan
setelah pemilihan umum legislatif keadaan yang terjadi ialah tidak juga memperkuat
sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Pasangan calon
presiden dan wakil presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat
dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang
dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah 10. Sehingga, secara
tidak langsung terkesan parlemen yang menentukan calon presiden melalui koalisi-
koalisi yang dibangun setelah pemilihan umum legislatif, yang mana hal ini tidak
sesuai dengan prinsip sistem presidensial yang hendak dibangun oleh konstitusi.
Contoh pemilihan umum serentak yang pernah dilaksanakan di negara lain ialah
Brazil pada tahun 1994 dan berhasil menstabilkan dan mengefektifkan
pemerintahan, sehingga dalam kurun 15 tahun kemudian, Brasil menjadi kekuatan
ekonomi dunia11 Memanfaatkan teori coattail effect pada pemilihan umum serentak
7
Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
8
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 74
9
Saldi Isra, Pergesaran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial di
Indonesia, Raja Grapindo : Jakarta, 2010, hlm. 40-42.
10
Muhammad Mukhtarrija, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani dan Agus Riwanto, Inefektifitas Pengaturan
Presidential Threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Jurnal Hukum
Ius Quia Iustum,No.4,Vol.24,Oktober 2017, hlm.659
11
Ibid, hlm.662
dapat terjadi dengan tidak adanya pengaturan presidential threshold. Presiden yang
terpilih melalui sistem pemilihan umum serentak tanpa adanya mekanisme
presidential threshold, memiliki kekuatan politik yang kuat dalam pemerintahannya
dan tidak tersendara oleh mahar politik koalisi partai pendukung 12.

Kesimpulannya, pelaksanaan pemilihan umum serentak dapat menimbulkan


berbagai macam pengaruh terhadap kondisi ketatanegaraan di Indonesia. Mulai dari
akan timbulnya jumlah partai oposisi yang minim dalam parlemen akibat coattial
effect yang menimbulkan permasalahan ketatanegaraan berkaitan dengan salah satu
tugas dan fungsi badan perwakilan, yakni fungsi kontrol dan checks and balances
yang terkesan dimandulkan. Sehingga prinsip check and balances dalam hubungan
antara eksekutif dengan legislatif menjadi tidak ada penekanan sebagaimana urgensi
fungsi oposisi menurut Prof. Sri Soemantri dalam konsep government under the rule
of law. Di lain sisi, pelaksanaan pemilihan umum secara serentak yang dapat
menimbulkan coattail effect, yang akan memperkuat sistem presidensil yang hendak
dibangun oleh konstitusi dan juga penyederhanaan partai politik secara alamiah yang
dapat mewujudkan jalannya pemerintahan yang stabil sebagaimana dilakukan oleh
Brazil pada tahun 1994. Hal ini tentu menimbulkan polemik tersendiri dalam
menanggapi berbagai konsekuensi yang timbul dari diadakannya pemilu serentak.
Sebagai penutup, pandangan saya terhadap pelaksanaan pemilihan umum serentak
jika memang tujuan yang hendak dicapainya yaitu menimbulkan coattail effect
sudahlah tepat, mengingat sistem pemerintahan yang hendak dibangun oleh
konstitusi Indonesia itu sendiri yakni sistem presidensial. Coattail effect adalah salah
satu upaya yang dapat memperkuat sistem presidensial melalui pemilihan umum
secara serentak, selanjutnya mengenai permasalahan tumpulnya prinsip check and
balances dalam hubungan legislatif dengan eksekutif, dapat ditanggulangi dengan
bagaimana membangun kesadaran berpolitik dalam masyarakat guna mengawasi
jalannya pemerintahan agar tidak terjadi hal-hal yang menyimpang dari tujuan-
tujuan pelaksanaan jalannya pemerintahan. Karena pada prinsipnya dalam sistem
pemerintahan presidensil, presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan

12
Ibid
bertanggung jawab kepada rakyat, bukan dipilih atau ditentukan oleh parlemen dan
bertanggung jawab kepada parlemen.

2. Jawaban atas pertanyaan apa kedudukan lembaga survei yang melakukan quick
count hasil pemilu adalah suprastruktur politik atau infrastruktur politik?

