Anda di halaman 1dari 63

Prawacana - Serat Centhini

http://www.adjisaka.com/tjenthi/
Serat Centhini secara keseluruhan terdiri dari :
722 pupuh,
30.837 tembang (bait),
3.467 halaman pada 12 jilid buku ukuran 15cm X 21cm.

Tembang yang dipergunakan adalah:

No Sekar / Tembang Pupuh Tembang

01 Asmaradana 64 3.717
02 Balabak 16 676
03 Dhandhanggula (Sarkara) 73 5.207
04 Dudukwuluh (Megatruh) 52 1.929
05 Durma 17 483
06 Gambuh 55 975
07 Girisa 30 897
08 Jurudemung 42 1.168
09 Kinanthi 65 3.505
No Sekar / Tembang Pupuh Tembang

10 Lonthang 9 470
11 Maskumambang 42 1.704
12 Mijil 46 2.563
13 Pangkur 40 1.469
14 Pucung 58 2.388
15 Salisir 12 522
16 Sinom 64 2.675
17 Wirangrong 37 1.089
Jumlah : 722 30.837

Serat Centhini mungkin karya sastra terpanjang yang pernah ditulis oleh umat manusia diseluruh dunia.
Secara keseluruhan, tidak ada kata lain bahwa memang Serat Centhini adalah suatu karya sastra Jawa yang luarbiasa,
baik dari segi tatabahasa tembang Jawa yang indah maupun dari segi isinya yang terdiri dari rangkuman Budaya Jawa
yang hidup pada abad ke-18, ilmu agama Islam maupun pengetahuan spirituil khas Jawa lainnya.
Bisa merupakan sumber bahasan dari berbagai disiplin ilmu yang tidak akan ada habisnya.
Serat Centhini dibuka pada Jilid-1, Pupuh 1,

Tembang 1 (Sinom):

Sri narpadmaja sudigbya, Sang putra mahkota,


talatahing tanah Jawi, berwilayah tanah Jawa,
Surakarta Adiningrat, Surakarta Adiningrat,
agnya ring kang wadu carik, memerintahkan jurutulis,
Sutrasna kang kinanthi, Sutrasna yang dipercaya,
mangun reh cariteng dangu, mengumpulkan cerita lama,
sanggyaning kawruh Jawa, keseluruhan pengetahuan Jawa,
ingimpun tinrap kakawin, digubah dalam bentuk tembang,
mrih kemba karaya dhangan kang miyarsa. agar mengenakkan dan menyenangkan yang
mendengar.
Sedangkan penutupannya pada Jilid-12, Pupuh 708,
Tembang ke 672 (Dandanggula):

Kadarpaning panggalih sang aji, Didorong oleh keinginan Sang Raja,


kang jinumput wijanganing kata, yang diambil makna kata-katanya,
tinaliti saturute, diteliti urutannya,
tetelane tinutur, nasehat yang disampaikan,
titi tatas tataning gati, teliti tuntas teratur maksud tujuannya,
sakwehnung kang tinata, semua sudah diceritakan,
wus samya ingimpun, semua sudah dikumpulkan,
ala ayuning pakaryan, baik buruknya perbuatan,
kawruh miwah ngelmuning kang lair bathin, pengetahuan maupun ilmu lahir bathin,
winedhar mring para muda. diuraikan buat para kawula muda.

Pupuh 722, Tembang ke 55 (Asmaradana):


Titi tamat ingkang tulis, Sudah tamat tulisannya,
telas ingkang cinarita, selesai ceritanya,
Seh Mongraga lalakone, riwayat Seh Amongraga,
kongsi amadeg narendra, sampai menjadi raja,
kendhang tekeng pralaya, terusir meninggalnya,
kran Sunan Tegalarum, diberi nama Sunan Tegalarum,
pisah sumarenira. terpisah makamnya.
Dari tembang pembukaan dan penutup, maksud dan tujuan penulisan Serat Centhini adalah untuk melestarikan
Budaya atau Pengetahuan Jawa agar bisa jadi pelajaran buat generasi muda. Tapi sungguh disayangkan generasi
muda saat ini tidak banyak yang tertarik untuk membaca karya sastra adiluhung ini, justru para peneliti asing yang
tertarik mempelajari Serat Centhini.

Serat Centhini juga mengandung hal-hal yang kontroversi dibandingkan nilai-nilai Budaya Jawa (Indonesia) yang
berlaku saat ini, yaitu:

1. Kandungan cerita tentang seksualitas:


Walaupun Serat Centhini bercerita tentang perjalanan para santri, dalam mengungkap masalah seksualitas
(bisa dikatakan beraliran naturalis) secara detil dan blak-blakan.
Termasuk perilaku seks yang menyimpang yang memang hidup dalam masyarakat pada saat itu maupun
ilmu yang berkaitan dengan seksualitas.

2. Persaingan antara Budaya Kraton dan Budaya Pesantren:


Setelah Sunan Giri dijatuhkan oleh Sultan Agung, budaya kraton dan budaya pesantren mengalami
perkembangan yang terpisah.
Ulama Islam saat itu ada yang bersikap akomodatif terhadap kerajaan dengan menjadi ulama dikalangan
kraton.
Ada juga yang mengambil sikap independen atau tidak mau tunduk dengan aturan kerajaan dengan
mengembangkan budaya pesantren yang tertutup pada kalangan mereka sendiri tapi tidak menunjukkan
perlawanan terhadap kerajaan.
Serat Centini adalah cerita tentang para santri dari sudut pandang kerajaan (kraton). Seh Amongraga dan
istri, setelah susah payah menimba ilmu agama Islam dan mencapai kesempurnaannya, pada akhir cerita
tertarik untuk menjadi raja.
Seolah-olah ingin mengatakan bahwa kekuasaan sebagai raja lebih bernilai dibandingkan dengan
kesempurnaan ilmu agama.
Kalau cerita ini hanya karangan maka makna sebenarnya dari penulisan Serat Centhin adalah ingin
menegaskan dominasi kerajaan terhadap para ulama agama Islam.
Akhirnya para ulamapun pada titik kesempurnaan agama masih tertarik pada kekuasaan untuk menjadi raja.

3. Penekanan pada ilmu tasauf:


Penekanan ajaran agama Islam di Serat Centhini adalah limu tasauf yaitu suatu sikap berserah diri secara
total kepada kehendak Allah SWT melalui tahapan pendalaman ilmu syariat, tarekat, hakekat, makrifat. Ini
adalah ajaran agama Islam di Jawa berdasarkan warisan ajaran walisanga.
Pengetahuan spriritual Jawa seperti Sastra Jendra Hadiningrat, sudah ada sejak sebelum kedatangan agama
Islam. Ilmu tasauf dalam agama Islam menemukan kemiripan dengan pengetahuan sprituil Jawa yang sudah
ada, oleh karena itu keduanya bertemu dalam sinkretisasi agama Islam di Jawa.
Hal ini adalah kontroversi dengan apa yang umumnya diajarkan oleh ulama agama Islam di Indonesia saat ini
yang sangat fokus pada ajaran syariat (bisa terhenti pada rutinitas ceremonial) yang malahan berakibat
merosotnya nilai-nilai moral masyarakat pada umumnya.

Sumber:
http://id.shvoong.com/books/classic-literature/1940783-resensi-serat-centhini-penutup/#ixzz1sitwNFEY
Ringkasan Serat Centhini
01 05 09

Ringkasan Ringkasan Ringkasan


Serat Centhini Jilid 01 Serat Centhini Jilid 05 Serat Centhini Jilid 09
Selanjutnya : (01) Gancaran Jilid 01 Selanjutnya : (05) Gancaran Jilid 05 Selanjutnya : (09) Gancaran Jilid 09
02 06 10

Ringkasan Ringkasan Ringkasan


Serat Centhini Jilid 02 Serat Centhini Jilid 06 Serat Centhini Jilid 10
Selanjutnya : (02) Gancaran Jilid 02 Selanjutnya : (06) Gancaran Jilid 06 Selanjutnya : (10) Gancaran Jilid 10
03 07 11

Ringkasan Ringkasan Ringkasan


Serat Centhini Jilid 03 Serat Centhini Jilid 07 Serat Centhini Jilid 11
Selanjutnya : (03) Gancaran Jilid 03 Selanjutnya : (07) Gancaran Jilid 07 Selanjutnya : (11) Gancaran Jilid 11
04 08 12

Ringkasan Ringkasan Ringkasan


Serat Centhini Jilid 04 Serat Centhini Jilid 08 Serat Centhini Jilid 12
Selanjutnya : (04) Gancaran Jilid 04 Selanjutnya : (08) Gancaran Jilid 08 Salajengipun : (12) Gancaran Jilid 12
Ringkasan Serat Centhini Jilid 01

(1) Babad Giri (1487 - 1636)


Seh Wali Lanang dari Jeddah tiba di pelabuhan Gresik pada masa kerajaan Majapahit, menikah dengan Putri dari
kerajaan Belambangan yang berhasil disembuhkan ketika menderita sakit.
Karena Raja Belambangan tidak mau masuk Islam, Seh Wali Lanang meninggalkan Belambangan pergi ke Malaka.
Istrinya sudah mengandung kemudian melahirkan bayi laki-laki.
Bayi dimasukkan ke-kendaga dibuang ke laut, ditemukan Nyi Semboja yang sedang berlayar, diangkat anak diberi
nama Santri Giri.
Santri Giri belajar agama Islam kepada Sunan Ngampel, berteman baik dengan Bonang, anak Sunan Ngampel.
Setelah dewasa Santri Giri dan Santri Bonang mau pergi naik haji, mampir di Malaka ketemu Seh Wali Lanang,
disuruh pulang lagi. Santri Giri diberi nama Prabu Setmata dan Santri Bonang diberi nama Prabu Anyakrawati.
Kemudian Prabu Setmata menjadi raja di Giri.
Ketika Sunan Giri jadi raja di Giri, Majapahit menyerang Giri karena tidak senang adanya kerajaan Islam.
Sunan Giri sedang menulis dengan kalam, kalam tersebut dilempar berubah jadi tombak yang mengamuk ke barisan
tentara Majapahit yang lari kocar-kacir.
Tombak diberi nama Kalam Munyeng.
Sunan Giri meninggal digantikan anaknya Sunan Giri Kedaton, kemudian digantikan cucunya Sunan Giri Parapen.
Pada masa Sunan Giri Parapen, Majapahit menyerang lagi dan berhasil menduduki istana tapi saat mau merusak
makam Sunan Giri, dari dalam kubur muncul beribu-ribu kumbang yang menyerang tentara Majapahit yang lari
kocar-kacir.
Giri ditaklukkan Sultan Agung dari Mataram tahun 1636 karena Sultan Agung tidak mau ada dua raja di tanah Jawa.
Sunan Giri Parapen ditawan dan dibawa ke Mataram.
Sedangkan anaknya: Jayengresmi, Jayengrana dan Niken Rangcangkapti melarikan diri.

(2) Perjalanan Jayengresmi diikuti santri Gathak dan Gathuk.


Rute perjalanan: bekas istana Majapahit, candi Brawu, candi Bajangratu, candi Panataran di Blitar, arca Ki Gaprang di
Gaprang, gong Kyai Pradah di hutan Lodhaya, ketemu Ki Carita di Pakel, mata air Sumberbekti di Tuban, sendang
Sugihwaras di hutan Bago Bojonegara, tulang-tulag besar di gunung Phandan, gunung Gambiralaya, ketemu Ki
Pandang di Phandangan, sumber api alam di Dhander, sumber minyaktanah di Dandhangngilo, ketemu Ki Jatipitutur
di Kesanga, sumber air asin di Kuwu, ketemu Kyai Pariwara di Sela, lihat gunung Merapi di Gubug ketemu Dathuk
Bhani, bekas istana Prawata ketemu Ki Darmajati, Mesjid Agung Demak, Jepara, gunung Muria ziarah ke makam
Sunan Muria ketemu Buyut Sidhasedya, ketemu Wasi Kawiswara di Panegaran - Pekalongan, gunung Slamet ketemu
Seh Sekardelima, gunung Siwal ketemu Wasi Narwita, gunung Cereme ketemu Resi Singunkara, gunung Tampomas
ketemu Seh Trenggana, gunung Mandhalawangi ketemu Ajar Suganda, Bogor ketemu Ki Wargapati, membangun
pertapaan di gunung Salak. Diangkat anak dan dibawa ke Gunung Karang, Pandeglang, Banten oleh Ki Ageng Karang
yang bernama Seh Ibrahim.
Sedangkan cerita, legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang bijak
yang menyepi di pedalaman adalah:

Cerita/Legenda:
Ular Jaka Nginglung asal muasal air asin Kuwu;
Ki Ageng Sela menangkap petir dan pepalinya.

Adat Istiadat:
Arti kicau burung dandang & prenjak;
Perhitungan hari baik untuk berbagai keperluan;
Ukuran pembuatan keris tombak dan bagian-bagian rumah; Penanggalan Jawa menggunakan 30 Wuku;
Candrasangkala.

Pengetahuan Spirituil:
Serat Nitisruti;
Suluk Wali Sanga cerita tentang Wali Sanga;
Waringin Sungsang;
Suluk Tapa Lima;
Suluk Langit Sapta;
Puji Dina;
Tanda-tanda kiamat.
(3) Perjalanan Jayengrana dan Niken Rangcangkapti diikuti santri Buras.

(4) Rute perjalanan:


pesantren Ki Amat Sungeb di Sidacerma, sendang Pasuruan, telaga Gati, Banyubiru, air terjun Baung di gunung
Tengger, candi Singasari, sumber Sanggariti di Sisir, candi Tumpang, candi Kidal, Tosari ketemu Buyut Sudarga lihat
kawah Bromo dan lautan pasir, ketemu Resi Satmaka di Ngadisari, Klakah ketemu Umbul Sadyana malam hari ke
telaga Dago lihat api gunung Lamongan, Kandhangan - Lumajang ketemu Seh Amongbudi, Argapura ketemu Seh
Wadat, gunung Rawun ketemu Retna Tan Timbangsih, Nglicin - Banyuwangi lihat candi Selacendhani ketemu Ki
Menak Luhung, ketemu Ki Hartati saudagar dari Pekalongan, diangkat anak oleh Ki Hartati dibawa naik perahu ke
Pekalongan, diterima dengan senang hati oleh Nyi Hartati, Nyi Hartati meninggal dunia, seribu harinya disusul Ki
Hartati juga meninggal, meninggalkan Pekalongan pergi ke gunung Prahu ketemu Ki Gunawan diajak ke pegunungan
Dieng melihat sumur Jalathunda, kawah Candradimuka, candi-candi di Dieng, Sokayasa Banyumas dikaki gunung
Bisma, perjalanan diantar oleh Ki Gunawan ketemu Seh Akhadiyat lalu keduanya diangkat anak.

Sedangkan cerita, legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang sempat dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-
orang bijak yang menyepi di pedalaman adalah:

Cerita/Legenda:
Cerita tentang Sri Sadana, asal mula padi;
Sifat-sifat tokoh wayang purwo / Mahabarata: Duryudana, Sengkuni, Durna Pendowo Lima, Sri Kresna, Istri-
istri Arjuna: Sumbadra, Ulupi, Manuhara, Gandawati, Srikandi.
Adat Istiadat:
Cara tradisionil mengobati orang sakit dan ibu setelah melahirkan anak; Arti impian;
Perhitungan selamatan orang meninggal.

Pengetahuan Spirituil:
Penjelasan agama Hindu Sambo, Brama, Indra, Wisnu, Bayu dan Kala;
Syariat agama Nabi: Adam, Sis, Nuh, Ibrahim, Daud, Musa, Isa, Nabi penutup Nabi Muhammad s.a.w.;
Uraian tentang wudlu dan salat;
Penjelasan tentang Dzat, Sifat, Nama, dan Keberadaan Allah menggunakan sifat dua puluh;
Kadis Markum Baslam tentang empat nafsu: Luamah, Amarah, Supiyah, dan Mutmainah.

Sumber : http://id.shvoong.com/books/mythology-ancient-literature/1917559-serat-centhini-jilid/
Ringkasan Serat Centhini Jilid 02

Serat Centhini Jilid-2 berisi 87 pupuh dari pupuh 88 s/d 174, berisi perjalanan Mas Cebolang (diikuti santri: Palakarti,
Kartipala, Saloka, Nurwiti) anak Seh Akadiyat dari Sokayasa, Banyumas. Seh Ahkadiyat pada akhir Jilid-1 diceritakan
mengangkat anak Jayengrana dan Niken Rangcangkapti.

Rute perjalanan:
meninggalkan Sokayasa, sampai di makam Dhukuh ketemu Ki Demang Srana lalu diantar ke makam Seh
Jambukarang di gunung Lawet, pancuran Surawana yang bermata air di Muncar ketemu Ki Dati, bendungan
Pancasan di Banyumas, naik rakit sungai Serayu, berhenti di Arjabinangun ketemu Ajar Naraddhi, lihat gua
Limusbuntu, lihat gua Selaphetak yang berbentuk pendapa rumah, sampai di Segara Anakan, naik perahu
menuju Karangbolong, di Ujung Alang gunung Ciwiring bisa kelihatan pulau Bandhung tempat bunga
Wijayakusuma yang dijaga burung Bayan, di Jumprit lihat mata air sungai Praga di gunung Sindara ketemu Ki
Gupita, gunung Margawati di Kedu ketemu Ki Lehdaswaninda, gunung Sumbing di sendang Bedhaya ketemu
dhanyang Ki Candhikyuda dan istrinya Nyi Ratamsari, lihat mata air Pikatan, sampai di Ambarawa di gunung
Jambu siarah makam Prabu Brawijaya dari Majapahit, suasana jadi gelap karena hujan abu dari letusan
gunung Merapi, berjalan dalam gelap sampai di gunung Tidhar ketemu Seh Wakidiyat, lihat candi Borobudur,
lihat candi Mendut, sampai di Mataram pada masa Sultan Agung, tinggal di Kauman tempatnya modin istana
Ki Amat Tengara, siarah makam Panembahan Senapati di belakang Mesjid Agung, ketemu dengan banyak
orang dengan berbagai keahlian: Ki Amongtrustho ahli ulah asmara, Empu Ki Anom ahli pembuatan keris, Ki
Bawaraga ahli gending dan gamelan, Ki Madiaswa ahli tentang hal-ihwal kuda, Ki Pujangkara ahli
perhitungan hari dan berbagai pertanda alam, jagal Nyai Cundhamundhing ahli hal-ihwal nama daging
bagian-bagian dari kerbau, Nyai Padmasastra ahli batik tulis, Nyai Sriyatna ahli sajen untuk pengantin, Nyai
Lurah Kraton ahli ha-ihwal pengantin, modin Ki Goniyah juga ahli hal-ihwal pengantin, Kyai Amat Kategan
memberi penjelasan beberapa hal tentang agama Islam, Ki Rasiku jurukunci makam Glagaharum di Demak
menjelaskan cerita Sunan Kalijaga ketemu Puntadewa, Ki Harjana santri dari Jatisari ahli perhitungan hari, Ki
Amat Setama cerita tentang Raja Istambul, Ki Wirengsuwigna ahli berbagai tarian, Ki Demang Basman ahli
perhitungan pembuatan rumah, Kyai Sumbaga ahli pembuatan wayang kulit, Ki Toha menjelaskan tentang
mandi Rebo-an, Ki Sopana ahli huruf-huruf kuno, Nyai Atikah bercerita tentang Ni Kasanah yang berbakti
sama suami , Ki Narataka jurukunci meriam pusaka kraton, Ki Candhilaras juru dongeng dan tembang..

Pada Jilid 2 ini Serat Centhini lebih banyak mencerikan Mas Cebolang ketemu banyak orang di sekitar istana
Mataram bercerita tentang legenda, adat istiadat dan ilmu yang mereka punyai sesuai keahlian mereka masing-
masing.

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang
tersebut adalah:
Cerita/Legenda:
Sri Kresna dengan bunga Wijayakusuma;
Permaisuri Raja Bagdad dan perdana mentrinya;
Sunan Kalijaga ketemu Puntadewa raja Amarta;
Raja Istambul yang hafal Al-Quran;
Cerita tentang asal muasal bahasa dan huruf tatkala membangun menara Bibel;
Ni Kasanah yang berbakti sama suaminya Suhul;
Siti Aklimah yang dituduh serong pada jaman Rasul;
Nabi Sulaiman mencoba kesetiaan cinta kasih antara Dara Murtasyah dengan Sayid Ngarip;
Cerita wayang lakon Partadewa, Patih Satama dan Nyai Satami yang berubah jadi meriam di kerajaan Galuh;

Adat Istiadat:
Perilaku asmara enam macam;
Aturan berkenan dengan nikah, cerai, idah, rujuk, rukun, khuluk, dan maskawin;
Keterangan tentang delapan belas wanita yang tidak boleh diperistri;
Uraian tentang muhrim wali;
Uraian tentang cerai tanpa talak, rapak, syarat nikah, doa nikah, tata-tertib nikah;
Perihal ulah asmara, pembuka pembangkit rasa maupun penahan rasa;
Hal-ihwal nama dan macam-macam bagian daging kerbau;
Hal ihwal keris, bentuk keris, bagian keris, macam ragam bentuk keris lurus dan keris berluk, tentang keris
berluk: 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17, 19, 21, 23, 25, 27, 29, bentuk mata tombak lurus dan berluk;
Seluk beluk gending dan gamelan;
Hal ihwal berkenaan dengan kuda, cara mengendarai kuda, mencemeti kuda, menjinakkan kuda, bentuk dan
warna kulit berkaitan dengan watak kuda;
Perhitungan hari memperbaikai rumah, hari pasaran bayi, arti tanda-tanda gejala alam seperti gerhana,
lintang kemukus, gempa bumi;
Hal-ihwal dengan berbagai kain batik tulis, lukisan kain yang menjadi pantangan dan pantangan-pantangan
dalam membuat batik lukis;
Uraian sajian buat acara pengantin;
Tata cara pengantin, lamaran, peningset, bubak kawah (bermenantu anak sulung), tumplak punjen
(bermenantu anak bungsu), midodareni, upacara temu pengantin, kelengkapan pakaian pengantin;
Perhitungan menaruh orang sakit; Macam ragam tari wireng dan asal mula tari bedhaya-serimpi;
Bermacam-macam wayang (wayang gedhog, wayang klitik, wayang golek, wayang topeng), Mandi Rebo-
wekasan (hari Rebo terakhir dalam bulan Sapar); Ruwatan Murwakala.

Pengetahuan Spirituil:
Penjelasan tentang turunnya Lailul-kadar;
Kisah Nabi Kidir dan Nabi Musa;
Pahala orang yang hafal Al-Quran apalagi kalau mengerti artinya;
Penjelasan tentang puasa sunah.

Sumber : http://id.shvoong.com/books/mythology-ancient-literature/1918227-serat-centhini-jilid/
Ringkasan Serat Centhini Jilid 03

Serat Centhini Jilid-3 berisi 82 pupuh dari pupuh 175 s/d 256, masih meneruskan perjalanan Mas Cebolang yang
diikuti empat santri: Palakarti, Kartipala, Saloka, Nurwiti. Mas Cebolang adalah anak Seh Akadiyat dari Sokayasa,
Banyumas. Seh Akadiyat pada akhir Jilid-1 diceritakan mengangkat anak Jayengrana dan Niken Rangcangkapti.

Rute perjalanan:
masih di ibukota Mataram ketemu:
Ki Cendhanilaras berbicara soal pasugihan (ilmu hitam menjadi kaya), Tumenggung Sujanapura diberi wejangan
Sastra Jendra Hayuningrat,
Ki Ajar Sutikna berbicara hari baik untuk beberapa keperluan, bersama - sama Ki Ajar Kepurun meninggalkan ibukota
Mataram bermalam di desa Kepurun berbicara tentang hal-ihwal wanita,
ketemu Lurah Harsana lihat candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Roro Jonggrang dan bercerita legenda berkenaan
dengan candi tersebut, sampai di desa Kajoran ketemu Ki Ngabdulmartaka bercerita tentang Serat Suluk Hartati,
diajak oleh Ki Ngabdulmartaka ketemu Panembahan Rama bercerita tentang ilmu kasunyatan tentang asal usul
kehidupan, liwat hutan nginep di planggrongan (rumah diatas pohon kayu) kepunyaan Ki Wreksadikara berbicara
soal kayu dan rumah, desa Tembayat ketemu Modin Ki Sahabodin bercerita tentang Sunan Gede Pandhanaran dan
Seh Domba, Panaraga ketemu Ki Wanakara berbicara tentang jamu untuk berbagai penyakit dan ura-ura (lagu) sifat-
sifat manusia yang kurang baik, Pajang ketemu Ki Mastuti bercerita silsilah raja Pajang s/d Sultan Agung di Mataram,
diantar oleh Ki Mastuti ke makam Laweyan, di mesjid Laweyan ketemu Ki Ngabdul Antyanta dan Ki Sali bercerita
tentang ramalan Jayabaya..

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang
tersebut diatas adalah:

Cerita/Legenda:
Ki Harda yang cari pesugihan (ilmu hitam cari kekayaan) di hutan Roban;
Serat Lokapala serita asal usul Rahwana (Ramayana);
Cerita penyebaran agama Islam di Jawa dari masa Sunan Ngampel s/d Sultan Agung;
Cerita Prabu Dewanata di Pengging; Cerita Prabu Dipanata di Salembi melawan Prabu Karungkala di
Prambanan,
Cerita Bandung Bandawasa asal mula Candi Sewu dan Candi Roro Jonggrang;
Cerita Ke Gedhe Pandanaran dan Seh Domba; Silsilah Sultan Pajang s/d Sultan Agung di Mataram; Cerita
tentang Ramalan Jayabaya.
Adat Istiadat:
Sifat-sifat dalam penanggalan Jawa dan perhitungan baik buruknya perjodohan;
hal-ilhal bermain kartu;
pemilihan jodoh berdasarkan bibit, bebet, bobot;
tanda-tanda baik buruknya sifat wanita, hal-ihwal olah asmara;
delapan hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan pekerjaan;
sebelas macam kayu dan masing-masing manfaatnya;
berbagai jenis rumah
o Joglo 7 macam,
o Limasan 10 macam,
o Kampung 9 macam,
o Mesjid 3 macam;
empat puluh empat macam gendhing terbangan;
penjelasan makna selamatan orang meninggal dari 3 hari s/d 1000 hari;
sifat-sifat wanita dilihat dari hari lahir pada penanggalan Jawa;
jamu untuk macam-macam penyakit;
ura-ura (lagu) tentang sifat-sifat manusia yang kurang baik;

Pengetahuan Spirituil/Agama:
Perihal unsur kehidupan api, bumi, udara, air;
Sastra Jendra Hadiningrat; Serat Suluk Hartati;
Berbagai ilmu Kasunyatan tentang asal usul kehidupan;
Pancadriya dan Pancamaya;
Penjelasan tentang fasik, munafik, najis,makruh, kekah.

Sumber : http://id.shvoong.com/books/classic-literature/1919582-serat-centhini-jilid/
Ringkasan Serat Centhini Jilid 04

Serat Centhini Jilid-4 berisi 65 pupuh dari pupuh 257 s/d 321, meneruskan perjalanan Mas Cebolang dari Laweyan,
Surakarta menuju ke tenggara dan berakhir di Wirasaba Jawatimur.

Rute perjalanan:
masih di Mesjid Laweyan Surakarta Ki Sali melanjutkan bicara tentang ramalan Jayabaya,
Ki Atyanta berbicara tentang 40 macam tanda-tanda kiamat yang berasal dari Hadits dan cerita tentang Seh
Markaban dari Mesir, desa Majasta ketemu Ki Jayamilasa jurukunci makam Jaka Bodho putra raja Majapahit,
ditepi sungai Dengkeng diceritakan tentang riwayat Jaka Tingkir,
ziarah di makam Banyubiru diceritakan tentang Ki Buyut Banyubiru murid Sunan Kalijaga, desa Taruwangsa ziarah ke
makam Ki Ageng Banjarsari, melihat sendang Selakapa, sendang Purusa, sendang Banyubiru, desa Teleng lihat
sendang Tirtamaya, menuju ke Pacitan di Girimarta ketemu Endrasmara anaknya Ketib Winong dari Mataram,
ketemu mertua Endrasmara bernama Kyai Haji Nurgirindra bercerita tentang Asmaulhusna, diajak kerumahnya Nyai
Wulanjar di Paricara Wonogiri, maksudnya mau ke Panaraga kesasar samapi ke laut selatan, tiba di desa Karang
ketemu Ki Darmayu, ketemu rombongan Brahmana Sidhi dari Hindustan berbicara tentang agama Budha, sampai di
desa Salaung ketemu Ki Nursubadya berbicara tentang warok dan gemblakan, sampai di asrama Majenang di gunung
Wilis ketemu Seh Matyasa, sampai di Wirasaba ketemu ki Jamal, lalu jadi pemain kentrung dan berakhir ditanggap di
kediaman bupati Wirasaba.

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang
tersebut diatas adalah:
Cerita/Legenda:
Cerita ramalam Jayabaya pada jaman Kalabendu yang disisipi serat Kalathida karangan R. Ng.
Ranggawarsita,
Cerita tentang tanda-tanda kiamat berdasarkan Hadist,
Cerita Seh Markaban dari Mesir,
Cerita Jokobodho berguru ke Sunan Tembayat,
Cerita Jaka Tingkir yang menjadi raja di Pajang dengan gelar Sultan Adiwijaya,
Cerita Ki Buyut Banyubiru murid Sunan Kalijaga,
Serat Rama tentang Wibisana dan Kumbakarno,
Cerita Sultan Abdulkarim Kubra,
Cerita tiga batu yang bisa memberikan apa yang diminta,
Cerita tentang Parbu Nursiwan yang sangat adil,
Cerita orang Arab bernama Katim Tayi yang sangat pemurah,
Cerita tentang tokoh-tokoh pewayangan.
Adat Istiadat:
Cerita para warok dan reog Panaraga,
Serat Waduaji berisi nama-nama punggawa (pegawai) dan prajurit kerajaan serta kewajiban masing-masing,
Cerita tentang kehidupan sinden dan pemain kentrung.

Pengetahuan Spirituil/Agama:
Antara Fikih dan Tasauf; Khasiat dari Asmaulhusna;
Tingkatan Siswa di Agama Budha; Karma; Antara Ilmu dan Laku;
Cerita perlambang Dewa Ruci.

Sumber : http://id.shvoong.com/books/classic-literature/1920593-serat-centhini-jilid/
Ringkasan Serat Centhini Jilid 05

Serat Centhini Jilid-5 berisi 86 pupuh dari pupuh 321 (mulai tembang 40) s/d 356, perjalanan pulang Mas Cebolang
dari Wirasaba ke Sokayasa, Banyumas, perjalanan Mas Cebolang, Jayengsari, Rangcangkapti meninggalkan Sokayasa
menuju Wanataka dan perjalanan Jayengresmi meninggalkan Gunung Karang, Pandeglang, Banten untuk mencari
adik-adiknya sampai ke Wanamarta diselatan Gunung Giri, Jawa Timur.

Rute perjalanan pulang Mas Cebolang:


Sebagai sinden kentrung bermain dikediaman adipati Wirasaba;
Lari dari kadipaten Wirasaba karena ketahuan Mas Cebolang selingkuh dengan para selir adipati Wirasaba;
Naik ke gunung Semeru ingin ketemu buyut Danardana tapi tidak ketemu;
Pergi ke gua Sigala setelah bertapa selama 7 hari baru bisa ketemu buyut Danardana disuruh pulang ke
Sokayasa.
Rute perjalanan Mas Cebolang, Jayengsari dan Rangcangkapti:
Jayengsari dan Rangcangkapti sudah diambil anak oleh Seh Akadiyat di Sokayasa; Mas Cebolang sampai di Sokayasa;
setelah beberapa lama Mas Cebolang dinikahkan dengan Rangcangkapti; tidak beberapa lama kemudian Seh
Akadiyat dan istrinya meninggal dunia; pada suatu hari ada tamu dua santri dari Surabaya disangka utusan dari
Pangeran Pekik (adik ipar Sultan Agung) yang juga Bupati Surabaya untuk mencari mereka; karena khawatir Mas
Cebolang, Rangcangkapti dan Jayengsari meninggakan Sokayasa; menyusuri hutan Gunung Kidul menuju ke barat;
sampai di gunung Lima ketemu pendita Hercarana diminta tinggal di dhukuh Wanataka dan berganti nama
Jayengsari jadi Seh Mangunrasa, Mas Cebolang jadi Seh Anggungrimang, santri Buras jadi Monthel, sedangkan
Rangcangkapti tidak dirubah.

Rute perjalanan Jayengresmi:


Jayengresmi yang diangkat anak oleh Ki Ageng Karang di gunung Karang, Pandeglang, Banten sudah berganti nama
jadi Seh Amongraga sedangkan santri Gathak & Gathuk ganti nama jadi Jamal dan Jamil; Jayengresmi pamitan Ki
Ageng Karang untuk mencari adik-adiknya; disuruh pergi ke Wanamarta ketemu Ki Bayi Panurta; mampir di Maledari
gunung Gora ketemu Buyut Wasi Bagena; sampai di dhukuh Andong Tinunu sebelah timur laut gunung Sindoro
ketemu Seh Sukmasidik; sampai di dhukuh Wanamarta (sekitar Mojokerto, Jawa Timur), ketemu Ki Bayi Panurta
yang punya anak tiga yaitu: Niken Tambangraras, Jayengwesthi dan Jayengraga; setelah beberapa lama Seh
Amongraga dinikahkan dengan Niken Tambangraras, perayaan pernikahan Seh Amongraga dengan Niken
Tambangraras yang diramaikan dengan nanggap sinden ronggeng.
Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang
tersebut diatas adalah:

Cerita/Legenda:
masih melanjutkan petualang seks Mas Cebolang ketika jadi sinden kentrung di kediaman adipati Wirasaba
dengan selir-selir sang Adipati sampai ketahuan dan melarikan diri waktu mau ditangkap;
cerita tentang penari ronggeng dengan petualangan seksnya.

Adat Istiadat:
keutamaan wanita dalam pernikahan.

Pengetahuan Spirituil/Agama
(pada jilid-5 berisi sebagian besar pengetahuan sprituil berkenaan dengan agama Islam ataupun sinkretisasi agama
Islam), beberapa yang dijelaskan cukup panjang:
Mukmin linuhung;
Tempatnya Hyang Agung di gedung Retna Adiluhung;
Tahapan pengetahuan tasauf:
o syariat,
o tarekat,
o hakekat dan
o makrifat;
Curiga manjing rangka, rangka manjing curiga.
Pengetahuan Spirituil/Agama
yang dijelaskan hanya sekilas sehingga sulit dimengerti:
Wahyu jatmika;
Mati dalam hidup, hidup dalam kematian;
Asal mulanya alam semesta dan datulah;
Roh-ilapi, budi dan nafsu, penjelasan tentang nafsu amarah, aluamah, mutmainah, supiyah, budi baik dan
buruk, rasa jati;
Keutamaan ilmu;
A-takyun-kun, nukat gaib, wilayat, gaibulguyub, gaib-uluwiyah;
Penjelasan tentang malaekat, nabi, wali, mukmin kas, cahya, mujijat, mangunah, keramat.

Sumber : http://id.shvoong.com/books/classic-literature/1921330-serat-centhini-jilid/
Ringkasan Serat Centhini Jilid 06

Serat Centhini Jilid-6 berisi 15 pupuh dari pupuh 357 s/d 372, berlainan dengan jilid-jilid sebelumnya pada jilid ini
bukan berisi cerita perjalanan tapi lebih fokus pada cerita pernikahan antara Jayengresmi yang sudah berganti nama
Seh Amongraga dengan Niken Tambangraras anak dari Ki Bayi Panurta dari Wanamarta, Mojokerta.

Pada jilid ini untuk pertama kali disebut nama Centhini yang adalah rewang (pembantu) Niken Tambangraras.

Serat Centhini ini pada awalnya bernama Suluk Tambangraras yang kemudian diganti dengan nama Serat Centhini,
sebagai penghargaan terhadap kesetiaan Centhini yang selalu mendampingi Niken Tambangraras.

1. Upacara Akad Nikah:


Seh Amongraga minta agar perayaan tidak dengan cara yang mengandung maksiat seperti nanggap sinden
ronggeng; Diceritakan juga pakaian yang dikenakan baik oleh pengantin laki-laki dan wanita maupun ayah
bunda pengantin wanita yang memakai pakaian tradisional di daerah pesantren.
Dilaksanakan di mesjid oleh Ki Pengulu yang menikahkan pengantin disaksikan wali ayah pengantin wanita Ki
Bayi Panurta serta para saksi lainnya.
Note: pada umumnya dikalangan yang pengaruh pesantrennya masih kuat akad nikah dilakukan tanpa
kehadiran pengantin wanita, hal ini masih berlaku sampai saat ini. Berlainan dengan upacara pengantin
dikalangan keraton (istana) yang diadaptasi rakyat secara umum.

2. Upacara Pertemuan Pengantin:


Pertemuan pengantin dilakukan didepan pintu pendapa dengan kedua pengantin lempar-lemparan daun
sirih, pengantin laki-laki memecah telur dan pengantin wanita membasuh kaki pengantin laki-laki yang kotor
karena pecahan telur.
Semuanya ini mengandung perlambang. Kemudian pengantin disandingkan di pelaminan didepan
krobongan.
Note: Upacara temu pengantin berlaku umum, hampir tidak ada perbedaan diseluruh pulau Jawa sampai
dengan saat ini.

3. Setelah acara temu pengantin:


Acara ngabekti yaitu pengantin laki-laki ngabekti (mencium suku) bapak dan ibu pengantin wanita;
Pengantin wanita ngabekti ke pengantin laki-laki;
Seh Amongraga minta agar ibu pengantin wanita Ni Mintarsih agar membuang semua sesaji karena hal
tersebut termasuk kepercayaan menyembah berhala.
Ini berkenaan transisi tradisi Jawa kuno maupun Hindu yang penuh dengan saji-sajian menuju tradisi Islam
yang tidak memerlukan sesaji.

4. Seh Amongraga mengajari pengantin wanita perihal ilmu agama:


Tentang sejatinya sahadat, rukun solat, tempatnya rasa sejati, kewajiban istri;
Esok harinya kedatangan tamu dari Gresik, Surabaya, Sidayu, Tuban dan Rembang yang mengantarkan
sumbangan hal ini berkenaan dengan kedudukan Ki Bayi Panurta sebagai guru sprirituil para Bupati bang
wetan (Jawa Timur);
Ki Bayi Panurta meminta Seh Amongraga memberi penjelasan kepada yang hadir tentang kitab Ibnu Hajar
yaitu: kedudukan Rasul, solat sunah dan solat wajib.

5. Perayaan pengantin di tempat para keluarga:


Ini berkenaan dengan tradisi ngunduh mantu (ikut merayakan) yang dilakukan oleh keluarga dekat.
Pengantin diarak menuju ketempat Jayengwesthi (kakak Niken Tambanraras) diadakan kenduri disana;
Pengantin diunduh (dirayakan) ditempat Jayengrana (kakak yang satu lagi dari Niken Tambanraras) dengan
gamelan yang mengumandangkan berbagai tembang.
Jamal-Jamil mempertunjukan kebolehan olah kanuragan (seperti debus di Banten).

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-6 adalah:
Cerita/Legenda:
Jalannya upacara pernikahan antara Seh Amongraga dan Niken Tambanraras maupun kebiasan ngunduh
mantu (perayaan ulangan) ditempat keluarga dekat.

(Note: kalau saat ini ngunduh mantu adalah perayaan yang dilakukan di tempat keluarga pengantin laki-laki, karena
perayaan utama selalu dilakukan ditempat keluarga pengantin wanita).

Adat Istiadat:
Tatacara, pakaian, dan upacara pengantin dikalangan pesantren yang berbeda dengan tatacara, pakaian dan
upacara pengantin dikalangan keraton (istana);
Penjelasan tentang khasiat berbagai daging binatang; penjelasan adanya berbagai tembang: kakawin,
tembang ageng, tengahan dan macapat, tembang ageng biasanya yang dilagukan oleh dalang wayang
purwa;
Penjelasan tentang penanggalan jawa berdasarkan wuku (pengaruh hindu yang saat ini juga berlaku di
kalangan masyarakat tradisionil di bali).

Pengetahuan Spirituil/Agama:
Sejatinya sahadat, rukun solat, tempatnya rasa sejati, kewajiban istri;
Kitab Ibnu Hajar tentang kedudukan Rasul, solat sunah, solat wajib;
Wirid syariat, wirid tarekat, wirid hakekat, wirid mahrifat; sajatining Pangeran.
Sumber : http://id.shvoong.com/books/classic-literature/1922158-serat-centhini-jilid/
Ringkasan Serat Centhini Jilid 07

Pada Serat Centhini jilid-7, awalnya masih melanjutkan sedikit tentang tradisi budaya pesantren, sedangkan sisanya
perihal pola pendalaman ilmu agama atau spiritual yang umum berlaku pada saat itu.

Ada beberapa kontradiksi pada Serat Centini jilid-7 ini, dikarenakan sejak abad ke-16 ketika cerita ini berlangsung
telah terjadi pengaruh budaya luar lainnya, yaitu:
1. Pola penyiaran agama Islam yang datang kemudian lebih menekankan kepada syariat atau syarat-syarat
menjalankan kewajiban agama dimana tidak terhindarkan adanya pengaruh berbagai mazab-mazab dalam
Islam. Sedangkan pola yang diajarkan oleh para walisanga adalah pengetahuan spiritual yang menekankan
ilmu tasauf yaitu hakekat dan makrifat yang tidak jauh berbeda dengan pola pendalaman sprirituil
masyarakat Jawa pada saat itu yang sudah dijalani berabad-abad lamanya dengan satu dan lain cara. Oleh
karena itu masyarakat Jawa bisa menerima agama Islam pada saat itu karena pendekatan yang tepat dari
wali sanga.
2. Pengaruh budaya Barat telah merubah paradigma pengertian tentang ilmu yang sama sekali berbeda dengan
pengertian ilmu yang ada di budaya Jawa pada abad ke-16. Ilmu dalam budaya Jawa adalah pendalaman
kehidupan spiritual, sedangkan di budaya Barat ilmu adalah pengetahuan alam dalam rangka explorasi alam
untuk kepentingan duniawi. Bahkan kita bisa pertanyakan apakah ada pendalaman spiritual dalam budaya
Barat?

Apakah pengaruh yang terjadi adalah suatu kemunduran atau suatu kemajuan? Kita serahkan saja penilaian pada diri
kita masing-masing dengan melihat kecenderungan saat ini bahwa syariat agama hanya dijalankan sebagai rutinitas
ritual tanpa pendalaman spiritual yang menyebabkan kemunduran etika dan moral dalam masyarakat.

Kontradiksi yang terdapat dalam Serat Centhini jilid-7 ini adalah:

1. Seh Amongraga meninggalkan Niken Tambangraras setelah menikah selama 40 hari. Adalah perlambang
bahwa pendalaman sprituil lebih penting dari segalanya termasuk dalam membina keluarga. Sangat
kontradiktif dengan nilai-nilai yang berlaku saat ini.

2. Seh Amongraga sudah berguru di padepokan (pesantren) tiga kali, dengan ayahnya Sunan Giri, dengan Kyai
Ageng Karang di Banten, dengan Ki Bayi Panurta di Wanamarta. Tapi ilmu yang didapat dianggap tidak cukup
untuk memahami keagungan Allah SWT oleh karena itu diperlukan laku (tarekat atau tirakat) dengan cara
lelanabrata ketempat-tempat sepi dan angker dalam rangka pemahaman segi-segi yang ajaib (gaib) tentang
kehidupan termasuk keberadaan mahluk halus. Ini adalah pola pemahaman sprirituil di budaya Jawa yang
berumur sangat tua. Bisa diartikan sebagai bentuk sinkretisasi agama Islam, tapi juga bisa diartikan bahwa
pada tataran hakekat dan makrifat agama apapun punya tujuan yang sama yaitu mengagungkan keberadaan
Tuhan Yang Maha Esa (Ini yang dijadikan dasar adanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa di ideologi Pancasila).

3. Pola tersebut diatas kontradiktif dengan pola yang berlaku saat ini dimana pelajaran di pesantren adalah
besifat final. Kalau sudah tamat, yang harus dilakukan adalah berdakwah dengan apa yang telah dipelajari di
pesantren tersebut baik dengan cara dakwah berkeliling ataupun dengan cara mendirikan pesantrennya
sendiri. Sudah sangat jarang santri yang melakukan lelanabrata untuk pemahaman sprituil yang lebih
mendalam dalam menyelami keagungan Allah SWT. Kalau dilakukan malahan dianggap menyimpang dari
ajaran agama yang sudah baku. Sebagai hasilnya adalah masyarakat Indonesia saat ini yang mayoritas
beragama Islam, tanpa disertai perilaku etika dan moral yang terpuji. Bukan agamanya yang salah tapi pola
pemahamannya yang mengalami banyak distorsi.

Sedangkan cerita/legenda adat istiadat dan ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-7 adalah:

Cerita/Legenda:
asal usul gua Sraboja yang dulunya adalah istana kerajaan.

Adat Istiadat:
Pembicaraan tentang Wuku;
Hari baik dan hari naas; tatacara menempati rumah baru;
Perihal burung dara (merpati);
Penolak hama.
Kesemuanya saat ada di buku-buku Primbon.

Pengetahuan Spirituil/Agama
sangat fokus kepada ilmu tasauf, diantaranya adalah:

1. Hakekat doa puji-pujian (dalam tembang Dandanggula):


Wruhana sajatining puji, dudu lapal kang muni ing lesan, swara lawan kumandange, pan unen-unen dudu, dene puji
sajatine, pan iya karepira kang suci sumunu, pangidhangsih karsa juga, ingkang datan kajeg-kajeg iku jayi, yen kajeg
iku aral.
Artinya: Bukan sekedar keindahan kata-kata yang diucapkan, hakekatnya adalah keinginan dan kehendak hati yang
suci yang harus dilakukan terus menerus tanpa henti.
2. Riba:
Riba badan: meniru perbuatan orang kapir,
Riba ucapan: banyak melakukan hal-hal yang haram dan makruh,
Riba hati: berbohong dan tidak menepati janji.
3. Pengamalan ilmu tasauf:
a. Syariat pengamalan keimanan dengan cara mengabdi pada Allah SWT.
b. Tarekat pengamalan keimanan dengan cara memuliakan Allah SWT.
c. Hakekat pengamalan keimanan dengan cara pemusatan pada Allah SWT.
d. Makrifat pengamalan keimanan dengan cara pemahaman keajaiban Allah SWT.
4. Daim (kekekalan, selalu) sikap terhadap Allah SWT:
Fardlu daim selalu ingat;
Niat daim selalu mengasihi;
Sahadat daim selalu mengagungkan;
Ilmu daim selalu memaklumi,
Sholat daim selalu mendekat,
Makrifat daim selalu mendengarkan,
Taukhid daim selalu percaya,
Iman daim selalu menghadap,
Junun daim selalu memuliakan,
Sekarat daim selalu menerima apapun keadaannya,
Mati daim selalu mensyukuri nikmat.

5. Rukun Islam:
sahadat,
sholat,
zakat,
puasa,
haji.
6. Kewajiban dunia:
Berbuat baik bagi sesamanya,
Menyempurnakan mayat,
Menikahkan anak perempuan,
Menghukum kesalahan,
Mengembalikan hutang.

7. Kewajiban akhirat:
Mempelajari ilmu syariat-tarekat-hakekat-makrifat,
Sholat lima waktu,
Memandikan dan menyalatkan mayat,
Sabar dan tawakal,
Tenggang rasa.

8. Empat hal yang merusak kesempurnaan hidup:


kibir (sombong),
tidak percaya dalil atau berbantahan (tentang hukum agama),
membuka rahasia (tidak bisa dipercaya),
berbohong (tidak mengatakan yang sebenarnya)

Sumber : http://id.shvoong.com/f/books/classic-literature/1923800-serat-centini-jilid/
Ringkasan Serat Centhini Jilid 08

Pada Serat Centhini jilid-8, lebih banyak cerita tentang perjalanan Seh Amongraga di wilayah Jawa Timur, perbatasan
Jawa Timur dan Jawa Tengah, sampai ke Jawa Tengah di wilayah timur dan tenggara dari kota Yogyakarta (ibukota
kerajaan Mataram saat itu).

Penulis mencoba mencocokkan nama-nama tempat di gunung Lawu yang disebutkan di Serat Centhini Jilid - 8,
ternyata persis sama dengan tempat-tempat yang ada dalam peta terkini petunjuk pendakian gunung Lawu
(www.cartenzadventure.com).

Bisa disimpulkan bahwa para penulis Serat Centhini punya pengetahuan rinci tentang geographi pulau Jawa,
kemungkinan besar dengan menggunakan data-data geographi wilayah pulau Jawa dari perpustakaan istana.
Semua tempat yang disebutkan di Serat Centhini bukanlah tempat yang fiktif tapi memang nyata-nyata ada.
Kesultanan Mataram menguasai keseluruhan pulau Jawa pada abad ke-16, kemungkinan besar data wilayah
geohraphi Pulau Jawa ada di perpustakaan istana.
Ada beberapa hal yang menyebabkan lelanabrata menjadi begitu sentral di Serat Centhini Jilid-8 ini, yaitu:
1. Umumnya pelajaran spirituil keagamaan di Jawa bernafaskan ilmu tasauf dengan konsep pendalaman
spirituil mengikuti pola urutan: syariat, tarekat, hakekat, makrifat.
2. Syariat adalah step awal dari pendalaman spirituil agama dengan menjalankan syarat-syarat yang diwajibkan
agama ataupun hukum agama.
3. Langkah ke 2 adalah pendalaman melalui tarekat. Tarekat itu sendiri bisa berarti laku atau tirakat tapi juga
bisa berarti tingkah laku atau budi pekerti, yaitu:
a. Suatu usaha untuk pengendalian hawa nafsu agar bisa punya budi pekerti yang terpuji. Dimaksud agar
pendalaman agama tidak terhenti pada syariat rutinitas ritual, tapi berlanjut pada tingkah laku atau budi
pekerti yang terpuji.
b. Di Jawa pada umumnya mengartikan tarekat ini sebagai laku atau tirakat suatu langkah sangat penting
yang harus dilakukan untuk bisa mencapai tingkatan sprituil hakekat dan makrifat.
c. Puasa wajib Ramadhan maupun puasa sunah (seperti puasa Senin dan Kamis) adalah salah satu bentuk
tarekat untuk mengendalikan hawa nafsu agar punya budi keperti yang terpuji.
d. Lelanabrata adalah salah satu bentuk tarekat atau tirakat dengan tujuan:
i. Pembuktian terhadap penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Melakukan
lelanabrata naik turun gunung hanya dengan modal tekad dan penyerahan diri secara total
kepada kehendak Allah SWT. Sangat besar kemungkinan saat melakukan lelanabrata akan
mengalami banyak mujijat kekuasaan Allah SWT.
ii. Pembuktian terhadap kebesaran Allah SWT dengan mendekatkan diri kepada alam. Suasana gua,
hutan dan gunung adalah suasana yang berbeda dengan keadaan keseharian kita. Dalam
suasana alam seperti di gua, hutan, gunung, lebih bisa merasakan keagungan Allah SWT.
iii. Pembuktian adanya alam gaib. Allah SWT itu sendiri adalah sesuai yang gaib dan ajaib. Dengan
tirakat ditempat yang dianggap angker, bisa menyelami alam gaib yang memang ada. Manusia
sebagai makhluk Allah SWT yang paling sempurna atas ijin Allah SWT mampu menguasai
keberadaan mahluk halus.

Pembuktian keberadaan Allah SWT ataupun mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Dengan melakukan lelanabrata
mengharapkan adanya suatu bentuk petunjuk atau pengalaman sprirituil pertemuan dengan Allah SWT atau
makrifat.

Pada bagian perjalanan Jayengwesthi (yang sudah diganti namanya menggunakan nama lama dari Seh Amongraga,
Jayengresmi), Jayengraga, Kulawirya dan Nuripin adalah sisi lain dari kehidupan berkenaan dengan maksiat:

1. Menjadi santri tidak otomatis terlepas dari perilaku maksiat yang berkenaan dengan perilaku seks bebas
seperti perilaku Jayengraga dan Kulawirya.
2. Kehidupan tetabuhan, gendingan, sinden dan tledek (penari tayub) bisa mengarah pada perilaku a susila.
Orangtua di Jawa jaman dulu biasanya tidak mengizinkan anaknya menjadi penyanyi atau penari karena
khawatir mengalami kehidupan seperti sinden dan tledek yang berkonotasi negatif.
3. Cerita tentang Randha Sembada adalah suatu ilustrasi bahwa keinginan seks yang berlebihan tidak hanya
milik laki-laki. Bahkan diceritakan ada perilaku menggunakan penggalak atau adanya wanita kedua yang
lebih muda sebagai pembangkit birahi. Suatu sisi lain dari kehidupan pedesaan di Jawa. Pada saat ini,
memang ada beberapa daerah pedesaan di Jawa yang para wanitanya sangat mudah tergelincir kepada
perilaku pelacuran yang memang merupakan warisan budaya sejak dulu.
Sedangkan cerita/legenda adat istiadat dan ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-8 adalah:

Cerita/Legenda:
1. Puncak Gunung Lawu dianggap kahyangan seperti di Pewayangan (seperti juga di pegunungan Dieng) suatu
usaha meyakinkan masyarakat dimasa lalu seolah-olah cerita pewayangan adalah cerita yang benar-benar
terjadi di Pulau Jawa.
2. Panembahan Senapati (pendiri kerajaan Mataram) yang menikahi Nyi Loro Kidul sebagai penjaga Mataram
dilautan dan sekaligus anak perempuannya bernama Ratu Widanangga sebagai penjaga Mataram didaratan.
Suatu legenda yang mungkin benar mungkin juga cerita karangan sebagai legitimitasi raja di Mataram
sekaligus juga mampu menaklukkan ratu mahluk halus Nyi Loro Kidul yang dikenal sebagai penguasa lautan
selatan.

Adat Istiadat:
Pawukon, Pranatamangsa, Padewan, Padangon, Pancasuda, Sengkanturunan, Taliwangke, Samparwangke,
Paringkelan yang kesemuanya sifat-sifat hari menurut penanggalan Jawa. Saat ini umumnya dikenal sebagai
horoscope yang mendasarkan pada perhitungan penanggalan Jawa.

Pengetahuan Spirituil/Agama:
1. Perihal agama Budha. Menjelaskan tentang mokswa atau kesempurnaan kematian. Kalau belum bisa
mencapai tingkatan mokswa akan reinkarnasi (hidup lagi) sampai tujuh kali, tergantung tingkah laku saat
hidup didunia, kehidupan berikutnya bisa lebih baik atau lebih buruk.
2. Wajib Rasul (meniru tingkah laku Rasul): sidik ucapannya benar, amanat bisa dipercaya, tablig percaya
kepada sesama dan Mokal Rasul (meniru yang tidak pernah dilakukan Rasul); gidib tidak menjalankan
syariat, kiyanat berkhianat, kitman menyembunyikan ilmu.
3. Langkah tobat laku maksiat: Tobat dengan mohon ampun kepada Allah SWT dan tidak melakukan perbuatan
tersebut lagi selama hidupnya.

Catatan : [dalam uraian di atas ada yang kurang, tentang sifat Rasul yaitu fathonah cerdas.

Sumber : http://id.shvoong.com/books/classic-literature/1924727-serat-centhini-jilid/
Ringkasan Serat Centhini Jilid 09

Serat Centhini Jilid-9 berisi 93 pupuh dari pupuh 507 s/d 599, isinya lanjutan perjalanan Jayengwesthi (Jayengresmi),
Jayengraga, Kulawiryo diiringi santri Nuripin mencari Seh Amongraga karena merasa kasihan melihat keadaan Niken
Tambangraras.

Rute perjalanan Jajengwesthi, Jayengraga, Kulawirya, Nuripin:


Masih di desa Pulung, tayuban dirumah Randha Sembada yang hyperseks, diceritakan bisa melayani siang tiga laki-
laki dan malamnya tiga laki-laki;

Cerita sekitar tajuban, sinden dan ronggeng maupun perilaku maksiat dari Randha Sembada, Jayengrana dan
Kulawirya.

Paginya melanjutkan perjalanan sampai di gua Padhali yang sangat luas menginap 1 malem;
Kedatangan Ki Sinduraga diajak mampir kerumahnya bercerita tentang desa Wengker atau Pura Katongan
yang dulunya istana Batara Katong;
Sholat di mesjid Tajug yang dibuat oleh Kyai Tajug dari Giri; Menuju gunung Padhangeyan diiringi petunjuk
jalan Ki Wanalela, lewat desa Seladhakon sampai di Astana Pakuncen tempat makam Batara Katong leluhur
Panaraga.
Sampai di Jenangan ketemu petingginya Narakosa bercerita tentang Watu Towok (Batu Towok) yang
dikaitkan dengan cerita Panji Asmarabangun;
Sampai di padhepokan Ki Seh Sidalangu teman akrab Ki Bayi Panurta di gunung Padhangeyan;
Ke gua Sentor tinggal selama 10 hari (yang bisa tembus ke gua Pedhali) tempat pertapaan Dewi Kilisuci;
Diiringi Ki Pakuwaja menuju gunang Bajangkaki yang angker; K
etemu Ki Dathuk diajak mampir kerumahnya di desa Pranten;
Sampai di gua Sangsangan terus naik ke puncak gunung Bajangkaki.
Sampai di desa Tegaren menginap di rumah Cangrageni yang sebetulnya adalah kepala begal (perampok);
Malamnya barang-barangnya mau di ambil, dilawan oleh Kulawirya, semua perampok kalah dan lari;
Sampai di desa Longsor ketemu petingginya Ragamenggala dan modinnya Nurbayin;
Malemnya Jayengraga melayani tiga anaknya modin Nurbanin yang perawan tua karena kurang cantik
bernama Banem, Banikem, Baniyah.
Lewat desa Padakan yang sedang tawuran dengan desa Mungur rebutan tempat menggembalakan hewan
piaraan (dua desa ini dari dulu selalu bermusuhan);
Sampai di kedhung Bagong banyak ikannya tapi angker tinggal 1 malam;
Sampai didesa Trenggalek Lembhuasta di kediaman Ki Demang Ngabei Kidang Wiracapa temen akrab Ki Bayi
Panurta, diterima oleh istri Ni Widaryati dan adik-adinya Wirabancana, Wirangkara, dan Wirabraja, punya
anak satu namanya Retna Ginubah senangnya menjelajahi hutan, hanya sekali-kali saja pulang.

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-9 adalah:

Cerita/Legenda:
Batara Katong leluhur orang Panaraga;
Cerita tentang Panji Asmarabangun;
Cerita tentang sembilan teman akrab Ki Bayi Panurta yaitu:
1. Cariksutra,
2. Carikmuda,
3. Kidang Wiracapa di Trenggalek Lembhuasta,
4. Wargasastra atau Ki Seh Sidalaku di gunung Pandhangeyan,
5. Harsengbudi,
6. Sinduraga,
7. Melarcipta punya santri bernama
8. Bawuk yang setelah jadi Penghulu ganti nama jadi Basarudin, Arundaya atau Ki Bayi Panurta di Wanamarta,
9. Danumaya atau Ki Dhatuk.
Adat Istiadat:
Ilmu-ilmu berkaitan dengan kejahatan: perhitungan hari baik untuk keberhasilan kejahatan,
penggunaan kata-kata sandi dikalangan para penjahat,
mantera maupun ajian dikalangan para penjahat;
Sandi-sastra dan Sandi-kirana;
Perhitungan dan syarat berkaitan dengan pertanian agar subur dan tidak terkena hama.

Pengetahuan Spirituil/Agama:
Sembilan tingkat derajat Islam;
Serat Panitisastra;
Hal-ihwal keduniawian dan keakhiratan;
Cacat-cela watak-tabiat manusia;
Hubungan antara topeng, gamelan, gendhing, wayang dan dhalang dengan menyembah kepada Allah SWT.

Sumber : http://id.shvoong.com/books/mythology-ancient-literature/1926842-serat-centhini-jilid/
Ringkasan Serat Centhini Jilid 10

Serat Centhini Jilid-10 berisi 38 pupuh dari pupuh 600 s/d 637, isinya: setelah tidak menemukan Seh Amongraga,
Jayengwesthi (Jayengresmi), Jayengraga, Kulawiryo diiringi santri Nuripin memutuskan untuk kembali ke Wanamarta
serta ditangkapnya Seh Amongraga kemudian dilarung (dibuang) di laut selatan karena Jamal dan Jamil dianggap
bikin rusuh diwilayah kekuasaan Sultan Agung di Mataram.

Rute perjalanan Jajengwesthi, Jayengraga, Kulawirya, Nuripin: Masih dikediaman Ki Kidang Waracapa di Trenggalek
Lembhuasta; Jayengrana menikah dengan Rara Widuri yang sering bikin onar karena obsesif (cemburuan) adalah
anak dari Ki Demang Prawirancana dari Trenggalek Wulan.

Ki Kulawirya terkena penyakit rajasinga, mimpi ketemu Jamal dan Jamil yang mengatakan bisa sembuh asal
memenuhi salah satu dari tiga sarat yaitu bersetubuh dengan gadis yang masih perawan atau dengan wanita yang
sedang menstruasi, atau bersetubuh dengan kuda;
Karena sulit mendapatkan gadis yang masih perawan, takut dosa kalau bersetubuh dengan wanita yang sedang
menstruasi, akhirnya terlaksana dan bisa sembuh setelah bersetubuh dengan kuda.

Diadakan perayaan ngunduh mantu oleh Ki Demang Prawirancana dengan mengundang ronggeng; Setelah tujuh
hari, Jayenwesthi, Jayengraga, Kulawiryo dan Nurupin berpamitan mau meninggalkan Trenggalek Lembhuasta; Rara
Widuri yang ditinggal di Trenggalek Lembhuasta menjadi linglung kemudian disembuhkan oleh Retna Ginubah dan
dibawa pulang oleh orang tuanya ke Trenggalekwulan.

Menuju gunung Rajegwesi, lewat gunung Purwa sampai di desa Gubug ketemu Seh Ekawerdi teman akrabnya Ki Bayi
Panurta; Sampai di desa Saren, gunung Bajak, gunung Bundhel, gunung Tengeng, desa Wajak Watu-urip, nyebrang
hutan Rawa, lihat Sendang Patimbulan, masuk gua Menak satu malam; Paginya sampai di desa Bopong, desa Wunut,
hutan Wratsari, desa Sarengat, gunung Pegat, gunung kecil Bagendhul di hutan Salembut.

Sehari kemudian sampai Wirasaba yang sudah dekat Wanamarta; Sesampainya di Wanamarta langsung menghadap
Ki Bayi Panurta dan menceritakan bahwa belum bisa ketemu dengan Seh Amongraga yang makin menambah
kesedihan Niken Tambangraras maupun kedua orang tuanya.

Rute perjalanan Seh Amongraga:


sudah beberapa lama berada di desa Semanu, Gunung Kidul, Mataram dan senantiasa manekung (kosentrasi memuji
kepada Allah SWT) di grobogan dalam mesjid; Jamal dan Jamil setiap hari membuat pertunjukan ilmu karang dan
ilmu sihir yang menghadirkan ribuan penonton, lama-lama kedengaran oleh Sultan Agung karena dianggap membuat
onar, sehingga mengutus Tumenggung Wiraguna untuk menangkap Seh Amongraga.
Seh Amongraga tidak melawan ketika ditangkap, kemudian dimasukkan dalam keadaan hidup kedalam bronjongan
(kurungan) dilarung (dibuang) di laut selatan, bronjongan kembali kedaratan dalam kedaaan kosong dan terdengar
suara dari Seh Amongraga: Kyai Wiraguna, katakan pada Sultan Agung telah terlaksana kehendaknya saya sudah
terlepas dari keduniawian.

Jamal dan Jamil melarikan diri kembali ke Wanamarta menceritakan apa yang terjadi yang makin menambah
kesedihan Niken Tambangraras dan semua keluarganya; Tumenggung Wiraguna menceritakan apa yang terjadi
kepada Sultan Agung dan dijawab bahwa apa yang terjadi bukan hukuman hanya sarana untuk mengantarkan Seh
Amongraga ke alam kesempurnaan melalui wibawa raja.

Sunan Giri Parapen yang setelah kalah perang, disandera dalam lingkungan istana di Mataram mendengar cerita
bahwa anaknya Seh Amongraga meninggal dilarung dilaut selatan, menjadi sangat sedih yang mengakibatkan
wafatnya.

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-10 adalah:

Cerita/Legenda:
Cerita tentang Arya Banyakwulan dari Singasari, perihal asal usul ikan kramat di kedung Bagong;

Adat Istiadat:
Perbedaan wayang Krucil dan wayang Purwa.
Pengetahuan Spirituil/Agama:
Perlambang wayang sebagai perlambang hakekat yang sejati;
Makna rasa topeng;
Hakekat pengabdian;
Hakekat ilmu kajatmikan (ketenangan hati).

Sumber : http://id.shvoong.com/books/classic-literature/1931021-serat-centhini-jilid-10/
Ringkasan Serat Centhini Jilid 11

Serat Centhini Jilid-11 berisi perjalanan menuju pertemuan seluruh keluarga yang saling berpisahan di Jurang
Jangkung (Wanataka) serta cerita Seh Amongraga maupun beberapa keluarga dekatnya yang berhasil mendalami
ilmu kesempurnaan agama melalui pendekatan ilmu tasauf dengan langkah pendalaman ilmu syariat, tarekat,
hakekat dan makrifat.

Alam kesempurnaan yang telah dicapai oleh Seh Amongraga, Jayengresmi dan Jayengraga beserta istri-istrinya
menurut buku Serat Centhini Jilid 11 ini adalah:
1. Penguasaan transformasi dari badan halus (roh) ke badan kasar (jasmani) dan sebaliknya. Dengan
penguasaan ini mereka bisa menjadi roh (badan halus) yang tidak kelihatan kemudian bila diinginkan bisa
kembali sebagai badan kasar sebagaimana manusia biasa. Ini berlainan dengan kematian dimana roh tidak
punya kemampuan kembali ke badan kasar. Hal yang mirip juga dikenal di agama Budha yang dinamakan
mokswa.
2. Kemampuan melakukan mangunah yaitu permohonan kepada Allah SWT untuk menjadikan atau
menciptakan sesuatu yang saat itu juga bisa terlaksana. Mujijat semacam ini kalau di kitab suci Al-Quran
hanya dipunyai oleh para nabi. Di Jawa banyak sekali cerita para wali (wali sanga) ataupun para aulia agama
Islam yang punya kemampuan melakukan berbagai mujijat (atas ijin Allah SWT) yang tidak bisa dilakukan
oleh manusia biasa.

Mangunah yang dilakukan oleh Seh Amongraga dalam Serat Centhini jilid 11 adalah:

1. Lolosnya Seh Amongraga dari hukuman di larung di laut selatan. Seh Amongraga saat itu tidak meninggal
dunia tapi awal dari transformasi badan kasarnya menjadi badan halus dengan sarana prabawa Raja (Sultan
Agung). Mulai saat itu Seh Amongraga hidup di alam kesempurnaan yang punya kemampuan transformasi
dari badan halus ke badan kasar atau sebalilknya.
2. Menampakkan diri kembali pertama kali ketika Niken Rangcangkapti adiknya meninggal dunia karena sedih
mendengar berita kematiannya.
3. Menghidupkan kembali Niken Rancangkapti.
4. Membantu istrinya Niken Tambangraras, Jayengresmi, Jayengraga maupun istri-istrinya memasuki alam
kesempurnaan (dikarenakan mereka sudah memenuhi syarat masuk di alam kesempurnaan).
5. Anggota keluarganya bisa bertemu dengannya di Sendhang Kalampeyan maupun Jurang Jangkung dengan
cara mengundang untuk datang melalui itikaf.
6. Dianya sendiri mempunyai kemampuan sewaktu-waktu untuk menemui dalam bentuk badan kasar kepada
siapa saja yang dia ingin temui.
7. Menciptakan dan menghancurkan kembali sebuah kota - Kota Baja.
Apakah ini sekedar cerita atau suatu kenyataan adalah Wallahu Alam! Kalau kita melihat dari penciptaan mahluk
hidup yang ada di kitab suci Al Quran, manusia dikatakan sebagai mahluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna,
karena punya lingkup kemungkinan yang lebih luas dari mahluk lainnya:
1. Setan/jin: karena tidak mau tunduk kepada manusia dihukum oleh Allah SWT selamanya akan menjadi
penggoda manusia agar ikut dengannya berbuat kejahatan dengan tenggang waktu sampai kiamat.
2. Manusia: bisa terseret dalam rangkulan setan/jin, bisa jadi manusia dengan kekurangan dan kelebihannya,
punya kemampuan meniru perilaku malaikat yang hanya menjalankan perintah dan memuji kepada Allah
SWT, bahkan punya kemampuan mendekati (bukan menyamai) sifat-sifat Allah SWT.
3. Malaikat: diciptakan hanya untuk melaksanakan perintah dan memuji Allah SWT.
4. Sedangkan alam semesta dan mahluk hidup lainnya seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan diciptakan
semata-mata rahmat Allah SWT untuk kepentingan manusia.

Adalah terserah manusia itu sendiri bagaimana menentukan dirinya sendiri memanfaatkan tenggang waktu umur
hidupnya untuk mencapai lingkup kemungkinan yang mana yang mampu dicapainya atau sebaliknya terseret oleh
pengaruh setan/jin.

Pengetahuan Spirituil/Agama:
1. Iman dan Islam: Iman lan Islam bedanya, anenggih lair lan bathin, Islam punika lair, iya Iman bathinipin
(Perbedaan Iman dan Islam, Islam itu lahirnya, Iman itu bathinnya).
Rukun Iman: percaya akan keberadaan Allah SWT, Malaikat, Kitab-Kitab Suci, Nabi-Nabi, Kiamat dan
Kodrat.
Rukun Islam: mengucapkan kalimat sahadat, sembahyang lima waktu, puasa dibulan Ramadhan,
menunaikan Zakat, kalau mampu naik Haji.
2. Mandi wajib yang dilakukan oleh wanita dan pria:
a. Wanita
i. Mandi kel (waktu haid yang pertama kali)
ii. Mandi jinabat (waktu sehabis sanggama)
iii. Mandi wiladah (waktu setelah melahirkan)
iv. Mandi nipas (waktu lepas 40 hari setelah melahirkan)
v. Mandi mayit (waktu meninggal dunia)
b. Pria:
i. Mandi jinabat (waktu sehabis sanggama)
ii. Mandi mayit (waktu meninggal dunia)
3. Ugeran (pakem atau pokok-pokok ajaran) ilmu sarengat, tarekat, hakekat, makrifat:
a. Ilmu sarengat (syariat): Kasdu takrul takyin.
o Kasdu niat,
o Takrul menyatakan/mengatakan,
o Takyin melaksanakan ibadah sesuai yang disyaratkan hukum agama.
b. Ilmu tarekat: suci badan, suci lesan, suci hati
o Suci badan beribadah sujud rukuk (memperbanyak beribadah dan sholat)
o Suci lesan berbicara hanya yang perlu dan sesuai dengan hukum agama, kalau tidak yakin atau
tidak perlu atau tidak tahu lebih baik diam.
o Suci hati menanamkan pengertian dalil Al-Quran dalam hati
c. Ilmu hakekat: Iman Tauhid Mangaripat
o Iman berbudi pekerti luhur
o Tauhid memusatkan hanya pada Allah SWT
o Mangaripat tidak ada yang dilihat kecuali keberadaan Allah SWT.
d. Ilmu makrifat: syukur suka rila
o Syukur mensyukuri (berterimakasih) dengan apa yang didapat, tidak mengeluh dengan apapun
kepastian/ketentuan yang sudah terjadi, masing-masing pribadi berbeda-beda kejadiannya.
o Suka mengerti akan asal muasal kejadian dan sifat kuasa Allah SWT, kodrat dan takdirnya, yang
tan kinaya apa (tidak bisa dipertanyakan).
o Rila tidak heran terhadap semua kejadian, dari tidak ada menjadi ada, dari ada menjadi tidak
ada, adanya tidak bisa dilihat, ketidakadaannya selalu ada.
4. Tekad tama (tekad utama): Utamakna kang wus awajib, sayogya tinekadna kasucyaning laku, angegungken
panarimanya. Artinya: Mengutamakan yang wajib, bertekad untuk menyucikan budi pekerti, selalu
berterimakasih terhadap rahmat dan nikmat Allah SWT.

Sumber : http://id.shvoong.com/books/mythology-ancient-literature/1934715-serat-centhini-jilid-11/
Ringkasan Serat Centhini Jilid 12

Serat Centhini Jilid-12 berisi 31 pupuh dari pupuh 691 s/d 722, isinya: perjalanan Jayengresmi dan Jayengraga pulang
ke Wanamerta, meninggalnya Ki Bayi Panurto dan istrinya, reinkarnasi Seh Amongraga beserta istrinya agar bisa
menurunkan raja.

Perjalanan Jayengresmi dan Jayengraga: Seh Mangunarsa, Ki Agungrimang dan Niken Rangcangkapti ikut serta;
Menginap di Ngardipala di tempat Seh Malangkarsa, diadakan acara terbangan, Nyi Pelangi istri Seh Modang jatuh
hati kepada Jayengrana hal ini diperhatikan oleh istri Jayengraga - Ni Rarasati, Seh Amongraga beserta istrinya dan
Seh Ragaresmi juga hadir dari alam gaib dalam acara terbangan.

Seh Malangkarsa, Seh Modang dan Nyi Pelangi ikut dalam rombongan dan Ki Basariman selaku penunjuk jalan;
Bermalam di desa Gunungsari ditempat Ki Cariksutra dan Ki Carikmuda, Ki Cariksutra dan istrinya Nyi Wilapa ikut
serta dengan rombongan; Lewat hutan Jembul yang angker, banyak melihat keberadaan machluk halus selama di
hutan Jembul.
Ni Pelangi masih mencoba menarik perhatian Jayengrana, tiba-tiba mendengar banteng menarik rumput, terkejut
lalu menubruk dan merangkul Jayengraga, Nyi Pelangi jatuh kerasukan, dari kemaluannya mengeluarkan darah,
ditolong oleh Seh Mangunarsa, setelah siuman bercerita bahwa dirinya diperkosa oleh orang yang tinggi besar,
dinasehati agar tidak berangan-angan yang kurang baik.

Bermalam di desa Bustam ditempat Ki Arsengbudi yang kemudian juga ikut serta dengan rombongan; Rombongan
sudah berjumlah 20 orang, menyebrang sungai Lumut, menginap di desa Ardimuncar tempat Seh Adimuncar dan
istrinya Nyi Purnaningsih, adiknya Seh Arundarsa yang bergabung juga ikut serta dengan rombongan.

Menginap di tengah hutan Kakas, ada 20 orang yang datang memaksa ikut menginap dengan rombongan membawa
buah-buahan dan ubi-ubian yang belakangan ketahuan ternyata harimau siluman; Keluar hutan lewat desa Kepleng,
masuk hutan Taruman, bukit Manik dan hutan Jenggalamanik, siang hari sampai hutan Saba wilayah Wirasaba;
paginya sudah sampai wilayah Wanamerta ketemu Ki Nuripin di Pagutan menginap semalam.

Di Wanamarta: Ki Bayi Panurta baru saja sembuh dari sakitya selama 4,5 bulan; Kedatangan Ki Nuripin dan Ki
Monthel yang memberitahukan bahwa putra-putranya dan rombongan sebentar lagi akan sampai; Karena
gembiranya menjadikan sakitnya sembuh sama sekali; Ki Bayi Panurto dan istri sangat senang melihat anaknya
Jayengrresmi dan Jayengraga beserta masing-masing istrinya diiringi banyak teman-teman dari Ki Bayi Panurta
datang.
Pada hari ketiga, Seh Amongraga, istrinya dan Seh Ragaresmi datang dari alam kasampurnaan ikut membicarakan
berbagai ilmu kasampurnaan;
Pada hari keempat para tamu pulang yang tinggal hanya Jayengresmi dan Jayengraga beserta masing-masing
istrinya.

Serat Centhini Jilid 12 selesai sampai disini, ada tambahan berupa penutup yaitu yang dinamakan Serat Centhini
Jalalen, kematian Ki Bayi Panurta dan keinginan Seh Amongraga dan istrinya untuk menurunkan raja.

Serat Centhini Jalalen:


Ada seorang ahli tapa dari negara Campa (note: mungkin Kerajaan Campa yang ada di daerah Vietnam/Kamboja)
namanya Ki Jatiswara menjelajah tanah Jawa mencari adiknya bernama Ki Sejati; Ia mendapat wangsit agar bertemu
dengan Seh Amongraga; Bertemu dan beradu ilmu dengan Seh Amongraga tapi kalah.

Pergi ke Wanacandra ketemu Seh Ragamana berbicara ilmu; Anak perempuan Seh Ragamana bernama Ken Sakati
jatuh hati kepada Ki Jatiswara yang menolak secara halus; Pergi ketemu Seh Baka disuruh bertapa ditepi samudra,
disuruh mengambil permata di dalam gua, setelah melalui sembilan pintu gua baru didapat permatanya.

Pulang ke negeri Campa, dijalan ketemu Ki Sejati adiknya yang tidak lain adalah Seh Ragaresmi murid Seh
Amomgraga; Adiknya diajak pulang ke Campa untuk merebut kembali kerajaannnya yang dikuasai raja Prakolah;
Akhirnya Jatiswara jadi raja dan Ki Sejati jadi patihnya di negara Campa.
Meninggalnya Ki Bayi Panurta dan istri:
Tidak berapa lama kemudian Ki Bayi Panurta jatuh sakit lagi; Seh Amograga dan istrinya sudah mengetahui bahwa
saat wafatnya ayah bundanya sudah tidak lama lagi; Mereka berdua datang dan menyaksikan kedua orang tuanya Ki
Bayi Panurta dan Nji Makarsih meninggal dunia pada saat hampir bersamaan; Sepeninggal Ki Bayi Panirta,
Jayengrresmi dan Jayengraga menggantikan kedudukan ayahnya mengelola padepokan Wanamarta, Jayengresmi
sebagai guru, Jayengraga mengatur tata-tertib desa.

Reinkranasinya Seh Amongraga dan istri:


Seh Amograga dan istri berkeinginan menurunkan raja; Mereka bertemu Sultan Agung dalam pertapaannya di bukit
Telamaya; Setelah berdebat demi hasratnya agar bisa menurunkan raja, Seh Amongraga dan istri diminta menjelma
menjadi gendhon (lundi semacam ulat) dua ekor, lalu dibawa ke istana Mataram.

Sultan Agung memanggil Permaisurinya, Kanjeng Ratu Pandhansari (adik Sultan Agung) dan suaminya Pangeran
Pekik (Bupati Surabaya), minta bumbung (tabung bambu), bumbu dan anglo (alat memasak dengan arang). Lundi
dikeluarkan dari bumbung, diberi bumbu dan dimasak kemudian dimakan oleh mereka berempat; Permaisuri
kemudian hamil dan melahirkan seorang putra, Kanjeng Ratu Pandhansari melahirkan seorang putri, pada saat
dewasa keduanya dinikahkan.

Putra Sultan Agung setelah dewasa menjadi Sultan Amangkurat I yang kurang bijaksana yang dikalahkan oleh
pemberontakan Trunojoyo yang berakhir dengan kematiannya di Tegalarum jauh dari para leluhurnya, anaknya
Adipati Anom lebih bijaksana yang pada akhirnya menjadi raja dengan gelar Sunan Amangkurat II; Melalui proses
reinkarnasi, Seh Amograga dan istri ikut andil menurunkan raja-raja di Mataram (Wallahu Alam).
Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-12 adalah:

Cerita/Legenda:
Cerita machluk halus di hutan Jembul;
Cerita tentang Ki Jatiswara;
Serat Wiwaha (Arjuna Wiwaha).

Adat Istiadat:
Candrasangkala beberapa Candi di Jawa;
Keratabasa makna huruf-huruf Jawa dalam nama seseorang;
Dasanama sepuluh sebutan nama-nama yang punya arti sama.

Pengetahuan Spirituil/Agama:
Hidup menemukan mati, mati menemukan hidup;
Isbat dan Sifat;
Kodrat dan Iradat (Wiradat);
Hakekat sembah dan sukma.

Sumber : http://id.shvoong.com/books/classic-literature/1938166-serat-centhini-jilid-12/

Anda mungkin juga menyukai