Latar belakang
Melihat bahwa memang pada dasarnya Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, maka
sudah barang tentu ajaran islam adalah bersifat universal. Namun islam tidak begitu
saja menyebar ke seluruh umat manusia di dunia. Dibutuhkan peran penting para
pewaris nabi penerus tonggak perjuangan islam. Indonesia yang pada saat itu masih
dikenal sebagai nusantara tak luput dari penyebaran islam, di mulai dari para
golongan pedagang yang berniaga sekaligus menyebarkan islam, hingga akhirnya
sedikit demi sedikit cahaya islam mulai menunjukan eksistensi nya di negeri ini. Dan
sampai pada suatu masa tonggak pondasi keislaman berhasil ditancapkan di Bumi
Nusantara ini. Peradaban islam di Nusantara tidak bisa terlepas dari peran penting
dari Wali Songo (sembilan mubaligh) yang dengan telaten menyebarkan syareat nabi
dari risalah kenabian seorang manusia mulia, yakni Sayyidina Muhammad SAW.
Yang dihadapi para wali tentulah berbeda keadaan manusianya, meski demikian
dengan nilai keuniversalan islam, tentunya islam bisa disampaikan dan diterima oleh
masyarakat nusantara sekalipun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Berpusat di Tanah Jawa, penyebaran islam oleh wali songo bisa dikatakan berhasil
dengan taktik yang menyesuaikan kultur manusianya, islam menggeser kepercayaan-
kepercayan nenek moyang yang masih dianut dan agama samawi sebelum islam yang
1
telah lebih dulu masuk ke Nusantara khususnya Jawa. Bukan dengan mengangkat
pedang, namun dengan disampaikan mauidhoh hasanah (nasihat kebaikan) yang
meluluhkan hati. Tidak berhenti di situ, Wali Songo bersama Sultan keturuna Raja
Majapahit bernama Raden Fatah mendirikan pusat penyebaran islam di Demak yang
juga berdekatan dengan pusat pemerintahan Kerajaan Demak Bintoro. Sebuah masjid
yang memiliki langgam arsitektur jawa yang kuat menjadi identitas masjid demak
dilihat dari struktur dan kontruksi, material dan bagian-bagian masjid. Sehingga
Masjid Demak sangat pantas dikatakan sebagai masterpiece dari umat islam, sebuah
ruang yang menjadi penanda zaman dan saksi perjuangan serta perkembangan islam
di Nusantara.
Makalah ini disusun untuk guna menelusuri eksistensi Masjid Agung Demak dalam
perkembangan peradaban islam di Nusantara. Pemilihan objek Masjid Agung Demak
sebagai studi kasus didasarkan pada nilai sejarah serta pengaruhnya terhadap
penyebaran islam oleh Wali Songo dari abad ke-15 hingga sekarang. Pendekatan
metode yang digunakan adalah kajian literatur.
2
Masyarakat Nusantara,
khususnya masyarakat
Jawa memiliki agama
peninggalan nenek
moyang yang sangat
kuat, ditambah karakter
masyarakat pada masa
itu menjunjung tinggi
kepercayan di atas pengetahuan. Untuk
menggambarkan secara umum
kepercayaankepercayaan paling kuno yang telah dianut dan sering kali masih tampak
di daerah luas tersebut adalah mengunakan istilah Animisme dan Dinamisme.
Penduduk percaya kepada ruh yang ada dalam segala benda dan segala tempat, dan
mereka juga percaya ada orang orang tertentu yang sakti untuk memanggil ruh-ruh
tersebut atau mengusirnya1 (Ashadi dalam Sunyoto, 2011:9-10).
Dinamisme adalah kepercayaan pada kekuatan gaib yang misteri us. Tujuan
beragama pada dinamisme adalah untuk mengumpulkan kekuatan gaib atau mana
(dalam bahasa ilmiah) sebanyak mungkin. Animisme adalah agama yang
mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang beryawa maupun tidak bernyawa
mempunyai roh. Tujuan beragama dalam Animisme adalah mengadakan hubungan
baiik dengan roh-roh yang ditakuti dan dihormati itu dengan senantiasa berusaha
menyenangkan hati mereka2.
1
Ashadi, “Dakwah Wali Songo Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Perubahan Bentuk Arsitektur
Mesjid di Jawa (Studi Kasus : Masjid Agung Demak), Jurnal Arsitektur NALARs Volume 12 No 2 Juli 2013,
hal.2
2
http://antarberita.blogspot.com/2013/11/pengertian-animisme-dinamisme.html
3
agama mayoritas di Jawa. Dalam kepercayaan Hindu-Budha diperkenalkan istilah
dewa-dewa. Bukan berarti kepercayaan ini bisa menggantikan kepercayaan Jawa
sebelumnya, melainkan sekedar mensinkretikkan diri dengannya; yang kemudian
muncul istilah Hindu Jawa, yaitu kepercayaan Hindu (dan Budha) yang bersinkretik
dengan kepercayaan Asli Jawa (Animesme dan Dinamisme). Menurut
Koentjaraningrat, orang jawa pada umumnya dapat menyebutkan bermacammacam
nama dewa, lengkap dengan sifat-sifat dan rupanya masing-masing. Dewa-dewa itu
dikenal dari cerita-cerita wayang. Raja para dewa adalah Bathara Guru; dia disebut
pula Bathara Girinata, yaitu raja gunung; yang dimaksud adalah Gunung Meru,
tempat lokasi kerajaan para dewa dalam mitologi Hindu3 (Ashadi dalam
Koentjaraningrat, 1984:334).
“Mengubah sesuatu” memanglah selalu tidak mudah, apalagi yang diubah merupakan
urusan kepercayaan urusan hati, yang menjadi pegangan hidup, cara hidup, bahkan
cara mati manusia. Agama islam yang notabene adalah agama samawi yang masih
baru di kalangan orang Jawa pada saat itu, menjadikan untuk mengenalkan islam
sangat perlu untuk berhati-hati, karena jika cara penyampaian tidak sesuai dengan
karakter masyarakat, maka akan menjadi lebih sulit untuk kedepanya. Hal ini yang
menjadi pertimbangan para Wali Songo dalam melakuakn syi’ar agama.
4
Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam
Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082
Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya,
diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia 4. Ini
memberikan informasi masa awal-awal yang masuk di Jawa namun masih belum kuat
dan berkembang seperti masa setelahnya, yakni era Wali Songo. Masa penyebaran
islam setelahnya yang di tandai dengan datangnya seorang ulama besar yakni Syekh
Maulana Malik Ibrahim pada abad ke 13, sebagai seorang mubaligh dengan dibekali
ilmu agama yang luas, beliau berhasil menancapkan tonggak awal ajaran islam yang
dimulai di tanah Gresik seperti tercatat di beberapa bukti sejarah.
Berjalanya waktu, Syekh Maulana Malik Ibrahim atau yang biasa dikenal dengan
sebutan Kanjeng Sunan Gresik, bersama ke 8 wali lainya; Raden Rahmat (Sunan
Ampel), Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri), Raden Umar Said (Sunan Muria), Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang), Syekh Nurullah (Sunan Gunung Djati), Ja’far Shodiq
(Sunan Kudus), Raden Qosim (Sunan Drajat), Raden Syahid (Sunan Kalijogo)5,
memberi warna islam yang hangat, sehingga islam mampu menjelma menjadi refleksi
yang segar dan baru bagi masyarakat masa itu.
5
meluluhkan hati. Kedua, karena masyarakat saat itu sangat kental dengan kesenian
dan budaya warisan leluhur pendahulunya, nilai keislaman disisipkan pada seni-seni
dan budaya yang telah dimodifikasi oleh Wali Songo, sehingga terkesan masih satu
warna dengan kesenian dan budaya masyarakat, namun terasa ada pembeda dan lebih
nyaman-menentramkan hati tentunya. Meski terkadang terlihat kontradiktif dengan
syareat islam yang murni, namun berkat kecerdikan dan kealiman para wali, islam
berhasil mewarnai kesenian dan budaya lokal tanpa merubah atau bahkan
menghilangkan esensi dari nilai keislaman yang haq, namun memang perlu digaris
bawahi, jika adanya kehati-hatian yang tinggi dalam menerapkan metode yang kedua
ini.
Pada abad ke 14, penyebaran islam yang di lakukan Wali Songo kian luas, islam
mulai dikenal di kalangan keluarga kerajaan, para raja yang notabene adalah manusia
yang dituntut untuk mempunyai sifat arif dan cerdas, tentu saja akan lebih mudah dan
lebih cepat menerima islam sebagai agama pembawa kedamaian. Semakin hari
banyak raja-raja yang menjadi muslim, sehingga sudah barang tentu warganya akan
dengan senang hati mengikuti kepercayaan tuanya, sehingga islam semakin mudah
dan kuat dalam penyebaranya.
Puncaknya pada tahun 1477, seorang pangeran yang masih memiliki darah keturunan
raja Majapahit naik tahta dengan merebut hak kuasa dari ayahnya sendiri. Raden
Fatah, seorang raja muslim yang sangat mempercayai dan mengikuti ajaran islam
yang dibawa Wali Songo membuat beberapa keputusan besar. Melihat pada peran
masjid pada masa Kerajaan Demak bintoro yang dipimpin Sultan Fatah (Raden
Patah), masjid selain sebagai tempat ibadah dan syiar agama Islam, juga
dipergunakan sebagai tempat membicarakan masalah pemerintahan (Ratri dalam
Haryadi, 2000). Ada pula kemungkinan pengaruh budaya lokal melalui penafisran
Walisongo yang mempertautkan makam dan masjid menjadi satu kompleks. Pada
6
umumnya para penyebar agama Islam bertempat tinggal tidak jauh dari masjid dan
dimakamkan di areal masjid. Rekonstruksi kota lama Jawa dapat dibuat dengan
melihat pada masjid dan makam yang merupakan struktur penting bagi rekonstruksi,
sebab fasilitas masjid merupakan salah satu pusat kegiatan sosisal spiritual
masyarakat hingga saat ini (Ratri Wiryomanrtono,1995:61). Sementara de Graff
mengatakan dimanapun telah terbentuk masyarakat Islam maka segera dibangun
sebuah masjid sebagai ssebuah keharusan karena dipandang sebagai tempat penting
dalam kehidupan masyarakat yang merupakan pusat pertemuan dan lambang
kesatuan masyarakat6.
6
Ratri, “Penelusuran Hubungan Kawasan Bersejarah Masjid Agung Demak dengan Masjid
Kadilangu”, Jurnal Ilmiah Teknosains, Vol.1 No.1 November 2015, hal.59
7
Arsitektur Masjid Demak, Penanda Zaman Tonggak Islam
Masjid Agung Demak merupakan sebuah kompleks seluas sekitar 1,5 Hektar, terletak
di pusat Kota Demak sekarang; tepatnya di sebelah Barat alun-alun Demak. Demak
adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, tetapi meninggalkan pola tata ruang pusat
kota yang identik dengan tipologi kota-kota kerajaan/kadipaten di Pulau Jawa.
Kecamatan Demak merupakan daerah di pusat Kabupaten Demak yang dilalui oleh
jalur utama yang menghubungkan Semarang dan Surabaya. Di dalam Kecamatan
Demak berkembang pariwisata budaya dan keagamaan yang mendatangkan devisa
bagi
8
daerah, yaitu obyek wisata Masjid Agung Demak dan Makam Sunan Kalijaga di
Kadilangu7.
a. Serambi
b. Atap
9
berpegang teguh dengan kepercayaan samawi terdahulu dan agama nenek
moyangnya. Dan berkat strategi ini pula, setiap harinya Masjid Demak menjadi
naungan bagi umat islam sekaligus menjadi tempat diturunkanya hidayah bagi
umat manusia.
c. Soko Guru
8
https://travel.detik.com/domestic-destination/d-2968870/4-soko-guru-peninggalan-wali-songo-yang-
legendaris
10
juga menjadi elemen yang eksistensinya sangat kuat nilainya. Hingga sekarang
makam masih menjadi tempat yang selalu di kunjungi para pengunjung masjid,
dengan tujuan berziarah ke makam Raden Fatah dan yang lainya, mereka yang
dimakamkan di tempat ini memiliki kemuliaan tersendiri semasa hidupnya,
hingga sekarang mereka masih diingat dan dihormati para keturunan nya.
e. Museum
11
• Memiliki atap tumpang dengan penutup sirap dan
puncak atap menggunakan mustaka (mahkota).
• Memiliki kompleks makam di samping kiri dan
belakang masjid.
Penutup
12
Penyebaran ajaran Islam di Nusantara tidaklah mudah, namun demikian berkat
kebijaksanaan para Wali Songo dan di dukung banyak pihak, salah satunya adalah
Raden Fatah, Sang Raja Alim dari Kerajaan Demak Bintoro. Masjid Agung Demak
merupakan masterpiece yang di tinggalkan oleh para Wali Songo dan Kerajaan Islam
Demak. Kerajaan Demak Bintoro mencapai puncak kejayaanya pada era Raden Fatah
telah mendirikan suatu penanda zaman yang harus terus dilestarikan sebagai warisan
fisik dan di hidupkan sebagai rumah ibadah umat islam, yang pernah mengawal serta
mewadahi kegiatan Syiar islam yang syarat dengan makna dan nilai hikmah dari
sejarah.
Daftar Pustaka
13
E Jurnal
Ashadi, “Dakwah Wali Songo Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Perubahan
Bentuk Arsitektur Mesjid di Jawa (Studi Kasus : Masjid Agung Demak), Jurnal Arsitektur NALARs
Volume 12 No 2 Juli 2013
Internet
http://antarberita.blogspot.com/2013/11/pengertian-animisme-dinamisme.html
http://www.id.islamic-sources.com/article/sejarah-awal-agama-islam-masuk-ke-tanah-jawa/
https://travel.detik.com/domestic-destination/d-2968870/4-soko-guru-peninggalan-wali-
songo-yang-legendaris
14