Anda di halaman 1dari 92

NASKAH DRAMA BILA MALAM BERTAMBAH MALAM

KARYA PUTU WIJAYA

(KAJIAN DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGIS)

SKRIPSI

OLEH :

AJENG SUKMAWATI

NPM : 120401080004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA

UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG

2019
NASKAH DRAMA BILA MALAM BERTAMBAH MALAM

KARYA PUTU WIJAYA

(KAJIAN DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGIS)

SKRIPSI

Diajukan
Kepada Universitas Kanjuruhan Malang
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata satu (S1)
Pendididikan Bahasa dan Sastra Indonesia

OLEH :

Ajeng Sukmawati

120401080004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA

UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG

2019
HALAMAN PERSETUJUAN JUDUL SKRIPSI

Nama : Ajeng Sukmawati

NPM : 120401080004

Fakultas : Bahasa dan Sastra

Program Studi: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Universitas : Universitas Kanjuruhan Malang

Judul Skripsi : Naskah Drama Bila Malam Bertambah Malam Karya

Putu Wijaya (Kajian Dengan Pendekatan Sosiologis)

Malang, 8 Februari 2019

Disetujui oleh Ketua Program Studi

Suryantoro, M.Pd

NIK. 298801263
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi oleh Ajeng Sukmawati ini

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji :

Malang, 8 Februari 2019

Dosen Pembimbing 1

Drs. Darmanto, M.Pd

NIP. 290401175

Dosen Pembimbing II

Suryantoro, M.Pd

NIP. 298801263
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi oleh Ajeng Sukmawati ini


Telah dipertahankan di depan dewan penguji
pada tanggal, 8 Februari 2019

Penguji Utama :

Prof.Dr.Soedjijono,M.Hum Ketua
NIK. 290901227
Penguji I,

Drs. Darmanto, M.Pd Anggota


NIK. 290401175
Penguji II,

Suryantoro, M.Pd Anggota


NIK. 298801263
Mengetahui, Mengesahkan,
Ketua Program Studi Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kanjuruhan Malang

Suryantoro, M.Pd Dr.Mujiono,S.Pd.,M.Pd


NIK. 298801263 NIK. 290301171
BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI

Nama : Ajeng Sukmawati

NPM : 120401080004

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas : Bahasa dan Sastra

Judul : Naskah Drama Bila Malam Bertambah Malam Karya

Putu Wijaya (Kajian Dengan Pendekatan Sosiologis)

Pembimbing 1: Drs.Darmanto,M.Pd

NO TANGGAL BIMBINGAN PARAF


1 19 Juli 2017 Pengajuan Judul

2 20 Agustus 2018 Bimbingan Bab I,II, dan III

3 27 Agustus 2018 ACC Bab I,II, dan III dan Sempro


4 17 Desember 2018 Bimbingan Bab IV
5 7 Januari 2019 ACC Bab IV
6 31 Januari 2019 Bimbingan Bab V
7 31 Januari 2019 ACC Bab V

Malang, 31 Januari 2019

Drs.Darmanto,M.Pd

NIP.290401175
BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI

Nama : Ajeng Sukmawati

NPM : 120401080004

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas : Bahasa dan Sastra

Judul : Naskah Drama Bila Malam Bertambah Malam Karya

Putu Wijaya (Kajian Dengan Pendekatan Sosiologis)

Pembimbing II : Suryantoro,M.Pd

NO TANGGAL BIMBINGAN PARAF


1 19 Juli 2017 Pengajuan Judul

2 20 Agustus 2018 Bimbingan Bab I,II, dan III

3 27 Agustus 2018 ACC Bab I,II, dan III dan Sempro


4 17 Desember 2018 Bimbingan Bab IV
5 7 Januari 2019 ACC Bab IV
6 31 Januari 2019 Bimbingan Bab V
7 31 Januari 2019 ACC Bab V

Malang, 31 Januari 2019

Suryantoro, M.Pd

NIP.29880126
PERNYATAAN

PERTANGGUNG JAWABAN PENULISAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama : Ajeng Sukmawati

NPM : 120401080004

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa :

1). Skripsi ini adalah benar-benar hasil karya mandiri dan bukan merupakan
hasil plagiasi (jiplakan) atas karya orang lain.

2). Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini
sebagai hasil plagiasi, saya akan bersedia menanggung segala konsekuensi
hukum yang terjadi.

Malang, 8 Februari 2019

Yang Menyatakan,

AJENG SUKMAWATI

NPM. 120401080004
MOTTO

“JAWABAN SEBUAH KEBERHASILAN ADALAH TERUS BELAJAR DAN


TAK KENAL PUTUS ASA”
PERSEMBAHAN

1. Bapak dan Ibuku, yang telah memberikan dukungan moril maupun materi
serta do’a yang tiada henti untuk kesuksesanku.
2. Suami dan anakku tercinta yang selalu mendukung setiap aktifitasku.
3. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas
Kanjuruhan Malang yang selama ini telah tulus dan ikhlas meluangkan
waktunya untuk menuntun dan mengarahkan saya, memberikan bimbingan
dan pelajaran yang tiada ternilai harganya, agar saya menjadi lebih baik.
4. Teman-teman saya seperjuangan yang selalu memberi semangat.
5. Almamater tercinta Universitas Kanjuruhan Malang.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah yang telah meridhoi dan senantiasa
memberikan petunjuk kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Pada
kesempatan ini pula saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi selama belajar di Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang, diantaranya
kepada :

1. Rektor Universitas Kanjuruhan Malang yang telah memberi kesempatan saya


untuk menyelesaikan Program Strata Satu (S1) di Universitas Kanjuruhan
Malang.
2. Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Kanjuruhan Malang yang telah
memberi kesempatan saya untuk menyelesaikan Program Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia di Universitas Kanjuruhan Malang.
3. Drs. Darmanto,M.Pd selaku pembimbing 1 yang telah membimbing penulis
dengan penuh kesabaran hingga terselesainya skripsi ini.
4. Suryantoro,M.Pd selaku pembimbing II yang dengan sabar membimbing
penulis dalam menyelesaikan skripsi.
5. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di
Universitas Kanjuruhan Malang.
6. Rekan mahasiswa yang telah membantu dalam segala bentuk apapun demi
selesainya skripsi ini.
Untuk itu, segala kritikan yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
perbaikan pembuatan skripsi dimasa yang akan datang.
Demikian prakata penulis, mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis pribadi, maupun bagi pembaca pada umumnya.

Malang, 8 Februari 2019

Yang Menyatakan,

AJENG SUKMAWATI

NPM. 120401080004
ABSTRAK

Ajeng Sukmawati, 2012. Naskah Drama Bila Malam Bertambah Malam karya
Putu Wijaya (Kajian Dengan Pendekatan Sosiologis). Skripsi, Program
Studi S1 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang.
Pembimbing 1: Drs. Darmanto, M.Pd

Kata Kunci : Rasional, Empiris, Konteks Sosial Budaya.

Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (Socius berarti bersama-
sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan,
perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna,
soio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu
menganai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang
mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat,
sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti
mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Jadi sastra berarti
kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik.
Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian,
yaitu kesusastraan artinya kumpulan hasil karya yang baik.

Masalah yang berkaitan dengan penelitian menggunakan pendekatan


sosiologis ini cukup luas. Dari keluasan masalah ini hal-hal utama yang harus
diteliti dalam pendekatan ini adalah: (a) Bagaimana pengarang mendapatkan mata
pencahariannya: (b) Sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai
suatu profesi dan (c) Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Kedua, sastra
sebagai cermin masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra.

Sesuai dengan pembatasan masalah diatas, maka masalah dalam penelitian


ini dapat dirumuskan dalam bentuk pernyataan sebagai berikut:

(1) Bagaimana Tema pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu
Wijaya ?;(2) Bagaimana Alur atau Plot pada drama Bila Malam Bertambah Malam
karya Putu Wijaya ?;(3) Bagaimana Latar atau Setting pada drama Bila Malam
Bertambah Malam karya Putu Wijaya ?;(4) Bagaimana Penokohan atau
Perwatakan pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya?;(5)
Bagaimana Gaya bahasa pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu
Wijaya ?.(6) Bagaimana Amanat pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya
Putu Wijaya?

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan yang


terjadi antara masyarakat Indonesia dengan sastra di Indonesia, gejala-gejala baru
yang timbul sebagai akibat antar hubungan tersebut. Secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh gambaran objektif dari drama karya Putu Wijaya
tentang : Kemampuan mengkaji perwatakan pada drama Bila Malam Bertambah
Malam karya Putu Wijaya; Kemampuan mengkaji latar pada drama Bila Malam
Bertambah Malam karya Putu Wijaya. Berdasarkan deskripsi hasil penafsiran data,
maka dapat disimpulkan secara sosiologi sastra pengkajian teks drama “Bila
Malam Bertambah Malam” ini memuat beragam konteks sosial budaya
kemasyarakatan serta nilai-nilai yang ada di masyarakat. Dalam konteks sosial
pada drama “Bila Malam Bertambah Malam”, menceritakan seorang janda yang
begitu membanggakan kebangsawanannya. Ia hidup di rumah peninggalan
suaminya. Gusti Biang adalah janda almarhum I Gusti Rai seorang bangsawan
yang dulu sangat dihormati karena dianggap pahlawan kemerdekaan.

Gusti Biang hanya tinggal bersama dengan Wayan, seorang lelaki tua yang
merupakan kawan seperjuangan I Gusti Ngurah Rai dan Nyoman Niti, seorang gadis
desa yang selama kurang lebih 18 tahun tinggal di purinya. Sementara putra semata
wayangnya Ratu Ngurah telah lima tahun meninggalkannya karena sedang
menuntut ilmu di pulau Jawa. Sikap Gusti Biang yang masih ingin mempertahankan
tatanan lama yang menjerat manusia berdasarkan kasta, membuatnya sombong dan
memandang rendah orang lain. Nyoman Niti yang selalu setia melayani Gusti
Biang, harus rela menelan pil pahit akibat sikap Gusti Biang yang menginjak-injak
harga dirinya.
DAFTAR ISI

JUDUL……………..………………………………………………………...i
HALAMAN PERSETUJUAN JUDUL SKRIPSI……………………….....ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………….iii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………iv
BERITA ACARA PEMBIMBING 1……………………………………….v
BERITA ACARA PEMBIMBING 2……………………………………….vi
PERNYATAAN PERTANGGUNG JAWABAN SKRIPSI………………...vii
HALAMAN MOTTO………………………………………………………..viii
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………....ix
KATA PENGANTAR………………………………………………………...x
HALAMAN ABSTRAK……………………………………………………..xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………….xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………….2


1.2 Masalah………………………………………………………………..10
1.2.1 Rentangan Masalah……………………………………………………..10
1.2.2 Pembatasan Masalah……………………………………………………11
1.2.3 Rumusan Masalah………………………………………………………11
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………….12 1.3.1
Tujuan Umum………………………………………………………….12
1.3.2 Tujuan Khusus……………………………………................................12
1.4 Manfaat Penelitian………………………………………….................13
1.4.1 Manfaat Teoritis……………………………………………………….13
1.4.2 Manfaat Praktis………………………………………………………...13
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Struktur Teks Drama……………………………………………14
2.1.1 Alur dan Pengaluran……………………………………………………14
2.1.2 Tokoh dan Penokohan…………………………………………………17
2.1.2.1 Tokoh Sentral……………………………………………………….17
2.1.2.2 Tokoh Bawahan…………………………………………………….18
2.1.3 Latar…………………………………………………………………...18
2.1.4 Perlengkapan…………………………………………………………. 19
2.1.5 Bahasa…………………………………………………........................19
2.2 Pengertian Drama……………………………………………………….20
2.3 Jenis Drama……………………………………………………………..22
2.4 Pengertian Sosiologi Sastra…………………………………………….23
2.4.1 Sosiologi Sebagai Cara Pandang……………………………………..26
2.4.1.1 Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Menganalisis
Karya Sastra………………………………………………………..29
2.4.1.2 Teori-teori Tentang Masyarakat……………………………………32
2.5 Sastra………………………………………………………………….32
2.5.1 Pengertian sastra…………………………………………………….32
2.5.1.1 Sastra Sebagai Tulisan…………………………………………….33
2.5.1.2 Sastra Sebagai Bahasa……………………………………………34
2.5.1.3 Sastra Sebagai Karya Fiktif-Imajinatif…………………………...34
2.5.1.4 Karya Sastra Sebagai Ekspresi Jiwa…………………..................35
2.5.1.5 Karya Sastra dan Dunia Sosial……………………………………36
2.6 Dari Tulisan Ke Dunia Sosial………………………………………….37
2.7 Dari Bahasa Ke Dunia Sosial………………………………………….38
2.8 Dari Rekaan, Imajinasi Ke Dunia Sosial………………………………38
2.9 Beberapa Kemungkinan Definis Sosiologis Mengenai Sastra………..39
2.10 Hakikat Sosiologi Sastra……………………………………………..41
2.11 Sejarah Sosiologi Sastra……………………………………………..42
2.12 Sosiologi Sastra Indonesia…………………………………………..43
2.13 Kaitan Sosiologi Sastra Dengan Psikologi Sastra…………………..44
2.14 Teori-teori Sosiologi Sastra………………………………………...46
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian…………………………………………………47
3.2 Pendekatan Penelitian………………………………………………..48
3.3 Sumber Data dan Data………………………………………………49
3.3.1 Sumber Data………………………………………………………49
3.3.2 Data………………………………………………………………..49
3.4 Teknik dan Alat Pengumpul Data……………..…………………….49
3.4.1 Teknik Pengumpul Data……………………………………..........49
3.4.2 Alat Pengumpul Data……………………………………………..50
3.5 Teknik Analisis Data………………………………………………..51
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Data…………………………………………………..........53
4.1.1 Pengarang dan Karya-karyanya…………………………………..53
4.2 Analisis Struktural Drama Bila Malam Bertambah Malam
Karya Putu Wijaya………………………………………………….54
4.2.1 Analisis Struktural Drama Bila Malam Bertambah Malam……...54
4.2.1.1 Tema…………………………………………………………….54
4.2.1.2 Alur atau Plot……………………………………………….......54
4.2.1.3 Latar atau Setting……………………………………………….59
4.2.1.4 Penokohan atau Perwatakan……………………………………62
4.2.1.5 Gaya Bahasa……………………………………………………70
4.2.1.6 Amanat…………………………………………………………71
4.3 Pembahasan………………………………………………………..72
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan………………………………………………………….74
5.2 Saran…………………………………………………………………75

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama,
bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan).
Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna,sosio/socius berarti
masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul
dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari
keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat yang bersifat
umum, rasional, dan empiris. Sastra berasal dari akar kata “sas” (Sansekerta) berarti
mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi sedangkan akhiran “tra”
berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk
atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah
terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya
yang baik.
Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam
masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam.
Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
Perbedaannya, apabila sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat
melalui analisis ilmiah dan objektif, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi,
secara subjektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas,
tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Karena itu, menurut Damono (1978: 6-
8), apa bila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian terhadap masalah
suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya cenderung sama.
Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakat yang
sama, maka hasil karyanya pasti berbeda. Hakikat sosiologi adalah objektifitas,
sedangkan hakikat karya sastra adalah subjektifitas dan kreativitas, sesuai dengan
pandangan masing-masing pengarang.
DR. Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, 2002. Hal 1
Dengan berdirinya Sosiologi Sastra Indonesia mempelajari hubungan yang
terjadi antara masyarakat Indonesia dengan sastra di Indonesia, gejala-gejala baru
yang timbul sebagai akibat antarhubungan tersebut. Di Indonesia, sosiologi sastra
diperkenalkan pertama kali melalui ceramah Harsya W.Bachtiar dalam penataran
“Filologi untuk Penelitian Sejarah”, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Sastra
dan Filsafat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gadjha Mada,
Yogyakarta, 1973. Dalam bentuk buku teks, mulai dengan terbitnya Sosiologi
Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (Sapardi Djoko Damono,1978) dan disusul
dengan Mitos dan Komunikasi (Umar Junus, 1981) dan Sosiologi Sastra: Persoalan
Teori dan Metode (Umar Junus,1986).
Dengan hakikat antar disiplin, sosiologi dan sastra, maka kualitas penelitian
ditentukan oleh peranan ilmu-ilmu bantu di dalamnya. Selain sosiologi, ilmu bantu
yang diperlakukan, di antaranya: sejarah, psikologi, agama dan masalah-masalah
kebudayaan pada umumnya. Meskipun demikian, sosiologi sastra hendaknya
dibatasi secara perifer, supaya tidak berubah menjadi penelitian sosiologis.
Menurut A. Teeuw (1984: 152), penelitian terhadap aspek-aspek
kemasyarakatan dipicu oleh stagnasi analisis strukturalisme, analisis yang semata-
mata didasarkan atas hakikat otonomi karya. Sebaliknya, karya sastra dapat
dipahami secara lengkap hanya dengan mengembalikannya pada latar belakang
sosial yang menghasilkannya, melalui analisis dalam kerangka menulis, membaca,
dan kenyataan.
Sosiologi sastra berkaitan dengan psikologi sastra sebab objeknya sama,
yaitu manifestasi manusia yang teridentifikasi dalam karya. Perbedaannya, objek
sosiologi sastra adalah manusia dalam masyarakat, sebagai transindividual, objek
psikologi sastra adalah manusia secara individual, tingkah laku sebagai manifestasi
psikologi.
Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai hasil interaksi pengarang
dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif, sedangkan psikologi sastra
memandang sastra sebagai rekaman keistimewaan individu, sebagai kesadaran
personal.
Karena itulah, aspek-aspek psikologi bermanfaat bagi sosiologi sastra apabila
memiliki nilai-nilai historis yang berhubungan dengan aspek-aspek kemanusiaan
secara keseluruhan. Aspek-aspek psikologis tersebut dapat dimanfaatkan baik
terhadap aspek intrinsik, seperti dalam analisis perwatakan, maupun ekstrinsik,
seperti dalam menganalisis pengarang, kecenderungan masyarakat pembaca.
Di dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood (1972)
mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia
dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial.
Selanjutnya dikatakan, bahwa sosiologi berusaha menjawab bagaimana cara kerja
masyarakat, dan mengapa masyarakat bertahan hidup. Melalui penelitian yang ketat
mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang
secara bersama-sama membentuk yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi
dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan
dirinya dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran
mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural individu
dialokasikan menerima peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial itu.
Aspek sosiologi diatas dikatakan berhubungan dengan konsep stabilitas
sosial, kontinuitas yang terbentuk antar masyarakat yang berbeda, cara-cara individu
menerima lembaga-lembaga sosial yang utama sebagai suatu hal yang memang
diperlukan dengan benar. Akan tetapi, di samping itu sosiologi juga berurusan
dengan proses perubahan-perubahan sosial baik yang terjadi secara berangsur-
angsur maupun secara revolusioner, dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
perubahan tersebut.
Dengan definisi dan deskripsi seperti diatas Swingewood berharap dapat
memberikan gambaran dan pengertian mengenai sosiologi secara keseluruhan. Akan
tetapi, dengan cara itu pula ia sesungguhnya telah melakukan suatu reduksi terhadap
persoalan sosiologi sebagai satu disiplin yang sesungguhnya kompleks.
Pada prinsipnya, sosiologi memang mempelajari kehidupan nyata manusia sebagai
suatu kolektivitas.
Akan tetapi, di dalamnya dijumpai banyak teori dan metodologi yang berbeda dan
bahkan saling bertentangan mengenai kehidupan tersebut dan cara memperoleh
pengetahuan mengenainya.
Ritzer (1975) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
multi paradigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai beberapa paradigma
yang saling bersaing dalam usaha merebut hegemoni dalam lapangan sosiologi
secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri diartikannya sebagai satu citra
fundamental mengenai pokok persoalan dalam suatu ilmu pengetahuan. Paradigma
itu berfungsi untuk menentukan apa yang harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan
apa yang harus diajukan, bagaimana cara mengajukannya, dan aturan-aturan yang
harus diikuti dalam interprestasi jawaban-jawaban yang diperoleh.
Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam suatu pengetahuan dan berfungsi
untuk membedakan satu komunitas ilmiah dari komunitas lainnya. Ia
menggolongkan, mendefinisikan, menginterrelasikan teladan-teladan, teori-teori,
metode-metode, dan instrumen-instrumen yang terdapat di dalamnya.
Ritzer menemukan setidaknya tiga paradigma yang merupakan dasar
sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan
paradigma perilaku sosial. Teladan dari paradigma yang pertama adalah karya-karya
Emile Durkheim. Di dalam paradigma ini yang ditentukan sebagai pokok persoalan
sosiologi adalah fakta sosial yang berupa lembaga-lembaga dan struktur-struktur
sosial. Fakta sosial itu sendiri dianggap sebagai sesuatu yang nyata, yang berbeda
dan berada di luar individu.
Teladan dari paradigma definisi sosial adalah Max Weber. Karya Weber
terarah pada satu perhatian terhadap cara individu-individu mendefinisikan situasi
sosial mereka dan efek dari definisi itu terhadap tindakan yang mengikutinya.
Dalam paradigma ini yang dianggap sebagai pokok persoalan sosiologi bukanlah
fakta-fakta sosial yang “objektif”, melainkan cara subjektif individu menghayati
fakta-fakta sosial tersebut. Teori-teori interaksionisme-simbolik, sosiologi,
fenomenologis, dan metode observasi, termasuk dalam paradigma ini.

Ritzer, george, 1975. Sociology: A Multiple Paradigm Science, Boston: Allyn and Bacon, Inc
Fakta sosial dianggap sebagai pokok persoalan sosiologi oleh paradigma
yang ketiga adalah perilaku manusia sebagai subjek yang nyata, individual. Teladan
dari paradigma ini adalah Skinner. Adapun metode yang disukai adalah metode
ekspresi-mental seperti yang biasa digunakan dalam psikologi.
Ketiga paradigma di atas pun sesungguhnya tidak menjelaskan sepenuhnya
kompleksitas sosiologi. Persaingan dalam sosiologi yang tidak kurang
fundamentalnya juga terjadi antar teori, misalnya persaingan antara teori konflik.
Marxis dengan teori struktural-fungsional personian. Keduanya tampak membangun
tradisinya sendiri-sendiri, komunitas akademiknya sendiri, meskipun secara
paradigmatik terhimpun dalam suatu paradigma yang sama.
Kompleksitas yang demikianlah yang mempersempit kemungkinan
terbentuknya sosiologi sastra yang dapat dikatakan general seperti cenderung
diinginkan oleh Swingewood di atas. Wolf (1975) mengatakan bahwa sosiologi
kesenian dan kesusastraan merupakan suatu disiplin yang tanpa bentuk, tidak
terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai
percobaan pada teori yang agak lebih general. Maka, ada sosiologi sastra yang
mungkin menyelidiki dasar sosial kepengarangan seperti yang dilakukan Laurenson,
ada sosiologi tentang produksi dan distribusi karya kesusastraan seperti yang
dilakukan Escarpit, kesusastraan dalam masyarakat primitif seperti yang dilakukan
oleh Radin dan Leach, hubungan antara nilai-nilai yang diekspresikan karya seni
dengan masyarakat seperti yang dilakukan oleh Albrecht, serta data historis yang
berhubungan dengan kesusastraan dan masyarakat seperti yang dilakukan oleh
Goldmann, Lowenthal, Watt, dan Webb.
Sapardi Djoko Damono (1978) mengemukakan beberapa pendapat mengenai
aneka ragam pendekatan terhadap karya sastra seperti yang dikemukakan Wolf di
atas. Dari Wellek dan Werren ia menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang
berbeda dengan sosiologi sastra, yaitu sosiologi yang pengarang memasalahkan
status sosial, ideology sosial dan lain-lain yang

Wolff, Janet, 1975. Hermeneutic Philosophy and the Sociology of Art. London and
Boston: Routledge and Kegan Paul.
menyangkut pengarang sebagai hasil karya sastra; sosiologi karya sastra yang
memasalahkan karya sastra itu sendiri; dan sosiologi sastra yang memasalahkan
pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
Dari Ian Watt, Sapardi juga menemukan tiga macam pendekatan yang
berbeda. Pertama konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi
sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Hal-
hal utama yang harus diteliti dalam pendekatan ini adalah: (a) bagaimana pengarang
mendapatkan mata pencahariannya; (b) sejauhmana pengarang menganggap
pekerjaannya sebagai suatu profesi; dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh
pengarang. Kedua sastra sebagai cermin masyarakat. Hal-hal utama yang mendapat
perhatian adalah: (a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu
karya sastra itu ditulis; (b) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi
gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya; (c) sejauh mana genre sastra
yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat. Ketiga
fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian: (a)
sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya; (b) sejauh
mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja; dan (c) sejauh mana terjadi
sintesis antara kemungkinan (a) dan (b) di atas. Di dalam sastra ada sebuah
hubungan yang sangat erat antara apresiasi, kajian dan kritik sastra karena ketiganya
merupakan tanggapan terhadap karya sastra.
Secara etimologi dapat dikatakan tidak mungkin untuk membangun suatu
sosiologi sastra general yang meliputi seluruh pendekatan yang dikemukakan itu.
Konsep mengenai masyarakat saja telah berbeda antara pendekatan yang satu
dengan pendekatan yang lain, belum lagi konsep mengenai sastra itu sendiri. Oleh
karena itu, sosiologi sastra dari pendekatan yang dianggap menonjol dan
mempunyai tradisi yang kuat, yaitu marxis.
Dibandingkan dengan teori-teori sosial yang lain, teori sosial marxis
memduduki posisi yang dominan dalam segala diskusi mengenai sosiologi sastra
(John Hall, 1979). Sekurangnya terdapat tiga faktor yang menyebabkan hal itu.
Pertama, Marx sendiri mulanya adalah seorang sastrawan sehingga teorinya tidak
hanya memberikan perhatian khusus pada kesusastraan, melainkan bahkan
dipengaruhi oleh pandangan dunia romantik dalam kesusastraan (Wessel, Jr, 1979).
Kedua, teori sosial Marx tidak hanya merupakan teori netral, melainkan
mengandung pula ideology yang pencapaianya terus-menerus diusahakan oleh para
penganutnya.
Ketiga, di dalam teori sosial Marx terbangun suatu totalitas kehidupan sosial secara
integral dan sistematik yang di dalamnya kesusastraan ditempatkan sebagai salah
satu lembaga sosial lainnya seperti ilmu pengetahuan, agama, politik, dan
sebagainya, sebab semua tergolong dalam satu kategori sosial, yaitu sebagai
aktivitas mental yang di pertentangkan dengan aktivitas material manusia. Menurut
Marx, manusia harus hidup lebih dahulu sebelum dapat berpikir. Bagaimana mereka
berpikir dan apa yang mereka pikirkan bertalian erat dengan bagaimana mereka
hidup karena apa yang diekspresikan manusia dan cara pengekspresiannya
tergantung pada apa dan bagaimana mereka hidup. Satu kesalahan untuk
menganggap kesadaran sebagai sesuatu yang selalu dimiliki manusia dengan
berbagai bunga-bunganya dan bahwa manusia secara intelektual mampu
menemukan kondisi-kondisi kehidupannya. Kesadaran, seperti manusia,
berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupannya. Pemikiran dan gagasan
berkembang bersama-sama dengan aktivitas dan kehidupan manusia. Aktivitas
intelektual manusia tampak terpisah dari aktivitas praktis manusia hanya bila
pembagian kerja sudah berkembang cukup jauh sehingga terbuka kemungkinan
baginya untuk hanya menjadi pemikir, sebab kebutuhan fisik-praktisnya diurus oleh
orang lain.
Marx percaya bahwa struktur sosial suatu masyarakat, juga struktur
lembaga-lembaganya, moralitasnya, agamanya, dan kesusastraannya, terutama
sekali ditentukan oleh kondisi-kondisi produktif kehidupan masyarakat itu. Dengan
demikian, ia membagi masyarakat menjadi infrastruktur atau dasar ekonomi dan
superstruktur yang dibangun di atasnya.
Dalam model Marx dasar ekonomik terdiri dari alat-alat, cara-cara, dan
hubungan-hubungan produksi. Alat-alat produksi dapat disamakan dengan bahan-
bahan yang tersedia bagi proses produksi, cara-cara produksi dengan teknik-teknik
yang ada, dan hubungan produksi dengan tipe pemilihan yang merata bersama-sama
dengan pembagian sosial antara pemilik alat-alat produksi dengan pekerja yang
muncul bersamaan dengannya dalam suatu masyarakat kelas.
Karena proses produktif itu bukan merupakan sesuatu yang statis, melainkan
dinamik, struktur-struktur hubungan sosial di atas pun dapat berkembang dan dan
berkonflik satu sama lain, menghasilkan ketegangan-ketegangan yang dapat
dipecahkan hanya dengan menggantikannya dengan ketegangan-ketegangan baru.
Bagi Marx, sejarah manusia merupakan hasil dari perkembangan yang semacam itu
masyarakat komunal primitif membuka jalan bagi masyarakt perbudakan yang pada
gilirannya berkembang menjadi feodalisme yang juga membuka jalan bagi
munculnya kapitalisme.
Saat pembaca sudah mampu mengapresiasi sastra, pembaca mempunyai
kesempatan untuk mengkaji sastra.namun, hal ini tak sekadar mengkaji. Karena
mengkaji telah menuntut adanya keilmiahan, yaitu adanya teori atau pengetahuan
yang dimiliki tentang sebuah karya. Saat Apresiasi merupakan tindakan mengkaji
karya sastra, maka mengkaji ialah tindakan menganalisis yang membutuhkan ilmu
atau teori yang melandasinya tentang penjelasan mengkaji seperti yang diungkapkan
oleh Aminudin (1995:39) kajian sastra adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur
dan hubungan antar unsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan,
teori, dan cara kerja tertentu.

Aminudin.2010.Pengantar Apresiasi Karya Sastra.Malang: Sinar Baru Algensindo.


Dengan adanya kajian drama inilah, peminat sastra melakukan analisis yaitu
membedah karya-karya yang dibacanya. Sehingga unsur-unsur yang menyusun
drama tersebut dapat diketahui. Juga rangkaian hikmah yang ada di dalamnya.
Kajian sastra memiliki berbagai pendekatan.pendekatan-pendekatan itu ialah
Objektif (struktural dan struktural semiotik), mimesis (sosiologi sastra), ekspresif
(hermeuneutik), pragmatik (resepsi sastra & intertekstual), posmodernisme
(dekonstruksi, poskolonial, studi kultural, dan feminisme).
Drama merupakan salah satu dari tiga macam genre sastra sebagai cabang kesenian
yang mandiri. Secara etimologi, kata “drama” berasal dari bahasa Yunani "draomai"
yang berarti “menirukan”, selanjutnya dalam pengertian umum diartikan “berbuat,
berlaku, bertindak, atau beraksi”. .
Drama juga diklasifikasikan menjadi drama dalam bentuk naskah dan drama yang
dipentaskan. Drama dalam bentuk naskah merupakan salah satu genre sastra yang
disejajarkan dengan puisi dan prosa. Sedangkan drama dalam bentuk pentas adalah
jenis kesenian mandiri yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian
seperti musik, tata lampu, seni lukis (dekor, panggung), seni kostum, seni rias, dan
sebagainya.
Naskah drama “Bila Malam Bertambah Malam ” yang menceritakan tentang
Gusti Biang seorang janda yang begitu membanggakan kebangsawanannya. Ia
hidup di rumah peninggalan suaminya. Gusti Biang adalah janda almarhum I Gusti
Rai seorang bangsawan yang dulu sangat dihormati karena dianggap pahlawan
kemerdekaan. Gusti Biang hanya tinggal bersama dengan Wayan, seorang lelaki tua
yang merupakan kawan seperjuangan I Gusti Ngurah Rai dan Nyoman Niti, seorang
gadis desa yang selama kurang lebih 18 tahun tinggal di purinya. Sementara putra
semata wayangnya Ratu Ngurah telah lima tahun meninggalkannya karena sedang
menuntut ilmu di pulau Jawa. Namun, Nyoman juga sebagai tokoh utama yang
mana selalu muncul pula dalam setiap pembicaraan sekaligus sebagai lawan
jalannya sebuah konflik antar kedua tokoh tersebut, Gusti Biang yang selalu
membanggakan kebangsawanan dan kesombongannya mampu mempertahankan
kesabaran Nyoman selama beberapa tahun, hingga akhirnya Nyoman tak kuasa dan
pergi akibat kesombongan dan injakan-injakan dari sang majikan. Selain kedua
tokoh tersebut, ada pula tokoh tritagonis yang terlibat peran untuk mendamaikan
antar kedua tokoh antagonis dan protagonis melalui sebuah tutur kata dan
perbuatannya yang selalu mendinginkan sebuah persoalan. Putu Wijaya telah
berhasil menyusun alur drama dengan sangat rapi, sehingga para pembaca sangat
mudah untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi pada drama “Bila
Malam Bertambah Malam”. Hal ini lah yang membuat penulis untuk mencoba
mengkaji naskah drama berjudul “Bila Malam Bertambah Malam” dengan
pendekatan sosiologis.

1.2 Masalah
1.2.1 Rentagan Masalah
Masalah yang berkaitan dengan penelitian menggunakan pendekatan sosiologis ini
cukup luas. Dari keluasan masalah ini hal-hal utama yang harus diteliti dalam
pendekatan ini adalah: (a) bagaimana mendapatkan mata pencahariannya; (b) sejauh
mana menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi; dan (c) masyarakat apa yang
dituju. Kedua sastra sebagai cermin masyarakat. Hal-hal utama yang mendapat
perhatian adalah: (a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu
karya sastra itu ditulis; (b) sejauh mana sifat pribadi mempengaruhi gambaran
masyarakat yang ingin disampaikannya; (c) sejauh mana genre sastra yang
digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat. Ketiga fungsi
sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian: (a) sejauh
mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya; (b) sejauh mana
sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja; dan (c) sejauh mana terjadi sintesis
antara kemungkinan (a) dan (b) di atas.
Dengan adanya kajian drama inilah, peminat sastra melakukan analisis yaitu
membedah karya-karya yang dibacanya. Sehingga unsur-unsur yang menyusun
drama tersebut dapat diketahui. Juga rangkaian hikmah yang ada di dalamnya.
Kajian sastra memiliki berbagai pendekatan. Pendekatan-pendekatan itu ialah
Objektif (struktural dan struktural semiotik), mimesis (sosiologi sastra), ekspresif
(hermeuneutik), pragmatik (resepsi sastra & intertekstual), posmodernisme
(dekonstruksi, poskolonial, studi kultural, dan feminisme).
1.2.2 Pembatasan Masalah
Melihat keluasan masalah sebagai mana diuraikan pada rentangan masalah,
maka penelitian yang berjudul “Naskah Drama Bila Malam Bertambah Malam
karya Putu Wijaya (Kajian Dengan Pendekatan Sosiologis)” ini perlu dibatasi.
Penelitian ini dibatasi pada masalah aspek-aspek psikologis dapat dimanfaatkan
baik terhadap aspek intrinsik maupun ekstrinsik seperti dalam analisis Tema, Alur
atau plot, penokohan atau perwatakan, latar atau setting, konflik, amanat, Gaya
bahasa.

1.2.3 Rumusan Masalah


Perumusan masalah dalam analisis stuktur naskah drama “Bila Malam
Bertambah Malam” hanya dititikberatkan pada analisis stuktur dan unsur-unsur
intrinsik saja. Ada pun unsur-unsur itu meliputi:
1. Tema
2. Alur atau plot
3. Latar atau seting (latar tempat, latar waktu)
4. Penokohan atau perwatakan
5. Gaya Bahasa
6. Amanat

Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka masalah dalam penelitian


ini dapat dirumuskan dalam bentuk pernyataan sebagai berikut :
(1) Bagaimana Tema pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu
Wijaya ?
(2) Bagaimana Alur atau plot pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya
Putu Wijaya ?
(3) Bagaimana Latar atau seting pada drama Bila Malam Bertambah Malam
karya Putu Wijaya ?
(4) Bagaimana Penokohan atau perwatakan pada drama Bila Malam Bertambah
Malam karya Putu Wijaya ?
(5) Bagaimana Gaya Bahasa pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya
Putu Wijaya ?
(6) Bagaimana Amanat pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya
Putu Wijaya ?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu (1) tujuan umum, dan (2) tujuan
khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis stuktur naskah
drama “Bila Malam Bertambah Malam ” dengan pendekatan sosiologis adalah
untuk dapat menganalisis stuktur dan unsur-unsur intrinsik dari naskah drama
tersebut.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran objektif
dari drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya :
(1) Kemampuan mengkaji Tema pada drama “Bila Malam
Bertambah Malam” karya Putu Wijaya
(2) Kemampuan mengkaji Alur atau Plot pada drama “Bila Malam
Bertambah Malam” karya Putu Wijaya
(3) Kemampuan mengkaji Latar atau Seting pada drama “Bila Malam
Bertambah Malam” karya Putu Wijaya
(4) Kemampuan mengkaji Penokohan atau Perwatakan pada drama “Bila
Malam Bertambah Malam” karya Putu Wijaya
(5) Kemampuan mengkaji Gaya bahasa pada drama “Bila Malam
Bertambah Malam” karya Putu Wijaya
(6) Kemampuan mengkaji Amanat pada drama “Bila Malam Bertambah
Malam” karya Putu Wijaya

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat yang secara umum dapat
di klasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1.4.1 Manfaat Teoritis
a. Memberikan penjelasan tentang analisis drama “Bila Malam Bertambah
Malam” dengan pendekatan sosiologis.
b. Dapat di jadikan referensi untuk melakukan penelitian yang serupa bagi
mahasiswa yang akan melakukan penelitian.
c. Kita dapat mengetahui dan menganalisis stuktur naskah drama “Bila Malam
Bertambah Malam” ataupun yang lain dengan pendekatan Sosiologis.

1.4.2 Manfaat Praktis


a. Bagi peneliti
Memperkaya pemahaman mengenai pendekatan sosiologis itu sendiri.
b. Bagi pembaca
Menjadi lebih mengerti dan dapat memahami sastra.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Kajian (sastra) adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan


antarunsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan, teori, dan cara kerja
tertentu (Aminuddin, 1995:39).
Drama adalah ragam satra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan untuk
dipertujukkan di atas pentas (Zaidan, 2000).
Talha Bachmid (1990:1-16), seorang doktor dalam bidang kajian
drama, mengutip pendapat Patrice Pavis bahwa drama memiliki konvensi dan
kaidah umum, yang dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar.
Yang pertama berhubungan dengan kaidah bentuk, seperti unsur alur dan
pengaluran, tokoh dan penokohan, latar ruang dan waktu, dan perlengkapan.
Yang kedua berkaitan dengan konvensi stilistika atau bahasa dramatik.

2.1 Kajian Struktur Teks Drama


2.1.1 Alur dan Pengaluran
Algirdas Julien Greimas (A.J. Greimas) adalah penganut aliran strukturalis
dari Prancis.Ia mengembangkan teori Propp menjadi dasar sebuah analisis naratif
yang universal (Teeuw, 1988: 293). Sebelumnya, Propp telah memperkenalkan
unsur naratif terkecil yang sifatnya tetap dalam sebuah karya sastra sebagai fungsi
(Todorov, 1985: 48). Berdasarkan penelitiannya tentang dongeng Rusia, Propp
membatasi fungsi cerita sebanyak 31 fungsi. Semua fungsi tersebut sifatnya tetap
serta urutannya sama dalam setiap dongeng (Hutomo, 1991: 25). Berdasarkan teori
Propp inilah Greimas mengemukakan teori aktan. Menurut Greimas (dalam
Jabrohim, 1996: 13) aktan adalah sesuatu yang abstrak, seperti cinta, kebebasan,
atau sekelompok tokoh. Menurutnya juga, aktan adalah satuan naratif terkecil.
Dikaitkan dengan satuan sintaksis naratif.

Aminudin.2010.Pengantar Apresiasi Karya Sastra.Malang: Sinar Baru Algensindo.


Fungsi adalah satuan dasar cerita yang menerangkan tindakan logis dan bermakna
yang membentuk narasi. Dengan kata lain, skema aktan tetap mementingkan alur
sebagai energi terpenting yang menggerakkan cerita sehingga menjadi penceritaan,
dengan episode terpenting yang terdiri atas permulaan, komplikasi dan penyelesaian
(Ratna, 2004: 139). Kemudian Greimas mengelompokkan aktan ke dalam tiga
perangkat oposisi biner. Tiga pasangan oposisional fungsi aktan tersebut disusun
dalam skema berikut.

- Subjek vs objek (Subject vs object)


- Pengirim vs penerima (Sender vs receiver)
- Pembantu vs penentang (helper vs opposant)

Berikut ini adalah bagan skema aktan A.j. Greimas

PENGIRIM  OBJEK  PENERIMA


PENOLONG/  SUBJEK  PENENTANG/
PEMBANTU PENGHAMBAT

Adapun fungsi atau kedudukan masing-masing aktan adalah sebagai berikut.


a. Pengirim (sender) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide
dan penggerak cerita. Pengirim memberikan karsa kepada subjek
untuk mencapai objek.
b. Objek adalah sesuatu yang dituju atau diinginkan oleh subjek.
c. Subjek adalah sesuatu atau seseorang yang ditugasi pengirim untuk
mendapatkan objek.
d. Pembantu (helper) adalah sesuatau atau seseorang yang membantu atau
mempermudah usaha subjek untuk mendapatkan objek.
e. Penerima (receiver) adalah sesuatu atau seseorang yang menerima objek
yang diusahakan oleh subjek.
f. Penentang (opposant) adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi
usaha subjek dalam mencapai objek.
Selain menunjukkan bagan aktan, Greimas juga mengemukakan model.
Model itu dibangun oleh berbagai tindakan yang disebut fungsi. Model yang
kemudian disebut model fungsional itu memiliki cara kerja yang tetap karena
memang sebuah cerita selalu bergerak dari situasi awal ke situasi akhir. Berikut
adalah bagan model fungsional A.J. Greimas.

TRANSFORMASI
SITUASI Tahap Uji Tahap SITUASI
AWAL Kecakapan Tahap Utama Keberhasilan AKHIR

- Dalam situasi awal, cerita diawali dengan munculnya pernyataan adanya keinginan
untuk mendapatkan sesuatu. Di sini ada panggilan, perintah, atau persetujuan.
- Dalam transformasi terdapat tiga tahap, yaitu:
a. Tahap kecakapan (adanya keberangkatan subjek, munculnya penentang dan
penolong, dan jika pahlawan tidak mampu mengatasi tantangan akan di
diskualifikasi sebagai pahlawan),
b. Tahap utama (adanya pergeseran ruang dan waktu, dalam arti pahlawan telah
mengatasi tantangan dan melakukan perjalanan kembali).
c. Tahap kegemilangan atau keberhasilan (kedatangan pahlawan, eksisnya
pahlawan asli, terbongkarnya tabir pahlawan palsu, hukuman bagi pahlawan
palsu, dan jasi bagi pahlawan sejati).

- Dalam situasi akhir objek telah diperoleh dan diterima oleh penerima
keseimbangan telah terjadi, berakhirnya suatu keinginan terhadap sesuatu, dan
berakhirlah sudah cerita.
Dua skema aktan dan model fungsional yang diajukan oleh Greimas
memiliki hubungan kausalitas: hubungan antaraktan ditentukan oleh fungsi-fungsi
dalam membangun struktur cerita.
2.1.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981:20), adalah orang-orang
yang ditampilkan dalam suatukarya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang di
ekpresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tidakan.
Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam cerita.
Tokoh pada umumnya berwujud manusia, meskipun dapat juga berwujud binatang,
atau benda yang diinsankan. Tetapi harus disadari pula bahwa tokoh di dalam cerita
rekaan tidak sama persis dengan manusia pada dunia nyata. Tokoh cerita rekaan
tidak sepenuhnya bebas. Ia merupakan bagian dari suatu keutuhan artistik, yaitu
karya sastra.
Pembagian tokoh berdasarkan fungsinya, yaitu:
2.1.2..1 Tokoh Sentral
Tokoh sentral ini dibagi menjadi 3, yaitu:
(1) Tokoh Utama/Protagonis
Tokoh utama/protagonis yaitu tokoh yang memegang peran pimpinan.
Ia menjadi pusat sorotan dalam cerita. Kriteria penentuan tokoh utama:
a. Intensitas keterlibatan tokoh itu dalam peristiwa-peristiwa yang membangun
cerita.
b. Hubungan antar tokoh
(2) Tokoh Antagonis (tokoh penentang protagonis)
(3) Tokoh Wirawan/Wirawati dan Antiwirawan

2.1.2.2 Tokoh Bawahan


Tokoh bawahan yaitu tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam
cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung
tokoh utama. Yang termasuk tokoh bawahan misalnya:
(1) Tokoh Andalan
Tokoh andalan yaitu tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan protagonis yang
dimanfaatkan untuk memberi gambaran lebih terinci mengenai tokoh utama.

(2) Tokoh Tambahan


Tokoh tambahan yaitu tokoh yang tidak memegang peranan yang penting dakam
cerita, misalnya tokoh lantaran

Pembagian tokoh berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita, yaitu:


a) Tokoh Dasar/Sederhana/Pipih
Tokoh dasar/sederhana/pipih adalah tokoh yang hanya diungkap salah satu segi
wataknya saja. Watak tokoh datar sedikit sekali berubah termasuk di dalam tokoh
datar adalah tokoh stereotif.
b) Tokoh Bulat/Kompleks/Bundar
Tokoh bulat/kompleks/bundar adalah tokoh yang wataknya kompleks, terlihat
kekuatan dan kelemahannya. Ia mempunyai watak yang dapat dibedakan dengan
tokoh-tokoh yang lain. Tokoh ini dapat mengejutkan pembaca karena kadang-
kadang darinya dapat terungkap watak yang tak terduga sebelumnya.

2.1.3 Latar
Menurut Corvin (dalam Bachmid, 1990:30-32) ruang dalam teks drama
dapat dibedakan ke dalam ruang yang terlihat (yang teraktualisasikan) dan ruang
yang tidak terlihat (yang mungkin diaktualisasikan), ruang yang bersifat fungsional,
dan ruang yang bernilai metaforis. Ruang yang terlihat adalah ruang tempat para
tokoh berlaku dan tempat cerita berlangsug. Sementara itu, ruang yang tidak terlihat
dapat dikelompokkanlagi ke dalam (1) ruang tak terlihat di balik panggung (yang
berfungsi memberi kesan nyata pada lakuan terdapat pada kramagung), (2) ruang
dekat (ruang yang kemudian akan di aktualisasikan oleh tokoh petunjuk: tokoh
menyebut tempat yang akan di kunjungi), dan (3) ruang jauh (mengacu pada masa
lampau atau pada dunia yang tidak nyata, misalnya dunia mimpi. Ruang yang
bersifat fungsional tampak apabila menjadi latar cerita atau penunjang laku seorang
tokoh. Terakhir, ruang yang bernilai metaforis akan muncul apabila pada teks drama
atau pementasannya mengingatkan pembaca atau penonton untuk mengingat ruang
lain di luar cerita sehingga dapat memunculkan interpretasi psikologis, metafisis,
atau politik.

2.1.4 Perlengkapan
Perlengkapan berkaitan dengan jenis-jenis benda dalam teks drama atau teater.
Perlengkapan juga tunduk pada konvensi seperti unsur yang telah kita sebutkan.
Perlengkapan merupakan unsur khas drama atau teater, yang dapat berupa
objek atau benda-banda yang diperlukan sebagai pelengkap cerita, seperti
perlengkapan tokoh, kostum, dan perlengkapan panggung. Perlengkapan (dalam
kramagung dan wawancang) selalu sesuai dengan keperluan cerita. Menurut
Ubersfeld (dalam Bachmid, 1990:32) membedakan benda-benda teaterberdasarkan
fungsinya, yaitu (1) sekedar melengkapi lakuan (pistol, pedang, dsb.), (2) bersifat
referensial (misalnya, ruang tamu yang menunjukkan status sosial pemiliknya),dan
(3) bersifat metaforis atau retoris (melambangkan realitas tertentu, psikolosis, atau
sosiokultural).

2.1.5 Bahasa
Bahasa dalam drama konvensional juga tunduk pada konvensi stilistika. Misalnya,
para tokoh melakukan dialog dengan menggunakan ragam bahasa yang sesuai
dengan lingkungan sosial mereka serta watak mereka. Selain itu, seorang tokoh
berkomunikasi dengan tokoh lainnya untuk menyampaikan suatu amananat.
Kemudian, diantara mereka diharapkan terjadi dialog yang bermakna sehingga
menyebabkan cerita berkembang.

2.2 Pengertian Drama


Penulisan drama pada zaman Jepang ini boleh dikatakan sangat subur. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kegiatan rombongan-rombongan sandiwara yang
berkumpul dalam Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa yang dipimpin oleh
Armijn Pane. Beberapa nama pengarang yang banyak membuat sandiwara pada
zaman Jepang ialah Armijn Pane, Usmar Ismail, Abu Hanifah, Idrus, Inu Kertapati,
Kotot Sukardi dan lain-lain. Armijn Pane yang pada masa sebelum menulis’Lukisan
Masa’,’Barang tiada berharga,’dan lain-lain pada masa Jepang ini menulis beberapa
sandiwara lagi. Semua sandiwaranya yang ditulis itu kemudian dibukukan dengan
judul Jinak-jinak Merpati (1953).
Usmar Ismail yang namanya sudah kita sebut dalam hubungan penulisan sajak dan
cerpen, pasa zaman Jepang ini menyadur ‘Chici Kaeru’ karangan Kikuchi Kwan,
seorang pengarang Jepang menjadi ‘Ayahku Pulang’.Tiga buah drama lagi yang
ditulis Usmar pada zaman Jepang ialah ‘Api’, ‘Liburan Seniman’, dan ‘Citra’.
Ketiganya kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Sedih dan Gembira (1949).
Abang Usmar Ismail yang bernama Abu Hanifah kalau menulis
mempergunakan nama samaran El-Hakim, lahir 1906 di Padang-panjang. Pada
zaman ini ia menulisbeberapa buah drama yang kemudian dibukukan menjadi
Taufan diatas Asia (1949). Ada empat buah drama yang dimuat dalam buku ini,
yaitu Taufan diatas Asia, dalam empat bagian, ‘Intelek Istimewa’ dalam tiga bagian,
‘Dewi Reni’ dalam tiga babak dan ‘Isnan Kamil’ dalam tiga babak. Idrus pada
zaman Jepang menulis beberapa buah drama, di antaranya “Kejahatan Membalas
Dendam” yang kemudian dimuat dalam bukunya Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke
Roma (1948), ‘Jibaku Aceh’ (1945), Keluarga Surono (1948), dan Dokter Bisma
(1945). Kotot Sukardi menulis sandiwara ‘Bende Mataram’ yang berlatar belakang
masa perang Diponegoro (1825-1830). Sandiwara ini kemudian diterbitkan oleh
Balai Pustaka bersama-sama dengan sebuah sandiwara pula karangan Inu Kertapati
berjudul ‘Sumping Sareng Pati’ dengan judul Bende Mataram (1945). Juga
sandiwara karangan Inu Kertapati mengambil latar belakang peristiwa sejarah yang
lampau; tempat kejadiannya di Bali pada akhir abad yang lalu ketika Belanda
hendak menyerbu ke sana.
Kegiatan di dalam pementasan drama kian meningkat juga. Hal itu menyebabkan
dibutuhkannya repertoar drama sebanyak-banyaknya. Semula kebutuhan itu
dicukupi dengan penerjemahan atau saduran-saduran dari drama-drama asing.
Tetapi kemudian kegiatan itu merangsang penulisan drama-drama asli.
Moh.Diponegoro (Lahir di Yogyakarta pada tanggal 28 Juni 1928) yang
menjadi ketua grup drama Teater Muslim di Yogyakarta banyak menulis laakon-
lakon yang diambilnya dari sejarah dan cerita-cerita Islam. Antara lain ia menulis
Iblis, dan Surat kepada Gubernur. Lakon-lakon itu berpuluh-puluh kali
dipanggungkan oleh Teater Muslim, baik di Yogyakarta maupun di kota-kota lain.
Yang banyak pula menulis naskah drama yang berdasarkan kisah-kisah Islam ialah
M. Yunan Helmy Nasution. Dia memimpin Himpunan Seniman Budayawan Islam
(HSBI) dan telah menulis dan mementaskan drama-drama Iman dan lain-lain.
Saini K.M. yang namanya sudah disebut sebagai penyair, juga menulis drama
untuk pementasan Akademi Teater dan Filem serta Teater Perintis Bandung. Ia
banyak mengambil kisah-kisah lama yang dikerjakan menjadi drama-sajak, antara
lain Prabu Geusan Ulun yang telah berkali-kali dipentaskan. B.Soelarto yang sudah
dikenal dengan dramanya Domba-Domba Revolusi kadang-kadang juga
mengumumkan dramanya yang baru dalam majalah-majalah di Jakarta.
Yang pernah berhasil memuatkan beberapa dari drama-drama yang ditulisnya ialah
Arifin C.Noer, yang juga aktif dalam lapangan teater. Ketika di Yogyakarta ia aktif
dalam Teater Muslim dan grup-grup drama lain. Kemudian ketika ia pindah ke
Jakarta, tahun 1968, ia membentuk Teater Kecil. Ia aktif sebagai sutradara dan
pemain.
Arifin dilahirkan di Cirebon pada tahun 1941 dan sejak di SMP Cirebon sudah
tertarik pada kesenian. Selagi ia menjadi mahasiswa Fakultas Sosial Politik, Jurusan
Administrasi Negara Universitas Tjokroaminoto di Solo, kian besarlah minatnya
pada kesenian. Ia menulis sajak dan drama. Kemudian juga esai dan kritik.Ia telah
selesai menulis berbelas buah drama, diantaranya yang berbentuk monolog telah
diumumkan dalam majalah-majalah dan surat kabar Jakarta antara lain yang
berjudul Kaisar Kita, Prita Isteri Kita dan lain-lain.

Beberapa pengertian Drama menurut para ahli :


a. Menurut Kintoko, drama adalah proses pemeranan diri kita menjadi
seseorang yang harus diperankan di dalam pementasan.
Drama adalah kehidupan sehari-hari yang dipentaskan dengan sistematis
dan menarik.
b. Menurut Wiyanto, drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak.
Konflik dari sifat manusia merupakan sumber pokok drama.
c. Menurut Budianta, drama adalah sebuah genre sastra yang
memperlihatkan secara verbal adanya dialog atau cakapan di antara
tokoh-tokoh yang ada.
Drama merupakan salah satu karya sastra dalam bentuk adegan atau
pertunjukan. Biasanya drama menampilkan sesuatu atau hal tentang kehidupan
sehari – hari. Penulis naskah atau sutradara, ingin menyampaikan pesan atau
keingininannya melalui pementasan drama. Seolah – olah penulis mencurahkan isi
hatinya dan mengajak para peminat sastra bahkan penonton untuk menikmati dan
merasakan kejadian – kejadian dalam kehidupan sekitar.
Drama ada yang sifatnya mengkritik , lelucon atau komedi , percintaan, tragedi,
pantonim dan lain sebagainya . Kejadian – kejadian dalam cerita biasanya
dipaparkan dalam bentuk dialog atau secara lisan. Kehidupan dan watak pelaku
digambarkan melalui acting yang dipentaskan dalam adegan drama tersebut.
Umumnya drama terbagi menjadi beberapa adegan yang berkaitan.

2.3 Jenis Drama


Drama dapat dibedakan menjadi delapan jenis, yaitu:
1. Tragedi : Drama yang penuh dengan kesedihan
2. Komedi : Drama penggeli hati yang penuh dengan kelucuan. 3.
Tragekomedi : perpaduan antara drama tragedi dan komedi.
4. Opera : Drama yang dialognya dinyanyikan dengan diiringi musik.
5. Melodrama : Drama yang dialognya diucapkan dengan
diiringi melodi/musik.
6. Farce : Drama yang menyerupai dagelan, tetapi tidak
sepenuhnya dagelan.
7. Tablo : jenis drama yang mengutamakan gerak, para pemainnya
tidak mengucapkan dialog, tetapi hanya melakukan
gerakan-gerakan.
8. Sendratari : gabungan antara seni drama dan seni tari.
Berdasarkan sarana pementasannya, pembagian jenis drama dibagi antara
lain:
1. Drama Panggung: drama yang dimainkan oleh para aktor dipanggung.
2. Drama Radio : Drama radio tidak bisa dilihat dan diraba, tetapi hanya
bisa didengarkan oleh penikmat.
3. Drama Televisi : Hampir sama dengan drama panggung, hanya bedanya
drama televisi tak dapat diraba.
4. Drama Film : Drama film menggunakan layar lebar dan
biasanya di pertunjukkan di bioskop.
5. Drama Wayang : Drama yang diiringi pegelaran wayang.
6. Drama Boneka : Para tokoh drama digambarkan dengan boneka
yang dimainkan oleh beberapa orang.
Jenis drama selanjutnya adalah, berdasarkan ada atau tidaknya naskah
drama. Pembagian jenis drama berdasarkan ini, antara lain:
1. Drama Tradisional : tontonan drama yang tidak Menggunakan naskah.
2. Drama Modern : tontonan drama menggunakan naskah.
2.4 Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada
semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.
Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan
kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini
mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya
sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek
dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan
gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat
konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan
didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana
baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi,
evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar
terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan
antar masyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi
dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran
dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra
adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek
dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan
kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya.
Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra
tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat
karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena
sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan
hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman
hidup yang telah dihayatinya. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah
berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan
kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan
yang melatar belakanginya.

Menurut Beberapa Studi :


Studi sosiologis tentang sastra Indonesia telah cukup banyak dilakukan. Tokoh-
tokohnya antara lain adalah Subagio Sastrowardoyo, A.H. Johns, Umar Kayam,
Umar Junus, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Jakob Sumardjo,
C.W.Watson, Nidhi Aeusrivongse, Keith Foulcher, dan Ariel Heryanto.
1. Studi C.W.Watson
Tesis Watson (1972) sebagaimana dikemukakan, secara eksplisit
mengemukakan bahwa yang menjadi dasar teorinya adalah strukturalisme-genetik
Lucien Goldman yang merupakan pengembangan dari teori George Lukacs. Akan
tetapi, dalam praktik dan hasil penelitiannya Watson ternyata tidak sepenuhnya
setia dengan kerangka teori yang digunakannya. Secara sadar atau tidak sadar ia
melakukan beberapa penyimpangan darinya. Penyimpangan yang sadar
dilakukannya sehubungan dengan genesis novel-novel Indonesia yang
bersangkutan yang menurutnya tidak dapat dijelaskan atas dasar faktor-faktor
sosial dan kultural sebagaimana yang dikemukakan Goldmann, melainkan hanya
dapat dijelaskan atas dasar faktor-faktor teknologis yang berupa pemanfaatan pers
cetak di Indonesia.

2. Studi Ariel Heryanto


Ariel (1988) melakukan studi mengenai kesusastraan Indonesia mutakhir
atas dasar teori hegemoni Gramscian, terutama dengan model yang digunakan oleh
Williams.Sebagai studi mengenai praktik hegemoni dalam kesusastraan, studi itu
tentu saja memandang kesusastraan sebagai praktif atau aktivitas politik. Aktivasi
politik itu, sesuai dengan teori hegemoni pula, meliputu dua level yang sama
pentingnya, yaitu level politik kesusastraan itu sendiri dan level politik general
yang meliputi struktur sosial pada tingkat makro. Itulah sebabnya, Ariel membagi
tulisannya menjadi tiga bagian, yaitu bagian deskripsi mengenai kenyataan
hegemoni yang terjadi dalam sastra Indonesia mutakhir, bagian politik kesusastraan
yang disebutnya sebagai politik bersastra, dan bagian hubungan kesusastraan
dengan politik general yang disebutnya sebagai sastra berpolitik.

a. Hegemoni dalam Sastra Indonesia Mutakhir


Sastra Indonesia, menurut Ariel, dihegemoni oleh bentuk kesusastraan
tertentu.Bentuk kesusastraan itu menduduki posisi yang hegemonic terlihat dari
dominasinya dalam berbagai sector kehidupan yang bersangkutan dengannya.

b. Politik Bersastra
Politik, oleh Ariel, didefinisikan sebagai seluk-beluk pembagian dan
penyelenggaraan kekuasaan dalam suatu struktur kegiatan sosial. Dalam hal politik
kesusastraan ia menganggap penting pemberian perhatian terhadap kaitan dan
pertentangan antara berbagai kepentingan lembaga, kelompok, maupun individu,
yang terlibat langsung dalam proses produksi, reproduksi, distribusi, dan konsumsi
sastra.
Menurut Ariel, secara struktur politik kesusastraan Indonesia mutakhir
mengidap pertentangan di antara kepentingan yang diresmikan, sebagai
kesusastraan yang dominan, berhadapan dengan berbagai kesusastraan lain yang
didominasi atau bersaing dengannya.
2.4.1 Sosiologi sebagai cara pandang
Langkah pertama yang mutlak diperlukan untuk memahami pengertian
sosiologi adalah melihat posisi dasarnya sebagai sebuah ilmu, sebagai sebuah cara
pemahaman ilmiah. Didalam buku sejarah sosiologi selalu dikatakan bahwa ilmu
tersebut ditemukan dan dibangun untuk pertama kalinya oleh Auguste Comte pada
pertengahan abad XIX (Lihat antara lain Duverger, 1981).
Comte mencoba menerapkan cara kerja dalam ilmu alam untuk memahami
masyarakat. karena itu, pada mulanya ia menyebut sosiologi sebagai fisika sosial.
Bila ilmu-ilmu alam mempelajari sesuatu yang berada diluar diri manusia,
yaitu alam, sosiologi menjadikan manusia itu sendiri. Namun, manusia yang
dipelajari oleh sosiologi bukanlah manusia sebagai makhluk biologisyang dibangun
dan diprises oleh kekuatan-kekuatan dan mekanisme-mekanismfisik-kimiawi, bukan
manusia sebagai individu yang sepenuhnya mandiri, melainkanmanusia sebagai
individu yang terkait individu lain, manusia yang hidup dalam lingkungan dan
berada diantara manusia-manusia lain, manusia sebagai sebuah kolektivitas, baik
yang disebut dengan komunitas maupun sosietas. Karena itu kehidupan manusia
yang dipelajari oleh sosiologi dapat menjadi amat luas, kompleks, berlapis-lapis:
dari segala denyut kehidupan sosial manusia yang tampak secara langsung sampai
dengan susunan atau pertalian-pertalian sosial yanglebih luas, umum, dan abstrak.
Dengan keluasan dan kompleksitas objek yang demikiantidaklah mengherankan jika
sejak masa awal kelahiran dan perkembangannya, seperti yang terpapar pada
beberapa teori klasiknya (Johnson, 1986), sosiologi sudah memperlihatkan tiga
kecenderungan yang berbeda, tiga orientasi yang berbeda dalam mendekati manusia
sebagai makhluk sosial di atas. Ketiga kecenderungan tersebut kemudian
membentuk semacam mazhab atau apa yang kemudian disebut oleh George Ritzer
(1975) sebagai paradigma.
Ada paradigma fakta sosial sebagaimana yang dipelopori dan sekaligus diwakili
oleh Emile Durkheim, paradigma definisi sosial sebagaimana yang diwakili dan
sekaligus dipelopori oleh Max Weber, dan paradigma perilaku sosial sebagaimana
yang dipelopori dan diwakili oleh B.F.Skinner.
Durkheim mencoba melepaskan sosiologi sebagai aktivitas ilmiah dari filsafat yang
menurutnya masih membelenggu Comte dan juga Spencer.Bila kedua pendahulunya
itu dipandang memahami masyarakat yang menjadi objek sosiologi sebagai hasil
refleksi dari pemikiran mereka sendiri, Durkheim menempatkan masyarakatsebagai
“benda lain” yang ada di luar pemikir atau sosiolognya, suatu fakta sosial. Weber
beranggapan, studi mengenai instusi-institusi sosial tidak dapat hanya dilakukan dari
luar, dilepaskan dari aneka tindakan sosial yang dilakukanoleh subjek, dari subjek-
subjek yang bertindak dan memberi makna terhadap institusi-institusi sosial itu.
Dengan demikian, yang segera menjadi penting dalam teori Weber ini adalah usaha
memahami motif-motif dan tindakan. Motif-motif tindakan itu dapatdiketahui
dengan metode “pemahaman interpretatif”, antara lain dalam bentuk empatiyaitu
usaha peneliti menghayati pengalaman subjek-subjek yang diteliti.
Ada tindakan yang motifnya mudah dipahami, misalnya tindakan yang irasional,
yang terarah pada usaha mencapai tujuan dengan cara seefisian mungkin, dan ada
pula tindakan yang lebih sulit dipahami, yaitu tindakan irasional.
Dari sosiologi tindakan diatas, Weber, menurut Ritzer bergerak ke level yang lebih
makro, yaitu hubungan-hubungan sosial yang didefinisikan sebagai “perilaku suatu
pluralitas aktor-aktor sejauh, dalam tindakan bermaknanya, dan dalam hal ini
tindakan masing-masing aktor-aktor lain dan diorientasikan dalam kerangka
tindakan aktor-aktor lain itu”.
Skinner cenderung menganggap kedua paradigma yang terdahulu itu, terutama
paradigma yang kedua, sebagai usaha-usaha pemahaman yang mistis. Menurut
Ritzer, sosiologi perilaku sosial sebagaimana yang dipelopori oleh Skinner di atas,
memahami masyarakat sebagai hubungan-hubungan interaksional yang dibingkai
oleh mekanisme stimulant dan respons. Kata kuncinya adalah reinforcement,
rangsangan-rangsangan yang mengkondisikan perilaku.Rangsangan-rangsangan itu
sendiri diukur dari efeknya terhadap perilaku bukanlah rangsangan. Sebagai
konsekuensi dari pendekatan yang demikian, paradigma ketiga ini cenderung
memberikan perhatian kepada lingkungan sosial yang mikro, yang dapat
ditangkapsecara relatif langsung.
Menurut Johnson (1986), ketiga kecenderungan tersebut memang
dimungkinkan oleh kompleksitas masyarakat yang menjadi objek sosiologi itu
sendiri. Ada empat tingkat kenyataan sosial yang dikemukakan Johnson, yaitu
tingkat individual, tingkat antarpribadi, tingkat struktur sosial, dan tingkat budaya.
Pada tingkat pertama, kenyataan sosial ditempatkan pada diri individu, baik dalam
bentuk perilakunya maupun pikiran subjektifnya. Pada tingkat kedua kenyataan
tersebut ditempatkan pada interaksi yang nyata yang terjadi antara individu yang
satu dengan individu yang lain. Pola-pola tindakan dan jaringan-jaringan interaksi
yang meluas, yang tidak hanya meliputi hubungan antar individu secara langsung,
termasuk kenyataan sosial yang ada dalam tingkatan ketiga. Tingkat keempat
meliputi arti, nilai, symbol, norma, yang dimiliki bersama oleh suatu kolektivitas,
dan juga benda-benda yang dihasilkan oleh kolektivitas itu.

2.4.1.1 Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Menganalisis Karya Sastra


Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang
terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen).
Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra
yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara
karya sastra dengan masyarakat, antara lain.
1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatan.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan
aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan
masyarakat yang melatarbelakangi.

4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik)


5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara
sastra dengan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas
dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang
dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih
mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84,
1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.

a). Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah


yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial
status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan
pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia
dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama,
tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam
hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang
akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek
dan Warren,1990:112)
b). Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi
pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang
menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari
sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial (Wellek dan Warren,
1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton
(penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai
kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra
adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.

c). Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra,
pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru
kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-
tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari
sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti
yaitu:
1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2. Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.
3. Audien atau pembaca (1981: 178).
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi
pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah
manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam
menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003:
79). Sementara, Faruk (1994: 1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai
studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai
lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha
menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana
cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.
Menurut Ratna (2003: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan
mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus
diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh
penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang
terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi
masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang
lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat
jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,
masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat
meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti
menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.
Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang.
Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan
sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis
penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra
karena sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara
permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih
mudah diperoleh. Di samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra
biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat.

2.4.1.2 Teori-Teori tentang Masyarakat


Seperti yang terlihat pada judul dua buah bukunya Teori Sosiologi Klasik dan
modern, Johnson membagi teori sosiologi mengenai masyarakat menjadi dua
macam, yaitu teori klasik dan teori modern. Tokoh-tokoh teori klasik antara lain
adalah Auguste Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, dan George
Smile; sedangkan tokoh-tokoh teori modern adalah George Herbert Mead, George
Homans, Talcott Persons, dan banyak lagi yang lainnya. Buku ini tidak ingin terlalu
jauh masuk ke dalam sosiologi umum, karena buku ini sekedar pengantar menuju
pembicaraan mengenai persoalan yang lebih terbatas, yaitu aspek-aspek sosiologis
atau kemungkinan-kemungkinan pendekatan sosiologis terhadap karya sastra. Oleh
karena itu, di dalamnya hanya akan dikemukakan teori-teori sosiologi klasik dalam
pengertian Johnson diatas. Diharapkan teori-teori klasik itu dapat memperlihatkan
semacam kecenderungan-kecenderungan utama dalam pemahaman sosiologis
mengenai masyarakat dengan berbagai aspeknya, termasuk sastra.

2.5 Sastra
2.5.1 Pengertian sastra
Di samping pengertian sosiologi, pengertian sastra tentu saja juga harus
diperjelas sebelum pengertian sosiologi sastra itu sendiri. Dalam hal ini akan
dijumpai hambatan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan usaha membangun
pengertian sosiologi seperti yang sudah dikemukakan.
Ada beberapa hambatan dalam usaha perumusan pengertian sastra itu.
Pertama, mereka yang terlibat dalam persoalan pengertian sastra tidak hanya para
ilmuwan yang dalam pekerjaannya memang membutuhkan pengertian yang jelas,
melainkan juga para sastrawan, terutama sastra modern, yang tergolong elit
intelektual yang vokal, yang dapat berdiri setara dengan dan bahkan mungkin
melebihi para ilmuwan dari segi intelektualitas. Berbeda dengan ilmuwan yang
menuntut pengertian yang jelas secara kognitif, sastrawan cenderung mengabaikan
dan bahkan menolak pengertian yang serupa itu dalam pemahaman dan penghayatan
mereka terhadap karya sastra. Selain itu, sejak semula sastrawan modern memang
cenderung menempatkan diri dalam posisi yang bertentangan dengan ilmuwan,
karya sastra dipahami sebagai Wacana tandingan dari Wacana keilmuwan yang
rasional (Lihat antara lain Abrams 1971).
Kedua, dan mungkin sebagai akibat dari yang pertama, karya sastra bergerak
dengan dinamika yang cepat, yang dapat dikatakan atau setidaknya terkesan terus
menerus mengalami perubahan sehingga pengertian yang telah dibangun
mengenainya dapat segera runtuh begitu muncul gerakan-gerakan sastra yang baru
dengan karya-karya sastra baru yang memperlihatkan cirri-ciri atau kecenderungan-
kecenderungan yang tidak lagi dapat ditampung oleh pengertian yang sudah
dibangun itu.
2.5.1.1 Satra sebagai Tulisan
Kemungkinan pengertian sastra sebagai tulisan tidak dapat dielakkan karena
secara etimologis sastra itu sendiri sebagai nama berarti ‘tulisan’. Pengertian dalam
bahasa Indonesia yang demikian tidak hanya berlaku di Indonesia saja, bahkan
nama sastra sebenarnya merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari nama yang
digunakan dalam masyarakat bahasa asing, khususnya Eropa.
Pengertian sastra sebagai tulisan seperti itu mungkin berlaku dalam lingkungan
masyarakat Eropa sebelum abad XVIII, atau di lingkungan orientalis mengenai
Indonesia sampai pada awal abad XX. Dalam lingkungan dengan masa waktu
tersebut memang terasa kuat kesepakatan untuk menganggap semua hasil karya tulis
sebagai sastra. Isi karya sastra dalam pengertian karya tulis itu dapat bermacam-
macam, dari karya-karya tulis yang berisi hikayat sampai karya tulis yang berisi
aturan adat istiadat, tata politik, ajaran agama, ramuan obat-obatan, dan sebagainya.
Namun, sesudah masa tersebut, pengertian demikian tidak lagi diberlakukan secara
penuh.Tidak semua karya sastra dimasukkan ke dalam kategodi karya sastra.

2.5.1.2 Sastra sebagai Bahasa


Bahasa tampaknya merupakan unsur penting dan dasar dari pengertian
sastra.Namun, bahasa cenderung tidak dianggap sepenuhnya identik dengan sastra.
Sastra dipahami sebagai bahasa tertentu yang khusus, yang berbeda dari bahasa
pada umumnya. Kaum Formalis Rusia, yang muncul pada awal abad XX dan
mendapat pengaruh yang kuat baik dari aliran simbolisme Perancis, Futurisme
Rusia, dan linguistik Saussurean, merupakan kelompok ilmuwan sastra yang
memberikan perhatian besar pada persoalan kekhasan bahasa sastra diatas (Lihat
Erlich 1980;Faruk, 1988). Dalam usaha mereka untuk menemukan definisi yang
pasti mengenai karya sastra, yang membedakan karya sastra itu dari berbagai
aktivitas dan hasil aktivitas manusia yang lain, kaum Formalis akhirnya sampai pada
kesimpulan bahwa kekhasan karya sastra terletak pada bentuknya, pada bahasanya,
bukan pada isinya. Bahasa karya sastra dianggap berbeda dari bahasa sehari-hari
karena bahasa itu bukan terutama berfungsi sebagai alat ekspresi pengarang, bukan
alat untuk mempengaruhi pembaca, bukan untuk menyampaikan sesuatu, bukan
untuk mempererat ikatan antarmanusia, bukan untuk memperjelas kaidah-kaidah
bahasa yang abstrak, melainkan untuk menarik perhatian pada dirinya sendiri.
Untuk menarik perhatian pada dirinya sendiri, bahasa karya sastra melakukan penyimpangan
terhadap kaidah-kaidah bahasa sehari-hari, menciptakan gambaran atau citra
kehidupan yang berbeda dengan persepsi yang lazim, melakukan pengasingan
terhadap segala yang sudah dikenal. Kaidah bahasa sehari-hari, gambaran
kehidupan yang lazim, yang sudah dikenal, dianggap sesuatu yang sudah otomatis
atau terotomatisasikan.

2.5.1.3 Sastra sebagai Karya Fiktif-Imajinatif


Wellek dan Warren (1968) merupakan teoretisi yang percaya pada pengertian sastra sebagai
karya inovatif, imajinatif, dan fiktif. Menurut keduanya, acuan karya sastra
bukanlah dunia nyata, melainkan dunia fiksi, imajinasi. Pernyataan-pernyataan yang
ada di dalam genre karya sastra bukanlah proposisi-proposisi logis.
Pengertian yang serupa itu cukup lama bertahan dalam lingkungan sastra dan
bahkaan dalam masyarakat. Williams (1969) menunjukkan bahwa pengertian sastra
sebagai sebuah karya imajinatif telah muncul sejak zaman romantik, sejak decade
terakhir abad XVIII. Meskipun demikian, sebagaimana yang akhir-akhir ini
menampakkan diri di Indonesia, misalnya dalam diskusi “sastra kontekstual” di
tahun 1984 (Heryanto, 1985) dan juga dalam beberapa esai lepas Seno Gumira
Ajidarma, pemisahan antara fiksi dengan fakta dalam karya sastra tidak lagi
dipercaya.

2.5.1.4 Karya Sastra sebagai Ekspresi Jiwa


Pengertian bahwa karya sastra merupakan ekspresi jiwa pengarang merupakan
pengertian yang dianut dengan kuat pleh kaum Romantik. Namun, sebagaimana
pengertian dalam subbab 4, pengertian ini tidak hanya terhenti pada masa Romantik,
tetapi terus bertahan mungkin sampai sekarang. Subagio Sastrowardoyo (1982),
misalnya, percaya bahwa karya-karya puisinya merupakan usaha untuk memotret
apa yang berlangsung dengan cepat dalam jiwanya, dalam bawah sadar. Pengertian
demikianlah yang kemudian membuat banyak studi sastra yang mendekati karya
sastra secara psikologis, mencoba memahami karya sastra dengan melihat latar
belakang kejiwaan pengarang, atau setidaknya dengan menanyakan apa yang
dimaksud oleh si pengarang dengan karya-karyanya yang dipelajari itu.
Namun, sebagaimana nasib pengertian-pengertian yang terdahulu,
pengertian ini pun telah tidak percaya oleh cukup banyak ahli. Alasan-alasan yang
dijadikan alat penyanggah terhadap pengertian ini antara lain sebagai berikut.
Pertama, banyak sekali sastrawan yang memaksudkan karyanya bukan sebagai
ekspresi jiwa, melainkan cerminan masyarakat, merupakan alat perjuangan sosial,
alat menyarakan aspirasi-aspirasi dan nasib orang yang menderita dan tertindas,
seperti yang ternyata dalam gagasan mengenal realisme, naturalisme, dan realisme
sosialis. Kedua, sebagai ekspresi karya sastra tidak perlu dipublikasikan secara luas.
Ketiga, sebagai ekspresi jiwa pengarang, karya sastra tidaka akan bertahan
melampaui diri dan masa pengarang. Keempat, karya sastra tidak dapat menjadi
milik subjektif pengarang sepenuhnya karena setidaknya bahasa yang digunakan
merupakan milik bersama.

2.5.1.5 Karya Sastra dan Dunia Sosial


Kelima kemungkinan pengertian mengenai karya sastra diatas benar-benar
menggiring karya sastra sendiri kea rah sebuah wilayah yang terpisah dari
kenyataan sosial yang menjadi objek sosiologi.
Sebagai bahasa, karya sastra sebenarnya dapat dibawa ke dalam keterkaitan
yang kuat dengan dunia sosial tertentu yang nyata, yaitu lingkungan sosial tempat
dan waktu bahasa yang digunakan oleh karya sastra itu hidup dan berlaku. Apabila
bahasa dipahami sebagai sebuah tata simbolik yang bersifat sosial dan kolektif,
karya sastra yang menggunakan bahasa itu berbagi tata simbolik yang sama dengan
masyarakat pemilik dan pengguna bahasa itu. Apabila sebagai tata simbolik bahasa
dimengerti sebagai alat perekam dan reproduksi pengalaman para pemakai dan
penggunanya, karya sastra dapat ditempatkan sebagai aktivitas simbolik yang
terbagi pula secara sosial.
Kecenderungan yang demikian menjadi semakin kuat ketika sastra dipahami
sebagai sebuah karya sastra yang fiktif dan imajinatif dan sekaligus sebagai ekspresi
subjektif individu. Meskipun, umpamanya di dalam karya sastra ditemukan
gambaran mengenai manusia-manusia, relasi-relasi sosial, ruang dan waktu yang
serupa dengan yang ada di dalam kenyataan, semua hal itu tidak dapat mendekatkan
karya sastra pada kenyataan sosial.
Namun, seperti sudah disinggung secara selintas, usaha-usaha untuk
mempertalikan karya sastra dengan dunia sosial yang nyata bukan tidak terdapat
sama sekali. Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan usaha-usaha
pembangunan keempat kemungkinan pengertian diatas, hadir pula berbagai usaha
yang mencoba membangun pertalian antara karya sastra dengan dunia sosial.
Swingewood (1972) melacak usaha-usaha yang demikian jauh ke belakang, hingga
terutama ke teori mimesis dari Plato. Menurut Plato, dunia dalam karya sastra
merupakan tiruan terhadap dunia kenyataan yang sebenarnya juga merupakan tiruan
terhadap dunia ide. Dengan demikian, apabila dunia dalam karya sastra membentuk
diri sebagai sebuah dunia sosial, dunia tersebut merupakan tiruan terhadap dunia
sosial yang ada dalam kenyataan sebagaimana yang dipelajari oleh sosiologi.
2.6 Dari Tulisan ke Dunia Sosial
Ricoeur (1981) mengemukakan bahwa sebagai tulisan karya sastra memang
mengambil jarak dari situasi dan kondisi nyata yang menjadi lingkungan
produksinya. Sebagai tulisan, karya sastra tidak lagi mengacu pada pengarang dan
pembaca serta situasi dan kondisi asalnya. Karya sastra, sebagai tulisan, mampu
melampaui situasi dan kondisi tersebut untuk memasuki situasi dan kondisi yang
hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda dari situasi dan kondisi asal karya sastra
tersebut.
Namun, kata Ricoeur, kenyataan tersebut tidak dengan sendirinya berarti bhwa
karya sastra tidak mempunyai acuan ke dalam kenyataan. Hanya saja, acuan karya
sastra itu tidak lagi terarah pada dunia sosial yang nyata, melainkan dunia sosial
yang mungkin. Dengan membangun dunia sosial yang mungkin itu, karya sastra
mengajak pembaca untuk keluar dari situasi dan kondisi historis mereka sendiri,
kedirian mereka.
Dengan mendasar diri pada teori-teori sosial kritis dari mahzab Frankfurt dan
juga psikoanalisis Freudian, Ricoeur percaya bahwa tatanan sosial yang nyata dalam
setiap babakan ejarah sosial manusia cenderung menyerap manusia ke dalam
semacam kesadaran semu mengenai diri mereka. Mereka mengalami apa yang di
dalam pengertian Althusser (1973) disebut sebagai proses subjek(-si) oleh kekuatan-
kekuatan sosial yang dominan. Kemampuan karya sastra menarik pada pembacanya
untuk keluar dari situasi dan kondisi historis mereka sendiri sekaligus berarti
kemampuan karya sastra untuk mengemansipasikan mereka dari tatanan sosial yang
dibangun oleh kekuatan sosial yang dominan di atas.

2.7 Dari Bahasa ke Dunia Sosial


Penyimpangan sastra terhadap kaidah-kaidah bahasa yang diangggap umum
tidak dengan sendirinya berarti bahwa hal tersebut sama sekali dapat melepaskan
diri dari kaidah-kaidah bahasa yang disimpanginya. Sebagimana telah disinggung,
sebagai bahasa yang menyimpang, sastra masih amat terikat pada yang
disimpanginya. Teori-teori semiotika, misalnya teori Roland Barthes (1972),
menyebut sastr sebagai suatu sistem semiotik tatanan kedua yang dibangun atas
dasar bahasa sebagai system semiotik tatanan pertamanya.Di dalam sastra, bahasa
sekaligus dapat berkedudukan sebagai model dan sekaligus materi seperti yang juga
dikemukakan oleh Jurij Lotman (1977).
Di dalam teori-teori sosiologi, bahasa dipandang sebagai sebuah institusi sosial
yang penting. Sebagai sesuatu yang terbagi secara kolektif, bahasa merupakan
indikator dari keberadaan realitas sosial sebagai sesuatu yang terlepas dari individu
(Lihat Durkheim). Dalam bahasalah dunia sosial dikukuhkan dan sekaligus
dipelihara.

2.8 Dari Rekaan, Imajinasi ke Dunia Sosial


Dunia sosial pada dasarnya adalah dunia yang berada diluar dan melampaui
dunia pengalaman langsung.Dalam kenyataan pengalaman langsung tidak ada
masyarakat atau tatanan sosial. Yang ada hanyalah individu dan aneka objek yang
tidak bertalian satu dengan yang lain. Dalam pengertian demikian, dunia sosial
menjadi sangat dekat dengan karya sastra.bila karya sastra dipahami sebagai sesuatu
yang fiktif dan imajinatif , dunia sosial pun demikian. Benedict Anderson (1991)
berbicara mengenai komunitas-komunitas yang dibayangkan atai diimajinasikan.
Dalam teori-teori sastra romantik dan modernis, misalnya Eliot, imjinasi
cenderung dipahami sebagai daya atau kekuatan mental yang dimiliki sastrawan,
yang sering kali disebut genius, untuk dapat menangkap tatanan yang ada di
belakang atau di balik dunia pengalaman yang seakan kacau, tak bertatanan. Dengan
pengertian demikian, apa yang disebut sebagai dunia sosial yang ada di balik dunia
pengalaman langsung di atas jelas merupakan sesuatu yang imajinatif. Dunia sosial,
adanya tatanan yang ada di balik kenyataan pengalaman langsung yang seakan tan
bertatanan,merupakan sesuatu yang imajinatif, sehingga hanya dapat ditangkap
dengan daya imajinasi.

2.9 Beberapa Kemungkinan Definisi Sosiologis Mengenai Sastra


Bila berbagai teori sosial klasik yang sudah dikemukakan sebelumnya dapat
dijadikan pegangan untuk pemahaman mengenai sastra, terbuka beberapa
kemungkinan definisi sosiologis mengenai hal terakhir di atas.Ada pengertian yang
didasarkan pada teori Comte, teori Marx, teori Durkheim, Weber, dan juga Simmel.
Teori sosial Comte didasarkan pada tingkat perkembangan intelektual manusia
sehingga terbangun teori tiga tahap perkembangan masyarakat, yaitu tahap teologis,
metafisis, dan positif. Dalam kerangka teori yang demikian sastra dapat dipahami
sekaligus sebagai representasi dari perkembangan intelektual dan sekaligus
organisasi sosial di atas. Sebagaimana lembaga-lembaga sosial lainnya, sastra
merupakan aktivitas seni bahasa yang dibingkai oleh tingkat perkembangan
intelektual yang hidup pada zamannya. Hubungan antara sastra dengan lembaga-
lembaga sosial yang lain dapat disebut homolog, yaitu sama-sama
merepresentasikan tingkat perkembangan intelektual yang menjadi bingkai dari
keseluruhan organisasi sosial yang melingkunginya.
Bila ditempatkan dalam kerangka teori Marx, sastra dapat ditempatkan sebagai
salah satu superstruktur yang menjadi kekuatan reproduktif dari infrastruktur atau
struktur sosial yang berdasarkan pembagian dan relasi sosial secara ekonomis.
Sastra merupakan institusi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung
terlibat dalam pertentangan antarkelas di dalam masyarakat, dapat sebagai kekuatan
konservatif yang berusaha mempertahankan struktur sosial yang berlaku ataupun
sebagai kekuatan progresif yang berusaha merombak struktur tersebut demi
terbangunnya sebuah struktur sosial yang baru di bawah dominasi kelas sosial yang
baru pula.

Dalam kerangka teori sosial Durkheim, sastra terutama sekali akan bertalian
dengan pembangunan solidaritas sosial yang menjadi kekuatan utama terbentuknya
tatanan sosial. Jila dianalogkan dengan fungsi agama di dalam masyarakat, sastra
berfungsi memberikan pengalaman kepada anggota masyarakat akan adanya sebuah
realitas yang melampaui batas-batas dunia pengalaman langsung individual.
Teori sosial Weber berpusat pada konsep tindakan dan pola-pola tindakan sosial
yang menjadi dasar dari struktur sosial secara keseluruhan. Setidaknya, ada tiga tipe
tindakan sosial Weber, yaitu tindakan yang berorientasi tujuan, tindakan yang
berorientasi nilai, dan tindakan tradisional. Sastra dapat menempati satu atau
beberapa kemungkinan pola tindakan tersebut.
Berbagai tipe tindakan diatas menentukan pula pola organisasi sosial secara
keseluruhan. Masyarakat tradisional amat dikuasai oleh pola tindakan tradisional,
sedangkan masyarakat modern dikuasai oleh pola tindakan yang rasional, yang
berorientasi pada tujuan di atas. Dalam pengertian yang demikian, pengertian sastra
tidak hanya dapat dilihat dari pola tindakan yang dijalankannya, melainkan juga dari
pertaliannya dengan organisasi sosial secara keseluruhan.
Dalam pengertian Simmel, sastra tentu saja dapat ditempatkan sebagai salah satu
bentuk interaksi sosial yang mikro yang sekaligus mempresentasikan struktur sosial
yang makro. Sebagai salah satu bentuk interaksi sosial sastra yang dapat dianggap
sebagai sebuah lingkungan mikro yang di dalamnya terdapat relasi-relasi
subordinasi dan superordinasi antarkomponen yang terkandung di dalamnya. Dapat
pula sastra sebagai salah satu komponen interaksi yang terlibat dalam relasi
superordinasi dan subordinasi dengan kekuatan-kekuatan sosial lain yang ada
diluarnya. Sebagai representasi, sastra dapat membangun sebuah dunia imajiner,
sebuah lingkungan interaksi imajiner, yang mencerminkan pola interaksi yang
terdapat dalam dunia sosial yang nyata.
Berbagai kemungkinan pengertian di atas tentu saja sangat skematis dan
simplistis. Bukan tidak mungkin posisi sastra yang sebenarnya mencakup berbagai
kemungkinan pengertian klasik tersebut. Tidak pula mustahil apabila posisi sosial
sastra justru tidak dapat ditangkap oleh seluruh kemungkinan pengertian diatas,
hanya dapat ditangkap oleh kemungkinan pengertian yang diberikan oleh teori-teori
sosial yang lebih kemudian. Namun, kemungkinan-kemungkinan tersebuttidak
berarti tidak bermanfaat. Dalam konteks buku ini yang berusaha memberikan
pengantar ke arah pemahaman sastra secara sosiologis, beberapa kemungkinan
definisi yang sudah dikemukakan tersebut dapat setidaknya menjadi tawaran
hipotetis mengenai pendekatan sosiologis terhadap sastra, sebuah tawaran yang
tentu saja harus diuji tidak hanya secara empiris, melainkan secara logis.

2.10 Hakikat Sosiologi Sastra


Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari
akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan
logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya
mengalami perubahan makna, soio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti
ilmu.Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi)
masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan
antarmanusia dala masyarakat, sifatnya umum, rasional, empiris.Sastra dari akar
kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, member petunjuk dan
instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana.Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk
mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra
bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan,
artinya kumpulan hasil karya yang baik.
2.11 Sejarah Sosiologi Sastra
Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam
masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam.
Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
Perbedaannya, apabila sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat
melalui analisis ilmiah dan objektif, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi,
secara subjektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas,
tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Karena itu menurut Damono (1978:6-8),
apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian terhadap masalah suatu
masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya cenderung sama. Sebaliknya,
apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakatyang sama,maka
hasil karyanya pasti berbeda.
Teori-teori sosial sastra sesungguhnya sudah ada sejak zaman
Plato/Aristoteles (abad ke-5/4 BC), filsuf Yunani.Dalam buku yang berjudul Ion dan
Republik dilukiskan mekanisme antarhubungan sastra dengan masyarakatnya.
Filsafat ide Plato yang semata-mata bersifat praktis di atas ditolak oleh
Aristoteles. Menurutnya, seni justru mengangkat jiwa manusia, yaitu melalui proses
penyucian (katharis), sebab karya seni membebaskan manusia dari nafsu yang
rendah.
Legitimasi pengarang sebagai pencipta yang sesungguhnya tampak sesudah
abad ke-18, dengan anggapan manusia sebagai creator yang otonom. Pada saat ini
tampak dua pandangan yang berbeda: a) karya sebagai dunia yang otonom, yang
kemudian tampak dalam aliran strukturalis, dan b) karya seni sebagai dokumen
sosial, seperti berbagai penelitian yang dilakukan oleh aliran Marxis, psikologis, dan
peneliti sosiologi yang lain.
Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi
kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama
dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa sebab bahasa merupakan milik
bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial.
2.12 Sosiologi Sastra Indonesia
Sosiologi sastra Indonesia dengan sendirinya mempelajari hubungan yang
terjadi antara masyarakat Indonesia dengan sastra (di) Indonesia, gejala-gejala baru
yang timbul sebagai akibat antarhubungan tersebut. Di Indonesia, sosiologi sastra
diperkenalkan pertama kali melalui ceramah Harsya W.Bachtiar dalam penataran
“Filologi untuk Penelitian Sejarah”, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Sastra
dan Filsafat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 1973. Dalam bentuk buku teks, mulai dengan terbitnya Sosiologi
Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (Sapardi Djoko Damono, 1978) dan disusul
dengan Mitos dan Komunikasi (Umar Junus, 1981) dan Sosiologi Sastra: Persoalan
Teori dan Metode (Umar Junus, 1986).
Sampai saat ini, penelitian sosiologi sastra lebih banyak memberikan perhatian pada
sastra nasional, sastra modern, khususnya mengenai novel. Dikaitkan dengan
masyarakat sebagai latar belakang proses kreatif, masalah yang menarik adalah
kenyataan bahwa masyarakat berada dalam kondisi berubah yang dinamis, yang
disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kebudayaan Barat. Sebagai respons interaksI
sosial, maka karya-karya yang dihasilkan pun secara terus-menerus baru, sesuai
dengann tanggapan pengarang terhadap proses perubahan tersebut.Proses perubahan
yang agak jelas dan formal tampak dalam periode, seperti: Balai Pustaka (masalah
tradisi, adat-istiadat, dan orientasi primordial pada umumnya),Pujangga Baru
(masalah nasionalisme, emansipasi, dan perjuangan melawan penjajahan),Periode
’45 (masalah kebebasan secara universal), Periode 70-an dan seterusnya (masalah
kebebasan dan usaha-usaha untuk menemukan identitas bangsa). Dalam Periodisasi
jelas terkandung sejumlah cirri-ciri yang bersifat umum, yang mengorganisasikan
sistem literer ke dalam suatu paradigma yang relatif sama. Meskipun demikian,
bukan berarti bahwa cirri-ciri analisis sosiologis menjadi sama. Masalah pokok
sosiologi sastra adalah karya sastra itu sendiri, karya sebagai aktivitas kreatif dengan
ciri yang berbeda-beda. Studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa setiap
fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisi sosio historis tertentu. Sistem
produksi karya seni, karya sastra khususnya, dihasilkan melalui antarhubungan
bermakna, dalam hal ini subjek kreator dengan masyarakat.meskipun demikian,
system produksi karya sastra tidak didasarkan atas komunikasi linear antara
pengarang, penerbit, patron dan masyarakat pembaca pada umumnya, melainkan
juga tradisi dan konvensi literer.
Analisis sosiologis tidak bermaksud untuk mereduksikan hakikat rekaan ke
dalam fakta, sebaliknya, sosiologi sastra juga tidak bermaksud untuk
melegitimasikan hakikat fakta ke dalam dunia imajinasi. Tujuan sosiologi sastra
adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan
masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan.
Analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi
sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu. Konsekuensinya, sebagai
timbale balik, karya sastra mesti memberikan masukan, manfaat, terhadap struktur
sosial yang menghasilkannya. Mekanisme tersebut seolah-olah bersifat imperatif,
tetapi tidak dalampengertian yang negatif. Artinya, antarhubungan yang terjadi tidak
merugikan secara sepihak. Sebaliknya, antarhubungan akan menghasilkan proses
regulasi dalamsistemnya masing-masing. Menurut Wellek dan Warren (1962: 37)
fungsi berada dalam kerangka hakikat karya sastra.

2.13 Kaitan Sosiologi Sastra dengan Psikologi Sastra


Sosiologi sastra berkaitan dengan psikologi sastra sebab objeknya sama,
yaitu manifestasi manusia yang teridentifikasi dalam karya. Perbedaannya, objek
sosiologi sastra adalah manusia dalam masyarakat, sebagai transindividual, objek
psikologi sastra adalah manusia secara individual, tingkah laku sebagai manifestasi
psikologi.
Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai hasil interaksi pengarang
dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif, sedangkan psikologi sastra
memandang sastra sebagai rekaman keistimewaan individu, sebagai kesadaran
personal. Karena itulah, aspek-aspek psikologi bermanfaat bagi sosiologi sastra
apabila memuliki nilai-nilai historis yang berhubungan dengan aspek-aspek
kemanusiaan secara keseluruhan. Aspek-aspek psikologi tersebut dapat
dimanfaatkan baik terhadap aspek intrinsik, seperti dalam analisis perwatakan,
maupun ekstrinsik, seperti dalam menganalisis pengarang, kecenderungan
masyarakat pembaca.
Menurut proposisi Freud (Todorov, 1984: 30-31), psike manusia bertumpu
atas dasar biologis, mendahului dan bersifat eksternal terhadap bahasa. Sebagai
energy libido, yaitu: anal (melalui anus), oral (melalui mulut), dan genital (melalui
alat kelamin), energy Freud sesungguhnya lebih dekat dengan material insting.
Aspek-aspek psikologis, khususnya sebagai motivator proses kreatif, pada
umumnya dikaitkan dengan struktur personalitas super ego. Menurut Freud, kreasi
seni merupakan alternatif, sebagai sublimasi dan kompensasi kehidupan sehari-hari
yang tak terpenuhi. Karya seni adalah rekaman keistimewaan (idiosyncrasies)
personal, bukan kesadaran kolektif.
Pembicaraan mengenai psikologi sastra dalam hubungan ini dilakukan
dengan pertimbangan bahwa dalam analisis karya sastra, di satu pihak, baik
sosiologi sastra maupun psikologi sastra merupakan disiplin yang relatif baru, yang
dengan sendirinya sama-sama berada dalam taraf menemukan cara-cara yang tepat
untuk menemuka mekanisme antarhubungannya.
Dalam penelitian tradisional, baik sosiologi sastra, maupun psikologi sastra
termasuk spek-aspek ekstrinsik (Wellek dan Warren, 1962: 73-135).Aspek-aspek
ekstrinsik adalah keseluruhan aspek karya yang berada di luar aspek intrinik,
termasuk biografi pengarang. Di antara aspek-aspek ekstrinsik yang lain, aspek
sosiologis termasuk salah satu aspek yang terpenting. Latar belakang sosiobudaya,
misalnya, dianggap sebagai indikator utama lahirnya karya, sekaligus
mengkondisikan keseluruhan aspek yang terkandung di dalamnya.
Menurut Wellek dan Warren (ibid), baik psikologi sastra maupun sosiologi
sastra memberikan tiga kemungkinan utama dalam analisis, yaitu: a) analisis
pengarang sebagai pencipta, b) analisis karya sastra itu sendiri, dan c) analisis
pembaca. Analisis psikologis cenderung memandang subjek kreator sebagai
individu yang berbeda, memiliki keistimewaan, keunikan, dan kejeniusan.

Pemahaman terhadap sosiologi dan psikologi sastra, sebagai polarisasi dua


disiplin yang berbeda dalam menganalisis objek yang sama, yaitu karya sastra,
diharapkan dapat memperjelas paradigma kedua disiplin, khususnya sosiologi
sastra. Secara definitive intensitas sosiologi sastra adalah karya sebagai manifestasi
interaksi sosial, sedangkan intensitas psikologi sastra adalah karya sebagai
manifestasi struktur psikologis. Karena itu, Hauser (1985: 119), pada dasarnya
menolak relevansi psikologi dalam studi sosiologi sastra, dengan mengatakan
bahwa aspek-aspek psikologi bermanfaat dalam sosiologi sastra apabila memiliki
kualitas historis dan berhubungan dengan kemanusiaan secara keseluruhan. Dengan
kalimat lain, aspek-aspek psikologi yang bermanfaat dalam analisis sosiologi sastra
adalah aspek-aspek psikologi sosial.

2.14 Teori-teori Sosiologi sastra


Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani), berarti kontemplasi
kosmos atau realitas. Setelah mengalami perluasan makna, secara definitif teori
diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui
kompetensi ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan di satu pihak, aplikasi dalam
penelitian praktis di pihak yang lain. Teori berfungsi untuk mengubah dan
membangun pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Dalam penelitian, teori
berfungsi untuk mengarahkan, sebagai penunjuk jalan agar suatu penelitian tidak
kehilangan arah. Karena itulah, menurut Goldmann (dalam Elizabeth dan Tom
Burns, 1973: 111), apabila terjadi ketidaksesuaian dengan objek dan data penelitian,
maka yang dimodifikasi adalah teori, bukan objeknya. Teori-teori sosiologi yang
dapat menopang analisis sosiologi adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat
fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khususnya dalam
kaitannya dengan aspek-aspek ekstrinsik, seperti: kelompok sosial, kelas sosial,
stratifikasi sosial, institusi sosial, system sosial, interaksisosial, konflik sosial,
kesadaran sosial, mobilitas sosial, dan sebagainya.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Fenomenologi merupakan suatu tatanan berpikir secara filosofi terhadap
obyek yang diteliti (Endraswara, 2003:38). Dalam penelitian sastra, fenomenologi
tidak mendorong kertelibatan subyektif murni, melainkan ada upaya memasuki teks
sastra sesuai kesadaran peneliti. Otoritas peneliti sebagai pemberi makna memiliki
peranan penting dalam pelaksanaan penelitian. Hal ini yang kemudian menghendaki
pengungkapan sebuah gejala didasarkan pada penjelasan dan pengertian gejala
tersebut. Penangkapan gejala dalam penelitian ini berusaha mengungkap pengertian
objek sastra yang didasarkan pada kajian bahasa, yang meliputi kajian makna dari
fenomena yang diamati, kemudian dipilah, disaring, dan ditemukan gambaran
pengertian murni. Sesuai dengan fenomenologi sastra khususnya aliran Jenewa,
penelitian ini menyikapi sastra sebagai gejala yang memiliki realitas objektif.
Peneliti sebagai pembaca berusaha melukiskan fenomena melalui konkretisasi
dalam kaitannya dengan pemahaman karya sastra yang bertumpu pada karya sastra
itu sendiri. Pemahaman demikian perlu dilakukan, karena fenomenologi sastra pada
dasarnya berupaya menyikapi teks sastra sebagai hasil olahan pencipta.
Berdasarkan landasan pemikiran dengan dasar filosofi dalam fenomenologi
sastra maka peneliti menyusun rancangan penelitian ini dengan menggunakan
metode deskriptif dalam bentuk kualitatif. Menurut Moleong (2007:6) penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,
dan lain-lain; secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah. Penelitian kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan
fenomena sosial yang terdapat dalam subjek penelitian ini, yang membahas
mengenai pengalaman pribadi individu dalam lingkungan sosial yang tercermin
dalam suatu karya sastra yakni drama.
Subjek penelitian ini adalah drama Bila Malam Bertambah Malam dan unsur-unsur
yang terdapat pada drama ini seperti tema, latar atau setting, penokohan atau
perwatakan, amanat, gaya bahasa, alur atau plot merupakan objek analisis penelitian
yang akan dibahas pada bagian hasil penelitian dan pembahasan.
3.2 Pendekatan Penelitian
Karya sastra khususnya drama merupakan sebuah sistem tanda yang mempunyai
konvensi-konvensi sendiri. Menurut Pradopo (2003:122) dalam menganalisis karya
sastra, peneliti harus menganalisis sistem tanda itu dan menentukan konvensi-
konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam
karya sastra itu mempunyai makna. Jadi, pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan sosiologis. Teori sosiologis yang digunakan
peneliti sebagai acuan dalam menganalisis data yang berkenaan dengan unsur-unsur
dalam struktur sebuah drama yakni teori sosiologis Sapardi Djoko Damono.
Dalam hakikat antar disiplin, sosiologi dan sastra, maka kualitas penelitian
ditentukan oleh peranan ilmu-ilmu bantu di dalamnya. Selain sosiologi, ilmu bantu
yang diperlakukan diantaranya : sejarah, psikologi, agama, dan masalah-masalah
kebudayaan pada umumnya. Meskipun demikian, sosiologi sastra hendaknya
dibatasi secara perifer, supaya tidak berubah menjadi penelitian sosiologis.

3.3 Sumber Data dan Data


3.3.1 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah drama “Bila Malam Bertambah
Malam” karya Putu Wijaya. Drama ini terdokumentasi dalam bentuk naskah “Bila
Malam Bertambah Malam” yang diambil dari Internet dan buku-buku pegangan
yang lain.
3.3.2 Data
Sebagai data dalam penelitian ini adalah yang berhubungan dengan tema,
alur atau plot, penokohan atau perwatakan, gaya bahasa, latar atau setting, amanat
yang terdapat pada drama “Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya. Data
yang diambil berkaitan dengan struktur drama.
3.4 Teknik dan Alat Pengumpul Data
3.4.1 Teknik Pengumpul Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian adalah teknik
tidak langsung, artinya peneliti mengumpulkan data melalui catatan-catatan pribadi
atau hasil karya seseorang, teknik ini disebut juga sebagai studi dokumenter. Teknik
ini digunakan karena peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan dokumen,
yaitu drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya. Agar data yang
dikumpulkan lebih representatif maka pengumpulan data dilakukan atas
pertimbangan bahwa drama-drama yang akan dianalisis diambil dari Internet.
Data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan dokumetasi di catat dalam
catatan lapangan yang terdiri dari dua aspek, yaitu: deskripsi dan refleksi. Catatan
deskripsi adalah data alami yang berisi tentang apa yang dilihat, di dengar,
dirasakan, disasksikan dan dialami sendiri oleh peneliti tanpa adanya pendapat dan
penafsiran dari peneliti tentang fenomena yang dijumpai. Sedangkan catatan refleksi
yaitu catatan yang memuat kesan, komentar dan tafsiran peneliti tentang temuan
yang dijumpai dan merupakan bahan rencana pengumpulan data. Untuk
mendapatkan catatan ini, maka peneliti melakukan wawancara dengan beberapa
informan.

3.4.2 Alat Pengumpul Data


Alat pengumpul data yang digunakan adalah peneliti sendiri sebagai
instrumen kunci. Peneliti sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, analisis
data, dan pada akhirnya menjadi pelapor dari hasil penelitian yang dilakukan.
Dalam penelitian ini, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat
pengumpul data utama. Peneliti (manusia) sebagai intrumen utama dalam
pengumpulan data, sebab sifatnya yang responsif dan dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan sekitar, menekankan keutuhan dalam mengembangkan imajinasi
dan kreativitasnya pada situasi yang dipelajarinya, mendasarkan diri atas perluasan
pengetahuan, berupaya memroses data secepatnya, dapat memanfaatkan kesempatan
untuk mengklarifikasi dan mengikhtisar pada saat terjadi perubahan situasi, dan
memiliki kemampuan dalam memanfaatkan kesempatan untuk mencari respons
yang tidak lazim dan idiosinkratik.
Alat lain yang digunakan untuk mengumpulkan data yakni kartu pencatat.
Kartu pencatat digunakan untuk mempermudah kerja peneliti untuk mendata tema,
alur atau plot, latar atau setting, penokohan atau perwatakan, gaya bahasa, amanat
yang terdapat dalam drama “Bila Malam Bertambah Malam”. Data-data yang
dihimpun berupa drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya. Data-
data tersebut diperoleh dari Internet dan buku pegangan yang lain.

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih
mudah di baca dan diimplementasikan. Sesuai dengan tujuan penelitian maka teknik
analisis data yang dipakai untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah
analisis model interaktif sebagaimana diajukan oleh Miles dan Huberman, yang
terdiri dari tiga hal utama, yaitu: pengumpulan data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi. Alasan peneliti memilih model ini karena model ini
dipandang sangat sesuai untuk diterapkan ke dalam penelitian kualitatif.
Analisis data kualitatif, yaitu analisa dengan suatu ungkapan atau pernyataan
berdasarkan hasil temuan selama pross pengumpulan data dilakukan, upaya yang
dilakukan secara berulang, berlanjut dan terus menerus, dimana dalam pengambilan
data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Setelah
pengumpulan data lalu di lakukan reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan. Apabila dalam penarikan kesimpulan data yang didapatkan kurang atau
tidak sesuai maka peneliti kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data, hal
tersebut dilakukan secara terus menerus sampai data valid.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses menganalisis data berupa
drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya, sebagai berikut:
1) Menganalisis Tema pada drama “Bila Malam Bertambah Malam” karya
Putu Wijaya dengan menentukan tema yang terdapat di dalamnya.
2) Menganalisis Alur atau plot pada drama “Bila Malam Bertambah
Malam” karya Putu Wijaya
3) Menganalisis tokoh pada drama “Bila Malam Bertambah Malam”
karya Putu Wijaya
4) Menganalisis penokohan atau perwatakan pada drama “Bila Malam
Bertambah Malam” karya Putu Wijaya. Penokohan yang terdapat di dalam
drama tersebut meliputi Bijaksana, Antagonis, Wirawan (penengah),
Protagonis.
5) Menganalisis Latar atau Setting yang terdapat pada drama “Bila Malam
Bertambah Malam” karya Putu Wijaya. Yang meliputi latar tempat, latar
waktu, dan situasi terjadinya peristiwa dalam drama.
6) Menganalisis Amanat yang terdapat pada drama “Bila Malam Bertambah
Malam” karya Putu Wijaya. Amanat adalah pesan yang disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Pesan dalam drama dapat
ditemukan melalui peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam naskah drama.
Amanat yang ditemukan oleh penonton atau pembaca naskah drama dapat
berbeda-beda, tergantung dari apresiasi penonton atau pembaca. Amanat
yang ditemukan juga dapat lebih dari satu.
BAB IV
Hasil dan Pembahasan

4.1 Analisis Data

4.1.1 Pengarang dan karya-karyanya

Putu Wijaya yang kita kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang
cukup panjang, yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui
bahwa ia berasal dari Bali. Putu memang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali
pada tanggal 11 April 1944. Pada masa remaja ia sudah menunjukkan
kegemarannya pada dunia sastra. Saat masih duduk di sekolah menengah pertama di
Bali, ia mulai menulis cerita pendek dan beberapa diantaranya dimuat di harian
Suluh Indonesia, Bali. Ketika duduk di sekolah menengah atas ia memperluas
wawasannya dan melibatkan diri dalam kegiatan sandiwara.setelah selesai sekolah
menengah atas, ia menunjukkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia
pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S Rendra dalam beberapa
pementasan, antar lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot
(1969). Ia juga pernah tampil dengan kelompok Sanggar Bambu. Karya-karya Putu
Wijaya dalam drama antara lain: Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi
(1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga
Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan,
Hum-Pim-Pah, Dor, Blong, Ayo, Awas, Los, Aum, Zat, Tai, Front, Aib, Wah, Hah,
Jpret, Aeng, Aut, Dar-Dir-Dor.
4.2. Analisis Struktural Drama “Bila Malam Bertambah Malam” karya

Putu Wijaya

4.2.1 Analisis Struktural Drama “Bila Malam Bertambah Malam”


4.2.1.1 Tema
Suatu gagasan pokok atau ide pikiran tentang suatu hal, salah
satunya dalam membuat suatu tulisan. Dalam menentukan suatu tema harus
memperhitungkan lingkungan sekitar. Menurut Nurgiyantoro (1995), tema
dibagi menjadi dua yaitu tema mayor (pokok cerita menjadi dasar karya
sastra), tema minor yaitu tema tambahan yang menguatkan tema mayor.
Tema yang diangkat Putu Wijaya menceritakan tentang kanibalisme.
Manusia seolah-olah tidak memiliki kepercayaan terhadap perikemanusiaan
dalam diri mereka. Adapun datanya sebagai berikut :

Data 01 : Wayan (Dengan tegas)


“Tiyang tahu semuanya, tu Ngurah.
Sebab tiyang yang telah mendampinginya setiap saat dulu.
Sejak kecil tiyang sepermainan dengan dia, seperti tu Ngura
dengan Nyoman. Tiyang tidak buta huruf seperti disangkanya.

4.2.1.2 Alur atau Plot


Rangkaian cerita yang dibentuk tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para
dalam suatu cerita. Pada Drama Bila Malam Bertambah Malam sistem
pengalurannya menunjukkan rangkaian hubungan kausalitas yang dijalin
oleh masalah yang dihadapi Gusti Biang dan Wayan. Wayan sejak
muda sudah jatuh cinta dengan Gusti Biang, tetapi karena Gusti Biang
memiliki gengsi yang tinggi maka cinta Wayan ditolak. Gusti Biang lebih
memilih I Gusti Ngurah Ketut Mantri sebagai suaminya. Dialog
berhubungan dengan plot atau alur lakon sehingga bila tokoh protagonist
mendapat perlawanan dari tokoh antagonism aka akan terjadi perubahan
suasana cerita.
Alur cerita ini dapat dibagi menjadi beberapa pengenalan, pertikaian atau konflik,
komplikasi, klimaks, dan penyelesian.
1. Pengenalan atau Eksposisi
Bagian yang mengantarkan atau memaparkan tokoh, menjelaskan latar
cerita, dan gambaran peristiwa yang akan terjadi.

Wayan
“Gusti, Nyoman adalah tunangan Ngurah, calon menantu Gusti Biang
sendiri, berani sumpah, Nyoman adalah tunangan Ngurah Ratu, Ngurah
sendiri yang mengatakannya. “Aku akan mengawini Nyoman Bape” katanya.
“Biar hanya orang desa, pendidikannya rendah tapi hatinya baik, dari
pada…..”biar dimakan leak. Demi apa saja”.

2. Konflik
Pokok persoalan yang melibatkan para pemain drama. Kutipan berikut
menunjukkan pada adanya konflik yang terdapat pada drama bila malam
bertambah malam karya Putu Wijaya.

Wayan (Dengan tegas)


“Tiyang tahu semuanya, tu Ngurah. Sebab tiyang yang
telah mendampinginya setiap saat dulu. Sejak kecil ttiyang
sepermainan dengan dia, seperti tu Ngurah dengan Nyoman. Tiyang tidak
buta huruf seperti disangkanya. Tiyang bisa membaca dokumen-dokumen
dan surat-surat rahasia yang ada di meja kerjanya. Siapa yang
membocorkan gerakan Ciung Wanara di Marga dulu ?Nica-nica itu
mengepung Ciung Wanarayang dipimpin oleh Pak Rai, menghujani dengan
peluru dari berbagai penjuru, bahkan di bom dari udara sehingga kawan-
kawan semua gugur. Siapa yang bertanggung jawab atas kematian Sembilan
puluh enam kawan-kawan yang berjuang habis-habisan itu? Dalam perang
puputan itu kita kehilangan Kapten Sugianyar, kawan-kawan Tiyang yang
paling baik, bahkan kehilangan Pak Rai sendiri.
Dialah yang telah berkhianat, dialah yang telah melaporkan gerakan itu semua
kepada Nica.

3. Komplikasi

Tahap dimana presiden mulai berkembang dan menimbulkan konflik


yang banyak. Pengungkapan peristiwa drama bila malam bertambah
malam karya putu wijaya seperti terdapat pada kutipan berikut.

(GUSTI BIANG MEMBACA DEKAT LAMPU TEPLOK DAN


WAYAN MENDENGARKAN DENGAN TENANG)

Gusti Biang
“Swatiastu, ibunda tercinta .... Kalau aku bilang tadi, kamu bilang sudah lima
hari, apa saja yang aku katakan kamu lawan! Dewa Ratu, dengarlah Wayan.
Betapa pinternya ia menghormati dengan singkat ananda
kabarkan bahwa ananda segera pulang. Ananda telah merencanakan
berunding dengan ibu. Sudah masanya sekarang Ananda menjelaskan.
Meskipun Ananda belum menyelesaikan pelajaran, bahkan mungkin Ananda
akan berhenti sekolah saja, sebab tak ada lagi gunanya. Ananda hendak
menjelaskan pada ibu bahwa Ananda tidak bisa lagi berpisah lebih lama.
Rahasia ini Ananda simpan sejak lama. Supaya ibu tidak kaget nanti, akan
saya terangkan bahwa Ananda bermaksud, Ananda bermaksud …Ananda
bermaksud

MENGULANG SAMBIL MENDEKATKAN LAMPU TEPLOK

4. Klimaks

Tahapan puncak dari berbagai konflik yang terjadi dalam drama.

Puncak konflik terdapat pada kutipan berikut.


Ngurah
“Bape menghina keluarga saya”.

Wayan
“Bukan menghina tu Ngurah. Begitulah keadaannya.

Desa Marga menjadi saksi semua itu, hanya beliau dilahirkan sebagai putra
Bangsawan yang berpengaruh serta dihormati karena jasa-jasa leluhur,
dosa beliau kepada Pak Raiterhadap semua korban puputan itu seperti
dilupakan. Tetapi Tiyang sendiri tidak pernah melupakannya. Bukan hanya
seorang banyak pengkhianat-pengkhianat di bumi ini dianggap orang
sebagai pahlawan sedangkan yang benar-benar berjasadilupakan orang.

5. Penyelesaian
Tahap akhir dari sebuah drama. Penyelesaian drama bila malam bertambah
malam karya Putu Wijaya tergambar pada kutipan dialog berikut.

WAYAN
“Ngurah, sudah tahu semuanya. Ngurah sudah pantas mendengar itu. Tapi
Jangan terlalu memikirkannya. Lupakan saja itu semua. Itu memang sudah
terjaditetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati kami merasa lega.
Sekarang lupakan semua itu. Lupakan, jangan bersakit sakit
memikirkannya.

NGURAH MEMALINGKAN MUKA KETIKA WAYAN


MENATAPNYA

Wayan
“Semua itu bohong, Titiyang bukan ayah Ngurah. Tiyang adalah Wayan yang
pikun dan akan segera mati, dan beliau itu (Menunjuk potret) bukan
pengkhianat. Dia seorang pahlawan dan pantas Ngurah sebut ayah. Ya….banyak
terdapat keburuka diatas dunia ini. Tapi tidak semua keburukan yang kita
ketahui itu perlu diketahui orang lain, kalau bisa membuat keadaan lebih
buruklagi. Pergilah Tu, Ngurah dan Tiyang yang akan meladeni Gusti Biang.
TANPA MENOLEH NGURAH MENINGGALKAN TEMPAT

Gusti Biang (Kemalu-maluan)

“Kenapa kau ceritakan semua itu padanya”.

Wayan

“Waktu telah tiba, dia sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya”.

Gusti biang

“Kau menyebabkan aku sangat malu”.

(Gusti Biang Tertunduk Dan Wayan Menghapus Air Matanya)

Wayan Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita karena
perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia
sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-
bedakan lagi, bagaimana Gusti Bian

Gusti biang (Sambil menghapus air matanya)

“Aku tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan mengawinkannya,

(Dengan manja)
“Tapi jangan ceritakan lagi tentang yang dulu-dulu. Aku sangat malu”.
Wayan (Tersenyum)

“Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu Sagung Mirah,
sampai kita berdua sama-sama mati dan di atas kuburan kita, anak-anak itu
berumah tangga dengan baik. Sagung Mirah ..”

4.2.1.3 Latar atau Setting

Lingkungan tempat berlangsungnya peristiwa yang dapat dilihat, termasuk


aspek waktu, iklim, dan periode sejarah. Latar pada lakon Drama Bila Malam
Bertambah Malam lebih mudah teridentifikasi, baik latar tempat, waktu, dan
suasana. Pada babak pertama drama ini tempat kejadiannya yaitu ditempat
kediaman atau Rumah Gusti Biang. Pada babak kedua tempat kejadiannya di
Halaman Rumah Gusti Biang. Pada babak ketiga tempat kejadiannya di Tempat
Tidur Gusti Biang. Pada babak keempat tempat kejadiannya didepan Rumah Gusti
Biang. Lakon Bila Malam Bertambah Malam terjadi pada waktu malam hari.
Kejadiannya di Tabanan Bali sekitar tahun 1960-an.

Data 01 Latar tempat

Latar tempat drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya adalah di
rumah Gusti Biang yang terdapat pada kutipan berikut.

Gusti Biang
“Si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan. Pasti dia sudah
berbaring di kandangnya, menembang seperti orang kasmaran pura-pura tidak
mendengar, padahal aku sudah berteriak, sampai leherku patah. Wayaaaaaa......
Wayaaaaa... tuaaaa....

Gusti Biang
“Setan! Setan! Kau tak boleh berbuat sewenang-wenang di rumah ini.
Berlagak mengatur orang lain yang masih waras. Apa good, good apa?
Good bye! Menyebut kekasih, manis, kau pikir apa anakku. Wayan akan
menguncimu di dalam gudang tiga hari tiga malam, dan kau akan meraung
seperti si belang”.
Wayan
“Tiyang ketiduran di gudang”.

Gusti Biang
“ Begundal itu! Masukkan dia ke gudang!”

Gusti Biang
“Ya! Leak itu tidak boleh masuk rumahku ini. Setan itu juga! Biar mati
dua-duanya sekarang! Kalau kau mau ikut pergi terserah. Aku
akan mempertahankan kehormatanku. Kehormatan suamiku,
kehormatan Sanggung Rai, kehormatan leluhur-leluhur di puri ini”.

Data 02 : Latar Waktu


Latar waktu pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya

Putu Wijaya terjadi pada malam dan sore hari yang ditunjukan

pada dialog berikut.

Nyoman
“Nah, itu sebabnya kalau belum santap malam. Apalagi sejak beberapa hari
ini Gusti sudah tidak mau minum jamu lagi, minum sekarang ya?

Wayan

“ Mana ada setan sore-sore begini Gusti?”

Wayan
“ Malam-malam begini?”

Data 03 : Latar Suasana

Si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan. Pasti


ia sudah berbaring di kandangnya menembang seperti
orang kasmaran pura-pura tidak mendengar, padahal aku
sudah berteriak, sampai leherku patah. Wayaaaaan ..
Wayaaaaan tuaaaa..... (Adegan 2 babak 1, suasana menegangkan)

Nah, itu sebabnya kalau belum santap malam.


Apalagi sejak beberapa hari ini Gusti sudah tidak mau minum
jamu lagi, minum sekarang ya? (Adegan 3 babak 1, suasana
perasaan bersalah).

Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi.
Tidak seperti orang-orang lain, Gusti.Gusti telah menyekolahkan
Tiyang sampai kelas dua SMP, dan Gusti sudah banyak
mengeluarkan biaya. (Adegan 3 babak 1, suasana Senang).

Jangan berlagak di sini (Mengacungkan tongkat) Ini bukan


arje roras! Aku sudah bosan dibohongi dengan sulapan palsumu.
Kau pikir aku tak bisa menguasai jarum kecil itu, piih, lakiku
sendiri tak pernah menghina aku demikian ...
(Adegan 3 babak 1, suasana mencekam).

Gusti Biang, tiyang bosan merendahkan diri, dulu tiyang


menghormati Gusti karena usia Gusti lanjut. Tiyang mengikuti
semua apa yang Gusti katakan, apa yang Gusti perintahkan
meskipun tiyang sering tidak setuju. Tetapi Gusti sudah
keterlaluan sekarang. Orang disuruh makan tanah terus-menerus,
Gusti anggap tiyang tak lebih dari cacing tanah. Semutpun kalau
diinjak menggigit, apalagi manusia, Gusti yang seharusnya
agung, luhur, menjadi tauladan tapi seperti ...
(Adegan 3 babak 2, suasana menggambarkan kemarahan).

Sudahlah biar dulu begitu. Semuanya akan selesai nanti.


Saya juga telah bertengkar dengan ibu. Duduklah Bape, bape
jangan ikut pergi. Duduklah bape. Pasti ibu yang salah. Bape
sudah bertahun-tahun di sini, tak baik kalau tiba-tiba pergi,
duduklah bape ... (Adegan 1 babak 4, suasana menggambarkan
ketenangan).
4.2.1.4 Penokohan atau Perwatakan
1) Gusti Biang
Gusti Biang adalah seorang janda yang sombong dan
membanggakan kebangsawannya. Dia juga merupakan tokoh
pemeran utama dalam drama ini, di mana menjadi fokus dari
tokoh-tokoh lainnya dan setiap kali muncul dalam pembicaraan.
Gusti Biang mempunyai watak keras, pemarah, angkuh, dan egois
dan dalam kehidupan sehari-harinya dia selalu marah-marah
terhadap kedua orang yang setia menemaninya. Namun dia juga
telah menuduh hartanya. Dengan sikapnya yang masih
ingin mempertahankan tatanan lama yang menjerat
manusia berdasarkan kasta, membuat dia sombong dan
memandang rendah orang lain. Adapun kutipan dialognya
adalah sebagai berikut.

Gusti Biang

“Tidak, tidak. Aku tahu semua itu. Kalau aku menelan semua obat-obatanmu
itu, aku akan tidur seumur hidupku, dan tidak akan bangun-bangun lagi, lalu
good bye. Lalu kau akan menggelapkan beras ke warung Cina. Kau
selamanya iri hati dan ingin membencanaiku... kalau sampai aku mati karena
racunmu, Wayan akan menyeretmu ke pengadilan”.

Gusti Biang
“Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras, Ngurah harus kawi
dengan orang patut-patut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan
Sanggung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana,
kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai
orang tua seperti itu. Apapun yang terjadi dia harus terus menghargai
martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak
sembarang orang bisa dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-
benar menjaga martabat ini., aku akan malu sekali, kalau dia mengotori
nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan
malu seperti ini. Apa nanti kata Sanggung Rai? Apa nanti kata keluarganya
kepadaku? Tidak, tidak!”

Gusti Biang

“Dia tidak pantas menjadi istrimu! Dia tidak pantas


menjadi menantuku!”

Ngurah

“Kenapa tidak ibu? Siapa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas
dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena drajatnya? Tiyang
tidak pernah merasa derajat Tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau
toh Tiyan dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan Tiyang lebih
hati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa jadi teladan
orang, yang lain omong kosong semua!”
(Gusti Biang Terbelalak dan Mendekat)
“Tiyang sebenarnya pulang meminta restu dari ibu. Tapi karena
Ibu menolaknya karena soal kasta, alasan yang tidak sesuai lagi.
Tiyang akan menerima akibatnya”.
(Gusti Biang Menangis, Ngurah Bergulat Dengan Batinnya)

“Tiyang akan kawin dengan Nyoman. Sekarang


ini soal kebangsawanan jangan di besar besarkan lagi. Ibu
harus menyesuaikan diri, kalau tidak ibu akan ditertawakan
orang. Ibu ...
2) Nyoman
Nyoman adalah seorang gadis desa yang selama kurang lebih 18
tahun mengabdi dan tinggal di puri Gusti Biang. Selama itu
pula, kebutuhan Nyoman tercukupi oleh Gusti Biang, dari
pendidikannya dan kebutuhan sehari-harinya. Nyoman Niti selalu
setia melayani Gusti Biang, dia rela menelan pil pahit akibat sikap
Gusti Biang yang selalu menginjak-injak harga dirinya, hingga dia
tidak tahan dengan sikap Gusti Biang dan pergi dari puri tersebut,
setelah beberapa tahun lamanya memendam rasa penderitaannya
dan menahan amarah Gusti Biang yang selalu terlontarkan
untuknya. Namun, dulu semua itu dia pendam karena Wayan yang
selalu membujuknya untuk tetap tinggal di puri Gusti Biang.
Hingga akhirnya Nyoman Niti pun tak kuasa lagi dan
bergegas meninggalkan mereka dengan beruarai air mata dalam
suasana malam yang sunyi. Adapun kutipan dialognya adalah
sebagai berikut.

Nyoman

“Gusti Biang, ini air daun belimbing, bubur ayam yang sengaja tiyang buatkan
untuk Gusti”.

Nyoman

“Sekarang sudah saatnya Gusti Biang minum obat”.

Nyoman

“Oh ya, baik tiyang tolong dulu Gusti memasukkan benang ke jarumnya”.

Nyoman

“Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi. Tidak seperti
orang-orang lain, Gusti. Gusti telah menyekolahkan tiyang sampai kelas dua SMP,
dan Gusti sudah banyak mengeluarkan biaya. Coba tengok bayangan Gusti di muka
cermin, seperti tiga puluh tahun saja... mau minum obatnya sekarang Gusti?

Nyoman

“Gusti telah menyakiti tiyang lagi. Saya akan pergi sekarang juga”.
Nyoman

“ Cukup! Cukup! (Berlari mengelilingi meja

Nyoman

“Tak tiyang sangka Gusti seberat ini! Tak tiyang sangka. Tiyang akan pergi

ke desa, tak mau meladeni Gusti lagi!”

Nyoman

“Tiyang tidak akan kembali lagi!”

Nyoman
“Memang, saya banyak berhutang budi, dikasih makan, disekolahkan,

dibelikan baju, dimasukkan kursus modes, tapi kalau tiap hari dijadikan

bal-balan, disalah-salahkan terus? Sungguh mati kalau tidak dikuat-

kuatkan, kalau tidak ingat pesan tu Ngurah, sudah dari dulu-dulu sebetulnya”.

Nyoman

“Saya pergi Bape, tidak bisa tahan lagi, saya sudah bosan”.

Nyoman

“Baik, titiyang akan pergi”.

Nyoman

“Tidak usah disuruh Gusti, tiyang memang mau pergi sekarang. Tetapi sebelum
titiyang pergi, tiyang hitung berapa hutang Gusti kepada tiyang”.

Nyoman
“Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak
menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan sudah lama tiyang pergi dari sini.
Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulan-
bulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentenya, pokoknya saja. Hutang
Gusti Biang kepada tiyang, sepuluh juta kali sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati
tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebihi harta benda yang
masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambilah semua itu sebagai tanda bukti yang
terakhir”.

3) Ngurah

Ngurah adalah anak dari Gusti Biang yang sedang menyelesaikan


pendidikannya di salah satu universitas yang ada di pulau Jawa. Gusti Biang selalu
membangga-banggakan anaknya, namun Ngurah lahir bukan dari lelaki bangsawan
yakni Gusti Rai. Tetapi, ia lahir dari buah cinta Gusti Biang dengan Wayan teman
seperjuangan ayahnya. Ngurah adalah kekasih Nyoman. Ia pun begitu mencintai
Nyoman, namun cinta mereka terhalang oleh kasta kedudukan. Begitu pula dengan
kisah cinta Gusti Biang terhadap Wayan yang terhalang oleh kasta. Hingga akhirnya
cinta itu berubah menjadi kemarah-marahan, kesombongan, dan keegoisan Gusti
Biang. Ngurah mempunyai watak yang berbeda dengan ibunya, dia mempunyai
watak yang baik terhadap semua orang, bahkan dia sangat bijaksana terlebih ketika
mengetahui cerita sebenarnya tentang siapa ayah kandungnya sendiri yang ternyata
adalah Wayan, sang pembantu ibunya. Hingga akhirnya Gusti Biang mengijinkan
Ngurah menikah dengan Nyoman dan Gusti Biang sendiri mulai berjanji untuk
menjaga kesetiaannya terhadap wayan hingga ajal memisahkan mereka. Adapun
kutipan dialognya adalah sebagai berikut.
Ngurah
“Ibu.....”
Ngurah
“Tiyang Ngurah, Tiyang datang Ibu...”
Ngurah
“Ya, nanti, nanti kita bicarakan”.
Ngurah
“ Ya, titiyang akan mengawininya”.
Ngurah
“ Kami saling mencintai ibu”.

Wayan
“ Tiyang tahu semuanya, tu Ngurah. Sebab tiyang yang telah mendampinginya
setiap saat dulu. Sejak kecil tiyang sepermainan dengan dia. Seperti tu Ngurang
dengan Nyoman. Tiyang tidak buta huruf seperti disangkanya. Tiyang bisa
membaca dokomen-dokumen dan surat-surat rahasia yang ada di meja kerjanya.
Siapa yang membocorkan gerakan Ciung Wanara di Marga dulu? Nica-nica itu
mengepung Ciung Wanara yang dipimpin oleh pak Rai, menghujani dengan peluru
dari berbagai penjuru, bahkan dibom dari udara sehingga kawan-kawan semua
gugur. Siapa yang bertanggung jawab atas kematian sembilan puluh enam kawan-
kawan yang berjuang habis-habisan itu? Dalam perang puputan itu kita kehilangan
Kapten Sugianyar, kawan-kawan tiyang yang paling baik, bahkan kehilangan pak
Rai sendiri. Dialah yang telah berkhianat, dialah yang telah melaporkan gerakan
itru semua kepada Nica”.

Wayan
“Diam! Diam! Sudah waktunya menerangkan semua ini sekarang.
Dia sudah cukup tua untuk tahu”.
(kepada Ngurah)
“Ngurah, Ngurah mungkin mengira ayah Ngurah yang sejati, sebab
dia suami sah ibu Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia
seorang penjilat, musuh Gerilya. Dia bukan lelaki jantan, dia seorang
wandu. Dia memilki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk
menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugas sebagai
seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi semua
itu menjadi rahasia.. sampai.. Kau lahir, Ngurah, dan menganggap
dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada ibu Ngurah,
dia sebenarnya ayah Ngurah yang sejati”. Ngurah tak percaya dan
menghampiri ibunya yang mulai menangis untuk meminta penjelasan.
Ngurah
“Betulkah semua itu Ibu?”.
Gusti Biang
“Aku tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan mengawinkannya,
(Dengan manja)
Tapi jagan ceritakan lagi tentang yang dulu-dulu aku sangat malu.

Wayan
“Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu Sanggung
Mirah, sampai kita berdua sama-sama mati dan di atas kuburan kita, anak-anak
iti berumah tangga dengan baik Sanggung Mirah...

4) Wayan

Wayan adalah salah seorang abdi Gusti Biang. Ia juga seorang lelaki tua
yang dulu pernah menjadi ajudan dan teman seperjuangan almarhum suami Gusti
Biang yang telah gugur pada saat pertempuran melawan Belanda. Selain itu, Wayan
juga sebagai seorang penengah antara tokoh antagonis dan protagonis dalam
jalannya sebuah cerita yang berperan untuk mendamaikan dalam setiap persoalan.
Wayan sehari-harinya memiliki watak yang baik hati, setia, dan lucu. Dalam drama
Bila Malam Betambah Malam ini Wayan sebagai sosok lelaki tua yang rela menjadi
abdi Gusti Biang karena rasa cintanya kepada Gusti Biang. Namun, ia juga lelaki
yang baik, penyayang, dan selalu membela kebenaran. Bahkan Wayan rela pergi
meninggalkan Gusti Biang akibat persoalan Gusti Biang, Nyoman, Ngurah dan
almarhum suami Gusti Biang. Adapun kutipan dialognya adalah sebagai berikut.

Wayan

“Maksud Gusti, Nyoman?”


Gusti Biang
“Tua bangka, pukul dia sampai mati, putar lehernya. Diam saja seperti kambing!”

Wayan
“ Gusti, Gusti, tidak ada kambing di sini!”

Wayan
“Baik aku akan pergi sekarang. Aku akan menyusul Nyoman. Aku juga bosan di sini
meladeni tingkah lakumu. Tapi sebelum aku pergi aku akan jelaskan tentang
pahlawan gadungan itu. Gusti harus tahu..”
Wayan
“Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya. Seperti cinta Ngurah
kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu
menganggap tiyang gila, pikun, tuli, hidup. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua
itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa
muda yang tak bisa dibeli lagi”.
(Memandang Ngurah dengan lembut. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu dan
kemudian berkata)“Tidak. Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seperti bape
hanya karena perbedaan kasta. Kejarlah perempuan itu, jangan-jangan dia
mendapatkan halangan di jalan. Dia pasti tidak akan berani pulang malam-malam
begini. Mungkin dia bermalam di dauh pala di rumah temannya. Bape akan
mengurus ibumu. Pergilah cepat, kejar dia sebelum terlambat”.

4.2.1.5 Gaya Bahasa

Dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seseorang


menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan
harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh
daya intelektual.

Dalam memaparkan cerita dalam drama “Bila Malam Bertambah Malam”


karya Putu Wijaya menceritakan masalah yang dihadapi Gusti Biang dan Wayan,
Wayan sejak muda sudah jatuh cinta dengan Gusti Biang. Tetapi Gusti Biang
lebih memilih I Gusti Ngurah Ketut Mantri sebagai suaminya.

Data 01 : Sayang sekali Gusti Biang tidak menyuruh Tiyang


yang mengerjakannya. Mestinya, ditengahnya bisa disulam
dengan warna biru muda. Lalu dengan menulis rapih
“Selamat malam kasih, selamat malam pujaan, selamat malam
manis, good night my darling”. (Adegan 3 babak 1).
Setan! Setan! Kau tak boleh berbuat sewenang-wenang
di rumah ini. Berlagak mengatur orang lain yang masih
waras. Apa good, good apa? Good bye! Menyebut
kekasih, manis, kau pikir apa anakku. Wayan akan
menguncimu di dalam gudang tiga hari tiga malam, dan kau
akan meraung seperti si belang. (Adegan 3 babak 1) .

Aduh cantiknya Gusti Biang. Seperti seekor burung merak.


Seperti lima belas tahun yang lalu ketika tiyang masih kecil dan
sering duduk di pangkuan Gusti. Masih ingatkah Gusti?
(Adegan 3 babak 1).

4.2.1.6 Amanat
Amanat merupakan sesuatu yang disampaikan oleh seseorang kepada orang
lain. Amanat ada yang diperlihatkan secara langsung (tersurat) namun juga ada yang
tidak diperlihatkan secara langsung (tersirat). Suatu drama yang baik harus
membawa amanat yang memberikan pelajaran kehidupan sosial yang bermanfaat
bagi penonton. Amanat yang disampaikan oleh Putu Wijaya melalui dramanya yang
berjudul Bila Malam Bertambah Malam yaitu masalah perbedaan kasta seharusnya
tidak lagi menjadi persoalan dalam kehidupan sosial masyarakat di Bali. Pandangan
kaum feudal yang menganggap kaum bangsawan lebih tinggi derajatnya
jikadibandingkan dengan kaum sudra tidak sesuai lagi.

Sebagai mahluk hidup yang bermasyarakat, tentu tidak bisa terlepas dari
makhluk hidup yang lain. Karena kita membutuhkan satu sama lain. Kita harus
bersikap sama antara makhluk yang satu dengan yang lain tanpa membedakan status
sosial. Apabila seseorang menyimpan rahasia, suatu saat pasti akan terungkap hal
yang sebenarannya, dan apabila seseorang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan
dalam melakukan sesuatu maka orang tersebut juga akan mendapatkan balasan yang
baik. Adapun kutipan dialognya adalah sebagai berikut:

Nyoman
“ Sayang sekali Gusti Biang tidak menyuruh Tiyang yang mengerjakannya.
Mestinya, di tengahnya bisa disulam dengan warna biru muda. Lalu dengan
menulis rapih “Selamat malam kasih, selamat malam pujaan, selamat malam
manis, good night my darling”.

Wayan
“ Jangan gampang marah Gusti, itu Cuma angan-angan. Sabarlah. Kalau usia
sudah lanjut, tambahan lagi penyakitan, tak baik marah-marah malam begini!”

Ngurah
“Kenapa tidak ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sanggung Rai lebih pantas
dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena derajatnya? Tiyang tidak pernah merasa
derajat tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian,
itu justru menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik
agar bisa jadi teladan orang yang lain omong kosong semua”.
“Tiyang sebenarnya pulang meminta restu dari ibu. Tapi karena ibu menolaknya
karena soal kasta, alasan yang tidak sesuai lagi. Tiyang akan menerima
akibatnya”. “Tiyang akan kawin dengan Nyoman. Sekarang ini soal
kebangsawanaan jangan dibesar-besarkan lagi. Ibu harus menyesuaikan diri, kalau
tidak ibu akan ditertawakan orang. Ibu...”.

4.3 Pembahasan

Drama Bila Malam Bertambah Malam ini menceritakan seorang janda yang
begitu membanggakan kebangsawanannya. Ia hidup di rumah peninggalan
suaminya. Gusti Biang adalah janda almarhum I Gusti Rai seorang bangsawan yang
dulu sangat dihormati karena dianggap pahlawan kemerdekaan. Gusti Biang hanya
tinggal bersama dengan Wayan, seorang lelaki tua yang merupakan kawan
seperjuangan I Gusti Ngurah Rai dan Nyoman Niti, seorang gadis desa yang selama
kurang lebih 18 tahun tinggal di purinya. Sementara putra semata wayangnya Ratu
Ngurah telah lima tahun meninggalkannya karena sedang menuntut ilmu di pulau
Jawa.
Sikap Gusti Biang yang masih ingin mempertahankan tatanan lama yang
menjerat manusia berdasarkan kasta, membuatnya sombong dan memandang rendah
orang lain. Nyoman Niti yang selalu setia melayani Gusti Biang, harus rela menelan
pil pahit akibat sikap Gusti Biang yang menginjak-injak harga dirinya. Nyoman Niti
sebenarnya ingin meninggalkan puri itu karena ia sudah tidak sanggup menahan
radang kemarahan terhadap Gusti Biang. Namun, niatnya selalu urung manakala
Wayan yang selalu baik, menghiburnya dan membujuknya untuk bersabar dan tetap
setia menjaga Gusti Biang demi cintanya pada Ratu Ngurah. Nyoman Niti tak kuasa
lagi menahan emosi yang bertahun-tahun ia pendam manakala Gusti Biang benar-
benar menindasnya. Gusti Biang menuduh Nyoman akan meracuninya dengan obat-
obatan. Akhirnya Nyoman Niti pun bergegas meninggalkan puri itu. Wayan pun
mencoba menahan kepergiannya tapi alangkah terkejutnya Nyoman ketika Gusti
Biang membacakan hutang alias biaya yang dikeluarkannya membiayai Nyoman
selama kurang lebih 18 tahun. Nyoman tidak menyangka Gusti Biang setega itu
padanya hingga akhirnya Nyoman pergi dengan berurai air mata dalam suasana
malam yang sunyi. Wayanpun akhirnya juga diusir oleh Gusti Biang setelah
bertengkar sengit tentang persoalan Nyoman dan Ratu Ngurah; dan suami Gusti
Biang. Setelah kejadian itu, Ratu Ngurah datang dan bertengkar dengan Gusti Biang
begitu mengetahui Nyoman telah pergi.
Konflik semakin tajam mengenai persoalan bedil. Ngurah dan Gusti Biang
meminta Wayan mengembalikan bedil yang akan dibawanya pergi, karena bedil itu
adalah peluru yang bersarang di tubuh Gusti Ngurah. Wayan akhirnya
mengungkapkan bahwa dialah yang menembak Gusti Ngurah yang menjadi
pengkhianat. Wayan juga mengemukakan kenyataan bahwa dialah ayah kandung
Ratu Ngurah. Wayanlah yang selalu memenuhi tugas sebagai suami bagi istri-istri I
Gusti Ngurah Ketut Mantri yang berjumlah lima belas karena Gusti Ngurah seorang
wandu. Wayan pun menyuruh Ngurah pergi mengejar cintanya yaitu Nyoman Niti.
Ia juga mengingatkan cinta yang tak sampai antara dirinya dan Gusti Biang hanya
karena perbedaan kasta yang membuat keduanya begitu menderita. Hubungan Ratu
Ngurah dan Nyoman akhirnya direstui oleh Gusti Biang.
BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Pada naskah drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya ini,
tokoh antagonis adalah sebagai pusat jalannya sebuah cerita yang mana Gusti Biang
sang tokoh utama selalu muncul dalam setiap peristiwa dan pembicaraan. Namun,
ada pula tokoh protagonis yaitu Nyoman juga sebagai tokoh utama yang mana
selalu muncul pula dalam setiap pembicaraan sekaligus sebagai lawan jalannya
sebuah konflik antar kedua tokoh tersebut, Gusti Biang yang selalu membanggakan
kebangsawanan dan kesombongannya mampu mempertahankan kesabaran Nyoman
selama beberapa tahun, hingga akhirnya Nyoman tak kuasa dan pergi akibat
kesombongan dan injakan-injakan dari sang majikan. Selain kedua tokoh tersebut,
ada pula tokoh tritagonis yang terlibat peran untuk mendamaikan antar kedua tokoh
antagonis dan protagonis melalui sebuah tutur kata dan perbuatannya yang selalu
mendinginkan sebuah persoalan. Putu Wijaya telah berhasil menyusun alur drama
dengan sangat rapi, sehingga para pembaca sangat mudah untuk dapat memahami
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada drama Bila Malam Bertambah Malam.

Naskah drama Bila Malam Bertambah Malam memiliki banyak kaitannya


dengan kedudukan manusia. Naskah drama ini menceritakan tentang cinta yang
terhalang oleh perbedaan kasta. Pendekatan pragmatik digunakan menganalisis
naskah drama Bila Malam Bertambah Malam ini untuk menemukan hal yang
didapat oleh pembaca. Melalui pendekatan pragmatik yang digunakan, dapat
diketahui bahwa hal yang disampaikan kepada pembaca ialah bahwa kedudukan
manusia adalah sama, bagaimana semestinya berperilaku kepada sesama manusia
dan bahwa seorang yang dianggap terhormatpun tak luput dari kesalahan serta nilai-
nilai yang ada di masyarakat.

Konteks soaial adalah seorang istri yang harus patuh dan berbakti kepada suami,
usia pernikahan muda banyak menimbulkan masalah dan keributan yang dapat
mengganggu tetangga. Sementara konteks budaya yang terkandung antara lain
tradisi melamar dan larangan melangkahi kakak perempuan dalam pernikahan.
Semua konteks itu dapat kita jumpai penerapannya di masyarakat. selain konteks
sosial budaya kemasyarakatan, teks drama ini juga memuat berbagai nilai-nilai
seperti nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, nilai religi, nilai psikologis dan nilai
didaktis yang dapat diambil sebagai suatu hikmah dari teks drama “ Pelangi” ini.

5.2 SARAN
Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai hasil interaksi pengarang
dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif, sedangkan psikologi sastra
memandang sastra sebagai rekaman keistimewaan individu, sebagai kesadaran
personal. Karena itulah, aspek-aspek psikologi bermanfaat bagi sosiologi sastra
apabila memiliki nilai-nilai historis yang berhubungan dengan aspek-aspek
kemanusiaan secara keseluruhan.
Pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter
sastra dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau
potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret,
terjadi disekeliling kita, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar
terdiri dari kenyataan sosial. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk
menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan,
untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan
pengukuran terhadap aspek tertentu.
Dokumen dalam metode penelitian ini mempunyai sifat tidak terbatas pada ruang
dan waktu sehingga memberi peluang pada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang
pernah terjadi di waktu silam.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulgopuroke.blogspot.com,2019/01

Abrams, M.H.1971.The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical
Tradition. Oxford University Press.

Agung Nugroho.M.Pd.2014 Powerpoint

Ajip Rosidi, Jakarta 1964. Memuat Karangan-karangan tentang sastra dan


penelaahan sastra Indonesia.

Aminudin.2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru Algensindo.

Amrijn Pane, Kort Overzicht van de Moderne Indonesische Literature, Jakarta 1950.
Suatu pandangan sisngkat tentang perkembangan sastra Indonesia
Modern. 55 kaca.

Badrun, Ahmad.1983. Pengantar Ilmu Sastra.Surabaya: Usaha Nasional.

Daiches, David. 1956. cristal Approaches to Literature. Longman Group Limited:


London.

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.


Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory. Basil Blackwell: Oxford.

Endaswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: Medpress.

Elyusra. 1998. Bahan Perkuliahan Teori Sastra. Universitas Muhammadiyah


Bengkulu.

Esten, Mursal. 1987. Teori Sastra Bandung: Angkasa Raya.

Faruk HT. 1988. Epistemologi Sastra dan Strukturalisme Genetik. Yogyakarta:


Lukman Offset.

Giddens, Anthony. 1993. Sociology. Edisi keempat. Cambridge: Polity Press.


Goldmann, Lucien. 1970. “The Sociology of Literature: Status and Problems of
Method”, dalam Milton C. Albrecht (dkk., ed.). The Sociology of Art
and Literature: a Reader. Praeger Publications: New York and
Washington, h. 582-609.

---------. 1973. “Genetic Structuralism in Sociology of Literature”, dalam Elizabeth


dan Tom Burns (ed.). ibid, h. 109-123.

---------.1977. The Hiddens God: a Study Tragic Vision in the Pensees of Pascal
and the Tragedies of Racine. Rout Ledge & Kegan Paul: London dan
Henley.

---------.1978. Towads a Sociology of The Novel. Travistock Publications: London.

Guntur Tarigan, Henry. 1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa

Hauser, Arnold. 1985. The Sociology of Art. The University of Chicago Press:
Chicago dan London.

http://barisankatakata.blogspot.com/2012/04/bila-malam-bertambah-malam.html

http://carapedia.com/pengertian_definisi_drama_info2085.html

http://kamus-sunda.com/res-177247-1-1-latar-belakangkarya-sastra-pada.html

http://othersidemiku.wordpress.com

http://pangapora07.blogspot.com/2008/06/pendekatan-struktural-dalam-
penelitian.html

http://siti-lailatus.blogspot.co.id/2012/12/analisis-naskah-drama-bila-malam.html

http://viasweetromantic.blogspot.com/2011/04/jenis-jenis-wacana.html

http://www.lepank.com/2012/08/pengertian-drama-menurut-beberapa-ahli.html

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia.

Moleong. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosda


Karya.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santosa, Wijaya Heru. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma
Pustaka.

Soelarto, B. 1985. Lima Drama.Yogyakarta: Gunung Agung

Ritzer, george, 1975. Sociology: A Multiple Paradigm Science, Boston: Allyn and
Bacon, Inc.

Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Veronika Ayu Sekarmayang. 2012 online.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1962. Theory of Literature. A. Harvest

Book Harcourt, Brace dan World, Inc: New York.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1968. Theory of Literature. New

York: Harcourt dan World.

Wiyanto, Asul. 2007. Terampil Bermain Drama.Jakarta: PT. Erasindo.

Wolff, Janet, 1975. Hermeneutic Philosophy and the Sociology of Art. London and
Boston: Routledge and Kegan Paul.

www.miung.com > pendidikan

Anda mungkin juga menyukai