Anda di halaman 1dari 13

Ujian Akhir Semester Hukum Tentang Lembaga-Lembaga Negara

oleh:
Maulana Fadillah
110110170271

Hukum Tentang Lembaga-Lembaga Negara Kelas E

Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran
2019
1. Jawaban atas pertanyaan lembaga apa yang berwenang menyelesaikan sengeketa
pemilu, termasuk klaim pembuktian membuktikan kecurangan?

Sistem pemilihan umum dalam suatu negara merupakan sebagian dari


objek penyelidikan hukum tata negara sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof.
Dr .J.H.A. Logemann yaitu mengenai bagaimana cara memperlengkapi mereka
(jabatan-jabatan yang terdapat di dalam susunan kenegaraan) dengan pejabat-
pejabat1. Selain Prof.Dr.J.H.A. Logemann, ahli hukum tata negara lain yang
memasukkan pemilu ke dalam salah satu persoalan hukum tata negara ialah
Prof.Usep Ranawidjaja,S.H. di dalam bukunya yang berjudul Hukum Tata Negara
Dasar-Dasarnya yaitu cara pembentukan (melalui pengangkatan, melalui pemilihan
umum secara langsung, melalui pemilihan bertingkat) Badan-badan ketatanegaraan
yang mempunyai kedudukan di dalam organisasi negara sebagai bagian yang
menentukan arah dan haluan dari negara, sebagai bagian yang memimpin
penyelenggaraan usaha negara, sebagai bagian yang memegang dan menjalankan
kebijaksanaan umum dari negara. 2 Pelaksanaan pemilu secara serentak itu sendiri,
pada tahun 2019 adalah buah dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-
XI/2013. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan
pemohon yaitu bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat
(2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat 3.
Konsekuensi dari amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadikan
pemilihan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden dengan pemilihan anggota DPR,
DPD, dan DPRD dilaksanakan secara bersamaan, tanpa menunggu terlebih dahulu
pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD4.

Dalam pelaksanaan pemilu, lembaga negara yang berwenang


menyelenggarakannya ialah KPU (Komisi Pemilihan Umum). Pengertian lembaga

1
Prof.Usep Ranawidjaja, S.H, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1983,
hlm. 14
2
Ibid, hlm. 30
3
Amar Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 Angka 1.1 dan 1.2
4
Bandingkan dengan Pasal 3 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden
negara itu sendiri adalah merujuk pada alat perlengkapan negara yang
menyelenggarakan fungsi negara. Lembaga negara ini dapat dapat dibedakan ke
dalam 3 (tiga) lapis berdasarkan fungsinya masing-masing, yaitu : organ lapis
pertama, dapat disebut sebagai organ utama atau primer (primary constitutional
organs); organ lapis kedua yang disebut sebagai organ pendukung atau penunjang
(auxiliary state organs); dan organ lapis ketiga yang merupakan organ / lembaga
daerah. Yang menjadi dasar dari pembedaan ini, dapat dilihati dari hierariki sumber
legitimasinya yang secara normatif menentukan kewenangannya misal, UUD,
Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah, selanjutnya kualitas fungsi yang
bersifat utama atau penunjang dalam penyelenggaraan negara 5 . Kewenangan yang
dimiliki oleh KPU diberikan secara implisit oleh UUD 1945 Bab VIIB Pasal 22E ayat
(5) tentang Pemilihan Umum. Setelah KPU melaksanakan proses pengumpulan data
penghitungan suara hasil pemilu, hasil pemilihan umum tersebut diumumkan
berupa penetapan final hasil penghitungan suara yang diikuti oleh pembagian kursi
yang diperebutkan. Terkadang terjadi perbedaan pendapat dalam hasi
penghitungan suara antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu (KPU),
baik karena kesengajaan maupun kelalaian, baik karena kesalahan atau kelemahan
administratif dalam penghitungan ataupun disebabkan human error. Jika
perbedaan pendapat yang demikian itu menyebabkan terjadinya kerugian bagi
peserta pemilu, peserta pemilu yang dirugikan tersebut dapat menempuh upaya
hukum dengan mengajukan permohonan perkara hasil pemilihan umum ke
Mahkamah Konstitusi6. Pelaksanaan pemilu di Indonesia sendiri , terdapat masalah
hukum yang dapat dikategorikan menjadi 4 jenis yaitu ; (1). Pelanggaran; (2).
Sengketa Proses; (3). Perselisihan Hasil Pemilu; dan (4).Tindak Pidana Pemilu 7.
Dalam tiap bentuk permasalahan terdapat lembaga negara tertentu yang memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan persengketaan tersebut. Permohonan sengketa
hasil pemilihan umum yang dapat diajukan kehadapan Mahkamah Konstitusi,
adalah hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang

5
Drs.H.Uu Nurul Huda,S.H.,M.H., Hukum Partai Politik dan Pemilu di Indonesia, Fokus Media : Bandung, 2018,
hlm.273
6
Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie,S.H., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers : Jakarta, 2016, hlm.428
7
I Gde Pantja Astawa, Kajian Teoritik dan Normatif tentang Penyelenggara Negara di Indonesia, ”, Interaksi
Konstitusi dan Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri Bab 1 : Kelembagaan Negara dan Sistem
Pemerintahan, PSKN : FH Unpad,2016, hlm.68-71
ditetapkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, yang dapat memengaruhi
terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk menjadi Presiden
dan Wakil Presiden8. Penentuan Dasar Kewenangan oleh Mahkamah Konstitusi
tersebut diberikan dalam UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) yang berbunyi, Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahfud MD mengatakan,
lahirnya MK sendiri merupakan jawaban atas keinginan agar lembaga yudisial dapat
melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD yang sebelumnya tidak dapat
dilakukan9 . Berangkat dari uraian pendapat Mahfud MD tersebut, yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dalam
memutus perkara sengketa pemilihan umum?. Secara garis besar, susunan
kekuasaan kehakiman suatu negara dapat ditinjau dari beberapa dasar berikut :
pertama, pembedaan antara badan peradilan umum dengan badan peradilan
khusus, kedua, perbedaan antara susunan kekuasaan kehakiman menurut negara
yang berbentuk federal dan negara kesatuan, ketiga, kehadiran hak menguji atas
peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintahan, keempat, sejarah dan
keadaan suatu negara, dan terakhir kelima, sejarah tumbuh dan berkembangnya
suatu negara10. Merujuk pada poin-poin tersebut, ketiadaan poin tentang
penyelesaian sengketa hasi pemilihan umum menjadi pertanyaan sendiri untuk
mengetahui alasan mengapa MK memiliki kewenangan menyelesaikan hasil
sengketa pemilu. Penyelesaian sengketa hasil pemilu merupakan bentuk
judicialization politics, yaitu suatu fenomena dimana terjadi perpindahan
kewenangan dalam memutus pembuatan kebijakan publik yang bersifat politis dari
lembaga politik seperti legislatif maupun eksekutif, kepada lembaga peradilan yang

8
Narudin Hadi, Wewenang Mahkamah Konstitusi (Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam
Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu), Prestasi Pustaka, Jakarta: 2007, hlm. 41
9
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers : Jakarta, 2011,
hlm. 74.
10
Dr.H.Bagir Manan, S.H, M.CL., Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Pusat Penerbitan Universitas LPPM
Universitas Islam Bandung : Bandung, 1995, hlm.17-22
tidak representatif dan tidak akuntabel11 . Alasan lain mengapa MK memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu adalah fungsi utama
untuk menjamin HAM yang dimiliki oleh warga negara dan diakui oleh konstitusi 12.

Selanjutnya, mengenai penyelesaian permasalahan dalam bentuk


pelanggaran dan sengketa proses pelaksanaan pemilu, lembaga negara yang
memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya adalah Bawaslu dan PTUN.
Kedudukan Bawaslu ini diatur dalam Bab II Tentang Pengawas Pemilu Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 201713. Bawaslu adalah suatu lembaga yang dibentuk
berdasarkan undang-undang pemilu, yang berfungsi untuk mengawasi proses
pelaksanaan pemilu yang diselenggarakan oleh KPU . Dalam mengawasi proses
pelaksanaan pemilu ini, Bawaslu bertugas untuk melakukan pencegahan dan
penindakan sengketa proses pemilu. Dalam melaksanakan tugas pencegahan
sengketa proses pemilu, Bawaslu bertugas ; (a)mengidentifikasi dan memetakan
potensi kerawanan serta pelanggaran Pemilu; (b). mengoordinasikan,
menyupervisi, membimbing, memantau, dan mengevaluasi Penyelenggaraan
Pemilu; (c). berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; dan (d).
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu 14. Sedangkan
dalam melaksanakan tugas penyelesaian sengketa proses pemilu, Bawaslu bertugas
; (a). menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu; (b).
memverifikasi secara formal dan materil permohonan penyelesaian sengketa
proses Pemilu; (c). melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa; (d).
melakukan proses ajudikasi sengketa proses Pemilu; dan (e). memutus
penyelesaian sengketa proses Pemilu15. Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian
sengketa proses Pemilu merupakan putusan yang bersilat final dan mengikat,
kecuali putusan terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan: (a).
verifiikasi Partai Politik Peserta Pemilu; (b). penetapan daftar calon tetap anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan (c). penetapan Pasangan

11
Abdurachman Satrio, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk
Judicialization 0f Politics, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 1, Maret 2015, hlm.125
12
Ibid, hlm. 124
13
Lihat pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
14
Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
15
Pasal 94 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
Calon Presiden dan Wakil Presiden16. Jika dalam penyelesaian sengketa proses
pemilu sebagaimana dimaksud sebelumnya yang dilakukan oleh Bawaslu tidak
diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada
PTUN17. Pengajuan gugatan atas sengketa proses pemilu ke PTUN dilakukan setelah
upaya administrasi di Bawaslu telah digunakan 18. Sedangkan untuk permasalahan
tindak pidana pemilu diatur dalam ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pemilu
yang penyelesaianya diselesaikan dalam Pengadilan Negeri dimana tindak pidana
pemilu tersebut terjadi.

Mengenai klaim pembuktian kecurangan yang dilakukan oleh KPU dalam


pelaksanaan proses penghitungan suara yang ingin diajukan oleh tim Prabowo-
Sandi, upaya hukum yang dapat ditempuh pertama adalah melapor ke Bawaslu
selaku lembaga yang mengawasi proses pelaksanaan pemilu, apabila sengketa
terjadi misalnya dalam bentuk pelanggaran sistem penghitungan (situng) yang
dilakukan KPU karena pelanggaran ini sifatnya belum merupakan keputusan final
hasil pemilu, sengketa ini terjadi pada proses pemilu yang sedang berlangsung dan
proses penghitungan suara. Sedangkan upaya hukum yang dapat ditempuh kedua
adalah, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, apabila sengketa yang
terjadi terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang ditetapkan secara nasional
oleh Komisi Pemilihan Umum, yang dapat memengaruhi terpilihnya pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dengan
syarat bahwa pasangan calon Prabowo-Sandi, harus dapat membuktikan adanya
kesalahan penghitungan suara di tingkat tertentu maupun kesalahan perhitungan
yang dilakukan oleh KPU. Dalam gugatan yang diajukan kepada MK, Pemohon
harus dapat menyertakan alat bukti berupa surat, keterangan saksi, keterangan
ahli, keterangan para pihak, petunjuk dan alat bukti lain berupa infromasi yang
diucapkan, dikirimkan atau disimpan secara elektronik 19.

16
Pasal 469 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
17
Pasal 469 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
18
Pasal 471 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
19
Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Topo Santoso, Seri Demokrasi Elektoral Buku 16 Penanganan
Sengketa Pemilu, Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011,hlm.11
2. Jawaban atas pertanyaan bagaimana hasil pemilu legislatif tersebut
berimbas pada fungsi pengawasan DPR terhadap Presiden dan Wakil Presiden
terpilih?

Dalam sistem pemerintahan presidensial yang menganut prinsip checks and


balances, Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai kedudukan yang sederajat,
tetapi terdapat pola hubungan tertentu dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
pemegang kekuasaan legislatif20. Sesuai dengan prinsip sistem presidensial, Presiden
tidak dapat membubarkan Parlemen, begitu sebaliknya Parlemen juga tidak dapat
menjatuhkan Presiden. Salah satu fungsi DPR yang menjadi bagian dari pola
hubungannya dengan Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif adalah fungsi
pengawasan. Hal ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat (1) yang berbunyi,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan. Lebih lanjut lagi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
menjelaskan bahwa yang dimaksud fungsi pengawasan yang dimiliki DPR
dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN 21.

Dengan adanya fungsi pengawasan DPR diharapkan kebijakan yang


dilakukan oleh pemerintah benar-benar sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan
di dalamnya tidak mengandung penyimpangan yang dapat merugikan kepentingan
bangsa dan negara22. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan tersebut, DPR
memiliki beberapa hak agar sistem check and balances dapat terwujud. Hak-hak
khusus yang dimiliki oleh DPR adalah hak interpelasi, hak angket dan hak untuk
menyatakan pendapat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018, hak
interpelasasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah
mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hak angket adalah hak
DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang maupun
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal-hal penting, strategis dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang

20
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 74
21
Lihat Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
22
Sunarto, “Pelaksanaan Fungsi Pengawasan DPR: Perbandingan antara Era Orde Baru dan Era Reformasi”,
Jurnal Integralistik, No. 1, 2018, hlm. 85.
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan hak
menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapatnya atas
kebijakan pemerintah atau kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia
internasional23. Parlemen juga harus terlibat dalam mengawasi proses perumusan
dan penentuan kebijakan pemerintahan, jangan sampai bertentangan dengan
undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama oleh parlemen bersama
dengan pemerintah24.

Pelaksanaan pemilu serentak dapat menimbulkan suatu efek yang disebut


coattail effect, yakni kecenderungan bagi pemilih untuk memilih partai politik di
parlemen yang sama dengan partai politik presiden 25. Yang menjadi permasalahan
kedepannya adalah, dalam proses penyelenggaraan negara yang menganut prinsip
check and balances, Ketiadaan atau minimnya oposisi dalam DPR, akibat partai
politik di parlemen yang sama dengan partai politik presiden, menimbulkan
permasalahan ketatanegaraan berkaitan dengan salah satu tugas dan fungsi badan
perwakilan, yakni fungsi kontrol dan checks and balances yang dimandulkan26. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oposisi diartikan sebagai partai penentang di
dewan perwakilan dan mengkritik pendapat atau kebijakan politik golongan
mayoritas yang berkuasa. Urgensi dari oposisi ini, Prof. Sri mengomentari syarat-
syarat representatif government under the rule of law menurut International
Comision of Jurist, yang terdiri dari: (1) adanya proteksi konstitusional; (2) adanya
pengadilan yang bebas dan tidak memihak; (3) adanya pemilihan umum yang bebas;
(4) adanya kebebasan untuk menyattakan pendapat dan berserikat; (5) adanya tugas
oposisi; dan (6) adanya pendidikan kewarganegaraan 27. Keberadaan oposisi dalam
parlemen ini perlu agar dapat menekankan adanya pengawasan dari legislatif
kepada eksekutif, sebagaimana fungsi dari DPR itu sendiri dalam pasal 20A ayat (1)
UUD 1945. Oleh karena itu, guna mewujudkan fungsi pengawasan yang baik oleh

23
Ibid, hlm. 85-86
24
Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie, S.H, Op.Cit, hlm.302
25
Sholehudin Zuhri, PROSES POLITIK DALAM PEMBENTUKAN REGULASI PEMILU: Analisis Pertarungan
Kekuasaan pada Pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Jurnal Wacana Politik
Vol. 3, No. 2, Oktober 2018, hlm. 102-103
26
Mei Susanto, S.H,M.H, “Pelembagaan Oposisi dalam Badan Perwakilan Rakyat Indonesia”, Interaksi
Konstitusi dan Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri Bab 1 : Kelembagaan Negara dan Sistem
Pemerintahan , 2016, hlm.97
27
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung : Alumni, 1981, hlm. 12-13
legislatif itu sendiri kepada eksekutif, diperlukan partai yang menjadi oposisi dalam
badan legislatif terhadap presiden yang diusung dari partai lainnya sebagai pihak
oposisi agar terwujudnya sistem pemerintahan dengan prinsip check and balances
yang baik.

