Anda di halaman 1dari 25

WIRID SALOKA JATI : Memahami Jati Diri

Wirit Saloka Jati digelar sebagai upaya para leluhur bangsa kita untuk menjabarkan keadaan jati diri
kita. Sebagaimana kebiasaan leluhur nenek moyang kita, dengan tujuan agar supaya “kawruh lan ngelmu” lebih
mudah dipahami para generasi penerus bangsa maka digunakanlah sanepa, saloka, kiasan, perumpamaan, dan
perlambang. Dalam acara ritual atau upacara tradisi; perlambang, saloka, dan sanepa ini diwujudkan ke dalam
ubo rampe atau syarat-syarat yang terdapat dalam sesaji.
Serat ini menggelar arti dari kalimat kiasan (saloka), yakni perumpamaan mengenai suatu makna yang
dimanifestasikan dalam bentuk peribahasa. Mulai dari eksistensi yang dicipta-Yang mencipta, eksistensi jiwa,
sukma, hingga eksistensi akal budi. Yang akan meneguhkan keyakinan kepada Gusti Pengeran (Tuhan Yang
Mahamulia). Peribahasa dalam terminologi Jawa sebagai “pasemon” atau kiasan. Kiasan diciptakan sebagai
pisau analisa, di samping memberi kemudahan pemahaman akan suatu makna yang sangat dalam, rumit dicerna
dan sulit dibayangkan dengan imajinasi akal-budi. Berikut ini saloka yang paling sering digunakan dalam
berbagai wacana falsafah Kejawen.

1. Gigiring Punglu; Gigiring mimis; Merupakan perumpamaan akan ke-elokan Zat Tuhan. Yakni
perumpamaan hidup kita, tanpa titik kiblat dan tanpa tempat, hanya berada di dalam hidup kita pribadi.
2. Tambining Pucang; Menunjukkan ke-elokan Zat Tuhan, ke-ada-an Tuhan itu dibahasakan bukan laki-
laki bukan perempuan atau kedua-duanya. Dan bukan apa-apa, seperti apa sifat sebenarnya,
terproyeksikan dalam sifat sejatinya hidup kita pribadi.
3. Wekasaning Langit; batas langit ; umpama batas jangkauan pancaran cahaya. Yakni pancaran cahaya
kita. Sedangkan tiadanya batas jangkauan cahaya, menggambarkan keadaan sifat kita.
4. Wekasaning Samodra tanpa tepi; berakhirnya samodra tiada bertepi; maksudnya ibarat batas akhir daya
jangkauan rahsa atau rasa (sirr). Mengalir sampai ke dalam sejatinya warna kita.
5. Galihing Kangkung; galih adalah bagian kayu yang keras atau intisari di dalam pohon) galihnya pohon
kangkung (kosong); maksudnya, perumpamaan ke-ada-an sukma, yang merasuk ke dalam jasad kita. Ada
namun tiada.
6. Latu sakonang angasataken samodra; bara api setungku membuat surut air samodra. Menggambarkan
keluarnya nafsu yang bersinggasana di dalam pancaindra, dapat membuat sirna segala kebaikan.
7. Peksi miber angungkuli langit; burung terbang melampaui langit. Menggambarkan kekuatan akal budi
kita yang bersemayam di dalam penguasaan nafsu, namun sesungguhnya akal budi mampu mengalahkan
nafsu.
8. Baita amot samodra; perahu memuat samodra; baita atau perahu kiasan untuk badan kita, sedangkan
samodra merupakan kiasan untuk hati kita. Secara fisik hati berada di dalam jasad. Tetapi secara
substansi jasad lah yang lebih kecil dari hati.
9. Angin katarik ing baita ; angin ditarik oleh perahu. Menggambarkan pemberhentian nafas kita dalam
jasad, sedangkan keluarnya nafas dari dalam jasad kita pula. Dalam jagad besar, prinsip fisika
merumuskan angin lah yang menarik atau mendorong perahu. Sebaliknya dalam jagad kecil, rumus
biologis maka badan lan yang menarik angin. Ini menggambarkan prinsip imbal balik jagad besar dan
jagad kecil.
10. Susuhing angin ; sarangnya angin. Menggambarkan terminal sirkulasi nafas kita berada dalam jantung.
11. Bumi kapethak ing salebeting siti; bumi ditanam di dalam tanah. Menggambarkan asal muasal jasad kita
berasal dari tanah, kelak pasti akan kembali (terkubur) menjadi tanah.
12. Mendhet latu adadamar (mengambil bara sambil membawa api); ataulatu wonten salebeting latu (bara
di dalam bara); atau latu binesmi ing latu (bara terbakar oleh bara); menggambarkan badan kita berasal
dari bara api, selalu mengeluarkan api, keadaan untuk menggambarkan sumber dan keluarnya hawa
nafsu kita.
13. Barat katiup angin; atau angin anginte prahara; angin tertiup angin. menggambarkan wahana yang
menghidupkan badan kita berasal dari udara, selalu mengeluarkan udara, yakni nafas kita.
14. Tirta kinum ing toya (air tertelan oleh air), atau ngangsu rembatan toya(menimba dengan air); atau toya
salebeting toya (air di dalam air); menggambarkan badan kita berasal dari air, selalu dialiri dan
mengalirkan air, maksudnya darah kita.
15. Srengenge pinepe, atau kaca angemu srengenge; matahari terjemur, kaca mengandung matahari;
artinya bahwa adanya cahaya karena sinar dari sang surya. Surya itu sendiri berada di dalam cahaya. Hal
ini menggambarkan keadaan indera mata atau netra kita ; mata itu seperti matahari, namun mata dapat
melihat karena selalu disinari oleh sang surya.
16. Wiji wonten salabeting wit (biji berada dalam pohon); dan wit wonten salebeting wiji (pohon berada di
dalam biji) ; dinamakan pula “peleburan papan tulis”. Menggambarkan keadaan bahwa ZAT Tuhan
berada dalam wahana makhluk, dan makhluk berada dalam wahana Tuhan (Jumbuhing kawula-Gusti).
17. Kakang barep adhine wuragil ; kakaknya sulung, adiknya bungsu. Menggambarkan martabat insan
kamil, keadaan sejatinya diri kita. Hakekat kehidupan kita sebagai “akhiran” dan sekaligus sebagai
“awalan”. Pada saat manusia lahir dari rahim ibu merupakan awalkehidupannya di dunia,
sekaligus akhir dari sebuah proses triwikramaatau tiga kali menitisnya “Dewa Wisnu” menjadi manusia
melewati 4 zaman; kertayuga, tirtayuga, dwaparayuga, kaliyuga/mercapadha/bumi. Sedangkan ajal,
merupakan akhir dari kehidupan (dunia), namun ajal merupakan awal dari kehidupan baru yang sejati,
azali abadi.
18. Busana kencana retna boten boseni, atau busana wrasta tanpa seret. Gambaran jasad yang dibungkus
kulit sebagai “busana”. Kita tidak pernah bosan biarpun tidak pernah ganti “busana” atau kulit kita. Kulit
merupakan “busana” pelindung dari tubuh kita.
19. Tugu manik ing samodra ; menggambarkan daya cipta yang terus menerus berporos hingga pelupuk
mata. Daya cipta akal budi manusia jangkauannya umpama luasnya samodra namun konsentrasinya
terfokus pada mata batin.
20. Sawanganing samodra retna; pemandangan intan samodra. Menggambarkan pintu pembuka kepada
keadaan Tuhan. Tabir pembuka hakekat Zat. Yakni “babahan hawa sanga” atau sembilan titik yang
terdapat di dalam diri manusia sebagai penghubung kepada Zat Maha Kuasa. Disebut juga kori
selamatangkeb; melar-mingkupnya maras atau membuka-menutupnya mulut).
21. Samodra winotan kilat ; samodra berjembatan kilat. Dalam Islam disebut jembatan “siratal mustaqim”.
Menggambarkan pesatnya yatma sampai pada ngabyantaraning Hyang Widhi. Adapula yang
mengartikan “jembatan kilat”, sebagai perlambang keluarnya ucapan mulut manusia.
22. Bale tawang gantungan ; rumah atau tempatnya langit bergantung. Dalam terminologi Islam
disebut arsy atau aras kursi atau kursi kekuasaan Tuhan. Namun bukan dibayangkan sebagai singgasana
yang diduduki Tuhan bertempat di atas langit (ke 7), imajinasi demikian justru memberhalakan Tuhan
sebagaimana makhlukNya saja. Dalam konteks ini, aras atau tawang gantungan adalah perumpamaan
kekuasaan, yang menjadi “wajah” Tuhan. Hakekatnya sebagai “balai sidang” Zat, keberadaannya di
dalam kepala dan dada. Sedangkan kursi, atau dilambangkan bale, merupakan perumpamaan singgasana
(palenggahan) Zat. Letaknya ada di otak dan jantung. Singkatnya, kepala dan dada sebagai tawang
gantungan, sedangkan otak dan jantung sebagai bale-nya.
23. Wiji tuwuh ing sela; biji tumbuh di atas batu. Dalam termonologi Islam diistilahkan laufhulmahfudz loh-
kalam. Loh/laufhul itu artinya papan atau tempat, sedangkan al makhfudz berarti dijaga/kareksa.
Maknanya adalah tempat yang selalu dijaga Tuhann. Yakni hakekat dari “sifat” Zat yang terletak di
dalam jasad yang selalu dijaga “malaikat” Kariban. Malaikat merupakan perlambang dari nur
suci (nurullah) atau cahyo sejati. Cahyo sejati menjadi pelita bagi rasa sejati atau sirr. Sedangkanloh-
kalam artinya bayangan atau angan-angan Zat letaknya di dalam budi, tumbuhnya angan-angan, dijaga
oleh malaikat Katiban. Malaikat katiban adalah pralambang dari sukma sejati yang selalu menjaga budi
agar tidak mengikuti nafsu.
24. Tengahing arah; titik tengahnya arah. Ibarat mijan atau traju. Yakni ujung dari sebuah senjata tajam.
Menggambarkan hakekat dari neraca (alat penimbang) Zat. Traju terletak pada instrumen pancaindra
yakni; netra (penglihatan), telinga (pendengaran), hidung (pembauan), lidah dan kulit (perasa). Dalam
pewayangan dilambangkan sebagai Pendawa Lima; Yudhistira, Bima/Werkudara, Arjuna, Nakula dan
Sadewa. Makna untuk menggambarkan panimbang (alat penimbang) hidup kita yang berada pada
pancaindra.
25. Katingal pisah ; terkesan pisah. Menggambarkan keadaan antara Zat (Pencipta) dengan sifatnya
(makhluk) seolah-olah terpisah. Sejatinya antara Zat dengan sifat tak dapat dipisahkan. Sebab biji dapat
tumbuh tanpa cangkok. Sebaliknya cangkok tidak tumbuh bila tanpa biji. Biji menggambarkan eksistensi
Tuhan, sedangkan cangkok menggambarkan eksistensi manusia. Kiasan ini menggambarkan hubungan
antara kawula dengan Gusti. Walaupun seolah eksis sendiri-sendiri, namun sesungguhnya manunggal tak
terpisahkan dalam pengertian “dwi tunggal” (loroning atunggil).
26. Katingal boten pisah; tampak tidak terpisah. Menggambarkan solah danbawa. Solah adalah gerak-gerik
badan. Bawa atau krenteg adalah gerak-gerik batin. Solah dan bawa tampak seolah tidak terpisah, namun
keduanya tergantung rasa. Solah merupakan rahsaning karep(nafsu/jasad), sedangkan bawa
merupakan kareping rahsa (pancaran Zat sebagai rasa sejati). Keduanya dapat berjalan sendiri-sendiri.
Namun demikian idealnya adalah Solah harus mengikuti Bawa.
27. Katingal tunggal ; tampak satu. Menggambarkan zat pramana (mata batin), dengan sifatnya yakni netra
(mata wadag) tidaklah berbeda. Artinya, penglihatan mata wadag dipengaruhi oleh mata batin.
28. Medhal katingal ; Menggambarkan keluarnya sifat hakekat (Tuhan) ke dalam zat sifat (makhluk), yakni
ditandai dengan ucapan lisan menimbulkan suara.
29. Katingal amedhalaken ; menggambarkan keluarnya nafas. Sedangkan kenyataannya menghirup atau
memasukkan udara, yang seolah-olah mengeluarkan.
30. Menawi pejah mboten kenging risak ; bila mati tidak boleh rusak. Ibarat sukma dengan raga. Bila raga
rusak, sukmanya tetap abadi. Dalam terminologi Islam disebut alif muttakallimun wakhid. Sifat yang
berbicara sepatah tanpa lisan. Berupa kesejatian yang berada dalam sukma, yakni roh kita sendiri.
31. Menawi karisak mboten saget pejah ; bila dirusak tidak bisa mati. Perumpamaan untuk
hubungan nafsu dan rasa. Walaupun nafsu dapat kita dikendalikan, namun rasa secara alamiah tidak
dapat disirnakan. Karena rasa dalam cipta masih terasa, terletak dalam rahsa/sirr kita pribadi. Berhasil
menahan nafsu dapat diukur dari perbuatannya; raganya tidak melakukan pemenuhan nafsu, tetapi rasa
ingin memenuhi kenikmatan jasad tetap masih ada di dalam hati. Saloka ini untuk memberi warning agar
kita waspadha dalam “berjihad” melawan nafsu diri pribadi. Karena kesucian sejati baru dapat diraih
apabila keingingan jasad (rahsaning karep) sudah sirna berganti keinginan rahsa sejati(kareping rahsa).
32. Sukalila tega ing pejah ; sukarela dan tega untuk mati. Menggambarkan orang mau mati, dengan
menjalani tiga perkara; pertama, sikap senang seperti merasa akan mendapat kegembiraan di
alam kasampurnan.Kedua, rela untuk meninggalkan semua harta bendanya dan barang
berharga. Ketiga, setelah tega meninggalkan semua yang dicinta, disayang dan segala yang memuaskan
nafsu dan keinginan, semuanya ditinggal. Mati di sini berarti secara lugas maupun arti kiasan. Orang
yang berhasil meredam hawa nafsu dan meraih kesucian sejati hakekatnya orang hidup dalam
kematian. Sebaliknya orang yang selalu diperbudak nafsu hakekatnya orang yang sudah mati dalam
hidupnya. Yakni kematian nur atau cahaya sejati.

