Anda di halaman 1dari 20

Perkembangan Siwa Buddha pada masa Bali Kuno

Ida Pedanda Gede Buruan Manuaba


Griya Sanding Pejeng Tampaksiring
Siwa buddha pada masa Bali kuno dilihat berdasarkan:

1. peninggalan-peninggalan sejarah 2. cerita bubuk sah gagak aking;

3. Babad perjalanan Danghyang Nirartha; 4. kakawin sutasoma


1. Peninggalan sejarah
Stupa Kepingan tanah liat di Desa Pejeng dan Bedulu

Peninggalan stupa berupa kepingan tanah liat ini ditulis dengan huruf
Sidhimantraka/pradewanegari yang memuat mantram buddha tathagata yang
disebut Ye Te mantram. Mantra sejenis juga ditemukan di atas pintu candi Kalasan (di
Jawa Tengah) yang berasal dari abad VIII (778 Masehi).
Berdasarkan kesamaan itu, diduga peninggalan Buddha yang ditemukan di Pejeng-
Bedulu ini berasal dari abad ke VIII Masehi .

Teks dalam peninggalan itu bunyinya sebagai berikut.


“ye dharma hetu-prabhawa hetun tesan tathagato hyawadat
tesan ca yo nirodka evan wadi mahasra manah”

Artinya :

“Keadaan tentang sebab-sebab kejadian itu, sudah diterangkan oleh


tathagata (Buddha), tuan mahatapa itu telah menerangkan juga apa
yang harus diperbuat orang supaya dapat menghilangkan sebab-sebab
itu”. (Goris, 1948)
Stupa kecil dari tanah liat.
Stupa Kepingan tanah liat di Desa Pejeng dan Bedulu

Di Pura Mas Ketel Desa Pejeng,KecamatanTampaksiring


tersimpan batu padas berbentuk silinder dengan lubang
berdiameter 12 cm di bagian tengahnya, di keempat sisi
batu terdapat relief dhyana budha dengan masing-masing
posisi mudra.

Di pura Goa gajah tepatnya di ceruk sebelah selatan


ditemukan 2 arca budha dari batu andesit berupa dhyana
budha amithaba dan dhyana budha amoghasidhi yang
dilihat dari posisi mudra

Arca Dhyani Budha ditemukan juga di Pura Pegulingan


yang terletak di Desa Basangambu, Kecamatan
Tampaksiring. Pura ini berada di tengah persawahan, di
sebelah Sungai Pakerisan dengan tebing sangat curam.
Terdapat juga 4 arca dhyana budha.
Konsep panca Tathagata (5 sikap semadi budha menurut aliran vajrayana)

1. relief Dhyani Budha Amithaba, dengan sikap dhyana mudra menempati arah barat,
2. relief Dhyani Budha Amoghasidhi, dengansikap abhaya mudra menempati arah utara
3. relief Dhyani Budha Aksobhya, dengan sikap bhumisparsa mudra, menempati arah timur,
4.relief Dhyani Budha Ratnasambhawa, dengan sikap wara mudra, menempati arah selatan.
5. Wairocana, dengan sikap dharmacakra mudra, menempati arah tengah.
Kelimanya merupakan pancaran dari Adibudha yang menempati penjuru mata angin, arca
Dhyani Budha digambarkan duduk dalam sikap padmasana dengan mengenakan pakaian sangat
sederhana seperti seorang bhiksu. (oka astawa, 2014)

Sikap mudra wairocana. Sikap mudra aksobya.


Panca tathagata

Sumber : https://sankharkeologi.blogspot.com/
Arca Siwa
Selanjutnya keberadaan ajaran Siwa di Bali juga
ditemukan di Bedulu yaitu di pura Gua Gajah dan
disekitarnya ditemukan arca Siwa berupa lingga dan
Ganesa, juga di pejeng di pura Galang Sanja.
Prasasti Sukawana 882 Masehi,
Penyatuan Siwa Buddha dalam prasasti Sukawana,
dengan ditemukan kata bhiksu untuk menyebutkan
Siwa, sebagaimana kita kitahui kata bhiksu
umumnya digunakan oleh paham Buddha. Dari sini
juga muncul sebutan Dang Acarya Buddha dan Dang
Acarya Siwa, yang sebelumnya Dang Upadyaya
Buddha untuk Pendeta Buddha dan Dang Acarya
untuk sebutan Pendeta Siwa, yang akhirnya hanya
mengguna sebutan Dang Acarya baik Siwa maupun
Buda.
Isi prasasti sukawana IA yang membahas keberaadan bhiksu sebagai berikut :

cintamani mmal tanyada husir yya anak atar jalan katba kadahulu, tua hetu syuruhku senāpati danda kumpi
marodaya me bhikṣu çiwakangçi
kebun bukit Cintamani, tidak ada tempat bagi orang-orang yang berjalan hilir mudik. Itulah sebabnya aku suruh
Senapati Danda yang bernama Kumpi Mardaya dan Bhiksu Siwakangsitan

nta, çiwanirmmala, çiwaprajñā, banguněn partapānān satra di kathan buru, çimayangña hangga tingkad
karuh, hangga puhpuhan kadya, angga rua kangin
(Bhiksu) Siwanirmala, Bhiksu Siwa Prajna, agar membangun pertapaan (dan) pesanggrahan di daerah
perburuan. Batas-batasnya sampai Tingkad bagian barat, sampai di Puhpuhan bagian utara, sampai di Rua
bagian timur,
hangga tukad ye kalod, anada tua bhiksu, grama musirang ya marumah ditu, tani kabakatěn laku
langkah, kayu tringtihing tanggung yathākŗtya bsar sěnhi
sampai tukad Ye bagian utara. Apabila ada di sana Bhiksu, orang yang telah berkeluarga, dating ia
menetap di sana, tidak dikenakan kewajiban memikul kayu, bamboo, pekerjaan besar kecil,

ņung mās māsaka 1 partyakşuña kupang 1 pabharu di tapa haji kupang 2 partyakşuña kupang 1
ana uparata ta anak marumah ditu, bhikşu angça sadāyā (dya)
ña, suddha ganitriña mas mā 2 dihadiri, ana grama ya, angça sadāyā(dya)ña, angça krāngan,
marburuktanahěn, ya mās māsaka 4 dihadiri, a
pasang gunung (sejenis pungutan) 1 masaka mas, (kepada) pengawas 1 kupang pabharu (sejenis
pungutan) kepada tapahaji 2 kupang, pengawas 1 kupang. Apabila ada meninggal orang yang
berumah di sana, Bhiksu yang sudah berketurunan
Bhiksu yang tidak kawin dibiayai masing-masing 2 masaka mas, apabila mereka sudah
berkeluarga, yang sudah beranak, kawin tanpa anak, untuk biaya penguburannya masing-masing 4
masaka mas

Sumber : prasasti sukawana balai arkeologi denpasar


Isi pokok prasasti berkaitan dengan perintah raja kepada para pejabat unutk
membangun pertapaan di daerah perbukitan Cintamani(kintamani). Keberadaan
pertapaan ini ditentukan dengan jelas pada keempat arah mata angin mirip konsep
tathagata dalam paham budha

Bhiksu yang tinggal di pertapaan dibebaskan dari kewajiban gotong-royong yang berat
seperti memikul kayu, bambu, dan pekerjaan yang sejenis. Konsep ini masih ada
hingga saat ini diperuntukkan untuk orang yang disucikan.

Selain itu ditetapkan juga kewajiban iuran, pajak yang berkaitan dengan mata
pencaharian masyarakat.
Diatur pula pembagian harta kekayaan bagi mereka yang putus keturunan,
Sawah ladang, kebun diserahkan sebagai pelaba pura.
Harta benda seperti alat-alat rumah tangga, uang, ternak, dan yang lainnya diserahkan
kepada bangunan suci Hyang Api ataupun ke pertapaan untuk biaya keperluan sehari-
hari.
2. cerita bubuk sah gagak aking

penyatuan ajaran Siwa dan Buddha


ditemukan dalam cerita Bubuk Sah dan
Gagak Aking, yang masing-masing
melakukan tapa yoga semadi pada sebuah
gunung dengan pantangan brata yang
berbeda.

Sang Gagak Aking bertapa di bagian puncak


gunung dengan brata hanya makan bauh-
buah, daun-daunan, dan air embun/damuh,
sedangkan Sang Bubuk Sah bertapa di
pangkal gunung dengan sarwa baksa; Pada
akhirnya dengan brata yang berbeda itu
sama-sama mendapatkan sorga, yang
diantar oleh seekor harimau utusan Betara
Siwa menuju sorga.

Relief Candi penataran suwawana, candi wetan


3. Babad perjalanan Danghyang Nirartha
Dari babad Nirartha Penyataun ajaran Siwa dengan ajaran Buddha juga ditemukan saat
perjalanan Nirartha sejak jejaka hingga sampai ke Bali, antara lain:
saat perkawinan Nirartha dengan Dewi Komala dengan status beliau nyentana(sebagai
anak angkat) dengan 3 syarat:
1. Sebagai pewaris pasraman(paham Siwa) Deha dengan status nyentana;
2. Nirartha bersedia meninggalkan ajaran buddha;
3. Menjadi keturunan bregu panganut, penurus ajaran Siwa Sidanta.

Penyebutan Dwijendra pada Danghyang Nirartha, setelah berhasil mempelajari ajaran


Siwa dan Buddha

.
Saat Danghyang Nirartha melakukan perjalanan di Bali, ditemukan penyatuan
Siwa Buddha, salah satu diantaranya saat mendampingi raja Dalem
Waturenggung mengadakan upacara pemujaan homa , beliau menyarankan
agar mencari pendeta Buddha, lalu beliau mengutus menjemput Danghyang
Angsoka ke Jawa, namun kerana di Jawa sedang terjadi gejolak, maka
Danghyang Angsoka mengutus anaknya yaitu Danghyang Astapaka ke Bali.
saat itu upacara diselesaikan bertiga yaitu Danghyang Dwijendra, Danghyang
Astapaka dan raja rsi Ida Dalem Waturenggong. Sejak saat itu Ida Dalem
Waturenggong mengangkat Danghyang Nirarta dan Danghyang Astapaka
sebagai pendamping/bagawanta kerajaan sebagai perwakilan paham siwa
dan budha di bali.

Pendeta buda dan siwa dalam upacara agama di bali hingga hingga saat ini
pesamuan di pura samuan Tiga Bedulu
saat pasamuan penyatuan beberapa sekta di pura Samuantiga Bedulu ajaran Siwa Buddha
lebur menyatu menjadi ajaran Trimurti, dengan memasukkan semua sekta yang ada; dari
pasamuan ini pula munculnya desa pakraman, kayangan tiga, kemulan rong tiga.
4. kakawin sutasoma

“Bhinneka Tunggal Ika”


sebagai berbeda tapi tetap satu

“ekam sat, wiprabahuda wadanti”


“tan hana dharma mangrwa”
dalam konteks siwa budha diartikan sebagai satu kesatuan, berbeda penyebutan
namun kebenaran tidak ada yang mendua.

“Mangkang Jainatwan kalawan çiwatatwa tunggal”


“Karena Buddha dan siwa itu tunggal”

Padanda Buddha disebut kurang cakap bila tidak memahami ketatwaning Padanda Siwa, juga
Padanda Siwa disebut kurang cakap bila tidak memahami ketatwaning Padanda Buddha.
Penyatuan Siwa Buddha lainnya juga sejak dahulu telah ada Griya Siwa dan Griya
Buddha di bali, adapun nama nama griyanya, antara lain:

Griya siwa Griya budha


• Griya binor • Griya Canggini
• Griya lokeswara • Griya Dharmaria
• Griya ratan kuncara • Griya Gua gajah
• Griya surya manakala • Gria Nalanda;
• Griya udaya laya • Gria Kusala;
• Griya air gajah • Griya Kuti anyar
• Griya air garuda • Griya Waransi
• Griya dharma anyar • Griya Winara bumi
• Griya Budaha
• Griya Buruan(durga Kutri)
kesimpulan

• Berdasarkan uraian ini didapat bahwa paham siwa dan buda sudah dikenal di bali
pada abad VIII. Selanjutnya cikal bakal penyatuan ajaran Siwa Buddha di bali
berawal dari kemampuan Danghyang Nirartha dengan cepat dapat menguasai
secara baik sempurna kedua ajaran tersebut. Hal ini tampak dalam perjalanan
Danghyang Nirartha sejak jejaka sampai di Bali dan juga tercermin dari upacara
homa pada masa keemasan kerajaan gelgel yang melibatkan pendeta siwa dan
buda.
• Saat ini penyatuan itu masih tetap dipelihara dengan baik, sehingga dalam setiap
ada upacara dalam agama Hindu terutama upacara besar selalu melibatkan
Pendeta Siwa dan Pendeta Buddha.
• Suarbhawa, I gusti.,dkk.2013. prasasti sukawana, desa sukawati kecamatan kintamani bangli. Balai
arkeologi denpasar
• Linggih, I Nyoman. 2015. Siva-buddha di Pura Pegulingan. Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
• Astawa, A A Gde Oka.2013. arca dan relief dhyani Budha di Kabupaten Gianyar. Balai Arkeologi Denpasar,
Bali
• Sugriwa dkk.2002. Siwa Buddha di Indonesia
• Padanda Jelantik Duaja. 2011. Bancangah Danghyang Astapaka. Nirartha Kula Wangsa.2009. Sidemen
• Suci Ni Ketut,dkk. 1984/1985. Pola Kehidupan Padanda Siwa Buddha di Bali.
• Ida bagus Diksa. Makna Peralatan Mapuja Pendeta Buddha dalam Agama Hindi di Bali.

Anda mungkin juga menyukai