Anda di halaman 1dari 20

KITAB DEWA RUCI

Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr.
Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di
Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi
naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana
Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci
yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini
tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito.
Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan
merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng.
Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku
tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
angkatan tua, ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk ilmu
kasampurnan .
Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan bahasa orang
Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis
(preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng.
Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,
kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat
ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
Lihatlah, bagaimana Sadi, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk
mengajarkan tasawuf.R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di
perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya
sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama
Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada
seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami
berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua
orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.

Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu:


Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka
dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan
empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat
nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.

Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.


Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di
kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh.
Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu,
meninggal dunia.Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-
mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya
membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras, begitu tertulis dalam 12 bilah
papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.

Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati
aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur, kata Gilgamesh sambil meneruskan
perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya
kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya.
Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan.
Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa
dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua.
Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang
indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya
meneruskan perjalanan:

O Gilgamesh, whither do you fare?


The life you seek, you will not find
When the gods created man,
They apportioned death to mankind;
And retained life to themselves
O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night;
Make of each day a festival of joy,
Dance and play, day and night!
Let your raiment be kept clean,
Your head washed, body bathed,
Pay heed to the little one, holding onto your hand,
Let your wife delighted your heart,
For in this is the portion of man

Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada the portion of man.Ia ingin mencari jauh di luar itu.
Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada
gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang
hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar
samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang
datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya
mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia
akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .

Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang
Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari
air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang
bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya
keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas
berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang
sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas
mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.

Filosofi Dewa Ruci

Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu
sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula
(manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha
Kuasa secara total.

Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang
mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran
dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan
sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa,
karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen
merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan
hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.

Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam
tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan
orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran
manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan
menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan
sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian
yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari,
satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan
tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah
wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.

Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi
pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa
membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa
mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur
kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.

Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan,
seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang
melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya
akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan
adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi
syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya
faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh
oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan
sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.

Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.

Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai
hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara
dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro
berjudul:Serat Dewaruci Kidung yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan
sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.

Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin
menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam
kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno
diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan
mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena
mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya,
dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru
Durno untuk mencelakaannya.Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja
Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara
halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati
Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra,
Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan
lainnya.

Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu
,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama
makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya
dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung
Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana,
lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena
berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa
optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-
puasnya.

Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua
disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah
dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu
karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .Namun
dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak
hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia
bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia
berdiri dibawah pohon beringin.

Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni,
Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya,
terkejut.! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang
Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah
samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi.., yang sebelumnya ia sempat
mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga
Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di
Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.

Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa
bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari
dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para
Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang
dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia
akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan,
termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.

Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba
di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan
tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan
datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak
benar.

Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu
masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit
dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan
kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.

Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis,
menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan
semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa
digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa
sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal
lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat
lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di
badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.

Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna.
Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan
pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari
Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan
hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.

Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut
panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia
berbicara :Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang
dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup
angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan. Dikatakan pula :Wahai Wrekudara, segera datang
ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini,
segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati,
memang benar, disini tidak mungkin ditemukan.
Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang
Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu
Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga
dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah
Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa,
kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan
berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka
orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya, lanjut Dewa Ruci.

Kemudian dikatakan :Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu
rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari
bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang
bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia.
Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan Segeralah kemari
Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :Tuan
ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin
masuk.Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi
dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku.

Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut
luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan
atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan
diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu
berkatalah Dewa Ruci: Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya
itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka
sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan
berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada
hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.

Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan
yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas
hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan
yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam
kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang
abadi, persatuan Suksma Mulia.

Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang
dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat
itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa
bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat
pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah
Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat
tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika
berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan
penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.

Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu,
namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang
sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan
waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara
sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat
dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.

Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan
dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran,
disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan
akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan
kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang
benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang
memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan
panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-
sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai
disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana,
tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur
menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri,
dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala
keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala
janji janganlah ingkar.

Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk
disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup
abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang
menuju pada nafsu.

Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan
suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian
dikatakan oleh Dewa Ruci :Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang
didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan
keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah
dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan
Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang
berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti
mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.

Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui
kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk,
tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang
nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan
gagallah bertapanya itu.

Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya,
cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh.
Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik
layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan
rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat
berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh
Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar,
bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar
kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang
tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.

Kembali ke Negeri Ngamarta


Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang
dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan
sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya.
Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu,
seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama
Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera.
Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia
menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di
lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :Adikku
ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini.MAKNA AJARAN DEWA
RUCI

- Pencarian air suci Prawitasari

Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata
Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari
dari pada ilmu suci.

- Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka

Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa
prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta
(tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang
dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.

1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya
dengan air.2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada
pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti
gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.Pandangan atau paningal sangat penting
pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan
antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang
digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci
melalui cahaya suci.

- Raksasa Rukmuka dan Rukmakala

Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang
hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan
untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.

Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan
makanan yang enak (kemukten).

Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang
dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-
lain (kamulyan)

Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada
kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan,
karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa
tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.

- Samudra dan Ular

Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar
samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra
Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang
dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.

Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang
seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati,
tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga
menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut:

1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.2. Legawa :
harus selalu bersikap baik dan benar.

3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.

4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan
membalas, tetap sabar.

5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan
kebenaran.

6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar
antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.

7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi
merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi
pada masa lalu.

8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.

9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.

10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.

11. Samadi.

12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu
banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah
haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan
tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu
pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah. Pertemuan dengan Dewa Suksma
RuciSesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan
Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa
Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas
seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.

Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :

- Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan
perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.

- Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu
bersatunya kawula dan Gusti.

Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya
(Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam
hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak
terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut
mati dalam hidup dan juga disebut hidup dalam mati. Bima tidak pernah merasakan
kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar
bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-
lain.

Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima

Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai
kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya.
Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar
suci yang terang yang terdapat didalam paningal.

Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang
merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa
Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.

Tusuk konde besar dari kayu asem

Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk
kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.

Tanda emas diantara mata.

Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.

Kuku Pancanaka

Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.

Melambangkan :

1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.

2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.

Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis
dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.

Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr.
Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di
Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi
naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana
Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci
yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini
tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito.
Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan
merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng.
Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku
tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
angkatan tua, ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk ilmu
kasampurnan .
Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan bahasa orang
Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis
(preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng.
Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,
kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat
ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
Lihatlah, bagaimana Sadi, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk
mengajarkan tasawuf.R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di
perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya
sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama
Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada
seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami
berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua
orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.

Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu:


Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka
dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan
empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat
nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.

Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.


Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di
kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh.
Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu,
meninggal dunia.Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-
mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya
membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras, begitu tertulis dalam 12 bilah
papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.

Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati
aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur, kata Gilgamesh sambil meneruskan
perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya
kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya.
Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan.
Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa
dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua.
Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang
indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya
meneruskan perjalanan:

O Gilgamesh, whither do you fare?


The life you seek, you will not find
When the gods created man,
They apportioned death to mankind;
And retained life to themselves
O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night;
Make of each day a festival of joy,
Dance and play, day and night!
Let your raiment be kept clean,
Your head washed, body bathed,
Pay heed to the little one, holding onto your hand,
Let your wife delighted your heart,
For in this is the portion of man

Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada the portion of man.Ia ingin mencari jauh di luar itu.
Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada
gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang
hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar
samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang
datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya
mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia
akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .

Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang
Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari
air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang
bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya
keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas
berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang
sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas
mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.

Filosofi Dewa Ruci

Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu
sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula
(manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha
Kuasa secara total.

Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang
mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran
dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan
sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa,
karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen
merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan
hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.

Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam
tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan
orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran
manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan
menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan
sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian
yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari,
satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan
tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah
wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.

Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi
pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa
membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa
mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur
kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.

Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan,
seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang
melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya
akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan
adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi
syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya
faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh
oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan
sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.

Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.

Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai
hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara
dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro
berjudul:Serat Dewaruci Kidung yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan
sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.

Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin
menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam
kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno
diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan
mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena
mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya,
dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru
Durno untuk mencelakaannya.Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja
Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara
halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati
Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra,
Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan
lainnya.

Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu
,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama
makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya
dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung
Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana,
lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena
berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa
optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-
puasnya.

Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua
disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah
dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu
karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .Namun
dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak
hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia
bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia
berdiri dibawah pohon beringin.

Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni,
Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya,
terkejut.! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang
Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah
samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi.., yang sebelumnya ia sempat
mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga
Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di
Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.

Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa
bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari
dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para
Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang
dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia
akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan,
termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.

Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba
di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan
tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan
datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak
benar.

Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu
masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit
dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan
kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.

Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis,
menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan
semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa
digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa
sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal
lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat
lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di
badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna.
Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan
pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari
Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan
hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.

Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut
panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia
berbicara :Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang
dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup
angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan. Dikatakan pula :Wahai Wrekudara, segera datang
ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini,
segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati,
memang benar, disini tidak mungkin ditemukan.
Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang
Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu
Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga
dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah
Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa,
kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan
berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka
orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya, lanjut Dewa Ruci.

Kemudian dikatakan :Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu
rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari
bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang
bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia.
Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan Segeralah kemari
Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :Tuan
ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin
masuk.Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi
dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku.

Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut
luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan
atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan
diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu
berkatalah Dewa Ruci: Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya
itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka
sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan
berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada
hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.

Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan
yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas
hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan
yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam
kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang
abadi, persatuan Suksma Mulia.

Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang
dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat
itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa
bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat
pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah
Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat
tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika
berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan
penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.

Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu,
namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang
sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan
waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara
sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat
dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.

Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan
dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran,
disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan
akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan
kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang
benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang
memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan
panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.

Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-
sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai
disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana,
tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur
menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri,
dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala
keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala
janji janganlah ingkar.

Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk
disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup
abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang
menuju pada nafsu.

Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan
suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian
dikatakan oleh Dewa Ruci :Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang
didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan
keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah
dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan
Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang
berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti
mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.

Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui
kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk,
tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang
nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan
gagallah bertapanya itu.

Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya,
cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh.
Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik
layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan
rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat
berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh
Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar,
bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar
kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang
tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.

Kembali ke Negeri Ngamarta


Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang
dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan
sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya.
Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu,
seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama
Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera.
Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia
menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di
lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :Adikku
ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini.MAKNA AJARAN DEWA
RUCI

- Pencarian air suci Prawitasari

Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata
Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari
dari pada ilmu suci.

- Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka

Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa
prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta
(tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang
dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.

1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya
dengan air.2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada
pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti
gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.Pandangan atau paningal sangat penting
pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan
antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang
digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci
melalui cahaya suci.

- Raksasa Rukmuka dan Rukmakala

Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang
hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan
untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.

Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan
makanan yang enak (kemukten).

Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang
dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-
lain (kamulyan)

Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada
kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan,
karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa
tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.

- Samudra dan Ular

Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar
samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra
Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang
dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.

Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang
seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati,
tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga
menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut:

1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.2. Legawa :
harus selalu bersikap baik dan benar.

3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.

4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan
membalas, tetap sabar.

5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan
kebenaran.

6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar
antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi
merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi
pada masa lalu.

8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.

9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.

10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.

11. Samadi.

12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu
banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah
haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan
tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu
pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah. Pertemuan dengan Dewa Suksma
RuciSesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan
Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa
Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas
seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.

Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :

- Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan
perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.

- Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu
bersatunya kawula dan Gusti.

Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya
(Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam
hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak
terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut
mati dalam hidup dan juga disebut hidup dalam mati. Bima tidak pernah merasakan
kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar
bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-
lain.

Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima

Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai
kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya.
Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar
suci yang terang yang terdapat didalam paningal.

Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang
merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa
Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem

Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk
kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.

Tanda emas diantara mata.

Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.

Kuku Pancanaka

Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.

Melambangkan :

1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.

2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.

Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis
dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.

Anda mungkin juga menyukai