Anda di halaman 1dari 9

budaya-indonesia.

org

Suluk Malang Sumirang » Budaya Indonesia

20–26 minutes

Sunan Panggung atau Syeikh Malang Sumirang, yang memiliki nama asli Raden
Watiswara, diperkirakan hidup antara tahun 1483-1573 m. Beliau putra dari
Sunan Kalijaga hasil perkawinan dari Siti Zaenab Saudara Sunan Gunungjati.
Menurut Babad Jalasutra sebelum di jatuhi hukuman bakar hidup-hidup, ia
memiliki istri Wasi Bagena dari Jatinom Klaten yang masih cucu Brawijaya 8.

Kepribadian Sunan Panggung sangatlah unik. Beliau memiliki lelewa (tingkah


laku) mirip ayahnya yang menjadi wali nyentrik Sunan Kalijaga. Dan berguru
kepada Syeikh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, dan sangat menghormati ayahandanya
dan gurunya yang terkenal wali nyentrik di tanah Jawa. Semula beliau dikirim
Raden Patah ke pengging untuk menjadi mata-mata. Namun beliau justru tertarik
dengan ajaran-ajaran Syeikh Siti Jenar dan menjadi pengikut setianya.

Karena sikapnya itu ia mendapatkan peringatan keras dari dewan Wali Songo,
kecuali ayahnya sendiri Sunan Kalijaga, yang tetap membiarkan anaknya
mengikuti Syeikh Siti Jenar (hal ini bisa di maklumi karena paham teologi-sufi
Sunan Kalijaga dan Syeikh Siti Jenar sama. Hanya penyampaiannya saja yang
berbeda). Peringatan keras dari pihak Demak dan Dewan Wali tidak digubris oleh
Sunan Panggung. Karena dalam hal ini beliau sudah membuktikan sendiri melalui
laku dan perjalanan spiritualnya, tentang ajaran Syeikh Siti Jenar dan bisa
membedakan dengan ajaran syar'iah pada waktu itu. Yang hanya menuntut
diberlakukan syar'i dan maknanya. Maka Akidah yang beliau ikuti adalah
penyatuan dengan Tuhan/ilmu makrifat yang sesuai dengan ajaran Syeikh Siti
Jenar. Syariat yang beliau jalankan adalah sholat daim, dan cara penyebaran
ajarannya adalah secara terbuka, untuk umum, tidak ada yang di rahasiakan. Dan
tidak menganggap orang lain lebih bodoh darinya, sehingga setiap orang selalu
bebas untuk memperoleh kesempatan mendapat ilmu agama jenis apapun.

Sampailah suatu saat, terjadinya tragedi dihukumnya guru agungnya Syeikh Siti
Jenar. Sunan Panggung marah besar. Sebab Para Wali menjatuhkan hukuman
kepada orang yang tidak berdosa. Untuk itu ia mengatur strategi dan siasat,
setelah belajar dari dua kasus pendahulunya yang dihukum mati yaitu Ki Ageng
Pengging dan gurunya Syeikh Siti Jenar.
Sunan Panggung mendirikan Paguron Lemah Abang di Pengging. Dan beliau
berhasil merekrut siswa yang sangat banyak. Bahkan Kyai yang semula di kader
oleh Dewan Wali Songo yang di doktrin untuk menyingkirkan ajaran Syeikh Siti
Jenar, justru menjadi murid setia Sunan Panggung.

Selain itu, Sunan Panggung berprilaku aneh cara memperingatkan Dewan Wali
Songo. Sebagai balasan atas Dewan Wali Songo. Sunan Panggung kemudian
melakukan tindakan balasan yang terhadap Dewan Wali Songo. Dengan cara
memelihara dua ekor anjing yang di peliharanya sejak kecil, yang di beri nama ki
tokid (tauhid) dan ki iman. Kemudian anjing itu di ajak berlari-lari mengelilingi
Masjid Jami', sambil bergurau.

Tindakan ini di samping menggambarkan pendapat al Hallaj. Agar nafsu hewan di


buang ke luar dari jiwa manusia. Juga sekaligus menunjukkan kepada Dewan Wali
Songo dan penguasa Demak, bahwa anjing tersebut juga beriman dan bertauhid
kepada Allah. Dan anjing tidak menjalani kehidupan kehendaknya sendiri seperti
kebanyakan manusia. Yang di balut dengan alasan keagamaan. Padahal agama itu
hanya berdasarkan tafsir nalar dan dasar hukum syara' yang dhohir.

