PRAWACANA
Om, Swastyastu
Penulis
Penulis
Penulis
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Kertha Bhuana
DATARAN TINGGI DIENG
Dataran tinggi Dieng terletak pada ketinggian 2.093 meter DPL, diwilayah
Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, tetapi keberadaan Dataran
Tinggi Dieng disangga oleh empat Kabupaten yaitu Kabupaten Banjarnegara,
Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Batang dan Kabupaten Kendal.
Lokasi dataran tinggi Dieng yang berada pada dataran cekung, yang cukup
luas sekitar 100 Ha dengan suhu antara 20 – 22 derajat celcius, namun dimusim
dingin cuaca bisa ekstrem hingga dibawah 10 derajat celcius, bahkan ada tiga hari
pada bulan Juli atau awal Agustus suhu udara berada dibawah nol derajat,
sehingga menghadirkan hujan salju, yang disebut masyarakat lokal sebagai
“embun upas” yang kadangkala membakar seluruh tanaman perdu, serta tanaman
petani seperti kentang, wortel, purwaceng dan sayur-sayuran.
Dari keberadaan Dataran Tinggi Dieng yang penuh misteri, maka dimasa lalu
sekitar abad ke VIII Masehi, dinasti Wangsa Sanjaya memutuskan untuk
membangun situs percandian. Pembangunan banyak candi, adalah sejenis candi
Siwa, candi yang dalam agama Hindu dikenal sebagai candi untuk memuliakan
kepada para Dewa Hindu dan leluhur berdasarkan keyakinan yang dianutnya.
Akhir dari perjalanan kehidupan masyarakat Dieng, dengan peninggalan hasil
budaya yang tinggi, saat ini banyak dikunjungi oleh parawisatawan, baik wisata
Nusanatara maupun wisata mancanegara.
`
“DIENG“
ADI & HYANG
GUNUNG PARA DEWA
PUNCAK NEGERI DEWATA
EDI & AENG
ANEH DAN LANGKA
(SUASANA BATIN, PENUH MISTERI)
DINASTI WANGSA SANJAYA, ABAD VIII
MAHA RSI MARKANDEYA
Kebaradaan dari Dataran Tinggi Dieng tidak lepas dari suatu hikayat yang
menceritakan tentang perjalanan dan menapakkan kakinya di Dataran Tinggi Dieng
yaitu Maha Rsi Markandeya. Adapun cerita dari perjalanan beliau diuraikan dalam
Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya sebagai berikut :
“Waluya mwang kata, ri saka 769, titanen wus lama sira ta Hyang Maha
Rsi Markandeya, atapa ring wukir damalung i lemahining gunung Di
Hyang i Yawa tumuli sira lunga angetan hyun atirtha yatra tumuli teka ri
Gunung Raung i Yawa Wetan. Yang pirang warsa sira ngkana, tumuli ta
sira lumaku angetan mareng Bali Pulina, wetaning bhumi Yawa iniring
de sisianira wolungatus diri ..... “
“Diceritakan dalam hikayat, pada tahun saka 769, setelah lama beliau Hyang Maha
Rsi Markandeya melakukan tapa semadi, ditengah hutan Damalung di sekitar
Gunung Dieng di Jawa, selanjutnya beliau pergi ke timur, melaksanakan perjalanan
suci dan tiba di Gunung Raung Jawa Timur, setelah beberapa tahun lamanya,
kemudian melanjutkan perjalanan ketimur menuju Bali Pulina, sebelah timur bumi
Jawa diiringi oleh para muridnya sebanyak delapan ratus orang ..... “
Dalam perjalanan beliau ke Bali memberi bentuk yang baru agama Hindu yang
telah ada, seperti apa yang diuraikan dalam hikayat selanjutnya.
Kemudian beliau Maha Rsi Markandeya segera menanam sarana panca datu
sebagai penolak bala yang menyebabkan bencana terdahulu, selanjutnya
dilingkungan To Langkir beliau Maha Rsi dan pengikutnya membuat kubu-kubu dan
pura pemujaannya.
Namun demikian sebelum Maha Rsi Markandeya berada di Dieng, sebelumnya
telah ada seorang pandita pertapa di dataran tinggi tersebut seperti diceritakan;
Adanya bhisamanya beliau Sang Maha Rsi Agastya bertapa di alam Hyang, dimana
seperti disebutkan saat sekarang Dieng, seperti apa yang tertuang dalam prasasti
Dinaya, beliau Hyang Rsi Agastya mengeluarkan bhisama pada tahun saka 682,
beliau menetapkan tentang keyakinan Tri Murti, di jagat Nusantara, keyakinan Tri
Murti dimaksud adalah penyatuan keyakinan terhadap faham Siwa, faham Brahma
dan faham Waisnawa. Itu merupakan kesatuan keyakinan di Jawa, Bali dan
Nusanatara. Pada saat bersamaan beliau Sang Hyang Rsi Agastya disebutkan juga
Sira Bhatara Guru.
TANAH SUCI
MAHA RSI MARKANDEYA
Menyimak apa yang ditulis dalam bhuana tatwa Rsi Markandeya, maka
keyakinan yang dianut di Dieng ada kesamaannya dengan umat Hindu di Bali.
Kesamaan yang diyakini namun yang paling lokal adalah dengan adanya anak-anak
yang berambut gembel / gimbal, puluhan anak yang dikarunia rambut gembel,
rambut yang rapat, lengket saling menjepit tidak bisa diurai, seperti halnya rambut
pada anak-anak lainnya.
Semula sangat diyakini, bahwa fenomena rambut gembel hanya ada di Dieng,
namun kenyataannya diperoleh informasi bahwa ada daerah lain yang memiliki
anak-anak rambut gembel, yaitu di pulau Bali. Dengan adanya kenyataan tersebut
begitu pula seperti apa yang tersurat dalam Bhuana Tatwa Rsi Markandeya, bahwa
nenek moyang orang Bali berasal dari Dataran Tinggi Dieng. Begitu pula dengan
anak-anak yang berambut gembel di Wonokitri, pegunungan Bromo, yang
beragama Hindu.
Hal ini mudah ditelusuri, karena dimana masa kejayaan wangsa Sanjaya,
bahwasanya Dieng menjadi pusat pendidikan agama Hindu, terbukti adanya
peninggalan wujud bangunan yang disebut Dharmasala beserta dengan segala
perlengkapannya, merupakan lembaga pendidikan yang dikunjungi oleh para
pandita dari berbagai penjuru dunia. Dari pendidikan agama yang ditempuh,
setelah tamat mereka kembali kedaerah masing-masing, yang tentu saja karena
persentuhan itu terjadi perkawinan antara warga luar Dieng dengan masyarakat
Dieng.
Kajian dari kondisi alam dan lingkungan sangat mungkin karena terjadi banyak
peristiwa bencana alam baik di kaldera Dieng, meletusnya beberapa gunung berapi
disekitar Dieng, membuat kawasan Jawa Tengah tidak nyaman sebagai tempat
pengembangan agama. Komunitas hunian mulai tergeser ke timur, bigitu pula
pusat-pusat kerajaan Hindu pindah ke timur, seperti kerajaan Kediri, Singosari dan
Majapahit, begitu pula seperti pusat pengembangan agama Hindu, pindah ke
pegunungan Bromo (suku Tengger), pegunungan Raung (suku Raung)
Banyuwangi dan sampai akhirnya memperoleh tempat yang diyakini untuk
meningkatkan spiritual agama Hindu di Pulau Dewata (Suku Bali).
Seperti apa yang tertulis didalam buku Inilah Dieng (pesona, potensi,
misteri) oleh Hadi Supeno dkk, menyebutkan bahwa ada benang merah historis
antropolis bahkan mungkin DNA, antara orang Dieng dengan orang Hindu Bali
sangatlah mungkin.
Artinya nenek moyang orang Bali tidak lain adalah para leluhur yang ada di Dieng.
Dalam konteks spiritual, sudah semestinya orang-orang Bali tidak akan kemana-
mana sebelum melihat Dataran Tinggi Dieng, yang disebut dengan Gunung para
Dewa, atau Puncak Negeri Dewata.
Kadangkala disebutkan orang Bali yang tidak mengunjungi Dieng, perlu diragukan
ke-Baliannya, karena orang Bali sangat menghormati para leluhurnya atau tanah
leluhurnya.
Untuk itu seyogyanya bagi umat Hindu wajib untuk mengetahui, memahami serta
mengahayati asal tanah leluhur mereka, yang menyimpan berbagai legenda,
misteri dan suasana mistis.
CIPTAAN RUANG DIENG
Melihat dan mengkaji ciptaan ruang Dataran Tinggi Dieng, tempat berstana para
Dewa atau sebagai puncak negeri Dewata, dan terbayang sebuah hamparan tanah
luas sekitar 100 hektar, dimana sentralnya kompleks percandian, lalu ada asrama
tempat para cendikiawan bersenandung membaca kitab Wedha dan belajar yang
lain disebut Dharmasaba, dikanan kiri bangunan permukiman penduduk asli,
sementara disekitar pemukiman tergelar taman bunga aneka warna rupa
mengharumkan, ditepian telaga dibawah langit berkabut yang beradu dengan
aroma dupa dan kayu cendana yang terletak di kaldera gunung Dataran Tinggi
Dieng.
Seperti halnya ciptaan ruang di pulau Bali, dikenal adanya penataan ruang
untuk parhyangan (tempat pemujaan), pawongan (tempat tinggal/pemukiman)
dan palemahan (alam dan lingkungan). Bila dikaji tentang ciptaan ruang Dieng
maka hal tersebut mencerminkan wujud candi sebagai tempat pemujaan,
pemukiman perumahan penduduk dan adanya perwujudan dari kondisi alam
lingkungan (seperti gunung, telaga, goa serta hutan lindung).
DIENG BALI
Parhyangan
Pawongan
Palemahan
Berdasarkan fungsi dari candi yang ada merupakan tempat pemujaan, yaitu
tempat menghubungkan diri terhadap Hyang Pencipta, yang bertujuan untuk
menyucikan hidup ini. Pada sekitar abad ke VIII Masehi, dinasti dari wangsa
Sanjaya membangun candi di dataran tinggi Dieng untuk memuja Hyang Pencipta
dan para leluhurnya. Tempat pemuliaan itu bukan candi tunggal, namun kompleks
candi, dari bangunan utama yang mengumpul seperti kompleks candi Pandawa
dan lainnya.
Disamping dibangun kompleks candi, juga dilengkapi dengan bangunan
dharmasala dan bangunan pelengkap lainnya.
KEPALA/ATAP
SWAH LOKA/DUNIA
DEWA, SANG PENCIPTA
TUBUH/BADAN
Pesona candi di Dieng, tidak saja menampilkan perwujudan yang eksotis dan
misterinya, tapi dari sisi lain dari candi Dieng memberi bukti bahwa jauh pada
masa lalu (abad ke VIII) ada peradaban manusia yang telah maju di kaldera
Gunung Dieng, kemajuan itu tidak saja untuk saat ini, bahkan jauh melampaui
jamannya.
Candi Dieng bentuknya sederhana, namun barada pada lokasi yang sangat
spesifik, pada sebuah lembah di dataran tinggi, antara kompleks candi dengan
bentuk alam dan panorama merupakan satu kesatuan. Dan inilah yang membuat
candi Dieng menjadi unik. Ketuaan candi ini bisa dilihat dari arsitekturnya yang
mirip dengan candi-candi Hindu di India, rupanya para cendikianwan Hindu dari
India, bagitu mendarat di pantai utara sekitar Pekalongan, langsung menuju
dataran Tinggi Dieng, seperti Maha Rsi Markandeya yang datang dari dataran
Hindu India.
Candi di India Candi Ajuna di Dieng
Situs peninggalan purbakala itu tidak hanya candi yang selama ini dikenal di
dataran Tinggi Dieng, tetapi juga lingkungan alam sekitarnya, seperti bukit,
lembah, didalam hutan, maupun kebun-kebun dan dimana-mana masih banyak
diketemukan berserakan artefah dan situs yang tidak terbilang jumlahnya. Hal itu
menunjukkan bahwa ada kehidupan manusia yang mendampingi keberadaan
candi-candi, dengan adanya banyak diketemukan barang-barang pecah belah,
seperti periuk, gentong dan perlengkapan dapur untuk menunjang kehidupan
sehari-harinya. Hal itu pada saat kini banyak dapat diketemukan tersimpan di
Museum Kailasa, adalah bukti betapa Dieng dimasa lalu penuh tebaran artefak dan
bukti-bukti kehidupan manusia yang tidak terhingga jumlahnya, tidak terhingga
nilainya dan juga tidak saja terhingga misterisnya.
Lembah Dieng
Keberadaan dataran Tinggi Dieng dengan adanya gunung, air, kabut, belerang,
embun iklim yang dingin, serta keseimbangan kontur tanah sekitar dataran kawah
gunung Dieng, menampilkan wujud arsitektur ditanah pegunungan dan karena
penggunaan bahan yang tidak bisa bertahan lama, maka tidak banyak
peninggalan-peninggalan dari unsur bangunan tempat tinggal dijumpai, kecuali
lantai bangunan dan perlengkapan kehidupan lainnya. Dilain pihak ada bangunan
baru seperti, pendopo, yaitu gedung Soeharto – Whitlem, patut diketahui yang
banyak membuat catatan sejarah, dan misteri yang terselubung didalamnya.
Didalam bangunaan pendopo tersebut pernah diadakan pertemuan Presiden
Soeharto dengan Menteri Australia (Mr.Whitlem) saat pembahasan Timor Timur
yang melahirkan Amandemen Wonosobo.
GAMBAR DENAH
PENDOPO
SOEHARTA-WHITLEM
1 3 5
4
2
P
Dari keberadaan candi untuk pemujaan dan pemukiman sebagai tempat tinggal,
perwujudannya sangat ditentukan oleh kondisi alam sekitarnya. Dalam siluet relief
panjang deretan pegunungan, gugusan bukit, lekukan jurang, lembah ngarai,
lereng terasering, dataran tinggi/savana, lahan pertanian/perkebunan
menghadirkan keindahannya sendiri. Dari deretan gunung dan bukit,
menghadirkan panorama matahari terbit (sun rise) dan matahari terbenam (sun
set) yang cukup menawan.
Adapun potensi alam yang cukup menawan di Dataran Tinggi Dieng adalah
seperti :
Gunung
1. Gunung Perau (2.565 mtr DPL)
2. Gunung Kendil (Gunung Panci)
3. Gunung Pakuwaja
4. Gunung Pujis (Gunung Tumpeng)
5. Gunung Pangonan (2.308 mtr DPL)
6. Gunung Sipandu (2.245 mtr DPL)
7. Gunung Nagasari (2.154 DPL)
8. Gunung Petarangan
9. Gunung Jurang Grawah (2.245 mtr DPL)
10. Gunung Gajah Mungkur (2.101 mtr DPL)
11. Gunung Pengamun-amun (2.175 mtr DPL)
Bukit
1. Bukit Sikunir
Danau
1. Danau Sembungan
2. Danau Cebong
3. Danau Bale Kambang
Kawah
1. Kawah Sikidang
2. Kawah Sileri
3. Kawah Candradimuka
4. Kawah Timbang
Telaga
1. Telaga Sewiwi
2. Telaga Mudara
3. Telaga Dringo
4. Telaga Sumurup
5. Telaga Nirmala
6. Telaga Warna
7. Telaga Pengilon (Telaga Cermin)
Goa
1. Goa Semar
2. Goa Jaran
3. Goa Pengantin
4. Goa Sumur
5. Goa Jimat
Sumur-sumur Tua
1. Sumur Jalatunda
2. Sendang Sedayu
3. Sendang Maerokoco
4. Sendang Buana
Tuk Bima Lukar, mata air purba dengan mistis yang masih melekat hingga
sekarang, adalah mitos yang menyebutkan mata air dari Tuk Bima Lukar,
bisa mambuat awet muda dengan membasuh muka atau mandi dengan air
di Tuk tersebut.
Curug
1. Curug Sirawe
2. Curug Sikarim
3. Gangsiran Aswatama (sebuah lorong bawah tanah/terowongan terbuat dari
batu untuk mengalirkan air danau Bale Kambang yang berada dikawasan
Candi Dieng)
Kondisi geografis dengan struktur lahan yang berbukit dengan teras ladang /
perkebunan yang dipadukan dengan hutan lindung serta sumber mata air yang
cukup bertebaran di dataran puncak Gunung Dieng, hal itu menunjukkan peristiwa
adanya kehidupan peradaban manusia, dan itupun telah terjadi berabad-abad lalu,
yang mana puncak kejayaannya pada abad ke 7 dan 8 dengan dibangunnya
beberapa candi untuk pemujaan leluhur dan para Dewa yang berstana di puncak-
puncak Gunung Dieng.
Flora
Keberadaan kawah cukup banyak dan masih aktif di Dieng, dengan adanya
limpahan zat-zat dalam aliran air memberikan kesuburan pada hutan, ladang dan
perkebunan. Adapun jenis flora yang ada :
- kentang : tanaman semusim yang menjalar
- kubis : tanaman sayur yang dikenal sejak dulu
- wortel : mempunyai kualitas yang baik, karbohidrat yang besar
- kacang kapri : tumbuhan sayur buah, bertipe polong
- cabe Dieng, pepaya Dieng, carica, purwaceng, kacang besar, dan hutan
lindung pada pegunungan yang mengitari Dieng.
Disamping adanya jenis flora tersebut, juga ada tanaman langka yang tumbuh di
Dieng, seperti :
Carica yang masuk dalam golongan famili pepaya yang mengandung enzim
papain, yaitu enzim yang berfungsi mempercepat proses protein.
Kacang Dieng
Kacang Dieng juga disebut kacang babi, jenis kacang-kacangan yang hanya
tumbuh dengan baik di Dataran Tinggi Dieng dan mempunyai rasa yang
khas dengan harga yang terjangkau.
Purwaceng
Purwaceng tumbuhan langka yang pertama kali ditemukan di pegunungan
Alpen Swiss, tanaman ini sering diasosiasikan sebagai Viagra van Java. Di
Korea punya ginseng dan di Dieng ada Purwaceng.
Bambu Cemethi
Tumbuh ditengah padang savana pegunungan Pangonan, pohon ini dalam
kasanah budaya dipercaya mempunyai aura magis. Bila seseorang dipuku
dengan bambu cemethi dapat langsung kesurupan, sehingga pohon ini
banyak digunakan oleh para pelaku kesenian tradisional ebeg.
Bambu Pringgodani
Bambu yang namanya diambil dari nama sebuah tempat dalam cerita
Mahabrata yaitu tempat tinggal Gatotkaca yang dikenal dengan nama
Pringgodani, kata pering artinya bambu, gondo artinya angkara murka dan
ndani yang artinya menghapus, secara lengkap diartikan bambu untuk
menghapus keangkara murkaan.
Bunga Kantong Semar
Wujud kantong terbuka lebar menghadap keatas, menjadi ciri khas dari
tanaman ini yang berfungsi menangkap serangga untuk dimakan.
Fauna
Keberadaan Dataran Tinggi Dieng dengan kondisi dan potensi alam yang
mendukung kehidupan semua mahluk yang ada, apakah itu manusia, binatang
berkaki empat, binatang berkaki dua, binatang yang hidup di air, tumbuh-
tumbuhan (berbagai jenis sayur-sayuran) serta berbagai jenis rumput-rumputan
untuk makanan ternak dan juga jenis bambu yang ada satu-satunya di negeri
Dataran Tinggi Dieng.
Dari peninggalan yang ada di Dataran Tinggi Dieng, seperti kompleks Candi,
peninggalan artefak disepanjang sungai, serta kelengkapan paralatan dapur
dipastikan adanya kehidupan manusia pada jamannya.
Dengan adanya kehidupan manusia, tentu mereka memeluk agama atau keyakinan
lainnya untuk mensucikan kehidupannya, apakah dengan memuja alam
lingkungan, para leluhur atau para dewa yang diyakini memberikan tuntunan dan k
eselamatan dalam hidupnya.
Agama :
Adanya peninggalan candi-candi yang salah satu pusatnya di candi Arjuna, dapat
dikatakan bahwa pada saat abad ke 7 dan 8, masyarakat Dieng memeluk agama
Hindu, sebagai candi tempat pemujaannya. Didalam perkembangan selanjutnya
adanya perpindahan penduduk dengan membangun, agama yang dianut maka
terjadi perubahan keyakinan, namun demikian candi tetap dilestarikan sebagai
benda peninggalan dari peradaban manusia sebelumnya.
`
Adat :
Dari kehidupan manusia sebelumnya yang memeluk agama atau keyakinan yang
dianut, tentu dalam kehidupan sehari-hari dituntun pula oleh adat-istiadat
masyarakat untuk mendisiplinkan berkehidupan bermasyarakat.
Adat-istiadat masyarakat Dieng, bisa dilihat dari tata krama kehidupannya, cara
berbusana, acara pencukuran anak rambut gembel yang merupakan perpaduan
antara agama, adat dan budaya kehidupan masyarakat.
Buda ya :
Untuk menghaluskan hidup ini, masyarakat Dieng mengenal budaya yang dapat
dilaksanakan sebagai perwujudan pelaksanaan kehidupan beragama yang
dilakukan berdasarkan adat istiadat setempat. Dataran Tinggi Dieng menyimpan
banyak kekayaan seni dan budaya yang mempesona, yang dapat dikatakan turut
mewarnai khasanah budaya Nusantara saat ini.
Bila ditilik dari kehidupan masyarakat saat ini, apalagi ikut menunjang keberadaan
kunjungan wisata, baik domestik maupun internasional, maka pemerintah dan
masyarakat terus berupaya untuk melestarikan agar potensi dan keunikan budaya
itu tidak memudar apalagi sampai punah. Adapun seni budaya yang masih ada dan
tumbuh subur di Negerinya para Dewa itu adalah :
1. Pencukuran anak rambut gembel
2. Suran (Peringatan tiap tanggal 1 Suro)
3. Tari Rampah Yakso Pringgodani
4. Tari Topeng Ireng (Percintaan Raden Panji dengan Sekartaji)
5. Tari Topeng Dieng / Lengger
6. Rodad (kesenian tradisi dikalangan umat Islam)
7. Tari Pencak Silat
Dengan adanya warisan budaya tersebut, keberadaan Dataran Tinggi Dieng, terus
mendapatkan kunjungan apakah bertujuan untuk kunjungan ke candi sebagai
tanah leluhur mereka, mengenal lebih jauh adat dan budaya masyarakat Dieng.
PARIWISATA
Potensi yang dimiliki dataran tinggi tanah suci Dieng, baik lingkungan alam,
budaya dan masyarakat Dieng, mempunyai daya tarik tersendiri untuk para wisata
lokal maupun wisata mancanegara. Kedatangan para wisata ke Dieng tentunya
akan mendapatkan kenikmatan baik secara jasmani maupun rohani, seperti apa
yang tertuang dalam kamus bahasa Perancis, Flammarion yang dimaksud dengan
wisata : “Tourisme, action de voyager pour son agrement” yang artinya suatu
gerakan untuk bepergian untuk kenyamanan. Jadi para wisata mempunyai
kegiatan bepergian untuk mendapatkan kenyamanan, sehingga begitu mereka
kembali akan merasa lebih segar baik secara jasmani maupun rohani.
Pada jaman dahulu sekitar abad ke 7 dan 8, bila disebutkan sudah ada
perpindahan/bepergian kelain tempat, pada saat itu disebutkan para wisata dari
cendekiawan yang diiringi oleh para murid atau pengiring datang di tanah
Jawa/Swarnadwipa, kemudian berlabuh disekitar Pekalongan saat ini, kemudian
melanjutkan perjalanannya menuju ketempat yang tinggi atau bukit yang dianggap
tempat berstananya para Dewa/pencipta alam semesta, dan saat itu yang dituju
Dataran Tinggi Dieng (2.093 meter DPL). Pada saat kedatangannya itu diawali
dengan tinggal di goa-goa yang dekat dengan sumber air, kemudian dilanjutkan
membuat gubuk-gubuk dan candi tempat pemujaan mohon keselamatan.
Para wisata yang datang selanjutnya adalah para penjajah yang menguasai
Nusantara ini, akhirnya setelah jaman kemerdekaan banyak datang para wisata
lokal dan asing yang datang ke dataran Tinggi Dieng. Masyarakat selanjutnya
membuat sarana penginapan dan tempat makan seadanya untuk memberikan
pelayanan kepada kaum wisata tersebut. Kedatangan para wisata ke Dataran
Tinggi Dieng, banyak yang bertujuan mengunjungi tanah leluhur mereka,
menikmati keindahan alam, kuliner, budaya serta peninggalan warisan leluhur
seperti candi dan sarana penunjang lainnya.
Sektor pariwisata di Dieng telah tumbuh dan berkembang menjadi suatu industri
yang tidak sedikit menghasilkan pendapatan bagi daerah dan masyarakat
setempat. Pembangunan sektor pariwisata di Dieng tidak terlepas dari usaha
pemerintah dan masyarakat setempat dalam mengambil langkah-langkah
kebijakan pembangunan pariwisata. Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk
menumbuh kembangkan industri pariwisata Dieng, diantaranya pengadaan sarana
akomodasi yang memadai seperti home stay, hotel dan villa yang dikelola
masyarakat, menggencarkan promosi, kemudahan perjalanan, meningkatkan
sarana dan prasarana lingkungan dan terus mengupayakan inovasi produk-produk
wisata, seperti pembuatan souvenir, pakaian lokal, pertunjukan budaya, serta
melaksanakan event Dieng Culture Festival (DCF) yang tahun ini kegiatan DCF
telah memasuki tahun ke VII.
KULINER
Kondisi lingkungan di Dataran Tinggi Dieng, disampaing suhu udara yang
dingin (20-22 derajat celcius) juga topografie yang ada, dengan adanya bukit serta
pegunungan yang terjal, maka dibutuhkan stamina tubuh yang baik dengan
memakan berbagai jenis makanan yang ada setempat. Disamping itu keberadaan
Dataran Tinggi Dieng cukup tinggi (2.093 meter DPL) dan jauh dari pesisir, maka
makanan yang paling disukai tak lain dan bukan adalah ikan asin, atau mereka
menyebutnya Jeuwi.
Pada waktu hari pasaran yaitu hari paing, berderet pedagang ikan tongkol dan ikan
asin di pasar Kecamatan Batur yang didatangkan dari Pekalongan, hampir setiap
rumah tangga ada stock/cadangan ikan asin. Paduan kuliner yang menawan
adalah kombinasi nasi jagung, sayur daun talas (lompong), ikan asin sepat atau
tongkol dan sambal terasi. Hanya saja pada saat pesta hajatan, ikan asin tidak
menjadi menu utama.
Ada beberapa jenis kuliner khas di Dieng adalah :
1. Tempe Kemul
Tempe yang diolah dengan tepung, diberi seledri kemudian digoreng, pada
saat makan untuk rasa pedas
ambilah lalapan berupa cabe rawit
2. Mie Ongklok
Mie kuah yang diisi sayur-sayuran dan daging sesuai permintaan, dimakan
saat panas, cukup melawan hawa
dingin pegunungan Dieng
4. Soto Batur
Soto Batur
yang dari
kaldu dan
sayuran,
daging
yang
paling sering digunakan adalah daging sapi, soto ini memiliki rasa yang khas
jika dibandingkan dengan menu sejenis dari berbagai daerah di Indonesia,
dengan kandungan yang berbeda-beda.
Disamping kuliner tersebut diatas, masih ada kuliner pelengkap lainnya banyak
dijumpai dikaki lima, warung dan restaurant, seperti :
- Kentang goreng
- Pisang goreng
- Tahu dan tempe goreng
- Jamur goreng (krispy)
- Serta masakan lainnya, nasi goreng, cap cay, sate, mie goreng dan kue
pasar tidak ketinggalan menyertai minuman hangat seperti teh, kopi,
purwaceng, wedang jahe dan lain-lain.
Kesemua dari kuliner tersebut dapat diassumsikan untuk tubuh, sehingga dapat
melindungi kondisi tubuh dari cuaca dataran tinggi Dieng, disamping menggunakan
pakaian yang dapat mempertahankan suhu tubuh tetap normal.
Dieng adalah dataran tanah tinggi di wilayah Jawa Tengah, yang berada di wilayah
Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Situasi kawasan Dieng yang
berada di kaldera/cekungan gunung Dieng, dikelilingi oleh gunung dan bukit
dengan cuaca pegunungan yang dingin menciptakan suasana yang misteri,
religious dan kultural yang mendukung, menampilkan aura mistis magis spiritual
kebatinannya.
Kompleks candi yang dibangun di Dieng adalah jenis candi Siwa, candi yang dalam
Agama Hindu dikenal sebagai candi untuk memuliakan kepada dewa-dewa Hindu.
Dewa Siwa dikenal dengan dewa/sinar
suci dari Tuhan Yang Maha Esa,
mempunyai peranan sebagai pelebur,
jadi beliau berfungsi untuk melebur dan
mengembalikan segala sesuatu yang ada
dialam marcapada ini. Didalam hikayat
pewayangan berkaitan dengan alam para
dewa yang berstana di kahyangan,
disebutkan bahwa Dewa Siwa yang
dikenal dengan sebutan Wismaya,
bersaudara dengan Manikmaya, untuk menuntun kehidupan di alam marcapada
ini, maka oleh Bhatara Guru ditugaskan turun ke marcapada dengan sebutan
Tualen/Semar.
Posisi Candi Puntadewa ada di sisi timur, arah matahari terbit/hulu, sedangkan
candi yang lain adalah Candi
Arjuna dan Candi Srikandi arah
matahari terbenam/hilir. Candi
Arjuna dalam ceritra perang
Bratayudha, Arjuna banyak tampil
dalam medan perang, sebagai
sais/kusir kereta adalah Bhatara
Kresna (awatara Dewa Wisnu)
berstana di Candi Dwarawati
yang berada disisi timur laut,
yaitu sisi yang paling utama dan berada di kaki Gunung Prau/Perahu. Sedangkan
Candi Srikandi dipuja karena dalam ceritra Mahabrata mempunyai peranan beradu
kedigjayaan dengan Bhagawan Maha Rsi Bisma, yang hanya bisa dikalahkan oleh
Srikandi, karena Rsi
Bisma mengingkari
untuk menjadikan istri
saat beliau
memenangkan
swayembara pada
salah satu kerajaan,
karena Rsi Bisma
menjalankan kehidupan
sebagai Brahmacari,
yaitu tidak akan
beristrikan sepanjang
hidupnya. Namun
demikian Rsi Bisma mengingkari janjinya pada saat mengikuti swayembara
tersebut, kemudian Srikandi
berjanji akan
menjemputnya saat perang
dasyat/perang Mahabrata
terjadi, saat itu Rsi Bisma
gugur dan kembali ke
swarga loka.
Jadi kompleks Candi Arjuna betul-betul merupakan inti dari candi yang ada di
kaldera Gunung Dieng, yang kemudian dikelilingi oleh candi lainnya, seperti Candi
Gatotkaca dan Candi Setyaki, di alam madya (madyaning alam kaldera Dieng).
Manum demikian dari inspirasi terhadap candi lainnya yang ada kemungkinan
candi lainnya, seperti Candi Nakula dan Candi Sahadewa berada di alam madya.
Diceritrakan bahwa tempat pemujaan Candi Gatotkaca dan Setyaki, mengingatkan
akan kisah gugurnya Gatotkaca atas petunjuk Bhatara Kresna, bahwa Karna yang
maha sakti dengan tombak yang merupakan pemberian Bhatara Surya tidak bisa
dielakkan kalau tidak dilawan oleh Gatotkaca.
Akhir dari kehidupan Pandawa Lima mencoba untuk menapak perjalanan hidupnya
ke swarga loka, perjalanan dilakukan bersama dengan Dewi Sembadra, dengan
permohon doa restu kepada Bhatara Kresna di kerajaan Dwarawati, mengawali
perjalanannya Pandawa Lima disertai oleh seekor anjing berwarna hitam. Dalam
perjalanan menapak Gunung Himalaya sumber sastra di tanah suci India, diawali
dengan gugurnya Dewa Sembadra, yang dalam hidupnya selalu mengagungkan
kecantikkannya, untuk itu janganlah merasa cantik atau ganteng dalam kehidupan
ini, yang kadangkala menjadi musuh dalam diri kita.
PANCA PANDAWA
(LIMA PUTRA PANDAWA)
EPOS MAHABRATA
Diceritakan dalam Epos Mahabrata (warga Bharata yang utama). Panca Pandawa
(lima putra keturunan Pandu, dalam Astha Dasa Parwa (18, delapan belas Episode
ceritra).
Candi Puntadewa Dharmawangsa
①
Putra pertama dari Panca Pendawa adalah Dharmawangsa, yang jujur, adil dan
bijaksana terhadap adik-adiknya dan rakyatnya.
Putra kedua, yang berbadan tegap dan kuat, berani membela saudaranya dan
negara/kerajaan Ayodya.
Nakula Sahadewa
④
dan
Putra ketiga dan keempat, saudara kembar dari Panca Pendawa, yang selalu taat
kepada saudaranya.
Putra Bima dari Istri Raksasa, Dewi Arimbi, yang gugur dalam perang Bratayuda
oleh Karna dengan senjata Konta yang maha sakti.
Selanjutnya dalam perjalanan tersebut diikuti dengan gugurnya Nakula dan
Sahadewa, yang dalam hidupnya merasa yang terpintar dan terganteng/bagus,
sehingga kembali menjadi musuh bagi diri sendiri. Gugurnya Arjuna dalam
perjalanan menuju swarga loka, juga diakibatkan oleh keangkuhannya atas
kesaktiannya pada laga pertempuran Perang Bratayudha. Keberadaan Bima yang
selalu merasa paling kuat, mengantarkan gugur setelah gugurnya Arjuna, dari
empat saudara dari Pandawa Lima yang telah gugur, begitu pula gugurnya Dewi
Sembadra paling awal yang merupakan istri dari Pandawa Lima, akhirnya
Puntadewa/Dharmawangsa melanjutkan perjalanannya penapak pegunungan
Himalaya menuju puncaknya disertai/didampingi seekor anjing hitam untuk kearah
tujuannya menuju swarga loka.
Menyimak dari hikayat tersebut, bila dikaitkan dengan keberadaan situs candi di
kaldera Gunung Dieng, yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, yang dikelilingi oleh
bukit dan gunung, lengkap sudah memberikan gambaran dari kompleks candi yang
ada, dengan melakukan pemujaan pada candi yang ada untuk kesucian diri melalui
Candi Pandawa Lima, selanjutnya mohon anugrah dan tuntunan di Candi
Dwarawati yang merupakan stana dari Kresna, yang diyakini dari awatara Bhatara
Wisnu, untuk menapak/menaiki Gunung Prau/Gunung Seribu Bukit (2.585 mtr DPL)
disebelah timur laut, yang merupakan gunung tertinggi dari gunung yang ada di
Dataran Tinggi Dieng.
Gunung Prau atau Gunung Perahu diyakini sebagai sarana untuk dapat
melanjutkan perjalanan suci menuju ke alam Swarga Loka oleh umat Hindu.
Jadi lengkaplah sudah inspirasi adanya potensi di kaldera Gunung Dieng, yang
merupakan dataran tinggi sebagai surga nyata, dengan adanya kompleks candi
dikelilingi oleh sendang, telaga, curug, flora, fauna, goa, bukit dan alam
pegunungan yang memberikan aura magis, mistis, ditunjang oleh kondisi geologis,
kosmologis, antropologis dan archeologis yang patut dikunjungi, diketahui,
dipahami, dihayati keberadaannya.
GUNUNG
UTARA
Candi Dwarawati
Utama
(Depan)
N M U
LAUT
SELATAN
KIDUL
Matur Suwun
Mbah Rusmanto
(Goa Semar)
Mbah Naryono
(Candi Dwarawati & Arjuna)
Mbah Kasmawi
(Goa Semar)
Bapak Yos Sudaryo
(Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
Kabupaten Banjarnegara)
Atas Informasi & Bantuannya
selama berada di Dieng, Jateng
RIWAYAT PENULIS