Anda di halaman 1dari 16

MASA KECIL, REMAJA , DEWASA DAN AKHIR HAYAT

SUNAN GIRI, SUNAN KUDUS DAN SUNAN DRAJAT


Sunan Giri

Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang
berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri membangun Giri Kedaton sebagai
pusat penyebaran agama Islam di Jawa, yang pengaruhnya bahkan sampai ke Madura,
Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan,
yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko
Samudro. Ia lahir di Blambangan tahun 1442, dan dimakamkan di desa Giri, Kebomas,
Gresik.

Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian
babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari
Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari
Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.

Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah
SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir,
Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir,
Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam,
Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini
(Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana
Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan
riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.

Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri (alias Sunan Giri) merupakan cucu Putri Pasai
(Jeumpa?) dan Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Perkawinan Putri Pasai dengan Dipati
Hangrok melahirkan seorang putera. Putera ini yang tidak disebutkan namanya menikah
dengan puteri Raja Bali, kemudian melahirkan Pangeran Giri. Putri Pasai adalah puteri Sultan
Pasai yang diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati Hangrok (alias Brawijaya
VI). Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih Maudara.
Kisah

Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari
Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah
membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa ayahandanya
(Prabu Menak Sembuyu) untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu. Lalu, Dewi
Sekardadu dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini.

Versi lain menyatakan bahwa pernikahan Maulana Ishaq-Dewi Sekardadu tidak mendapat
respon baik dari dua patih yang sejatinya ingin menyunting dewi sekardadu (putri tunggal
Menak sembuyu sehingga kalau jadi suaminya, merekalah pewaris tahta kerajaan. Ketika
Sunan Giri lahir, untuk mewujudkan ambisinya, kedua patih membuang bayi sunan giri ke
laut yang dimasukkan ke dalam peti.

Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) - yakni sabar dan
sobir - dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan
pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut
Joko Samudro.

Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudro dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini di Surabaya)
untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan
Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan
Ampel mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran
Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudro.
Di sinilah, Joko Samudro yang ternyata bernama Raden Paku mengetahui asal-muasal dan
alasan mengapa dia dulu dibuang.

Dakwah dan kesenian

Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden
'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah
perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak
itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.

Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam
di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan
Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri
Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya
ditumbangkan oleh Sultan Agung.

Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan
Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, dan Cublak
Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
NAMA DAN GELAR SUNAN GIRI

Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu


1. Raden Paku,
2. Prabu Satmata,
3. Sultan Abdul Faqih,
4. Raden ‘Ainul Yaqin
5. Joko Samudra.
6. Sultan Giri Kedathon.

AYAH SUNAN GIRI

Sunan Giri adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah.
Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Raja Menak
Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.

NASAB SUNAN GIRI

Sunan Giri bin Maulana Ishaq bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain
bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far
Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah

KISAH MASA KECIL SUNAN GIRI

Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari
Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan
pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan
berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi
Sekardadu menghanyutkannya ke laut.

Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke
Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede
Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.

Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama
kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui
identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya
dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka
diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko
Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa
dia dulu dibuang.

ISTRI & ANAK SUNAN GIRI

Sunan Giri menikah dengan Dewi Murtasiyah binti Sunan Ampel, berputera :
1. Sayyid Ali Zainal Abidin alias Alias Ali Sumodiro alias Raden Dalem alias Sunan Dalem
alias Sunan Giri II
2. Sayyid Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen)

3. Sayyid Abdullah alias Jayengresmi alias Syekh Amongraga alias Sunan Kidul, menikah
dengan Tambangraras, putri Ki Panurta. Jayengresmi memiliki karya yaitu Suluk Serat
Centhini.

4. Sayyid Ibrahim alias Jayengsari,


5. Sayyid Hasan alias Rancangkapti.
6. Sayyid Husain alias Darmakusuma

KARYA SUNAN GIRI


1. Gending Asmaradhana
2. Gending Pucung
3. Permainan Jelungan
4. Permainan Jamuran
5. Permainan Gendi Gerit
6. Permainan Jor,
7. Permainan Gula Ganti
8. Lagu Cublak-Cublak Suweng
9. Lagu Lir-ilir
10.Lagu Tembang Dolanan Bocah

CARA DAKWAH SUNAN GIRI:

Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden
‘Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah
perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak
itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.

Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam
di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi dan
Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri
Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya
ditumbangkan oleh Sultan Agung.

MAKAM SUNAN GIRI

Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.


Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam
walisongo, yang lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Nama lengkapnya adalah nama
Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung.

Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Bapaknya


yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali
Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan
sampailah di Kesultanan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.

Jati diri Sunan Kudus

Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-
Zahra binti Muhammad.

Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia berasal dan lahir di Al-Quds negara
Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.

Nasab Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil
atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan
Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan
Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-
Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil
Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin
Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.[1]
Sunan Kudus dalam Babad Tanah Jawi

Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah terjemahan dari Punika Serat Babad
Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L.
Olthof di Leiden, Belanda, pada tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya,
di sini terdapat cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan peristiwa-
peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.

“…Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah akan
mendirikan masjid di Demak. Para wali saling berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya
Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk, sebab sedang
tirakat di Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan Kali
Jaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1
bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid searah
dengan ka’bah di Mekkah. Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya
masjid tadi, ketika para wali sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk
khusuk bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit
kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.” [2]

“Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan
badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan
Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan
Pajang. Yang paling disayang adalah Arya Penansang.

Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran Arya Penansang,
Sunan Kudus berkata kepada Arya Penansang, “Orang membunuh sesama guru itu,
hukumnya apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang, “Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya
belum tahu siapa yang berbuat demikian itu.” Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.”
Arya Penansang setelah mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh Sunan
Prawata. Ia lalu mengutus abdi pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah untuk
membunuh Sunan Prawata. Rangkud lalu berangkat. Sesampai di Prawata ketemu dengan
Sunan Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada istrinya. Setelah melihat Rangkud
Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang siapa?” Rangkud menjawab, “Saya adalah utusan
Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.” Sunan Prawata berkata, “Ya,
terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, jangan mengikutkan orang lain.”
Rangud lalu menusuk sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai ke punggungnya
serta menembus dada istrinya. Sunan Prawata setelah melihat istrinya terluka, segera
mencabut kerisnya yang bernama Kyai Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud
tergores oleh kembang kacang (hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan
Prawata dan isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan tahun 1453.
Arya Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh oleh
Sunan Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at. Ia dicegat di tengah jalan oleh utusan Sunan
Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh oleh teman ayahnya Arya
Jipang.

Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya Ratu Kali Nyamat. Dia begitu
tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama
suaminya berniat minta keadilan kepada Sunan Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus, “Kakakmu
itu sudah hutang pati pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.”
Ratu Kali Nyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lalu kembali
pulang. Di tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali
Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru saja kehilangan saudaranya, lalu kehilangan
suaminya. Ia jadi sangat menderita. Lalu bertapa telanjang di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti
kain untuk menutup auratnya adalah rambutnya yang diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia
tidak mau memakai kain selama hidup jika Arya Penansang belum meninggal. Ia bernadar
barangsiapa dapat membunuh Arya Jipang, dia akan mengabdi kepadanya dan akan
menyerahkan seluruh kekayaannya.

Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang dengan Arya Penangsang, Sunan
Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali Nyamat sekarang sudah mati, tetapi
belum lega rasanya kalau belum menguasai tanah Jawa semua. Jika masih ada adikmu Sultan
Pajang saya kira tidak mungkin bisa jadi raja, sebab dia adalah penghalang.” Arya Penansang
berkata, “Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus, Pajang akan saya gempur dengan
perang, adik saya di Pajang akan saya bunuh supaya tidak ada penghalang.” Sunan Kudus
menjawab, “Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan merusak negara serta banyak
korban. Adapun maksud saya, kakakmu di Pajang bisa mati, secara diam-diam saja, jangan
diketahui banyak orang.” Arya Penangsang menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi
pengawal untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang. Utusan segera berangkat. Datang di
Pajang tengah malam, lalu masuk ke dalam istana. Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain
kampuh, jarik/kain sarung. Para istrinya tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk
dengan sekuat tenaga. Sultan Pajang tidak mempan (kebal), masih enak tidur saja. Kain yang
digunakan untuk berselimut itu pun tidak tertembus. Para isrti terkejut, bangun, menangis,
dan menjerit. Sultan Pajang terkejut juga dan bangun. Kain selimut terlempar menerpa para
utusan itu, mereka terjatuh terkapar di tanah, tidak ada yang dapat pergi.

Asal usul nama kota Kudus

Dahulu kota Kudus masih bernama Tajug. Kata warga setempat, awalnya ada Kyai
Telingsing yang mengembangkan kota ini. Telingsing sendiri adalah panggilan sederhana
kepada The Ling Sing, seorang Muslim Cina asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah ada sejak abad
ke-15 Masehi dan menjadi cikal bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang
ahli seni lukis dari Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung, juga
sebagai pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah datang ke Kudus untuk
menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren di kampung Nganguk. Raden
Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib atau lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus
adalah salah satu santrinya yang ditunjuk sebagai penggantinya kelak.

Kota ini sudah ada perkembangan tersendiri sebelum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa
kiah tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan.
Awal kehidupan Sunan Kudus di Kudus adalah dengan berada di tengah-tengah jamaah
dalam kelompok kecil. Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompok kecilnya itu
adalah para santrinya sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap
memerangi Majapahit. Versi lainnya mereka itu adalah warga setempat yang dipekerjakannya
untuk menggarap tanah ladang. Berarti ada kemungkinan juga Ja’far memenuhi kebutuhan
hidupnya di Kudus dimulai dengan menggarap ladang.
Fakta mengenai Sunan Kudus

Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah islamiyahnya yang
dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat tampak jelas pada
Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang
sering dikatakan sebagai representasi menara multikultural. Aspek material dari Menara
Kudus yang membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap
Sunan Kudus. Oleh Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system
komunikasi yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak dibatasi oleh objek
pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat ditemui pada
peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa ditemukan di dalam sejarah, gambar, legenda,
tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus.
Kini ia populer sebagai seorang wali yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan
seniman.

Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata uang kertas Rp. 5.000,00 dengan
gambar Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia
yang dijabat oleh Arifin Siregar pada masa itu. Berikut petikan sambutannya: “…Kami
sewaktu bertugas sebagai Gubernur Bank Indonesia mendapat kesempatan untuk
mengeluarkan uang kertas Lima Ribu Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal ini kami
lakukan antara lain mengingat keindahan dan kenggunan Menara Kudus. Disamping itu
Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah Indonesia yang perlu dilestarikan
dan diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga khalayak luar negeri.”

Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun
1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme
Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab
di Masjid Al-Aqsa Kudus yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka
dalam setiap perayaan hari jadinya tak pernah lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus
dalam memajukan rakyat dan ummatnya.

Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992),
menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan
diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan
tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus; serta merupakan pusat tempat
berdirinya rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur
Sungai Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat
perdagangan.”

Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang menggambarkan sejarah perjalanan
masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut
Kudus. Tradisi ini telah menjadi kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10
Muharram dengan dukungan umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan
prosesi pergantian kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan
kalimah toyyibah (tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya
telah didahului dengan khataman quran secara utuh).

Ada lagi tradisi Dhandangan yang digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada
masa Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus
(berbunyi dhang dhang dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain
itu masyarakat Kudus hingga saat ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai
suatu penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure
kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu masyarakat Kudus masih beragama Hindu yang
menyucikan hewan lembu. Kini, setiap Kamis malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu
ramai oleh peziarah dengan beragam latar beragam latar belakang dan etnis, dari berbagai
daerah. Mereka datang dengan beragam cara, baik sendiri maupun bersama rombongan. Pada
momen-momen tertentu ada yang datang dari mancanegara.[4]

Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk
beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan yang bermakna” baik keberagamaan
maupun fenomena budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah
melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka.
Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model
keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka memiliki
identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki warisan spirit dan patriotisme yang
melegenda. Hal ini terus digali hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap
keberagamaan umat Islam (suatu identitas kultural).[5]

Pendidikan Sunan Kudus

Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) banyak berguru kepada Sunan Kalijaga
dan ia menggunakan gaya berdakwah ala gurunya itu yang sangat toleran pada budaya
setempat serta cara penyampaian yang halus. Didekatinya masyarakat dengan memakai
simbol-simbol Hindu-Budha seperti yang tampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu
waktu saat KSK ingin menarik simpati masyarakat untuk mendatangi masjid guna
mendengarkan tabligh akbarnya, ia tambatkan Kebo Gumarang (sapinya) di halaman masjid.
Masyarakat yang saat itu memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati
selepas mendengarkan ceramah KSK mengenai “sapi betina” atau Al-Baqarah dalam bahasa
Al-qurannya. Teknik lainnya lagi adalah dengan mengubah cerita ketauhidan menjadi berseri,
betujuan menarik rasa penasaran masyarakat.

Dakwah Sunan Kudus

Ia adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Ia pula yang menjadi salah
satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus
begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud
dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan
yang toleran.

Tak heran, jika hingga sekarang makam ia yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu
ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai
bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan
ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.

Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara
berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan
kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni
dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk
menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman
masjid kala itu.

Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu
menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan
Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh ia.

Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid
sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin
akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih
sapi.

Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa
dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan
sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen
penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta
Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu
dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa
dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang
berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago
atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.

Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk
memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan
menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.

Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya.
Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah
ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.

Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma
menjadi barang mahal, tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali
esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan
lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma
negatif.Ajaran Toleransi Ala Sunan Kudus.
Karya Sunan Kudus

Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kota Kudus,
yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang.
Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan
lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong
hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut
agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk
memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.

Wafatnya Sunan Kudus

Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid
Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara
Kudus.

Keturunan Sunan Kudus

Di antara keturunan Sunan Kudus yang menjadi Ulama' dan Tokoh di Indonesia adalah:
Syekh Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan
Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini.
Sunan Drajat

Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Nama kecilnya adalah Raden
Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan
bersaudara dengan Sunan Bonang.

Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran,
Kabupaten Lamongan.

Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel
dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam ia menyebarkan
agama Islam di desa Drajat sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini
diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada
tahun saka 1442/1520 masehi

Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari Surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels
(Anyar-Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaraan
pribadi.

Sejarah singkat

Sunan Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang
terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, ia mengambil tempat di Desa Drajat
wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar
abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat
sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Ia sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperhatikan nasib
kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan
pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras,
kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran.

Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk
mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.

Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan usahanya


menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, ia
memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun saka
1442 atau 1520 Masehi.

Filosofi Sunan Drajat

Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke
tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap
tangga tersebut sebagai berikut :

1. Memangun resep tyasing Sasoma (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suka kudu éling lan waspada (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat
dan waspada)
3. Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam perjalanan
untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Mèpèr Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan
dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
6. Mulya guna Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan
salat lima waktu)
7. Mènèhana teken marang wong kang wuta, Mènèhana mangan marang wong kang
luwé, Mènèhana busana marang wong kang wuda, Mènèhana ngiyup marang wong
kang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan
masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta
beri perlindungan orang yang menderita)

Penghargaan

Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang
Mocopat yakni Pangkur. Sisa - sisa gamelan Singo mengkok-nya Sunan Drajat kini tersimpan
di Museum Daerah.

Untuk menghormati jasa - jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di
wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda-benda bersejarah
peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran
agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan Museum Daerah Sunan Drajat
disebelah timur Makam. Museum ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1
Maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, S.H. untuk menyelamatkan dan melestarikan
warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur dengan alokasi
dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup dan pembangunan Gapura
Paduraksa senilai Rp.98 juta dan anggaran Rp.100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali
Mesjid Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993.
Pada tahun 1993 sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat
dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paséban, balé ranté serta
Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang diresmikan
Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.

 Latar Belakang Sunan Drajat

Sunan Drajat merupakan putra dari Sunan Ampel yang terkenal sebagai anak yang cerdas.
Nama asli Sunan Drajat adalah Raden Qasim atau juga dikenal Raden Syarifudin. Raden
Qasim merupakan adik dari Sunan Bonang. Sejak kecil, Raden Qasim selalu menghabiskan
waktu bermainnya di daerah asalnya yaitu Ampeldenta. Saat menginjak dewasa, Raden
Qasim ingin seperti kakaknya yang telah dikirim ke Tuban untuk berdakwah. Raden selalu
mempelajari semua ajaran-ajaran Islam untuk dikuasai. Setelah menguasai pelajaran Islam,
Raden Qasim segera mencari tempat untuk berdakwah. Tempat yang di ambil dan dijadikan
pusat kegiatan dakwahnya adalah di desa Drajat, Kabupaten Lamongan. Raden Qasim selain
berdakwah juga menjadi pemegang kendali otonom kerajaan Demak kurang lebih selama 36
tahun.

Raden Qasim dikenal sebagai Wali yang berjiwa sosial. Beliau selalu memperhatikan
masyarakat yang tidak mampu, mendahulukan kesejahteraan rakyat, memberikan motivasi
kepada masyarakat. Setelah mendahulukan kepentingan umum, beliau kemudian memberikan
ajaran-ajaran Islam.

Karena kerberhasilannya menyebarkan agama Islam dan mampu memakmurkan kehidupan


masyarakat, Raden Qasim mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu dari Sunan Demak pada
tahun 1520 Masehi.

 Kisah Perjuangan Sunan Drajat

Pada suatu ketika, ayah dari Raden Qasim menyuruh putranya untuk berdakwah seperti
kakaknya. Namun Raden Qasim tidak langsung menerima perintah ayahnya karena Qasim
hanya ingin membantu kakaknya. Kemudian ayah mencari cara agar putranya Qasim berani
berdakwah sendiri. Ayah menyarankan Qasim untuk berdakwah di Jawa bagian timur. Tapi
Qasim menolaknya karena Qasim merasa berat jika ke daerah timur yang masih kental akan
ajaran Hindu. Kemudian ayah memberi Qasim hak untuk memilih tempat dimana dia ingin
berdakwah selain membantu kakaknya. Setelah berfikir panjang, Qasim memutuskan ingin
berdakwah di daerah Surabaya, khususnya di Tuban. Namun sekali lagi ayah menyarankan
Qasim untuk berdakwah di sekitar pesisir utara Gresik dan Tuban. Akhirnya Qasim
menerima perintah ayahnya untuk berdakwah di tempat yang telah disetujui.

Kemudian Raden Qasim bersama para santri menuju ke Gresik untuk melaksanakan
tugasnya. Sebelum sampai di Gresik, Sunan Drajat bersilahturahmi kepada Sunan Giri. Dia
memberitahu kepada Sunan Giri bahwa dia diutus ayahnya untuk berdakwah di daerah pesisir
utara. Sunan Giri sangat senang mendengar bahwa Raden Qasim diutus untuk berdakwah ke
pesisir utara. Kemudia Sunan Giri memberikan beberapa nasehat agar kedatangannya dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat pesisir utara.

Sunan Drajat kemudian melanjutkan perjalanannya. Setelah beberapa hari akhirnya Sunan
Drajat sampai di pesisir pantai dan bertemu dengan nelayan yang sedang melaut. Sunan
Drajat menjelaskan berbagai macam jenis ikan yang bisa dimakan dan ikan yang berbahaya
jika dimakan. Setelah mendengar penjelasan dari Sunan Drajat, para nelayan akhirnya
mengerti dan percaya apa yang dikatakan oleh Sunan Drajat. Disinilah Sunan Drajat mulai
percaya diri untuk berdakwah di Gresik yang masih kental dengan agama Hindu.

Setelah melakukan perjalanan jauh, akhirnya Raden Qasim sampai di sebuah desa yang
bernama desa Drajat. Raden Qasim kemudian menjadikan pusat dakwahnya di daerah ini.

Di desa Drajat banyak kegiatan-kegiatan islami yang membuat masyarakat Hindu penasaran
dan ingin tahu apa yang dilakukan Sunan Drajat bersama santri-santrinya. Sehingga dengan
kecerdasan Sunan Drajat masyarakat Hindu mempu tertarik dengan metode dakwah Sunan
Drajat yang memakai tembang Pangkur sebagai andalannya.

Cara Berdakwah
1. Menggunakan metode kesenian
Kesenian yang dipakai Raden Qasim adalah tembang Pangkur.
2. Menggunakan filosofi sendiri
Sunan Drajat dikenal memiliki kecerdasan yang tinggi sehingga mempu membuat makna
filosofi sendiri. Filosofi tersebut dikenal ke tujuh sap tangga. Berikut ini adalah bunyi filosofi
–          Memangun resep tyasing Sasoma (selalu membuat hati orang lain senang)
–          Jroning suka kudu éling lan waspada (meski dalam suasana riang, kita harus tetap
ingat dan waspada)
–          Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam perjalanan
untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
–          Mèpèr Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan nafsu-nafsu)
–          Heneng – Hening – Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan
dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur).
–          Mulya guna Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan
sholat lima waktu)
–          Mènèhana teken marang wong kang wuta, Mènèhana mangan marang wong kang
luwé, Mènèhana busana marang wong kang wuda, Mènèhana ngiyup marang wong kang
kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat
yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan
orang yang menderita)
3. Terjun langsung ke masyarakat untuk mengatasi berbagai macam masalah.

Anda mungkin juga menyukai