Karena perguruan Sunan Panggung di anggap membahayakan oleh Dewan Wali


dan Demak khususnya. Karena ajaran yang dulu pernah dilarang. Kini malah di
hidupkan kembali. Untuk itu penguasa dan Dewan Wali mengadakan sidang
untuk mengambil tindakan untuk Sunan Panggung. Dari hasil sidang di sepakati
bahwa pemanggilan kepada Sunan Panggung harus dengan cara halus dan
diundang untuk memecahkan masalah pemerintahan. Jika sudah hadir, maka
Dewan Wali membujuk, untuk menutup perguruannya dan bergabung dengan
Dewan Wali. Termasuk mematuhi konsep keagamaan yang sudah di gariskan
kerajaan Demak. Selain itu juga di sepakati, agar penghukuman terhadap Sunan
Panggung jangan sampai memunculkan kehebohan sebagaimana pendahulunya.
Yakni agar Sunan Panggung di bakar hidup-hidup, dan tempatnya langsung
disediakan di alun-alun sebelum Sunan Panggung datang.

Sunan Panggung diundang oleh pihak kerajaan. Dan akhirnya Sunan Panggung
menyanggupi undangan tersebut bersama utusan dari pihak Demak. Sunan
Panggung beragumentasi, bahwa inilah saat yang tepat untuk mengkritik model
dan materi dakwah, serta arogansi agama syar'i yang di jalankan pihak Demak.

Sunan Panggung datang ke Demak di sertai dua anjingnya. Sesampai di alun-alun,


ia melihat tumpukan kayu yang di siram minyak. Sunan Panggung sudah
menduga siasat penguasa Demak yang akan di lakukan padanya. Namun Sunan
Panggung sudah berketatapan hati untuk menghadapi apapun yang terjadi.

Setelah matahari sebesar kemiri condong ke barat, Gunung Muria merendah,


Alun-alun Demak menjulang, orang-orang masih berdesakan. Mereka tak percaya
sesuatu yang terlihat oleh mata, Malang Sumirang raganya tidak tersentuh oleh
amukan api.
Sang tanur menjadi mahligai elok berhias permai dikelilingi pertamanan. Bertabur
kembang lengkap dengan hamparan mutiara. Busana dari surga yang teramat
wangi harum semerbak laksana busana Nabi Ibrahim yang diturunkan dari surga.

"Lihat! Sunan tidak terbakar. Bisa mati di dalam hidup, dan hidup dalam mati."

"Memancar cahaya kemilau dan bau harum semerbak."

Orang-orang berguman dalam hati, Malang Sumirang diuji dengan dibakar hidup-
hidup, tetapi terus hidup.

Dalam semarak amukan api, Malang Sumirang menulis suluk dengan


pembuka Dhandhanggula. Malang Sumirang telah menaiki burung Sadrah karena
begitu mendalamnya rindu dalam pencarian ilmu kesejatian hidup yang
sempurna.

Malang Sumirang nyata lahir batinnya keliputan sanyata wali, mulia pikirannya
tiada batas jadi barang yang diinginkannya sempurna sampai hakikat rasa
puncaknya ilmu. Ilmu sejati rasa yang meliputi rasa. Rasa yang sejati. Sejatinya
rasa. Bukan rerasan yang diucapkan, bukan rasa yang ke enam, bukan pula rasa
yang tercecap di lidah. Bukan rasa yang terbersit di hati, bukan rasa yang ciptakan,
bukan pula rasa yang dirasakan tubuh. Bukan rasa yang dirasakan suara dan
bukan pula rasa kenikmatan dan derita sakit. Sejatinya rasa yang meliputi rasa,
rasa pusarnya rasa.

Para wali yang telah menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup,
hanya terbengong. Sunan Kudus, kemenakannya, menjadi limbung. Bingung
melihat kenyataan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Para wali
terlanjur menghukum Malang Sumirang, karena dituduh telah menyebarkan ilmu
sesat. Gemar memelihara anjing dan dilatih untuk menurut sampai mengerti
bahasa manusia. Tidak saja menghindari shalat di masjid, malah sering
mencemari masjid membawa anjing piaraan, binatang yang sangat jorok, liurnya
najis.

Jalan yang ditempuh Malang Sumirang "jalan kegilaan", Tariq Majnun Rabbani.
Gila karena tergila-gila kepada Tuhan. Linglang-linglung lupa daratan, terbenam
senang dalam nikmat dahsyat. Kegilaannya itu pada mulanya ditujukan oleh
ketidak aktifannya sendiri, sikap acuh tak acuh pada hukum.

Para wali menunduh Malang Sumirang telah menyingkir dari ajaran agama, tata
syariat dilalaikan. Para santrinya malah menyebutnya, Sunan Panggung. Sunan
yang hidup di tengah hutan dengan pohon-pohon berbatang besar, pang-gung
atau cabang besar. Sunan, Susuhunan, Susunan, atau Sinuhun, "Dia yang
Dijunjung". Gelar ini sesungguhnya khusus untuk hierarki wali Islam yang
memiliki wilayah perdikan dan sebutan bagi penguasa tertinggi Mataram.

Para santrinya sangat menghormati, tunduk dengan segala perintah dan


mengikuti semua ajarannya. Para santri diajari mencari kehidupan yang
sempurna, kesempurnaan yang benar-benar sempurna. "Manusia tidak lain
hanyalah jasad-jasad mati yang dipenuhi oleh nafsu lauwamah, amarah, sufiah
dan mutmainah. Kita lepaskan nafsu-nafsu itu karena di tengah-tengah nafsumu
bertakhta sirr atau rahasia yang tersembunyi, roh dalam jiwa, kesempurnaan yang
benar-benar sempurna."

"Inggih, Sunan." "Wayang dan bayangan harus menyatu dalam satu jiwa. Roh
dalam jiwa memainkan mahkluk-makhluk atas kehendak-Nya."

"Inggih, Sunan." "Sejatinya yang memerintah kita bukanlah tubuh kita, tetapi roh
dalam jiwa."

"Inggih, Sunan." "Seperti Kresna yang memerintah kerajaan, hakikatnya bukan


Kresna. Tetapi Kresna Dwarawati. Kresna yang di dalamnya bertakhta roh Wisnu.
Kresna titisan Wisnu."

"Inggih, Sunan." "Bebaskan roh kalian dari ikatan hukum-hukum yang


menghalangi kebebasan roh yang menuju dan menyatu dengan Tuhan."

"Inggih, Sunan." "Hakikat hidup abadi baru dimulai sesudah mati."

Mendengar kalimat terakhir, para santri secara serentak tiba-tiba memukuli


dirinya sendiri. Menyiksa dirinya sendiri, membentur-benturkan kepalanya di
sembarang tempat sambil berteriak, "Aku ingin mati....aku ingin mati!" "Aku ingin
bunuh diri!"

Desa Ngundung, daerah tempat tinggal Malang Sumirang, menjadi gempar. Para
santri Malang Sumirang mencari mati. Mencari orang yang mau menolong untuk
membunuhnya. Semua orang diteror agar penduduk menjadi marah, ini suatu
jalan untuk mencari kematian.

Melihat tingkah santri-santrinya, Malang Sumirang menjadi bingung, dia


berlarian mengejar dan memanggil para santri, sambil berteriak, "Bunuh diri dosa
besar!" Teriakan Malang Sumirang, menghentikan polah dan perilaku para santri.

Secara serentak para santri menghambur mendekati Malang Sumirang dan


berlutut mengelilingi. Para santri merunduk dan terdiam, suasana menjadi
hening. Beberapa saat setelah larut dalam diam, Malang Sumirang mengajak
santri-santri melepaskan roh dari badannya.

Kesengsaraan dunia ini tidak lain suatu kegilaan, orang-orang mencari kebutuhan
badaniah tanpa memperhatikan kebutuhan rohani. Orang-orang mencari
kenikmatan, namun hanya penderitaan yang dijumpai. Manusia bingung karena
tidak mengenal dirinya sendiri, karena dijadikan buta oleh hawa nafsu. Mencari
ilmu suci tidak mungkin diperoleh dengan alat panca indra, karena sifatnya yang
kotor, najis dan palsu.
Kebaruan adalah kepalsuan, kekotoran dan kenajisan, yang segera hancur
bersama-sama tibanya ajal. Hidup sesudah lahir adalah kebaruan maka itu palsu,
najis, dan kotor. Hidup sesudah kelahiran adalah kematian yang sesungguhnya.
Kedaaan kematian itulah yang membuat manusia tidak bisa bebas dari nafsu,
kebohongan, kebutuhan kekuasaan, makan, minum, bahkan shalat, puasa, zakat,
haji.

Kembalinya manusia ke asal dari mana ia lahir, sesudah ajal tiba nantilah hidup
yang sesungguhnya, ketika manusia tidak lagi membutuhkan apa pun, termasuk
keinginan, karena keinginan adalah awal dari kesengsaraan. Di mata Malang
Sumirang para wali telah keliru memanjakan pemerintahan yang tidak adil,
menindas dan korup. Makna tidak memiliki kekayaan apa-apa dalam bahasan dan
perenungan tanpa adanya pemikiran.

Syeikh Siti Jenar, sebuah perlawanan terhadap para wali yang mendukung Demak.
Maka oleh penguasa ajaran Syeikh Siti Jenar dianggap bukan hanya sesat tetapi
juga mengganggu ketenteraman masyarakat dan mengancam stabilitas kerajaan
Raden Patah. Karena gagal membujuk, atas nama Raja Demak, Dewan Agama
menetapkan hukuman mati bagi Siti Jenar.

"Berbadan roh". Malang Sumirang berguman seperti mendengung. Para santri


menirukan apa yang diucapkan Malang Sumirang secara bersama dan berulang
seperti berzikir.

"Berbadan roh" "Aku bukan Siti Jenar, aku Malang Sumirang, kesempurnaan yang
benar-benar sempurna. Para wali mengajarkan hukum syar'i, tetapi tidak
memahami lambang-lambang.

"Para santri tenggelam dalam ekstase kegilaan, jagad suwung, angin seperti
berhenti berembus lari ke awang-awang dan uwung-uwung. Jagad menjadi
pertapaan sunyata, bumi resah! Malang Sumirang mencari ilmu kesejatian.

Berguru pada Sunan Giri Prapen, tatkala diajari ilmu sejati, usianya baru tujuh
belas tahun. Sejak saat itu sering menyiksa raga, bertapa.

Malang Sumirang mengaku berbadan rohani. Para wali menyebut Malang


Sumirang sebagai orang yang tidak senonoh, tak pantas, dan anarkis, bahkan
teroris, menjadi simbol antitatanan.

Pengakuan Malang Sumirang dan perilaku santri-santrinya membuat para wali


geram. Para wali menuduh Malang Sumirang mewariskan suluk liar mengingkari
semua tatanan atas nama anarki jalan kegilaan. Menyingkap tabir rahasia,
menyurat yang tersembunyi. Setelah mempertimbangkan pendapat para wali
Sultan Demak, memutuskan Malang Sumirang dihukum dengan dibakar, pati
obong, di Alun-alun Demak.

Mendengar keputusan majelis para wali Malang Sumirang tidak menampakan


ketakutan, bahkan menantang keponanakannya, Sunan Kudus, untuk segera
menyalakan unggun. Sebelum berjalan menuju api pembakaran, Malang
Sumirang minta disediakan tinta dan kertas dua bendel.

Sultan Demak dan para wali semakin bingung, permintaan Malang Sumirang
sangat aneh. Malang Sumirang berjalan menuju api pembakaran, tidak ada kata
lain yang terucap dari mulutnya selain kata, kebenaran.

Api membumbung ke angkasa, Malang Sumirang bergegas naik ke atas unggun


dan dua anjingnya yang setia mengikuti, terjun ke dalam api. Matahari semakin
mengecil, Gunung Muria kembali menyembul, angin bergegas dari awang-awung
dan uwung-uwung melintasi Alun-alun Demak. Kobaran api semakin menggila,
Malang Sumirang tidak tersentuh amukan api.

"Lihat! Di dalam api dengan enaknya Sunan menulis. Api terus menjilat, menyala
lama namun Sunan tetap tenteram seakan bernaung di kolam bening. Raganya tak
mempan amukan api."

"Ya, seperti Sinta...” Seperti Nabi Ibrahim..." Orang-orang terperanjat dan mundur
beberapa langkah melihat dua sosok keluar dari amukan api. Dua anjing Malang
Sumirang keluar dari unggun membawa lembaran kertas yang telah tertulis Suluk
Seh Malang Sumirang.

Lembaran kertas itu dibagikan pada semua yang ada di Alun-alun Demak,
termasuk para wali, Sultan Demak dan para petinggi kerajaan lain. Beberapa saat
ketika orang-orang belum selesai membenahi keterperanjatannya, Malang
Sumirang keluar dari api unggun. Seluruh tubuh dan baju yang dikenakan tidak
ada tanda-tanda tersentuh oleh jilatan api. Orang-orang semakin takjub, berusaha
menahan kedipan mata.

"Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia


tidak memahami karena hanya sibuk menghitung dosa-dosa kecil yang diketahui.
Tentang hal kufur-kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang
masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang,
puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang
sudah ditentukan Tuhan. Sembah puji puasa yang ditekuni, membuat orang justru
lupa akan sangkan paran. Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa-dosa
besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur-kafir yang dijauhi justru
membuatnya bingung. Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh.
Tidak saling mendekati sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak terjadi,
salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Mencipta dan Maha
Memelihara".

Suluk Seh Malang Sumirang tercipta dari amukan api yang tiada mampu
menyentuh jasad Malang Sumirang. Suluk sang sufi gila, sosok antitatanan yang
tidak terjangkau poros kekuasaan. Malang Sumirang mewariskan suluk liar
mengingkari semua tatanan. Menyingkap tabir rahasia, menyurat yang
tersembunyi. Suluknya lebih tajam dari pedang Sultan Demak...

"...Manusia, sebelum tahu maknanya Alif, akan menjadi berantakan... Alif menjadi
panutan sebab huruf, Alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai
anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak
bersatu namanya alif lapat. Sebelum itu jagad ciptaan-Nya sudah ada. Lalu Alif
menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud.
Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. Alif
wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian
rasa. Jenis ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syariat. Allah itu
penjabarannya adalah Zat yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya
tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin
kamu ini semua tulisan merupakan ganti Alif. Allah itulah adanya. Alif
penjabarannya adalah permukaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar
melihat. Adapun melihat Zat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun
kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia
ini merupakan cahaya yang terang-benderang, itu memiliki seratus dua puluh
tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas
kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan zat yang mewujud pada
kebanyakkan imam. Semua menyebut zikir sejati, laa ilaaha illallah."

*) Sultan Demak dan para wali tercengang, membaca keelokan Suluk Malang
Sumirang, elok susah untuk kisahkan. Sultan Demak membisik pada Sunan Kudus
menyarankan Malang Sumirang, untuk menyingkir dan menjauh dari Negeri
Demak. Dengan langkah ragu, Sunan Kudus mendekat Malang Sumirang.
Berusaha menyembunyikan Wajahnya yang nampak pucat, Sunan Kudus berkata
sambil menunduk, "Paman telah terbukti benar sungguh benar tanpa batas di
dunia tiada tara di seluruh ciptaan. Paman tercipta sempurna, jiwa-raga titis terus
tertembus sempurna nyata sunyata. Namun Paman, jagalah derajat agama,
hormatilah batasnya, singkirkan kesalahan, patuhlah pada syariat untuk menjaga
makna.''

Dalam tatanan yang menata negeri aturan agama bertakhta dengan syariat. Lebih
baik Paman jauh dari negeri. Jangan sampai membawa kekacauan dengan
pembangkangan. Menguraikan ikatan menjarangkan pagar, memecahkan baris,
merobohkan bendera. Kemanapun Paman pergi, padepokan mana yang pantas
ditempati, tempat keramat mana yang menjadi pilihan, adalah kewajiban negeri
melengkapi apa yang harus dilengkapi.

"Malang Sumirang tak gimir dengan tawaran pertapa yang mewah. Malang
Sumirang memilih pergi ke hutan angker, Kalampisan, tempat wingit, sunyi, jauh
dari manusia. Para wali hanya bisa menggelengkan kepala tanpa suara. Matahari
telah surup orang-orang hanya terbengong melihat Malang Sumirang
meninggalkan Alun-alun Demak. Malang Sumirang pergi meninggalkan teka-teki,
sufi gila antitatanan memiliki keberanian yang tak tertundukan oleh kekuasaan.
Mengungkap rahasia kesempurnaan yang benar-benar sempurna. Tetapi sejarah
selalu berpihak pada penguasa. Dan akhirnya Sunan Panggung meneruskan
perjalananya kearah utara dan kemudian beliau menetap di Kendal (Kabupaten
Kendal Jateng) memperkuat tugas dakwah yang sudah di lakukan oleh Syeikh
Abdullah/Sunan Katong/Sunan Gembyang. Di daerah ini Sunan Panggung di
kenal dengan nama Syeikh Wali Jaka, karena sejak kedatanganya di Kendal, walau
sebenarnya sudah beristri, tidak nampak memiliki istri dan anak setelah wafat
menurut Babad Semarang beliau di semayamkan di depan Masjid Kendal.

carilah kebenaran dengan hati


carilah hakiki dari agama
insya allah pasti engkau akan tau
makna sejati
bukan agama sebagai pemuas hawa nafsu
carilah diri sejatimu sebelum
engkau berbicara soal ketuhanan
jangan jadi orang sok suci
karna kesucian adalah milik
orang yang mengenal kesucian itu sendiri

Tahukah anda ?? "waktu sholat merupakan pilihan waktu sesungguhnya


berangkat dari ilmu yang hebat.

Mengertikah anda Sholat Dhuhur mengapa empat raka’at? Itu disebabkan kita
manusia di ciptakan dengan dua kaki dan dua tangan.

Sedangkan Sholat Ashar empat raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada
dengan telaga al kautsar dengan punggung kanan dan kiri.

Sholat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung, dan satu
lubang mulut.

Adapun Sholat Isya’ menjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua
mata.

Adapun Sholat Shubuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang kejadian badan
dan nyawa roh kehidupan.

Sedangkan Sholat Tarawih adalah sunnah muakad yang tidak di tinggalkan dua
raka’atnya oleh yang melakukan, menjadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan
kiri.

Adapun yang lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Sholat


Shubuh yang memiliki adalah Nabi Adam as, ketika di turunkan dari surga mulia.
Terpisah dengan istrinya hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada
wahyu melalui malaikat jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi
Adam as, "terimalah cobaan Tuhan, Sholat Shubuhlah dua raka’at. Maka Nabi
Adam as pun siap melaksanakanya. Ketika Nabi Adam as melaksanakan Sholat
Shubuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya berada di
belakangnya, sambil menjawab salam.

Sholat Dhuhur di maksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim as pada zaman kuno
mendapat cobaan besar, di masukkan kedalam api hendak di hukum bakar. Ketika
itu Nabi Ibrahim mendapat wahyu Ilahi, di suruh melaksanakan Sholat Dhuhur
empat raka’at. Nabi Ibrahim as melaksanakan Sholat api seketika padam saat itu
juga.

Adapun Sholat Ashar, di maksudkan ketika Nabi Yunus as sedang naik dimakan
ikan besar. Nabi Yunus as merasa kesusahan ketika berada di dalam perut ikan.
Waktu terdapat wahyu Illahi. Nabi Yunus as di perintahkan Sholat Ashar empat
raka’at. Nabi Yunus as segera melaksanakanya, dan ikan itu tidak mematikanya.
Malah ikan itu mati, kemudian Nabi Yunus as keluar dari perut ikan.

Sedangkat Sholat Maghrib pada zaman kuno yang memulai adalah Nabi Nuh as.
Ketika musibah banjir bandang sejagad, Nabi Nuh as bertaubat merasa bersalah.
Dia diterima tobatnya di suruh sholat maghrib tiga raka’at. Setelah Nabi Nuh as
melakukan Sholat Maghrib banjir pun surut seketika.

Dan Sholat Isya’ sesungguhnya yang memulai Nabi Isa as ketika kalah perang
melawan Raja Harkiya/Raja Herodes semua kaumnya bingung tidak tau utara,
selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa as merasa susah, dan tidak lama
kemudian datang Malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa as
diperintah melaksanakan Sholat Isya. Nabi Isa as menyanggupinya, dan semua
kaumnya mengikutinya, dan Malaikat Jibril berkata, "aku akan membalaskan
kepada pendeta balhum".

Anda mungkin juga menyukai