Infrastruktur politik adalah seseorang atau lembaga yang berada pada


masyarakat tertentu di suatu negara dalam bentuk misalnya; lembaga swadaya
masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat (Ormas), partai politik, media massa,
interest group¸tokoh politik dan lain-lain yang bergerak secara independen yang
dalam aktivitasnya dapat memengaruhi, baik secara langsung atau tidak langsung
terhadap lembaga-lembaga negara dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya
masing-masing13. Sedangkan suprastruktur politik merujuk pada lembaga negara
yang menjalankan fungsi penyelenggaraan negara. Lembaga negara ini dapat dapat
dibedakan ke dalam 3 (tiga) lapis berdasarkan fungsi dan kedudukannya, yaitu :
organ lapis pertama, dapat disebut sebagai organ utama atau primer (primary
constitutional organs); organ lapis kedua yang disebut sebagai organ pendukung atau
penunjang (auxiliary state organs); dan organ lapis ketiga yang merupakan organ /
lembaga daerah. Yang menjadi dasar dari pembedaan ini, dapat dilihat dari hierarki
sumber legitimasinya yang secara normatif menentukan kewenangannya misal, UUD,
Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah, selanjutnya kualitas fungsi yang bersifat
utama atau penunjang dalam penyelenggaraan negara 14. Untuk penyelenggaraan
pemilihan umum, lembaga negara yang berwenang menyelenggarakannya ialah KPU.
Kewenangan ini diberikan secara implisit oleh UUD 1945 Bab VIIB Pasal 22E ayat (5)
tentang Pemilihan Umum. Sehingga kedudukan KPU berdasarkan fungsi dan
kewenangan yang diberikan dapat dikategorikan sebagai lembaga negara lapis kedua

13
Wawan Risnawan, Peran dan Fungsi Infrastruktur Politik dalam Pembentukan Kebijakan Publik, Jurnal Unigal,
vol 4, no 3 (2017) : Dinamika, hlm. 514
14
I Gde Pantja Astawa, Kajian Teoritik dan Normatif tentang Penyelenggara Negara di Indonesia, ”, Interaksi
Konstitusi dan Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri Bab 1 : Kelembagaan Negara dan Sistem
Pemerintahan, PSKN : FH Unpad,2016, hlm.68-71
(auxiliary state organs) atau suprastruktur politik yang melaksanakan proses
pemilihan umum.

Mengenai kedudukan lembaga-lembaga yang melakukan quick count hasil


pemilihan umum, hemat saya dapat dikategorikan sebagai infrastruktur politik.
Lembaga-lembaga yang melakukan quick count tersebut bergerak secara independen
yang dalam aktivitasnya dapat memengaruhi, baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap lembaga-lembaga negara dalam menjalankan fungsi serta
kekuasaannya masing-masing. Metodologi yang dilakukan oleh lembaga
penyelenggara quick count berbeda dengan survei perilaku pemilih, survei pra
pemilu, dan survei exit poll , dalam metode quick count menggunakan teknologi
informasi dengan menghitung hasil langsung dari TPS yang menjadi target, sehingga
bisa menerapkan teknik sampling probabilitas yang hasilnya jauh lebih akurat dan
dapat mencerminkan populasi secara tepat15. Awal munculnya quick count dilakukan
pertama kali pada pemilu presiden Filipina yang dilakukan oleh NAMFREL (National
Citizens Movements for Free Election) yang secara luar biasa mampu menemukan
kecurangan yang dilakukan oleh Ferdinand Marcos sebagai calon pertahana 16. Dalam
pola hubungan ini, KPU sebagai suprastruktur politik memiliki fungsi dan
kewenangangan menyelenggarakan pemilu yang diawasi pelaksanaannya oleh
infrastruktur politik yakni melalui lembaga-lembaga penyelenggara quick count hasil
pemilu supaya tidak terjadi kecurangan dalam prosesi pengumpulan data hasil
pemungutan suara oleh pihak KPU.

15
Kisimiantini, ”Pengumpulan Data dengan Quick Count dan Exit Poll”, Yogyakarta : FMIPA Universitas Negeri
Yogyakarta, 2007, hlm.10
16
Ibid, hlm.1
3. Jawaban atas pertanyaan apakah penyelenggaraan pemilu serentak telah memenuhi
hak-hak warga negara?

