Anda di halaman 1dari 23

Thomas Hobbes dari Malmesbury (lahir di Malmesbury, Wiltshire, Inggris, 5 April 1588 –

meninggal di Derbyshire, Inggris, 4 Desember 1679 pada umur 91 tahun) adalah seorang
filsuf Inggris yang beraliran empirisme. Pandangannya yang terkenal adalah konsep manusia
dari sudut pandang empirisme-materialisme, serta pandangan tentang hubungan manusia
dengan sistem negara.
Hobbes memiliki pengaruh terhadap seluruh bidang kajian moral di Inggris serta filsafat
politik, khususnya melalui bukunya yang amat terkenal "Leviathan". Hobbes tidak hanya
terkenal di Inggris tetapi juga di Eropa Daratan. Selain dikenal sebagai filsuf, Hobbes juga
terkenal sebagai ahli matematika dan sarjana klasik. Ia pernah menjadi guru matematika
Charles II serta menerbitkan terjemahan Illiad dan Odyssey karya Homeros.
Thomas Hobbes
Inti pemikiran Hobbes berakar pada empirisme (berasal dari bahasa Yunani empeiria yang
berarti 'berpengalaman dalam, berkenalan dengan'). Empirisme menyatakan bahwa
pengalaman adalah asal dari segala pengetahuan. Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu
pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat berupa fakta yang dapat diamati. Segala
yang ada ditentukan oleh sebab tertentu, yang mengikuti hukum ilmu pasti dan ilmu alam.
Yang nyata adalah yang dapat diamati oleh indera manusia, dan sama sekali tidak tergantung
pada rasio manusia (bertentangan dengan rasionalisme). Dengan menyatakan yang benar
hanyalah yang inderawi, Hobbes mendapatkan jaminan atas kebenaran.

Materialisme

Hobbes adalah seorang materialis. Ia meyakini bahwa manusia (termasuk pikirannya, dan
bahkan Tuhan) terdiri dari materi. Meskipun tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam
karya-karyanya, Hobbes telah menyerang lawannya yang meyakini hal-hal imaterial.

Tentang kemandirian filsafat

Hobbes dikenal sebagai salah seorang perintis kemandirian filsafat. Hobbes berpendapat
bahwa selama ini, filsafat banyak disusupi gagasan religius. Hobbes menegaskan bahwa
obyek filsafat adalah obyek-obyek lahiriah yang bergerak beserta ciri-cirinya. Menurutnya,
substansi yang tak dapat berubah, seperti Allah, dan substansi yang tak dapat diraba secara
empiris, seperti roh, malaikat, dan sebagainya, bukanlah obyek dari filsafat. Hobbes
menyatakan bahwa filsafat harus membatasi diri pada masalah kontrol atas alam.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Hobbes menyatakan hanya ada empat bidang di dalam
filsafat, yakni:

1. Geometri, yang merupakan refleksi atas benda-benda dalam ruang.


2. Fisika, yang merupakan refleksi timbal-balik benda-benda dan gerak mereka.
3. Etika, yang dalam pengertian Hobbes dekat dengan psikologi. Maksudnya, refleksi
atas hasrat dan perasaan manusia serta gerak-gerak mentalnya.
4. Politik, yang adalah refleksi atas institusi-institusi sosial.

Hobbes menyatakan bahwa keempat bidang tersebut saling berhubungan satu sama lain.
Karena itulah, Hobbes berpandangan bahwa masyarakat dan manusia dapat dilihat melalui
gerak dan materi dalam fisika.

Tentang pengenalan
Sebagai penganut empirisme, Hobbes menganggap bahwa pengetahuan berasal dari
pengalaman semata-mata. Tidak seperti kaum rasionalis, pengenalan dengan akal hanyalah
mempunyai fungsi mekanis. Pengenalan dengan akal dimulai dengan kata-kata yang
menunjuk pada tanda-tanda tertentu yang sebenarnya sesuai dengan kebiasaan saja.
Pengertian-pengertian umum hanyalah nama belaka, yaitu sebagai nama bagi gambaran-
gambaran ingatan tersebut, bukan nama benda pada dirinya sendiri. Pengamatan indrawi
terjadi karena gerak benda-benda di luar manusia yang menyebabkan adanya rangsangan
terhadap indra manusia. Rangsangan tersebut diteruskan ke otak, dan dari otak ke jantung. Di
dalam jantung timbullah reaksi tertentu yang merespons pengamatan tersebut.

Manusia

Pandangan Hobbes tentang manusia dimulai dengan pertanyaan: apa yang menggerakkan
manusia? (what makes him tick?). Di sini, Hobbes membandingkan manusia dengan sebuah
jam tangan yang bergerak secara teratur karena ada onderdil-onderdil di dalamnya. Hobbes
memandang manusia secara mekanis belaka. Manusia adalah setumpuk material yang bekerja
dan bergerak menurut hukum-hukum ilmu alam. Untuk itu, ia menyingkirkan segala macam
anggapan moral-metafisik tentang manusia. Misalnya saja, pandangan bahwa manusia
memiliki kodrat sosial, kebebasan, keabadian jiwa, dan sebagainya. Jiwa dan akal budi hanya
dianggap sebagai bagian dari proses mekanis di dalam tubuh.
Setelah mengetahui seluruh kaitan antara onderdil-onderdil dari sebuah jam tangan, maka kita
dapat mengetahui prinsip kerja yang menyebabkan jam tangan itu bergerak. Kesimpulan
akhir Hobbes mengenai faktor penggerak manusia adalah psikis manusia, yakni nafsu. Nafsu
yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk mempertahankan diri, atau dengan kata
lain, ketakutan akan kehilangan nyawa. Dari dasar pemikiran itulah Hobbes kemudian
merumuskan pandangannya tentang negara yang amat terkenal.

Sampul depan Leviathan

Negara
Pemikiran Hobbes mengenai negara terdapat di dalam karya besarnya yang berjudul
"Leviathan". Leviathan adalah nama binatang di dalam mitologi Timur Tengah yang amat
buas. Di dalam filsafat Hobbes, Leviathan merupakan simbol suatu sistem negara. Seperti
Leviathan, negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya
dengan cara inilah manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan.
Di dalam pandangannya tentang manusia, Hobbes berpendapat bahwa seluruh perilaku
manusia ditentukan oleh kebutuhan mempertahankan diri atau takut akan kehilangan nyawa.
Dengan mengetahui hal tersebut, Hobbes merasa mampu menjawab pertanyaan bagaimana
manusia harus bersikap baik, yaitu kuasailah rasa takut mati mereka. Bila manusia diancam
dan dibuat takut, ia akan dapat mengendalikan emosi dan nafsunya sehingga kehidupan sosial
dapat terjamin. Karena itu, negara haruslah menekan rasa takut mati dari warga negaranya,
supaya setiap orang berbuat baik.

Terbentuknya negara

Menurut Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia hanya memiliki satu
kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan diri. Karena kecenderungan
ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia lain: homo homini lupus!
(manusia adalah serigala bagi sesamanya). Keadaan ini mendorong terjadinya "perang semua
melawan semua" (bellum omnium contra omnes). Inilah "keadaan alamiah" saat belum
terbentuknya negara. Akan tetapi, jika terus-menerus terjadi perang semua melawan semua,
tentu saja eksistensi manusia juga terancam. Untuk itu, manusia-manusia mengadakan sebuah
perjanjian bersama untuk mendirikan negara, yang mengharuskan mereka untuk hidup dalam
perdamaian dan ketertiban.

Status negara

Negara berkuasa secara mutlak dan berhak menentukan nasib rakyatnya demi menjaga
ketertiban dan perdamaian. Status mutlak dimiliki negara sebab negara bukanlah rekan
perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian antar-warga negara. Artinya, di dalam perjanjian
membentuk negara, setiap warga negara telah menyerahkan semua hak mereka kepada
negara. Akan tetapi, negara sama sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya,
termasuk kewajiban untuk bertanggung jawab pada rakyat.
Negara berada di atas seluruh warga negara dan berkuasa secara mutlak. Kemudian negara
juga berhak menuntut ketaatan mutlak warga negara kepada hukum-hukum yang ada, serta
menyediakan hukuman bagi yang melanggar, termasuk hukuman mati. Dengan demikian,
warga negara akan menekan hawa nafsu dan insting untuk berperilaku destruktif.
Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk patuh kepada hukum karena memiliki rasa
takut dihukum mati. Hilangnya kebebasan warga negara terhadap negara adalah harga yang
harus dibayar jika semua orang ingin hidup dalam ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian.

Pembatasan kekuasaan negara

Jikalau kekuasaan negara begitu mutlak dan tidak dapat dituntut oleh warga negara,
bukankah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh negara menjadi amat besar? Untuk
mencegah terjadinya hal tersebut, Hobbes menyatakan dua hal.

 Pertama, perlu ada kesadaran dari pihak yang berkuasa mengenai konsep keadilan,
sebab kelak perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dalam
pengadilan terakhir.
 Kedua, jika negara mengancam kelangsungan hidup warga negara, maka setiap
warga negara yang memiliki rasa takut terhadap kematian akan berbalik
menghancurkan negara, sebelum negara menghancurkan mereka. Pada situasi
tersebut, masyarakat akan kembali ke "keadaan alamiah" untuk selanjutnya
membentuk negara yang lebih baik, dan seterusnya.

Pengaruh
Tulisan-tulisan Hobbes, khususnya "Leviathan", sangat memengaruhi seluruh filsafat
politik dan filsafat moral di Inggris pada masa-masa selanjutnya. Di Eropa Daratan,
Hobbes juga membawa pengaruh kuat. Salah satu filsuf besar yang dipengaruhi
Hobbes adalah Baruch Spinoza. Spinoza dipengaruhi Hobbes di dalam pandangan-
pandangan politik dan juga bagaimana berhubungan dengan Alkitab.
Hobbes juga merupakan salah seorang filsuf, jika bukan yang pertama, yang amat
berpengaruh dalam perdebatan antara kehendak bebas dan determinisme. Selain itu, ia
juga merupakan salah satu filsuf bahasa yang paling penting karena ia berpandangan
bahwa bahasa bukan hanya digunakan untuk menjelaskan dunia, tetapi juga untuk
menunjukkan perilaku-perilaku dan juga untuk mengikat janji dan kontrak.
Kemudian Hobbes juga berpengaruh di dalam studi kontraktarianisme.
Kontraktarianisme merupakan bagian dari teori-teori moral dan politik yang
menggunakan ide teori kontrak sosial. Hobbes merupakan salah satu filsuf kontrak
sosial tradisional yang menggunakan ide kontrak sosial untuk menegaskan peran
negara. Di sini, Hobbes merupakan pionir dari salah satu dari dua argumen moral
tentang kontrak sosial yang ada. Satu jenis argumen moral tentang kontrak sosial
lainnya diberikan oleh Immanuel Kant.
Selain itu, Hobbes juga merupakan filsuf modern pertama di dalam bidang
sensasionalisme. Sensasionalisme adalah pandangan yang menganggap semua
keadaan mental, secara khusus kognitif manusia, beraal dari komposisi atau asosiasi-
asosiasi dari sensasi atau perasaan belaka.

--

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka penulis mencoba untuk
mengidentifikasi masalah yang menjadi topik pembahasan dalam penulisan pemikiran politik
barat ini, yaitu :

1. Bagaimana konsep Trias Politika yang dikemukakan oleh Montesquieu?

C. Pokok Masalah

Montesquieu menawarkan suatu konsep mengenai kehidupan bernegara dengan melakukan


pemisahan kekuasaan yang diharapkan dapat saling lepas dan dalam tingkat yang sama. Hal
ini berarti bahwa lembaga-lembaga negara dipisahkan sehingga dapat saling mengawasi dan
mengontrol satu sama lain.

Suatu negara bisa dikatakan sebagai negara yang berdemokrasi dalam kehidupan berpolitik
dan bernegaranya apabila diterapkannya konsep trias politika ditubuh bangsa tersebut.
Dengan melakukan pemisahan-pemisahan kekuasaan antar satu lembaga dengan lembaga lain
memungkinkan kontrol dan pengawasan akan lembaga tersebut akan dapat dicapai dengan
maksimal. Karena pada dasarnya kekuasaan di suatu negara tidak bisa hanya dilimpahkan di
satu lembaga yang independen saja, namun harus dikelola dengan beberapa lembaha
independen lainnya (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

Disini dapat dilihat bagaimana lembaga-lembaga tersebut seperti legislatif yang bertugas
sebagai pembuat undang-undang, eksekutif yang bertugas sebagai pelaksana undang-udang,
dan yudikatif yang bertugas sebagai pelaksana peradilan[2] dapat saling mengawasi dan
mengontrol agar jalannya kehidupan berdemokrasi dapat berlangsung.

BAB II

TINJAUAN TEORITIK

Trias Politika berasal dari bahasa Yunani (Tri=tiga; As=poros/pusat; Politika=kekuasaan)


yang merupakan salah satu pilar demokrasi, prinsip trias politika membagi ketiga kekuasaan
politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga
negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama
lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga
lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks
and balances.

Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu
struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang
berbeda. Lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang
memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif,
lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan
menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh
masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang
diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif,
selain sesuai hukum dan peraturan. Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin
kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh
lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.[3]

Dalam filsafat ilmu politik pemikiran Montesquieu mengenai Trias Politika berkaitan dengan
aliran filsafat idealisme karena sangat menekankan kepada demokrasi dalam tubuh
pemerintahan yang tidak dapat ditemui dalam aliran filsafat lainnya.

BAB III

GAMBARAN UMUM MONTESQUIEU

Montesqiueau yang mempunyai nama panjang Charles-Louis de Secondat, baron de La


Brède et de Montesquieu. Lahir pada tanggal 18 January 1689 di Bordeaux dan wafat pada
tanggal 10 February 1755. Ibunya wafat ketika ia masih berusia 7 tahun, ayahnya meninggal
pada tahun 1713, ketika ia berusia 24 tahun. Kemudian Montesqiueau diasuh oleh pamannya,
Jean Bastite de Secondat. Seorang pastur kaya dan terhormat. Ia mendalami hokum dan
pernah menjadi praktisi hukum di pengadilan[4]. Setelah menyelesaikan di Catholic College
of julily ia menikah dengan istrinya Jeanne de Lartigue pada usia 26 tahun. [5]
Sesudahnya dia mencapai kesuksesannya di literature dengan dipublkasikannya Letters
persanaes. Seorang imajinasi koresponden Persia yang berkunjung ke paris dan mencermati
kontraporer sosialnya. Lalu karya selanjutnya ialah mengenai kebangkitan dan kejatuhan
Romawi, The Cosiderations on the causes of the Grandeur and Decadance of the Roman
yang mirip sebuah novel dan yang paling terbaik ialah karyanya yag bejudul Spirits Of The
Laws. Berisi konsep hukum modern yang didalamnya terdapat konsep Trias Politika.

