Anda di halaman 1dari 8

Gunung Rinjani merupakan gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia dan juga

merupakan rangkaian “Lingkaran Api”. Secara adminstratif gunung ini berada di bawah
empat kabupaten yaitu Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Utara.
Gunung ini memiliki ketinggian 3.726 m di atas permukaan laut.  Bagi masyarakat Pulau
Lombok, khususnya suku Sasak dan suku Bali, Gunung Rinjani dianggap sebagai tempat
suci dan merupakan istana para dewa. Di Gunung Rinjani ini terdapat Taman Nasional
Gunung Rinjani yang terletak di kawasan peralihan biogeografis (garis Wallace), tempat
flora dan fauna Asia Tenggara bertemu dengan flora dan fauna wilayah Australia (pamflet
cerita rinjani).

Gunung Rinjani (dok. Pribadi)

Di wilayah Gunung Rinjani terdapat Danau Segara Anak, Gunung Barujari, Gunung
Sangkareang, Gunung Waja, dan beberapa gua yakni Goa Susu, Goa Payung, dan Goa
Manik. Danau Segara Anak merupakan sumber mata air bagi seluruh masyarakat Lombok.
Air yang berasal dari danau ini mengalir hampir ke sebagian besar wilayah Lombok.
Pertanian di sekitar Lombok tergantung kepada air danau ini. Danau yang memiliki luas
11.000 m persegi dengan kedalaman 230 m dan berada di ketinggian 2000 mdpl dikatakan
oleh beberapa tetua adat di wilayah Bayan berfungsi sebagai pendingin gunung-gunung
berapi yang ada di seputarnya. Danau ini diperkirakan terbentuk akibat letusan Gunung
Samalas pada tahun 1257. Pendapat lain mengatakan bahwa Danau Segara Anak muncul
akibat letusan Gunung Rinjani Purba.

    Asal-Usul Penamaan Gunung Rinjani dari Segi Bahasa

Kata /rinjani/menurut Saroni[1] artinya tinggi dan tegak. Makna kata itu tampaknya sesuai
dengan kondisi geografis Gunung Rinjani,gunung tersebut merupakan gunung yang paling
tinggi nomor dua di Indonesia. Selanjutnya, nama Gunung Rinjani sangat mungkin berasal
dari kata Rara Anjani yang berubah menjadi Renjani dan selanjutnya menjadi Rinjani
seperti yang kita kenal sekarang ini. Sehubungan dengan kata Rara Anjani, di daerah
Lombok Timur dapat ditemui Desa yang bernama Desa Anjani. Demikian pula gedung
pertemuan di Mataram yang diberi nama Gedung Dewi Anjani. Hal itu tentunya
menunjukkan bagaimana masyarakat sangat menghormati dan menghargai nama tersebut
meskipun sudah tidak sepenuhnya mempercayai mitos tersebut (Herman dkk,
1990/1991:48). Namun, pemerintah Kabupaten Lombok Utara justru menjadikan Gunung
Rinjani sebagai lambang kabupaten tersebut.

Pada lambang tersebut secara khusus yang berhubungan dengan Gunung Rinjani
disebutkan sebagai berikut. Rinjani disebutkan sebagai pusat kosmos yang merupakan
orientasi kosmologis masyarakat sasak pada umumnya dengan menyebutnya sebagai
“daya”. Pusat kosmos dan konsep masyarakat Sasak merupakan pusat kekuatan magnet
bumi dan kekuataan spritualitas sehingga seluruh arah (dalam konteks peradaban)
diorientasikan ke arahnya, misalnya dalam orientasi penataan ruang. Rinjani sebagai
simbol ekologis disebut sebagai pasak gumi yang menjamin keharmonisan kehidupan
dalam kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Rinjani sebagai kebangaan masyarakat
Lombok utara sebagai salah satu gunung berapi aktif yang termasuk dalam kategori
tertinggi di Indonesia (Tim Penyusun Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat. 2011:74).

Nama Gunung Rinjani  dari beberapa data disampaikan berasal dari nama Dewi Rinjani
yang merupakan anak Datu Taun dan Dewi Mas (Saroni.tt:28). Namun, data lainnya
menyatakan bahwa nama Gunung Rinjani sangat mungkin berasal dari kata Rara Anjani
yang berubah menjadi Renjani dan selanjutnya menjadi Rinjani seperti yang dikenal
sekarang ini (Herman dkk, 1990/1991:23). Di sisi lain, ternyata ada nama gelar untuk sultan
di kerajaan Lombok yakni Sultan Rinjani, yang merupakan anak dari Gaoz Abdul Razak
yang bernama asli Zulkarnaen[2] .  Pada kisah yang lain lagi, Sultan Rinjani itu merupakan
anak dari Pengendeng Segara Katon Rambitan (Djelenga. 1987:42). Yang menjadi
persoalan adalah nama gunung itu diambil dari nama Dewi Anjani ataukah diambil dari
nama Sultan Rinjani. Masalah ini tidak  dapat dijelaskan secara pasti karena sumber-
sumber yang didapatkan rata-rata berbentuk cerita rakyat dan babad yang kesahihannya
masih perlu diuji dan diteliti lebih mendalam.

    Asal-Usul Penamaan Gunung Rinjani Berdasakan Cerita Rakyat

Di samping persoalan arti kata, nama Rinjani juga berhubungan dengan kisah-kisah yang
dipercayai oleh masyarakat setempat. Gunung Rinjani diyakini oleh penduduk sekitar dihuni
oleh komunitas bangsa jin yang sebagian besar mereka beragama Islam. Bangsa jin itu
dipimpin oleh ratu jin yang bernama Dewi Anjani. Dia bersemayam di puncak Gunung
Rinjani. Dari puncak ke arah tenggara terdapat sebuah lautan debu (kaldera) yang
dinamakan Segara Muncar. Konon, pada saat-saat tertentu dengan kasat mata dapat
terlihat istana ratu jin. Pengikutnya merupakan golongan jin yang baik-baik.

Kisah mengenai Dewi Anjani juga terdapat dalam manuskrip yang berjudul “Doyan Neda”.
Pada manuskrip itu dikisahkan Dewi Anjani yang memiliki julukan Ratu Mas Prawira
mempunyai sepasang burung yang sakti, yang berparuh besi melela dan berkuku dari besi
melela pula. Dalam cerita itu disebutkan bahwa sepasang burung inilah yang mengais-
ngais gunung sehingga gunung tersebut menjadi datar dan menjadi sebuah pulau. Pulau
baru itu dinamai pulau sasak karena rapat oleh pepohonan.

Suatu hari, Dewi Anjani diingatkan oleh Patih Songan akan pesan kakeknya Nabi Adam
supaya mengisi pulau baru itu dengan cara mengubah sekelompok jin bangsawan menjadi
manusia. Ini merupakan kisah mengenai asal usul terjadinya manusia di pulau Lombok.
Bagi masyarakat Sasak terutama generasi lama menghayati cerita itu seperti cerita tentang
leluhur mereka yang benar-benar terjadi dan mereka menghormati Dewi Jin yang bernama
Dewi Anjani itu.
Pada bagian lain, yaitu di bidang ilmu mistik kuasa gaib sang Dewi Anjani sering
diungkapkan dan menjadi teks sebuah mantra. Demikian pula para pemangku (pemangku
tradisional) pada waktu mendaki Gunung Rinjani masih sering melakukan upacara mohon
ijin kepada Dewi Anjani terlebih dahulu sebelum melakukan pendakian (Herman dkk,
1990/1991: 47—48) yang disebut dengan upacara menyembe. Hal ini juga diungkapkan
oleh Pak Sukrati sebagai Mangku Adat Gunung di Desa Senaru. Upacara lain yang
berkaitan dengan keberadaan Dewi Anjani, yaitu upacara kesuburan yang berkaitan
dengan kerja bercocok tanam dan panen pada masyarakat lama sering dikaitkan dengan
berkah sang Dewi. Pada masa sekarang perubahan tata nilai pada kepercayaan dan
bahkan teknik pertanian yang disertai upacara semacam itu sudah jauh ditinggalkan.Namun
demikian, masih bisa dijumpai pada kelompok masyarakat tertentu saja atau pada teks
mantera dan pujian (Herman dkk, 1990/1991: 48).

Kisah lain mengenai Dewi Anjani, yakni sang dewi merupakan seorang putri raja yang tidak
diperbolehkan menikah dengan kekasih pilihannya, kemudian pada suatu tempat, dalam
mata air bernama Mandala sang ratu menghilang. Ia berpindah tempat dari alam nyata ke
alam gaib. Kisah ini terpampang pada pamflet yang berjudul “Cerita Rinjani”.

Selanjutnya, cerita mengenai Dewi Anjani dikisahkan oleh Saroni[3] (guru SD) yang
menyatakan bahwa kisah Dewi Anjani berhubungan dengan penyebaran agama Islam di
pulau Lombok. Sekitar abad ke-16 penyebaran agama Islam dilakukan melalui pantai utara
Bayan dan dari arah barat sekitar Tanjung. Pembawanya adalah seorang syeikh dari Arab
Saudi bernama Nurul Rasyid dengan gelar sufinya Gaoz Abdul Razak. Dia menetap di
Lombok bagian utara, di daerah Bayan. Gaoz Abdul Razak mengawini Denda Bulan,
melahirkan seorang anak bernama Zulkarnaen yang merupakan cikal bakal raja-raja
Selaparang. Selanjutnya, Gaoz Abdul Razak menikah dengan Denda Islamiyah dan
melahirkan Denda Qomariah yang populer dengan sebutan Dewi Anjani (Saroni. 2013:16).

Hampir mirip dengan kisah sebelumnya, Saroni[4] menyatakan bahwa Dewi Anjani anak
dari Gaoz Abdul Razak, juga menyampaikan bahwa Dewi Anjani adalah anak dari Denda
Islamiyah yang merupakan istri pertama Gaoz Abdul Razak, sebelumnya Denda Islamiyah
disebut Saroni sebagai istri kedua. Yang berbeda lagi adalah Dewi Anjani pada versi ini
memiliki dua orang saudara laki-laki yakni Sayyid Umar dan Sayyid Amir. Pada versi
sebelumnya disampaikan Saroni saudara Dewi Anjani hanya satu orang yakni Zulkarnaen.

Pada versi lain Saroni[5] juga menyampaikan, bahwa nama lain Dewi Anjani adalah Dewi
Rinjani. Dia adalah anak Raja Datu Tuan dan Dewi Mas, raja di Lombok. Pada awalnya
sang raja dan permaisuri hidup aman dan tenteram, tetapi mereka sering bersedih karena
belum dikarunia anak. Sang raja kemudian memohon izin permaisuri untuk menikah lagi.
Raja Datu Tuan kemudian menikah dengan Sunggar Tutul, putri dari Patih Aur. Dengan
kekuasaan Tuhan, Dewi Mas yang mulai tersingkirkan, tiba-tiba hamil. Sunggar Tutul iri
melihat kehamilan Dewi Mas. Dia memfitnah Dewi Mas sehingga sang permaisuri diusir
dari istana.

Dewi Mas tinggal di Gili dan ditemukan oleh seorang nakhoda, kemudian nakhoda itu
membawa Dewi Mas ke Bali. Setelah sampai pada waktunya Dewi Mas melahirkan anak
kembar yang laki-laki bernama Raden Nuna Putra Janjak dan yang perempuan bernama
Dewi Rinjani.

Saat mereka mulai tumbuh dewasa, mereka bertanya kepada ibunya siapakah ayah
mereka. Dewi Mas menyampaikan bahwa ayah mereka adalah Datu Taun seorang raja di
Lombok.Raden Nuna Putra Janjak pun berangkat ke Lombok untuk menemui ayahnya.
Pada awalnya mereka berperang, tetapi dengan terdengarnya bisikan gaib dari angkasa,
sang raja mengetahui bahwa yang diajaknya berperang adalah anaknya sendiri.

Mereka akhirnya berdamai dan raja Datu Taun menjemput Dewi Mas ke Bali. Raden Nuna
Putra Janjak pun kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja. Sementara itu, sang ayah
dan putrinya Dewi Rinjani menyepi di puncak gunung, bersemedi. Di sinilah kemudian Dewi
Rinjani diangkat oleh para mahluk halus menjadi ratu. Sejak saat itulah gunung itu disebut
sebagai Gunung Rinjani.

Dalam cerita Ramayana, Dewi Anjani adalah kakak anak Resi Gautama dengan Dewi
Indradi bidadari dari kahyangan dan mempunyai saudara yang bernama Subali.Kedua
bersaudara itu melakukan tapa.Dewi Anjani bertapa “uda” (tanpa busana), sedangkan
Subali bertapa “kalong” (kepala menungging ke bawah) di dalam dahan kayu. Dewi Anjani
yang sedang bertapa itu dilihat oleh Batara Surya yang sedang melanglang buana. Batara
Surya pun birahi sampai mengeluarkan air kehidupan yang membasahi daun asam
(kamae) dan daun itu kemudian dilemparkannya kepada sang pertapa, Dewi Anjani. Sang
dewi memakan daun itu, akibatnya ia mengandung dan kelak lahirlah Hanoman.

Memperhatikan nama Dewi Anjani dalam cerita itu, kemungkinan nama Gunung Rinjani
(Rara Anjani) berasal dari nama tersebut dan diketahui di Lombok sudah sejak lama
berkembang cerita Ramayana (Herman. dkk, 1990/1991: 8—9).

Versi lain kisah Dewi Anjani dalam cerita Ramayana adalah sebagai berikut. Dewi Anjani
adalah anak Resi Gotama dengan Dewi Indradi dari kayangan, seorang bidadari. Dewi
Indradi sebelum menikah dengan Resi Gotama sudah memiliki seorang kekasih bernama
Dewa Surya. Di pihak lain,  karenaResi Gotama sudah berjasa memadamkan kekacauan di
kayangan, dia dianugerahi seorang bidadari, yakni Dewi Indradi. Percintaan Dewi Indradi
dengan Dewa Surya pun putus. Sebagai kenang-kenangan atas hubungan mereka, Dewa
Surya memberikan cupu manik astagina kepada Dewi Indradi.

Suatu waktu, Dewi Indradi asyik membuka cupu manik itu, Dewi Anjani melihatnya dan
ingin memilikinya. Dewi Indradi terpaksa memberikannya dengan pesan tidak boleh
diketahui oleh orang lain. Namun, Anjani tidak mematuhi pesan ibunya.Saat Anjani
membuka cupu manik itu, Subali dan Sugriwa melihatnya.Adik-adiknya juga menginginkan
cupu manik tersebut dan mengadukannya kepada Resi Gotama.

Sang resi pun terkejut dan bertanya kepada Dewi Indradi tentang asal-usul cupu manik
itu.Sang dewi tidak dapat menjawab hanya berdiam seperti patung.Resi Gotama dengan
kesal mengucapkan, mengapa istrinya diam seperti patung.Sang dewi pun berubah
menjadi patung.Resi Gotama membuang cupu manik dan barang itu jatuh ke
sendang.Cupunya jatuh ke sendang Nirmolo, maniknya jatuh ke sendang Sumala.

Subali dan Sugriwa yang melihat benda-benda tersebut langsung melompat ke


sendang.Saat mereka keluar dari sendang, mereka pun berubah menjadi kera.Anjani yang
mengejar manik ke sendang Sumala berusaha meraih dengan tangannya dan wajahnya
juga terkena air. Oleh sebab itu, Anjani pun wajahnya berubah menjadi kera (Praztscorpio,
2013). Berdasarkan wawancara dengan penduduk setempat (pendaki gunung Rinjani) ada
yang pernah melihat seorang putri yang wajahnya mirip kera [6]. Hal itu merupakan
pertanda bahwa kisah mengenai Dewi Anjani dalam versi cerita Ramayana hidup dan
berkembang di Lombok. Di dalam cerita Ramayana Dewi Anjani kembali ke Kayangan
setelah selesai masa hukumannya, yang menjadi pertanyaan mengapa kemudian nama
Rinjani yang ditengarai berasal dari nama Dewi Anjani menjadi nama sebuah gunung yang
ada di pulau Lombok.

Dari berbagai kisah tersebut ternyata nama Rinjani berasal dari cerita rakyat yang
berkembang di masyarakat, juga terdapat dalam manuskrip yang berbentuk babad, yakni
Babad Lombok, Babad Sakra, manuskrip Doyan Neda, dan Cerita Ramayana. Berbagai
kisah tersebut membuktikan, bahwa nama Rinjani memang berhubungan erat dengan
berbagai kisah tentang ratu jin yang bernama Dewi Anjani atau nama lainnya yaitu Dewi
Rinjani. Namun, tidak ada satu pun dari kisah-kisah tersebut yang menghubungkan antara
nama Gunung Rinjani dengan nama sultan pertama kerajaan Selaparang, yakni Sultan
Rinjani yang dalam beberapa kisah merupakan saudara lain ibu dengan Dewi Anjani.

    Kearifan Lokal

            Kearifan lokal yang dimaksudkan mengacu pada pendapat Ife (Sudikan, 2013:46-
48) yang mengatakan bahwa kearifan lokal memiliki enam dimensi; 1) dimensi
pengetahuan lokal, 2) dimensi nilai lokal, 3) dimensi keterampilan lokal, 4) dimensi sumber
daya lokal, 5) dimensi mekanisme pengambilan keputusan, dan 6) dimensi solidaritas
kelompok lokal.

Dalam cerita legenda Dewi Anjani terdapat kearifan lokal yang tergolong pada dimensi
kedua (dimensi nilai lokal). Pada dimensi kedua, Ife  menyebutkan bahwa
…untuk mengatur kehidupan bersama antara  antarwarga masyarakat, maka setiap
masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh
seluruh anggotanya. Nilai-nilai itu biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, manusia denganan manusia, dan antara manusia dengan alam.Nilai-nilai itu
memiliki dimensi waktu berupa nilai masa lalu, masa kini, dan masa datang. Nilai-nilai
tersebut akan mengalami perubahan dengan kemajuan masyarakatnya (Sudikan 2013:46-
48).

Nilai-nilai kearifan local yang terdapat dalam legenda Asal Usul Nama Gunung Rinjani
adalah sebagai berikut.

Patuh pada orang tua

Kisah mengenai Dewi Anjani, ratu jin penguasa Gunung Rinjani sebagaimana sudah
disampaikan sebelumnya terdapat dalam berbagai versi. Dewi Anjani adalah seorang tokoh
perempuan sakti yang semula adalah seorang manusia, tetapi kemudian berubah menjadi
ratu jin. Sosok Dewi Anjani dikisahkan sangat sangat patuh kepada orang tuanya. Pada
beberapa kisah digambarkan bahwa sang dewi tidak diperbolehkan menikah dengan laki-
laki pilihannya. Dia tidak melawan kehendak orang tuanya, sang dewi kemudian bertapa
dan inilah merupakan titik awal berubahnya sosok Anjani menjadi bangsa jin.

Kasih sayang

Pada beberapa kisah disebutkan,bahwa  Dewi Anjani diangkat menjadi ratu jin karena
masyarakat bangsa jin menghormati dan mencintainya. Hal itu menunjukkan bahwa tokoh
Dewi Anjani adalah sosok perempuan yang memiliki watak welas asih dan penuh kasih
sayang. Hal itu juga ditunjukkan oleh kisah yang terdapat dalam manuskrip Doyan Neda.
Dewi Anjani menolong Doyan Neda dari kekejaman ayahnya sendiri. Dengan kasih
sayangnya, sang dewi telah dapat menghidupkan kembali Doyan Neda dengan cara
memercikkan air suci.

Tradisi Menyembe dan Wetu Telu

Masyarakat di Lombok utara sampai saat ini masih mempercayai bahwa kesaktian sang
dewi juga ditunjukkan dengan cara bagaimana sang dewi dapat mengubah bangsawan jin
menjadi manusia. Dalam hal ini tampaknya kisah Dewi Anjani menjurus kepada kisah-kisah
mengenai awal kehadiran manusia di Lombok.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat mempercayai adanya hubungan antara
Dewi Anjani dengan mahluk-mahluk gaib yang ada di Gunung Rinjani. Di sisi yang lain, oleh
masyarakat setempat juga dipercayai bahwa masyarakat jin yang mendiami Gunung
Rinjani adalah jin yang baik-baik. Hal ini menunjukkan bahwa Dewi Anjani adalah jin baik-
baik. Yang menarik juga,  jin yang ada di Gunung Rinjani disebutkan sebagai jin Islam. Hal
ini berhubungan dengan silsilah Dewi Anjani sebagai anak penyebar agama Islam di
Lombok, yaitu Gaoz Abdul Razak.Hal itu berkaitan dengan beberapa kisah lisan yang
disampaikan oleh masyarakat setempat, (para pendaki gunung) menjumpai mata air zam
zam dan kabah di Gunung Rinjani.

Di samping itu, masyarakat setempat sampai saat ini masih melakukan ritual adat
‘menyembe’ yakni memberikan tanda di dahi bagi orang-orang yang akan mendaki Gunung
Rinjani. Ritual adat itu dilakukan sebagai tanda supaya tidak tertukar dengan mahluk gaib
yang ada di tempat tersebut[7].

Di sisi yang lain, di desa Bayan yang sampai saat ini masih diakui sebagai desa tradisional
yang masih melaksanakan ritual-ritual adat. Salah satu hal yang masih tetap menjadi
falsafah masyarakat khususnya yang tinggal di desa Bayan adalah falsafah “wetu telu”. 
Wetu telu merupakan filosofi masyarakat adat Bayan yang selalu berpegang teguh pada
tiga unsur atau keyakinan yaitu hubungan Tuhan dengan manusia yang melibatkan para
kiai, hubungan manusia dengan manusia yang melibatkan pranata-pranata dan sesepuh
adat, dan yang terakhir adalah hubungan manusia dengan lingkungan yang diperankan
oleh para Toaq Lokaq  (para orang tua). Ketiga unsur itu harus diseimbangkan karena
bagaimanapun juga kalau salah satunya tidak seimbang, tidak mungkin dapat berjalan
dengan baik (Tim Penyusun Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat. 2011:18).

Falsafah “wetu telu” awalnya merupakan sinkretisme antara agama Islam yang masuk
kemudian di Lombok dan agama Siwa-Budha yang sebelumnya sudah menjadi agama
masyarakat Lombok pada masa itu.Hal itu terjadi karena penyebar agama Islam di Lombok
pada masa itu bertindak hati-hati dalam menyebarkan agama Islam (Tim Penyusun
Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat. 2011:102--103).

Di samping itu, masyarakat Hindu di Lombok dan suku Sasak, khususnya, pada malam
bulan purnama melaksanakan upacara “pakelem”.Upacara ini dimaksudkan untuk meminta
hujan.Tampaknya tradisi ini berhubungan dengan kisah Dewi Anjani yang diyakini lahir dari
Raja Selaparang yang menikah dengan mahluk halus penghuni Gunung Rinjani.
Pernikahan itu terjadi setelah mahluk halus penghuni Gunung Rinjani mengabulkan
permintaan sang raja untuk menurunkan hujan di wilayah kerajaan Selaparang yang
sedang dilanda kekeringan (Hendarto, 2013:42).

    Penutup

Berdasarkan uraian yang sudah disampaikan asal-usul nama Gunung Rinjani berkaitan
dengan kisah-kisah Dewi Anjani. Selain itu, berkaitan juga dengan asal-usul manusia
Lombok serta asal-usul atau cikal bakal kerajaan Selaparang. Hal ini menandai bahwa
penamaan Gunung Rinjani berhubungan dengan hal-hal yang penting bagi masyarakat
Lombok.

Dari berbagai kisah tentang Dewi Anjani juga dapat disampaikan bahwa kearifan lokal yang
dapat dipetik dari kisah-kisah Dewi Anjani berhubungan dengan identifikasi  bahwa di
masyarakat Lombok, khususnya masyarakat Lombok Utara, ada percampuran dua
kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Dewi Anjani
sebagaimana dikisahkan merupakan seorang tokoh yang ada dalam kisah Ramayana,
tetapi kemudian di Lombok Dewi Anjani dihubungkan dengan proses penyebaran agama
Islam. Di sisi lain, kisah Dewi Anjani juga dihubungkan dengan beberapa tradisi atau
upacara yang berhubungan dengan agama Hindu. Oleh sebab itu, kisah Dewi Anjani
merupakan gambaran percampuran berbagai kebudayaan sebagaimana sudah disebutkan
sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai