A. Pengantar
Tulisan ini merupakan review dari jurnal yang ditulis oleh Khoirudin Nasution, yang
berjudul “Dasar Wajib Mematuhi Undang-Undang Perkawinan (UUP): Studi Pemikiran
Muhammad ‘Abduh” (ADHKI: Journal of Islamic Family Law, Volume 1, Nomor 1, Juni 2019).
Sub bahasan dari Jurnal ini, yaitu: 1.) Pendahuluan, 2.) Proses Pembuatan UU dalam Konstitusi
Indonesia, 3.) Konsep Ijma’ Muhammad ‘Abduh dan Relevansinya dengan UU Perkawinan
Indonesia, 4.) Mematuhi Undang-Undang Perkawinan, 5.) Kesimpulan.
B. Ringkasan
1. Pendahuluan
Mengumpulkan seluruh rakyat untuk saat ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. Sebagai
solusinya, sistem perwakilan merupakan cara yang bisa ditempuh. Jadi, keputusan wakil-wakil
rakyat ini diposisikan sebagai keputusan seluruh rakyat. Konsekuensinya, keputusan ini wajib
dipatuhi. Persetujuan perwakilan rakyat untuk saat ini juga menjadi ijmâ‘, yaitu sumber ketiga
hukum Islam setelah al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw. Apabila dibandingkan dengan
fikih, fatwa, tafsir, dan yurisprudensi, sebagai produk pemikiran hukum Islam, UUP menempati
posisi paling otoritatif dan konprehensif, sebab UUP merupakan hasil pemikiran banyak ahli dari
berbagai keilmuan dan keahlian.
2. Proses Pembuatan UU dalam Konstitusi Indonesia
Mengenai proses pembentukan UU dalam Konstitusi Indonesia, mengacu pada Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dari 13
bab dan 104 pasal yang terkandung dalam undang-undang ini, ada 6 (enam) bab yang relevan
dengan otoritas UU, yaitu Bab IV: Perencanaan, Bab V: Penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan, Bab VII: Pembahasan dan Penetapan Rancangan Undang-Undang, Bab IX:
Pengundangan, Bab X: Penyebarluasan, Bab XI: Partisipasi Masyarakat.
Banyak orang yang terlibat dalam proses lahirnya undang-undang dalam konstitusi
Indonesia, mulai dari perencanaan sampai dengan pengesahan. Orang-orang yang terlibat ialah
para ahli (‘âlim, ‘ulamâ’), pemimpin (‘âmir, ‘umarâ’), dan tokoh masyarakat (râis, ru’asâ’).
Kesepakatan mereka ini dapat disamakan dengan keputusan uli al-amr dalam bahasa al-Qur’an.
Dengan demikian, mengikuti kesepakatan ini identik dengan mengikuti uli al-amr, kesepakatan
yang harus dipatuhi setelah al-Qur’an dan sunnah rasul Muhammad SAW.
5. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga dasar yang
digunakan Muhammad ‘Abduh untuk mengatakan bahwa mematuhi Undang-Undang
Perkawinan (UUP) sama dengan kewajiban mematuhi/menaati al-Qur’an dan Sunah rasul
Muhammad SAW. Pertama, mematuhi UUP yang ditetapkan wakil-wakil rakyat (DPR,
parlemen) adalah bentuk kepatuhan terhadap pemerintah (uli al-amr). Kewajiban patuh kepada
pemerintah dalam bentuk patuh pada UUP merupakan realisasi dari perintah mematuhi Allah,
mematuhi rasul dan mematuhi pemerintah (uli al-amr), sebagaimana diwajibkan dalam al-Nisa’
(4): 59 dan 83. Kedua, wujud persetujuan rakyat dan/atau perwakilan rakyat untuk saat ini adalah
ijmâ‘, sumber ketiga hukum Islam setelah al-Qur’an dan sunnah rasul Muhammad SAW. Ketiga,
dibandingkan dengan fikih, fatwa, tafsir, dan yurisprudensi, sebagai produk pemikiran hukum
Islam, UUP menempati posisi paling otoritatif dan konprehensif, sebab UUP merupakan hasil
pemikiran banyak ahli dari berbagai keilmuan dan keahlian.
C. Penutup
Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad Abduh, bahwa
mematuhi UUP sama dengan kewajiban mematuhi/menaati al-Qur’an dan sunnah Nabi
Muhammad SAW. Dasar yang digunakan oleh Muhammad abduh ialah QS An-Nisa ayat
59 dan 83. Di dalam QS An-Nisa’ ayat 59, berisi soal ketaatan dalam ketetapan hukum
yang adil, yang artinya, ayat ini memerintahkan umat muslim agar menaati putusan
hukum secara hirarkis agar tercipta kemaslahatan umum.