Anda di halaman 1dari 34

Aji Saka

Cerita permulaan peradaban Jawa

Aji Saka adalah legenda Jawa yang


mengisahkan tentang kedatangan
peradaban ke tanah Jawa, dibawa oleh
seorang raja bernama Aji Saka. Kisah ini
juga menceritakan mengenai mitos asal
usul Aksara Jawa.[1]

Dalam perspektif pitutur atau cerita rakyat


si Tanah Pusaka Sukahurip Bumi
Peradaban Wismajati yang sekarang
masuk wilayah Desa Sukaurip Kecamatan
Balongan Kabupaten Indramayu Jawa
Barat diceritakan bahwa Aji Saka yang oleh
Advokat Asep Syaefullah, SH., trah ke 63
dari sang penyusun kalender Saka Jawa
selaku Ketua Majelis Dewan Adat IX Tanah
Pusaka Sukahurip dikisahkan bahwa, Aji
Saka adalah gelar dari leluhur kami yang
bernama Maharama Hamid. Suami dari
Nyai Muti'ah, penguasa Pelabuhan Kuno
Cadangpinggan di permulaan Abad
pertama Masehi yang menancapkan
tonggak peradaban luhur tanah Jawa di
tahun 78 Masehi yang ditandai dengan
dimulainya sistem penanggalan diatas.
Konon Aji Saka dari jalur Ayah nya adalah
keturunan ke 9 dari Maharaja Asoka, raja
terbesar kekaisaran Maurya Dipta Afrika
dari istrinya yang berasal dari tanah Jawa
keturunan Nabiyulloh Ishaq 'Alaihissalam
sebagai leluhur bangsa Israil keturunan
dari Sanghyang Ismayati atau Sanghyang
Semar putra terakhir dari Nabiyulloh Nuh
'Alihissalam yang dikenal dalam kisah
rakyat masyarakat Tanah Pusaka
Sukahurip bernama Sanghyang Manikmaya
sebagai leluhur ke 8 dari Nabiyulloh
Ibrohim 'Alaihissalam sang pendiri Agama
Tauhid yang dikenal membawa ajaran
Brahimi.
Asal mula aji saka
Disebutkan Aji Saka berasal dari Bumi
Majeti. Bumi Majeti sendiri adalah negeri
antah-berantah mitologis, akan tetapi ada
yang menafsirkan bahwa Aji Saka berasal
dari Jambudwipa (India) dari suku Shaka
(Scythia), karena itulah ia bernama Aji Saka
(Raja Shaka). Legenda ini melambangkan
kedatangan Dharma (ajaran dan
peradaban Hindu-Buddha) ke pulau Jawa.
Akan tetapi penafsiran lain beranggapan
bahwa kata Saka adalah berasal dari
istilah dalam Bahasa Jawa saka atau soko
yang berarti penting, pangkal, atau asal-
mula, maka namanya bermakna "raja asal-
mula" atau "raja pertama". Mitos ini
mengisahkan mengenai kedatangan
seorang pahlawan yang membawa
peradaban, tata tertib dan keteraturan ke
Jawa dengan mengalahkan raja raksasa
jahat yang menguasai pulau ini. Legenda
ini juga menyebutkan bahwa Aji Saka
adalah pencipta tarikh Tahun Saka, atau
setidak-tidaknya raja pertama yang
menerapkan sistem kalender Hindu di
Jawa. Kerajaan Medang Kamulan mungkin
merupakan kerajaan pendahulu atau
dikaitkan dengan Kerajaan Medang dalam
catatan sejarah. Hinga shakalah
pemenang dari catatan sejarah.
Ringkasan