Montesquieu dalam kehidupannya senang melakukan perjalanan tak heran hamper semua
Negara besar di Eropa telah ia kunjungi. Dia pernah mengunjungi Jerman, Australia,
Belanda, Italia, dll. Kunjungannya itu bermakna sangat penting atas hasil pemikirannya
dimasa depan. Pengalamannya itu memberikan inspirasi, pengalaman dalam pengembangan
konsep Trias Politika di masa depan.

BAB IV

KONSEP TRIAS POLITIKA

Konsep Trias Politika merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang
di Eropa pada abad XVII dan XVIII . Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan
negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau membuat
undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang;
ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.

Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada


orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini
pertama kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws).
Sebelumnya konsep ini telah diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris mengemukakan
konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya
sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan
Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan
oleh Parlemen Inggris.

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara


kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat
dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk
mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat
pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak
terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu
kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya

Karya Montesqiueau ini hampir diterapkan diseluruh Negara didunia yang menganut
Demokrasi termasuk juga Indonesia. Di Negara Komunis yang hanya mempunya satu partai
cenderung menjauhi konsep Trias Politica terlihat jelas bahwa bentuk pemerintahan hanya
dipegang oleh kalangan partai tunggal tersebut saja, sebut saja China, Korea Utara dan Uni
Soviet (masa perang dingin) adalah sejumlah Negara yang menjauhi Trias Politica tak heran
jika bentuk pemerintahannya bersifat otoriterian karna tidak adanya pembagian kekuasaan.

Beda dengan Negara yang mengenakan sistim Trias Politica. Dengan adanya lembaga
Legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik karma merupakan cermin
kedaulatan rakyat. Selain itu lembaga ini juga mempunyai fungsi sebagai check and balance
terhadap dua lembaga lainnya agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan dengan begitu
jalannya pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien.[6]

BAB V

ANALISIS PENURUT PENULIS

Kekuasaan adalah gejala yang selalu ada dalam proses politik. Politik tanpa kekuasaan
bagaikan agama tanpa moral karena begitu berkaitannya antara keduanya namun dalam hal
ini perlu adanya pembagian kekuasaan (trias politica). Dalam analisis ini kami berpendapat
bahwa Prinsip trias politika ini terbagi menjadi tiga kekuasaan politik negara untuk
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada
dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga
negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling
mengontrol. Dan salah satu prinsip trias politica ini biasa dijalani oleh Negara-negara yang
demokrasi.

Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan :
Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasan membuat undang-undang; kedua, kekuasaan
eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau
kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Ketiga jenis lembaga-lembaga negara
tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan
dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk
Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem
ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan
bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya dan yang memilihnya melalui proses
pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Dan Trias Politika ini adalah
suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada
orang yang sama untuk mencegah supaya tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh fihak
yang berkuasa. Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting,
misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan
umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian
warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak
semua warga negara berhak untuk memilih kecuali yang sudah memenuhi persyaratan
sebagai pemilih. Jadi dalam hal ini Trias Politica banyak digunakan atau diterapkan pada
negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presidennya dan
sebagai presiden itu bukan menjadi satu-satunya kekuasaan yang berwenang atas semua
kekuasaan di negara itu jadi perluk adanya pembagian kekuasaan.

BAB VI

KESIMPULAN

Doktrin trias politika ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan
Montesquieu (1689-1755) dan doktrin ini biasa ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan.
John Locke mengemukakan konsep trias politika ini dalam bukunya berjudul Two Treatises
on Civil Government yang ditulisnya sebagai kritikan atas kekuasaan absolut. Menurut Locke
kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, dan kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain.
Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan
eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk
kekuasaan mengadili dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan
untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi
dan sebagainya (dewasa ini disebut hunbungan luar negeri). Beberapa puluh tahun kemudian,
pada tahun 1748, filusuf Perancis Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran
Locke ini dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of the Laws). Karena melihat sifat
dari raja-raja Bourbon, dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga
negaranya merasa lebih terjamin haknya. Dalam uraian dia membagi kekuasaan
pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan yudikatif. Menurut dia tiga kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik
mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang
menyelenggarakan. Terutama adanya kebebasaan badan yudikatif yang ditekankan oleh
Montesquieu, oleh karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak azasi manusia itu
dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurut dia adalah kekuasaan untuk
membuat undang-undang kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang,
sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-
undang. Jadi berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam
kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang kekuasaan pengadili (yudikatif) itu sebagai
kekuasan yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena dalam pekerjaannya sehari-hari
sebagai hakim, Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu berlainan dengan
kekuasaan pengadilan. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang
disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif.
Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi
tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang
terpisah. Dikatakan olehnya: “Kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan
dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak aka nada kemerdekaan. Akan
merupakan malapetaka kalau seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum
bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan itu,
yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum
dan mengadili persoalan-persoalan antara individu-individu’. Pokoknya Montesquieu dengan
teorinya itu menginginkan jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-
wenang dari penguasa. Dan hal ini menurut pandangannya, hanya mungkin tercapai, jika
diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut[7]

DAFTAR PUSTAKA

--

Filsafat politik lahir dari filsafat praktis dan telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Sehingga
filsafat politik dan filsafat umum tampak saling keterikatan. Ada pengertian lain yang lebih
fundamental tentang keterkaitan yang erat antara filsafat politik dengan filsafat pada
umumnya. Filsafat dipahami sebagai usaha mengejar kebenaran hingga ke akar-akarnya,
meskipun kualitas esensial tentang apa yang ”politis” (political) mulai mendapat perhatian di
kalangan para ahli teori politik dan pokok masalah (subject matter) filsafat politik mulai
terbentuk dengan menentukan keterkaitannya dengan apa yang dianggap ”publik” (Wolin,
2004: 4). Akan tetapi, karena filsafat digambarkan sebagai usaha sistematis untuk memahami
prinsip yang mendasari semua hal, penyelidikan tentang apa yang ’politis’ (political)
dianggap harus membentuk bagian dari usaha berfilsafat secara umum (McBride, 1994: 1).
Karena itu, filsafat politik dapat dilihat sebagai usaha para filsuf dalam memberikan panduan
dan jawaban untuk menanggapi masalah yang menjadi perhatian masyarakat secara
keseluruhan, yaitu masalah publik atau politik. Filsafat politik sudah terpikirkan sejak era
Yunani kuno. Hingga sekarang filsafat politik terus mengalami perkembangan. Filsafat
politik di dalam perjalanannya semenjak era Yunani Kuno, kemudian melewati abad
pertengahan, abad renaisans, abad pencerahan, abad modern hingga dewasa ini memunculkan
berbagai karya dan pemikiran besar dari para ahli.

Salah satu filsuf yang mencuat pada era pencerahan yaitu John Locke (1632) yang terkenal
dengan sumbangan karyanya tentang pandangan terhadap negara. Karya pemikirannya
terhimpun dalam sebuah buku yang berjudul Two Treatises of Civil Government.

BAB II

PEMBAHASAN

1. A. Biografi John Locke

John Locke (lahir 29 Agustus 1632 – meninggal 28 Oktober1704 pada umur 72 tahun) adalah
seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama dari pendekatan empirisme.
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan
berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah
membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan .

Bagi locke, mula-mula rasio manusia harus dianggapsebagai lembaran kertas putih (as a
white paper) dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Pengalaman tersenut ada dua:
pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection). Kedua sumber
pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal.[1]

Di dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf negara liberal. Bersama
dengan rekannya, Isaac Newton, Locke dipandang sebagai salah satu figur terpenting di era
Pencerahan. Selain itu, Locke menandai lahirnya era Modern dan juga era pasca-Descartes
(post-Cartesian), karena pendekatan Descartes tidak lagi menjadi satu-satunya pendekatan
yang dominan di dalam pendekatan filsafat waktu itu. Kemudian Locke juga menekankan
pentingnya pendekatan empiris dan juga pentingnya eksperimen-eksperimen di dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan.

Pada tahun 1647, Locke belajar di Sekolah Westminster, yang pada waktu itu merupakan
sekolah terkenal di Inggris. Pendidikan di sana berpusat pada pelajaran bahasa-bahasa kuno,
yaitu pertama-tama bahasa Latin, kemudian bahasa Yunani, dan juga bahasa Ibrani. Setelah
itu, pada tahun 1652, Locke mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di Sekolah
Gereja Kristus (Christ Church), Oxford, dan tinggal di sana sejak bulan Mei 1652.[2]

Di sekolah itu, Locke kurang menyukai metode skolastik dalam berdebat dan juga tema-tema
metafisika dan logika. Karena itu, Locke tidak mendapatkan nilai yang mengesankan ketika
ia mendapatkan gelar hingga strata dua. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
membaca karya-karya sastra, seperti drama, roman, dan sebagainya. Setelah itu, Locke mulai
menyenangi bidang medis, sebagaimana tertulis di dalam beberapa catatan pribadi Locke
yang ditulis pada periode akhir dekade 1650-an. Ia membuat banyak catatan tentang hal-hal
yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan.

Melalui minatnya dalam bidang medis, Locke mulai meminati filsafat alam sejak tahun 1658.
Pada awal tahun 1660, ia berjumpa dengan Robert Boyle yang akan banyak memengaruhinya
kelak. Sejak tahun 1660, Locke menambah minatnya dengan membaca filsafat mekanis yang
baru muncul, yang dimulai dengan membaca karya Boyle. Selain itu, ia juga mulai rajin
membaca karya-karya Descartes.

Perhatian Locke terhadap politik muncul ketika pada waktu itu adanya situasi politik di
Inggris yang sedang bergejolak. Cromwell, yang pada waktu itu telah mengubah sistem
politik Inggris, meninggal pada tahun 1658 sehingga terjadi perubahan lagi di bawah
pemerintahan Raja Charles II yang menghendaki pemerintahan dengan kuat menguasai
negara dan gereja Inggris, Locke pada waktu itu mendukung pemerintahan Charles II. Pada
bulan November hingga Desember 1660, ia membuat suatu karangan singkat untuk
menanggapi pandangan Edward Bagshaw, yang menegaskan perlunya hakim sipil dalam
menentukan bentuk-bentuk ibadah keagamaan.

1. B. Two Treatises of Civil Government

Pandangan Locke tentang negara terdapat di dalam bukunya yang berjudul (Two Treatises of
Civil Government). Sebelum Locke menulis Two Treatises of Government kehidupan politik
Inggris dan Perancis Abad XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki absolut. Dalam
konteks sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut itu merupakan jawaban terhadap
kekacauan sosial politik akibat perang saudara dan perang-perang agama yang terjadi pada
saat itu. Monarki absolut didasarkan pada kepercayaan bahwa kekuasaan mutlak raja bersifat
ilahiah dan karena itu suci. Tuhanlah yang telah menganugerahkan kekuasaan itu kepada
seorang raja. Kepercayaan ini kemudian terkenal dengan sebutan hak-hak ketuhanan raja. [3]

Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa monarkhi absolut merupakan bentuk
pemerintahan paling sesuai dengan kodrat hukum alam karena tiga alasan. Pertama, monarki
absolut berakar pada tradisi otoritas paternal. Kedua, sistem pemerintahan monarki absolut
merupakan copy Kerajaan Tuhan di muka bumi. Ketiga, monarki absolut merupakan
cerminan kekuasaan tunggal Tuhan atas segala sesuatu di dunia ini.

Sementara itu, Locke hadir sebagai penentang gigih terhadap monarki absolut di negaranya.
Locke menganggap bahwa monarki absolut bertentangan dengan prinsip civil society yang
diyakininya. Civil society yaitu bentuk masyarakat yang merupakan gugatan terhadap
institusi superiort yang semula diciptakan untuk mengatasi supremasi naturalistik, membatasi
wilayah dan ruang geraknya.[4] Dari sinilah sebenarnya letak permusuhan intelektual Locke
dengan Sir Robert Filmer, penyokong utama paham absolutisme kekuasaan monarki Eropa
Abad XVII yang dituangkan dalam karyanya Patriarcha.

Two Treatises dibagi menjadi First Treatise dan Second Treatise. The First Treatise
difokuskan pada sanggahan dari Sir Robert Filmer , khususnya Patriarcha, yang berpendapat
bahwa masyarakat sipil didirikan pada hak-hak ketuhanan raja. Second Treatise menguraikan
teori masyarakat sipil.

John Locke dimulai dengan menggambarkan keadaan alam , gambar jauh lebih stabil dari
Thozas Hobbes negara “perang bagi setiap orang melawan setiap orang,” dan berpendapat
bahwa semua manusia diciptakan sama dalam keadaan alam oleh Tuhan. Dari ini, ia
melanjutkan dengan menjelaskan kenaikan hipotetis properti dan peradaban, dalam proses
menjelaskan bahwa satu-satunya pemerintah yang sah adalah mereka yang memiliki
persetujuan rakyat. Oleh karena itu, setiap pemerintah bahwa aturan-aturan tanpa persetujuan
dari orang dapat secara teori digulingkan.[5] Sehingga dalam Second Treatise Locke
mengembangkan sejumlah tema penting yaitu: keadaan alamiah , dimana individu tidak
berkewajiban untuk mematuhi satu sama lain, penaklukan dan perbudakan, properti,
pemerintahan perwakilan, dan hak revolusi.

Locke membagi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yakni keadaan alamiah (the state of
nature), keadaan perang (the state of war), dan negara (commonwealth).

1. The State of Nature

Keadaan alamiah adalah tahap pertama dari perkembangan masyarakat. Konsep Locke ini
serupa dengan pemikiran Hobbes namun bila Hobbes menyatakan keadaan alamiah sebagai
keadaan “perang semua lawan semua”, maka Locke berbeda. Menurut Locke, keadaan
alamiah sebuah masyarakat manusia adalah situasi harmonis, di mana semua manusia
memiliki kebebasan dan kesamaan hak yang sama.[6]

Dalam keadaan tersebut, setiap manusia bebas menentukan dirinya dan menggunakan apa
yang dimilikinya tanpa bergantung kepada kehendak orang lain. Meskipun masing-masing
orang bebas terhadap sesamanya, namun tidak terjadi kekacauan karena masing-masing
orang hidup berdasarkan ketentuan hukum kodrat yang diberikan oleh Tuhan. Yang
dimaksud hukum kodrat dari Tuhan menurut Locke adalah larangan untuk merusak dan
memusnahkan kehidupan, kebebasan, dan harta milik orang lain. Dengan demikian, Locke
menyebut ada hak-hak dasariah yang terikat di dalam kodrat setiap manusia dan merupakan
pemberian Tuhan. Konsep ini serupa dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam
masyarakat modern.

Bagi Locke, untuk memahami benar kekuatan politik dan melacak asal-usulnya, kita harus
mempertimbangkan keadaan bahwa semua orang adalah di alam. Itu adalah keadaan
sempurna kebebasan bertindak dan membuang harta mereka sendiri dan orang-orang yang
mereka anggap baik dalam batas-batas hukum alam. Orang-orang di negara ini tidak perlu
meminta izin untuk bertindak atau tergantung pada kehendak orang lain untuk mengatur hal-
hal atas nama negara. Keadaan alamiah juga merupakan salah satu persamaan di mana semua
kekuasaan dan yurisdiksi timbal balik dan tidak ada yang memiliki lebih dari yang lain. Ini
adalah bukti bahwa semua manusia sebagai makhluk memiliki spesies yang sama dan
peringkat dan lahir tanpa pandang bulu dengan semua keunggulan alamiah yang sama.
1. Penaklukan dan Perbudakan

Dalam retorika abad ke-17 Inggris , mereka yang menentang peningkatan daya raja-raja
mengklaim bahwa negara itu menuju suatu kondisi perbudakan. Oleh karena itu Locke
bertanya, dalam kondisi apa perbudakan seperti itu mungkin dibenarkan. Dia mencatat bahwa
perbudakan tidak sesuai dengan prinsip civil society (yang menjadi dasar sistem politik
Locke). Locke berpendapat bahwa agresor dalam perang yang tidak adil tidak bisa
mengklaim hak penaklukan sehingga sebuah perampasan kuno tidak menjadi halal.

1. Properti

Dalam Second Treatise, Locke mengklaim bahwa masyarakat sipil diciptakan untuk
perlindungan properti . Dengan mengatakan ini, ia mengandalkan akar etimologis “properti,”
Latin adalah proprius, atau apa seseorang sendiri, termasuk diri sendiri (lih. Perancis propre).
Jadi, dengan “properti” ia berarti “kehidupan, kebebasan, dan real.” Dia mulai dengan
menegaskan bahwa setiap individu minimal, “memiliki” sendiri, ini adalah akibat wajar dari
masing-masing individu yang bebas dan sama dalam kondisi alamiah. Seorang pria harus
diperbolehkan untuk makan, dan dengan demikian memiliki apa yang telah dimakan menjadi
miliknya sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan Filmer yang mengatakan bahwa, jika
ada bahkan adalah keadaan alamiah semuanya akan dimiliki bersama: tidak mungkin ada
milik pribadi, dan karenanya tidak ada keadilan atau ketidakadilan.

Sebagaimana disebut di atas, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik
pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol
pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan
milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di
sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan
(liberties).

1. Pemrintahan Perwakilan

Locke tidak menuntut republik. Sebaliknya, Locke merasa bahwa kontrak yang sah dengan
mudah bisa ada di antara warga negara dan monarki, oligarki atau beberapa bentuk
campuran. Ide-idenya sangat dipengaruhi baik Revolusi Amerika dan Perancis. Gagasan hak-
hak rakyat dan peran pemerintah sipil memberikan dukungan kuat bagi gerakan intelektual
dari kedua revolusi.

1. Hak Revolusi

Konsep hak revolusi itu juga diambil oleh John Locke di Two Treatises Pemerintah sebagai
bagian dari teori kontrak sosialnya. Locke menyatakan bahwa menurut hukum alam, semua
orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan real; di bawah kontrak sosial, orang bisa
mengobarkan revolusi melawan pemerintah ketika itu bertindak demi memperjuangkan
kepentingan warga, untuk mengganti pemerintah dengan yang mampu melayani kepentingan
warga.

1. The State of War

Tahap kedua adalah keadaan perang. Locke menyebutkan bahwa ketika keadaan alamiah
telah mengenal hubungan-hubungan sosial maka situasi harmoni mulai berubah. Penyebab
utamanya adalah terciptanya uang. Dengan uang, manusia dapat mengumpulkan kekayaan
secara berlebihan, sedangkan di dalam keadaan alamiah tidak ada perbedaan kekayaan yang
mencolok karena setiap orang mengumpulkan secukupnya untuk konsumsi masing-masing.
Ketidaksamaan harta kekayaan membuat manusia mengenal status tuan-budak, majikan-
pembantu, dan status-status yang hierarkis lainnya.

Untuk mempertahankan harta miliknya, manusia menjadi iri, saling bermusuhan, dan
bersaing. Masing-masing orang menjadi hakim dan mempertahankan miliknya sendiri.
Keadaan alamiah yang harmonis dan penuh damai tersebut kemudian berubah menjadi
keadaan perang yang ditandai dengan permusuhan, kedengkian, kekerasan, dan saling
menghancurkan. Situasi seperti ini berpotensi memusnahkan kehidupan manusia jika tidak
ada jalan keluar dari keadaan perang.

1. Commonwealth

Locke menyatakan bahwa untuk menciptakan jalan keluar dari keadaan perang sambil
menjamin milik pribadi, maka masyarakat sepakat untuk mengadakan “perjanjian asal”.
Maka dalam perjanjian masyarakat Locke terdapat dua perjanjian, yaitu pactum unionis
(perjanjian membentuk negara) dan pactum subjectionis (perjanjian penyerahan).

Pada tahap pertama diadakan pactum unionis (perjanjian membentuk negara), yaitu
perjanjian antarindividu untuk membentuk body politic, yaitu negara. Kemudian pada tahap
kedua, para individu yang telah membentuk body politic tersebut bersama-sama
menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang
bersumber dari hukum alam. Perjanjian penyerahan ini disebut pactum subjectionis
(perjanjian membentuk kesatuan, organisme, atau negara).

Motivasi manusia untuk mendirikan negara, yaitu menjamin hak-hak asasinya, terutama hak
miliknya, menjadi tujuan negara. Oleh karena itu, kewajiban-kewajiban utama negara adalah
untuk melindungi kehidupan dan hak milik para warga negara. Hanya demi tujuan itulah para
warga negara meninggalkan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang penuh ketakutan
itu. Oleh karena itu, negara mempergunankan kekuasaannya untuk memelihara lahir batin
kepentingan masyarakat.[7]

Inilah saat lahirnya negara persemakmuran (commonwealth). Dengan demikian, tujuan


berdirinya negara bukanlah untuk menciptakan kesamarataan setiap orang, melainkan untuk
menjamin dan melindungi milik pribadi setiap warga negara yang mengadakan perjanjian
tersebut.

Di dalam perjanjian tersebut, masyarakat memberikan dua kekuasaan penting yang mereka
miliki di dalam keadaan alamiah kepada negara. Kedua kuasa tersebut adalah hak untuk
menentukan bagaimana setiap manusia mempertahankan diri, dan hak untuk menghukum
setiap pelanggar hukum kodrat yang berasal dari Tuhan. Ajaran Locke ini menimbulkan dua
konsekuensi:

1. Kekuasaan negara pada dasarnya adalah terbatas dan tidak mutlak sebab
kekuasaannya berasal dari warga masyarakat yang mendirikannya. Jadi, negara hanya
dapat bertindak dalam batas-batas yang ditetapkan masyarakat terhadapnya.
2. Tujuan pembentukan negara adalah untuk menjamin hak-hak asasi warga, terutama
hak warga atas harta miliknya. Untuk tujuan inilah, warga bersedia melepaskan
kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang diancam bahaya perang untuk bersatu
di dalam negara.

Setting kondisi yang melatarbelakangi terbentuknya suatu negara substansi utamanya yaitu
adanya keadaan yang tidak nyaman menuju ke keadaan yang lebih nyaman dan lebih baik
dari debelumnya. Sehingga tugas dan kewajiban pemerintahan negara adalah menghidupkan
kesejahteraan rakyat.[8]

1. C. Pembatasan Kekuasan Negara

Menurut Locke ada dua cara untuk membatasi kekuasan negara, yaitu

1. Konstitusi

Untuk mencegah timbulnya negara absolut dan terjaminnya kehidupan civil society, Locke
berbicara mengenai peran strategis konstitusi dalam membatasi kekuasaan negara yang
dibayangkannya. Konstitusi ini mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai pembatasan
prinsipil terhadap kekuasaan negara. Dalam membahas konstitusionalisme, yang terpenting
adalah usaha mempertahankan hak-hak individu untuk terus-menerus menumpuk kekayaan
pribadi sejauh tidak merampas hak-hak serupa orang lain.

Jadi, konstitusionalisme Locke tidak selalu diartikan sebagai usaha perlindungan terhadap
hak-hak individu berhadapan dengan kekuasaan (penindasan) negara. Terlepas dari
perbedaan penafsiran paham konstitusionalisme, gagasan Locke ini telah menempatkan
dirinya sebagai pelopor gagasan negara konstitusional dalam sejarah politik Barat. Pada
dasarnya, gagasan konstitusionalisme ini didasarkan pada keperluan untuk membatasi
kesewenang-wenangan negara.[9] Konstitusi memiliki tujuan merumuskan cara-cara untuk
membatasi dan mengendalikan kekuasaan politik untuk menjamin hak-hak asasi rakyat.[10]

Konstitusi bagi Locke merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu negara, karena di
dalamnya termuat aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hak-hak asasi warga
negara. Aturan-aturan konstitusional ini tidak boleh dilanggar oleh penguasa negara.

1. Pemisahan Kekuasaan

Menurut Locke, kemungkinan munculnya negara totaliter juga bisa dihindari dengan adanya
pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah
sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan
dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk: kekuasaan legislatif
(legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif
(federative power).

Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan


hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan
undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif.
Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan
luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan
transaksi-transaksi dengan negara asing.
Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik mengenai tugas atau
fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya. Dengan demikian,
tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk
mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Hal ini
dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.

Kekuasaan legislatif, menurut Locke, tidak boleh dialihkan kepada siapa pun atau lembaga
manapun, karena pada hakikatnya kekuasaan legislatif adalah menifestasi pendelegasian
kekuasaan rakyat pada negara. Undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif bersifat
mengikat kekuasaan aksekutif. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif tidak boleh menyimpang
dari undang-undang yang telah digariskan oleh parlemen. Hal ini berarti, Locke
menempatkan kekuasaan legislatif lebih tinggi daripada kekuasaan eksekutif.

1. D. Hubungan Negara dan Agama

Pandangan Locke lain yang penting dan masih berhubungan dengan konsep negara adalah
mengenai hubungan antara agama dan negara. Pemikiran Locke mengenai hal ini terdapat di
dalam tulisannya yang berjudul ‘Surat-Surat Mengenai Toleransi’ (Letters of Toleration).
Locke menyatakan bahwa perlu ada pemisahan tegas antara urusan agama dan urusan negara
sebab tujuan masing-masing sudah berbeda. Negara tidak boleh menganut agama apapun,
apalagi jika membatasi atau meniadakan suatu agama.

Tujuan negara adalah melindungi hak-hak dasar warganya di dunia ini sedangkan tujuan
agama adalah mengusahakan keselamatan jiwa manusia untuk kehidupan abadi di akhirat
kelak setelah kematian. Jadi, negara berfungsi untuk memelihara kehidupan di dunia
sekarang, sedangkan agama berfungsi untuk menjalankan ibadah kepada Tuhan dan
mencapai kehidupan kekal. Agama adalah urusan pribadi, berbeda dengan negara yang
merupakan urusan masyarakat umum.

Pemisahan antara keduanya haruslah ditegaskan, dan masing-masing tidak boleh mencampuri
urusan yang lain. Negara tidak boleh mencampuri urusan keyakinan religius manusia,
sedangkan agama tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat menghalangi atau
menggagalkan pelaksanaan tujuan negara. Bila negara hendak menghalangi kebebasan
beragama dari warganya, maka rakyat berhak untuk melawan.

--

Model arus sistem politik di atas hendak menunjukkan bagaimana lingkungan, baik
intrasocietal maupun extrasocietal, mampu mempengaruhi tuntutan dan dukungan yang
masuk ke dalam sistem politik. Bagan ini sesungguhnya secara mendasar adalah mirip
dengan skema kerja sistem politik seperti sudah dibahas terlebih dahulu.

Namun, di model arus ini Easton hendak memperjelas bahwa lingkungan intra dan
extrasocietal mampu mempengaruhi mekanisme Input (tuntutan dan dukungan). Lalu,
tuntutan dan dukungan dikonversi di dalam sistem politik yang bermuara pada output yang
dikeluarkan oleh Otoritas. Otoritas di sini berarti lembaga yang memiliki kewenangan untuk
mengeluarkan keputusan maupun tindakan dalam bentuk policy (kebijakan), bukan
sembarang lembaga. Output ini kemudian masuk lagi ke dalam lingkungan dan demikian
seterusnya seperti terjadi di skema terdahulu.3

Gambar dari konsep sistem politik menurut David Easton:

http://manshurzikri.wordpress.com/2010/02/09/review-konsep-sistem-politik/untitled2

Politisiasi sebagai Mekanisme Dukungan

Cadangan-cadangan yang telah diakumulasikan sebagai akibat dari keputusan-keputusan


yang lalu bisa ditingkatkan dengan suatu metode rumit untuk menghasilkan dukungan secara
tetap melalui proses yang disebut politisiasi. Politisasi sendiri memiliki pengertian sebagai
cara-cara yang ditempuh anggota masyarakat dalam mempelajari pola-pola politik.

B. Konsep Sistem Politik oleh Gabriel A. Almond

Menurut Almond, sistem politik adalah merupakan sistem interaksi yang terjadi dalam
masyarakat yang merdeka. Sistem itu menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi. Almond
menggunakan pendekatan perbandingan dalam menganalisa jenis sistem politik, yang mana
harus melalui tiga tahap, yaitu:

1. Tahap mencari informasi tentang sobjek. Ahli ilmu politik memiliki perhatian yang fokus
kepada sistem politik secara keseluruhan, termasuk bagian-bagian (unit-unit), seperti badan
legislatif, birokrasi, partai, dan lembaga-lembaga politik lain.
2. Memilah-milah informasi yang didapat pada tahap satu berdasarkan klasifikasi tertentu.
Dengan begitu dapat diketahui perbedaan suatu sistem politik yang satu dengan sistem
politik yang lain.
3. Dengan menganalisa hasil pengklasifikasian itu dapat dilihat keteraturan (regularities) dan
ubungan-hubungan di antara berbagai variabel dalam masing-masing sistem politik.

Menurut Almond ada tiga konsep dalam menganalisa berbagai sistem politik, yaitu sistem,
struktur, dan fungsi.

Sistem dapat diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya suatu
organisasi yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yang mempengaruhinya maupun
dipengaruhinya. Sistem politik merupakan organisasi yang di dalamnya masyarakat berusaha
merumuskan dan mencapai tujuan-tujuan tertentu yang sesuai dengan kepentingan bersama.
Dalam sistem politik, terdapat lembaga-lembaga atau struktur-struktur, seperti parlemen,
birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu, yang
selanjutnya memungkinkan sistem politik tersebut untuk merumuskan dan melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaannya.