Sedangkan, menurut Mahkamah Konstitusi, pelaksanaan pemilihan umum


serentak dapat memperkuat sistem presidensial yang dibangun berdasarkan
konstitusi28. Dalam sistem presidensial, Moh. Mahfud MD, mengatakan bahwa
prinsip pokok sistem presidensial adalah: (1) Kepala negara menjadi kepala
pemerintahan (eksekutif); (2) Pemerintah tidak bertanggungjawab kepada parlemen
(DPR). Pemerintah dan Parlemen adalah sejajar; (3) Menteri-menteri diangkat dan
bertanggungjawab kepada presiden; (4) Eksekutif dan legislatif sama-sama kuat 29.
Selanjutnya, Menurut Saldi Isra juga mengatakan bahwa salah satu ciri sistem
pemerintahan presidensial memiliiki karakter yang utama dan beberapa karakter
lainnya yang salah satunya yakni, Hubungan antara eksekutif dan legislatif terpisah,
sehingga akan adanya pemilihan umum untuk memilih presiden dan memilih
lembaga legislatif, oleh karena itu dengan pemisahan secara jelas antara pemegang
kekuasaan legislatif dan eksekutif, pembentukan pemerintah tidak tergantung
kepada proses politik di lembaga legislatif Pelaksanaan pemilihan umum presiden
setelah pemilihan umum legislatif tidak juga memperkuat sistem presidensial yang
hendak dibangun berdasarkan konstitusi30. Pasangan calon presiden dan wakil
presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai
politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan
penyederhanaan partai politik secara alamiah 31. Sehingga, secara tidak langsung
terkesan parlemen yang menentukan calon presiden melalui koalisi-koalisi yang
dibangun setelah pemilihan umum legislatif, yang mana hal ini tidak sesuai dengan
prinsip sistem presidensial yang hendak dibangun oleh konstitusi. Contoh pemilihan
umum serentak yang pernah dilaksanakan di negara lain ialah Brazil pada tahun 1994

28
Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
29
Moh. Mahfud MD, Loc.Cit
30
Saldi Isra, Pergesaran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial
di Indonesia, Raja Grapindo, Jakarta, 2010, hlm. 40-42
31
Muhammad Mukhtarrija, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani dan Agus Riwanto, Inefektifitas Pengaturan
Presidential Threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Jurnal Hukum
Ius Quia Iustum,No.4,Vol.24,Oktober 2017, hlm.659
dan berhasil menstabilkan dan mengefektifkan pemerintahan, sehingga dalam kurun
15 tahun kemudian, Brasil menjadi kekuatan ekonomi dunia 32 Memanfaatkan teori
coattail effect pada pemilihan umum serentak dapat terjadi dengan tidak adanya
pengaturan presidential threshold. Presiden yang terpilih melalui sistem pemilihan
umum serentak tanpa adanya mekanisme presidential threshold, memiliki kekuatan
politik yang kuat dalam pemerintahannya dan tidak tersendara oleh mahar politik
koalisi partai pendukung33.

Kesimpulan akhir yang dapat ditarik terhadap pelaksanaan pemilu serentak


yang dapat memengaruhi fungsi pengawasan DPR adalah, dapat menimbulkan
berbagai macam pengaruh terhadap kondisi ketatanegaraan di Indonesia. Mulai dari
akan timbulnya jumlah partai oposisi yang minim dalam parlemen akibat coattial
effect yang menimbulkan permasalahan ketatanegaraan berkaitan dengan salah satu
tugas dan fungsi badan perwakilan, yakni fungsi pengawasan dengan prinsip checks
and balances yang terkesan dimandulkan. Sehingga prinsip check and balances
dalam hubungan antara eksekutif dengan legislatif menjadi tidak ada penekanan
sebagaimana urgensi fungsi oposisi menurut Prof. Sri Soemantri dalam konsep
government under the rule of law. Dalam Pemilu 2019, hasil final yang telah
diumumkan oleh KPU dapat ditemukan fakta bahwa Pasangan Calon Jokowi-Ma’ruf
terpilih menjadi pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Sementara itu, hasil final
untuk pemilihan anggota legislatif dapat ditemukan fakta bahwa partai-partai
pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Ma’ruf memenangi
kursi dengan rasio lebih dari 50% yang mana akan timbul suatu permasalahan yang
dalam hal tersebut, yaitu adanya kekhawatiran bahwa DPR tidak dapat menjalankan
fungsi pengawasannya dengan efektif. Hal ini terjadi karena kursi pada DPR pada
Pemilu legislatif didominasi oleh partai-partai pengusung Pasangan Calon Presiden
dan Wakil Presiden Jokowi-Ma’ruf. Sementara itu, partai-partai pengusung Pasangan
Calon Prabowo-Sandi hanya memperoleh tak sampai setengah dari kursi DPR.
Melihat kepada permasalahan yang akan timbul tersebut, dikhawatirkan potensi
fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR tidak dapat berjalan sesuai dengan
harapan. Hal ini disebabkan karena partai pengusung pasangan caon Jokowi-Ma’ruf
32
Ibid, hlm.662
33
Ibid
mendominasi jumlah kursi di parlemen, sehingga pengawasan terhadap kebijakan-
kebijakan yang diambil oleh Presiden akan terkesan tumpul. Keberadaan jumlah
pihak oposisi yang proporsional dalam parlemen dipandang pelu, guna mengawasi
pemerintah agar terciptanya prinsip check and balances.

Referensi
Buku
 Prof.Usep Ranawidjaja, S.H, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia
Indonesia: Jakarta, 1983
 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung : Alumni,
1981
 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
2001
 Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie,S.H., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers : Jakarta,
2016
 Saldi Isra, Pergesaran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam
Sistem Presidensial di Indonesia, Raja Grapindo : Jakarta, 2010
 Narudin Hadi, Wewenang Mahkamah Konstitusi (Pelaksanaan Wewenang Mahkamah
Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu), Prestasi Pustaka, Jakarta: 2007,
 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers :
Jakarta, 2011,
 Dr.H.Bagir Manan, S.H, M.CL., Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Pusat Penerbitan
Universitas LPPM Universitas Islam Bandung : Bandung, 1995
 Drs.H.Uu Nurul Huda,S.H.,M.H., Hukum Partai Politik dan Pemilu di Indonesia, Fokus
Media : Bandung, 2018
 Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Topo Santoso, Seri Demokrasi Elektoral Buku 16
Penanganan Sengketa Pemilu, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan : Jakarta,
2011

Jurnal
 Mei Susanto, S.H,M.H, “Pelembagaan Oposisi dalam Badan Perwakilan Rakyat Indonesia”,
Interaksi Konstitusi dan Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri Bab 1 :
Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan, PSKN : FH Unpad , 2016
 Muhammad Mukhtarrija, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani dan Agus Riwanto,
Inefektifitas Pengaturan Presidential Threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum FH UII,No.4,Vol.24,Oktober 2017
 I Gde Pantja Astawa, Kajian Teoritik dan Normatif tentang Penyelenggara Negara di
Indonesia, Interaksi Konstitusi dan Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri Bab 1 :
Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan, PSKN : FH Unpad, 2016
 Abdurachman Satrio, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu
Sebagai Bentuk Judicialization 0f Politics, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 1, Maret
2015
 Sunarto, “Pelaksanaan Fungsi Pengawasan DPR: Perbandingan antara Era Orde Baru dan
Era Reformasi”, Jurnal Integralistik, No. 1, 2018
 Sholehudin Zuhri, PROSES POLITIK DALAM PEMBENTUKAN REGULASI PEMILU: Analisis
Pertarungan Kekuasaan pada Pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu, Jurnal Wacana Politik Vol. 3, No. 2, Oktober 2018

Peraturan Perundang-Undangan
 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Setelah Amandemen)
 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Putusan Pengadilan
 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013

Anda mungkin juga menyukai