Membawa peradaban ke Jawa

Segera setelah pulau Jawa dipakukan ke


tempatnya, pulau ini menjadi dapat dihuni.
Akan tetapi bangsa pertama yang
menghuni pulau ini adalah bangsa denawa
(raksasa) yang biadab, penindas, dan
gemar memangsa manusia. Kerajaan yang
pertama berdiri di pulau ini adalah Medang
Kamulan, dipimpin oleh raja raksasa
bernama Prabu Dewata Cengkar, raja
raksasa yang lalim yang punya kebiasaan
memakan manusia dan rakyatnya.
Pada suatu hari datanglah seorang
pemuda bijaksana bernama Aji Saka yang
berniat melawan kelaliman Prabu Dewata
Cengkar. Aji Saka berasal dari Bumi Majeti.
Suatu hari menjelang keberangkatannya ia
memberi amanat kepada kedua abdinya
yang bernama Dora dan Sembodo, bahwa
ia akan berangkat ke Jawa. Ia berpesan
bahwa saat ia pergi mereka berdua harus
menjaga pusaka milik Aji Saka. Tidak ada
seorangpun yang boleh mengambil pusaka
itu selain Aji Saka sendiri. Setelah tiba di
Jawa, Aji Saka menuju ke pedalaman
tempat ibu kota Kerajaan Medang
Kamulan. Ia kemudian menantang Dewata
Cengkar bertarung. Setelah pertarungan
yang sengit, Aji Saka akhirnya berhasil
mendorong Prabu Dewata Cengkar ke laut
Selatan (Samudra Hindia). Akan tetapi
Dewata Cengkar belum mati, ia berubah
wujud menjadi Bajul Putih (Buaya Putih).
Maka Aji Saka naik takhta sebagai raja
Medang Kamulan.

Kisah ular raksasa

Sementara itu seorang perempuan tua di


desa Dadapan, menemukan sebutir telur.
Ia meletakkan telur itu di lumbung padi.
Setelah beberapa waktu telur itu hilang dan
sebagai gantinya terdapat seekor ular
besar di dalam lumbung itu. Orang-orang
desa berusaha membunuh ular itu, akan
tetapi secara ajaib ular itu dapat berbicara:
"Aku anak dari Aji Saka, bawalah aku
kepadanya!" Maka diantarkanlah ia ke
istana. Aji Saka mau mengakui ular itu
sebagai putranya dengan syarat bahwa
ular itu dapat mengalahkan dan
membunuh Bajul Putih di Laut Selatan. Ular
itu menyanggupi, setelah berkelahi dengan
sangat sengit dengan kedua pihak
memperlihatkan kekuatan yang luar biasa,
ular itu akhirnya dapat membunuh Bajul
Putih.

Sesuai janjinya ular itu diangkat anak oleh


Aji Saka dan diberi nama Jaka Linglung
(anak lelaki yang bodoh). Di istana Jaka
Linglung dengan rakus memangsa semua
hewan peliharaan istana. Sebagai
hukumannya sang raja mengusir dia ke
hutan Pesanga. Ia diikat erat hingga tak
dapat bergerak, lalu Aji Saka bersabda
bahwa ia hanya boleh memakan benda
apa saja yang masuk ke mulutnya.

Suatu hari ada sembilan orang bocah lelaki


bermain di hutan. Tiba-tiba turun hujan,
mereka pun berlarian mencari tempat
berteduh. Untungnya mereka menemukan
sebuah gua. Hanya delapan anak yang
masuk berteduh ke gua itu. Seorang anak
yang menderita penyakit kulit dilarang ikut
masuk ke dalam gua. Tiba-tiba gua runtuh
dan menutup pintu keluarnya. Delapan
orang bocah itu hilang terkurung di gua.
Sesungguhnya gua itu adalah mulut Jaka
Linglung.

Asal mula aksara Jawa

Sementara setelah Aji Saka memerintah di


Medang Kamulan, Aji Saka mengirim
utusan pulang ke rumahnya di Bumi Majeti
untuk mengabarkan kepada abdinya yang
setia Dora and Sembodo, untuk
mengantarkan pusakanya ke Jawa. Utusan
itu bertemu Dora dan mengabarkan pesan
Aji Saka. Maka Dora pun mendatangi
Sembodo untuk memberitahukan perintah
Aji Saka. Sembodo menolak memberikan
pusaka itu karena ia ingat pesan Aji Saka:
tidak ada seorangpun kecuali Aji Saka
sendiri yang boleh mengambil pusaka itu.
Dora dan Sembodo saling mencurigai
bahwa masing-masing pihak ingin mencuri
pusaka tersebut. Akhirnya mereka
bertarung, dan karena kedigjayaan
keduanya sama maka mereka sama-sama
mati. Aji Saka heran mengapa pusaka itu
setelah sekian lama belum datang juga,
maka ia pun pulang ke Bumi Majeti. Aji
saka terkejut menemukan mayat kedua
abdi setianya dan akhirnya menyadari
kesalahpahaman antara keduanya
berujung kepada tragedi ini. Untuk
mengenang kesetiaan kedua abdinya
maka Aji Saka menciptakan sebuah puisi
yang jika dibaca menjadi Aksara Jawa
hanacaraka. Susunan alfabet aksara Jawa
menjadi puisi sekaligus pangram
sempurna, yang diterjemahkan sebagai
berikut.[2]:

Hana caraka Ada dua utusan


data sawala Yang saling berselisih
padha jayanya (Mereka) sama jayanya
(dalam perkelahian)
maga bathanga Inilah mayat (mereka).

secara rinci:
hana / ana = ada
caraka = utusan (arti sesungguhnya, 'orang
kepercayaan')
data = punya
sawala = perbedaan (perselisihan)
padha = sama
jayanya = 'kekuatannya' atau
'kedigjayaannya', 'jaya' dapat berarti
'kejayaan'
maga = 'inilah'
bathanga = mayatnya
Hana Data Padha Maga
caraka sawala jayanya bathanga
(Ada dua (Mereka (Keduany (Maka
utusan) punya a sama inilah
perselisih jayanya mayatny
an) dalam a)
pertempu
ran)
Aji Saka menurut Kitab
Pewayangan

Aji Saka keturunan Dewa

Dalam cerita pewayangan, berdasarkan


Serat Pustakaraja Purwa versi
Ronggowarsito maupun versi daerah
Ngasinan, Aji Saka juga dikenal dengan
Batara Aji Saka, Jaka Sengkala, Empu
Sengkala, dan Prabu Wisaka. Ia
merupakan anak dari Batara Anggajali dan
cucu dari Batara Ramayadi. Ayah dan
kakeknya adalah Dewa Pembuat Pusaka
Kadewatan untuk Para Dewa yang
dipimpin oleh Batara Guru. Batara
Anggajali menikah dengan seorang Putri
bernama Dewi Saka dari kerajaan Najran di
Tanah Hindustan. Kerajaan Najran
dipimpin oleh Prabu Sakil yang pernah
diselamatkan oleh Batara Anggajali saat
kapalnya tenggelam di samudra. Sebelum
kelahiran Aji Saka, Ayahnya dipanggil oleh
Batara Guru untuk kembali membuat
pusaka kahyangan. Sampai usia dewasa
Aji Saka tidak pernah bertemu dengan
Ayahnya. Setelah meminta ijin kakek dan
ibunya, Aji Saka pergi mencari ayahnya.
Sesuai petunjuk kakeknya Ia menemukan
Ayahnya sedang mengambang di atas
samudra sambil membuat senjata
menggunakan tangannya. Setelah
memperkenalkan diri, Batara Anggajali pun
langsung mengakui putranya tersebut. Aji
Saka yang kagum dengan kesaktian
Ayahnya, memohon agar menjadi
muridnya. Namun Sang Ayah menolak dan
memberitahu kalau Batara Ramayadi yang
juga kakek Aji Saka jauh lebih sakti.
Setelah mendapat petunjuk ke arah mana
Aji Saka dapat menemui kakeknya. Aji
Saka dapat menemukan Batara Ramayadi
sedang duduk mengambang di udara
sedang membuat pusaka kahyangan
hanya dengan melihat saja. Aji Saka
memperkenalkan diri dan memohon
kepada Sang Kakek agar dijadikan murid.
Batara Ramayadi menolaknya dan
mengatakan kalau Batara Guru jauh lebih
sakti dari dirinya, namun Sang Kakek
mengatakan kalau Batara Guru adalah
Raja Para Dewa di Kahyangan tentu tidak
akan menerima Aji Saka sebagai muridnya.
Sang Kakek lalu menasihati agar ia berguru
kepada putra Batara Guru yang paling sakti
yaitu Batara Wisnu. Namun, saat itu Batara
Wisnu sedang tidak berada di Kahyangan
melainkan sedang berada di Tanah Israil.
Setelah berpamitan dan mendapat
petunjuk kakeknya, pergilah Aji Saka
menemui Batara Wisnu. Disana Batara
Wisnu sedang bertukar ilmu dengan
Pendeta Usmanaji, yang merupakan
Pendeta Keagamaan Bangsa Israil.
Setelah Aji Saka memperkenalkan diri dan
menyatakan ingin berguru kepada Batara
Wisnu. Batara Wisnu lalu mengajari
berbagai macam ilmu kesaktian dan
kebijaksanaan. Sementara dari Pendeta
Usmanaji, Aji Saka belajar tentang ilmu
kebatinan dan kerohanian. Setelah Batara
Wisnu kembali ke Kahyangan, Aji Saka
menjadi pengembara di Tanah Israil.

