SKRIPSI
OLEH :
AJENG SUKMAWATI
NPM : 120401080004
2019
NASKAH DRAMA BILA MALAM BERTAMBAH MALAM
SKRIPSI
Diajukan
Kepada Universitas Kanjuruhan Malang
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata satu (S1)
Pendididikan Bahasa dan Sastra Indonesia
OLEH :
Ajeng Sukmawati
120401080004
2019
HALAMAN PERSETUJUAN JUDUL SKRIPSI
NPM : 120401080004
Suryantoro, M.Pd
NIK. 298801263
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Dosen Pembimbing 1
NIP. 290401175
Dosen Pembimbing II
Suryantoro, M.Pd
NIP. 298801263
LEMBAR PENGESAHAN
Penguji Utama :
Prof.Dr.Soedjijono,M.Hum Ketua
NIK. 290901227
Penguji I,
NPM : 120401080004
Pembimbing 1: Drs.Darmanto,M.Pd
Drs.Darmanto,M.Pd
NIP.290401175
BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI
NPM : 120401080004
Pembimbing II : Suryantoro,M.Pd
Suryantoro, M.Pd
NIP.29880126
PERNYATAAN
NPM : 120401080004
1). Skripsi ini adalah benar-benar hasil karya mandiri dan bukan merupakan
hasil plagiasi (jiplakan) atas karya orang lain.
2). Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini
sebagai hasil plagiasi, saya akan bersedia menanggung segala konsekuensi
hukum yang terjadi.
Yang Menyatakan,
AJENG SUKMAWATI
NPM. 120401080004
MOTTO
1. Bapak dan Ibuku, yang telah memberikan dukungan moril maupun materi
serta do’a yang tiada henti untuk kesuksesanku.
2. Suami dan anakku tercinta yang selalu mendukung setiap aktifitasku.
3. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas
Kanjuruhan Malang yang selama ini telah tulus dan ikhlas meluangkan
waktunya untuk menuntun dan mengarahkan saya, memberikan bimbingan
dan pelajaran yang tiada ternilai harganya, agar saya menjadi lebih baik.
4. Teman-teman saya seperjuangan yang selalu memberi semangat.
5. Almamater tercinta Universitas Kanjuruhan Malang.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah yang telah meridhoi dan senantiasa
memberikan petunjuk kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Pada
kesempatan ini pula saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi selama belajar di Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang, diantaranya
kepada :
Yang Menyatakan,
AJENG SUKMAWATI
NPM. 120401080004
ABSTRAK
Ajeng Sukmawati, 2012. Naskah Drama Bila Malam Bertambah Malam karya
Putu Wijaya (Kajian Dengan Pendekatan Sosiologis). Skripsi, Program
Studi S1 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang.
Pembimbing 1: Drs. Darmanto, M.Pd
Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (Socius berarti bersama-
sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan,
perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna,
soio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu
menganai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang
mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat,
sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti
mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Jadi sastra berarti
kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik.
Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian,
yaitu kesusastraan artinya kumpulan hasil karya yang baik.
(1) Bagaimana Tema pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu
Wijaya ?;(2) Bagaimana Alur atau Plot pada drama Bila Malam Bertambah Malam
karya Putu Wijaya ?;(3) Bagaimana Latar atau Setting pada drama Bila Malam
Bertambah Malam karya Putu Wijaya ?;(4) Bagaimana Penokohan atau
Perwatakan pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya?;(5)
Bagaimana Gaya bahasa pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu
Wijaya ?.(6) Bagaimana Amanat pada drama Bila Malam Bertambah Malam karya
Putu Wijaya?
Gusti Biang hanya tinggal bersama dengan Wayan, seorang lelaki tua yang
merupakan kawan seperjuangan I Gusti Ngurah Rai dan Nyoman Niti, seorang gadis
desa yang selama kurang lebih 18 tahun tinggal di purinya. Sementara putra semata
wayangnya Ratu Ngurah telah lima tahun meninggalkannya karena sedang
menuntut ilmu di pulau Jawa. Sikap Gusti Biang yang masih ingin mempertahankan
tatanan lama yang menjerat manusia berdasarkan kasta, membuatnya sombong dan
memandang rendah orang lain. Nyoman Niti yang selalu setia melayani Gusti
Biang, harus rela menelan pil pahit akibat sikap Gusti Biang yang menginjak-injak
harga dirinya.
DAFTAR ISI
JUDUL……………..………………………………………………………...i
HALAMAN PERSETUJUAN JUDUL SKRIPSI……………………….....ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………….iii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………iv
BERITA ACARA PEMBIMBING 1……………………………………….v
BERITA ACARA PEMBIMBING 2……………………………………….vi
PERNYATAAN PERTANGGUNG JAWABAN SKRIPSI………………...vii
HALAMAN MOTTO………………………………………………………..viii
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………....ix
KATA PENGANTAR………………………………………………………...x
HALAMAN ABSTRAK……………………………………………………..xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………….xii
BAB 1 PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Ritzer, george, 1975. Sociology: A Multiple Paradigm Science, Boston: Allyn and Bacon, Inc
Fakta sosial dianggap sebagai pokok persoalan sosiologi oleh paradigma
yang ketiga adalah perilaku manusia sebagai subjek yang nyata, individual. Teladan
dari paradigma ini adalah Skinner. Adapun metode yang disukai adalah metode
ekspresi-mental seperti yang biasa digunakan dalam psikologi.
Ketiga paradigma di atas pun sesungguhnya tidak menjelaskan sepenuhnya
kompleksitas sosiologi. Persaingan dalam sosiologi yang tidak kurang
fundamentalnya juga terjadi antar teori, misalnya persaingan antara teori konflik.
Marxis dengan teori struktural-fungsional personian. Keduanya tampak membangun
tradisinya sendiri-sendiri, komunitas akademiknya sendiri, meskipun secara
paradigmatik terhimpun dalam suatu paradigma yang sama.
Kompleksitas yang demikianlah yang mempersempit kemungkinan
terbentuknya sosiologi sastra yang dapat dikatakan general seperti cenderung
diinginkan oleh Swingewood di atas. Wolf (1975) mengatakan bahwa sosiologi
kesenian dan kesusastraan merupakan suatu disiplin yang tanpa bentuk, tidak
terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai
percobaan pada teori yang agak lebih general. Maka, ada sosiologi sastra yang
mungkin menyelidiki dasar sosial kepengarangan seperti yang dilakukan Laurenson,
ada sosiologi tentang produksi dan distribusi karya kesusastraan seperti yang
dilakukan Escarpit, kesusastraan dalam masyarakat primitif seperti yang dilakukan
oleh Radin dan Leach, hubungan antara nilai-nilai yang diekspresikan karya seni
dengan masyarakat seperti yang dilakukan oleh Albrecht, serta data historis yang
berhubungan dengan kesusastraan dan masyarakat seperti yang dilakukan oleh
Goldmann, Lowenthal, Watt, dan Webb.
Sapardi Djoko Damono (1978) mengemukakan beberapa pendapat mengenai
aneka ragam pendekatan terhadap karya sastra seperti yang dikemukakan Wolf di
atas. Dari Wellek dan Werren ia menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang
berbeda dengan sosiologi sastra, yaitu sosiologi yang pengarang memasalahkan
status sosial, ideology sosial dan lain-lain yang
Wolff, Janet, 1975. Hermeneutic Philosophy and the Sociology of Art. London and
Boston: Routledge and Kegan Paul.
menyangkut pengarang sebagai hasil karya sastra; sosiologi karya sastra yang
memasalahkan karya sastra itu sendiri; dan sosiologi sastra yang memasalahkan
pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
Dari Ian Watt, Sapardi juga menemukan tiga macam pendekatan yang
berbeda. Pertama konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi
sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Hal-
hal utama yang harus diteliti dalam pendekatan ini adalah: (a) bagaimana pengarang
mendapatkan mata pencahariannya; (b) sejauhmana pengarang menganggap
pekerjaannya sebagai suatu profesi; dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh
pengarang. Kedua sastra sebagai cermin masyarakat. Hal-hal utama yang mendapat
perhatian adalah: (a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu
karya sastra itu ditulis; (b) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi
gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya; (c) sejauh mana genre sastra
yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat. Ketiga
fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian: (a)
sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya; (b) sejauh
mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja; dan (c) sejauh mana terjadi
sintesis antara kemungkinan (a) dan (b) di atas. Di dalam sastra ada sebuah
hubungan yang sangat erat antara apresiasi, kajian dan kritik sastra karena ketiganya
merupakan tanggapan terhadap karya sastra.
Secara etimologi dapat dikatakan tidak mungkin untuk membangun suatu
sosiologi sastra general yang meliputi seluruh pendekatan yang dikemukakan itu.
Konsep mengenai masyarakat saja telah berbeda antara pendekatan yang satu
dengan pendekatan yang lain, belum lagi konsep mengenai sastra itu sendiri. Oleh
karena itu, sosiologi sastra dari pendekatan yang dianggap menonjol dan
mempunyai tradisi yang kuat, yaitu marxis.
Dibandingkan dengan teori-teori sosial yang lain, teori sosial marxis
memduduki posisi yang dominan dalam segala diskusi mengenai sosiologi sastra
(John Hall, 1979). Sekurangnya terdapat tiga faktor yang menyebabkan hal itu.
Pertama, Marx sendiri mulanya adalah seorang sastrawan sehingga teorinya tidak
hanya memberikan perhatian khusus pada kesusastraan, melainkan bahkan
dipengaruhi oleh pandangan dunia romantik dalam kesusastraan (Wessel, Jr, 1979).
Kedua, teori sosial Marx tidak hanya merupakan teori netral, melainkan
mengandung pula ideology yang pencapaianya terus-menerus diusahakan oleh para
penganutnya.
Ketiga, di dalam teori sosial Marx terbangun suatu totalitas kehidupan sosial secara
integral dan sistematik yang di dalamnya kesusastraan ditempatkan sebagai salah
satu lembaga sosial lainnya seperti ilmu pengetahuan, agama, politik, dan
sebagainya, sebab semua tergolong dalam satu kategori sosial, yaitu sebagai
aktivitas mental yang di pertentangkan dengan aktivitas material manusia. Menurut
Marx, manusia harus hidup lebih dahulu sebelum dapat berpikir. Bagaimana mereka
berpikir dan apa yang mereka pikirkan bertalian erat dengan bagaimana mereka
hidup karena apa yang diekspresikan manusia dan cara pengekspresiannya
tergantung pada apa dan bagaimana mereka hidup. Satu kesalahan untuk
menganggap kesadaran sebagai sesuatu yang selalu dimiliki manusia dengan
berbagai bunga-bunganya dan bahwa manusia secara intelektual mampu
menemukan kondisi-kondisi kehidupannya. Kesadaran, seperti manusia,
berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupannya. Pemikiran dan gagasan
berkembang bersama-sama dengan aktivitas dan kehidupan manusia. Aktivitas
intelektual manusia tampak terpisah dari aktivitas praktis manusia hanya bila
pembagian kerja sudah berkembang cukup jauh sehingga terbuka kemungkinan
baginya untuk hanya menjadi pemikir, sebab kebutuhan fisik-praktisnya diurus oleh
orang lain.
Marx percaya bahwa struktur sosial suatu masyarakat, juga struktur
lembaga-lembaganya, moralitasnya, agamanya, dan kesusastraannya, terutama
sekali ditentukan oleh kondisi-kondisi produktif kehidupan masyarakat itu. Dengan
demikian, ia membagi masyarakat menjadi infrastruktur atau dasar ekonomi dan
superstruktur yang dibangun di atasnya.
Dalam model Marx dasar ekonomik terdiri dari alat-alat, cara-cara, dan
hubungan-hubungan produksi. Alat-alat produksi dapat disamakan dengan bahan-
bahan yang tersedia bagi proses produksi, cara-cara produksi dengan teknik-teknik
yang ada, dan hubungan produksi dengan tipe pemilihan yang merata bersama-sama
dengan pembagian sosial antara pemilik alat-alat produksi dengan pekerja yang
muncul bersamaan dengannya dalam suatu masyarakat kelas.
Karena proses produktif itu bukan merupakan sesuatu yang statis, melainkan
dinamik, struktur-struktur hubungan sosial di atas pun dapat berkembang dan dan
berkonflik satu sama lain, menghasilkan ketegangan-ketegangan yang dapat
dipecahkan hanya dengan menggantikannya dengan ketegangan-ketegangan baru.
Bagi Marx, sejarah manusia merupakan hasil dari perkembangan yang semacam itu
masyarakat komunal primitif membuka jalan bagi masyarakt perbudakan yang pada
gilirannya berkembang menjadi feodalisme yang juga membuka jalan bagi
munculnya kapitalisme.
Saat pembaca sudah mampu mengapresiasi sastra, pembaca mempunyai
kesempatan untuk mengkaji sastra.namun, hal ini tak sekadar mengkaji. Karena
mengkaji telah menuntut adanya keilmiahan, yaitu adanya teori atau pengetahuan
yang dimiliki tentang sebuah karya. Saat Apresiasi merupakan tindakan mengkaji
karya sastra, maka mengkaji ialah tindakan menganalisis yang membutuhkan ilmu
atau teori yang melandasinya tentang penjelasan mengkaji seperti yang diungkapkan
oleh Aminudin (1995:39) kajian sastra adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur
dan hubungan antar unsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan,
teori, dan cara kerja tertentu.
1.2 Masalah
1.2.1 Rentagan Masalah
Masalah yang berkaitan dengan penelitian menggunakan pendekatan sosiologis ini
cukup luas. Dari keluasan masalah ini hal-hal utama yang harus diteliti dalam
pendekatan ini adalah: (a) bagaimana mendapatkan mata pencahariannya; (b) sejauh
mana menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi; dan (c) masyarakat apa yang
dituju. Kedua sastra sebagai cermin masyarakat. Hal-hal utama yang mendapat
perhatian adalah: (a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu
karya sastra itu ditulis; (b) sejauh mana sifat pribadi mempengaruhi gambaran
masyarakat yang ingin disampaikannya; (c) sejauh mana genre sastra yang
digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat. Ketiga fungsi
sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian: (a) sejauh
mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya; (b) sejauh mana
sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja; dan (c) sejauh mana terjadi sintesis
antara kemungkinan (a) dan (b) di atas.
Dengan adanya kajian drama inilah, peminat sastra melakukan analisis yaitu
membedah karya-karya yang dibacanya. Sehingga unsur-unsur yang menyusun
drama tersebut dapat diketahui. Juga rangkaian hikmah yang ada di dalamnya.
Kajian sastra memiliki berbagai pendekatan. Pendekatan-pendekatan itu ialah
Objektif (struktural dan struktural semiotik), mimesis (sosiologi sastra), ekspresif
(hermeuneutik), pragmatik (resepsi sastra & intertekstual), posmodernisme
(dekonstruksi, poskolonial, studi kultural, dan feminisme).
1.2.2 Pembatasan Masalah
Melihat keluasan masalah sebagai mana diuraikan pada rentangan masalah,
maka penelitian yang berjudul “Naskah Drama Bila Malam Bertambah Malam
karya Putu Wijaya (Kajian Dengan Pendekatan Sosiologis)” ini perlu dibatasi.
Penelitian ini dibatasi pada masalah aspek-aspek psikologis dapat dimanfaatkan
baik terhadap aspek intrinsik maupun ekstrinsik seperti dalam analisis Tema, Alur
atau plot, penokohan atau perwatakan, latar atau setting, konflik, amanat, Gaya
bahasa.
PENOLONG/ SUBJEK PENENTANG/
PEMBANTU PENGHAMBAT
TRANSFORMASI
SITUASI Tahap Uji Tahap SITUASI
AWAL Kecakapan Tahap Utama Keberhasilan AKHIR
- Dalam situasi awal, cerita diawali dengan munculnya pernyataan adanya keinginan
untuk mendapatkan sesuatu. Di sini ada panggilan, perintah, atau persetujuan.
- Dalam transformasi terdapat tiga tahap, yaitu:
a. Tahap kecakapan (adanya keberangkatan subjek, munculnya penentang dan
penolong, dan jika pahlawan tidak mampu mengatasi tantangan akan di
diskualifikasi sebagai pahlawan),
b. Tahap utama (adanya pergeseran ruang dan waktu, dalam arti pahlawan telah
mengatasi tantangan dan melakukan perjalanan kembali).
c. Tahap kegemilangan atau keberhasilan (kedatangan pahlawan, eksisnya
pahlawan asli, terbongkarnya tabir pahlawan palsu, hukuman bagi pahlawan
palsu, dan jasi bagi pahlawan sejati).
- Dalam situasi akhir objek telah diperoleh dan diterima oleh penerima
keseimbangan telah terjadi, berakhirnya suatu keinginan terhadap sesuatu, dan
berakhirlah sudah cerita.
Dua skema aktan dan model fungsional yang diajukan oleh Greimas
memiliki hubungan kausalitas: hubungan antaraktan ditentukan oleh fungsi-fungsi
dalam membangun struktur cerita.
2.1.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981:20), adalah orang-orang
yang ditampilkan dalam suatukarya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang di
ekpresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tidakan.
Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam cerita.
Tokoh pada umumnya berwujud manusia, meskipun dapat juga berwujud binatang,
atau benda yang diinsankan. Tetapi harus disadari pula bahwa tokoh di dalam cerita
rekaan tidak sama persis dengan manusia pada dunia nyata. Tokoh cerita rekaan
tidak sepenuhnya bebas. Ia merupakan bagian dari suatu keutuhan artistik, yaitu
karya sastra.
Pembagian tokoh berdasarkan fungsinya, yaitu:
2.1.2..1 Tokoh Sentral
Tokoh sentral ini dibagi menjadi 3, yaitu:
(1) Tokoh Utama/Protagonis
Tokoh utama/protagonis yaitu tokoh yang memegang peran pimpinan.
Ia menjadi pusat sorotan dalam cerita. Kriteria penentuan tokoh utama:
a. Intensitas keterlibatan tokoh itu dalam peristiwa-peristiwa yang membangun
cerita.
b. Hubungan antar tokoh
(2) Tokoh Antagonis (tokoh penentang protagonis)
(3) Tokoh Wirawan/Wirawati dan Antiwirawan
2.1.3 Latar
Menurut Corvin (dalam Bachmid, 1990:30-32) ruang dalam teks drama
dapat dibedakan ke dalam ruang yang terlihat (yang teraktualisasikan) dan ruang
yang tidak terlihat (yang mungkin diaktualisasikan), ruang yang bersifat fungsional,
dan ruang yang bernilai metaforis. Ruang yang terlihat adalah ruang tempat para
tokoh berlaku dan tempat cerita berlangsug. Sementara itu, ruang yang tidak terlihat
dapat dikelompokkanlagi ke dalam (1) ruang tak terlihat di balik panggung (yang
berfungsi memberi kesan nyata pada lakuan terdapat pada kramagung), (2) ruang
dekat (ruang yang kemudian akan di aktualisasikan oleh tokoh petunjuk: tokoh
menyebut tempat yang akan di kunjungi), dan (3) ruang jauh (mengacu pada masa
lampau atau pada dunia yang tidak nyata, misalnya dunia mimpi. Ruang yang
bersifat fungsional tampak apabila menjadi latar cerita atau penunjang laku seorang
tokoh. Terakhir, ruang yang bernilai metaforis akan muncul apabila pada teks drama
atau pementasannya mengingatkan pembaca atau penonton untuk mengingat ruang
lain di luar cerita sehingga dapat memunculkan interpretasi psikologis, metafisis,
atau politik.
2.1.4 Perlengkapan
Perlengkapan berkaitan dengan jenis-jenis benda dalam teks drama atau teater.
Perlengkapan juga tunduk pada konvensi seperti unsur yang telah kita sebutkan.
Perlengkapan merupakan unsur khas drama atau teater, yang dapat berupa
objek atau benda-banda yang diperlukan sebagai pelengkap cerita, seperti
perlengkapan tokoh, kostum, dan perlengkapan panggung. Perlengkapan (dalam
kramagung dan wawancang) selalu sesuai dengan keperluan cerita. Menurut
Ubersfeld (dalam Bachmid, 1990:32) membedakan benda-benda teaterberdasarkan
fungsinya, yaitu (1) sekedar melengkapi lakuan (pistol, pedang, dsb.), (2) bersifat
referensial (misalnya, ruang tamu yang menunjukkan status sosial pemiliknya),dan
(3) bersifat metaforis atau retoris (melambangkan realitas tertentu, psikolosis, atau
sosiokultural).
2.1.5 Bahasa
Bahasa dalam drama konvensional juga tunduk pada konvensi stilistika. Misalnya,
para tokoh melakukan dialog dengan menggunakan ragam bahasa yang sesuai
dengan lingkungan sosial mereka serta watak mereka. Selain itu, seorang tokoh
berkomunikasi dengan tokoh lainnya untuk menyampaikan suatu amananat.
Kemudian, diantara mereka diharapkan terjadi dialog yang bermakna sehingga
menyebabkan cerita berkembang.
b. Politik Bersastra
Politik, oleh Ariel, didefinisikan sebagai seluk-beluk pembagian dan
penyelenggaraan kekuasaan dalam suatu struktur kegiatan sosial. Dalam hal politik
kesusastraan ia menganggap penting pemberian perhatian terhadap kaitan dan
pertentangan antara berbagai kepentingan lembaga, kelompok, maupun individu,
yang terlibat langsung dalam proses produksi, reproduksi, distribusi, dan konsumsi
sastra.
Menurut Ariel, secara struktur politik kesusastraan Indonesia mutakhir
mengidap pertentangan di antara kepentingan yang diresmikan, sebagai
kesusastraan yang dominan, berhadapan dengan berbagai kesusastraan lain yang
didominasi atau bersaing dengannya.
2.4.1 Sosiologi sebagai cara pandang
Langkah pertama yang mutlak diperlukan untuk memahami pengertian
sosiologi adalah melihat posisi dasarnya sebagai sebuah ilmu, sebagai sebuah cara
pemahaman ilmiah. Didalam buku sejarah sosiologi selalu dikatakan bahwa ilmu
tersebut ditemukan dan dibangun untuk pertama kalinya oleh Auguste Comte pada
pertengahan abad XIX (Lihat antara lain Duverger, 1981).
Comte mencoba menerapkan cara kerja dalam ilmu alam untuk memahami
masyarakat. karena itu, pada mulanya ia menyebut sosiologi sebagai fisika sosial.
Bila ilmu-ilmu alam mempelajari sesuatu yang berada diluar diri manusia,
yaitu alam, sosiologi menjadikan manusia itu sendiri. Namun, manusia yang
dipelajari oleh sosiologi bukanlah manusia sebagai makhluk biologisyang dibangun
dan diprises oleh kekuatan-kekuatan dan mekanisme-mekanismfisik-kimiawi, bukan
manusia sebagai individu yang sepenuhnya mandiri, melainkanmanusia sebagai
individu yang terkait individu lain, manusia yang hidup dalam lingkungan dan
berada diantara manusia-manusia lain, manusia sebagai sebuah kolektivitas, baik
yang disebut dengan komunitas maupun sosietas. Karena itu kehidupan manusia
yang dipelajari oleh sosiologi dapat menjadi amat luas, kompleks, berlapis-lapis:
dari segala denyut kehidupan sosial manusia yang tampak secara langsung sampai
dengan susunan atau pertalian-pertalian sosial yanglebih luas, umum, dan abstrak.
Dengan keluasan dan kompleksitas objek yang demikiantidaklah mengherankan jika
sejak masa awal kelahiran dan perkembangannya, seperti yang terpapar pada
beberapa teori klasiknya (Johnson, 1986), sosiologi sudah memperlihatkan tiga
kecenderungan yang berbeda, tiga orientasi yang berbeda dalam mendekati manusia
sebagai makhluk sosial di atas. Ketiga kecenderungan tersebut kemudian
membentuk semacam mazhab atau apa yang kemudian disebut oleh George Ritzer
(1975) sebagai paradigma.
Ada paradigma fakta sosial sebagaimana yang dipelopori dan sekaligus diwakili
oleh Emile Durkheim, paradigma definisi sosial sebagaimana yang diwakili dan
sekaligus dipelopori oleh Max Weber, dan paradigma perilaku sosial sebagaimana
yang dipelopori dan diwakili oleh B.F.Skinner.
Durkheim mencoba melepaskan sosiologi sebagai aktivitas ilmiah dari filsafat yang
menurutnya masih membelenggu Comte dan juga Spencer.Bila kedua pendahulunya
itu dipandang memahami masyarakat yang menjadi objek sosiologi sebagai hasil
refleksi dari pemikiran mereka sendiri, Durkheim menempatkan masyarakatsebagai
“benda lain” yang ada di luar pemikir atau sosiolognya, suatu fakta sosial. Weber
beranggapan, studi mengenai instusi-institusi sosial tidak dapat hanya dilakukan dari
luar, dilepaskan dari aneka tindakan sosial yang dilakukanoleh subjek, dari subjek-
subjek yang bertindak dan memberi makna terhadap institusi-institusi sosial itu.
Dengan demikian, yang segera menjadi penting dalam teori Weber ini adalah usaha
memahami motif-motif dan tindakan. Motif-motif tindakan itu dapatdiketahui
dengan metode “pemahaman interpretatif”, antara lain dalam bentuk empatiyaitu
usaha peneliti menghayati pengalaman subjek-subjek yang diteliti.
Ada tindakan yang motifnya mudah dipahami, misalnya tindakan yang irasional,
yang terarah pada usaha mencapai tujuan dengan cara seefisian mungkin, dan ada
pula tindakan yang lebih sulit dipahami, yaitu tindakan irasional.
Dari sosiologi tindakan diatas, Weber, menurut Ritzer bergerak ke level yang lebih
makro, yaitu hubungan-hubungan sosial yang didefinisikan sebagai “perilaku suatu
pluralitas aktor-aktor sejauh, dalam tindakan bermaknanya, dan dalam hal ini
tindakan masing-masing aktor-aktor lain dan diorientasikan dalam kerangka
tindakan aktor-aktor lain itu”.
Skinner cenderung menganggap kedua paradigma yang terdahulu itu, terutama
paradigma yang kedua, sebagai usaha-usaha pemahaman yang mistis. Menurut
Ritzer, sosiologi perilaku sosial sebagaimana yang dipelopori oleh Skinner di atas,
memahami masyarakat sebagai hubungan-hubungan interaksional yang dibingkai
oleh mekanisme stimulant dan respons. Kata kuncinya adalah reinforcement,
rangsangan-rangsangan yang mengkondisikan perilaku.Rangsangan-rangsangan itu
sendiri diukur dari efeknya terhadap perilaku bukanlah rangsangan. Sebagai
konsekuensi dari pendekatan yang demikian, paradigma ketiga ini cenderung
memberikan perhatian kepada lingkungan sosial yang mikro, yang dapat
ditangkapsecara relatif langsung.
Menurut Johnson (1986), ketiga kecenderungan tersebut memang
dimungkinkan oleh kompleksitas masyarakat yang menjadi objek sosiologi itu
sendiri. Ada empat tingkat kenyataan sosial yang dikemukakan Johnson, yaitu
tingkat individual, tingkat antarpribadi, tingkat struktur sosial, dan tingkat budaya.
Pada tingkat pertama, kenyataan sosial ditempatkan pada diri individu, baik dalam
bentuk perilakunya maupun pikiran subjektifnya. Pada tingkat kedua kenyataan
tersebut ditempatkan pada interaksi yang nyata yang terjadi antara individu yang
satu dengan individu yang lain. Pola-pola tindakan dan jaringan-jaringan interaksi
yang meluas, yang tidak hanya meliputi hubungan antar individu secara langsung,
termasuk kenyataan sosial yang ada dalam tingkatan ketiga. Tingkat keempat
meliputi arti, nilai, symbol, norma, yang dimiliki bersama oleh suatu kolektivitas,
dan juga benda-benda yang dihasilkan oleh kolektivitas itu.
c). Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra,
pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru
kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-
tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari
sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti
yaitu:
1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2. Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.
3. Audien atau pembaca (1981: 178).
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi
pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah
manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam
menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003:
79). Sementara, Faruk (1994: 1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai
studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai
lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha
menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana
cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.
Menurut Ratna (2003: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan
mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus
diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh
penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang
terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi
masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang
lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat
jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,
masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat
meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti
menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.
Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang.
Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan
sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis
penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra
karena sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara
permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih
mudah diperoleh. Di samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra
biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat.
2.5 Sastra
2.5.1 Pengertian sastra
Di samping pengertian sosiologi, pengertian sastra tentu saja juga harus
diperjelas sebelum pengertian sosiologi sastra itu sendiri. Dalam hal ini akan
dijumpai hambatan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan usaha membangun
pengertian sosiologi seperti yang sudah dikemukakan.
Ada beberapa hambatan dalam usaha perumusan pengertian sastra itu.
Pertama, mereka yang terlibat dalam persoalan pengertian sastra tidak hanya para
ilmuwan yang dalam pekerjaannya memang membutuhkan pengertian yang jelas,
melainkan juga para sastrawan, terutama sastra modern, yang tergolong elit
intelektual yang vokal, yang dapat berdiri setara dengan dan bahkan mungkin
melebihi para ilmuwan dari segi intelektualitas. Berbeda dengan ilmuwan yang
menuntut pengertian yang jelas secara kognitif, sastrawan cenderung mengabaikan
dan bahkan menolak pengertian yang serupa itu dalam pemahaman dan penghayatan
mereka terhadap karya sastra. Selain itu, sejak semula sastrawan modern memang
cenderung menempatkan diri dalam posisi yang bertentangan dengan ilmuwan,
karya sastra dipahami sebagai Wacana tandingan dari Wacana keilmuwan yang
rasional (Lihat antara lain Abrams 1971).
Kedua, dan mungkin sebagai akibat dari yang pertama, karya sastra bergerak
dengan dinamika yang cepat, yang dapat dikatakan atau setidaknya terkesan terus
menerus mengalami perubahan sehingga pengertian yang telah dibangun
mengenainya dapat segera runtuh begitu muncul gerakan-gerakan sastra yang baru
dengan karya-karya sastra baru yang memperlihatkan cirri-ciri atau kecenderungan-
kecenderungan yang tidak lagi dapat ditampung oleh pengertian yang sudah
dibangun itu.
2.5.1.1 Satra sebagai Tulisan
Kemungkinan pengertian sastra sebagai tulisan tidak dapat dielakkan karena
secara etimologis sastra itu sendiri sebagai nama berarti ‘tulisan’. Pengertian dalam
bahasa Indonesia yang demikian tidak hanya berlaku di Indonesia saja, bahkan
nama sastra sebenarnya merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari nama yang
digunakan dalam masyarakat bahasa asing, khususnya Eropa.
Pengertian sastra sebagai tulisan seperti itu mungkin berlaku dalam lingkungan
masyarakat Eropa sebelum abad XVIII, atau di lingkungan orientalis mengenai
Indonesia sampai pada awal abad XX. Dalam lingkungan dengan masa waktu
tersebut memang terasa kuat kesepakatan untuk menganggap semua hasil karya tulis
sebagai sastra. Isi karya sastra dalam pengertian karya tulis itu dapat bermacam-
macam, dari karya-karya tulis yang berisi hikayat sampai karya tulis yang berisi
aturan adat istiadat, tata politik, ajaran agama, ramuan obat-obatan, dan sebagainya.
Namun, sesudah masa tersebut, pengertian demikian tidak lagi diberlakukan secara
penuh.Tidak semua karya sastra dimasukkan ke dalam kategodi karya sastra.
Dalam kerangka teori sosial Durkheim, sastra terutama sekali akan bertalian
dengan pembangunan solidaritas sosial yang menjadi kekuatan utama terbentuknya
tatanan sosial. Jila dianalogkan dengan fungsi agama di dalam masyarakat, sastra
berfungsi memberikan pengalaman kepada anggota masyarakat akan adanya sebuah
realitas yang melampaui batas-batas dunia pengalaman langsung individual.
Teori sosial Weber berpusat pada konsep tindakan dan pola-pola tindakan sosial
yang menjadi dasar dari struktur sosial secara keseluruhan. Setidaknya, ada tiga tipe
tindakan sosial Weber, yaitu tindakan yang berorientasi tujuan, tindakan yang
berorientasi nilai, dan tindakan tradisional. Sastra dapat menempati satu atau
beberapa kemungkinan pola tindakan tersebut.
Berbagai tipe tindakan diatas menentukan pula pola organisasi sosial secara
keseluruhan. Masyarakat tradisional amat dikuasai oleh pola tindakan tradisional,
sedangkan masyarakat modern dikuasai oleh pola tindakan yang rasional, yang
berorientasi pada tujuan di atas. Dalam pengertian yang demikian, pengertian sastra
tidak hanya dapat dilihat dari pola tindakan yang dijalankannya, melainkan juga dari
pertaliannya dengan organisasi sosial secara keseluruhan.
Dalam pengertian Simmel, sastra tentu saja dapat ditempatkan sebagai salah satu
bentuk interaksi sosial yang mikro yang sekaligus mempresentasikan struktur sosial
yang makro. Sebagai salah satu bentuk interaksi sosial sastra yang dapat dianggap
sebagai sebuah lingkungan mikro yang di dalamnya terdapat relasi-relasi
subordinasi dan superordinasi antarkomponen yang terkandung di dalamnya. Dapat
pula sastra sebagai salah satu komponen interaksi yang terlibat dalam relasi
superordinasi dan subordinasi dengan kekuatan-kekuatan sosial lain yang ada
diluarnya. Sebagai representasi, sastra dapat membangun sebuah dunia imajiner,
sebuah lingkungan interaksi imajiner, yang mencerminkan pola interaksi yang
terdapat dalam dunia sosial yang nyata.
Berbagai kemungkinan pengertian di atas tentu saja sangat skematis dan
simplistis. Bukan tidak mungkin posisi sastra yang sebenarnya mencakup berbagai
kemungkinan pengertian klasik tersebut. Tidak pula mustahil apabila posisi sosial
sastra justru tidak dapat ditangkap oleh seluruh kemungkinan pengertian diatas,
hanya dapat ditangkap oleh kemungkinan pengertian yang diberikan oleh teori-teori
sosial yang lebih kemudian. Namun, kemungkinan-kemungkinan tersebuttidak
berarti tidak bermanfaat. Dalam konteks buku ini yang berusaha memberikan
pengantar ke arah pemahaman sastra secara sosiologis, beberapa kemungkinan
definisi yang sudah dikemukakan tersebut dapat setidaknya menjadi tawaran
hipotetis mengenai pendekatan sosiologis terhadap sastra, sebuah tawaran yang
tentu saja harus diuji tidak hanya secara empiris, melainkan secara logis.
Analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih
mudah di baca dan diimplementasikan. Sesuai dengan tujuan penelitian maka teknik
analisis data yang dipakai untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah
analisis model interaktif sebagaimana diajukan oleh Miles dan Huberman, yang
terdiri dari tiga hal utama, yaitu: pengumpulan data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi. Alasan peneliti memilih model ini karena model ini
dipandang sangat sesuai untuk diterapkan ke dalam penelitian kualitatif.
Analisis data kualitatif, yaitu analisa dengan suatu ungkapan atau pernyataan
berdasarkan hasil temuan selama pross pengumpulan data dilakukan, upaya yang
dilakukan secara berulang, berlanjut dan terus menerus, dimana dalam pengambilan
data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Setelah
pengumpulan data lalu di lakukan reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan. Apabila dalam penarikan kesimpulan data yang didapatkan kurang atau
tidak sesuai maka peneliti kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data, hal
tersebut dilakukan secara terus menerus sampai data valid.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses menganalisis data berupa
drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya, sebagai berikut:
1) Menganalisis Tema pada drama “Bila Malam Bertambah Malam” karya
Putu Wijaya dengan menentukan tema yang terdapat di dalamnya.
2) Menganalisis Alur atau plot pada drama “Bila Malam Bertambah
Malam” karya Putu Wijaya
3) Menganalisis tokoh pada drama “Bila Malam Bertambah Malam”
karya Putu Wijaya
4) Menganalisis penokohan atau perwatakan pada drama “Bila Malam
Bertambah Malam” karya Putu Wijaya. Penokohan yang terdapat di dalam
drama tersebut meliputi Bijaksana, Antagonis, Wirawan (penengah),
Protagonis.
5) Menganalisis Latar atau Setting yang terdapat pada drama “Bila Malam
Bertambah Malam” karya Putu Wijaya. Yang meliputi latar tempat, latar
waktu, dan situasi terjadinya peristiwa dalam drama.
6) Menganalisis Amanat yang terdapat pada drama “Bila Malam Bertambah
Malam” karya Putu Wijaya. Amanat adalah pesan yang disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Pesan dalam drama dapat
ditemukan melalui peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam naskah drama.
Amanat yang ditemukan oleh penonton atau pembaca naskah drama dapat
berbeda-beda, tergantung dari apresiasi penonton atau pembaca. Amanat
yang ditemukan juga dapat lebih dari satu.
BAB IV
Hasil dan Pembahasan
Putu Wijaya yang kita kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang
cukup panjang, yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui
bahwa ia berasal dari Bali. Putu memang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali
pada tanggal 11 April 1944. Pada masa remaja ia sudah menunjukkan
kegemarannya pada dunia sastra. Saat masih duduk di sekolah menengah pertama di
Bali, ia mulai menulis cerita pendek dan beberapa diantaranya dimuat di harian
Suluh Indonesia, Bali. Ketika duduk di sekolah menengah atas ia memperluas
wawasannya dan melibatkan diri dalam kegiatan sandiwara.setelah selesai sekolah
menengah atas, ia menunjukkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia
pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S Rendra dalam beberapa
pementasan, antar lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot
(1969). Ia juga pernah tampil dengan kelompok Sanggar Bambu. Karya-karya Putu
Wijaya dalam drama antara lain: Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi
(1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga
Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan,
Hum-Pim-Pah, Dor, Blong, Ayo, Awas, Los, Aum, Zat, Tai, Front, Aib, Wah, Hah,
Jpret, Aeng, Aut, Dar-Dir-Dor.
4.2. Analisis Struktural Drama “Bila Malam Bertambah Malam” karya
Putu Wijaya
Wayan
“Gusti, Nyoman adalah tunangan Ngurah, calon menantu Gusti Biang
sendiri, berani sumpah, Nyoman adalah tunangan Ngurah Ratu, Ngurah
sendiri yang mengatakannya. “Aku akan mengawini Nyoman Bape” katanya.
“Biar hanya orang desa, pendidikannya rendah tapi hatinya baik, dari
pada…..”biar dimakan leak. Demi apa saja”.
2. Konflik
Pokok persoalan yang melibatkan para pemain drama. Kutipan berikut
menunjukkan pada adanya konflik yang terdapat pada drama bila malam
bertambah malam karya Putu Wijaya.
3. Komplikasi
Gusti Biang
“Swatiastu, ibunda tercinta .... Kalau aku bilang tadi, kamu bilang sudah lima
hari, apa saja yang aku katakan kamu lawan! Dewa Ratu, dengarlah Wayan.
Betapa pinternya ia menghormati dengan singkat ananda
kabarkan bahwa ananda segera pulang. Ananda telah merencanakan
berunding dengan ibu. Sudah masanya sekarang Ananda menjelaskan.
Meskipun Ananda belum menyelesaikan pelajaran, bahkan mungkin Ananda
akan berhenti sekolah saja, sebab tak ada lagi gunanya. Ananda hendak
menjelaskan pada ibu bahwa Ananda tidak bisa lagi berpisah lebih lama.
Rahasia ini Ananda simpan sejak lama. Supaya ibu tidak kaget nanti, akan
saya terangkan bahwa Ananda bermaksud, Ananda bermaksud …Ananda
bermaksud
4. Klimaks
Wayan
“Bukan menghina tu Ngurah. Begitulah keadaannya.
Desa Marga menjadi saksi semua itu, hanya beliau dilahirkan sebagai putra
Bangsawan yang berpengaruh serta dihormati karena jasa-jasa leluhur,
dosa beliau kepada Pak Raiterhadap semua korban puputan itu seperti
dilupakan. Tetapi Tiyang sendiri tidak pernah melupakannya. Bukan hanya
seorang banyak pengkhianat-pengkhianat di bumi ini dianggap orang
sebagai pahlawan sedangkan yang benar-benar berjasadilupakan orang.
5. Penyelesaian
Tahap akhir dari sebuah drama. Penyelesaian drama bila malam bertambah
malam karya Putu Wijaya tergambar pada kutipan dialog berikut.
WAYAN
“Ngurah, sudah tahu semuanya. Ngurah sudah pantas mendengar itu. Tapi
Jangan terlalu memikirkannya. Lupakan saja itu semua. Itu memang sudah
terjaditetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati kami merasa lega.
Sekarang lupakan semua itu. Lupakan, jangan bersakit sakit
memikirkannya.
Wayan
“Semua itu bohong, Titiyang bukan ayah Ngurah. Tiyang adalah Wayan yang
pikun dan akan segera mati, dan beliau itu (Menunjuk potret) bukan
pengkhianat. Dia seorang pahlawan dan pantas Ngurah sebut ayah. Ya….banyak
terdapat keburuka diatas dunia ini. Tapi tidak semua keburukan yang kita
ketahui itu perlu diketahui orang lain, kalau bisa membuat keadaan lebih
buruklagi. Pergilah Tu, Ngurah dan Tiyang yang akan meladeni Gusti Biang.
TANPA MENOLEH NGURAH MENINGGALKAN TEMPAT
Wayan
Gusti biang
Wayan Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita karena
perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia
sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-
bedakan lagi, bagaimana Gusti Bian
(Dengan manja)
“Tapi jangan ceritakan lagi tentang yang dulu-dulu. Aku sangat malu”.
Wayan (Tersenyum)
“Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu Sagung Mirah,
sampai kita berdua sama-sama mati dan di atas kuburan kita, anak-anak itu
berumah tangga dengan baik. Sagung Mirah ..”
Latar tempat drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya adalah di
rumah Gusti Biang yang terdapat pada kutipan berikut.
Gusti Biang
“Si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan. Pasti dia sudah
berbaring di kandangnya, menembang seperti orang kasmaran pura-pura tidak
mendengar, padahal aku sudah berteriak, sampai leherku patah. Wayaaaaaa......
Wayaaaaa... tuaaaa....
Gusti Biang
“Setan! Setan! Kau tak boleh berbuat sewenang-wenang di rumah ini.
Berlagak mengatur orang lain yang masih waras. Apa good, good apa?
Good bye! Menyebut kekasih, manis, kau pikir apa anakku. Wayan akan
menguncimu di dalam gudang tiga hari tiga malam, dan kau akan meraung
seperti si belang”.
Wayan
“Tiyang ketiduran di gudang”.
Gusti Biang
“ Begundal itu! Masukkan dia ke gudang!”
Gusti Biang
“Ya! Leak itu tidak boleh masuk rumahku ini. Setan itu juga! Biar mati
dua-duanya sekarang! Kalau kau mau ikut pergi terserah. Aku
akan mempertahankan kehormatanku. Kehormatan suamiku,
kehormatan Sanggung Rai, kehormatan leluhur-leluhur di puri ini”.
Putu Wijaya terjadi pada malam dan sore hari yang ditunjukan
Nyoman
“Nah, itu sebabnya kalau belum santap malam. Apalagi sejak beberapa hari
ini Gusti sudah tidak mau minum jamu lagi, minum sekarang ya?
Wayan
Wayan
“ Malam-malam begini?”
Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi.
Tidak seperti orang-orang lain, Gusti.Gusti telah menyekolahkan
Tiyang sampai kelas dua SMP, dan Gusti sudah banyak
mengeluarkan biaya. (Adegan 3 babak 1, suasana Senang).
Gusti Biang
“Tidak, tidak. Aku tahu semua itu. Kalau aku menelan semua obat-obatanmu
itu, aku akan tidur seumur hidupku, dan tidak akan bangun-bangun lagi, lalu
good bye. Lalu kau akan menggelapkan beras ke warung Cina. Kau
selamanya iri hati dan ingin membencanaiku... kalau sampai aku mati karena
racunmu, Wayan akan menyeretmu ke pengadilan”.
Gusti Biang
“Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras, Ngurah harus kawi
dengan orang patut-patut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan
Sanggung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana,
kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai
orang tua seperti itu. Apapun yang terjadi dia harus terus menghargai
martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak
sembarang orang bisa dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-
benar menjaga martabat ini., aku akan malu sekali, kalau dia mengotori
nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan
malu seperti ini. Apa nanti kata Sanggung Rai? Apa nanti kata keluarganya
kepadaku? Tidak, tidak!”
Gusti Biang
Ngurah
“Kenapa tidak ibu? Siapa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas
dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena drajatnya? Tiyang
tidak pernah merasa derajat Tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau
toh Tiyan dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan Tiyang lebih
hati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa jadi teladan
orang, yang lain omong kosong semua!”
(Gusti Biang Terbelalak dan Mendekat)
“Tiyang sebenarnya pulang meminta restu dari ibu. Tapi karena
Ibu menolaknya karena soal kasta, alasan yang tidak sesuai lagi.
Tiyang akan menerima akibatnya”.
(Gusti Biang Menangis, Ngurah Bergulat Dengan Batinnya)
Nyoman
“Gusti Biang, ini air daun belimbing, bubur ayam yang sengaja tiyang buatkan
untuk Gusti”.
Nyoman
Nyoman
“Oh ya, baik tiyang tolong dulu Gusti memasukkan benang ke jarumnya”.
Nyoman
“Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi. Tidak seperti
orang-orang lain, Gusti. Gusti telah menyekolahkan tiyang sampai kelas dua SMP,
dan Gusti sudah banyak mengeluarkan biaya. Coba tengok bayangan Gusti di muka
cermin, seperti tiga puluh tahun saja... mau minum obatnya sekarang Gusti?
Nyoman
“Gusti telah menyakiti tiyang lagi. Saya akan pergi sekarang juga”.
Nyoman
Nyoman
“Tak tiyang sangka Gusti seberat ini! Tak tiyang sangka. Tiyang akan pergi
Nyoman
Nyoman
“Memang, saya banyak berhutang budi, dikasih makan, disekolahkan,
dibelikan baju, dimasukkan kursus modes, tapi kalau tiap hari dijadikan
kuatkan, kalau tidak ingat pesan tu Ngurah, sudah dari dulu-dulu sebetulnya”.
Nyoman
“Saya pergi Bape, tidak bisa tahan lagi, saya sudah bosan”.
Nyoman
Nyoman
“Tidak usah disuruh Gusti, tiyang memang mau pergi sekarang. Tetapi sebelum
titiyang pergi, tiyang hitung berapa hutang Gusti kepada tiyang”.
Nyoman
“Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak
menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan sudah lama tiyang pergi dari sini.
Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulan-
bulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentenya, pokoknya saja. Hutang
Gusti Biang kepada tiyang, sepuluh juta kali sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati
tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebihi harta benda yang
masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambilah semua itu sebagai tanda bukti yang
terakhir”.
3) Ngurah
Wayan
“ Tiyang tahu semuanya, tu Ngurah. Sebab tiyang yang telah mendampinginya
setiap saat dulu. Sejak kecil tiyang sepermainan dengan dia. Seperti tu Ngurang
dengan Nyoman. Tiyang tidak buta huruf seperti disangkanya. Tiyang bisa
membaca dokomen-dokumen dan surat-surat rahasia yang ada di meja kerjanya.
Siapa yang membocorkan gerakan Ciung Wanara di Marga dulu? Nica-nica itu
mengepung Ciung Wanara yang dipimpin oleh pak Rai, menghujani dengan peluru
dari berbagai penjuru, bahkan dibom dari udara sehingga kawan-kawan semua
gugur. Siapa yang bertanggung jawab atas kematian sembilan puluh enam kawan-
kawan yang berjuang habis-habisan itu? Dalam perang puputan itu kita kehilangan
Kapten Sugianyar, kawan-kawan tiyang yang paling baik, bahkan kehilangan pak
Rai sendiri. Dialah yang telah berkhianat, dialah yang telah melaporkan gerakan
itru semua kepada Nica”.
Wayan
“Diam! Diam! Sudah waktunya menerangkan semua ini sekarang.
Dia sudah cukup tua untuk tahu”.
(kepada Ngurah)
“Ngurah, Ngurah mungkin mengira ayah Ngurah yang sejati, sebab
dia suami sah ibu Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia
seorang penjilat, musuh Gerilya. Dia bukan lelaki jantan, dia seorang
wandu. Dia memilki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk
menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugas sebagai
seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi semua
itu menjadi rahasia.. sampai.. Kau lahir, Ngurah, dan menganggap
dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada ibu Ngurah,
dia sebenarnya ayah Ngurah yang sejati”. Ngurah tak percaya dan
menghampiri ibunya yang mulai menangis untuk meminta penjelasan.
Ngurah
“Betulkah semua itu Ibu?”.
Gusti Biang
“Aku tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan mengawinkannya,
(Dengan manja)
Tapi jagan ceritakan lagi tentang yang dulu-dulu aku sangat malu.
Wayan
“Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu Sanggung
Mirah, sampai kita berdua sama-sama mati dan di atas kuburan kita, anak-anak
iti berumah tangga dengan baik Sanggung Mirah...
4) Wayan
Wayan adalah salah seorang abdi Gusti Biang. Ia juga seorang lelaki tua
yang dulu pernah menjadi ajudan dan teman seperjuangan almarhum suami Gusti
Biang yang telah gugur pada saat pertempuran melawan Belanda. Selain itu, Wayan
juga sebagai seorang penengah antara tokoh antagonis dan protagonis dalam
jalannya sebuah cerita yang berperan untuk mendamaikan dalam setiap persoalan.
Wayan sehari-harinya memiliki watak yang baik hati, setia, dan lucu. Dalam drama
Bila Malam Betambah Malam ini Wayan sebagai sosok lelaki tua yang rela menjadi
abdi Gusti Biang karena rasa cintanya kepada Gusti Biang. Namun, ia juga lelaki
yang baik, penyayang, dan selalu membela kebenaran. Bahkan Wayan rela pergi
meninggalkan Gusti Biang akibat persoalan Gusti Biang, Nyoman, Ngurah dan
almarhum suami Gusti Biang. Adapun kutipan dialognya adalah sebagai berikut.
Wayan
Wayan
“ Gusti, Gusti, tidak ada kambing di sini!”
Wayan
“Baik aku akan pergi sekarang. Aku akan menyusul Nyoman. Aku juga bosan di sini
meladeni tingkah lakumu. Tapi sebelum aku pergi aku akan jelaskan tentang
pahlawan gadungan itu. Gusti harus tahu..”
Wayan
“Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya. Seperti cinta Ngurah
kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu
menganggap tiyang gila, pikun, tuli, hidup. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua
itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa
muda yang tak bisa dibeli lagi”.
(Memandang Ngurah dengan lembut. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu dan
kemudian berkata)“Tidak. Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seperti bape
hanya karena perbedaan kasta. Kejarlah perempuan itu, jangan-jangan dia
mendapatkan halangan di jalan. Dia pasti tidak akan berani pulang malam-malam
begini. Mungkin dia bermalam di dauh pala di rumah temannya. Bape akan
mengurus ibumu. Pergilah cepat, kejar dia sebelum terlambat”.
4.2.1.6 Amanat
Amanat merupakan sesuatu yang disampaikan oleh seseorang kepada orang
lain. Amanat ada yang diperlihatkan secara langsung (tersurat) namun juga ada yang
tidak diperlihatkan secara langsung (tersirat). Suatu drama yang baik harus
membawa amanat yang memberikan pelajaran kehidupan sosial yang bermanfaat
bagi penonton. Amanat yang disampaikan oleh Putu Wijaya melalui dramanya yang
berjudul Bila Malam Bertambah Malam yaitu masalah perbedaan kasta seharusnya
tidak lagi menjadi persoalan dalam kehidupan sosial masyarakat di Bali. Pandangan
kaum feudal yang menganggap kaum bangsawan lebih tinggi derajatnya
jikadibandingkan dengan kaum sudra tidak sesuai lagi.
Sebagai mahluk hidup yang bermasyarakat, tentu tidak bisa terlepas dari
makhluk hidup yang lain. Karena kita membutuhkan satu sama lain. Kita harus
bersikap sama antara makhluk yang satu dengan yang lain tanpa membedakan status
sosial. Apabila seseorang menyimpan rahasia, suatu saat pasti akan terungkap hal
yang sebenarannya, dan apabila seseorang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan
dalam melakukan sesuatu maka orang tersebut juga akan mendapatkan balasan yang
baik. Adapun kutipan dialognya adalah sebagai berikut:
Nyoman
“ Sayang sekali Gusti Biang tidak menyuruh Tiyang yang mengerjakannya.
Mestinya, di tengahnya bisa disulam dengan warna biru muda. Lalu dengan
menulis rapih “Selamat malam kasih, selamat malam pujaan, selamat malam
manis, good night my darling”.
Wayan
“ Jangan gampang marah Gusti, itu Cuma angan-angan. Sabarlah. Kalau usia
sudah lanjut, tambahan lagi penyakitan, tak baik marah-marah malam begini!”
Ngurah
“Kenapa tidak ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sanggung Rai lebih pantas
dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena derajatnya? Tiyang tidak pernah merasa
derajat tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian,
itu justru menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik
agar bisa jadi teladan orang yang lain omong kosong semua”.
“Tiyang sebenarnya pulang meminta restu dari ibu. Tapi karena ibu menolaknya
karena soal kasta, alasan yang tidak sesuai lagi. Tiyang akan menerima
akibatnya”. “Tiyang akan kawin dengan Nyoman. Sekarang ini soal
kebangsawanaan jangan dibesar-besarkan lagi. Ibu harus menyesuaikan diri, kalau
tidak ibu akan ditertawakan orang. Ibu...”.
4.3 Pembahasan
Drama Bila Malam Bertambah Malam ini menceritakan seorang janda yang
begitu membanggakan kebangsawanannya. Ia hidup di rumah peninggalan
suaminya. Gusti Biang adalah janda almarhum I Gusti Rai seorang bangsawan yang
dulu sangat dihormati karena dianggap pahlawan kemerdekaan. Gusti Biang hanya
tinggal bersama dengan Wayan, seorang lelaki tua yang merupakan kawan
seperjuangan I Gusti Ngurah Rai dan Nyoman Niti, seorang gadis desa yang selama
kurang lebih 18 tahun tinggal di purinya. Sementara putra semata wayangnya Ratu
Ngurah telah lima tahun meninggalkannya karena sedang menuntut ilmu di pulau
Jawa.
Sikap Gusti Biang yang masih ingin mempertahankan tatanan lama yang
menjerat manusia berdasarkan kasta, membuatnya sombong dan memandang rendah
orang lain. Nyoman Niti yang selalu setia melayani Gusti Biang, harus rela menelan
pil pahit akibat sikap Gusti Biang yang menginjak-injak harga dirinya. Nyoman Niti
sebenarnya ingin meninggalkan puri itu karena ia sudah tidak sanggup menahan
radang kemarahan terhadap Gusti Biang. Namun, niatnya selalu urung manakala
Wayan yang selalu baik, menghiburnya dan membujuknya untuk bersabar dan tetap
setia menjaga Gusti Biang demi cintanya pada Ratu Ngurah. Nyoman Niti tak kuasa
lagi menahan emosi yang bertahun-tahun ia pendam manakala Gusti Biang benar-
benar menindasnya. Gusti Biang menuduh Nyoman akan meracuninya dengan obat-
obatan. Akhirnya Nyoman Niti pun bergegas meninggalkan puri itu. Wayan pun
mencoba menahan kepergiannya tapi alangkah terkejutnya Nyoman ketika Gusti
Biang membacakan hutang alias biaya yang dikeluarkannya membiayai Nyoman
selama kurang lebih 18 tahun. Nyoman tidak menyangka Gusti Biang setega itu
padanya hingga akhirnya Nyoman pergi dengan berurai air mata dalam suasana
malam yang sunyi. Wayanpun akhirnya juga diusir oleh Gusti Biang setelah
bertengkar sengit tentang persoalan Nyoman dan Ratu Ngurah; dan suami Gusti
Biang. Setelah kejadian itu, Ratu Ngurah datang dan bertengkar dengan Gusti Biang
begitu mengetahui Nyoman telah pergi.
Konflik semakin tajam mengenai persoalan bedil. Ngurah dan Gusti Biang
meminta Wayan mengembalikan bedil yang akan dibawanya pergi, karena bedil itu
adalah peluru yang bersarang di tubuh Gusti Ngurah. Wayan akhirnya
mengungkapkan bahwa dialah yang menembak Gusti Ngurah yang menjadi
pengkhianat. Wayan juga mengemukakan kenyataan bahwa dialah ayah kandung
Ratu Ngurah. Wayanlah yang selalu memenuhi tugas sebagai suami bagi istri-istri I
Gusti Ngurah Ketut Mantri yang berjumlah lima belas karena Gusti Ngurah seorang
wandu. Wayan pun menyuruh Ngurah pergi mengejar cintanya yaitu Nyoman Niti.
Ia juga mengingatkan cinta yang tak sampai antara dirinya dan Gusti Biang hanya
karena perbedaan kasta yang membuat keduanya begitu menderita. Hubungan Ratu
Ngurah dan Nyoman akhirnya direstui oleh Gusti Biang.
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Pada naskah drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya ini,
tokoh antagonis adalah sebagai pusat jalannya sebuah cerita yang mana Gusti Biang
sang tokoh utama selalu muncul dalam setiap peristiwa dan pembicaraan. Namun,
ada pula tokoh protagonis yaitu Nyoman juga sebagai tokoh utama yang mana
selalu muncul pula dalam setiap pembicaraan sekaligus sebagai lawan jalannya
sebuah konflik antar kedua tokoh tersebut, Gusti Biang yang selalu membanggakan
kebangsawanan dan kesombongannya mampu mempertahankan kesabaran Nyoman
selama beberapa tahun, hingga akhirnya Nyoman tak kuasa dan pergi akibat
kesombongan dan injakan-injakan dari sang majikan. Selain kedua tokoh tersebut,
ada pula tokoh tritagonis yang terlibat peran untuk mendamaikan antar kedua tokoh
antagonis dan protagonis melalui sebuah tutur kata dan perbuatannya yang selalu
mendinginkan sebuah persoalan. Putu Wijaya telah berhasil menyusun alur drama
dengan sangat rapi, sehingga para pembaca sangat mudah untuk dapat memahami
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada drama Bila Malam Bertambah Malam.
Konteks soaial adalah seorang istri yang harus patuh dan berbakti kepada suami,
usia pernikahan muda banyak menimbulkan masalah dan keributan yang dapat
mengganggu tetangga. Sementara konteks budaya yang terkandung antara lain
tradisi melamar dan larangan melangkahi kakak perempuan dalam pernikahan.
Semua konteks itu dapat kita jumpai penerapannya di masyarakat. selain konteks
sosial budaya kemasyarakatan, teks drama ini juga memuat berbagai nilai-nilai
seperti nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, nilai religi, nilai psikologis dan nilai
didaktis yang dapat diambil sebagai suatu hikmah dari teks drama “ Pelangi” ini.
5.2 SARAN
Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai hasil interaksi pengarang
dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif, sedangkan psikologi sastra
memandang sastra sebagai rekaman keistimewaan individu, sebagai kesadaran
personal. Karena itulah, aspek-aspek psikologi bermanfaat bagi sosiologi sastra
apabila memiliki nilai-nilai historis yang berhubungan dengan aspek-aspek
kemanusiaan secara keseluruhan.
Pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter
sastra dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau
potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret,
terjadi disekeliling kita, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar
terdiri dari kenyataan sosial. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk
menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan,
untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan
pengukuran terhadap aspek tertentu.
Dokumen dalam metode penelitian ini mempunyai sifat tidak terbatas pada ruang
dan waktu sehingga memberi peluang pada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang
pernah terjadi di waktu silam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgopuroke.blogspot.com,2019/01
Abrams, M.H.1971.The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical
Tradition. Oxford University Press.
Amrijn Pane, Kort Overzicht van de Moderne Indonesische Literature, Jakarta 1950.
Suatu pandangan sisngkat tentang perkembangan sastra Indonesia
Modern. 55 kaca.
---------.1977. The Hiddens God: a Study Tragic Vision in the Pensees of Pascal
and the Tragedies of Racine. Rout Ledge & Kegan Paul: London dan
Henley.
Hauser, Arnold. 1985. The Sociology of Art. The University of Chicago Press:
Chicago dan London.
http://barisankatakata.blogspot.com/2012/04/bila-malam-bertambah-malam.html
http://carapedia.com/pengertian_definisi_drama_info2085.html
http://kamus-sunda.com/res-177247-1-1-latar-belakangkarya-sastra-pada.html
http://othersidemiku.wordpress.com
http://pangapora07.blogspot.com/2008/06/pendekatan-struktural-dalam-
penelitian.html
http://siti-lailatus.blogspot.co.id/2012/12/analisis-naskah-drama-bila-malam.html
http://viasweetromantic.blogspot.com/2011/04/jenis-jenis-wacana.html
http://www.lepank.com/2012/08/pengertian-drama-menurut-beberapa-ahli.html
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santosa, Wijaya Heru. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma
Pustaka.
Ritzer, george, 1975. Sociology: A Multiple Paradigm Science, Boston: Allyn and
Bacon, Inc.
Wolff, Janet, 1975. Hermeneutic Philosophy and the Sociology of Art. London and
Boston: Routledge and Kegan Paul.