Anda di halaman 1dari 11

Asal Usul Gunung Rinjani

Cerita rakyat merupakan dokumen kebudayaan yang dapat memberikan gambaran atau merefleksikan
adat-istiadat dan tata kehidupan masyarakat. Sebuah cerita rakyat dapat mengandung berbagai macam
nilai yang dapat menjadi panduan hidup masyarakat dalam berperilaku, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang akan mengarah pada pendidikan budi pekerti, sikap hidup, dan tata perilaku yang susila
sehingga mampu membangun watak manusia yang luhur dan mulia (Santosa, 2010:141--142).

Setiap tempat di Indonesia memiliki kebudayaan sendiri dan umumnya juga memiliki cerita rakyatnya
sendiri. Hal itu disebut legenda setempat, yaitu cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama
tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit, berjurang,
dan sebagainya (Danandjaja, 1984:75).

Legenda setempat memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam rangka membangun karakter
masyarakat. Jika mengingat masa kini, hadirnya gerakan globalisasi yang mengesampingkan hal-hal
yang bersifat lokal makin memudarkan peran dan fungsi cerita rakyat tersebut. Dengan kondisi seperti
itu, tentunya penggalian nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam berbagai cerita rakyat tersebut,
khususnya yang disebut dengan legenda setempat menjadi hal yang penting untuk dilakukan.

Tulisan ”Asal Usul Terjadinya Gunung Rinjani: Legenda Setempat dan Kearifan Lokal” dilakukan untuk
memperkenalkan dan mengingat kembali legenda Asal-Usul Nama Gunung Rinjani kepada masyarakat
dan mengali kearifan lokal yang ada di dalamnya. Cerita ini berasal dari masyarakat Lombok.

Gunung Rinjani

Gunung Rinjani merupakan gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia dan juga merupakan rangkaian
“Lingkaran Api”. Secara adminstratif gunung ini berada di bawah empat kabupaten yaitu Lombok Timur,
Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Utara. Gunung ini memiliki ketinggian 3.726 m di atas
permukaan laut. Bagi masyarakat Pulau Lombok, khususnya suku Sasak dan suku Bali, Gunung Rinjani
dianggap sebagai tempat suci dan merupakan istana para dewa. Di Gunung Rinjani ini terdapat Taman
Nasional Gunung Rinjani yang terletak di kawasan peralihan biogeografis (garis Wallace), tempat flora
dan fauna Asia Tenggara bertemu dengan flora dan fauna wilayah Australia (pamflet cerita rinjani).
Gunung Rinjani (dok. Pribadi)

Di wilayah Gunung Rinjani terdapat Danau Segara Anak, Gunung Barujari, Gunung Sangkareang, Gunung
Waja, dan beberapa gua yakni Goa Susu, Goa Payung, dan Goa Manik. Danau Segara Anak merupakan
sumber mata air bagi seluruh masyarakat Lombok. Air yang berasal dari danau ini mengalir hampir ke
sebagian besar wilayah Lombok. Pertanian di sekitar Lombok tergantung kepada air danau ini. Danau
yang memiliki luas 11.000 m persegi dengan kedalaman 230 m dan berada di ketinggian 2000 mdpl
dikatakan oleh beberapa tetua adat di wilayah Bayan berfungsi sebagai pendingin gunung-gunung
berapi yang ada di seputarnya. Danau ini diperkirakan terbentuk akibat letusan Gunung Samalas pada
tahun 1257. Pendapat lain mengatakan bahwa Danau Segara Anak muncul akibat letusan Gunung
Rinjani Purba.

Asal-Usul Penamaan Gunung Rinjani dari Segi Bahasa

Kata /rinjani/menurut Saroni[1] artinya tinggi dan tegak. Makna kata itu tampaknya sesuai dengan
kondisi geografis Gunung Rinjani,gunung tersebut merupakan gunung yang paling tinggi nomor dua di
Indonesia. Selanjutnya, nama Gunung Rinjani sangat mungkin berasal dari kata Rara Anjani yang
berubah menjadi Renjani dan selanjutnya menjadi Rinjani seperti yang kita kenal sekarang ini.
Sehubungan dengan kata Rara Anjani, di daerah Lombok Timur dapat ditemui Desa yang bernama Desa
Anjani. Demikian pula gedung pertemuan di Mataram yang diberi nama Gedung Dewi Anjani. Hal itu
tentunya menunjukkan bagaimana masyarakat sangat menghormati dan menghargai nama tersebut
meskipun sudah tidak sepenuhnya mempercayai mitos tersebut (Herman dkk, 1990/1991:48). Namun,
pemerintah Kabupaten Lombok Utara justru menjadikan Gunung Rinjani sebagai lambang kabupaten
tersebut.

Pada lambang tersebut secara khusus yang berhubungan dengan Gunung Rinjani disebutkan sebagai
berikut. Rinjani disebutkan sebagai pusat kosmos yang merupakan orientasi kosmologis masyarakat
sasak pada umumnya dengan menyebutnya sebagai “daya”. Pusat kosmos dan konsep masyarakat Sasak
merupakan pusat kekuatan magnet bumi dan kekuataan spritualitas sehingga seluruh arah (dalam
konteks peradaban) diorientasikan ke arahnya, misalnya dalam orientasi penataan ruang. Rinjani
sebagai simbol ekologis disebut sebagai pasak gumi yang menjamin keharmonisan kehidupan dalam
kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Rinjani sebagai kebangaan masyarakat Lombok utara sebagai
salah satu gunung berapi aktif yang termasuk dalam kategori tertinggi di Indonesia (Tim Penyusun
Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat. 2011:74).

Nama Gunung Rinjani dari beberapa data disampaikan berasal dari nama Dewi Rinjani yang merupakan
anak Datu Taun dan Dewi Mas (Saroni.tt:28). Namun, data lainnya menyatakan bahwa nama Gunung
Rinjani sangat mungkin berasal dari kata Rara Anjani yang berubah menjadi Renjani dan selanjutnya
menjadi Rinjani seperti yang dikenal sekarang ini (Herman dkk, 1990/1991:23). Di sisi lain, ternyata ada
nama gelar untuk sultan di kerajaan Lombok yakni Sultan Rinjani, yang merupakan anak dari Gaoz Abdul
Razak yang bernama asli Zulkarnaen[2] . Pada kisah yang lain lagi, Sultan Rinjani itu merupakan anak
dari Pengendeng Segara Katon Rambitan (Djelenga. 1987:42). Yang menjadi persoalan adalah nama
gunung itu diambil dari nama Dewi Anjani ataukah diambil dari nama Sultan Rinjani. Masalah ini tidak
dapat dijelaskan secara pasti karena sumber-sumber yang didapatkan rata-rata berbentuk cerita rakyat
dan babad yang kesahihannya masih perlu diuji dan diteliti lebih mendalam.

Asal-Usul Penamaan Gunung Rinjani Berdasakan Cerita Rakyat

Di samping persoalan arti kata, nama Rinjani juga berhubungan dengan kisah-kisah yang dipercayai oleh
masyarakat setempat. Gunung Rinjani diyakini oleh penduduk sekitar dihuni oleh komunitas bangsa jin
yang sebagian besar mereka beragama Islam. Bangsa jin itu dipimpin oleh ratu jin yang bernama Dewi
Anjani. Dia bersemayam di puncak Gunung Rinjani. Dari puncak ke arah tenggara terdapat sebuah lautan
debu (kaldera) yang dinamakan Segara Muncar. Konon, pada saat-saat tertentu dengan kasat mata
dapat terlihat istana ratu jin. Pengikutnya merupakan golongan jin yang baik-baik.

Kisah mengenai Dewi Anjani juga terdapat dalam manuskrip yang berjudul “Doyan Neda”. Pada
manuskrip itu dikisahkan Dewi Anjani yang memiliki julukan Ratu Mas Prawira mempunyai sepasang
burung yang sakti, yang berparuh besi melela dan berkuku dari besi melela pula. Dalam cerita itu
disebutkan bahwa sepasang burung inilah yang mengais-ngais gunung sehingga gunung tersebut
menjadi datar dan menjadi sebuah pulau. Pulau baru itu dinamai pulau sasak karena rapat oleh
pepohonan.

Suatu hari, Dewi Anjani diingatkan oleh Patih Songan akan pesan kakeknya Nabi Adam supaya mengisi
pulau baru itu dengan cara mengubah sekelompok jin bangsawan menjadi manusia. Ini merupakan kisah
mengenai asal usul terjadinya manusia di pulau Lombok. Bagi masyarakat Sasak terutama generasi lama
menghayati cerita itu seperti cerita tentang leluhur mereka yang benar-benar terjadi dan mereka
menghormati Dewi Jin yang bernama Dewi Anjani itu.

Pada bagian lain, yaitu di bidang ilmu mistik kuasa gaib sang Dewi Anjani sering diungkapkan dan
menjadi teks sebuah mantra. Demikian pula para pemangku (pemangku tradisional) pada waktu
mendaki Gunung Rinjani masih sering melakukan upacara mohon ijin kepada Dewi Anjani terlebih
dahulu sebelum melakukan pendakian (Herman dkk, 1990/1991: 47—48) yang disebut dengan upacara
menyembe. Hal ini juga diungkapkan oleh Pak Sukrati sebagai Mangku Adat Gunung di Desa Senaru.
Upacara lain yang berkaitan dengan keberadaan Dewi Anjani, yaitu upacara kesuburan yang berkaitan
dengan kerja bercocok tanam dan panen pada masyarakat lama sering dikaitkan dengan berkah sang
Dewi. Pada masa sekarang perubahan tata nilai pada kepercayaan dan bahkan teknik pertanian yang
disertai upacara semacam itu sudah jauh ditinggalkan.Namun demikian, masih bisa dijumpai pada
kelompok masyarakat tertentu saja atau pada teks mantera dan pujian (Herman dkk, 1990/1991: 48).

Kisah lain mengenai Dewi Anjani, yakni sang dewi merupakan seorang putri raja yang tidak
diperbolehkan menikah dengan kekasih pilihannya, kemudian pada suatu tempat, dalam mata air
bernama Mandala sang ratu menghilang. Ia berpindah tempat dari alam nyata ke alam gaib. Kisah ini
terpampang pada pamflet yang berjudul “Cerita Rinjani”.

Selanjutnya, cerita mengenai Dewi Anjani dikisahkan oleh Saroni[3] (guru SD) yang menyatakan bahwa
kisah Dewi Anjani berhubungan dengan penyebaran agama Islam di pulau Lombok. Sekitar abad ke-16
penyebaran agama Islam dilakukan melalui pantai utara Bayan dan dari arah barat sekitar Tanjung.
Pembawanya adalah seorang syeikh dari Arab Saudi bernama Nurul Rasyid dengan gelar sufinya Gaoz
Abdul Razak. Dia menetap di Lombok bagian utara, di daerah Bayan. Gaoz Abdul Razak mengawini
Denda Bulan, melahirkan seorang anak bernama Zulkarnaen yang merupakan cikal bakal raja-raja
Selaparang. Selanjutnya, Gaoz Abdul Razak menikah dengan Denda Islamiyah dan melahirkan Denda
Qomariah yang populer dengan sebutan Dewi Anjani (Saroni. 2013:16).

Hampir mirip dengan kisah sebelumnya, Saroni[4] menyatakan bahwa Dewi Anjani anak dari Gaoz Abdul
Razak, juga menyampaikan bahwa Dewi Anjani adalah anak dari Denda Islamiyah yang merupakan istri
pertama Gaoz Abdul Razak, sebelumnya Denda Islamiyah disebut Saroni sebagai istri kedua. Yang
berbeda lagi adalah Dewi Anjani pada versi ini memiliki dua orang saudara laki-laki yakni Sayyid Umar
dan Sayyid Amir. Pada versi sebelumnya disampaikan Saroni saudara Dewi Anjani hanya satu orang
yakni Zulkarnaen.

Pada versi lain Saroni[5] juga menyampaikan, bahwa nama lain Dewi Anjani adalah Dewi Rinjani. Dia
adalah anak Raja Datu Tuan dan Dewi Mas, raja di Lombok. Pada awalnya sang raja dan permaisuri
hidup aman dan tenteram, tetapi mereka sering bersedih karena belum dikarunia anak. Sang raja
kemudian memohon izin permaisuri untuk menikah lagi. Raja Datu Tuan kemudian menikah dengan
Sunggar Tutul, putri dari Patih Aur. Dengan kekuasaan Tuhan, Dewi Mas yang mulai tersingkirkan, tiba-
tiba hamil. Sunggar Tutul iri melihat kehamilan Dewi Mas. Dia memfitnah Dewi Mas sehingga sang
permaisuri diusir dari istana.

Dewi Mas tinggal di Gili dan ditemukan oleh seorang nakhoda, kemudian nakhoda itu membawa Dewi
Mas ke Bali. Setelah sampai pada waktunya Dewi Mas melahirkan anak kembar yang laki-laki bernama
Raden Nuna Putra Janjak dan yang perempuan bernama Dewi Rinjani.

Saat mereka mulai tumbuh dewasa, mereka bertanya kepada ibunya siapakah ayah mereka. Dewi Mas
menyampaikan bahwa ayah mereka adalah Datu Taun seorang raja di Lombok.Raden Nuna Putra Janjak
pun berangkat ke Lombok untuk menemui ayahnya. Pada awalnya mereka berperang, tetapi dengan
terdengarnya bisikan gaib dari angkasa, sang raja mengetahui bahwa yang diajaknya berperang adalah
anaknya sendiri.

Mereka akhirnya berdamai dan raja Datu Taun menjemput Dewi Mas ke Bali. Raden Nuna Putra Janjak
pun kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja. Sementara itu, sang ayah dan putrinya Dewi Rinjani
menyepi di puncak gunung, bersemedi. Di sinilah kemudian Dewi Rinjani diangkat oleh para mahluk
halus menjadi ratu. Sejak saat itulah gunung itu disebut sebagai Gunung Rinjani.

Dalam cerita Ramayana, Dewi Anjani adalah kakak anak Resi Gautama dengan Dewi Indradi bidadari dari
kahyangan dan mempunyai saudara yang bernama Subali.Kedua bersaudara itu melakukan tapa.Dewi
Anjani bertapa “uda” (tanpa busana), sedangkan Subali bertapa “kalong” (kepala menungging ke bawah)
di dalam dahan kayu. Dewi Anjani yang sedang bertapa itu dilihat oleh Batara Surya yang sedang
melanglang buana. Batara Surya pun birahi sampai mengeluarkan air kehidupan yang membasahi daun
asam (kamae) dan daun itu kemudian dilemparkannya kepada sang pertapa, Dewi Anjani. Sang dewi
memakan daun itu, akibatnya ia mengandung dan kelak lahirlah Hanoman.

Memperhatikan nama Dewi Anjani dalam cerita itu, kemungkinan nama Gunung Rinjani (Rara Anjani)
berasal dari nama tersebut dan diketahui di Lombok sudah sejak lama berkembang cerita Ramayana
(Herman. dkk, 1990/1991: 8—9).

Versi lain kisah Dewi Anjani dalam cerita Ramayana adalah sebagai berikut. Dewi Anjani adalah anak
Resi Gotama dengan Dewi Indradi dari kayangan, seorang bidadari. Dewi Indradi sebelum menikah
dengan Resi Gotama sudah memiliki seorang kekasih bernama Dewa Surya. Di pihak lain, karenaResi
Gotama sudah berjasa memadamkan kekacauan di kayangan, dia dianugerahi seorang bidadari, yakni
Dewi Indradi. Percintaan Dewi Indradi dengan Dewa Surya pun putus. Sebagai kenang-kenangan atas
hubungan mereka, Dewa Surya memberikan cupu manik astagina kepada Dewi Indradi.

Suatu waktu, Dewi Indradi asyik membuka cupu manik itu, Dewi Anjani melihatnya dan ingin
memilikinya. Dewi Indradi terpaksa memberikannya dengan pesan tidak boleh diketahui oleh orang lain.
Namun, Anjani tidak mematuhi pesan ibunya.Saat Anjani membuka cupu manik itu, Subali dan Sugriwa
melihatnya.Adik-adiknya juga menginginkan cupu manik tersebut dan mengadukannya kepada Resi
Gotama.

Sang resi pun terkejut dan bertanya kepada Dewi Indradi tentang asal-usul cupu manik itu.Sang dewi
tidak dapat menjawab hanya berdiam seperti patung.Resi Gotama dengan kesal mengucapkan,
mengapa istrinya diam seperti patung.Sang dewi pun berubah menjadi patung.Resi Gotama membuang
cupu manik dan barang itu jatuh ke sendang.Cupunya jatuh ke sendang Nirmolo, maniknya jatuh ke
sendang Sumala.

Subali dan Sugriwa yang melihat benda-benda tersebut langsung melompat ke sendang.Saat mereka
keluar dari sendang, mereka pun berubah menjadi kera.Anjani yang mengejar manik ke sendang Sumala
berusaha meraih dengan tangannya dan wajahnya juga terkena air. Oleh sebab itu, Anjani pun wajahnya
berubah menjadi kera (Praztscorpio, 2013). Berdasarkan wawancara dengan penduduk setempat
(pendaki gunung Rinjani) ada yang pernah melihat seorang putri yang wajahnya mirip kera [6]. Hal itu
merupakan pertanda bahwa kisah mengenai Dewi Anjani dalam versi cerita Ramayana hidup dan
berkembang di Lombok. Di dalam cerita Ramayana Dewi Anjani kembali ke Kayangan setelah selesai
masa hukumannya, yang menjadi pertanyaan mengapa kemudian nama Rinjani yang ditengarai berasal
dari nama Dewi Anjani menjadi nama sebuah gunung yang ada di pulau Lombok.

Dari berbagai kisah tersebut ternyata nama Rinjani berasal dari cerita rakyat yang berkembang di
masyarakat, juga terdapat dalam manuskrip yang berbentuk babad, yakni Babad Lombok, Babad Sakra,
manuskrip Doyan Neda, dan Cerita Ramayana. Berbagai kisah tersebut membuktikan, bahwa nama
Rinjani memang berhubungan erat dengan berbagai kisah tentang ratu jin yang bernama Dewi Anjani
atau nama lainnya yaitu Dewi Rinjani. Namun, tidak ada satu pun dari kisah-kisah tersebut yang
menghubungkan antara nama Gunung Rinjani dengan nama sultan pertama kerajaan Selaparang, yakni
Sultan Rinjani yang dalam beberapa kisah merupakan saudara lain ibu dengan Dewi Anjani.

Kearifan Lokal

Kearifan lokal yang dimaksudkan mengacu pada pendapat Ife (Sudikan, 2013:46-48) yang
mengatakan bahwa kearifan lokal memiliki enam dimensi; 1) dimensi pengetahuan lokal, 2) dimensi nilai
lokal, 3) dimensi keterampilan lokal, 4) dimensi sumber daya lokal, 5) dimensi mekanisme pengambilan
keputusan, dan 6) dimensi solidaritas kelompok lokal.

Dalam cerita legenda Dewi Anjani terdapat kearifan lokal yang tergolong pada dimensi kedua (dimensi
nilai lokal). Pada dimensi kedua, Ife menyebutkan bahwa

…untuk mengatur kehidupan bersama antara antarwarga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki
aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh anggotanya. Nilai-nilai itu
biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia denganan manusia, dan
antara manusia dengan alam.Nilai-nilai itu memiliki dimensi waktu berupa nilai masa lalu, masa kini, dan
masa datang. Nilai-nilai tersebut akan mengalami perubahan dengan kemajuan masyarakatnya (Sudikan
2013:46-48).

Nilai-nilai kearifan local yang terdapat dalam legenda Asal Usul Nama Gunung Rinjani adalah sebagai
berikut.
Patuh pada orang tua

Kisah mengenai Dewi Anjani, ratu jin penguasa Gunung Rinjani sebagaimana sudah disampaikan
sebelumnya terdapat dalam berbagai versi. Dewi Anjani adalah seorang tokoh perempuan sakti yang
semula adalah seorang manusia, tetapi kemudian berubah menjadi ratu jin. Sosok Dewi Anjani
dikisahkan sangat sangat patuh kepada orang tuanya. Pada beberapa kisah digambarkan bahwa sang
dewi tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki pilihannya. Dia tidak melawan kehendak orang
tuanya, sang dewi kemudian bertapa dan inilah merupakan titik awal berubahnya sosok Anjani menjadi
bangsa jin.

Kasih sayang

Pada beberapa kisah disebutkan,bahwa Dewi Anjani diangkat menjadi ratu jin karena masyarakat
bangsa jin menghormati dan mencintainya. Hal itu menunjukkan bahwa tokoh Dewi Anjani adalah sosok
perempuan yang memiliki watak welas asih dan penuh kasih sayang. Hal itu juga ditunjukkan oleh kisah
yang terdapat dalam manuskrip Doyan Neda. Dewi Anjani menolong Doyan Neda dari kekejaman
ayahnya sendiri. Dengan kasih sayangnya, sang dewi telah dapat menghidupkan kembali Doyan Neda
dengan cara memercikkan air suci.

Tradisi Menyembe dan Wetu Telu

Masyarakat di Lombok utara sampai saat ini masih mempercayai bahwa kesaktian sang dewi juga
ditunjukkan dengan cara bagaimana sang dewi dapat mengubah bangsawan jin menjadi manusia. Dalam
hal ini tampaknya kisah Dewi Anjani menjurus kepada kisah-kisah mengenai awal kehadiran manusia di
Lombok.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat mempercayai adanya hubungan antara Dewi Anjani
dengan mahluk-mahluk gaib yang ada di Gunung Rinjani. Di sisi yang lain, oleh masyarakat setempat
juga dipercayai bahwa masyarakat jin yang mendiami Gunung Rinjani adalah jin yang baik-baik. Hal ini
menunjukkan bahwa Dewi Anjani adalah jin baik-baik. Yang menarik juga, jin yang ada di Gunung
Rinjani disebutkan sebagai jin Islam. Hal ini berhubungan dengan silsilah Dewi Anjani sebagai anak
penyebar agama Islam di Lombok, yaitu Gaoz Abdul Razak.Hal itu berkaitan dengan beberapa kisah lisan
yang disampaikan oleh masyarakat setempat, (para pendaki gunung) menjumpai mata air zam zam dan
kabah di Gunung Rinjani.

Di samping itu, masyarakat setempat sampai saat ini masih melakukan ritual adat ‘menyembe’ yakni
memberikan tanda di dahi bagi orang-orang yang akan mendaki Gunung Rinjani. Ritual adat itu
dilakukan sebagai tanda supaya tidak tertukar dengan mahluk gaib yang ada di tempat tersebut[7].

Di sisi yang lain, di desa Bayan yang sampai saat ini masih diakui sebagai desa tradisional yang masih
melaksanakan ritual-ritual adat. Salah satu hal yang masih tetap menjadi falsafah masyarakat khususnya
yang tinggal di desa Bayan adalah falsafah “wetu telu”. Wetu telu merupakan filosofi masyarakat adat
Bayan yang selalu berpegang teguh pada tiga unsur atau keyakinan yaitu hubungan Tuhan dengan
manusia yang melibatkan para kiai, hubungan manusia dengan manusia yang melibatkan pranata-
pranata dan sesepuh adat, dan yang terakhir adalah hubungan manusia dengan lingkungan yang
diperankan oleh para Toaq Lokaq (para orang tua). Ketiga unsur itu harus diseimbangkan karena
bagaimanapun juga kalau salah satunya tidak seimbang, tidak mungkin dapat berjalan dengan baik (Tim
Penyusun Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat. 2011:18).

Falsafah “wetu telu” awalnya merupakan sinkretisme antara agama Islam yang masuk kemudian di
Lombok dan agama Siwa-Budha yang sebelumnya sudah menjadi agama masyarakat Lombok pada masa
itu.Hal itu terjadi karena penyebar agama Islam di Lombok pada masa itu bertindak hati-hati dalam
menyebarkan agama Islam (Tim Penyusun Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat. 2011:102--103).

Di samping itu, masyarakat Hindu di Lombok dan suku Sasak, khususnya, pada malam bulan purnama
melaksanakan upacara “pakelem”.Upacara ini dimaksudkan untuk meminta hujan.Tampaknya tradisi ini
berhubungan dengan kisah Dewi Anjani yang diyakini lahir dari Raja Selaparang yang menikah dengan
mahluk halus penghuni Gunung Rinjani. Pernikahan itu terjadi setelah mahluk halus penghuni Gunung
Rinjani mengabulkan permintaan sang raja untuk menurunkan hujan di wilayah kerajaan Selaparang
yang sedang dilanda kekeringan (Hendarto, 2013:42).

Penutup
Berdasarkan uraian yang sudah disampaikan asal-usul nama Gunung Rinjani berkaitan dengan kisah-
kisah Dewi Anjani. Selain itu, berkaitan juga dengan asal-usul manusia Lombok serta asal-usul atau cikal
bakal kerajaan Selaparang. Hal ini menandai bahwa penamaan Gunung Rinjani berhubungan dengan
hal-hal yang penting bagi masyarakat Lombok.

Dari berbagai kisah tentang Dewi Anjani juga dapat disampaikan bahwa kearifan lokal yang dapat dipetik
dari kisah-kisah Dewi Anjani berhubungan dengan identifikasi bahwa di masyarakat Lombok, khususnya
masyarakat Lombok Utara, ada percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling
mempengaruhi. Dewi Anjani sebagaimana dikisahkan merupakan seorang tokoh yang ada dalam kisah
Ramayana, tetapi kemudian di Lombok Dewi Anjani dihubungkan dengan proses penyebaran agama
Islam. Di sisi lain, kisah Dewi Anjani juga dihubungkan dengan beberapa tradisi atau upacara yang
berhubungan dengan agama Hindu. Oleh sebab itu, kisah Dewi Anjani merupakan gambaran
percampuran berbagai kebudayaan sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.

Daftar Pustaka

Danandjaja, James. 1984. Foklor Indonesia ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafitipers.

Djelenga, Lalu. 1987. “Babad Sakra”.Nusa Tenggara Barat: Yayasan Kerta Raharja Sakra.

Hendarto, Heru R. 2013. “Rinjani: Merengkuhi Paras Dewi Anjani” Lionmag November 2013, hlm.38—
44. Jakarta:Bentang Media Nusantara.

Mu’jizah. 2013. “Proposal penelitian Asal-Usul Nama Geografi Melalui Sastra”. Jakarta: Badan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Ruchiat, Rachmat. 2011. Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta. Jakarta: Masup.

Santosa, Puji. 2010. “Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama: Ekspresi Ilmu Keutamaan Seorang Raja
Jawa” dalam Abdul Hadi (Editor). Kakawin dan Hikayat: Refleksi Sastra Nusantara.Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Saroni. 2013. “Gumi Sasak dalam Sejarah”. Cetakan Stensilan. Lombok.

…………. 2013. “Kumpulan Cerita dari Suku Sasak Lombok.” Cetakan Stensilan. Lombok.

Sudikan, Setya Yuwana. 2007. Antropologi Sastra. Surabaya:Unesa University Press.

Tim Penyusun Monografi. 2011.Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat. Nusa Tenggara Barat: Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi NTB.

V.J. Herman dkk (Tim).1990/1991.Bunga Rampai Kutipan Naskah Lama dan Aspek Pengetahuannya.
Nusa Tenggara Barat: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Museum Negeri NTB.

Prazscorpio. 2013. “Cupu Manik Astagina” http praztscorpio.wordpreaa.com/wayang/Ramayana-2


diunduh pada tanggal 18 November 2013.

[1]Wawancara pada tanggal 9 November 2013

[2] Wawancara dengan Saroni 9 Desember 2013

[3] Wawancara dengan Saroni tanggal 8 November 2013

[4] Wawancara dengan Saroni tanggal 8 November 2013

[5] Wawancara dengan Saroni tanggal 8 November 2013

[6] Wawancara di Desa Senaru, 7 November 2013

[7] Wawancara dengan Sukrati tanggal 6 November 2013, di Kampung Tradisional Senaru

Anda mungkin juga menyukai