Aji Saka mengisi Tanah Jawa dengan


manusia

Dalam pengembaraannya Aji Saka berhasil


mendapatkan Tirtamarta Kamandalu yaitu
air keabadian yang juga dimiliki oleh Para
Dewa di Kahyangan. Yang mampu
membuatnya menjadi makhluk yang tak
pernah menua. Ia mengembara selama
beratus-ratus tahun memperdalam ilmu
kesaktian dan kebatinannya. Dikabarkan
jika Aji Saka dapat terbang dan berjalan di
atas samudra. Aji Saka sampai ke Tanah
Jawa dan menjadi seorang pertapa
dengan nama Empu Sengkala. Karna
Tanah Jawa waktu itu hanya dihuni oleh
makhluk halus, Empu Sengkala mengajari
ilmu penanggalan kepada bangsa jin di
tanah jawa. Dan menciptakan lima hari
sebagai penghitung penanggalan di jawa,
yang sekarang terkenal dengan nama
Pasaran. Dalam pertapaannya, Empu
Sengkala mendapat sasmita untuk mengisi
Tanah Jawa dengan manusia. Sebelum
kedatangan Empu Sengkala ke Tanah
Jawa, Bangsa Israil yang waktu itu sedang
dijajah oleh Bangsa Romawi pernah
mengirim sekitar 20.000 Bangsa Romawi
untuk mengisi Tanah Jawa dengan
manusia. Namun, karna perbedaan iklim
dan kondisi alam serta gangguan makhluk
halus membuat Bangsa Romawi yang
berada di Tanah Jawa banyak yang sakit
lalu kemudian mati. Hanya dalam
beberapa tahun saja, penghuni manusia di
Tanah Jawa tidak sampai 200 orang,
kemudian sisanya kembali lagi ke Romawi
dan mengosongkan Tanah Jawa kembali.
Belajar dari pengalaman Bangsa Romawi
itu, Empu Sengkala memasangi tumbal
lima penjuru di Tanah Jawa guna
mengurangi keangkerannya agar bisa
dihuni dengan nyaman oleh Bangsa
Manusia. Setelah tumbal terpasang, Empu
Sengkala pergi ke Tanah Hindustan dengan
tujuan mengirim Orang Hindustan untuk
mengisi Pulau Jawa. Sesampainya di
Tanah Hindustan, Empu Sengkala sampai
di Kerajaan Surati lalu menghadap ke Raja
disana guna menyampaikan maksudnya.
Ternyata Kerajaan Surati dipimpin oleh
Prabu Iwasaka yang merupakan
penjelmaan dari Batara Anggajali, Ayah
Empu Sengkala. Kemudian Empu Sengkala
diangkat menjadi Putra Mahkota dengan
nama Raden Aji Saka. Lalu dengan
bantuan Prabu Iwasaka, Raden Aji Saka
berhasil mengumpulkan orang-orang
hindustan yang tidak memiliki rumah, para
pendeta, dan masyarakat miskin untuk
dikirimkan agar bisa mengisi Tanah Jawa
dengan penduduk manusia. Tak sedikit
juga rakyat dari golongan mampu yang
mendaftarkan diri ikut dalam rombongan
itu. Aji Saka memilih 10 pemuda terbaik
untuk dijadikan pemimpin rombongan di
Tanah Jawa kelak. Aji Saka mengajari ilmu
kehidupan, ilmu kebatinan, ilmu
pengobatan, dan juga tata cara
pemerintahan. Tidak kurang dari 10.000
orang berhasil mendarat dengan aman di
Tanah Jawa. Setelah membagi menjadi 10
kelompok dan menyebarkannya ke penjuru
Tanah Jawa. Tiap-tiap kelompok dipimpin
oleh seorang pemimpin yang sudah diberi
ilmu pengetahuan oleh Aji Saka. Hingga
akhirnya, dalam beberapa tahun saja
mereka sudah beranak-pinak dan
berkembang mengisi Tanah Jawa dengan
penduduk dari Bangsa Manusia.

Aji Saka menjadi Prabu Wisaka dan


menciptakan Kalender Saka

Setelah berhasil mengisi Tanah Jawa, Aji


Saka pergi ke tanah sebelah timur dari
Tanah Israil, yaitu Tanah milik Bangsa
Ngarbi (Sekarang Tanah Arab). Disana Ia
menjadi seorang penasihat pemimpin dari
Bangsa Ngarbi. Setelah puluhan tahun
berada di Tanah Ngarbi, Aji Saka kembali
ke tanah jawa untuk melihat
perkembangan penduduk manusia disana.
Sesampainya di Tanah Jawa, Aji Saka
merasa senang karna penduduk Tanah
Jawa telah berkembang begitu pesat,
namun mereka kembali menjadi tidak
beradab dan bertingkah seperti hewan.
Tanpa aturan dan norma. Hal itu karna
tidak adanya pemimpin yang bisa
memimpin dan menunjukan adab dan ilmu
kehidupan. Akhirnya Aji Saka mendirikan
Kerajaan Medang Kamulan disana dan
menjadi Raja dengan nama Prabu Wisaka.
Prabu Wisaka mengajari ilmu tata
kehidupan dan adab dalam bermasyarakat
kepada rakyatnya. Prabu Wisaka juga
kembali memperbaiki penanggalannya,. Ia
menambahkan 7 hari lain disamping 5 hari
pasaran yang ia ciptakan sebelumnya.
Sehingga dalam sehari terdapat dua
hitungan penanggalan, dan selalu berulang
selama 35 hari dan dikenal dengan nama
selapan. Ia juga menghitung peredaran
bulan terhadap bumi dan menamai
penanggalannya dengan Candra Sengkala.
Lalu Prabu Wisaka juga menghitung
penanggalan berdasarkan pergerakan
matahari dilihat dari bumi, dan menamai
penanggalannya ini dengan Surya
Sengkala. Lalu ia menggabungan
perhitungan penanggalan candra sengkala,
surya sengkala, dan juga perhitungan
pekan, pasaran, dan selapanan.
Penanggalan yang diciptakan oleh Prabu
Wisaka selanjutnya dikenal dengan nama
Kalender Saka. Prabu Wisaka menikah dan
memiliki beberapa anak. Lalu memberikan
tahta kerajaan ke anaknya. Ia kembali
memakai nama Aji Saka dan kembali
mengembara. Hingga akhirnya Ia diangkat
menjadi keluarga Dewa yang dipimpin oleh
Batara Guru dan bergelar Batara Aji Saka.
Aji Saka dalam Serat Dharmagandhul