Semua yang disebut; besar, luas, tinggi, panjang, lebih, ialah bahasa yang digunakan untuk
mengumpamakan keadaan Tuhan. Sebaliknya, semua yang disebut kecil, sempit, rendah, pendek, kurang, dan
seterusnya ialah bahasa yang dugunakan untuk menggambarkan “sifat” yakni wujudnya kawula (manusia).
Gambaran menyeluruh namun ringkas mengenai keadaan Zat-sifat (kawula-Gusti) sebagaimana
“cangkriman” berikut ini;

“bothok banteng winungkus ing godhong asem kabiting alu bengkong”

Bothok : sejenis pepesan untuk lauk, terdiri dari parutan kelapa, bumbu-bumbu, lalu dibungkus daun pisang dan
dikukus. Bothok berbeda dengan pepes ataupelas, cirikhasnya ada rasa pedas. Campurannya menentukan
nama bothok, misalnya campur ikan teri, menjadi bothok teri. Lamtoro, menjadi bothok lamtoro. Udang,
menjadi bothok udang. Adonan bothok lalu dibungkus dengan daun pisang. Dan digunakan potongan lidi
sebagai pengunci lipatan daun pembungkus.

Nah, dalam pribahasa ini bahan untuk membuat bothok adalah hewan banteng. Sehingga namanya
menjadi bothok banteng. Dibungkus dengan daun asem jawa, yang sangat kecil/sempit. Sedangkan tusuk
penguncinya menggunakanalu semacam lingga terbuat dari kayu sebagai alat tumbuk padi. Alu itu panjang dan
lurus, namun alu di sini bengkok. Jadi mana mungkin digunakan sebagai bothok.

Cangkriman di atas adalah pribahasa yang menggambarkan keadaan yang tampak mustahil jika dipahami hanya
menggunakan akal budi saja. Bothok banteng maknanya adalah menggambarkan adanya Zat, yang tidak lain
adalah kehidupan kita pribadi. Godhong asem ; menggambarkan keadaan “sifat” yakni sebagai bingkai
kehidupan kita, kenyataan dari beragamnya manusia. Alu bengkong, menggambarkan afngal semua, yakni
pekerti hidup kita. Singkatnya, berdirinya hidup kita ini asisinglon warna kita, tampak dari solahdan bawa.
Selain makna di atas, bothok banteng diartikan pula sebagai air mani. Godhong asem, adalah kiasan untuk per-
empu-an. Alu bengkong adalah kiasan untuk purusa, yakni kemaluan laki-laki.
TANDA-TANDA PENCAPAIAN NENG, NING, NUNG, NANG

TINGKAT 1 (Neng; sembah raga)


Jumeneng; menjalankan “syariat”. Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi luas. Yakni dimensi
“vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi sosial “horisontal” kepada sesama makhluk. Neng, pada
hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan diri melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat untuk diri
pribadi, dan lebih utama untuk sesama tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang melaksanakan sembahyang dan
manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak nafasnya, guna membangun sikap eling danwaspadha. Neng
adalah tingkat dasar, barulah setara “sembah raga” misalnya menyucikan diri dengan air, mencuci badan dengan
cara mandi, wudlu, gosok gigi, upacara jamasan, tradisi siraman dsb. Termasuk mencuci pakaian dan tempat
tinggal. Orang dalam tingkat “neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui pernyataan dan
ucapan mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH diri mengendalikan hawa nafsu negatif, dengan
bermacam cara misalnya puasa, semadi, bertapa, mengulang-ulang menyebut nama Tuhan dll. Melatih diri
mengendalikan hawa nafsu agar bersifat positif dengan cara misalnya sedekah, amal jariah, zakat, gotong
royong, peduli kasih, kepedulian sosial dll. Melatih diri untuk menghargai dan mengormati leluhur, dengan cara
ziarah kubur, pergi haji, mengunjungi situs-situs sejarah, belajar dan memahami sejarah, dst. Melatih diri
menghargai dan menjaga alam semesta sebagai anugrah Tuhan, dengan cara upacara-upacara ritual, ruwatan
bumi, larung sesaji, dst. Tahapan ini dilakukan oleh raga kita, namun BELUM TENTU melibatkan HATI dan
BATIN kita secara benar dan tepat.

Kehidupan sehari-harinya dalam rangka latihan menggapai tataran lebih tinggi, artinya harus berbuat apa saja yg
bukan perbuatan melawan rumus Tuhan. Tidak hanya berteori, kata kitab, kata buku, menurut pasal, menurut
ayat dst. Namun berusaha dimanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kehidupan sehari-
hari. Perbuatannya mencerminkan perilaku sipat zat (makhluk) yang selaras dengan sifat hakekat (Tuhan).
Tanda pencapaiannya tampak pada SOLAH. Solah artinya perilaku atau perbuatan jasadiah yang tampak oleh
mata misalnya; tidak mencelakai orang lain, perilaku dan tutur kata menentramkan, sopan dan santun, wajah
ramah, ngadi busana atau cara berpakaian yang pantas dan luwes menghargai badan. Akan tetapi perilaku
tersebut belum tentu dilakukan secara sinkron dengan BAWA-nya.BAWA yakni “perilaku” batiniah yang tidak
tampak oleh mata secara visual.

Titik Lemah
Pada tataran awal ini meskipun seseorang seolah-olah terkesan baik namun belum menjamin pencapaian tataran
spiritual yang memadai, dan belum tentu diberkahi Tuhan. Sebab seseorang melakukan kebaikan terkadang
masih diselimutirahsaning karep atau nafsu negatif; rasa ingin diakui, mendapat nama baik atau pujian. Bahkan
seseorang melakukan suatu kebaikan agar kepentingan pribadinya dapat terwujud. Maka akibat yang sering
timbul biasanya muncul rasa kecewa, tersinggung, marah, bila tidak diakui dan tidak mendapat pujian. Kebaikan
seperti ini boleh jadi bermanfaat dan mungkin baik di mata orang lain. Akan tetapi dapat diumpamakan belum
mendapat tempat di “hati” Tuhan. Kredit point nya masih nihil.Banyak orang merasa sudah berbuat baik,
beramal, sodaqah, suka menolong, membantu sesama, rajin doa, sembahyang. Tetapi sering dirundung
kesialan, kesulitan, tertimpa kesedihan, segala urusannya mengalami kebuntuan dan kegagalan. Lantas
dengan segera menyimpulkan bahwa musibah atau bencana ini sebagai cobaan (bagi orang-orang beriman).
Pada tataran ini, seseorang masih rentan dikuasai nafsu ke-aku-an (api/nar/iblis). Diri sendiri dianggap tahu
segala, merasa suci dan harus dihormati. Siapa yang berbeda pendapat dianggap sesat dan kafir.
Konsekuensinya; bila memperdebatkan (kulit luarnya) ia menganggap diri paling benar dan suci, lantas muncul
sikap golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe. Ini sebagai ciri seseorang yang belum
sampai pada intisari ajaran yang dicarinya. Durung becus keselak besus !

TINGKAT 2 (Ning; sembah kalbu)


Wening atau hening; ibarat mati sajroning urip; kematian di dalam hidup. Tataran ini sepadan dengan tarekat.
Menggambarkan keadaan hati yang selalu bersih dan batinnya selalu eling lan waspadha. Eling adalah sadar
dan memahami akan sangkan paraning dumadi (asal usul dan tujuan manusia) yang digambarkan sebagai
“kakangne mbarep adine wuragil” (lihat dalam posting; Saloka Jati). Waspadha terhadap apa saja yang dapat
menjadi penghalang dalam upaya “menemukan” Tuhan (wushul). Yakni penghalang proses penyelarasan
kehidupan sehari-hari (sifat zat) dengan sifat hakekat (Tuhan). Ning dicapai setelah hati dapat dilibatkan dalam
menjalankan ibadah tingkat awal atau Neng; yakni hati yg ikhlasdan tulus, hati yang sudah tunduk dan patuh
kepada sukma sejati yang suci dari semua nafsu negatif. Hati semacam ini tersambung dengan kesadaran batin
maupun akal budi bahwa amal perbuatan bukan semata-mata mengaharap-harap upah (pahala) dan takut
ancaman (neraka). Melainkan kesadaran memenuhi kodrat Tuhan, serta menjaga keharmonisan serta sinergi
aura magis antara jagad kecil (diri pribadi) dan jagad besar (alam semesta). Tataran ini dicapai melaluiempat
macam bertapa; tapa ngeli, tapa geniara, tapa banyuara, tapa mendhem atau ngluwat.
1. Tapa ngeli; harmonisasi vertikal dan horisontal. Yakni berserah diri dan menselaraskan dengan kehendak
Tuhan. Lalumensinergikan jagad kecil (manusia) dengan jagad besar (alam semesta).
2. Tapa geniara; tidak terbakar oleh api (nar) atau nafsu negatif yakni ke-aku-an. Karena ke-aku-an itu tidak
lain hakekat iblis dalam hati.
3. Tapa banyuara; mampu menyaring tutur kata orang lain, mampu mendiagnosis suatu masalah, dan tidak
mudah terprovokasi orang lain. Tidak bersikap reaksioner (ora kagetan), tidak berwatak mudah
terheran-heran (ora gumunan).
4. Tapa mendhem; tidak membangga-banggakan kebaikan, jasa dan amalnya sendiri. Terhadap sesama
selalu rendah hati, tidak sombong dan takabur. Sadar bahwa manusia derajatnya sama di hadapan
Tuhan tidak tergantung suku, ras, golongan, ajaran, bangsa maupun negaranya. Tapa mendhem juga
berarti selalu mengubur semua amal kebaikannya dari ingatannya sendiri. Dengan demikian seseorang
tidak suka membangkit-bangkit jasa baiknya. Kalimat pepatah Jawa sbb: tulislah kebaikan orang lain
kepada Anda di atas batu, dan tulislah kebaikan Anda pada orang lain di atas tanah agar mudah
terhapus dari ingatan.

Titik Lemah
Jangan lekas puas dulu bila merasa sudah sukses menjalankan tataran ini. Sebab pencapaian tataran kedua ini
semakin banyak ranjau dan lobang kelemahan yang kapan saja siap memakan korban apabila kita lengah.
Penekanan di sini adalah pentingnya sikap eling dan waspadha. Sebab kelemahan manusia adalah lengah, lalai,
terlena, terbuai, merasa lekas puas diri. Tataran kedua ini melibatkan hati dalam melaksanakan segala kebaikan
dalam perbuatan baik sehari-hari. Yakni hati harus tulus dan ikhlas. Namun..ketulusan dan keikhlasan ini
seringkali masih menjadi jargon, karena mudah diucapkan oleh siapapun, sementara pelaksanaannya justru
keteteran. Dalam falsafah hidup Kejawen, setiap saat orang harus selalu belajar ikhlas dan tulus setiap saat
sepanjang usia. Belajar ketulusan merupakan mata pelajaran yang tak pernah usai sepanjang masa. Karena
keberhasilan Anda untuk tulus ikhlas dalam tiap-tiap kasus belum tentu berhasil sama kadarnya. Keikhlasan
dipengaruhi oleh pihak yang terlibat, situasi dan kondisi obyektifnya, atau situasi dan kondisi subyek mental
kita saat itu.

TINGKAT 3 (Nung; sembah cipta)


Kesinungan ; yakni dipercaya Tuhan untuk mendapatkan anugrah tertentu. Orang yang telah mencapai
tataran Kesinungan dialah yang mendapatkan “hadiah” atas amal kebaikan yang ia lakukan. Ini mensyaratkan
amal kebaikan yang memenuhi syarat, yakni kekompakan serta sinkronisasi lahir dan batin dalam mewujudkan
segala niat baik menjadi tindakan konkrit. Yakni tindakan konkrit dalam segala hal yang baik misalnya
membantu & menolong sesama. Syarat utamanya; harus dilakukan terus-menerus hingga menyatu dalam prinsip
hidup, dan tanpa terasa lagi menjadi kebiasaan sehari-hari.

Pencapaian tataran ini sama halnya laku hakekat. Laku hakekat adalah meliputi keadaan hati dan batin; sabar,
tawakal, tulus, ikhlas, pembicaraannya menjadi kesejatian (kebenaran), yang sejati menjadi kosong, hilang
lenyap menjadi ada. Tataran ini ditandai oleh pencapaian kemuliaan yang sejati, seseorang mendapatkan
kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan kelak setelah ajal. Pada tahap ini manusia sudah mengenal akan jati
dirinya dan mengenal lebih jauh sejatinya Tuhan. Manusia yang telah lebih jauh memahami Tuhan tidak
akan berfikir sempit, kerdil, sombong, picik dan fanatik. Tidak munafik dan menyekutukan Tuhan. Ia
justru bersikap toleran, tenggang rasa, hormat menghormati keyakinan orang lain.Sikap ini tumbuh
karena kesadaran spiritual bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata bersumber pada Yang Maha Tunggal,
hakekatnya adalah sama. Cara atau jalan mana yang ditempuh adalah persoalan teknis. Banyaknya jalan atau
cara menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Tuhan itu Mahaluas tiada batasnya. Ibarat sungai yang ada di
dunia ini jumlahnya sangat banyak dan beragam bentuknya; ada yang dangkal, ada yang dalam, berkelok,
pendek dan singkat, bahkan ada yang lebar dan berputar-putar. Toh semuanya akan bermuara kepada Yang
Tunggal yakni “samudra luas”.

NAH, orang seperti ini akan “menuai” amal kebaikannya. Berkat rumus Tuhan di mana kebaikan akan berbuah
kebaikan pula. Kebaikan yg anda berikan, “buahnya” akan anda terima pula. Namun demikian kebaikan yang
anda terima belum tentu datang dari orang yang sama, malah biasanya dari pihak lainnya. Kebaikan yang anda
peroleh itu merupakan “buah” dari “pohon kebaikan” yang pernah anda tanam sebelumnya.
Selebihnya,kebaikan yang anda lakukan akan menjadi pagar gaib yang selalu menyelimuti diri
anda. Singkat kata, pencapaian Nung, ditandai dengan diperolehnya kemudahan dan hikmah yang baik dalam
segala urusan. Pagar gaib itu akan membuat kita tidak dapat dicelakai orang lain. Sebaliknya selalu
mendapatkan keberuntungan. Dalam terminologi Jawa inilah yang disebut sebagai “ngelmu beja”.

Untuk meraih tataran ini, terlebih dahulu kita harus mengenal jati diri secara benar. Dalam diri manusia
setidaknya terdapat 7 lapis bumi yang harus diketahui manusia. Jika tidak diketahui maka menjadi manusia
cacad dan akan gagal mencapai tataran ini. Bumi 7 lapis tersebut adalah ; retna, kalbu, jantung, budi, jinem,
suksma, dan ketujuhnya yakni bumi rahmat.
1. Bumi Retna; jasad dan dada manusia sesungguhnya istana atau gedung mulia.
2. Bumi Kalbu; artinya istana iman sejati.
3. Bumi Jantung; merupakan istana semua ilmu.
4. Bumi budi; artinya istana puji dan zikir.
5. Bumi Jinem; istananya kasih sayang sejati.
6. Bumi suksma; yakni istana kesabaran dan rasa sukur kepada Tuhan; sukma sejati.
7. Bumi Rahmat; istana rasa mulia; rahsa sejati.

Titik Lemah
Nung, setara dengan Hakekat, di sini ibarat puncak kemuliaan. Semakin tinggi tataran spiritual, maka sedikit
saja godaan sudah dapat menggugurkan pencapaiannya. Maka, semakin tinggi puncak dan kemuliaan seseorang
; maka semakin besar resiko tertiup angin dan jatuh. Seseorang yang merasa sudah PUAS dan
BANGGA dengan pencapaian hakekat ini bersiko terlena. Lantas menganggap orang lain remeh dan rendah.
Yang paling berbahaya adalah menganggap tataran ini merupakan tataran tertinggi sehingga orang tidak perlu
lagi berusaha menggapai tataran yang lebih tinggi.

Tingkat 4 (Nang; sembah rahsa)


Nang merupakan kemenangan. Kemenangan adalah anugrah yang anda terima. Yakni kemenangan anda dari
medan perang. Perang antara nafsu negatif dengan positif. Kemenangan NUR (cahya sejati nan suci)
mengalahkan NAR (api; ke-aku-an/”iblis”). Manusia NAR adalah seteru Tuhan (iblis laknat). SEBALIKNYA;
manusia NUR adalah memenuhi janji atas kesaksian yg pernah ia ucapkan di mulut dan hati. Manusia NUR
memenuhi kodratnya ke dalam kodrat Ilahi, sipat zat yg mengikuti sifat hakekat, menselaraskan gelombang
batin manusia dengan gelombang energi Tuhan. Sifat zat (manusia) menyatu dengan sifat hakekat (Tuhan)
menjadi “loroning atunggil“. Yang menjadijumbuh (campur tak bisa dipilah) antara kawuladengan Gusti.
Inilah pertanda akan kemenangan manusia dalam “berjihad” yang sesungguhnya. Yakni kemenangan terindah
dalam kemanunggalan; “manunggaling kawula-Gusti“. Bila Anda muslim, di situlah tatar makrifat dapat
ditemukan.
Salam sejati

MENGENALI JATI DIRI


Hakekat Neng, Ning, Nung, Nang

Siapa sejatinya diri kita sebagai manusia ? Pertanyaan ini sederhana, dapat dikemukakan jawaban paling
sederhana, maupun jawaban yang lebih rumit dan rinci. Jawaban masing-masing orang tidak bisa diukur secara
benar-salah. Cara menjawab siapa diri manusia hanya akan mencerminkan tingkat pemahaman seseorang
terhadap kesejatian Tuhan. Hal ini sangat dipermaklumkan karena berkenaan dengan eksistensi Tuhan sendiri
yang begitu penuh dengan misteri besar. Upaya manusia mengenali Sang Pencipta, ibarat jarum yang menyusup
ke dalam samudra dunia. Yang hanya mengerti atas apa yang bersentuhan dengannya. Itupun belum tentu benar
dan tepat dalam mendefinisikan. Tuan memang lebih dari Maha Besar. Sedangkan manusia hanya selembut
molekul garam. Begitulah jika diperbandingkan antara Tuhan dengan makhlukNya. Namun begitu kiranya lebih
baik mengerti dan memahamiNya sekalipun hanya sedikit dan kurang berarti, ketimbang tidak samasekali.
Secara garis besar dalam diri manusia memiliki dua unsur entitas yang sangat berbeda. Dalam
pandangan ekstrim dikatakan dua unsur pembentuk manusia saling bertentangan satu sama lainnya. Tetapi
kedua unsur tidak dapat dipisahkan, karena keduanya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Terpisahnya
di antara kedua unsur pembentuk manusia akan merubah eksistensi ke-manusia-an itu sendiri. Yakni di satu sisi
terjadi kerusakan/pembusukan dan di sisi lain keabadian. Umpama batu-baterai yang memiliki dua dimensi
berbeda yakni fisiknya dan energinya. Kedua dimensi itu menyatu menjadi eksistensi batu-baterai berikut
fungsinya. Dua unsur dalam manusia yakni; immaterial dan material, metafisik dan fisik, roh dan jasad, rohani
dan jasmani, unsur Tuhan dan unsur bumi (unsur gaib dan unsur wadag). Marilah kita urai satu persatu kedua
unsur pembentuk eksistensi manusia tersebut.

Unsur Bumi

Jasad manusia wujudnya disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api). Unsur air dan
tanah dalam tubuh terurai secara alami melalui proses ilmiah (rumus ilmu pengetahuan manusia) dan rumus
alamiah (yang sudah berproses melalui rumus-rumus buatan Tuhan). Unsur tanah dan air yang sudah
berproses akan berubah bentuk dan wujudnya sebagai bahan baku utama jasad yang terdiri dari empat unsur
yakni ; daging, tulang, sungsum dan darah. Sedangkan unsur udara akan berproses menjadi kegiatan
bernafas, lalu berubah menjadi molekul oksigen dalam darah dan sel-sel tubuh. Unsur api akan menjadi alat
pembakaran dalam proses produksi jasad, tenaga, energi magnetis, dan semua energi yang terlibat dalam
memproses atau mengolah unsur tanah dan air menjadi bahan baku jasad.
Jasad wadag menurut istilah barat sebagai body atau corpus, merupakan wadah atau bungkus unsur
Tuhan dalam diri manusia. Unsur wadah tidak bersifat langgeng (baqa’), sebab unsur wadah terdiri dari bahan
baku bumi, maka ia terkena rumus mengalami kerusakan sebagaimana rumus bumi.

Unsur Tuhan

Sebaliknya, unsur Tuhan bersifat kekal abadi tidak terjadi rumus kerusakan. Unsur Tuhan (Zat Tuhan)
dalam tubuh manusia diwakili oleh metafisik manusia yakni unsur roh (spirit atau spiritus). Roh merupakan
derivasi unsur Tuhan yang paling paling akhir dan paling erat dengan bahan baku metafisik manusia (Baca
Posting; Mengungkap Misteri Tuhan). Dan spiritdiartikan sebagai roh, ruh atau sukma. Roh bersifat suci (roh
kudus/ruhul kuddus), tidak tercemar oleh “polusi” dan kelemahan-kelemahan duniawi. Karakter roh adalah
berkiblat atau berorientasi kepada martabat kesucian Tuhan. Arti kata roh sangat berbeda dengan entitas jiwa
(soul), hawa atau nafas (nafs), animus atau anemos (Yunani), dalam bahasa Jawa apa yang lazim
disebut nyawa. Sekalipun berbeda istilah, tetapi memiliki makna yang nyaris sama.

Pertemuan Unsur Bumi dan Unsur Tuhan

Dalam tubuh manusia terdiri atas dua unsur besar yakni unsur bumi dan unsur Tuhan. Di antara kedua
unsur tersebut terdapat “bahan penyambung”, dalam literatur barat disebut soul atau jiwa (yang ini terasa
kurang pas), Islam; nafs, Yunani; anemos, dan dalam bahasa Indonesia; hawa, Jawa; nyawa (badan alus).
Hawa, jiwa, anemos, soul, atau nyawa merupakan satu entitas yang kira-kira tidak berbeda maknanya, berfungsi
sebagai media persentuhan atau “lem perekat” antara roh (spirit) dengan jasad (body/corpus).
Hawa, nafs, anemos, soul, jiwa, nyawa bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke
dalam corpus (wadah atau bungkus).
Dalam khasanah hermeneutika dan bahasa yang ada di nusantara tampak simpang siur dan tumpang
tindih dalam memaknai jiwa, sukma, roh, dan nyawa. Ini sekaligus membuktikan bahwa memahami unsur
Tuhan dalam diri manusia memang tidak sederhana dan semudah yang disebutkan. Karena obyeknya bersifat
gaib, bukan obyek material. Cara pandang dan penafsiran dari sisi yang berbeda-beda, menimbulkan
konsekuensi beragamnya makna yang kadang justru saling kontradiktif. Dengan alasan tersebut akan saya
paparkan lebih jelas pemetaan tentang jiwa atau hawa dari sudut pandang budi-daya yang diperoleh melalui
berbagai pengalaman obyek metafisika, dan intuisi, agar lebih netral dan mudah dipahami oleh siapa saja tanpa
membedakan latar belakang agama. Dengan asumsi tersebut diperlukan perspektif yang sederhana namun
mudah dipahami. Kami akan memaparkan melalui perspektif Javanism atau kejawen, dengan cara penulisan
yang sederhana dan “membumi”.

Hubungan Unsur Tuhan dengan Unsur Bumi dalam Laku Prihatin

Setiap bayi lahir memiliki tingkat kesucian yang dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih.
Kesucian berada dalam wahana nafs atau hawayang masih bersih belum tercemar oleh “polusi” keduniawian.
Hawa/nyawa/nafs diuji bolak-balik di antara dua kutub; yakni kutub jasmaniah yang berpusat di jasad (corpus)
dan kutub ruhaniyah yang berpusat pada roh (spirit). Unsur roh bersifat suci dan tidak tersentuh oleh
kelemahan-kelemahan material duniawi (dosa). Roh suci sebagai “utusan” Tuhan dalam diri manusia yang
dapat membawa ketetapan/pedoman hidup. Sehingga roh dapat berperan sebagai obor yang memancarkan
cahaya (spektrum) kebenaran dari Tuhan. Dalam perspektif Jawa roh suci (utusan Tuhan) tidak lain adalah apa
yang disebut sebagai Guru Sejati. Guru Sejati tampil sebagai juru nasehat untuk hawa, jiwa atau nafs.

Hawa Nafsu ; Ibarat Satu Keping Mata Uang

Hawa (nafs) atau jiwa yang tunduk kepada roh suci (guru sejati) akan menghasilkan hawa (nafs) yang
disebut nafsu positif –meminjam istilah Arab— sebagai an-nafs al-muthmainah.. Sebaliknya jiwa atau hawa
yang tunduk pada keinginan jasad disebut sebagai nafsu negatif. Nafsu negatif terdiri tiga macam;
nafsu lauwamah (kepuasan biologis; makan, minum, tidur dst), nafsu amarah(amarah/angkara murka), dan
nafsu sufiyah (mengejar kenikmatan psikis; contohnya seks, sombong, narsism, gemar dipuji-puji). Hawa
memiliki dua kutub nafsu yang bertentangan ibarat satu keping mata uang yang memiliki dua sisi. Akan tetapi
kedua sisi tidak dapat dipisahkan atau dilihat secara berbarengan. Apabila kita ingin menampilkan gambar
angka, maka letakkan nilai nominal di sisi atas, sebaliknya jika kita berkehendak melihat gambar burung kita
letakkan gambar angka di bawah. Apabila seseorang mengaku bisa melihat kedua sisi satu keping mata uang
dalam waktu yang sama, maka seseorang dikatakan berjiwa munafik alias kehidupan yang palsu hanya
berdasarkan pengaku-akuan bohong.

Manusia Bebas Mencoblos Memilih

Pada setiap bayi lahir, Tuhan telah menciptakan hawa dalam keadaan putih/suci. Manusia memiliki
kebebasan menentukan apakah hawa nafsunya akan berkiblat kepada kesucian yang bersumber pada
roh suci (ruhul kuddus), atau sebaliknya ingin berkiblat kepada kemungkaran jasad/raga (unsur
duniawi). Apabila seseorang berkiblat pada kemungkaran akan menjadi seteru Tuhan dan memiliki konsekuensi
(dosa/karma/hukuman) yang akan dirasakan kelak setelah menemui ajal (akhirat), bisa juga dirasakan sewaktu
masih hidup di dunia. Maka peranan semua agama yang ada di muka bumi adalah pendidikan yang ditujukan
kepada hawa/nafs/jiwa manusia agar selalu berkiblat kepada rumus Tuhan atau qodratullah. Sumber dari ilmu
dan “rumus Tuhan” (qodratullah) bisa kita temukan dalam “perpustakaan” atau gudang ilmu yang terdekat
dengan diri kita, yakni roh suci (Ruhul-Kuddus/Guru-Sejati/Sukma-Sejati/Rahsa-Sejati).
Kadang kala Tuhan Maha Pemurah menganugerahkan seseorang untuk mendapat “bocoran soal” akan
rahasia “ilmu Tuhan” melalui pintu hati (qalb) yang di sinari oleh cahyo sejati (nurullah). Yang lazim disebut
sebagai ungkapan dari (hati) nurani. Petunjuk dari Tuhan ini diartikan sebagai wirayat, wahyu, risalah, sasmita
gaib, ilham, wisik dan sebagainya. Dalam posting ini kami tidak membahas model dan macam petunjuk Tuhan
tersebut.

Laku Prihatin adalah Jihad Sejati

“Penundukan” roh terhadap hawa nafsu negatif adalah penundukkan terhadap segala yang berhubungan
dengan material (syahwat) atau kenikmatan ragawi. Dengan kata lain yakni penundukan unsur
“Tuhan” terhadap unsur bumi. Dalam ilmu Jawa dikatakan sebagai jiwa yang tunduk pada kareping rahsa /
rasa sejati (kehendak Guru Sejati/kehendak Tuhan), serta meredamrahsaning karep (kemauan hawa nafsu
negatif). Segenap upaya yang mendukung proses “penundukan” unsur Tuhan terhadap unsur bumi dalam
khasanah Jawa disebut sebagai laku prihatin. Dengan laku prihatin, seseorang berharap jiwanya tidak
dikendalikan oleh keinginan jasad. Maka di dalam khasanah spiritual Kejawen, laku prihatin merupakan syarat
utama yang harus dilakukan seseorang menggapai tingkatan spiritualitas sejati. Seperti ditegaskan dalam serat
Wedhatama (Jawa; Wredhotomo) karya KGPAA Mangkunegoro IV; bahwa ngelmu iku kalakone kanthi
laku. Laku prihatindalam istilah Arab sebagai aqabah, yakni jalan terjal mendaki dan sulit, karena seseorang
yang menjalani laku prihatin harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsu yang negatif.
Di mana ia sebagai sumber kenikmatan keduniawian. Maka apa yang disebut sebagai Jihad yang sesungguhnya
adalah perang tanding di medan perang dalam kalbu antara tentara Muslim nafsu
positif melawan tentara Amerika nafsu negatif. Disebutkemenangan dalam berjihad apabila seseorang telah
berhasil “meledakkan bom” di pusat kekuasaan setan (hawa nafsu negatif) dalam hati kita. “Bahan
peledaknya” bernama C4 dan TNT laku prihatin dan olah batin (wara’ danamr ma’ruf nahi munkar).

Target Utama dalam “Berjihad” (Laku Prihatin)

Perjalanan spiritual dalam bentuk laku prihatin, mempunyai target membentuk hawa nafsu positif
atau nafsul muthmainnah. Karena si nafs atau hawa tersebut telah stabil dalam koridor rumus
Tuhan (qodrat atau qudrah diri) atau dalam bahasa sansekerta lazimnya disebut sebagai swadharma. Roh yang
berada pada tataran pencapaian ini, dalam bahasa Ibrani, ruh disebut sebagaisyekinah yang diturunkan ke dalam
kalbu dan berhasil merebut (amr) kebaikan (ma’ruf). Jika hawa tidak berdaya karena kuatnya arus nafsu negatif
yang dimasukkan jasad lewat pintu panca indera, maka kepribadian manusia dikuasai oleh “milisi” kekuatan
batin yang oleh Freud diberi nama ego. Ego cenderung berkiblat pada jasad (duniawi). Maka sudah menjadi
tugas hawa (id) untuk membangkang dari keinginan ego agar supaya membelot kepada kekuatan hawa
positif (super ego). Hasilnya maka manusia dapat dikendalikan sesuai dengan kodrat dirinya sebagai khalifah
Tuhan. Jadilah manusia yang tetap berada pada orbitNya (qodrat/rumus Tuhan), yakni apa yang dimaksud
menjadi titah jalma menungsa kang sejati, yaiku nggayuh kasampurnaning gesang, (untuk meraih) sastra
jendra hayuningrat pangruwating diyu.
Sangat terasa bahwa Tuhan sungguh lebih dari Maha Adil, setiap manusia tanpa kecuali dapat
menemukan Tuhan melalui pintu nafs, jiwa, atau hawanya masing-masing, karena Tuhan telah membekali jiwa
manusia akan kemampuan menangkap sinyal-sinyal suci dari Hyang Mahasuci. Sinyal suci yang diletakkan di
dalam rahsa sejati (sirullah) dan roh sejati (ruhullah). Sudah merupakan rumus (Tuhan), apabila seseorang dapat
meraih dharma-nya ataukodrat-dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka kehidupannya akan selalu
menemui kemudahan. Sebaliknya hawa nafsu negatif (setan) senantiasa menggoda hawa/nafs manusia agar
supaya hawanya berkiblat kepada unsur bumi.

Menjadi Pribadi yang Menang

Sepanjang hidup manusia selalu berada di dalam arena peperangan “Baratayudha/Brontoyudho” (jihad)
antara kekuatan nafsu positif (Pendawa Lima) melawan nafsu negatif (100 pasukan Kurawa). Perang
berlangsung di medan perang yang bernama “Padang Kurusetra” (Kalbu). Peperangan yang paling berat dan
merupakan sejatinya perang (jihad fi sabilillah) atau perang di jalan kebenaran.
Kemenangan Pendawa Lima diraih tidak mudah. Dan sekalipun kalah pasukan Kurawa 100 selamanya sulit
dibrantas tuntas hingga musnah. Maknanya sekalipun hawa nafsu positif telah diraih, artinya hawa nafsu negatif
(setan) akan selalu mengincar kapan saja si hawa lengah. Kejawenmengajarkan berbagai macam cara untuk
memenangkan peperangan besar tersebut. Di antaranya dengan laku prihatin untuk meraih kemenangan melalui
empat tahapan yang harus dilaksanakan secara tuntas. Empat tahapan tersebut dikiaskan ke dalam nada suara
salah instrumen Gamelan Jawa yang dinamakanKempul atau Kenong dan Bonang yang menimbulkan
bunyi; Neng, Ning, Nung, Nang.

1. Neng; artinya jumeneng, berdiri, sadar atau bangun untuk melakukantirakat, semedi, maladihening,
atau mesu budi. Konsentrasi untuk membangkitkan kesadaran batin, serta mematikan kesadaran jasad
sebagai upaya menangkap dan menyelaraskan diri dalam frekuensi gelombang Tuhan.
2. Ning; artinya dalam jumeneng kita mengheningkan daya cipta (akal-budi) agar menyambung dengan
daya rasa- sejati yang menjadi sumber cahaya nan suci. Tersambungnya antara cipta dengan rahsa akan
membangun keadaan yang wening. Dalam keadaan “mati raga” kita menciptakan keadaan batin
(hawa/jiwa/nafs) yang hening, khusuk, bagai di alam “awang-uwung” namun jiwa tetap terjaga dalam
kesadaran batiniah. Sehingga kita dapat menangkap sinyal gaib dari sukma sejati.
3. Nung; artinya kesinungan. Bagi siapapun yang melakukan Neng, lalu berhasil menciptakan Ning,
maka akan kesinungan (terpilih dan pinilih) untuk mendapatkan anugrah agung dari Tuhan Yang
Mahasuci. Dalam Nung yang sejati, akan datang cahaya Hyang Mahasuci melalui rahsa lalu ditangkap
roh atau sukma sejati, diteruskan kepada jiwa, untuk diolah oleh jasad yang suci menjadi manifestasi
perilaku utama (lakutama). Perilakunya selalu konstruktif dan hidupnya selalu bermanfaat untuk orang
banyak.
4. Nang; artinya menang; orang yang terpilih dan pinilih (kesinungan), akan selalu terjaga amal perbuatan
baiknya. sehingga amal perbuatan baik yang tak terhitung lagi akan menjadi benteng untuk diri
sendiri. Ini merupakan buah kemenangan dalam laku prihatin. Kemenanganyang berupa anugrah,
kenikmatan, dalam segala bentuknya serta meraih kehidupan sejati, kehidupan yang dapat memberi
manfaat (rahmat) untuk seluruh makhluk serta alam semesta. Seseorang akan meraih kehidupan sejati,
selalu kecukupan, tentram lahir batin, tak bisa dicelakai orang lain, serta selalu menemukan
keberuntungan dalam hidup (meraih ngelmu beja).
Neng adalah syariatnya, Ning adalah tarekatnya, Nung adalah hakekatnya,Nang adalah makrifatnya. Ujung
dari empat tahap tersebut adalah kodrat(sastrajendra hayuning Rat pangruwating diyu).
MENGUNGKAP MISTERI TUHAN
WIRID PURBA JATI

Seluruh manusia, dalam benaknya memiliki rasa keingintahuan tentang wujud Tuhan. Maka lazim lah
manusia membayangkan bagaimana gambaran keadaan Tuhan itu sebenarnya. Dalam beberapa agama samawi,
menggambarkan keadaan Tuhan adalah “ranah terlarang” atau ruang lingkup yang musti dihindari, tidak
menjadi pembahasan dengan obyek Dzat secara datail dan gamblang. Dengan alasan bahwa Tuhan sebagai Dzat
yang amat sangat sakral. Maka menggambarkan keadaan Dzat Tuhan pun manusia dianggap tidak akan mampu
dan akan menemui kesalahan persepsi, yang dianggap beresiko dapat membelokkan pemahaman. Hal itu wajar
karena menggambarkan Tuhan secara vulgar dapat mengakibatkan konsekuensi buruk. Tidak menutup
kemungkinan akan terjadi “pembendaan” Tuhan sebagai upaya manusia mengkonstruksi imajinasinya secara
konkrit. Maka atas alasan tersebut terdapat asumsi bahwa upaya manusia menggambarkan keadaan Tuhan denga
cara apapun pasti salah. Namun demikian, lain halnya dengan agama-agama “bumi” dan ajaran atau kearifan-
kearifan lokal yang berusaha menggambarkan keadaan Tuhan dengan cara arif dan hati-hati. Manusia berusaha
menjelaskan secara logic dalam asas hierarchis, sesuai dengan kemampuan nalar, akal budi, dan hati nurani
yang dimiliki manusia. Ditempuh melalui “laku” spiritual dan olah batin yang mendalam dan berat serta
mengerahkan kemampuan akal budi (mesu budi).

PIJAKAN SASMITA
Dzat adalah mutlak, Jumenengnya Dzat Maha Wisesa kang Langgeng Ora Owah Gingsir, dalam bahasa
Timteng lazimnya disebut Qadim, yang azali abadi. Kalimat ini mempunyai maksud berdirinya “sesuatu tanpa
nama” yang ada, mandiri dan paling berkuasa, mengatasi jagad raya sejak masih awang-uwung. Di sebut maha
kuasa artinya, Dzat yang tanpa wujud, berada merasuk ke dalam energi hidup kita. Tetapi banyak yang tidak
mengerti dan memahami, karena keber-ada-annya lebih-lebih samar, tanpa arah tanpa papan (gigiring punglu),
tanpa teman, tanpa rupa, sepi dari bau, warna, rupa, bersifat elok, bukan laki-laki bukan perempuan, bukan
banci. Dzat dilambangkan sebagai “kombang anganjap ing tawang” kumbang hinggap di awang-awang,
hakekatnya tersebutlah “latekyun”, oleh karena keadaan yang belum nyata. Artinya, hidup adalah sifat dari
Hyang Mahasuci, menyusup, meliputi secara komplet atas jagad raya dan isinya. Tidak ada tempat yang tanpa
pancaran Dzat. Seluruh jagad raya penuh oleh Dzat, tiada celah yang terlewatkan oleh Dzat, baik “di luar”
maupun “di dalam”. Dzat menyusup, meliputi dan mengelilingi jagad raya seisinya. Demikianlah perumpamaan
keber-ada-an Pangeran (Tuhan) Yang Mahasuci, ialah yang terpancar di dalam hidup kita pribadi.
Dzat merupakan sumber dari segala sumber adanya jagad raya seisinya. Retasan dari Dzat Yang Mahasuci
dalam mewujud makhluk ciptaanNya, dapat digambarkan dalam alur yang bersifat hirarkhis sebagai berikut;

1. Dzat; Hyang Mahasuci, Maha Kuasa, Dzatullah; sumber dari segala sumber adanya jagad raya dan
seluruh isinya.
“Nalikå awang-awang – uwúng-uwung, dèrèng wóntên punåpå punåpå, Hyang Måhå Kawåså manggèn
wóntên satêngahíng kawóntênan, nyíptå dumadósíng pasthi. Wóntên swantên ambêngúng ngêbêgi
jagad kadós swantêníng gênthå kêkêlêng. Ingriku wóntên cahyå pacihang gumêbyar mungsêr bundêr
kadós antigå (tigan) gumandhúl tanpå canthèlan. Énggal dipún astå déníng Hyang Måhå Kawåså,
dipún pujå : lalu meretaslah Kayyun.
1. Kayu/kayyun; yang hidup/atma/wasesa, menjadi perwujudan dari Dzat yang sejati, memancarkan energi
hidup. Kayun yang mewujud karena “disinari” oleh Dzat sejati. Dilambangkan sebagai kusuma anjrah
ing tawang, yakni bunga yang tumbuh di awang-awang, dalam martabatnya disebut takyun awal,
kenyataan awal muasal. Segala yang hidup disusupi dan diliputi energi kayu/yang hidup.
2. Cahaya dan teja, nur, nurullah; pancaran lebih konkrit dari kayun. Teja menjadi perwujudan segala yang
hidup, karena “disinari” kekuasaanatma sejati. Dilambangkan sebagai tunjung tanpo telogo, bunga teratai
yang hidup tanpa air. Berbeda dengan api, cahaya tidak memerlukan bahan bakar. Cahaya mewujud
sebagai hakikat pancaran dari yang hidup. Di dalam cahaya tidak ada unsur api (nafsu) maka hakikat
cahaya adalahjenjem-jinem, ketenangan sejati, suci, tidak punya rasa punya. Hakikatnya hanyalah
sujud/manembah yang digerakkan oleh energi hidup/kayun, yakni untuk manembah kepada Dzat yang
Mahasuci. Dalam martabatnya disebut takyunsani, kenyataan mewujud yang pertama. Ruh yang
mencapai kamulyan sejati, di dalam alam ruh kembali pada hakikat cahaya. Sebagai sifat hakekat
“malaikat”.
3. Rahsa, rasa, sir, sirullah; sebagai perwujudan lebih nyata dari cahaya. Sumber rahsa berasal dari
terangnya cahaya sejati. Dilambangkan isine wuluh wungwang, artinya tidak kentara; tidak dapat dilihat
tetapi dapat dirasakan. Maka dalam martabat disebut akyansabitah. Ketetapan menitis, menetes, dalam
eksistensi sebagai sir. Yakni menetes/jatuhnya cahaya menjadi rasa.
4. Roh, nyawa, sukma, ruh, ruhullah. Sebagai perwujudan dari hakekat rasa. Sebab dari terpancarnya rasa
sejati, diumpamakan sebagai tapaking kuntul nglayang. Artinya, eksistensi maya yang tidak terdapat
bekas, maka di dalam martabat disebut sebagai akyankarijiyah. Rasa yang sesungguhnya, keluar dalam
bentuk kenyataan maya. Karena ruh diliputi rahsa, wujud ruh adalah eksistensi yang mempunyai rasa dan
kehendak, yakni kareping rahsa; kehendak rasa. Tugas ruh sejati adalah mengikutikareping rahsa atau
kehendak rasa, bukan sebaliknya mengikuti rasanya kehendak (nafsu). Ruh sejati/roh suci/ruhul kuddus
harus menundukkan nafsu.
5. Nepsu, angkara, sebagai wujud derivasi dari roh, yang terpancar dari sinar sukma sejati. Hakikat nafsu
dilambangkan sebagai latu murup ing telenging samudra. Nafsu merupakan setitik kekuatan “nyalanya
api” di dalam air samudra yang sangat luas. Artinya, nafsu dapat menjadi sumber keburukan/angkara
(nila setitik) yang dapat “menyala” di dalam dinginnya air samudra/sukma sejati nan suci (rusak susu
sebelanga). Disebut pula sebagai akyanmukawiyah, (nafsu) sebagai kenyataan yang “hidup” dalam
eksistensinya. Paradoks dari tugas roh, apabila nafsu lah yang menundukkan roh, maka manusia hanya
menjadi “tumpukan sampah” atau hawa nafsu angkara. Mengikuti rasanya keinginan (rahsaning karep).
6. Akal-budi, disebut juga indera. Keberadaan nafsu menjadi wahana adanya akal-budi. Dilambangkan
sebagai kudha ngerap ing pandengan,kudha nyander kang kakarungan. Akal-budi letaknya di dalam
nafsu, diibaratkan sebagai “orang lumpuh mengelilingi bumi”. Adalah tugas yang amat berat bagi akal-
budi; yakni menuntun hawa nafsu angkara kepada yang positif/putih (mutmainah). Sehingga
diumpamakan wonglumpuh angideri jagad; orang lumpuh yang mengelilingi bumi. Disebut
juga akyanmaknawiyah. Kemenangan akal-budi menuntun hawa nafsu ke arah yang positif dan tidak
merusak, maka akan melahirkan nafsu baru, yakni nafsul mutmainah.
7. Jasad/badan/raga. Merupakan perwujudan paling konkrit dari ruh (mahujud), dan retasan berasal dari
derivasi terdekatnya yakni panca indera sejati. Jasad menjadi wahana adanya sifat. Jasad menjadi bingkai
sifat, diumpamakan sebagai kodhok kinemulan ing leng. Kodhok personifikasi dari sifat manusia yang
rendah, karena cenderung mengikuti hawa nafsu (rasaning karep), diselimuti oleh liang/rumah kodhok;
liang adalah personifikasi dari jasad. Sifat-sifat manusia yang masih tunduk oleh jasad, merupakan
gambaran Dzat sifat yang masih terhalang dan dikendalikan oleh sifat ke-makhluk-an. Sifat-sifat Dzat
Tuhan dalam diri manusia masih diliputi oleh sifat kedirian manusia. Sebaliknya, pencapaian kemuliaan
hidup manusia dilambangkan sebagai kodhok angemuli ing leng, kodok menyelimuti liangnya, apabila
jasad keberadaannya sudah “di dalam”. Artinya hakekat manusia sudah diliputi oleh sifat Dzat Tuhan.

SISTEMATIKA MENUJU DZAT

Ketetapan jasad ditarik oleh akal


Ketetapan akal ditarik oleh nafsu
Ketetapan nafsu ditarik oleh roh
Ketetapan roh ditarik oleh sir
Ketetapan sir ditarik oleh nur
Ketetapan nur ditarik oleh kayun
Ketetapan kayu/kayun ditarik oleh Dzat

TANGGA UNTUK “BERTEMU” TUHAN (PARANING DUMADI)


Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa manusia memiliki dua kutub yang saling bertentangan. Di satu sisi,
kutub badan kasar atau jasad yang menyelimuti akal budi sekaligus nafsu angkara. Jasad (fisik) juga merupakan
tempat bersarangnya badan halus/astral/ruh (metafisik), di lain sisi. Manusia diumpamakan berdiri di
persimpangan jalan. Tugas manusia adalah memilih jalan mana yang akan dilalui. Tuhan menciptakan SEMUA
RUMUS (kodrat) sebagai rambu-rambu manusia dalam menata hidup sejati. Masing-masing rumus memiliki
hukum sebab-akibat. Golongan manusia yang berada dalam kodrat Tuhan adalah mereka yang menjalankan
hidup sesuai rumus-rumus Tuhan. Setiap menjalankan rumus Tuhan akan mendapatkan “akibat” berupa
kemuliaan hidup, sebaliknya pengingkaran terhadap rumus akan mendapatkan “akibat” buruk (dosa) sebagai
konsekuensinya. Misalnya; siapa menanam; mengetam. Rajin pangkal pandai. (lihat dalam Wirayat Laksita
Jati).
Tugas manusia adalah menyelaraskan sifat-sifat kediriannya ke dalam “gelombang” Dzat sifat Tuhan.
Dalam ajaran Kejawen lazim disebutmanunggaling kawula gusti; dua menjadi satu, atau dwi tunggal. Kodrat
manusia yang lahir ke bumi adalah mensucikan jasad, jasad yang diliputi oleh Dzat sifat Tuhan melalui tahapan-
tahapan sebagai berikut;
“jasad dituntun oleh keutamaan budi, budi terhirup oleh hawanya nafsu, nafsu (rahsaning karep)
diredam oleh kekuasaan sukma sejati, sukmadiserap mengikuti rasa sejati (kareping rahsa), rahsa luluh
melebur disucikan oleh cahaya, cahaya terpelihara oleh atma (energi yang hidup),atma berpulang ke
dalam Dzat, Dzat adalah qadim ajali abadi”.

LAKSITA JATI; Meraih Kasampurnan Hidup


Ilmu yang mengajarkan tata cara menghargai diri sendiri, dengan “laku” batin untuk mensucikan raga
dari nafsu angkara murka (amarah), nafsu mengejar kenikmatan (supiyah), dan nafsu serakah (lauwamah).
Pribadi membangun raga yang suci dengan menjadikan raga sebagai reservior nafsul mutmainah. Agar supaya
jika manusia mati, raganya dapat menyatu dengan “badan halus” atau ruhani atau badan sukma.
Hakikat kesucian, “badan wadag” atau raga tidak boleh pisah dengan “badan halus”, karena raga dan
sukma menyatu (curigo manjing warongko) pada saat manusia lahir dari rahim ibu. Sebaliknya, manusia yang
berhasil menjadi kalifah Tuhan, selalu menjaga kesucian (bersih dari dosa), jika mati kelak “badan wadag” akan
luluh melebur ke dalam “badan halus” yang diliputi oleh kayu dhaim, atau Hyang Hidup yang tetap ada dalam
diri kita pribadi, maka dilambangkan dengan “warongko manjing curigo”. Maksudnya, “badan wadag” melebur
ke dalam “badan halus”. Pada saat manusia hidup di dunia (mercapada), dilambangkan dengan “curigo manjing
warongko”; maksudnya “badan halus” masih berada di dalam “badan wadag”. Maka dari itu terdapat pribahasa
sebagai berikut:

“Jasad pengikat budi, budi pengikat nafsu, nafsu pengikat karsa (kemauan), karsa pengikat sukma, sukma
pengikat rasa, rasa pengikat cipta, cipta pengikat penguasa, penguasa pengikat Yang Maha Kuasa”.

Sebagai contoh :
Jasad jika mengalami kerusakan karena sakit atau celaka, maka tali pengikat budi menjadi putus. Orang
yang amat sangat menderita kesakitan tentu saja tidak akan bisa berpikir jernih lagi. Maka putuslah tali budi
sebagai pengikat nafsu. Maka orang yang sangat menderita kesakitan, hilanglah semua nafsu-nafsunya;
misalnya amarah, nafsu seks, dan nafsu makan. Jika tali nafsu sudah hilang atau putus, maka untuk
mempertahankan nyawanya, tinggal tersisa tali karsa atau kemauan. Hal ini, para pembaca dapat menyaksikan
sendiri, setiap orang yang menderita sakit parah, energi untuk bertahan hidup tinggalah kemauan atau semangat
untuk sembuh. Apabila karsa atau kemauan, dalam bentuk semangat untuk sembuh sudah hilang, maka
hilanglah tali pengikat sukma, akibatnya sukma terlepas dari “badan wadag”, dengan kata lain orang tersebut
mengalami kematian. Namun demikian, sukma masih mengikat rasa, dalam artian sukma sebenarnya masih
memiliki rasa, dalam bentuk rasa sukma yang berbeda dengan rasa ragawi. Bagi penganut kejawen percaya
dengan rasa sukma ini. Maka di dalam tradisi Jawa, tidak boleh menyianyiakan jasad orang yang sudah
meninggal. Karena dipercaya sukmanya yang sudah keluar dari badan masih bisa merasakannya. Rasa yang
dimiliki sukma ini, lebih lanjut dijelaskan karena sukma masih berada di dalam dimensi bumi, belum
melanjutkan “perjalanan” ke alam barzah atau alam ruh.
Rahsa atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha Kuasa) yang mewujud ke dalam diri manusia.
Dzat adalah Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Urutan dari yang
tertinggi ke yang lebih rendah adalah sebagai berikut;
1. Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas menjadi;
2. Kayu Dhaim (Kayyun) Energi Yang Hidup, meretas menjadi;
3. Cahya atau cahaya (Nurullah), meretas menjadi;
4. Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah), meretas menjadi ;
5. Sukma atau ruh (Ruhullah).

No 1 s/d no 5 adalah retasan dari Dzat, Tuhan Yang Maha Kuasa, maka ruh bersifat abadi, cahaya bersifat
mandiri tanpa perlu bahan bakar. Ruh yang suci yang akan melanjutkan “perjalanannya” menuju ke haribaan
Tuhan, dan akan melewati alam ruh atau alam barzah, di mana suasana menjadi “jengjem jinem” tak ada rasa
lapar-haus, emosi, amarah, sakit, sedih, dsb. Sebelum masuk ke dimensi barzah, ruh melepaskan tali rasa,
kemudian ruh masuk ke dalam dimensi alam barzah menjadi hakikat cahaya tanpa rasa, dan tanpa karsa. Yang
ada hanyalah ketenangan sejati, manembah kepada gelombang Dzat, lebur dening pangastuti.

KONSEP ARWAH PENASARAN


Sebaliknya ruh yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi, masih memiliki tali rasa, misalnya rasa
penasaran karena masih ada tanggungjawab di bumi yang belum terselesaikan, atau jalan hidup, atau “hutang”
yang belum terselesaikan, menyebabkan rasa penasaran. Oleh karena itu dalam konsep Kejawen dipercaya
adanya arwah penasaran, yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi. Sehingga tak jarang masuk ke
dalam raga orang lain yang masih hidup yang dijadikan sebagai media komunikasi, karena kenyataan bahwa
raganya sendiri telah rusak dan hancur. Itulah sebabnya mengapa di dalam ajaran Kejawen terdapat tata cara
“penyempurnaan” arwah (penasaran) tersebut.

JALAN SETAPAK MERAIH KESUCIAN


(Jihad/Perang Baratayudha/Perang Sabil)

Mati penasaran, kebalikan dari mati sempurna. Dalam kajian Kejawen, mati dalam puncak
kesempurnaan adalah mati moksa ataumosca atau mukswa. Yakni warangka (raga) manjing curigo (ruh). Raga
yang suci, adalah yang tunduk kepada kesucian Dzat yang terderivasi ke dalam ruh. Ruh suci/roh kudus (ruhul
kuddus) sebagai retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada dengan 20 sifat Dzat, misalnya kodrat,
iradat, berkehendak, mandiri, abadi, dst. Sebaliknya, ruh yang tunduk kepada raga hanya akan menjadi budak
nafsu duniawi, sebagaimana sifat hakikat ragawi, yang akan hancur, tidak abadi, dan destruktif. Menjadi raga
yang nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat Yang Maha Suci. Oleh karena itu, menjadi tugas utama
manusia, yakni memenangkan perang Baratayudha di Padang Kurusetra, antara Pendawa (kebaikan yang
lahir dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa (nafsu angkara murka). Perang inilah yang
dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii Sabilillah, bukan perang antar agama, atau segala bentuk
terorisme.
Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau Jihad secara Kejawen, yakni mengendalikan hawa
nafsu, serta menjalankan budi (bebuden) yang luhur nilai kemanusiannya (habluminannas) yakni ; rela (rilo),
ikhlas (legowo), menerima/qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen lan bener), menjaga kesusilaan
(trapsilo) dan jalan hidup yang mengutamakan budi yang luhur (lakutama). Adalah pitutur sebagai pengingat-
ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingat Tuhan untuk menjaga kesucian dirinya, seperti
dalam falsafah Kejawen berikut ini :

“jagad bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan sumurupo marang budi, budi sumurupo
marang napsu, napsu sumurupo marang nyowo, nyowo sumurupo marang rahso, rahso sumurupo marang
cahyo, cahyo sumurupo marang atmo, atmo sumurupo marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi”
(jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi, budi pahamilah nafsu, nafsu pahamilah
nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa pahamilah rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup,
Yang Hidup pahamilah Aku, Aku berdiri sendiri (Dzat).

Artinya, bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib)
memiliki kesadaran mikrokosmisdan makrokosmis yakni “sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan
hormat (manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.
Selain kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian manusia harus tetap berada di dalam koridor yang
merupakan “jalan tembus” menuju Yang Maha Kuasa. Adalah 7 perkara yang harus dicegah, yakni;
1. Jangan ceroboh, tetapi harus rajin sesuci.
2. Jangan mengumbar nafsu makan, tetapi makanlah jika sudah merasa lapar.
3. Jangan kebanyakan minum, tetapi minum lah jika sudah merasa haus.
4. Jangan gemar tidur, tetapi tidur lah jika sudah merasa kantuk.
5. Jangan banyak omong, tetapi bicara lah dengan melihat situasi dan kondisi.
6. Jangan mengumbar nafsu seks, kecuali jika sudah merasa sangat rindu.
7. Jangan selalu bersenang-senang hati dan hanya demi membuat senang orang-orang,
walaupun sedang memperoleh kesenangan, asal tidak meninggalkan duga kira.
Demikian pula, di dalam hidup ini jangan sampai kita terlibat dalam 8 perkara berikut;
1. Mengumbar hawa nafsu.
2. Mengumbar kesenangan.
3. Suka bermusuhan dan tindak aniaya.
4. Berulah yang meresahkan.
5. Tindakan nista.
6. Perbuatan dengki hati.
7. Bermalas-malas dalam berkarya dan bekerja.
8. Enggan menderita dan prihatin.
Sebab perbuatan yang jahat dan tingkah laku buruk hanya akan menjadi aral rintangan dalam meraih rencana
dan cita-cita, seperti digambarkan dalam rumus bahasa berikut ini;
1. Nistapapa; orang nista pasti mendapat kesusahan.
2. Dhustalara; orang pendusta pasti mendapat sakit lahir atau batin.
3. Dorasangsara; gemar bertikai pasti mendapat sengsara.
4. Niayapati; orang aniaya pasti mendapatkan kematian.

PERBUATAN, PASTI MENIMBULKAN “RESONANSI”


Demikian lah, sebab pada dasarnya perilaku hidup itu ibaratsuara yang kita kumandang akan
menimbulkan gema, artinya apapun perbuatan kita kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai diri
kita sendiri. Jika perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan “gema” berupa kebaikan yang
lebih besar yang akan kita dapatkan dari orang lainnya lagi. Hal ini dapat dipahami sebagaimana dalam
peribahasa;

Barang siapa menabur angin, akan menuai badai,


Siapa menanam, akan mengetam,
Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan,
Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah, rejekinya akan menjadi lapang.
Orang pelit, pailit
Pemurah hati, mukti

PERILAKU TAPA BRATA

Idealnya, setiap orang sepanjang hidupnya dapat melaksanakan “tapa brata” atau mesu-budi, menahan hawa
nafsu, yg mempunyai kesamaan dengan hakikat puasa seperti di bawah ini;
1. Tapa/puasanya badan/raga; harus anoraga; rendah hati; gemar berbuat baik.
2. Tapa/puasanya hati; nerima apa adanya; qonaah; tak punya niat/prasangka buruk, tidak iri hati.
3. Tapa/puasanya nafsu; ikhlas dan sabar dalam menerima musibah, serta memberi maaf kepada
orang lain.
4. Tapa/puasanya sukma; jujur.
5. Tapa/puasanya rahsa; mengerem sembarang kemauan, serta kuat prihatin dan menderita.
6. Tapa/puasanya cahya; eneng-ening; tirakat atau bertapa dalam keheningan, kebeningan, dan
kesucian.
7. Tapa/puasanya hidup (gesang); eling (selalu ingat/sadar makro-mikrokosmos) dan selalu waspada
dari segala perilaku buruk.

Selain itu, anggota badan (raga) juga memiliki tanggungjawab masing-masing sebagai wujud dari hakikat puasa
atau tapa brata ;
1. Tapa/puasanya netro/mata; mencegah tidur, dan menutup mata dari nafsu selalu ingin
memiliki/menguasai.
2. Tapa/puasanya karno/telinga; mencegah hawa nafsu, enggan mendengar yang tak ada manfaatnya
atau yang buruk-buruk.
3. Tapa/puasanya grono/hidung; mencegah sikap gemar membau, dan enggan “ngisap-isap” keburukan
orang lain.
4. Tapa/puasanya lisan/mulut; mencegah makan, dan tidak menggunjing keburukan orang lain.
5. Tapa/puasanya puruso/kemaluan; mencegah syahwat, tidak
sembarangan ngentot/rakit/ngewe/senggama/zina.
6. Tapa/puasanya asto/tangan; mencegah curi-mencuri, rampok, nyopet, korupsi, dan tidak
suka cengkiling; jail dan menyakiti orang lain.
7. Tapa/puasanya suku/kaki; mencegah langkah menuju perbuatan jahat, atau kegiatan negatif, tetapi
harus gemar berjalan sembari “semadi” yakni berjalan sebari eling lan waspodo.

Tapa/maladihening/mesu budi/puasa seperti di atas dapat diumpamakan dalam gaya bahasa personifikasi, yang
memiliki nilai falsafah yang sangat tinggi dan mendalam sbb;

“Katimbang turu, becik tangi. Katimbang tangi, becik melek. Katimbang melek, becik lungguh. Katimbang
lungguh, becik ngadeg. Katimbang ngadeg, becik lumakuo”.
(Daripada tidur lebih baik bangun. Daripada bangun lebih baik melek. Daripada melek lebih baik duduk.
Daripada duduk lebih baik berdiri. Daripada berdiri lebih baik melangkah lah)

Untuk meraih kesempurnaan dalam melaksanakan tata laku di atas, hendaknya setiap langkah kita
selalu eling dan waspada. Agar supaya setelah menjadi manusia pinunjul tidak menjadi sombong dan takabut,
sebaliknya justru harus disembunyikan semua kelebihan tersebut, dan tidak kentara oleh orang lain, sehingga
setiap jengkal kelemahan tidak memancing hinaan orang lain. Untuk itu manusia pinunjul harus;

1. Solahbawa, harga diri, perbuatan, harus selalu di jaga


2. Keluarnya ucapan harus dibuat yang mendinginkan, menyejukkan, dan menentramkan lawan
bicara
3. Raut wajah yang manis, penuh kelembutan dan kasih sayang.

Inilah sejatinya tata krama dalam ajaran Kejawen. Kesempurnaan dalam melaksanakan langkah-langkah di atas,
seyogyanya menimbang situasi dan kondisi, menimbang waktu dan tempat secara tepat, tidak asal-asalan.
Karena sekalipun “isi”nya berkualitas, tetapi bungkusnya jelek, maka “isi”nya menjadi tidak berharga. Dengan
kata lain, jangan mengabaikan (dugoprayoga) duga kira, bagaimana seharusnya yang baik. Sebab
sesempurnanya manusia tetap memiliki kekurangan atau kelemahan, sehingga manakala kelemahan dan
kekurangan tersebut diketahui orang lain tidak akan menjadi “batu sandungan”. Seperti dalam ungkapan sebagai
berikut;

1. Kusutnya pakaian; tertutup oleh derajat (harga diri) yang luhur.


2. Terpelesetnya lidah, tertutup oleh manisnya tutur kata.
3. Kecewanya warna, tertutup oleh budi pekerti.
4. Cacadnya raga, tertutup oleh air muka yang ramah.
5. Keterbatasan, tertutup oleh sabar dan bijaksana.

Oleh karena itu, meraih kesempurnaan dalam konteks ini diartikan kesempurnaan dalam melaksanakan tapa
brata. Kegagalan melaksanakan tapa brata, dapat membawa manusia kepada zaman “paniksaning gesang” tidak
lain adalah nerakanya dunia, seperti di bawah ini;

1. Zamannya kemelaratan, dimulai dari perilaku boros


2. Zamannya menderita aib, dimulai dari watak lupa terlena, tanpa awas.
3. Zamannya kebodohan, dimulai dari sikap malas dan enggan.
4. Zamannya angkara, dimulai dengan sikap mau menang sendiri
5. Zamannya sengsara, dimulai dari perilaku yang kacau.
6. Zamannya penyakit, diawali dari kenyang makan.
7. Zamannya kecelakaan, diawali dari perbuatan mencelakai orang lain.

Sebaliknya, “ganjaraning gesang” atau “surganya dunia”, lebih dari sekedar kemuliaan hidup itu sendiri,
yakni;
1. Zamannya keberuntungan, awalnya dari sikap hati-hati, tidak ceroboh.
2. Zamannya kabrajan, awalnya dari budi luhur dan belas kasih.
3. Zamannya keluhuran, awalnya dari giat andap asor, sopan santun.
4. Zamannya kebijaksanaan, awalnya dari telaten bibinau.
5. Zamannya kesaktian (kasekten), awalnya dari puruita dantapabrata.
6. Zamannya karaharjan (ketentraman-keselamatan), awalnya dari eling dan waspada.
7. Zamannya kayuswan (umur panjang), awalnya sabar,qonaah, narimo, legowo, tapa.

SHALAT/SEMBAHYANG DHAIM

Sebagai tulisan penutup, Sabdalangit berusaha memaparkan garis besar TAPA BRATA, agar supaya
mudah diingat dan gampang dicerna bagi para pembaca yang masih awam tentang ajaran Kejawen.
Selain dipaparkan di atas, sejalan dengan bertambahnya usia, seyogyanya hidup itu sembari
mencari ciptasasmita, “tuah” atau petunjuk yang tumbuh jiwa yang matang dan dari dalam lubuk budi yang
suci. Pada dasarnya, tumbuhnya budipekerti (bebuden) yang luhur, berasal dari tumbuhnya rasa eling,
tumbuhnya kebiasaan tapa, tumbuhnya sikap hati-hati, tumbuhnya “tidak punya rasa punya”, tumbuhnya
kesentausaan, tumbuhnya kesadaran diri pribadi, tumbuhnya “lapang dada”, tumbuhnya ketenangan batin,
tumbuhnya sikapmanembah (tawadhu’). Pertumbuhan itu berkorelasi positif atau sejalan dengan usia seseorang.
Akan tetapi, jika semakin lanjut usia seseorang akan tetapi perkembangannya berbanding terbalik,
mempunyai korelasi negatif, yakni justru memiliki tabiat dan karakter seperti anak kecil, ia merupakan produk
topobroto yang gagal. Untuk mencegahnya tidak lain harus selalu mencegah hawa nafsu, serta mengupayakan
dengan sungguh-sungguh untuk meraih kesempurnaan ilmu. Begitu pentingnya hingga adalah “wewarah” yang
juga merupakan nasehat yang hiperbolis, sbb;

“ageng-agenging dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang magel. Awit saking dereng kabuko ing
pambudi, dados boten superep ing suraosipun”

Bagi yang sudah lulus, dapat menerima semua ilmu, tentu akan menemui kemuliaan “sangkan paran ing
dumadi”. Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui Tuhannya, sesungguhnya dapat mengetahui di dalam
badanya sendiri. Siapa yang sungguh-sunggun mengetahui badannya sendiri, sesungguhnya mengetahui
Tuhannya. Artinya siapa yang mengetahui Tuhannya, ia lah yang mengetahui semua ilmu kajaten(makrifat).
Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui sejatinya badannya sendiri, ia lah yang dapat mengetahui akan hidup
jiwa raganya sendiri. Kita harus selalu ingat bahwa hidup ini tidak akan menemui sejatinya “ajal”, sebab
kematian hanyalah terkelupasnya isi dari kulit. “Isi” badan melepas “kulit” yang telah rusak, kemudian “isi”
bertugas melanjutkan perjalanan ke alam keabadian. Hanya raga yang suci yang tidak akan rusak dan mampu
menyertai perjalanan “isi”. Sebab raga yang suci, berada dalam gelombang Dzat Illahi yang Maha Abadi.
Maka dari itu, jangan terputus dalam lautan “manembah” kepada Gusti Pangeran Ingkang Sinembah.
Agar supaya menggapai “peleburan” tertinggi, lebur dening pangastuti; yakni raga dan jiwa melebur ke dalam
Cahaya yang Suci; di sanalah manusia dan Dzat menyatu dalam irama yang sama; yakni manunggaling kawulo
gusti. Dengan sarana selalu mengosongkan panca indra, serta menyeiramakan diri pada Sariraning Bathara, Dzat
Yang Maha Agung, yang disebut sebagai “PANGABEKTI INGKANG LANGGENG” (shalat dhaim) sujud,
manembah (shalat) tanpa kenal waktu, sambung-menyambung dalam irama nafas, selalu eling dan menyebut
Dzat Yang serba Maha. Adalah ungkapan;
“salat ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah, lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan
wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan melek.
(sembahyang sambil bekerja, duduk sambil berjalan, berjalan di dalam diam, membisu dengan bicara,
bepergian dengan tidur, tidur sembari melek).

Jika ajaran ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berkat Tuhan Yang Maha Wisesa, setiap orang dapat
meraih kesempurnaan Waluyo Jati, Paworing Kawulo Gusti, TIDAK TERGANTUNG APA AGAMANYA.

NGUPADI KASAMPURNANING URIP

"NGUPADI KASAMPURNANING URIP"

Inilah kehidupan spiritual,yang berharap melalui tangan ‘kan menemukan ketercerahan mengulurkan
kebaikan keseluruh penjuru semesta.Melalui telinga bisa mendengarkan bisikan
terdalam yang hidup di jiwa alam.Melalui hati menemukan kedamaian.Melalui Mata ‘kan melihat Tuhan yang
menyelinap di balik dedaunan dan seluruh wajah semesta alam.

Inilah SYARI’AT yang harus meng-AKAR kuat di jiwa,sebelum batang dan rantingnya mengajak tumbuh
mencakar langit.Inilah dasar yang harus dihidupkan,bukannya dilalaikan,bahkan
bukannya hal yang tak lagi dikenal setelah sang wajah mampu menyapa MATAHARI.

Ada BATANG dan RANTING yang menjadi lantaran bagi kehidupan Jiwa,inilah THARIQAT yang harus kita
tempuh,jalan
untuk menuju ladang-ladang pendakian yang lebih tinggi.

Ada HIJAU DEDAUNAN yang menampakkan bagi kehidupan akar


dan batang.Ada HAQIQAT yang menjadi ciri dari kehidupan jiwa,setelah syari’at dan thariqat ia jalani.

Dan diatas semua itu,inilah BUNGA KEHARUMAN jiwa,puncak dari semuanya.Inilah MAKRIFAT yang tidak
akan tumbuh selain dari akar yang kuat,dari ranting dan batang yang kokoh dan dari hijaunya dedaunan.

Ada KESEDERHANAAN untuk menjaga jarak dengan kehidupan duniawi,untuk menandakan bahwa jiwa tidak
terikat
akannya,..dan tak silau oleh gemerlapnya… ” ILANG
SAMUBARANG NGGEMBOL KADONYAN “.

Ada KEPASRAHAN yang harus di hidupkan yang akan menjadi pertanda bagi kehidupan RAGA dan
URIP.Ada KEARIFAN yang akan menyembulkan putik keindahan menyemarakkan kehidupan kesucian di
wajah bumi.Ada KESABARAN yang hendaknya dihidupkan ketika sadar perjalanan kehidupan ibarat roda
yang senantiasa berputar,dan takkan ada manusia yang terhindar dari gilasannya.Hendaklah
engkau selalu berada di porosnya.Ada DUKA yang menemani SUKA ,ada SUKA yang bersembunyi dibalik
DUKA.Inilah dua sisi kehidupan yang hendaknya tidak
diabaikan,karena inilah jiwa masih hidup,ketika disadari keduanya ada dalam SATU ATAP
KEHENDAKNYA.Ada KETERLEPASAN yang hendaknya kita kembalikan kepadaNya,ketika sadar
perjalanan harus ditempuh,tidak lepas
dari usaha2.Ada PUTIK KEHARUMAN dibalik desah haru kita,menghantarkan
kepada SANG KEKASIH dan menyerahkan sepenuhnya dalam jiwa kehendakNya.

Didalam dirimu terdapat sekuntum TERATAI SUCI ,Sumber kebijaksanaan yang tiada batas.Kembangkanlah
Welas asihmu dengan arif,maka kuntum Terataimu akan mekar.Jangan sampaikan kepada dunia…,bahwa
jiwamu telah mengetahui apa yang ada dibalik yang nampak,apa yang tersembunyi dikedalaman kalbu,tapi
jadilah sebagaimana TERATAI yang tak menyadari keindahannya,dan tetap tinggal di kedalaman
kolam.Berhentilah mencari wahai JIWA,…berhentilah mendengarkan dan lalaikan telingamu dari sabda Sang
GURU,karena GURU
SEJATI itu kini ada di DIRI kita,…ada dialam semesta ini...Marilah bersamanya dan mengikuti
KEHENDAKNYA,…yang ’kan tunjukkan padamu KeagunganNya.Lewat setiap wajah alam raya,…mengikuti
Kehendak URIP yang abadi,memberikan pengadilan,…belajarlah darinya…,dari wajah yang dihamparkan
olehNya,…wajah yang menyeratakan keheningan ditubuhnya.
Inilah SEJATINYA PERJALANAN,jangan berhenti jika belum merasakan kepedihan dan penderitaan.Jangan
berhenti jika
belum merasakan riak gelombang yang menghempaskan tubuhmu….

Menemukan HAKEKAT KEHIDUPAN,ibarat menemukan akar


pohon,lalu menyiram air pada akar itu.TEKUN dalam kesadaran akan URIP,lebih baik daripada sibuk dalam ber
angan-angan akan GUSTI~TUHAN..

mengenal DIRI...mengenal TUHAN ( teka-teki TAPAK KUNTUL


MABUR )

"mengenal DIRI...mengenal TUHAN (teka-teki TAPAK KUNTUL MABUR)"

Penasaran dengan teka-teki yang


diberikan oleh burung Kuntul tentang Mengenal Diri…Mengenal Tuhan...

“ carilah jejak kakiku,ketika aku terbang/dolekono tracake kuntul mabur “ kalimat itu acapkali kudengar
manakala para sesepuh memberikan wejangan tentang Mengenal Diri...Mengenal Tuhan...

Kalimat/sanepan tersebut membuat saya


termotifasi untuk melakukan perjalanan
melanglang buana menyelami samudera
BATINKU yang paling dalam.
Dalam khasanah Jawa,terminologi AJARAN tentang HIDUP begitu banyak disampaikan oleh orang-orang bijak
dalam bentuk tembang,serat-serat dan rata-rata membutuhkan penafsiran yang bukan bersandar pada AKAL dan
PIKIRAN,melainkan dituntut adanya peran BATIN untuk mengupas dan
memaknainya.

Bayangkan saja mana ada JEJAK kaki burung Kuntul ( Bangau ) ketika terbang…?? bisakah kita menemukan
bekas jejaknya…?? Mari kita sama-sama saling merenungi sebuah pesan yang sangat syarat dengan HIKMAH
dan MAKNA seperti yang disampaikan oleh Kanjeng Sunan Kali Jaga dalam bentuk metrum Dhandhang gulo
seperti di bawah ini:
"Ana pandhita akarya wangsit,kaya kombang anggayuh tawang,susuh angin ngendi nggone,lawan galihing
kangkung,watesane langit jaladri,tapake
kuntul mabur lan gigiring panglu,kusumo anjrah ing tawang,isine wuluh wungwang"

Ujar-ujar orang bijak ( pandhito ) diatas menyiratkan,bahwa sesuatu yang dicari itu adalah : susuh angin (sarang
angin)
dimana tempatnya,galih kangkung (galih kangkung),tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang),gigir panglu
(pinggir
dari globe/dunia),wates langit (batas cakrawala),yang merupakan sesuatu yang “tidak tergambarkan” atau “tidak
dapat disepertikan atau tak terdefinisikan” yang dalam bahasa Jawa ” TAN KENO KINOYO NGOPO ” yang
pengertiannya sama dengan “Acintya” dalam ajaran Hindu.Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu yang tak
tergambarkan” itu mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”,atau
“suwung”,Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan.Semua yang dicari dalam kidung
dhandhanggula di atas adalah “kekosongan”

Susuh angin itu “kosong”,ati banyu pun “kosong”, demikian pula “tapak kuntul nglayang” dan “batas
cakrawala”.Jadi,bagaimana jika kita sama-sama memaknainya bahwa hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi
yang padat energi”,seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya,yang meliputi segalanya secara
immanen sekaligus transenden,tak
terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa,hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai
kodratnya dan Irodat-Nya tidak saling bertabrakan.Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi segalanya,
“suwung iku anglimputi sakalir kang ana”.Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya
menyelimuti semua yang ada,baik di luar maupun di dalamnya.Karena pada diri kita ada Atman ( sang
Pribadi,Sukma Jati,Ingsun Sejati ),yang tak lain adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan,maka hakekat Atman
adalah juga “kekosongan yang padat energi itu”.Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya ada
Atman,tanpa ada muatan yang lain,misalnya nafsu ( ego ) dan keinginan,maka “energi Atman” itu akan
berhubungan atau menyatu dengan sang “maha sumber energi”.Untuk itu yang diperlukan dalam usaha
pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan Brahman itu.Logikanya,apabila hakekat
Tuhan adalah “kekosongan” maka untuk menyatukan diri,maka diri kita pun harus “kosong”,Sebab hanya “yang
kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong”.Mungkin dalam gambaran orang ndeso yang
memiliki pandangan “ CUPIT “ seperti saya ini,yang paling sederhana adalah jika dua kutub magnet didekatkan
antara kutub positif dan negatif dipertemukan,maka akan terjadi daya “TOLAK MENOLAK“.Tapi sebaliknya
jika kutub positif dan positif dipertemukan,jelas akan terjadi daya “TARIK MENARIK“.
Hmmm…hmmm...kira-kira nyambung gak yah analog di atas..?? yah..anggap saja ini ilmu
gothak,gathik,gathuk…lah mathuk apa nggak.He..he....

Sejenak dalam ketermenunganku terlintas sebuah ayat dalam Kitab Suci Al-Qur'an yang berbunyi : "Hai orang-
orang yang beriman,janganlah kamu salat ( sembahyang ),sedang kamu dalam keadaan mabuk..."(QS. An-Nisa
43). Loh..loh...opo hubungane..??.Begini yah...rasa-rasanya ayat ini mengisyaratkan kepada saya pribadi
bahwa,jangan MENYEMBAH (Manunggal) dengan Tuhan jika dalam keadaan MABUK.Apa yang bisa kita
pahami tentang kata MABUK tersebut.Dalam pikiran dangkal seperti
saya ini,MABUK bukan hanya karena seseorang kebanyakan ( klempoken ) minum ( nenggak ) MIRAS yang
memabukkan,tetapi PENETRASINYA adalah kondisi seseorang dalam keadaan
“ KEMRUNGSUNG ATINE “ hik…apa yah kira-kira ilustrasi yang pas dan tepat jika dibahasa
Indonesiakan…??.Ahhhg…anggap saja Pikirane Ngelantur,KALUT ( stress ) gitulah.Nah,seseorang yang dalam
kondisi MABUK ( kemrungsung,Kalut,Stress ) menandakan adanya MUATAN peran dominasi Nafsu ( ego )
sang Pribadi.Sebagai efek dominonya,tentu saja kita sudah tidak bisa lagi mengingat siapa diri kita.Lalu bisakah
kita dalam kondisi,keadaan seperti ini MANUNGGAL dengan Sang Maha Tunggal…??.Maka jelas sudah jika
dalam sebuah ayat yang lain dikatakan “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat ( sembahyang ) ,yaitu
orang-orang yang lalai dari salatnya (sembahyangnya ),…(QS.Al- Maa’uun 4-5).

Lalu bagaimana caranya supaya kita tidak LALAI dalam shalat ( menyembah ) dan manunggal dengan sang
Maha Tunggal…??Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri” dengan
“menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa berbagai nafsu dan keinginan.
Ahhg…kok mbulet-mbulet seh,kongkretnya gimana…?? Begini deh…,Coba sekarang mari kita mulai dan kita
buktikan saja bersama-sama.Tenanglah bersama diri sendiri.Nikmati saja,santai saja.Endapkan segala pikiran
masa lalu atau masa depan.Entah itu masa lalu pun yang dimulai dari sekian detik sebelumnya atau yang sudah
usang puluhan bahkan
ratusan hari yang lalu.Begitu juga janganlah memaksakan untuk berfikir ke depan entah itu lima menit
kemudian,apalagi sekian tahun ke depan.Lah..lah...kok nggak ada apa–apa yah…??
KOSONG…!! Santai saja poro sanak Kadangku,justru memang disitulah sesungguhnya letak rahasianya.
”Ketiadaan apa–apa…!! alias KOSONG…!! karena KEKOSONGAN ( kehampaan ) adalah merupakan sumber
CIKAL BAKAL ( tunas ) dari terjadinya apa–apa ( tumbuh )”. Memang hal ini seperti biji
tanaman.Dimakan langsung jelas rasa pahitnya dan tidak menyenangkan.Dipandang juga tidak kelihatan rupa
dan warnanya.Satu–satunya jalan bagi kita adalah menanam dan merawat serta memupuknya hingga tumbuh
besar dan
menghasilkan buah yang bisa dirasakan oleh orang banyak.Demi Waktu ! Agar kelak mengetahui buah
sesungguhnya.Buah yang tak tertandingi sifat yang Maha MEMBERI dan MEMBERI…!!.Yaitu nikmat dan
pengajaran “ RASA MAKNAWI “ dalam sang Pribadi ( sukma jati,jiwa ) kita…!!Dengan kata lain berusaha
membangkitkan energi sang Pribadi agar tersambung dengan energi yang Maha Terpuji.Dengan uraian di atas
maka cara yang biasanya ditempuh orang-orang
SPIRITUAL adalah melaksanakan “yoga,samadi,Manekung,dzikir,meditasi”,yang intinya adalah menghentikan
segala
aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang membebaninya sebagaimana telah dicontohkan oleh
manusia-manusia PENCERAH seperti Ibrahim,Musa,Isa,Muhammad dll.Sebab pikiran yang selalu bekerja tak
akan pernah menjadikan diri “kosong”.Karena itu salah satu caranya adalah dengan
“Amati Karya”,menghentikan segala aktifitas kerja akal pikiran.Apabila “kekosongan” merupakan hakekat
Tuhan,apakah Padmasana,yang di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”,dan dianggap sebagai simbol
singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa
lewat kidung-kidung,tembang,dhandhanggulo,macapat dan serat-serat itu?.

Ahhg…sang Kuntul telah memberikan pengajaran dan membukakan gelap dan kelamnya TABIR sang Pribadi
yang
selama ini bergolak.Sebuah pesan singkat sang Kuntul itu kepadaku : Heih..."sing kuat olehmu gondhelan
Teken Muhammad.Supoyo URIPMU ayem lan tentrem.Sebab nengdi wae olehmu kowe ngemboro,sak piro
dhuwure olehmu ngangsu kaweruh tulis lan sudhul langit olehmu MANTHENG ngasah batin,ujung-ujunge
kowe mung bakal tinemu marang SEJATINE awakmu dhewe.Mulo mung loro cacahe pilihan,kowe bakal milih
arep dadi CAHYO kang PINUJI opo dadi CAHYO
kang MILANGKORI…!! Dhuh…opo meneh iki…??.

(Olah Kepribadian/Dialog Batin Agoeng Deworuci di Malem Rabu Kliwon 22/02/2015)

Anda mungkin juga menyukai