Anda di halaman 1dari 6

TOPONIMI DESA SEKITAR LERAN SERTA HUBUNGANNYA DENGAN

UPAYA ISLAMISASI RAJA MAJAPAHIT


Nur Lailatus Sa’adah, S.Hum.
Guru Bahasa Indonesia SMP Islam Manbaul Ulum, lailatusnur@gmail.com

Nama adalah hal yang pertamakali manusia butuhkan untuk menjalin


komunikasi antara sesama. Selain nama diri, manusia memiliki nama tinggal
untuk melengkapi identitasnya secara resmi. Nama tinggal dapat berupa
nama kampung, desa, kelurahan, kota, dan nama geografis administratif
lainnya. Toponimi secara garis besar adalah ilmu yang mempelajari asal usul
nama desa. Asal usul nama desa dapat dibentuk secara historis,
sosiokultural, maupun kegamaan sesuai dengan kearifan lokal penduduk
sekitar. Banyak cerita lisan maupun foklor penduduk sekitar yang dapat
membentuk penamaan desa atau wilayah tertentu. Sayangnya, seiring
berkembangnya zaman, foklor dan cerita lisan itu perlahan mulai dilupakan
sehingga diperlukan dokumentasi atau pencatatan tentang cerita-cerita lisan
yang ada, apalagi karena nama desa atau wilayah merupakan jati diri yang
krusial bagi setiap penduduknya.

Gresik adalah salah satu kota yang terkenal sebagai pusat perdagangan
dan penyebaran agama islam sejak zaman dahulu. Menurut Jarwanto
(2019:185-192) sejak abad ke-16 Gresik tumbuh menjadi kota pelabuhan
yang terkenal terutama adanya pelabuhan kembar yang menjadi pelabuhan
terbesar ke-4 di seluruh pantai utara Pulau Jawa pada tahun 1774-1775.
Pelabuhan tersebut dimanfaatkan para pedagang dari Arab, Cina, dan
Gujarat, untuk berdagang dan menyebarkan ajaran agama Islam. Pada zaman
itu pelabuhan Leran sebagai pelabuhan Internasional menjadi salah satu
alasan Syeh Maulana Malik Ibrahim berupaya mengislamkan tanah Jawa.

Toponimi atau penamaan desa di daerah sekitar Leran sangat kental


hubungannya dengan upaya islamisasi tanah Jawa oleh Syekh Maulana Malik
Ibrahim. Leran adalah desa yang secara administratif masuk di Kecamatan
Manyar, Kabupaten Gresik. Desa Leran diduga telah ada sejak bertahtanya
Prabu Sendok, Raja Jawa yang bertahta pada tahun 929-949 M (Anonim,
2003: 11). Syekh Maulana Malik Ibrahim konon datang ke Pulau Jawa
diperkirakan pertamakali mendirikan tempat ibadah dan mengajarkan
santrinya agama Islam di Dusun Pesucinan, Desa Leran. Tempat ibadah
tersebut sekarang dinamakan Masjid Malik Ibrahim.

Pesucinan adalah kata berbahasa jawa yang artinya dalam bahasa


Indonesia yaitu ‘Suci’, maksudnya tempat bersuci atau berwudhu. Menurut
buku Jarwanto (2019: 254-255) Dusun Suci dituliskan asal usul nama
desanya dalam Babad Gresik yang menceritakan bahwa terdapat seorang Raja
Gedah bersama bala tentaranya beristirahat di dusun Tjareme atau yang
sekarang disebut Cerme. Raja dan bala tentara tersebut selanjutnya pergi ke
arah Polaman, lalu beristirahat sejenak untuk bersuci. Karena pada saat itu
mayoritas masyarakat belum memeluk agama Islam maka kegiatan bersuci
tersebut terlihat unik dan sakral karena yang melakukan adalah Raja.
Wilayah tempat bersuci tersebut konon akhirnya disebut sebagai Dosoen
Soetji atau Desa Suci.

Ternyata kisah seorang Raja yang bersuci tersebut ada kaitannya


dengan upaya islamisasi tanah Jawa oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim. Raja
tersebut bernama Sultan Mahmud Sadad Alam yang masih kerabat Syekh
Maulana Malik Ibrahim dan datang ke tanah Jawa untuk membantu
penyebaran agama islam bersama putrinya dan para utusan atau pengawal.
Setelah kegagalan keluarganya untuk menyebarkan ajaran Islam, Sultan
Mahmud Sadad Alam memiliki ide untuk menyebarkan islam dengan cara
mengislamkan penguasa kerajaan di Jawa (Indrawati, 2004:18). Ide tersebut
didukung oleh saran Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan cara menikahkan
putrinya dengan Raja Majapahit yang menjabat saat itu, yaitu Raja Brawijaya.

Rencana pernikahan itu didasarkan adanya kekhawatiran bahwa Islam


di Desa Leran mulai meluas, tetapi wilayah Leran masih termasuk wilayah
Majapahit yang rajanya beragama Hindu. Putri Sultan Mahmud Sadad Alam
yang akan dinikahkan dengan Raja Brawijaya bernama Saiyidah Aminah atau
nantinya disebut sebagai Dewi Retno Suari atau Siti Fatimah Binti Maimun.
Utusan dari Leran berangkat terlebih dahulu menuju Raja Brawijaya,
sedangkan Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sultan Mahmud Sadad Alam,
Putrinya, dan pasukan atau utusan yang tersisa akan berangkat terpisah
dalam satu rombongan. Utusan yang berangkat terlebih dahulu bernama
Saiyid Ja’far dan satu utusan lain. Utusan yang berangkat terlebih dahulu
membawa delima untuk diserahkan kepada Raja Brawijaya.

Konon, saat dua utusan itu tiba di kerajaan, bukan Raja Brawijaya yang
menyambut, melainkan Patih dari Raja Brawijaya. Pada saat itu Raja
Brawijaya sedang memiliki hobi nginang yang artinya mengunyah daun sirih
dan tidak peduli terhadap utusan dari Leran (Anonim, 2003:13). Utusan
Leran hanya memberikan delima kepada patih untuk diserahkan kepada Raja
Brawijaya. Saiyid Ja’far dan utusan lain lalu segera kembali menuju Leran
untuk bergabung dengan rombongan Syekh Maulana Malik Ibrahim. Raja
Brawijaya yang menerima buah delima dikejutkan karena isi delima adalah
biji dari logam mulia sehingga mengutus Patihnya untuk mencari utusan dari
Leran. Saiyid Ja’far menolak Patih dan memintanya menunggu saja
rombongan yang lain sehingga tempat untuk menunggu tersebut konon
dinamakan Menganti yang dalam bahasa Jawa artinya menunggu.

Toponimi Desa lain yang muncul dari cerita lisan tersebut tidak berhenti
di sana, asal usul nama desa lainnya dijelaskan dalam perjalan utusan Saiyid
Ja’far. Konon saat perjalanan Saiyid Ja’far tidak tau arah dan salah satu
utusan yang pergi bersamanya menghilang. Saiyid Ja’far akhirnya berjalan
melingkar sambil berdoa sehingga muncullah Toponimi Desa Bunder yang
berasal dari bahasa Jawa Mbunder yang artinya melingkar. Saiyid Ja’far juga
menelusuri area sungai dan konon kakinya terasa berat saat berjalan di tepi
sungai karena tertahan lumpur. Saat melemparkan lumpur di kakinya dan
terkena genangan air, bentuk lumpur dan genangannya berbentuk pulau.
Dari cerita foklor tersebut muncullah Toponimi Desa Tebaloan. Tebaloan
berasal dari gabungan kata ‘kaki’ atau dalam bahasa jawa Dibal dan kata Pulo
yang artinya ‘Pulau’, sehingga Tebaloan artinya Kaki Pulau. Bahkan saat
utusan tersebut menaiki gunung untuk mencari Leran dan melihat ke arah
bawah dari atas gunung muncullah Toponimi atau asal usul nama desa lain
yaitu Pongangan. Pongangan berasal dari kata Ngungak yang artinya ‘Melihat
ke Bawah’ (Anonim, 2003: 14-15). Awalnya Toponimi Desa ini tidak disebut
sebagai Pongangan melainkan Pangunga’an, namun kini desa tersebut secara
adminstratif bernama Desa Pongangan.

Sementara itu, Rombongan lain yang dipimpin oleh Syekh Maulana


Malik Ibrahim telah sampai di kerajaan. Raja Brawijaya menolak ajakan
untuk memeluk agama Islam. Karena kecantikan Putri dari Sultan Mahmud
Sadad Alam, Raja Brawijaya setuju masuk Islam asal dinikahkan dengan
putri dari Sultan Gedah tersebut. Karena motif yang tidak tulus dari Raja
Brawijaya, Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sultan Mahmud Sadad Alam
menolak tawaran Raja Brawijaya menikahi Saiyidah Aminah. Sultan Mahmud
Sadad Alam yang bertahta sebagai Raja tidak bisa meninggalkan kerajaannya
dalam waktu yang lama sehingga ia meninggalkan putri kesayangannya di
Leran bersama para utusan dan dayang serta pasukan.

Menurut Narasumber lisan, Hj. Ainur Rofiah, juru kunci Makam Panjang
Leran, Sultan tersebut meminta maaf kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim
karena tidak bisa mengikhlaskan putrinya menikahi Raja Brawijaya, ia
pulang sendirian ke Gedah atau ke kerajaan asalnya, dan mengamanahi
Saiyid Ja’far untuk mendidik Saiyidah Aminah tentang agama Islam di Leran.
Sayangnya tak lama kemudian di Leran muncul wabah penyakit yang
menewaskan Saiyidah Aminah di usianya yang masih remaja. Wabah tersebut
konon bernama wabah To’un atau wabah Sampar.

Raja Brawijaya mendengar kabar meninggalnya Saiyidah Aminah.


Karena pesona kecantikan Saiyidah Aminah, Raja Brawijaya memberikan
nama padanya Dewi Retno Suari dan membangunkan bangunan untuk
melindungi makam Saiyidah Aminah. Karena itulah ada unsur Hindu-Budha
disekitar pagar makam panjang Siti Fatimah Binti Maimun atau Saiyidah
Aminah atau Dewi Retno Suari. Sepeninggal Saiyidah Aminah, Raja Brawijaya
khawatir akan adanya pemberontakan karena banyak warga Leran yang
memeluk ajaran Islam. Islam yang dikenal tidak memiliki kasta membuat
Raja Brawijaya memutuskan bahwa tanah Leran adalah tanah perdikan atau
tanah yang tidak dipungut pajak (Anonim, 2003:16). Tanah Leran diputuskan
tetap di bawah naungan Kerajaan Majapahit, namun pemerintahan
diserahkan kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Gambar gerbang Desa Leran dan Makam Cungkup Siti Fatimah Binti Maimun
(Sumber: Dokumen TIM KTS SMP Islam Manbaul Ulum Gresik)

Kompleks pemakaman Leran menjadi bukti sejarah adanya proses


islamisasi di Gresik, khususnya di Leran. Bangunan makam yang dikelilingi
pagar bernuansa Hindu-Budha menjadi bukti bahwa ada upaya untuk
mengislamkan Raja Majapahit saat itu, yaitu Raja Brawijaya. Menurut
Mustakim (2005: 75) Pola halaman pada kompleks makam panjang bersusun
ke belakang dengan sisi belakang dianggap paling sakral. Bangunan induknya
berupa cungkup terbuat dari bahan batu putih merupakan makam tokoh Siti
Fatimah Binti Maimun, dengan keterangan berangka tahun 1082 M di
nisannya. Menurut juru kunci makam panjang, Hj. Ainur Rofi’ah, bentuk
cungkup tersebut dibangunkan atas perintah Raja Brawijaya untuk
melindungi makam, cungkup karena Siti Fatimah Binti Maimun meninggal
dalam kondisi muda atau masih gadis dan belum menikah.

Dari beberapa cerita foklor atau cerita lisan yang berasal dari berbagai
sumber, dapat disimpulkan bahwa Toponimi atau asal usul penamaan Desa
sekitar Leran sangat erat hubungannya dengan upaya mengislamkan Raja
Brawijaya. Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sultan Mahmud Sadad Alam,
Saiyidah Aminah atau Siti Fatimah Binti Maimun, dan utusan saat itu adalah
tokoh utama penggerak islam di tanah jawa, khususnya Leran Gresik. Ada
Baiknya Foklor dan kearifan lokal ini tetap dilestarikan dan
didokumentasikan. Tujuannya agar masyarakat tak lupa bahwa dibalik
toponimi atau nama desa ada kaitan yang erat dengan identitas masyarakat
Gresik yang kental akan ajaran islam.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Legenda Tokoh Pejuang Dakwah Islam di Gresik. Gresik:


DISPARINKOM Kabupaten Gresik.

Indrawati, Dwi dkk. 2004. Cerita Asal Usul nama Desa (TOPONIM) di
Kabupaten Gresik. Gresik: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Jarwanto, Eko. 2019. Gresik Punya Sejarah, Peran Gresik dalam Lintasan
Sejarah Nusantara. Gresik: Yayasan Mata Seger.

Mustakim. 2005. Mengenal Sejarah dan Budaya Masyarakat Gresik. Gresik:


Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Rofi’ah, Ainur. 2020. “Siti Fatimah Binti Maimun”. Hasil wawancara pribadi: 27
September 2020, TIM KTS SMP Islam Manbaul Ulum Gresik.

Anda mungkin juga menyukai