Dalam serat Dharmagandhul yang


diciptakan oleh Ki Kalam Wadi, Aji Saka
diceritakan sebagai tokoh yang berasal
dari Tanah Ngarbi yang pernah
menghilangkan beberapa sumber air di
Tanah Jawa.

Analisis

Patung-patung pendekar perunggu, Jawa, sekitar tahun 500 SM–300 M.


Meskipun Aji Saka dikatakan sebagai
pembawa peradaban di Jawa, kisah Aji
saka (78 masehi) mendapatkan beberapa
sanggahan dan bantahan dari sumber-
sumber sejarah lainnya. Ramayana karya
Valmiki , yang dibuat sekitar 500 SM,
mencatat Jawa sudah memiliki organisasi
pemerintahan kerajaan jauh sebelum kisah
itu:

"Yawadwipa dihiasi tujuh


kerajaan, pulau emas dan
perak, kaya akan tambang
emas, dan disitu terdapat
Gunung Cicira (dingin) yang
menyentuh langit dengan
puncaknya."[3](hlm.6)

Menurut catatan China, kerajaan Jawa


didirikan pada 65 SM, atau 143 tahun
sebelum kisah Aji Saka dimulai.[4](hlm.55-56)

Kisah Saka atau Aji Saka merupakan kisah


Jawa Baru. Kisah ini belum ditemukan
relevansinya dalam teks Jawa Kuno. Kisah
ini menceritakan peristiwa di kerajaan
Medang Kamulan di Jawa pada masa lalu.
Pada saat itu, Raja Medang Kamulan
Prabu Dewata Cengkar digantikan oleh Aji
Saka. Kisah ini dianggap sebagai kiasan
masuknya bangsa India ke Jawa. Merujuk
pada informasi dinasti Liang, kerajaan
Jawa terbelah menjadi dua: Kerajaan
prapenerapan Hinduisme dan kerajaan
setelah menerapkan tradisi Hindu yang
dimulai tahun 78 masehi.[5](hlm.5 dan 7)

Lihat juga
Medang Kamulan
Tantu Pagelaran
Wawacan Sulanjana

Referensi
1. "Javanese Characters and Aji Saka" (http
s://web.archive.org/web/2013072810144
0/http://joglosemar.co.id/hanacaraka/hana
caraka.html) . Joglosemar. Diarsipkan dari
versi asli (http://www.joglosemar.co.id/han
acaraka/hanacaraka.html) tanggal 2013-
07-28. Diakses tanggal 29 March 2012.
2. Soemarmo, Marmo. "Javanese Script." Ohio
Working Papers in Linguistics and
Language Teaching 14.Winter (1995): 69-
103.
3. Sastropajitno, Warsito (1958). Rekonstruksi
Sedjarah Indonesia. Zaman Hindu,
Yavadvipa, Srivijaya, Sailendra. Yogyakarta:
PT Pertjetakan Republik Indonesia.
4. W.P Groeneveldt (1880). Notes on the
Malay Archipelago and Malacca Compiled
from Chinese Sources. Batavia.
5. Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit
Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara
Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8.
Pranala luar
Serat Aji Saka (https://archive.org/detail
s/serat-aji-saka-jawa-walanda) edisi
aksara Jawa dan bahasa Belanda
(koleksi Perpustakaan Negeri Berlin) di
Internet Archive

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Aji_Saka&oldid=24650057"

Halaman ini terakhir diubah pada 25 Oktober


2023, pukul 10.39. •
Konten tersedia di bawah CC BY-SA 4.0 kecuali
dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai