Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS FILM DOKUMENTER: “NEGERI DI BAWAH KABUT”

KARYA SHALAHUDDIN SIREGAR


Oleh: M. Misbahul Munir
NIM: 17020134081

1. IDENTITAS
2.  Negeri di Bawah Kabut adalah sebuah film dokumenter yang rilis pada tahun 2011
(diunggah di Youtube tahun 2020), disutradarai oleh Shalahuddin Siregar, dan
merupakan karya dari Negeri Films, sebuah kanal Youtube yang memproduksi film
dokumenter dengan nilai seni tinggi dan bertujuan menginformasi, mengejutkan,
serta menginspirasi penonton.
3. Film Negeri di bawah Kabut memotret kehidupan masyarakat di Lereng Merbabu
yang menghidupi diri dan keluarga mereka dengan cara bertani. Para petani di sana
kala itu masih mengandalkan sistem kalender tradisional Jawa dalam membaca
musim. Namun perubahan iklim yang kerap terjadi membuat petani bingung, dan
dampaknya, hasil pertanian kurang maksimal, bahkan beberapa gagal panen. Hal ini
membuat penghasilan para petani kian menipis. Di samping itu, kebutuhan hidup
malah semakin menebal. Contohnya adalah ketika anak-anak mereka mulai
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
4. Lewat dokumenter ini, perubahan iklim, pendidikan, kekeluargaan, dan dampak dari
kemiskinan struktural diperlihatkan saling berkaitan. Dialog, adegan, dan ekspresi
yang mengalir natural apa adanya seperti tanpa script, alur yang mudah diikuti, serta
pengambilan gambar yang sangat apik membawa penonton ikut terhanyut terbawa
suasana. Tak heran film ini masuk nominasi dan menang di beberapa ajang
penghargaan.
5. Film ini mungkin dapat membuka sudut pandang baru bagi penonton, tentang
bagaimana kehidupan petani di Indonesia yang sesungguhnya, di balik pesona
indah lereng pegunungan. Terkhusus di Desa Genikan, Kabupaten Magelang, di
mana desa ini benar-benar berada di bawah kabut. Pagi, siang, sore, dan menjelang
malamnya kerap diselimuti kabut dan diiringi cuaca yang tidak menentu.

6. ORIENTASI
7. TAFSIRAN
8. EVALUASI
9. RANGKUMAN

PENDAHULUAN
Menjadi petani memang bukan impian semua orang. Akan tetapi, petani menjadi bagian
terpenting dalam kehidupan umat manusia. Di dalam film Negeri di Bawah Kabut karya
Shalahuddin Siregar ini mengisahkan tentang bagaimana kehidupan petani yang tinggal dikaki
gunung merbabu. Dalam film ini ada beberapa isu yang hangat untuk diangkat diantaranya
mengani isu, perubahan cuaca/iklim, ekonomi, sosial, ujian nasional sekolah dasar, serta biaya
pendidikan yang sulit terjangkau untuk penduduk sekitar kaki gunung Merbabu. Masyarakat
setempat sering kali dihadapkan pada situasi yang membuat mereka terpaksa mengambil sebuah
keputusan untuk memanen hasil pertanian sebelum massa waktu panen tiba. Para petani
dihadapkan oleh kenyataan bahwa kentang yang mereka budidayakan berwarna hitam bahkan
sampai berdaun busuk. Hal tersebut sudah jelas tanda bahwa hasil pertanian mereka akan
menurun (gagal panen) dan tidak seperti biasanya. 
Film ini mengisahkan tentang perjuangan seorang anak petani bernama Arifin yang ingin
lajut bersekolah di sekolah impiannya. Namun, dia harus menutup dalam-dalam  cita-citanya
bersekolah disekolah impiannya karna biaya yang harus dipersiapkan orang tuanya tidak sedikit.
Dengan kondisi orang tuanya hanya sebagai pekerja/buruh tani diladang milik orang lain. "Kamu
sudah dapat nilai tertinggi tapi sayang kamu tidak bisa lanjut bersekolah" Begitulah percakapan
ayah Arifin dengan penuh keterpaksaan harus mengatakan hal ini kepada sang anak karna Arifin
tidak bisa kanjut bersekolah d isekolah impiannya (sekolah negeri). Namun disisi lain, orang tua
arifin menginginkan Arifin membantunya bekerja sebagai petani. Dan pada akhirnya orang tua
Arifin mencoba mempertimbangkan pilihan lain. Orang tua arifin mencoba mencari alternatif
memilih sekolah yang jauh lebih murah dibandingkan sekolah pilihan Arifin, yaitu pesantren.
Setiap bulannya hanya perlu membayar Rp8.000. Kebutuhan seragam pun bisa dibeli dengan
harga yang terjangkau dan sangat jauh berbeda dengan sekolah pilihan Arifin. 

Lemahnya daya jual atau tawar menawar para petani Desa Genikan ini berdampak
menurunnya ekonomi desa tersebut. Karena  kuatnya investasi dari pengepul dan tengkuak
menyebabkan mereka harus terpaksa menjadi korban pemiskinan akibat transaksi yang tidak
adil. Maka dari itu, perlu dilakukan langkah progresif secara kolektif dan berkelanjutan demi
memutuskan lingkaran kemiskinan yang berkelanjutan. Keputusan Arifin untuk lanjut bersekolah
menempuh pendidikan pesantren adalah salah satu contohnya, langakah Arifin ini harus diikuti
oleh teman-teman sebayanya dan juga adik-adik kelasnya agar mereka mendapatkan pendidikan
yang jauh lebih baik dan layak.
Dalam wawancaranya dengan filmindonesia.or.id, Shalahuddin "Udin" Siregar mengaku
telah lama mengetahui Desa Genikan sejak ia tergabung pada organisasi pecinta alam di kampus,
ia pertama kali melintasi desa ini pada pendakiannya ke Gunung Merbabu tahun 1997. Pada
tahun 2006, ia baru tertarik mengenal penduduk desa lebih dekat, bukan hanya sekadar pendaki
yang melintas sejenak, saat itulah ia tinggal bersama keluarga Sudardi dan Muryati, pasangan
muda yang kemudian hari menjadi lakon dalam karyanya. Ide cerita film ini Udin dapat setelah
melihat salah seorang warga desa yang menghancurkan kubis hasil panennya karena harga
jualnya yang hanya 150 rupiah per kilogram.

Untuk mewujudkan karyanya, Udin sebelumnya pernah mengirim proposal untuk


mengikuti Jiffest Script Development namun ditolak, dengan pengembangan berbeda ia kembali
mengirim proposalnya pada tahun 2008 dan kembali ditolak. Proposalnya kemudian diterima
oleh Doc Station Berlinale Talent Campus 2009, sebuah loka karya film yang diselenggarakan
dalam rangkaian festival film Berlinale di Jerman.

Pengembangan kembali dilanjutkan dalam loka karya yang diadakan Dewan Kesenian


Jakarta, Goethe Institut dan Ford Foundation bertajuk 'Indonesia - Ten Years after Reformasi'
hingga akhirnya selesai pada tahun 2011.Produksi film ini total menghabiskan waktu lebih dari 4
tahun dengan proses pengambilan gambar selama 115 hari, dilanjutkan penyuntingan selama 18
bulan, menghasilkan footages 118 jam yang kemudian menjadi film berdurasi 105 menit

HASIL PEMBAHASAN

Shalahuddin Siregar menyebutkan jika jenis filmnya adalah observatory documentary, dimana


materi film disampaikan melalui kata, perbuatan dan sudut pandang objek kajian. Tanpa
pengaturan panggung, musik latar, efek suara, intertitles atau narator. Sepanjang durasi kita
(hanya) akan menyaksikan kehidupan keseharian dua keluarga petani, yang menetap di sebuah
desa bernama Genikan yang terletak di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah, dalam bentuk
yang paling banal. Bersama, kita diajak untuk singgah dan berdiam sekejap di desa tersebut dan
merasakan geliat hidup mereka yang penuh dengan kesederhanaan.
Ada dua keluarga yang menjadi poros utama narasi. Keluarga pertama adalah pasangan suami
istri Muryati dan Sudardi dengan dua anak laki-laki dan Arifin yang duduk di bangku terakhir
Sekolah Dasar setempat. Jika Muryati dan Sudardi adalah pasangan suami istri  petani yang
mengeluhkan tentang cuaca yang tak menentu, maka Arifin tengah gamang dengan masa
depannya selepas SD, karena kedua orangtuanya yang merupakan petani penggarap hidup
dengan segala keterbatasan sehingga mengalami kesulitan untuk membiayai pendidikan Arifin
lebih lanjut.

Berbeda dengan kebanyakan dokumenter, terutama yang ada di Indonesia, Negeri di Bawah
Kabut hadir dengan gaya pendekatan ala cinéma vérité. Alih-alih berisi serangkaian wawancara
dan narasi pengantar, maka film memilih untuk memaparkan para narasumber dengan apa
adanya, seolah-olah mereka tidak menyadari akan adanya kamera yang hadir ditengah-tengah
dan terus membayangi serta menangkap aktifitas mereka.

Tidak heran jika ada beberapa penonton yang mengira jika Negeri di Bawah Kabut adalah
sebuah film fiksi karena bertutur dengan alur dan dialog. Belum lagi penataan sudut pandang
kamera yang dengan jitu menangkap keindahan panorama pegunungan Merbabu layaknya
gambar-gambar menyenangkan di kartu pos wisata yang biasa kita beli di toko buku.

Tampaknya teknik dengan gaya sinematis dipergunakan dalam memprovokasi objek yang
menjadi topik untuk dapat digali lebih lanjut. Contohlah pemanfaatan shot-shot panjang yang
berguna untuk menggali gestur para informan secara lebih intim juga personal. Hal ini tentu saja
agar ritme kehidupan mereka yang berjalan lambat dan tenang dapat ditangkap, dirasakan dan
dimaknai oleh penonton.

Monoton? Bisa jadi begitu, sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang penonton sehabis
menyaksikan filmnya. Ia juga tidak menemukan urgensi dari filmnya. Apa sih sebenarnya yang
ingin disampaikan? Tidak bisa disalahkan juga. Ditengah kebiasaan menyaksikan film tiga babak
yang dengan nyaman mengarahkan penonton pada solusi, tentu saja apa yang ditawarkan oleh
Negeri di Bawah Kabut terasa tawar dan tak menarik. Apa serunya menyaksikan orang-orang
yang menghabiskan waktu mereka membicarakan cuaca yang semakin tidak jelas, ancaman
gagal panen, harga jual sayuran yang semakin tidak kondusif atau gundahnya sebuah keluarga
akan kelanjutan pendidikan sang anak?

Tentu saja Negeri di Bawah Kabut bukanlah film dokumenter terbaik yang pernah ada. Materi
yang dipaparkan juga tidak cukup kompleks sebagai bahan analisa masalah lingkungan yang
komprehensif. Akan tetapi pilihan film untuk mengangkat permasalahan keseharian penduduk
desa menegaskan jika kita yang terbiasa dengan problema kaum urban (kelas menengah), seperti
batalnya konser Lady Gaga atau sulitnya mendapat tiket bioskop IMAX, seolah terlupa ada
kelompok masyarakat  dengan masalah yang mungkin sederhana bagi kita namun krusial bagi
kelangsungan kehidupan mereka.

Arifin membutuhkan biaya sekitar 700 ribu rupiah agar bisa masuk ke sekolah negeri, meski kata
pak guru ia sama sekali tidak perlu mengteluarkan biaya apapun kecuali baju seragam. Setelah
mencoba berhutang kesana-sini, ayah Arifin pun akhirnya hanya bisa memasukkan dirinya ke
sebuah pesantren. Atau Muryati yang harus bangun di awal subuh dan menerobos dinginnya pagi
dan uduk di bak belakang sebuah mobil untuk menjual sayurannya ke pasar yang kemudian
hanya dihargai sebesar 300 ribu rupiah. Alih-alih bersedih tak berujung, mereka menghadapi
semua itu dengan santai dan senyum menyungging.

Menurut hemat saya, setelah menyimak filmnya, aksi dan motivasi para informan tidak bisa
digolongkan sebagai sebuah sikap  yang fatalistik atau pesimistik. Akan lebih tepat jika disebut
sebagai sebuah kearifan dalam menyikapi kehidupan mereka yang sederhana. Film tidak
memberikan solusi karena memang bertujuan mengajak penonton untuk mengobservasi
kehidupan para petani ini. Ia hadir sebagai sebuah perjalanan emosi yang dirasakan secara visual.
Maka nikmati saja arusnya. Jika tidak, silahkan bergabung dengan penonton yang merasa
kebosanan tadi.

Negeri di Bawah Kabut mengingatkan saya akan film-film Béla Tarr atau Abbas Kiarostami,
yang menekankan alur pada aksi trivial dan banal  karakter-karakternya, namun mampu
membangkitkan sisi humanis yang subtil sekaligus juga meresahkan. Film menghapus batasan
jarak antara  mereka dengan penonton, yang pada awalnya hanya bertugas menjadi sosok
pengamat asing dan berjarak. Kabut tebal yang menyelimuti, derai hujan yang membasahi tanah
dan obrolan-obrolan ringan tidak lagi menjadi tontonan namun bagian dari pengalaman
psikologis yang mendalam

Anda mungkin juga menyukai