Anda di halaman 1dari 7

PEMIKIRAN THOMAS HOBBES TENTANG NEGARA LEVIATHAN

DAN MANUSIA
Oleh
Muhammad Faris Rifqi1

A. Pengantar
Berbicara mengenai khazanah pemikiran politik Barat atau filsafat politik
tentu tidak dapat dilewatkan untuk membahas seorang filsuf berkebangsaan Inggris,
Thomas Hobbes (1588-1679). Filsuf politik ini menjadi amat begitu berpengaruh
pada abad XVII dengan produk pemikirannya tentang negara kekuasaan
(machtstaat) sebagai Leviathan. Leviathan sendiri merupakan suatu istilah yang
dirujuk dari suatu kisah dalam Perjanjian Lama, Leviathan berarti “monster”,
raksasa yang brutal dan tercipta untuk ditakuti oleh siapapun. Hobbes memandang
bahwa negara kekuasaan (machtstaat) harus bertindak dan berlaku layaknya
monster yang beringas dan tak tertandingi.
Negara Leviathan diidealisasikan oleh Hobbes agar seluruh manusia tunduk
patuh dalam kekuasaan penuh dan absolut dari negara tersebut. Machtstaat
Leviathan memiliki kuasa dari mandat rakyat yang membentuknya untuk
menggunakan cara-cara kekerasan paling brutal demi menegakkan ketertiban dan
tatanan sosial yang teratur di tengah-tengah rakyat.2 Sifat monster dalam
Machtstaat Leviathan ini akan terwujud sepenuhnya apabila timbul pergolakan
sosial atau konflik sosial di tengah-tengah rakyat, lalu Negara Leviathan melalui
penguasa/pemimpin negara akan menggunakan tangan besinya untuk
memberangus siapa saja hingga ke akar yang terlibat dan bermaksud memunculkan
suatu konflik sosial. Itulah keistimewaan dari Negara Leviathan, sesuatu yang
menurut Hobbes akan membawa perdamaian bagi warga negara dan kondisi negara
yang stabil.
B. Konteks Sosio-Historis Pemikiran Hobbes

1
Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Unej. NIM 170210302004 (Kelas B).
2
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Pemikiran atau gagasan Hobbes mengenai Negara Leviathan tersebut tidak
muncul begitu saja. Ada latar belakang sosial politik yang membuat Hobbes
kemudian berfilsafat dan memunculkan gagasan Negara Leviathan. Hobbes hidup
pada abad XVII dimana situasi sosial politik di negerinya, Inggris, diwarnai dengan
berbagai gejolak seperti perang sipil, perang agama, utamanya perseteruan antara
raja dan parlemen yang brutalistik. Konflik sosial politik yang sangat keras tersebut
membuat perpecahan yang hebat pada masyarakat Inggris. Terjadi polarisasi yang
begitu tajam dalam masyarakat Inggris dengan adanya dualisme kekuasaan antara
raja dan parlemen.3
Berbagai gejolak sosial tersebut terjadi semasa Hobbes telah cukup dewasa
untuk memahaminya. Jauh sebelum ia mencapai masa remaja, Ratu Elizabeth I
bahkan telah memulai kampanye pemberangusan umat Katholik di Inggris karena
dianggap bertentangan dengan kepentingan negara dan Kristen Anglikan yang telah
menjadi agama resmi bagi negara. Perang agama telah diletuskan dengan
melibatkan kedua pihak: penguasa dan rakyat. Pertentangan agama juga melibatkan
kaum Protestan atau puritan yang memiliki basis yang cukup kuat juga di Inggris.
Kondisi Inggris menjadi melemah dikarenakan perang agama tersebut, dan Hobbes
pun kemudian menjadi saksi dari konflik berikutnya yang berupa pertentangan dan
pertempuran antara kekuatan raja Charles I dan parlemen yang dipimpin oleh Oliver
Cromwell.4
Pertentangan politik yang hebat antara raja dan parlemen berujung pada
kekalahan pihak kerajaan dan terpenggalnya kepala raja Charles I. Pendukung raja
Charles I kemudian terusir dari Inggris dan menuju Amerika, dimana koloni Inggris
berada. Hobbes yang telah cukup matang untuk berpikir menilai bahwa berbagai
gejolak sosial politik dan agama ini berikutnya akan melemahkan kekuatan Inggris
dan mengundang sikap remeh negara-negara lain terhadap Inggris. Hobbes muak
dengan kondisi anarki semasa terjadinya konflik-konflik tersebut hingga hal itu
membuatnya untuk memberikan respon intelektual-filosofis sebagai upaya

3
Suseno, F. Magnis. 1994. Etika Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
4
Ibid.
pemecahan masalah negerinya.5 Hobbes mulai berfilsafat untuk merumuskan suatu
gagasan sebagai upaya yang akan menghindarkan negerinya dari malapetaka
semacam itu lagi.
Respon intelektual Hobbes atas situasi sosial politik yang sedang berlangsung
di hadapan dirinya itu kemudian mewujud dalam suatu gagasan runtut yang
menjelaskan secara radikal apa saja sebab yang memberikan keleluasaan berbagai
konflik dan pergolakan sosial politik itu dapat terjadi. Pertama, Hobbes menilai
kekuasaan negara sangatlah lemah sehingga mudah dikacaukan apabila timbul
pergolakan atau konflik yang merongrong stabilitas sosial politik negara. Kedua,
kekuasaan negara yang tidak bersifat mutlak atau absolut membuat kontrol kuasa
dari negara menjadi sangat kurang. Pemisahan atau pembagian kekuasaan akibat
upaya penerapan demokrasi di Inggris berimplikasi besar untuk melemahkan kuasa
dari pemerintah. Dengan adanya pembagian kekuasaan politik antara raja dan
parlemen ini pada akhirnya menimbulkan pertentangan hebat karena adanya silang
kepentingan dan political will antara kedua lembaga tersebut. Kemudian, terjadinya
perang agama yang turut membumbui pergolakan sosial politik di Inggris
memberikan dampak yang sangat besar terhadap kondisi masyarakat di Inggris
yang terpolarisasi dengan tajam.
Kemudian, Hobbes menyimpulkan dari seluruh fenomena tersebut bahwa di
dalam mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak mungkin
menggunakan prinsip-prinsip normatif: agama & moralitas sebagai landasan.
Sebab, dari praktik riil yang ada di Inggris kala itu agama hanya digunakan sebagai
kedok maupun kendaraan politik bagi raja dan kaum agama yang menginginkan
keberhasilan pemenuhan kepentingan mereka. Satu-satunya jalan menurut Hobbes
untuk mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah dengan menekan
dan membatasi luapan nafsu-nafsu hewani dari manusia itu sendiri. Akal berperan
penting dalam memberikan kontrol bagi manusia untuk meminimalisasi
pemenuhan nafsu-nafsunya sendiri yang dapat merugikan manusia lain.6
C. Manusia dalam Pandangan Hobbes

5
Ibid.
6
Ibid.
Filsafat Hobbes mengenai manusia tidak bisa terlepas dari beberapa filsuf lain
yang mempengaruhinya seperti Galileo, Francis Bacon, Descartes. Dari Bacon,
Hobbes memperoleh pandangan otoriterisme sebagai bentuk yang lekat kaitannya
dengan konsep Negara Leviathan yang dia idealkan. Manusia sejatinya merupakan
mesin-mesin yang berpikir menurut Hobbes, manusia merupakan bagian dari mesin
raksasa yaitu semesta, yang bergerak secara mekanis. Namun, Hobbes juga
memberikan penegasan bahwa manusia bukanlah hewan yang berpikir
sebagaimana pendapat Aristoteles. Manusia dikarunia akal dan nurani yang
bertindak sebagai pengontrol dan pengkonsep dari segala tindakan manusia dalam
interaksi sosialnya. Tidak bisa dipungkiri, dinyatakan pula oleh Hobbes bahwa
sebenarnya manusia merupakan pusat dari segala konflik sosial dan politik di
dunia.7
Hewan tidak mampu menggunakan akalnya, karena mereka tak memiliki
akal, mereka hanya bergerak atas dasar nalurinya. Sementara manusia, terkadang
juga dapat dikontrol secara dominan oleh naluri alamiah. Dominasi naluriah dalam
kondisi tertentu itu apabila tidak mampu dikendalikan akal akan membuat manusia
bertindak semena-mena terhadap manusia lain demi memenuhi kebutuhan
hidupnya. Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia. Bellum
omnium contra omnes, semua manusia akan menyerang atau menghancurkan
semua (manusia lainnya). Inilah hakikat dari manusia yang dinyatakan oleh Hobbes
sebagai respon intelektual dan refleksi kritisnya atas apa yang ia lihat sebagai suatu
yang nyata terjadi di dalam negerinya.8
Pada dasarnya, manusia hidup untuk terus-menerus bersaing dan berkonflik
dengan manusia lainnya demi memenuhi kebahagiaan dirinya. Kekerasan dan
brutalitas dalam suatu konflik antar anak manusia telah menjadi instrumen penting
yang telah membuat manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Perang,
pembunuhan, atau agresi terhadap manusia lain merupakan manifestasi nyata dari
semua itu di dalam sejarah peradaban manusia. Akal melekat dan dimiliki oleh

7
Russel, Bertrand. 2002. Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
8
Ibid.
manusia sejatinya untuk mengontrol hasrat menghancurkan sesama manusia oleh
manusia. Akal menyebabkan manusia mencari alasan-alasan rasional untuk tidak
saling menghancurkan satu sama lain.
Dengan memiliki pengetahuan dasar mengenai hakikat manusia yang saling
berebut kuasa dan berkonflik tersebut dari proses filsafatnya, Hobbes kemudian
juga menemukan bahwa berebut kuasa dan terjadinya konflik tersebut juga
diperhebat dengan adanya hasrat manusia sendiri untuk membuat manusia lain
mengakui kebesaran dirinya. Selain itu, manusia di antara satu dan lainnya adalah
setara, setiap manusia memiliki potensi dan peluang yang sama untuk
menghancurkan manusia lain yang bahkan dinilai lebih kuat secara fisik, entah itu
menggunakan persekongkolan maupun intrik lain.9 Intinya, manusia merupakan
makhluk yang hidupnya selalu diliputi kecemasan karena adanya persaingan dan
keinginan untuk saling menghancurkan tersebut. Selain itu, melihat langsung dari
fenomena di negerinya, Hobbes berpandangan bahwa agama juga turut
memperhebat dan mempertajam konflik-konflik yang telah ada.
D. State of Nature dan Terbentuknya Negara
Negara Leviathan merupakan suatu konsep sistem dan bentuk negara yang
dinyatakan Hobbes dan bisa terbentuk dari suatu serangkaian proses sosial dan
politik di masyarakat. Namun, Hobbes lebih dulu memberikan hasil penalaran dan
imajinasinya mengenai suatu kondisi awal manusia sebelum manusia membentuk
sebuah negara atau masyarakat politik yang seringkali Hobbes sebut sebagai suatu
keadaan alamiah.
Keadaan alamiah adalah suatu kondisi dimana manusia masih belum
berusaha mengoptimalkan akal mereka untuk menggagas suatu bentuk negara yang
akan mengatur kehidupan mereka. Sebelum masyarakat politik dimulai, dalam
keadaan alamiah ini manusia kerap kali menggunakan naluri mereka untuk
mewujudkan tindakan-tindakan dalam hidup mereka, pada keadaan ini kaidah
homo homini lupus menjadi suatu bentuk keharusan.10 Meskipun konsep keadaan
alamiah ini murni merupakan imajinasi dari Hobbes dan bukan merupakan

9
Noer, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Jakarta: CV. Rajawali Press.
10
Ibid.
fenomena yang secara historis dibuktikan, namun cukup memberikan keabsahan
bagi pandangan Hobbes berikutnya mengenai kontrak sosial/perjanjian sosial
antara manusia untuk menggagas dibentuknya suatu negara yang akan mengontrol
keberingasan manusia itu sendiri bila berhadapan dengan sesamanya.
Kontrak sosial ini merupakan hasil dari kesepakatan individu-individu untuk
mewujudkan suatu masyarakat politik dengan negara sebagai kekuasaan tertinggi
yang mengatur peri kehidupan mereka. Negara, karena merupakan suatu entitas
yang merupakan produk dair perjanjian atau kesepakatan tentunya tidak ikut
menjalin andil apapun di dalam kesepakatan tersebut, maka negara dalam hal ini
berada dalam posisi superior di atas manusia (baca: individu-individu).11 Negara di
dalam pandangan Hobbes ini hanya “berhak” dan tak berkewajiban sedikitpun
terhadap individu-individu tersebut kecuali menjamin suatu keteraturan dan bina
damai bagi individu-individu tersebut dengan cara-cara kekerasan sekalipun.
Negara di sini diberikan mandat untuk berkuasa tanpa batas, mutlak/absolut, dan
tidak memberikan keleluasaan individu untuk merusak tatanan yang telah dibentuk
oleh negara melalui praktik kepemimpinan seorang penguasa negara yang tunggal
dan tidak terbagi-bagi.
E. Implikasi Pemikiran Hobbes Pada Abad XVII
Gagasan Hobbes mengenai Negara Leviathan dan pandangannya mengenai
manusia berimplikasi luas dalam arena perdebatan intelektual dan politik para filsuf
di Eropa. Meskipun pada akhirnya nanti, gagasan Hobbes banyak menginspirasi
gerakan-gerakan otoriteristik dan fasis dalam beberapa abad setelahnya, di masa
Hobbes hidup tidak sedikit para filsuf yang menentang pemikirannya dan
menunjukkan argumen balik yang menyerang gagasan Negara Leviathan. John
Locke yang hidup semasa dengan Hobbes menunjukkan penentangan kontrak sosial
atau covenant dari Hobbes dengan Teori Kontrak Sosial yang disusunnya. John
Locke kemudian menyusun argumentasi filosofisnya dalam wacana intelektual
Eropa dan menarik segenap perhatian masyarakat Eropa pada pertarungan gagasan
dan praksis politik tersebut. Hak-hak individu nampaknya kemudian menjadi

11
Ibid.
wacana intelektual yang menjadi perhatian kaum filsuf pencerahan mengingat
berbahanya gagasan filosofis Hobbes apabila berhasil menemukan praksisnya di
sebagian besar daratan Eropa.

Daftar Pustaka
Noer, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Jakarta: CV. Rajawali Press.
Russel, Bertrand. 2002. Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno
hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Suseno, F. Magnis. 1994. Etika Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai