org
20–26 minutes
Sunan Panggung atau Syeikh Malang Sumirang, yang memiliki nama asli Raden
Watiswara, diperkirakan hidup antara tahun 1483-1573 m. Beliau putra dari
Sunan Kalijaga hasil perkawinan dari Siti Zaenab Saudara Sunan Gunungjati.
Menurut Babad Jalasutra sebelum di jatuhi hukuman bakar hidup-hidup, ia
memiliki istri Wasi Bagena dari Jatinom Klaten yang masih cucu Brawijaya 8.
Karena sikapnya itu ia mendapatkan peringatan keras dari dewan Wali Songo,
kecuali ayahnya sendiri Sunan Kalijaga, yang tetap membiarkan anaknya
mengikuti Syeikh Siti Jenar (hal ini bisa di maklumi karena paham teologi-sufi
Sunan Kalijaga dan Syeikh Siti Jenar sama. Hanya penyampaiannya saja yang
berbeda). Peringatan keras dari pihak Demak dan Dewan Wali tidak digubris oleh
Sunan Panggung. Karena dalam hal ini beliau sudah membuktikan sendiri melalui
laku dan perjalanan spiritualnya, tentang ajaran Syeikh Siti Jenar dan bisa
membedakan dengan ajaran syar'iah pada waktu itu. Yang hanya menuntut
diberlakukan syar'i dan maknanya. Maka Akidah yang beliau ikuti adalah
penyatuan dengan Tuhan/ilmu makrifat yang sesuai dengan ajaran Syeikh Siti
Jenar. Syariat yang beliau jalankan adalah sholat daim, dan cara penyebaran
ajarannya adalah secara terbuka, untuk umum, tidak ada yang di rahasiakan. Dan
tidak menganggap orang lain lebih bodoh darinya, sehingga setiap orang selalu
bebas untuk memperoleh kesempatan mendapat ilmu agama jenis apapun.
Sampailah suatu saat, terjadinya tragedi dihukumnya guru agungnya Syeikh Siti
Jenar. Sunan Panggung marah besar. Sebab Para Wali menjatuhkan hukuman
kepada orang yang tidak berdosa. Untuk itu ia mengatur strategi dan siasat,
setelah belajar dari dua kasus pendahulunya yang dihukum mati yaitu Ki Ageng
Pengging dan gurunya Syeikh Siti Jenar.
Sunan Panggung mendirikan Paguron Lemah Abang di Pengging. Dan beliau
berhasil merekrut siswa yang sangat banyak. Bahkan Kyai yang semula di kader
oleh Dewan Wali Songo yang di doktrin untuk menyingkirkan ajaran Syeikh Siti
Jenar, justru menjadi murid setia Sunan Panggung.
Selain itu, Sunan Panggung berprilaku aneh cara memperingatkan Dewan Wali
Songo. Sebagai balasan atas Dewan Wali Songo. Sunan Panggung kemudian
melakukan tindakan balasan yang terhadap Dewan Wali Songo. Dengan cara
memelihara dua ekor anjing yang di peliharanya sejak kecil, yang di beri nama ki
tokid (tauhid) dan ki iman. Kemudian anjing itu di ajak berlari-lari mengelilingi
Masjid Jami', sambil bergurau.
Sunan Panggung diundang oleh pihak kerajaan. Dan akhirnya Sunan Panggung
menyanggupi undangan tersebut bersama utusan dari pihak Demak. Sunan
Panggung beragumentasi, bahwa inilah saat yang tepat untuk mengkritik model
dan materi dakwah, serta arogansi agama syar'i yang di jalankan pihak Demak.
"Lihat! Sunan tidak terbakar. Bisa mati di dalam hidup, dan hidup dalam mati."
Orang-orang berguman dalam hati, Malang Sumirang diuji dengan dibakar hidup-
hidup, tetapi terus hidup.
Malang Sumirang nyata lahir batinnya keliputan sanyata wali, mulia pikirannya
tiada batas jadi barang yang diinginkannya sempurna sampai hakikat rasa
puncaknya ilmu. Ilmu sejati rasa yang meliputi rasa. Rasa yang sejati. Sejatinya
rasa. Bukan rerasan yang diucapkan, bukan rasa yang ke enam, bukan pula rasa
yang tercecap di lidah. Bukan rasa yang terbersit di hati, bukan rasa yang ciptakan,
bukan pula rasa yang dirasakan tubuh. Bukan rasa yang dirasakan suara dan
bukan pula rasa kenikmatan dan derita sakit. Sejatinya rasa yang meliputi rasa,
rasa pusarnya rasa.
Para wali yang telah menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup,
hanya terbengong. Sunan Kudus, kemenakannya, menjadi limbung. Bingung
melihat kenyataan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Para wali
terlanjur menghukum Malang Sumirang, karena dituduh telah menyebarkan ilmu
sesat. Gemar memelihara anjing dan dilatih untuk menurut sampai mengerti
bahasa manusia. Tidak saja menghindari shalat di masjid, malah sering
mencemari masjid membawa anjing piaraan, binatang yang sangat jorok, liurnya
najis.
Jalan yang ditempuh Malang Sumirang "jalan kegilaan", Tariq Majnun Rabbani.
Gila karena tergila-gila kepada Tuhan. Linglang-linglung lupa daratan, terbenam
senang dalam nikmat dahsyat. Kegilaannya itu pada mulanya ditujukan oleh
ketidak aktifannya sendiri, sikap acuh tak acuh pada hukum.
Para wali menunduh Malang Sumirang telah menyingkir dari ajaran agama, tata
syariat dilalaikan. Para santrinya malah menyebutnya, Sunan Panggung. Sunan
yang hidup di tengah hutan dengan pohon-pohon berbatang besar, pang-gung
atau cabang besar. Sunan, Susuhunan, Susunan, atau Sinuhun, "Dia yang
Dijunjung". Gelar ini sesungguhnya khusus untuk hierarki wali Islam yang
memiliki wilayah perdikan dan sebutan bagi penguasa tertinggi Mataram.
"Inggih, Sunan." "Wayang dan bayangan harus menyatu dalam satu jiwa. Roh
dalam jiwa memainkan mahkluk-makhluk atas kehendak-Nya."
"Inggih, Sunan." "Sejatinya yang memerintah kita bukanlah tubuh kita, tetapi roh
dalam jiwa."
Desa Ngundung, daerah tempat tinggal Malang Sumirang, menjadi gempar. Para
santri Malang Sumirang mencari mati. Mencari orang yang mau menolong untuk
membunuhnya. Semua orang diteror agar penduduk menjadi marah, ini suatu
jalan untuk mencari kematian.
Kesengsaraan dunia ini tidak lain suatu kegilaan, orang-orang mencari kebutuhan
badaniah tanpa memperhatikan kebutuhan rohani. Orang-orang mencari
kenikmatan, namun hanya penderitaan yang dijumpai. Manusia bingung karena
tidak mengenal dirinya sendiri, karena dijadikan buta oleh hawa nafsu. Mencari
ilmu suci tidak mungkin diperoleh dengan alat panca indra, karena sifatnya yang
kotor, najis dan palsu.
Kebaruan adalah kepalsuan, kekotoran dan kenajisan, yang segera hancur
bersama-sama tibanya ajal. Hidup sesudah lahir adalah kebaruan maka itu palsu,
najis, dan kotor. Hidup sesudah kelahiran adalah kematian yang sesungguhnya.
Kedaaan kematian itulah yang membuat manusia tidak bisa bebas dari nafsu,
kebohongan, kebutuhan kekuasaan, makan, minum, bahkan shalat, puasa, zakat,
haji.
Kembalinya manusia ke asal dari mana ia lahir, sesudah ajal tiba nantilah hidup
yang sesungguhnya, ketika manusia tidak lagi membutuhkan apa pun, termasuk
keinginan, karena keinginan adalah awal dari kesengsaraan. Di mata Malang
Sumirang para wali telah keliru memanjakan pemerintahan yang tidak adil,
menindas dan korup. Makna tidak memiliki kekayaan apa-apa dalam bahasan dan
perenungan tanpa adanya pemikiran.
Syeikh Siti Jenar, sebuah perlawanan terhadap para wali yang mendukung Demak.
Maka oleh penguasa ajaran Syeikh Siti Jenar dianggap bukan hanya sesat tetapi
juga mengganggu ketenteraman masyarakat dan mengancam stabilitas kerajaan
Raden Patah. Karena gagal membujuk, atas nama Raja Demak, Dewan Agama
menetapkan hukuman mati bagi Siti Jenar.
"Berbadan roh" "Aku bukan Siti Jenar, aku Malang Sumirang, kesempurnaan yang
benar-benar sempurna. Para wali mengajarkan hukum syar'i, tetapi tidak
memahami lambang-lambang.
"Para santri tenggelam dalam ekstase kegilaan, jagad suwung, angin seperti
berhenti berembus lari ke awang-awang dan uwung-uwung. Jagad menjadi
pertapaan sunyata, bumi resah! Malang Sumirang mencari ilmu kesejatian.
Berguru pada Sunan Giri Prapen, tatkala diajari ilmu sejati, usianya baru tujuh
belas tahun. Sejak saat itu sering menyiksa raga, bertapa.
Sultan Demak dan para wali semakin bingung, permintaan Malang Sumirang
sangat aneh. Malang Sumirang berjalan menuju api pembakaran, tidak ada kata
lain yang terucap dari mulutnya selain kata, kebenaran.
"Lihat! Di dalam api dengan enaknya Sunan menulis. Api terus menjilat, menyala
lama namun Sunan tetap tenteram seakan bernaung di kolam bening. Raganya tak
mempan amukan api."
"Ya, seperti Sinta...” Seperti Nabi Ibrahim..." Orang-orang terperanjat dan mundur
beberapa langkah melihat dua sosok keluar dari amukan api. Dua anjing Malang
Sumirang keluar dari unggun membawa lembaran kertas yang telah tertulis Suluk
Seh Malang Sumirang.
Lembaran kertas itu dibagikan pada semua yang ada di Alun-alun Demak,
termasuk para wali, Sultan Demak dan para petinggi kerajaan lain. Beberapa saat
ketika orang-orang belum selesai membenahi keterperanjatannya, Malang
Sumirang keluar dari api unggun. Seluruh tubuh dan baju yang dikenakan tidak
ada tanda-tanda tersentuh oleh jilatan api. Orang-orang semakin takjub, berusaha
menahan kedipan mata.
Suluk Seh Malang Sumirang tercipta dari amukan api yang tiada mampu
menyentuh jasad Malang Sumirang. Suluk sang sufi gila, sosok antitatanan yang
tidak terjangkau poros kekuasaan. Malang Sumirang mewariskan suluk liar
mengingkari semua tatanan. Menyingkap tabir rahasia, menyurat yang
tersembunyi. Suluknya lebih tajam dari pedang Sultan Demak...
"...Manusia, sebelum tahu maknanya Alif, akan menjadi berantakan... Alif menjadi
panutan sebab huruf, Alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai
anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak
bersatu namanya alif lapat. Sebelum itu jagad ciptaan-Nya sudah ada. Lalu Alif
menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud.
Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. Alif
wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian
rasa. Jenis ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syariat. Allah itu
penjabarannya adalah Zat yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya
tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin
kamu ini semua tulisan merupakan ganti Alif. Allah itulah adanya. Alif
penjabarannya adalah permukaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar
melihat. Adapun melihat Zat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun
kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia
ini merupakan cahaya yang terang-benderang, itu memiliki seratus dua puluh
tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas
kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan zat yang mewujud pada
kebanyakkan imam. Semua menyebut zikir sejati, laa ilaaha illallah."
*) Sultan Demak dan para wali tercengang, membaca keelokan Suluk Malang
Sumirang, elok susah untuk kisahkan. Sultan Demak membisik pada Sunan Kudus
menyarankan Malang Sumirang, untuk menyingkir dan menjauh dari Negeri
Demak. Dengan langkah ragu, Sunan Kudus mendekat Malang Sumirang.
Berusaha menyembunyikan Wajahnya yang nampak pucat, Sunan Kudus berkata
sambil menunduk, "Paman telah terbukti benar sungguh benar tanpa batas di
dunia tiada tara di seluruh ciptaan. Paman tercipta sempurna, jiwa-raga titis terus
tertembus sempurna nyata sunyata. Namun Paman, jagalah derajat agama,
hormatilah batasnya, singkirkan kesalahan, patuhlah pada syariat untuk menjaga
makna.''
Dalam tatanan yang menata negeri aturan agama bertakhta dengan syariat. Lebih
baik Paman jauh dari negeri. Jangan sampai membawa kekacauan dengan
pembangkangan. Menguraikan ikatan menjarangkan pagar, memecahkan baris,
merobohkan bendera. Kemanapun Paman pergi, padepokan mana yang pantas
ditempati, tempat keramat mana yang menjadi pilihan, adalah kewajiban negeri
melengkapi apa yang harus dilengkapi.
"Malang Sumirang tak gimir dengan tawaran pertapa yang mewah. Malang
Sumirang memilih pergi ke hutan angker, Kalampisan, tempat wingit, sunyi, jauh
dari manusia. Para wali hanya bisa menggelengkan kepala tanpa suara. Matahari
telah surup orang-orang hanya terbengong melihat Malang Sumirang
meninggalkan Alun-alun Demak. Malang Sumirang pergi meninggalkan teka-teki,
sufi gila antitatanan memiliki keberanian yang tak tertundukan oleh kekuasaan.
Mengungkap rahasia kesempurnaan yang benar-benar sempurna. Tetapi sejarah
selalu berpihak pada penguasa. Dan akhirnya Sunan Panggung meneruskan
perjalananya kearah utara dan kemudian beliau menetap di Kendal (Kabupaten
Kendal Jateng) memperkuat tugas dakwah yang sudah di lakukan oleh Syeikh
Abdullah/Sunan Katong/Sunan Gembyang. Di daerah ini Sunan Panggung di
kenal dengan nama Syeikh Wali Jaka, karena sejak kedatanganya di Kendal, walau
sebenarnya sudah beristri, tidak nampak memiliki istri dan anak setelah wafat
menurut Babad Semarang beliau di semayamkan di depan Masjid Kendal.
Mengertikah anda Sholat Dhuhur mengapa empat raka’at? Itu disebabkan kita
manusia di ciptakan dengan dua kaki dan dua tangan.
Sedangkan Sholat Ashar empat raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada
dengan telaga al kautsar dengan punggung kanan dan kiri.
Sholat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung, dan satu
lubang mulut.
Adapun Sholat Isya’ menjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua
mata.
Adapun Sholat Shubuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang kejadian badan
dan nyawa roh kehidupan.
Sedangkan Sholat Tarawih adalah sunnah muakad yang tidak di tinggalkan dua
raka’atnya oleh yang melakukan, menjadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan
kiri.
Sholat Dhuhur di maksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim as pada zaman kuno
mendapat cobaan besar, di masukkan kedalam api hendak di hukum bakar. Ketika
itu Nabi Ibrahim mendapat wahyu Ilahi, di suruh melaksanakan Sholat Dhuhur
empat raka’at. Nabi Ibrahim as melaksanakan Sholat api seketika padam saat itu
juga.
Adapun Sholat Ashar, di maksudkan ketika Nabi Yunus as sedang naik dimakan
ikan besar. Nabi Yunus as merasa kesusahan ketika berada di dalam perut ikan.
Waktu terdapat wahyu Illahi. Nabi Yunus as di perintahkan Sholat Ashar empat
raka’at. Nabi Yunus as segera melaksanakanya, dan ikan itu tidak mematikanya.
Malah ikan itu mati, kemudian Nabi Yunus as keluar dari perut ikan.
Sedangkat Sholat Maghrib pada zaman kuno yang memulai adalah Nabi Nuh as.
Ketika musibah banjir bandang sejagad, Nabi Nuh as bertaubat merasa bersalah.
Dia diterima tobatnya di suruh sholat maghrib tiga raka’at. Setelah Nabi Nuh as
melakukan Sholat Maghrib banjir pun surut seketika.
Dan Sholat Isya’ sesungguhnya yang memulai Nabi Isa as ketika kalah perang
melawan Raja Harkiya/Raja Herodes semua kaumnya bingung tidak tau utara,
selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa as merasa susah, dan tidak lama
kemudian datang Malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa as
diperintah melaksanakan Sholat Isya. Nabi Isa as menyanggupinya, dan semua
kaumnya mengikutinya, dan Malaikat Jibril berkata, "aku akan membalaskan
kepada pendeta balhum".