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, warga negara adalah warga suatu
negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan 17. Warga negara
mempunyai hubungan yang tak terputus walaupun yang bersangkutan berdomisili di
luar negeri, asalkan yang bersangkutan tidak memutus sendiri kewarganegaraanya 18.
Hak warga negara adalah suatu kewenangan yang dimiliki oleh warga negara guna
melakukan sesuatu sesuai peraturan perundang-undangan 19. Dalam konteks
pelaksanaan pemilihan umum, dimana menjadi suatu mekanisme atau cara dalam
memperlengkapi jabatan-jabatan tertentu ( Presiden dan Wakil Presiden,anggota DPR,
anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten atau Kota) yang terdapat di
dalam susunan kenegaraan dengan pejabat-pejabat sebagaimana menurut Prof. Dr
.J.H.A. Logemann20, hanya warga negara dalam suatu negara yang dapat memiliki hak
pilih terhadap pemilihan calon pejabat yang akan mengisi jabatan-jabatan tertentu yang
terdapat dalam susunan kenegaraan. Hal ini diatur dalam pasal 198 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi : Warga Negara
Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas)
tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih 21.

Selanjutnya, dalam mekanisme persyaratan warga negara untuk menggunakan hak


pilihnya dalam pemilu serentak tahun 2019, pasal 348 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum mensyaratkan bahwa untuk menggunakan hak pilihnya
di TPS/TPSLN, pemilih menggunakan kartu tanda penduduk elektronik. Yang menjadi
permasalahan dalam hal ini ialah bagaimana ketika warga negara yang telah berusia 17
tahun namun belum memilik KTP elektronik, apakah warga negara tersebut tidak dapat
menggunakan hak pilihnya?. Hal ini tentu bertentangan dengan jaminan atas hak warga
negara untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum yang mana sudah
dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Menanggapi persoalan tersebut MK

17
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
18
Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie,S.H., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers : Jakarta, 2016, hlm.384
19
Johan Yasin, Hak Azasi Manusia dan Hak serta Kewajiban Warga Negara dalam Hukum Positif Indonesia,
Syiar Hukum Unisba, vol 11, no 2 (2009),hlm. 7
20
Prof. Usep Ranawidjaja,S.H., Loc.Cit
21
pasal 198 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
melalui amar putusan Nomor 20/PUU-XVII/2019, Menyatakan frasa “kartu tanda
penduduk elektronik” dalam Pasal 348 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat
sepanjang tidak dimaknai termasuk pula surat keterangan perekaman kartu tanda
penduduk elektronik yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil atau
instansi lain yang sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu 22. Berangkat dari amar
putusan MK tersebut, dalam hal KTP elektronik belum dimiliki, sementara warga negara
yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk memiliki hak pilih maka sebelum KTP
elektronik diperoleh, yang bersangkutan dapat memakai atau menggunakan surat
keterangan perekaman KTP elektronik dari dinas urusan kependudukan dan catatan sipil
instansi terkait sebagai pengganti KTP elektronik. MK telah melakukan upaya dalam
mewujudkan pemenuhan hak warga negara untuk menggunakan hak pilihnya dari
persyaratan administrasif yang membatasi warga negara dalam menggunakan hak
pilihnya. Sementara itu, KPU sebagai penyelenggara pemilu telah melakukan upaya
pendataan daftar pemilih. Adapun jumlah pemilih secara keseluruhan, baik di dalam
serta luar negeri, adalah 192.828.520 pemilih. Dari jumlah tersebut, sebanyak
190.770.329 merupakan pemilih di dalam negeri. Sedangkan pemilih di luar negeri
sebanyak 2.058.191 pemilih. Jumlah pemilih luar negeri ini tersebar di 130 perwakilan RI
di seluruh dunia. Perihal mekanisme pemilihan di luar negeri ada tiga metode, yakni
melalui pemungutan di tempat pemungutan suara (TPS), kotak suara keliling, dan
melalui pos23. Jika seorang pemilih namanya tidak terdaftar dalam DPT yang dikeluarkan
oleh KPU, yang bersangkutan tetap dapat memilih dengan menunjukan KTP elektronik
maupun surat keterangan perekaman KTP elektronik dari dinas urusan kependudukan
dan catatan sipil instansi terkait sebagai pengganti KTP elektronik.

Mengenai persyaratan-persyaratan tertentu misalnya persyaratan administratif


untuk pemilu bagi warga negara dalam menikmati hak-hak yang diberikan oleh negara,
terkesan membatasi warga negara itu sendiri dalam mendapatkan hak-hak yang telah
dijamin oleh negara. Hal ini tentu merupakan suatu hal yang wajar, bahkan dalam pasal

22
Amar Putusan MK Nomor 20/PUU-XVII/2019
23
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181215171713-32-353929/kpu-jumlah-pemilih-tetap-pemilu-
2019-capai-192-juta, diakses pada Sabtu, 25 Mei 2019 Pukul 21.17
28J ayat (2) UUD 1945 pembatasan terhadap hak dan kebebasan warga negara diatur
dan ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Sebagai seorang warga negara,
KTP elektronik diposisikan sebagai identitas resmi bagi setiap penduduk. Sebagai
identitas resmi, UU Administrasi Kependudukan mewajibkan kepada setiap penduduk
yang telah berumur 17 tahun untuk memiliki KTP elektronik 24. Lebih lanjut MK
menerangkan bahwa dalam konteks pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil juga dapat
bergantung pada akuntabilitas syarat administratif yang diterapkan dalam penggunaan
hak pilih maka KTP elektronik merupakan identitas resmi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, agar identitas yang dapat digunakan pemilih
untuk menggunakan hak memilihnya betul-betul dapat dipertanggungjawabkan serta
sangat kecil peluang untuk menyalahgunakannya, menempatkan KTP elektronik sebagai
bukti identitas dapat memilih dalam pemilu sudah tepat dan proporsional.

Kesimpulannya, pelaksanaan pemilu serentak telah memenuhi hak-hak warga


negara dalam menggunakan hak pilihnya. Upaya yang dilakukan oleh KPU dan MK telah
memeberikan kesempatan bagi para pemilih untuk menggunakan hak pilihnya
sebagaimana yang telah dijamin oleh konstitusi, bahkan bagi warga negara yang sedang
berada di luar negeri, telah ada mekanisme tersendiri guna menunjang hak pilih bagi
warga negara yang berada di luar negeri. Perihal syarat-syarat administratif yang
diperlukan bagi para pemilih seperti KTP elektronik, hal ini sudah tepat dan
proporsional, mengingat pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil juga dapat bergantung
pada akuntabilitas syarat administratif yang diterapkan dalam penggunaan hak pilih
maka KTP elektronik merupakan identitas resmi yang dapat dipertanggungjawabkan,
sehingga dapat meminimalisir adanya penyalahgunaan dalam pemenuhan syarat
administratif.

Referensi

Buku

24
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan
 Prof.Usep Ranawidjaja, S.H, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia
Indonesia: Jakarta, 1983
 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung : Alumni,
1981
 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
2001
 Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie,S.H., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers : Jakarta,
2016
 Saldi Isra, Pergesaran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam
Sistem Presidensial di Indonesia, Raja Grapindo : Jakarta, 2010

Jurnal

 Mei Susanto, S.H,M.H, “Pelembagaan Oposisi dalam Badan Perwakilan Rakyat Indonesia”,
Interaksi Konstitusi dan Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri Bab 1 :
Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan, PSKN : FH Unpad , 2016
 Muhammad Mukhtarrija, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani dan Agus Riwanto,
Inefektifitas Pengaturan Presidential Threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum FH UII,No.4,Vol.24,Oktober 2017
 Wawan Risnawan, Peran dan Fungsi Infrastruktur Politik dalam Pembentukan Kebijakan
Publik, Jurnal Unigal : Dinamika, vol 4, no 3 (2017)
 I Gde Pantja Astawa, Kajian Teoritik dan Normatif tentang Penyelenggara Negara di
Indonesia, Interaksi Konstitusi dan Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri Bab 1 :
Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan, PSKN : FH Unpad, 2016
 Kisimiantini, ”Pengumpulan Data dengan Quick Count dan Exit Poll”, Yogyakarta : FMIPA
Universitas Negeri Yogyakarta, 2007
 Johan Yasin, Hak Azasi Manusia dan Hak serta Kewajiban Warga Negara dalam Hukum
Positif Indonesia, Syiar Hukum Unisba, vol 11, no 2 (2009)

Peraturan Perundang-Undangan

 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen)


 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden
 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Putusan Pengadilan

 Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013


 Putusan MK Nomor 20/PUU-XVII/2019

Berita

 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181215171713-32-353929/kpu-jumlah-pemilih-
tetap-pemilu-2019-capai-192-juta, diakses pada Sabtu, 25 Mei 2019 Pukul 21.17

Anda mungkin juga menyukai