3 Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews., Perbandingan Sistem Politik., Gajah Mada
University Press, Jogjakarta., 1982., hal.4

--
Gabriel A. Almond (12 Januari 1911 – 25
Desember 2002) merupakan ilmuwan politik dari
Amerika Serikat. Ia terkenal karena karya pionir
di bidang perbandingan politik, perkembangan
politik, dan budaya politik.
Almond lahir di Rock Island, Illinois. Ia
merupakan putra imigran dari Rusia dan Ukraina.
Di masa dewasa, Almond kuliah di Universitas
Chicago, hingga menyelesaikan program pascasarjana.
Selesai kuliah, Almond bekerja di Harold Lasswell.
Almond menyelesaikan Ph.D. pada tahun 1938, dengan disertasi
doktornya yang berjudul Plutokrasi dan Politik di New York City, tetapi tidak
dipublikasikan hingga tahun 1998.
Almond mengajar di Brooklyn College (sekarang Universitas Kota
New York) 1939-1942. Pada waktu Amerika Serikat terlibat dalam Perang
Dunia II, Almond bergabung dengan Kantor Informasi Perang. Ia bertugas
menganalisis propaganda, dan menjadi kepala dari Bagian Informasi
Musuh. Seusai perang, Almond bekerja untuk Lembaga Strategis Survei
pasca-Perang di Jerman.
Almond kembali ke kehidupan akademik pada tahun 1947 dan
mengajar di Yale (1947-1950) dan (1959-1963), Princeton (1950-1959),
dan Universitas Stanford (1963-1993). Dia juga menjabat sebagai Kepala
Departemen Ilmu Politik di Stanford (1964-1969). Selain itu, Almond
juga menghabiskan waktu sebagai dosen tamu di berbagai universitas,
seperti Universitas Tokyo di Jepang, Universitas Belo Horizonte di Brasil,
dan Universitas Kiev. Meskipun Almond pensiun pada tahun 1976 dan
menjadi profesor emeritus di Stanford, ia terus menulis dan mengajar
hingga kematiannya.
Almond mengetuai Dewan Penelitian Ilmu Sosial Perbandingan
Komite Politik selama bertahun-tahun. Ia juga presiden dari Asosiasi Ilmu
Politik Amerika (APSA) untuk 1965-1966. Pada tahun 1981, ia menerima
APSA’s James Madison Award, yang diberikan kepada seorang ilmuwan
politik.
Sumber: id.wikipedia.org

--

Sidney Verba (born 26 May 1932, New York) is an American political scientist,
librarian and library administrator. His academic interests are mainly
American and comparative politics. He was the Carl H. Pforzheimer
University Professor at Harvard University. He also served Harvard as the
director of the Harvard University Library from 1984 to 2007. As he gave
notice of his intention to retire in 2006, Verba observed: "Academics are the
only people I can think of for whom this sentence makes sense: 'I'm hoping to
get some time off so that I can get some work doneSidney Verba Endowment
Fund

Friends and colleagues of Sidney Verba have established a $2.5 million endowment fund in
his honor. The Fund benefits the Harvard University Library, which provides University-
wide services, including digital acquisitions and collections, information technology, high-
density storage, and preservation. Under the terms creating the fund, Verba himself was given
the freedom to designate the purpose of the new endowment.[15]

Political scientist
However significant his work with Harvard's libraries, part of Verba's achievement has been
that he somehow managed it all while remaining engaged as a political scientist. Most
scholars put their own research on hold when they assume a time-consuming administrative
role in the University—not so Sidney Verba, who believed that his faculty position was
"supposed to be a real job." During his years as HUL director, he maintained a halftime
teaching load while also pursuing independent research projects.[1]

The central focus of Verba's work as a political scientist can be summed up in one word --
"participation." Expanding the subject somewhat, that topic might be elaborated to "the issues
of political participation by different groups." The great framing question of his work has
been, "Whose voice is heard by the government?" Verba himself argues that issues having to
do political participation have become central in America's political discourse today;[1] but he
attributes his initial interest in the subject to the prescient encouragement of his mentor,
Professor Gabriel Almond at Princeton University.[1] Verba earned his Ph.D. at Princeton in
1959;[16] and in 1963, he was named as a co-author with Almond in The Civic Culture:
Political Attitudes and Democracy in Five Nations.

In retirement, he continues to explore his longtime interest in "the citizen voice" with a new
study of interest groups in the United States, asking whom they represent—ethnic groups,
women, trade associations, professions. His research goal is to produce "a kind of statistical
model of what the interest groups in the U.S. look like

--

Robert Alan Dahl (/dɑːl/; December 17, 1915 – February 5, 2014) was a political theorist
and Sterling Professor of Political Science at Yale University. He established the pluralist
theory of democracy—in which political outcomes are enacted through competitive, if
unequal, interest groups—and introduced "polyarchy" as a descriptor of actual democratic
governance. An originator of "empirical theory" and known for advancing behavioralist
characterizations of political power, Dahl's research focused on the nature of decisionmaking
in actual institutions, such as American cities. Dahl is considered one of the most influential
political social scientists of the twentieth century, and has been described as "the dean of
American political scientists."[1][2]

Dahl received his Ph.D. at Yale in 1940 and served on its political science faculty from 1946
to 1986. His influential early books include A Preface to Democratic Theory (1956), Who
Governs? (1961), and Pluralist Democracy in the United States (1967), which presented
pluralistic explanations for political rule in the United States.[3][4] He was elected president of
the American Political Science Association in 1966.

Contents
 1 Writings
 2 Influence terms
 3 Democracy and polyarchies
 4 Prizes
 5 Criticism
 6 Bibliography
 7 References
 8 Sources
 9 Further reading
 10 External links

Writings

Robert A. Dahl teaching a political science class at Yale University

In the late 1950s and early 1960s, he was involved in an academic disagreement with C.
Wright Mills over the nature of politics in the United States. Mills held that America's
governments are in the grasp of a unitary and demographically narrow power elite. Dahl
responded that there are many different elites involved, who have to work both in contention
and in compromise with one another. If this is not democracy in a populist sense, Dahl
contended, it is at least polyarchy (or pluralism). In perhaps his best known work, Who
Governs? (1961), he examines the power structures (both formal and informal) in the city of
New Haven, Connecticut, as a case study, and finds that it supports this view.[5]

From the late 1960s onwards, his conclusions were challenged by scholars such as G.
William Domhoff and Charles E. Lindblom (a friend and colleague of Dahl).[6][7]

In How Democratic Is the American Constitution? (2001) Dahl argued that the US
Constitution is much less democratic than it ought to be, given that its authors were operating
from a position of "profound ignorance" about the future. However, he adds that there is little
or nothing that can be done about this "short of some constitutional breakdown, which I
neither foresee nor, certainly, wish for." [8]
Influence terms
One of Robert Dahl’s many contributions is his explication of the varieties of power, which
he defines as “A” getting “B” to do what “A” wants. Dahl prefers the more neutral “influence
terms,” (Michael G. Roskin) which he arrayed on a scale from best to worst:

1. Rational Persuasion, the nicest form of influence, means telling the truth and explaining why
someone should do something, like your doctor convincing you to stop smoking.
2. Manipulative persuasion, a notch lower, means lying or misleading to get someone to do
something.
3. Inducement still lower, means offering rewards or punishments to get someone to do
something, i.e. like bribery.
4. Power threatens severe punishment, such as jail or loss of job.
5. Coercion is power with no way out; you have to do it.
6. Physical force – is backing up coercion with use or threat of bodily harm.

Thus, we can tell which governments are best; the ones that use influence at the higher end of
the scale. The worst use the unpleasant forms of influence at the lower end.[citation needed]

Democracy and polyarchies


Main article: polyarchy

In his book, Democracy and Its Critics (1989), Dahl clarifies his view about democracy. No
modern country meets the ideal of democracy, which is as a theoretical utopia. To reach the
ideal requires meeting five criteria:[9]

1. Effective participation
Citizens must have adequate and equal opportunities to form their preference and place
questions on the public agenda and express reasons for one outcome over the other.
2. Voting equality at the decisive stage
Each citizen must be assured his or her judgments will be counted as equal in weights to the
judgments of others.
3. Enlightened understanding
Citizens must enjoy ample and equal opportunities for discovering and affirming what choice
would best serve their interests.
4. Control of the agenda
Demos or people must have the opportunity to decide what political matters actually are
and what should be brought up for deliberation.
5. Inclusiveness
Equality must extend to all citizens within the state. Everyone has legitimate stake within the
political process.

Instead, he calls politically advanced countries "polyarchies". Polyarchies have elected


officials, free and fair elections, inclusive suffrage, rights to run for office, freedom of
expression, alternative information and associational autonomy. Those institutions are a
major advance in that they create multiple centers of political power.[10]

Prizes
Dahl was awarded the Johan Skytte Prize in Political Science in 1995.[4]

Criticism
 Sociologist G. William Domhoff strongly disagrees with Dahl's view of power in New Haven,
CT in the 1960s: "Who Really Ruled in Dahl's New Haven?"[citation needed]
 Political philosopher Charles Blattberg has criticized Dahl's attempt to define democracy
with a set of necessary and sufficient conditions

--

David Easton (June 24, 1917 – July 19, 2014) was a Canadian-born American political
scientist. Easton, who was born in Toronto, Ontario, came to the United States in 1943. From
1947-1997, he served as a professor of political science at the University of Chicago.

At the forefront of both the behavioralist and post-behavioralist revolutions in the discipline
of political science during the 1950s and 1970s, Easton provided the discipline's most widely
used definition of politics as the authoritative allocation of values for the society. He is
renowned for his application of systems theory to the study of political science. Policy
analysts have utilized his five-fold scheme for studying the policy-making process: input,
conversion, output, feedback and environment. Gunnell argues that since the 1950s the
concept of "system" was the most important theoretical concept used by American political
scientists. The idea appeared in sociology and other social sciences but it was Easton who
specified how it could be best applied to behavioral research on politics.[1]

During his career he has served as a key gatekeeper, as consultant to many prominent
organizations and funding agencies, and author of numerous influential scholarly
publications. He has served on many boards and committees and was president of the
American Political Science Association.

Contents
 1 Education and career
 2 Scholarship
 3 Selected publications
 4 References
 5 Further reading
 6 External links

Education and career


Easton earned his undergraduate degree at the University of Toronto in 1939, his M.A. in
1943 and Ph.D. from Harvard University in 1947; an LL.D. at Mc Master University in 1970
and he attended Kalamazoo College in 1972. He married Sylvia Isobel Victoria Johnstone
and they raised one son.[2]

From 1944 to 1947 Easton was a teaching fellow at Harvard University. He was appointed
assistant of political science at the University of Chicago In 1947; associate professor in
1953; professor in 1955; and was Andrew McLeish Distinguished Service Professor in Social
Thought there in 1984. He was appointed Distinguished Research Professor in the
Department of Political Science, University of California, Irvine in 1997. Easton was a
member of the executive committee of the Inter-University Consortium for Political Research
(1962–64); chairman of the Committee on Information and Behavioral Sciences Division,
National Academy of Sciences-National Research Council (1968–70); and a fellow of the
Center for Advanced Study in the Behavioral Sciences, Stanford University (1957–58). He
has served as a consultant to The Brookings Institution (1955); the Mental Health Research
Institute of the University of Michigan (1955–56); the Canadian Royal Commission on
Bilingualism and Biculturalism (1964–66); and as a Ford Professor (1960–61), funded by a
grant from the Ford Foundation. Easton also served on the editorial boards of the Journal of
Political Methodology, Youth and Society, and International Political Science Abstracts, and
was editor of Varieties of Political Theory (1966).[2]

Easton is a former President of the American Political Science Association (1968–1969), past
President of the International Committee on Social Science Documentation (1969–1971), and
Vice President of the American Academy of Arts and Sciences.[3] He was an active
Behavioral Science Fellow of the American Academy of Arts & Sciences, serving as a
council member (1975–1984), chairman of its Research and Planning Committee (1979–82),
and a member of its Executive Board (1979–1984). He was a trustee and chairman of the
Academy of Independent Scholars (1979–81); a member of the Committee on Higher
Education of the Royal Society of Canada (1978–80); and also served as chairman of the
Committee on Scientific Information Exchange of the American Political science Association
(1972).[2]

Scholarship
Easton has been described as one of the “first generation of behavioral revolutionaries” in the
discipline of political science.[4] Like other early behavioralists, Easton initially sought to
gain control over the masses of data being generated by social science research in the early
1950s, which they thought was overwhelming social scientists with quantitative and
qualitative data in the absence of an organizing theoretical framework.[5] Easton argued for
development of a proper science of political studies that would produce reliable, universal
knowledge about social phenomena, and that the purpose of scientific rules of procedure was
to make possible the discovery of a highly generalized theory of politics.[5] Easton’s vision
was one of a “general theory” of political science that would consist of a deductive system of
thought so that a limited number of postulates, as assumptions and axioms, a whole body of
empirically valid generalizations might be deduced in descending order of specificity and
provide predictive causal explanations of political behavior.[6]

Easton’s book The Political System drove home the failure of 1950s political science to build
anything resembling coherent theories of politics or to develop systematic techniques for
gathering and analyzing data, with which such theories might be constructed.[7] The most
widely known and used definition of politics was provided by Easton in his identification of
the political system with the “authoritative allocation of values for a society.”[8] This provided
many political scientists with a useful guideline for delimiting the content of political science.

Some years later, after Easton became President of the American Political Science
Association, he led the charge of a new post-behavioralist revolution, arguing that political
science research should be both relevant and action-oriented, so it might better serve the
needs of society by solving social and political problems revealed during the 1960s.[9] This
new revolution was not a change in the methods of inquiry but a change in orientation that
grew out of a deep discontent with the direction of contemporary political research and which
advocated more attention to the public responsibilities of the discipline and to relevant
research on contemporary political problems and issues. According to John Gunnell, this was
the official birth announcement of the public policy enterprise in political science which
became the basis of the self-image of orthodox political science in the 1970s. With this shift
came a distinct de-emphasis of concern for establishing a general unified theory as the core of
the discipline, and a retreat from any pointed confrontation with the history of political
theory.[10]

Easton, David (1965). A Systems Analysis of Political Life, New York, S.32.

Easton is renowned for his application of systems theory to political science, and for his
definition of politics as the "authoritative allocation of value" in A Framework for Political
Analysis[11] and A Systems Analysis of Political Life,[12] both published in 1965.

Easton’s principal research interest is in elaborating a systems analytical approach as a


central means of understanding how political systems operate. In recent years he has turned
to structural constraints as a second major element underlying political systems. He has
written about the influence of political structure on various aspects of political life, on the
state and development of political science, and on the political socialization of children.[3]

In a reputational study of political scientists published in 1978, Easton ranked fourth among
those most prominent during 1945-1960, and second most prominent among those in the
period 1960-1970.[13][14] In a subsequent reputational study based on number of times an
author’s publications were cited in publications of others, Easton ranked seventh among the
twenty most significant political scientist contributors in the period 1970-79

Anda mungkin juga menyukai