Anda di halaman 1dari 25

Ananta Nirdeśa Sūtra





Prakata

Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya.

Ananta Nirdesa Sutra adalah Sutra yang dibabarkan Sang Buddha sebagai bagian prolog
dari periode Saddharmapundarika. Sebagaimana diketahui bahwa Saddharmapundarika adalah
Sutra yang dibabarkan oleh Sang Buddha pada periode akhir kehidupanNya yang bertujuan
untuk menyingkap kembali tujuan dan maksud sejati dari seluruh rangkaian pembabaran
Dharma Beliau selama hidupNya. Namun, sebelum pembabaran Saddharmapundarika Sutra,
ada bagian yang cukup penting untuk mengungkapkan makna dan tujuan dari berbagai
pembabaran Dharma yang tak terhingga banyaknya dari sejak awal Pencerahan SempurnaNya.
Karena tak terhingga maka maknanya pun tak terhingga. Oleh karena itulah dibabarkan Ananta
Nirdesa Sutra, dan ini sebagai sebuah ‘pemantik’ untuk memunculkan kondisi dibabarkannya
Saddharmapundarika Sutra.

Jadi, dalam divisi ini Saddharmapundarika, ada tiga Sutra yang dibabarkan Sang Buddha
yaitu: Ananta Nirdesa Sutra sebagai pembabaran pembuka, Saddharmapundarika Sutra sebagai
pembabaran inti, kemudian Samantabhadra-bodhisattva-dhyana-carya-dharma-sutra sebagai
pembabaran penutup.

Dalam Tripitaka edisi Taisho juga ada menyisipkan kata pengantar dari Sutra ini yang
ditulis oleh seorang hermit bernama Liu Qiu (劉虬; 438-495 M) yang hidup pada masa Dinasti
Xiao-Qi. Liu Qiu adalah salah satu penulis komentar Saddharmapundarika dan Ananta Nirdesa
Sutra. Sayangnya kedua karya tersebut belum terlihat di koleksi Tripitaka. Kata Pengantar ini
sangat bernilai sejarah karena memberi sedikit informasi tentang asal usul Sutra ini dan
pertemuannya dengan sang penerjemah, Dharmagatayasas.

Dharmagatayasas menerjemahkan Sutra ini pada tahun 481 M. Teks sutra ini tidak
terlalu panjang, hanya terdiri dari tiga bab, yaitu bab I tentang praktik kebajikan dari para
bodhisatva, bab II tentang pembabaran Dharma dari Sang Buddha sehubungan dengan makna
Sutra ini, dan bab III tentang sepuluh pahala kebajikan dari menerima, mengamalkan dan
menyebarluaskan Sutra ini.

Intisari dari Ananta Nirdesa Sutra tidak terlepas dari prinsip realitas sejati yang
sebagaimana telah banyak dibabarkan pada Sutra-sutra lainnya, dan dalam Sutra ini dijelaskan
kembali pada bab Pembabaran Dharma, di mana Sang Buddha mengatakan, “Karena hakikat
keinginan [para makhluk] tak terhingga, maka Dharma yang dibabarkan tak terhingga. Karena
Dharma tak terhingga, maka makna-nya juga tak terhingga. Makna yang tak terhingga
tersebut lahir dari satu Dharma. Satu Dharma tersebut adalah tanpa karakteristik. Demikianlah
tanpa karakteristik tersebut adalah bukan-karakteristik, dan bukan-karakteristik [itu sendiri]
juga tidak memiliki karakteristik, maka ia disebut realitas sejati.”
Sepanjang sejarah penulisan kitab komentar atas berbagai Sutra-sutra Mahayana
lainnya, tidak banyak ditemukan teks komentar terhadap Sutra ini. Bahkan karya komentar dari
Liu Qiu yang telah disinggung di atas juga tidak ditemukan. Sebenarnya ini tidak mengherankan,
karena ia sebagai prolog dari divisi Saddharmapundarika, maka bagi mereka yang mendalami
Saddharmapundarika Sutra secara umum akan mampu memahami Ananta Nirdesa Sutra.
Namun yang cukup menarik adalah bahwa di era sekarang, Sutra ini justru sangat dijunjung
tinggi oleh Master Chengyen, sang pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi, sehingga beliau sering
memberikan ceramah terhadap Sutra ini, dan melalui nilai semangat dari ajaran tersebut, yang
tentu dengan interpretasi khas dari beliau, pun diimplementasikan ke dalam organisasinya.

Penerjemahan ke bahasa Indonesia ini mengacu langsung pada Tripitaka edisi CBETA
versi perangkat lunak yang bersumber dari koleksi Tripitaka Taisho. Selain itu juga
menggunakan referensi hasil terjemahan Xing Chengzi (信承子) ke bahasa Mandarin modern di
situs: http://blog.sina.com.cn/s/blog_6dce1de60100nj0f.html.

Akhir kata, semoga melalui pemahaman Sutra ini membawa kemajuan bagi kita semua dalam
praktik Dharma.

dJoni_chingik, Maret 2020


Pengantar Ananta Nirdesa Sutra

Oleh: Liu Qiu (劉虬), dari Jingzhou, masa Dinasti Xiao-Qi.

Ananta Nirdesa Sutra adalah Sutra yang mengambil satu ajaran (Dharma) tanpa
karakteristik untuk melahirkan berbagai metode ajaran, dan ajaran tersebut mengandung
makna yang tak terbatas, oleh karena itu disebut tak terhingga.

Para makhluk di Triloka berputar-putar terus di dalam samsara sesuai dengan kondisi
karma mereka. Namun begitu merealisasi pencerahan sempurna (menjadi Buddha), ia baru
dapat menembus [ke berbagai alam] dengan leluasa. Sedangkan mereka yang timbul
tenggelam dan berputar terus di dalam samsara tentu akan mengalami penderitaan, dan
mendambakan kebahagiaan, maka mereka mengharapkan bimbingan dari Buddha. Kemudian
Buddha menggunakan kemampuan pencapaianNya untuk memenuhi cinta kasih dan welas
asihNya demi menolong para makhluk. Sehubungan dengan akar karakteristik para makhluk
berbeda, maka pemberian ajaran kepada mereka juga berbeda, oleh karena itu ajaran tersebut
dibagi menjadi tujuh tahap:

Awalnya mengajarkan lima jenis praktik moralitas kepada Trapusa dan Bhallika, disebut sebagai
ajaran yang diperuntukkan kepada mereka yang akar kebajikannya berada di tingkat alam dewa
dan manusia, ini adalah tahap pertama.

Selanjutnya memutar roda ajaran Empat Kebenaran Mulia kepada Ajnatakaundinya dan
kelompoknya, disebut sebagai pengajaran tingkat wahana Sravaka, ini adalah tahap kedua.

Selanjutnya mengajarkan Dua Belas Nidana kepada mereka yang berada di tingkat menengah,
disebut sebagai pengajaran tingkat wahana Pratyekabuddha, ini adalah tahap ketiga.

Selanjutnya menunjukkan ajaran Enam Paramita kepada mereka yang berada di tingkat atas,
disebut sebagai pengajaran tingkat wahana agung (Mahayana), ini adalah tahap keempat.

Namun berhubung dari berbagai ajaran itu diajarkan dalam satu himpunan yang sama hingga
menimbulkan berbagai kebingungan, maka selanjutnya menjelaskannya dalam Ananta Nirdesa
Sutra, yaitu menerangkan bahwa dalam merealisasi pencerahan terdapat perbedaan tahapan,
kemudian mengatakan bahwa meskipun demikian, hal itu belum menyingkapkan aspek sejati.
Dengan demikian secara tersirat membuat para makhluk menumbuhkan kehendak untuk
mencari tujuan sejati tersebut sebagai pembuka jalan menuju realisasi tertinggi, ini adalah
tahap kelima.

Oleh karena itu, Saddharmapundarika Sutra menampilkan prinsip Ekayana untuk menyingkirkan
Tiga Wahana [yang telah diajarkan sebelumnya] dengan tujuan memenuhi keinginan para
makhluk yang mencari prinsip sejati tersebut, yaitu menyingkirkan identitas ajaran metode
terampil, ini adalah tahap keenam.

Meskipun telah menyingkirkan ajaran metode terampil untuk menampilkan ajaran sejati ,
namun prinsip kebenaran tentang kekekalan sejati masih belum terungkap, maka di bawah
pohon kembar Sala menjelang MahaparinirvanaNya dibabarkan ajaran luhur tentu Keakuan
Sejati dan Kemurnian, ini adalah tahap ketujuh.

Selain itu, meskipun terdapat banyak metode ajaran, namun jika dirangkumkan maka
semua ajaran akan tercakup di dalam tujuh tahap ini. Hal ini ibarat dari berbagai jenis suara
tidak akan terpisah dari lima jenis nada utama, atau ibarat dari berbagai ajaran filsafat tidak
akan terpisah dari enam aliran filsafat utama.

Meskipun nama Ananta Nirdesa Sutra ada disebutkan di bagian awal pembukaan
Saddharmapundarika Sutra, namun pada saat itu para praktisi di Tiongkok masih belum pernah
melihat Sutra tersebut. Setiap mempelajari dan membahas [sampai bagian itu] maka akan
selalu melewatinya dengan keluhan dan mendambakan untuk dapat menyaksikan isi Sutra-nya.
Namun tahu-tahu ada seorang bhiksu bernama Huibiao (慧表) dari Gunung Wudang. Beliau
berasal dari etnis Qiang (羌), keponakan dari raja palsu, Yao Lue (姚略). Pada hari keruntuhan
kerajaan, beliau diterima oleh seorang jenderal dari Dinasti Jin, He Dan. Pada usia beberapa
tahun beliau telah menunjukkan kecerdasannya. He Dan memberinya nama Ming Ling (nama
serangga yang secara kiasan diartikan sebagai anak angkat), dan mengadopsinya sebagai anak
angkat. Tidak lama kemudian beliau dikirim untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga
(menjadi bhiksu). Sejak itu beliau belajar Dharma dengan gigih, berkelana ke berbagai penjuru
kapan pun tanpa memilih situasi aman atau tidak. Pada era Jianyuan (建元) tahun ke-3 masa
Dinasti Qi (481 M), beliau berkunjung ke berbagai tempat untuk mencari berbagai koleksi kitab
langka dan rahasia hingga akhirnya tiba di wilayah Lingnan (bagian selatan Tiongkok), yaitu di
Vihara Chaoting (朝廷寺), kota Guangzhou. Di sana ia bertemu dengan bhiksu dari India Tengah,
Dharmagatayasas. Bhiksu ini menguasai aksara dan bahasa Tionghoa, dan ia bermaksud ingin
menyebarkan Ananta Nirdesa Sutra, namun belum tahu kepada siapa harus mewariskannya.
Kemudian Huibiao dengan tulus bermohon kepadanya. Ia benar-benar menunjukkan ketulusan
dan kegigihannya. Setelah melewati puluhan hari akhirnya ia hanya memperoleh satu
eksemplar. Setelah itu beliau membawanya kembali ke wilayah pegunungan di utara Qi dan
masuk ke Gunung Wudang. Pada tanggal 18 bulan ke-9 era Yongming tahun ke-3 (485 M) di
masa sekarang ini beliau membawa kitab ini turun dari gunung [Wudang] untuk
menyebarluaskannya. Menyaksikan isi teks Sutra ini ia merasakan sukacita dan timbul rasa
hormat yang tulus, melantunkan syair pujian dan menari dengan tangan pun tidak akan cukup
mengekspresikannya. Dengan demikian maka ia mengunjungi praktisi yang memahaminya
dengan baik dan melalui pemikiran awamnya berusaha untuk merenungkan maknanya, lalu
menuliskannya dalam catatan pengantar.

Sejak ajaran [suci] yang luhur menyebar ke dunia, namun pemahaman orang awam
[dalam menerima ajaran tersebut] saling berbeda. Maka jalan spiritual untuk menyelamatkan
para makhluk memiliki perbedaan sebutan. Di bagian timur taman Xuanpu (puncak Gunung
Kunlun) menyebut ajaran suci sebagai Tai Yi (Yang Mutlak dan Tunggal). Di wilayah barat
Kashmir menyebutnya Praktik yang Benar . Di negeri timur menjelaskan bahwa kebaikan dan
keburukan [silih berganti] dalam seratus tahun. Di barat terdapat ajaran tentang kehidupan lalu,
sekarang dan akan datang. Kemudian dalam menggapai kesucian dengan praktik pada prinsip
kekosongan, walau memiliki jalan yang berbeda, namun tujuan yang hendak dicapai adalah
sama. Jika prinsip kekosongan tidak dapat diperoleh, maka mencari kekosongan dalam batin
bagaimana mungkin dapat dicapai dengan sikap batin yang mengamatinya dengan sengaja?
Kemudian orang mempelajari agama Buddha ada yang mengutamakan praktik bertahap untuk
menembus pemahaman Dharma, ada yang mengutamakan penyadaran langsung untuk
memasuki prinsip kekosongan. Izinkan saya untuk menguraikan prinsip luhurnya:

Orang yang mengemukakan tentang praktik bertahap menganggap bahwa kemunculan


segala sesuatu memiliki proses yang bertahap. Munculnya lapisan es yang keras diawali dari
tetesan embun yang tipis. Gunung yang tinggi dan besar terbentuk dari tumpukan batu dan
pasir sedikit demi sedikit. Walaupun seorang praktisi yang memasuki hakikat kekosongan belum
mencapai tahap yang sempurna, namun bagaikan orang yang memotong balok kayu, sepanjang
satu inci yang dipotong maka ia berkurang satu inci, sepanjang satu kaki yang dipotong maka ia
berkurang satu kaki. Jika secara perlahan sang praktisi merealisasi tiga jenis kekosongan maka
bukankah ini tanda kemajuan bertahap? Orang yang mengemukakan praktik penyadaran
langsung menilai bahwa untuk merealisasi kebajikan yang terunggul tidak lain adalah
mengamati Dharma ke tingkat hakikinya. Hakikat Dharma pada dasarnya adalah bukan eksis
maupun non eksis. Tiada pemikiran, tiada pertimbangan, tiada kemelekatan hingga merealisasi
tiada eksis dan non eksis. Prinsip ajaran dan praktik pengamatan yang saling selaras dapat
dikatakan telah memahami makna kekosongan. Jika pikiran masih melekat pada eksis dan non
eksis, tingkat pengamatan dan hakikat kebijaksanaan masih terpisah menjadi dua bidang
pemikiran, belum mencapai keadaan tiada pikiran, maka ini masih [melekat] pada eksistensi.
Dalam pemikiran yang masih menganggap sesuatu itu eksis dan menggunakan pemikiran itu
untuk melenyapkan rintangan demi memperoleh hakikat kekosongan, tidak akan dapat
terbebas dari pengikisan noda batin sehubungan dengan pandangan eksistensi. Sedangkan jika
masih ada pemikiran [konvensional] di tingkat hakikat kekosongan, maka tidak akan dapat
memasuki aspek kekosongan itu sendiri. Kemudian mengenai saat mendengar ajaran Buddha
langsung merealisasi Kearahatan, atau dalam satu hari tiba-tiba mencapai tingkat
Anutpatikadharma Ksanti adalah kasus yang bertujuan untuk menuntun orang agar termotivasi,
bukan hal yang mutlak demikian. Untuk mencapai hakikat yang luhur bukanlah dengan latihan
bertahap, melainkan pada hakikatnya ia bersifat sunyata tanpa ada suatu ketentuan yang statis.
Dua pandangan saling berseberangan, yang satu hanya mau menerima satu pandangan, yang
satu lagi menolak pandangan lainnya, mereka tidak tahu manakah yang benar.

Kemudian guru yang memahami prinsip ini bermula dari Bhiksu Zhidun dan Dao’an.
Teori ‘tiada kelahiran’ dari Bhiksu Zhidun menganggap bahwa praktik sampai tingkat bhumika
ketujuh telah mencapai kebijaksanaan dan berkah kebajikan dari Anutpatikadharma-ksanti,
kemudian sampai tingkat bhumi kesepuluh berarti telah mencapai kesempurnaan. Meskipun
bhumi ketujuh dan kesepuluh berbeda dari sisi performa kebajikannya, namun aspek
pengamatan kebijaksanaannya tidaklah berbeda. Sedangkan menurut Bhiksu Dao’an, tiga
wahana yaitu wahana Sravaka, wahana Pratyekabuddha, dan wahana Bodhisatva adalah
metode ajaran untuk pemupukan fondasi, lalu [melalui] praktik konsentrasi dan kebijaksanaan
adalah buah pencapaian yang sesungguhnya. Artinya bahwa saat mulai melatih diri boleh
mengambil salah satu wahana sesuai dengan kapasitas masing-masing, namun saat
merealisasinya maka kebijaksanaannya tidak berbeda. Dalam Saddharmapundarika Sutra
terdapat analogi bahwa setelah terbebas dari bahaya rumah yang mengalami bencana
kebakaran, tiada lagi istilah tiga wahana, semuanya kembali ke jalan tunggal. Setelah jalan
berbahaya dilalui, maka kota khayalan akan sirna. Ini menunjukkan bahwa jalan tunggal adalah
jalan tiga wahana, jelas sekali bahwa tidak ada pemahaman pencerahan yang berbeda dari
ketiganya.

Bhiksu Zhu Daosheng mengatakan bahwa nirvana dapat direalisasi melalui praktik 37
faktor pendukung menuju pencerahan, bukan [status] nama arahat [itu sendiri yang
menjadikannya]. Kebuddhaan yang sempurna dapat dicapai melalui praktik Enam Paramita,
bukan pohon bodhi yang membuatnya tercapai. Analogi pemotongan balok kayu [di atas],
awalnya mengakui adanya eksitensi pohon, kemudian baru dapat memotongnya satu inci demi
satu inci. Saat merealisasi prinsip tiada kelahiran, begitu kelahiran diakhiri, maka aspek
pengamatan itu sendiri tentu [dikatakan dicapai] dalam seketika (langsung).

Sekarang ini Sutra Ananta Nirdesa juga demikian, yaitu berlandaskan pada aspek tanpa
karakteristik. Jika kondisi tingkat pencapaian memiliki perbedaan, bagaimana bisa disebut
tanpa karakteristik? Jika aspek pengamatan terhadap hakikat tanpa karakteristik adalah sama,
bagaimana bisa disebut memiliki tahapan? Pencerahan bukanlah sesuatu yang bersifat tahapan,
namun ia disebut tahapan. Semua ini hanyalah metode terampil yang digunakan untuk
membimbing para makhluk. Sang Tathagata juga mengatakan bahwa membimbing para
makhluk ibarat menggunakan tangan kosong untuk menghibur anak kecil. Menggunakan
berbagai cara ungkapan yang terampil untuk menuntun para makhluk yang memiliki batin yang
kasar, maka pembabaran metode tahapan boleh saja diterapkan. Saat memasuki ke tahap yang
terlepas dari aspek fenomena (wujud), maka menjelaskan makna pencerahan
seketika/langsung lebih bisa diandalkan. Di sini sekedar membicarakan tentang garis besar dari
aspek pencerahan langsung dan bertahap, bagi anda sekalian yang membahasnya dipersilahkan
untuk memilah.
Tripitaka Taisho 0276

無量義經
Ananta Nirdeśa Sūtra
(Sutra Makna Tak Terhingga)
Penerjemah Bahasa Sanskerta ke Bahasa Tionghoa:
Tripitaka Master Dharmagatayasas –
Masa Dinasti Xiao Qi (Qi-Selatan; 479-502 M)
Penerjemah Bahasa Tionghoa ke Bahasa Indonesia oleh dJoni_Chingik, Maret 2020.

Varga I: Praktik Kebajikan

Demikianlah yang telah aku dengar:

Pada suatu ketika, Sang Buddha berdiam di Gunung Grdhrakuta, dekat kota Rajagraha, bersama
sekelompok maha-bhiksu sebanyak 12.000 orang, bodhisatva-mahasatva sebanyak 80.000
orang, dan para dewa, naga, yaksha, gandharva, asura, garuda, kinnara, mahoraga, serta para
bhiksu, bhiksuni, upasaka, upasika, para raja cakravartin, yaitu Maharaja Cakravartin, Raja-kecil
Cakravartin, Raja Cakra Emas, Cakra Perak, serta para raja kerajaan, pangeran, menteri, rakyat,
warga pria dan wanita yang dihormati, dan pemuka masyarakat. Masing-masing dari mereka
dikelilingi oleh pengikutnya yang berjumlah ratusan, ribuan bahkan jutaan orang. Mereka
datang ke kediaman Sang Buddha, menghormat dengan kepala mereka [menyentuh] di kakiNya,
dan mengelilinginya [ke arah kanan] sebanyak ratusan ribu kali, kemudian memberikan
berbagai persembahan, seperti persembahan dupa dan menaburkan bunga. Setelah memberi
persembahan kepada Sang Buddha, mereka melangkah mundur dan duduk di satu sisi.

Kemudian dari 80.000 bodhisatva-mahasatva yang hadir tersebut di antaranya adalah Pangeran
Dharma Manjusri, Pangeran Dharma Mahanubhavagarbha, Pangeran Dharma Asokagarbha,
Pangeran Dharma Mahapratibhanagarbha, Bodhisatva Maitreya, Bodhisatva Parinayaka,
Bodhisatva Baisajyaraja, Bodhisatva Baisajyasamudgata, Bodhisatva Puspaketu, Bodhisatva
Puspaprabhaketu, Bodhisatva Dharanisvararaja, Bodhisatva Avalokitesvara, Bodhisatva
Mahasthamaprapta, Bodhisatva Nityodyukta, Bodhisatva Ratnamudrahasta, Bodhisatva
Ratnakuta, Bodhisatva Ratnayasti, Bodhisatva Trailokya-vikramin, Bodhisatva Vimalabhadra,
Bodhisatva Gandhahastin, Bodhisatva Mahagandhahastin, Bodhisatva Simhanadaraja,
Bodhisatva Simhavikriditaloka, Bodhisatva Simhavijrmbhita, Bodhisatva Simhavirya, Bodhisatva
Parikarabala, Bodhisatva Simhavidhvamsana, Bodhisatva Vyuha, Bodhisatva Mahavyuha, dan
lain-lainnya.

Di antara para bodhisatva tersebut tiada satu pun yang bukan merupakan makhluk agung
Dharmakaya yang direalisasi melalui [praktik] moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan,
pembebasan, dan pengetahuan pembebasan. Batin mereka yang hening secara meditatif selalu
berdiam di dalam samadhi dengan kedamaian kesederhanaan, tak terkondisi, tanpa nafsu
keinginan, dan tidak dapat lagi dimasuki oleh pandangan terbalik dan pikiran liar. Ketenang-
heningan yang jernih dengan aspirasi luhur tanpa batas dijaga secara tak tergoyahkan selama
triliunan kalpa, sehingga metode ajaran yang tak terhingga banyaknya muncul di hadapan
mereka, [dengan demikian] mereka memperoleh kebijaksanaan agung, menguasai berbagai
jenis Dharma, mampu mengetahui dan membedakan realitas dari hakikat dan fenomena, baik
dari skala eksistensi maupun non-eksistensi-nya, semua ini dipahami secara jelas dan jernih.
Mereka juga mampu mengetahui dengan baik tentang berbagai karakteristik indria keinginan
dari [para makhluk], dengan demikan maka melalui penguasaan Dharani tentang kemampuan
berbicara yang tak terintangi, mereka bermohon kepada Buddha untuk memutar roda Dharma.
Seiring dengan itu mereka mampu memutarnya dengan [pertama-tama] mencurahkan Dharma
[bagaikan] tetesan air kecil yang menggenangi debu nafsu keinginan untuk membuka metode
ajaran nirvana, lalu menghembuskan angin pembebasan (vimutti) untuk mengatasi gerahnya
noda batin keduniawian agar [para makhluk] merasakan kesejukan di dalam Dharma. Setelah
itu mereka menurunkan ajaran Dua Belas Nidana (Sebab Musabab yang Saling Bergantungan)
yang sangat dalam untuk mengatasi [penyakit] dari kegelapan batin hingga lahir, tua, sakit, dan
mati, yang seperti kondisi sengsara terhadap panasnya terik matahari.

Selanjutnya baru menuangkan ajaran Mahayana yang tiada bandingannya untuk melenturkan
indria kebajikan para makhluk dengan menebar benih kebajikan di ladang pahala kebajikannya,
agar semua makhluk dapat mengembangkan benih Bodhicitta, [yang didukung dengan
pemupukan] kebijaksanaan [yang bagaikan] cahaya matahari dan bulan, dan [ditopang dengan]
iklim metode terampil yang sesuai, sehingga dapat menumbuh-kembangkan kariernya terhadap
[jalan] Mahayana, agar para makhluk dapat dengan cepat merealisasi Anuttara-
samyaksambodhi, berdiam di dalam kebahagiaan luhur yang sejati. Dengan memberikan
pertolongan kepada makhluk yang sengsara melalui welas asih agung tak terhingga merupakan
sahabat [spiritual] sejati dari para makhluk, merupakan ladang berkah besar dari para makhluk,
merupakan guru [yang selalu mengulurkan tangan] tanpa [perlu] dimohon dari para makhluk,
merupakan tempat kediaman yang damai dan bahagia, tempat pertolongan, tempat
perlindungan, tempat sandaran yang besar dari para makhluk, tempat yang selalu menjadi guru
pembimbing agung dari para makhluk, [karena] ia dapat menjadi mata bagi mereka yang buta,
menjadi lidah bagi mereka yang bisu, menjadi hidung bagi mereka yang kehilangan indra hidung,
menjadi telinga bagi mereka yang tuli, dan berbagai organ indra yang rusak dapat kembali
menjadi utuh, serta membuat para makhluk [kembali] ke ingatan yang benar bagi mereka yang
pikirannya mengalami kekacauan dan kekalutan. Ia [bagaikan] nahkoda, yaitu nahkoda agung
yang membawa para makhluk menyeberangi sungai samsara hingga mencapai ke pantai
nirvana. Ia [bagaikan] raja tabib, yaitu raja tabib agung yang [mampu] membedakan
karakteristik penyakit dan mengetahui sifat obat, sehingga dapat memberikan obat yang sesuai
dengan jenis penyakitnya agar para makhluk dapat mengonsumsinya. Ia [bagaikan] penjinak,
yaitu penjinak agung yang tidak memiliki berbagai macam kelengahan, ibarat sang pelatih gajah
dan kuda, dimana tidak ada yang tidak dapat dijinakkannya. Bagaikan singa gagah perkasa yang
menaklukkan semua jenis hewan, ia sulit untuk dihancurkan. Lakon yang diperankan oleh
bodhisatva dalam berbagai jenis paramita adalah kokoh dan tak tergoyahkan demi mencapai
tahap bhumi Ketathagataan. Mereka berdiam dengan kekuatan aspirasinya untuk memurnikan
alam Buddha, dan tidak lama lagi akan merealisasi Anuttara-samyaksambodhi. Begitulah para
bodhisatva-mahasatva memiliki pahala kebajikan demikian yang terbayangkan.

Ada pun nama-nama dari 12.000 bhiksu tersebut, di antaranya adalah Sariputra [yang
terkemuka] dalam kebijaksanaan agung, Maudgalyayana [yang terkemuka] dalam kekuatan
batin, Ayusmat Subhuti, Mahakatyayana, Purna-Maitrayaniputra, Ajnatakaundinya dan
kelompoknya, Aniruddha [yang terkemuka dalam kemampuan] mata dewa, Upali - sang
penjaga moralitas (Sila), Ananda - pelayan [Sang Buddha], Rahula – putra Sang Buddha,
Upananda, Revata, Kapphina, Vakkula, Acyuta, Svagata, Mahakasyapa [yang terkemuka dalam
praktik] Dhuta, Uruvilvakasyapa, Gayakasyapa, Nadikasyapa. Mereka semua adalah Arahat yang
telah mengakhiri semua kebocoran-batin (asrava), tiada lagi kemelekatan, dan benar-benar
telah terbebaskan.

Pada saat itu, Bodhisatva-mahasatva Mahavyuha melihat ke seluruh hadirin yang masing-
masing batinnya telah terfokus [dengan perhatiannya pada persamuhan], lalu ia bersama
80.000 bodhisatva-mahasatva bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Sang Buddha sambil
menghormat dengan kepala [menyentuh] di bawah kakiNya, dan mengelilingiNya ke arah kanan
(pradaksina) sebanyak ratusan ribu kali, kemudian memberi persembahan dengan menaburkan
bunga surgawi, menyalakan dupa surgawi, memberikan pakaian surgawi, perhiasan surgawi,
dan permata surgawi tak ternilai yang semuanya turun dari angkasa dalam bentuk pusaran
yang terkumpul bagaikan awan dari keempat penjuru, lalu mempersembahkannya kepada Sang
Buddha. Kemudian ada hidangan surgawi yang terisi penuh di mangkok patra surgawi dengan
aneka ragam citarasa surgawi, bagi mereka yang melihat wujud dan mencium aromanya saja
akan menjadi terpuaskan secara alami. Di setiap lokasi tampak terpasang panji, bendara, dan
kanopi surgawi, serta peralatan musik surgawi. Kemudian alunan musik surgawi tersebut
dimainkan untuk menghibur Sang Buddha [sebagai tanda penghormatan]. Selanjutnya mereka
bersujud sambil bersikap anjali, dan secara bersama-sama mengucapkan syair pujian:

Sungguh agung Sang Maha Suci yang telah mencapai Pencerahan Agung,
Yang tiada lagi noda, pencemaran, dan kemelekatan.
Guru para dewa dan manusia, sang penjinak [yang bagaikan penjinak] gajah dan kuda,
Hembusan angin spiritualitas dan keharuman kebajikanNya menyerbak ke semua [penjuru].
Ketenangan [yang terpancar dari] kebijaksanaanNya yang bersahaja dengan olah pikiranNya
yang teduh, telah melenyapkan pikiran [keduniawian]Nya, menghancurkan kesadaran
[keduniawian]Nya [sehingga] batinNya juga menjadi hening.
Ia telah menghancurkan mimpi, delusi, dan perhatian yang konseptual ,
tiada lagi berbagai unsur [dhatu], agregat, unsur [indria], dan landasan indria.
TubuhNya [tidak dikategorikan lagi sebagai] bukan ada, juga bukan tiada, bukan sebab, bukan
musabab, bukan diri, bukan lainnya.
Bukan persegi, bukan bulat, bukan pendek, bukan panjang.
Bukan muncul, bukan lenyap, bukan lahir dan lenyap.
Bukan diciptakan, bukan dimunculkan, bukan dibuat.
Bukan duduk, bukan baring, bukan berjalan maupun berdiri.
Bukan gerak, bukan berputar, bukan diam bergeming.
Bukan maju, bukan mundur, bukan aman maupun kritis.
Bukan benar, bukan salah, bukan perolehan maupun kehilangan.
Bukan di sana, bukan di sini, bukan pergi maupun datang.
Bukan hijau, bukan kuning, bukan merah-tua maupun putih,
Bukan merah, bukan ungu, dan bukan aneka warna lainnya.
Ia lahir dari [hasil praktik] moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, pembebasan, dan
pengetahuan pembebasan,
dan telah mengembangkan tiga jenis pengetahuan, enam kekuatan batin dan [tiga puluh tujuh]
faktor pendukung pencerahan.
PenampilanNya dengan tubuh setinggi 1.6 zan memiliki cahaya emas keunguan,
berperawakan proposional dengan pancaran cahaya yang sungguh cemerlang.
Memiliki bulu [putih] di antara alis yang melengkung seperti bulan sabit bagaikan cahaya
mentari,
dengan rambut ikal berwarna biru gelap, terdapat Usnisa di atas ubun-ubun kepalaNya.
MataNya murni bersinar cemerlang dan bagian atas bawahnya berkilauan,
Bulu alisNya berwarna biru dan lembut, pipiNya persegi.
Bibir dan lidahNya berwarna kemerahan bagaikan buah [bimba] merah.
GigiNya putih berjumlah empat puluh bagaikan batu giok berwarna putih salju.
Dahi lebar, hidungNya mancung dan wajahNya tampak terbuka,
di dadaNya terdapat simbol swastika bagaikan dada singa.
[Telapak] tangan dan kakiNya halus dan lembut, terdapat simbol cakra seribu jeruji.
Ketiak dan telapakNya padat dan berisi luar dalam.
Lengan bagus, siku panjang, jariNya lurus.
KulitNya halus lembut dan memiliki bulu yang melingkar ke arah kanan.
Lutut kakiNya tidak tersingkap, dan organ kelaminNya terselubung bagaikan [organ] kuda.
Memiliki otot dan tulang selangka yang halus, betisNya bagaikan [raja] rusa.
Luar dan dalamNya berkilau, dan murni tanpa noda seperti air murni yang tak tercemar oleh
debu.
Demikianlah tiga puluh dua karakteristik [manusia agung] dan delapan puluh tanda [sekunder]
yang baik tersebut seolah-olah dapat terlihat, padahal sesungguhnya ia tidak memiliki
karakteristik dan bukan wujud karakteristik, [karena] ia terpisah dari segala fenomena [yang
muncul bergantung pada kontak] mata.
Karakteristik yang tidak berwujud itu [hanya tampak] memiliki wujud tubuh, demikian juga
dengan wujud dari bentuk tubuh makhluk.
Ia dapat membuat para makhluk memberikan sujud dengan rasa sukacita, dan menunjukkan
rasa hormat mereka dengan tulus.
Dengan demikian dapat mengikis kesombongan mereka sehingga merealisasi tubuh yang
berwujud menakjubkan tersebut.
Kelompok kami yang berjumlah delapan puluh ribu orang bersama-sama bersujud dan
berlindung
kepada Yang Suci yang piawai melenyapkan pemikiran [awam] dan kesadaran [duniawi],
[bagaikan] sang penjinak gajah dan kuda yang tiada memiliki kemelekatan.
[Kami] bersujud dan berlindung kepada Sang Dharmakaya yang dihasilkan dari pengumpulan
praktik moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, pembebasan, dan pengetahuan pembebasan.
[Kami] bersujud dan berlindung kepada Dia yang berwujud panji menakjubkan.
[Kami] bersujud dan berlindung kepada Dia yang sulit dibayangkan,
di mana delapan jenis suara BrahmaNya menggelegar bagaikan petir; luhur, murni dan sungguh
mendalam.
Memutar [roda ajaran] Empat Kebenaran Mulia, Enam Paramita dan Dua Belas Nidana (sebab
musabab yang saling bergantungan) sesuai dengan [kapasitas] batin dan karma para makhluk.
Bagi mereka yang mendengarnya tiada satu pun yang tidak terbuka [mata] batinnya,
dan melenyapkan kemelekatan terhadap siklus samsara yang tak terhingga banyaknya.
Ada di antara mereka yang mendengarnya mencapai [buah] Srotapanna, Sakradagami, Anagami,
dan Arahat.
Atau ada yang merealisasi [tingkat] Pratyekabuddha yang tiada lagi kebocoran batin dan tak
terkondisi, atau ada yang mencapai tahap bhumi [dari jalan] bodhisatva yang tiada muncul dan
lenyap.
Atau ada yang memperoleh dharani yang tak terhingga banyaknya, [dengan demikian
menguasai] kemampuan berbicara dan berdebat yang tak terintangi, membabarkan syair ajaran
yang sungguh luhur nan dalam [laksana] bersenang-senang di kolam pemandian Dharma yang
jernih; atau ia mempertunjukkan kekuatan batin dengan terbang [di angkasa], terjun ke dalam
air dan api dengan tubuh yang leluasa.
Demikianlah karakteristik dari roda Dharma yang murni tanpa batas dan sulit dibayangkan.
Kami semua bersama-sama bersujud dan berlindung [agar] roda Dharma berputar sesuai
dengan kondisi waktunya.
Kami bersujud dan berlindung kepada [sang pemilik] suara Brahma.
Kami bersujud dan ber-sarana kepada Dua Belas Nidana, Empat Kebenaran Mulia dan Enam
Paramita.
Sejak masa kalpa lampau yang tak terhingga, Sang Bhagava telah mempraktikkan berbagai
kebajikan dengan gigih dan keras.
Demi kami, para manusia, dewa, naga, makhluk supranatural, raja, hingga meliputi semua
makhluk,
Ia mampu melepaskan [kemelekatan terhadap] semua hal yang sulit dilepaskan, baik itu harta,
istri, anak, maupun kerajaan.
Tiada satu pun yang membuatnya berat untuk ditinggalkan baik milikNya yang ada di dalam diri
maupun di luar diriNya, seperti kepala, mata, sumsung, otak, semuanya Ia berikan kepada
semua orang.
Ia menjalankan moralitas murni [yang ditetapkan] para Buddha tanpa melanggarnya bahkan
dengan kehilangan nyawa sekalipun.
Apabila ada orang yang mencelakainya dengan pedang dan tongkat, memarahinya dengan
ucapan kasar, tidak ada kebencian [dalam diriNya].
Selama berkalpa-kalpa fisikNya mengalami banyak tekanan namun tidak ada rasa lelah dan
malas,
siang malam pikirannya selalu terabsorbsi di dalam samadhi.
Demi mempelajari semua jalan Dharma, [Sang Bhagava] dengan kebijaksanaanNya menyelami
indria para makhluk.
Oleh karena itu Ia kini memperoleh kekuatan yang leluasa, dan dengan penguasaan Dharma
secara leluasa ia menjadi Raja Dharma.
Kami semua bersujud dan berlindung kepada Ia yang sanggup [berlatih dengan] gigih melebihi
semua jenis kegigihan.

Varga II: Pembabaran Dharma

Pada saat itu, setelah Bodhisatva-mahasatva Mahavyuha bersama delapan puluh ribu
bodhisatva-mahasatva selesai mengucapkan syair untuk memuji Sang Buddha, maka ia berkata
kepada Sang Buddha, “Bhagava! Aku bersama delapan puluh ribu bodhisatva-mahasatva ingin
menanyakan sesuatu hal sehubungan dengan Dharma dari Sang Tathagata, apakah Bhagava
berkenan mendengarnya demi belas kasihMu?

Sang Buddha berkata kepada Bodhisatva-mahasatva Mahavyuha dan delapan puluh ribu
bodhisatva, “Bagus, bagus, putra bajik! Ketahuilah bahwa inilah saat yang baik bagi kalian untuk
bertanya. Karena tidak lama lagi Sang Tathagata akan memasuki parinirvana. Agar tidak ada
keraguan lagi di antara kalian semua setelah [Aku] parinirvana, maka ajukanlah tentang apa
yang ingin ditanyakan.”

Dengan demikian Bodhisatva-mahasatva Mahavyuha dan delapan puluh ribu bodhisatva


dengan satu suara yang serempak bertanya kepada Sang Buddha, “Bhagava! Metode ajaran
apakah yang hendaknya dipraktikkan oleh seorang bodhisatva-mahasatva yang ingin dengan
cepat mencapai Anuttara-samyaksambodhi?”

Sang Buddha berkata kepada Bodhisatva-mahasatva Mahavyuha dan delapan puluh ribu
bodhisatva, “Putra bajik! Ada satu metode ajaran yang dapat membuat seorang bodhisatva
mencapai Anuttara-samyaksambodhi dengan cepat. Jika sang bodhisatva-mahasatva
mempelajari metode ajaran ini, maka ia dapat dengan cepat mencapai Anuttara-
samyaksambodhi.”

“Bhagava, apa nama metode ajaran tersebut? Apa maknanya, dan bagaimanakah cara seorang
bodhisatva melatihnya?”

Sang Buddha menjawab, “Putra bajik! Nama dari metode ajaran ini adalah Makna Tak
Terhingga. Bagi bodhisatva yang ingin mempelajari dan mempraktikkan Makna Tak Terhingga
ini, maka ia hendaknya mengamati bahwa sifat hakiki dan karakteristik dari segala sesuatu
(dharma) adalah kosong, tiada besar, tiada kecil, tiada muncul, tiada lenyap, bukan diam, bukan
gerak, tidak maju, tidak mundur. Ia bagaikan angkasa yang tidak memiliki dualitas, namun para
makhluk dengan pikiran yang terdelusi memberinya parameter [dengan mengatakan] ini adalah
ini, ini adalah itu, ini adalah perolehan, ini adalah kehilangan, [sehingga] muncul pikiran tidak
bajik [yang mengakibatkan mereka] menciptakan berbagai karma buruk, terlahir kembali di
enam alam kehidupan, mengalami berbagai racun penderitaan, tidak mampu keluar darinya
selama ratusan juta bahkan tak terhingga kalpa. Seorang bodhisatva yang mengamati
kebenaran terhadap fenomena ini akan muncul rasa belas kasihan, [lalu] ia membangkitkan
cinta kasih dan welas asih agung, dan bertekad untuk menyelamatkan [semua makhluk].
Selanjutnya ia menyelami secara mendalam terhadap [sifat] segala sesuatu, bahwa sifat
dharma tertentu akan melahirkan dharma tertentu, sifat dharma tertentu akan berdiam di
dalam dharma tertentu, sifat dharma tertentu akan berubah di dalam dharma tertentu, sifat
dharma tertentu akan lenyap di dalam dharma tertentu; kemudian, sifat dharma tertentu dapat
melahirkan keburukan, sifat dharma tertentu dapat melahirkan kebaikan, demikian juga
[seterusnya] dengan aspek berubah dan lenyapnya.

Dengan mengamati urutan awal hingga akhir dari keempat sifat demikian, dan setelah
memahami semuanya, maka selanjutnya sang bodhisatva mengamati kebenaran bahwa segala
sesuatu tidak berdiam dari momen pikiran demi momen pikiran yang selalu muncul dan lenyap.
Selanjutnya lagi ia mengamati secara sekaligus sifat muncul, diam, berubah, dan lenyap dalam
satu momen waktu. Setelah mengamati demikian, ia menyelami hakikat akar keinginan para
makhluk. Karena hakikat keinginan [para makhluk] tak terhingga, maka Dharma yang
dibabarkan tak terhingga. Karena Dharma tak terhingga, maka makna-nya juga tak terhingga.
Makna yang tak terhingga tersebut lahir dari satu Dharma. Satu Dharma tersebut adalah tanpa
karakteristik. Demikianlah tanpa karakteristik tersebut adalah bukan-karakteristik, dan bukan-
karakteristik [itu sendiri] juga tidak memiliki karakteristik, maka ia disebut realitas sejati.
Setelah bodhisatva-mahasatva berdiam di realitas sejati demikian, maka cinta kasih dan welas
asih yang dibangkitkannya adalah suatu kebenaran yang jernih dan tidak semu, [sehingga] ia
benar-benar dapat mencabut penderitaan para makhluk. Setelah penderitaan dicabut,
selanjutnya ia mengajarkan Dharma agar para makhluk memperoleh kebahagiaan.

“Putra bajik! Jika bodhisatva dapat mempraktikkan satu metode ajaran Makna Tak Terhingga
demikian, maka niscaya akan dengan cepat mencapai Anuttara-samyaksambodhi. Putra bajik!
Demikianlah Sutra Mahayana Makna Tak Terhingga yang tiada bandingannya dan sangat dalam
ini memiliki prinsip yang sungguh benar dan keluhuran yang tertinggi, yang [selalu] dijaga
bersama oleh para Buddha dari tiga masa. Tidak ada kelompok Mara dan thirtika (penganut
sekte luar) [mana pun] yang dapat memasukinya, dan ia tidak dapat dirusak dan ditaklukkan
oleh semua pandangan sesat [yang berada di dalam] samsara. Oleh karena itu, wahai putra
bajik, jika bodhisatva-mahasatva ingin dengan cepat mencapai bodhi (pencerahan) yang tiada
bandingannya, maka ia hendaknya mempelajari dan mempraktikkan Sutra Mahayana Makna
Tak Terhingga yang sangat dalam ini.”

Kemudian pada saat itu Bodhisatva Mahavyuha berkata lebih lanjut kepada Sang Buddha,
“Bhagava! Dharma yang dibabarkan oleh Sang Bhagava [sungguh] tak terbayangkan, begitu juga
dengan sifat dasar dari makhluk [sungguh] tak terbayangkan, dan metode ajaran pembebasan
juga tak terbayangkan. Tidak ada lagi keraguan pada kami sehubungan dengan semua Dharma
yang dibabarkan oleh Sang Buddha, namun karena pikiran sesat yang muncul dari para makhluk,
maka kami kembali menanyakannya. Bhagava! Sejak mencapai pencerahan selama empat
puluh tahun lebih, Sang Tathagata kerap membabarkan makna dari empat karakteristik
berbagai Dharma kepada para makhluk, yaitu makna tentang penderitaan, makna tentang
kekosongan, ketidakkekalan, tiada diri [yang bersifat] tiada besar, tiada kecil, tiada muncul,
tiada lenyap, tiada karakteristik dari segala sesuatu, hakikat Dharma dan karaktertistik Dharma
pada dasarnya bersifat kosong, ia tidak datang [dari mana pun], dan tidak pergi [ke mana pun],
tidak muncul, tidak tenggelam. Di antara mereka yang mendengar [Dharma tersebut], ada yang
mencapai tahap Usmagata, Murdhana, [Ksanti], Laukikagra-dharma, Srotapanna, Sakrdagamin,
Anagamin, Arahat; Pratyekabuddha, [atau ada yang] membangkitkan Bodhicitta, menapaki
tahap Bhumi pertama, kedua, ketiga, hingga Bhumi kesepuluh. Lantas, apa perbedaan makna
berbagai Dharma yang dibabarkan pada hari-hari yang lalu tersebut dengan yang dibabarkan
pada saat sekarang dengan mengatakan bahwa jika bodhisatva mempraktikkan Sutra
Mahayana Makna Tak Terhingga yang sangat dalam ini niscaya dapat dengan cepat mencapai
pencerahan yang tiada bandingannya? Bagaimana sehubungan dengan hal ini? Mohon Sang
Bhagava berbelas kasih untuk menjabarkannya kepada semua makhluk agar mereka semua
yang mendengar Dharma tersebut di masa sekarang dan masa mendatang tidak lagi memiliki
sisa-sisa jaring keraguan.

Kemudian Sang Buddha berkata kepada Bodhisatva Mahavyuha, “Bagus, bagus! Putra bajik
agung! Dengan kemampuan bertanya kepada Sang Tathagata tentang makna menakjubkan dari
ajaran Mahayana yang tiada bandingannya dan sangat dalam ini, maka ketahuilah bahwa
engkau telah mendatangkan banyak manfaat yang membahagiakan dan menenteramkan para
dewa dan manusia, dan mencabut penderitaan para makhluk, ini merupakan cinta kasih dan
welas asih agung yang sesungguhnya, dan keyakinan sejati yang tidak semu. Melalui sebab dan
kondisi ini niscaya dapat dengan cepat mencapai pencerahan yang tiada bandingannya, dan
juga dapat membuat para makhluk di masa sekarang dan masa mendatang mencapai
pencerahan yang tiada bandingannya.”

“Putra bajik! Sejak Aku duduk di bawah bodhimandala pohon Bodhi selama enam tahun hingga
mencapai Anuttara-samyaksambodhi, dengan mata Buddha Aku mengamati bahwa dari semua
Dharma [tidak ada satu pun] yang dapat dibabarkan. Mengapa demikian? Hakikat keinginan
dari para makhluk tidak ada yang sama. Karena hakikat keinginan yang tidak sama tersebut,
maka digunakanlah berbagai cara untuk membabarkan Dharma. Dengan menggunakan
berbagai cara untuk membabarkan Dharma melalui kekuatan metode terampil, maka selama
empat puluh tahun lebih Aku masih belum menyingkapkan [maksud dan tujuan] yang sejati.
Oleh karena itu, para makhluk memiliki perbedaan dalam cara merealisasi jalan [pencerahan],
sehingga mereka tidak dapat dengan cepat mencapai pencerahan [tertinggi] yang tiada
bandingannya. Putra bajik! Dharma ibarat air yang dapat membersihkan noda kekotoran, baik
itu [air] sumur, kolam, sungai besar, sungai kecil, kali, kanal, samudera, semuanya dapat
membersihkan noda kekotoran. Demikian juga dengan air Dharma, ia dapat membersihkan
berbagai jenis kekotoran batin para makhluk. Putra bajik! Hakikat air [hanya] satu, namun [air]
sungai besar, sungai kecil, sumur, kolam, kali, kanal, dan samudera berbeda satu sama lain.
Demikian juga dengan hakikat Dharma, ia tidak berbeda dalam cara membersihkan debu
kekotoran duniawi, namun berbeda-beda [dalam penjabarannya] seperti Tiga Dharma, Empat
Marga, Dua Jalan. Putra bajik! Meskipun air memiliki fungsi pembersih, namun [air] sumur
bukanlah [air] kolam, [air] kolam bukan [air] sungai besar, sungai kecil, kali, dan [begitu juga]
kanal bukanlah laut. Sedangkan Sang Tathagata yang perkasa di dunia ini memiliki keleluasaan
dalam [mengimplementasikan] Dharma, demikian juga dengan berbagai Dharma yang Aku
babarkan. Baik pembabaran di awal, tengah, maupun akhir, semuanya dapat membersihkan
kekotoran batin para makhluk. Sedangkan yang awal bukanlah yang tengah, dan yang tengah
bukanlah yang akhir. Meskipun kata-kata dan ungkapan di pembabaran awal, tengah, dan akhir
adalah sama, namun masing-masing dari maknanya berbeda.

“Putra bajik! Sejak Aku bangkit dari [bawah] raja pohon [bodhi] dan [berjalan] menuju ke taman
rusa di Varanasi untuk memutar roda Dharma tentang Empat Kebenaran Mulia kepada lima
orang [pertapa yang dipimpin] oleh Ajnatakaundinya, dan [saat itu] juga [Aku] membabarkan
bahwa semua Dharma pada hakikatnya bersifat kosong, ia [tumbuh layu] silih berganti tidak
menetap, muncul lenyap dalam setiap momen pikiran. Di antara [masa-masa] tersebut hingga
sekarang, dan ke mana pun [Aku] membabarkan dan menjabarkan [Dharma] kepada para
bhiksu dan kelompok bodhisatva tentang Dua Belas Nidana [hingga] Enam Paramita, aku juga
mengajarkan bahwa semua Dharma pada hakikatnya bersifat kosong, ia [tumbuh layu] silih
berganti tidak menetap, muncul lenyap dalam setiap momen pikiran. Putra bajik! Oleh karena
itu, meskipun dalam pembabaran [DharmaKu] di awal, tengah, dan akhir memiliki kata-kata dan
ungkapan yang sama, namun maknanya berbeda. Karena maknanya berbeda maka para
makhluk memahaminya secara berbeda. Karena memahaminya secara berbeda, maka Dharma
yang direalisasi, buah yang direalisasi, dan jalan [pencerahan] yang direalisasi juga berbeda.”

“Putra bajik! Pada saat [pembabaran] di awal, Aku mengajarkan Empat Kebenaran Mulia yang
ditujukan kepada mereka yang mencari [jalan] Sravaka, ada delapan ratus juta dewa turun ke
dunia untuk mendengarkan Dharma, [setelah itu] mereka membangkitkan Bodhicitta. Pada saat
[pembabaran] di tengah, Aku mengajarkan Dua Belas Nidana di mana pun kepada mereka yang
mencari [jalan] Pratyekabuddha, [lalu dari pembabaran tersebut] ada sebanyak tak terhingga
makhluk yang membangkitkan bodhicitta, atau [ada juga] yang [tetap] berdiam di jalan Sravaka.
Selanjutnya saat pembabaran [Dharma] dalam bentuk dua belas kelompok ajaran [termasuk di
antaranya] ajaran Vaipulya, seperti Maha Prajnaparamita, dan lautan awan Avatamsaka, di situ
Aku membabarkan tentang bodhisatva yang melatih diri selama berkalpa-kalpa, lantaran [dari
pembabaran tersebut] sebanyak ratusan ribu bhiksu dan puluhan ribu bahkan hingga ratusan
juta tak terhingga makhluk dewa dan manusia yang mencapai Srotapanna, mencapai
Sakrdagamin, mencapai Anagamin, mencapai Arahat, [atau] berdiam di tingkat Pratyekabudha
dengan ajaran sebab musabab [yang saling bergantungan]nya. Putra bajik! Berdasarkan hal ini
maka dapat diketahui bahwa [meskipun] pembabarannya sama, namun maknanya berbeda.
Karena maknanya berbeda maka para makhluk memahaminya secara berbeda. Karena
memahaminya secara berbeda, maka Dharma yang direalisasi, buah yang direalisasi, dan jalan
[pencerahan] yang direalisasi [mereka] juga berbeda. Oleh karena itu, putra bajik! Sejak Aku
mencapai pencerahan dan memulai pembabaran Dharma sampai hari ini membabarkan
tentang Sutra Mahayana Makna Tak Terhingga, tidak pernah [sekalipun Aku] tidak mengajarkan
tentang penderitaan, kekosongan, ketidakkekalan, tanpa diri, [yang bersifat] bukan sejati,
bukan palsu, bukan besar, bukan kecil, yang pada dasarnya bukan demikian, dan kini juga tidak
lenyap, tiada karakteristik dari segala sesuatu, hakikat Dharma dan karaktertistik Dharma tiada
datang [dari mana pun] dan tiada pergi [ke mana pun], namun para makhluk digiring oleh
empat karakteristik.

“Putra bajik! Berdasarkan hal ini, maka para Buddha [sesungguhnya] tidak memiliki ucapan
yang berbeda, Ia dapat menggunakan satu suara untuk merespon banyak suara secara universal,
dapat menggunakan satu tubuh untuk menjelma menjadi tubuh sebanyak ratusan, ribuan,
hingga jutaan nayuta tak terhingga pasir sungai Gangga, dan di setiap tubuhNya kemudian juga
dapat menjelma berbagai macam wujud sebanyak ratusan, ribuan, hingga ratusan juta nayuta
asankheyya pasir sungai Gangga; dan di setiap wujud tersebut kemudian dapat menjelma lagi
wujud sebanyak ratusan, ribuan, hingga jutaan nayuta asankheyya pasir sungai Gangga. Oleh
karena itu, wahai putra bajik! Tingkat pencapaian para Buddha sungguh dalam dan tak
terbayangkan, itu bukanlah hal yang mampu dipahami oleh para [praktisi tingkat] dua-wahana
(Sravaka dan Pratyekabuddha), dan juga bukan hal yang dapat ditandingi oleh bodhisatva tahap
bhumika kesepuluh. Hanya di antara Buddha dan Buddha sajalah yang dapat memahaminya.

“Putra bajik! Oleh karena itulah Aku katakan bahwa Sutra Mahayana Makna Tak Terhingga yang
tiada bandingannya, sangat dalam, dan menakjubkan ini memiliki prinsip yang sungguh benar
dan keluhuran yang tertinggi, yang [selalu] dijaga bersama oleh para Buddha dari tiga masa.
Tidak ada kelompok Mara dan thirtika (penganut sekte luar) yang dapat memasukinya, dan ia
tidak dapat dirusak dan ditaklukkan oleh semua pandangan sesat [yang berada di dalam]
samsara. Jika bodhisatva-mahasatva ingin dengan cepat mencapai bodhi (pencerahan) yang
tiada bandingannya, maka ia hendaknya mempelajari dan mempraktikkan Sutra Mahayana
Makna Tak Terhingga yang sangat dalam ini.”

Setelah Sang Buddha mengucapkan ini, maka di [seantero] sistem-dunia-mayor ini bergetar
dengan enam cara, kemudian dari atas angkasa secara alami turun hujan berbagai jenis bunga,
yaitu bunga utpala surgawi, bunga padma, bunga kumuda, dan bunga pundarika. Lalu juga
turun hujan berbagai jenis dupa surgawi, pakaian surgawi, perhiasan surgawi, dan permata
surgawi tak ternilai yang tak terhingga banyaknya. [Semuanya] turun dari angkasa dalam
bentuk pusaran sebagai persembahan kepada Sang Buddha, para bodhisatva dan kelompok
besar [siswa] sravaka. Ada hidangan surgawi yang terisi penuh di mangkok patra surgawi
dengan aneka ragam citarasa surgawi. Di setiap lokasi tampak terpasang panji, bendara, dan
kanopi surgawi, serta peralatan musik surgawi. Kemudian alunan musik surgawi tersebut
dimainkan untuk memuji Sang Buddha [sebagai tanda penghormatan]. Selanjutnya muncul lagi
getaran [di alam semesta] dengan enam caranya. Di berbagai tanah-Buddha [yang berjarak
sejauh] jumlah pasir sungai Gangga di penjuru timur juga turun hujan bunga surgawi, dupa
surgawi, pakaian surgawi, perhiasan surgawi, permata surgawi tak ternilai, hidangan surgawi,
patra surgawi, aneka makanan surgawi, panji surgawi, bendera surgawi, kanopi surgawi, dan
peralatan musik surgawi. Kemudian alunan musik surgawi tersebut dimainkan untuk memuji
Buddha, bodhisatva, dan kelompok besar [siswa] sravaka di sana. Demikian juga dengan kondisi
di penjuru selatan, barat, utara, dan empat penjuru lainnya, serta atas dan bawah.

Dengan demikian maka di dalam persamuhan terdapat tiga puluh dua ribu bodhisatva-
mahasatva memperoleh konsentrasi [yang disebut] Ananta-nirdesa Samadhi (Samadhi Makna
Tak Terhingga), dan tiga puluh empat ribu bodhisatva-mahasatva memperoleh metode dharani
yang tak terhitung dan tak terhingga banyaknya, mereka mampu memutar roda Dharma yang
tidak akan mundur lagi dari semua Buddha dari tiga masa. Kemudian pada saat—para bhiksu,
bhiksuni, upasaka, upasika, dewa, naga, yaksha, gandharva, asura, garuda, kinnara, mahoraga,
para raja Cakravartin, yaitu Maharaja Cakravartin, Raja-kecil Cakravartin, Raja Cakra Perak, dan
Raja Cakra Besi; para raja [kerajaan], pangeran, menteri, rakyat, warga pria dan wanita yang
dihormati, dan pemuka masyarakat, bersama para pengikutnya yang berjumlah ratusan ribu—
mendengar Sang Buddha Tathagata membabarkan Sutra ini, di antara mereka ada yang
mencapai tahap Usmagata, Murdhana, [Ksanti], Laukikagra-dharma, Srotapanna, Sakrdagamin,
Anagamin, Arahat, Pratyekabuddha, juga ada yang mencapai tingkat Anutpatikadharma-ksanti
dari [jalan] bodhisatva, juga ada yang memperoleh satu jenis dharani, juga memperoleh dua
jenis dharani, juga memperoleh tiga jenis dharani, juga memperoleh empat jenis dharani, lima,
enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh jenis dharani, bahkan juga memperoleh ratusan,
ribuan, hingga ratusan juta dharani, atau bahkan juga memperoleh dharani sebanyak
asankheyya pasir sungai Gangga yang tak terhitung dan tak terhingga, [sehingga] mereka semua
mampu menyesuaikan [kondisi makhluk] untuk memutar roda Dharma yang tak akan mundur
lagi, dan terdapat tak terhingga makhluk yang membangkitkan batin [aspirasi untuk merealisasi]
Anuttara-samyaksambodhi.

Varga III: Sepuluh Pahala Kebajikan

Pada saat itu, Bodhisatva-mahasatva Mahavyuha berkata lebih lanjut kepada Sang Buddha,
“Bhagava! Sutra Mahayana Makna Tak Terhingga yang tiada bandingannya, yang sangat dalam
dan menakjubkan yang dibabarkan oleh Sang Bhagava ini benar-benar sangat dalam, sangat
dalam, dan teramat sangat dalam. Mengapa demikian? Di antara para peserta persamuhan ini,
yaitu para bodhisatva-mahasatva dan empat kelompok [siswa], dewa, naga, hantu supranatural,
raja, menteri, rakyat, serta para makhluk [lainnya] yang eksis tersebut setelah mendengarkan
Sutra Mahayana Makna Tak Terhingga yang sangat dalam ini, tiada [satu pun dari mereka] yang
tidak memperoleh metode dharani, Tiga Dharma, Empat Buah [pencapaian], dan
[membangkitkan] Bodhicitta. Maka dapat diketahui bahwa Sutra ini memiliki prinsip yang
sungguh benar dan keluhuran yang tertinggi, yang [selalu] dijaga bersama oleh para Buddha
dari tiga masa. Tidak ada kelompok Mara dan thirtika (penganut sekte luar) [mana pun] yang
dapat memasukinya, dan ia tidak dapat dirusak dan ditaklukkan oleh semua pandangan sesat
[yang berada di dalam] samsara.

Mengapa demikian? Karena begitu mendengarnya sekali maka ia sanggup mengamalkan semua
Dharma. Jika ada makhluk yang dapat mendengarkan Sutra ini maka [ia akan memperoleh]
manfaat yang besar. Mengapa demikian? Karena jika ia dapat mempraktikkannya, maka niscaya
dapat dengan cepat merealisasi Anuttara-samyaksambodhi. Jika ada makhluk yang tidak dapat
mendengarkannya, maka dapat diketahui bahwa mereka kehilangan manfaat yang besar, dan
selama asankheyya kalpa yang tak terhingga, tak terbatas, dan tak terbayangkan bahkan
melampauinya, mereka tidak dapat merealisasi Anuttara-samyaksambodhi. Mengapa demikian?
Karena mereka bukannya mengetahui jalan agung pencerahan (bodhi) yang lurus, malah
berjalan di jalur yang penuh bahaya dan banyak rintangan. Bhagava! Sutra ini sungguh tak
terbayangkan. Semoga Sang Bhagava demi belas kasihnya kepada para peserta persamuhan
besar mempertunjukkan aktivitas yang tak terbayangkan dari Sutra ini. Bhagava! Dari manakah
Sutra ini berasal; akan ke manakah tujuannya, dan di manakah ia akan berdiam, sehingga
memiliki kekuatan tak terbayangkan dan pahala kebajikan tak terhingga yang sedemikian rupa
sampai membuat para makhluk dengan cepat merealisasi Anuttara-samyaksambodhi?

Kemudian pada saat itu Sang Bhagava berkata kepada Bodhisatva-mahasatva Mahavyuha,
“Bagus, bagus! Putra bajik! Demikianlah, demikianlah sebagaimana yang engkau katakan, putra
bajik! Aku katakan bahwa Sutra ini sangat dalam, sangat dalam! Sungguh sangat dalam!
Mengapa demikian?
Karena dapat membuat para makhluk dengan cepat merealisasi Anuttara-samyaksambodhi.
Karena begitu mendengarnya sekali maka ia sanggup menerapkan semua Dharma.
Karena memberi manfaat yang besar kepada para makhluk.
Karena dengan mempraktikkan jalan agung yang lurus tidak memiliki rintangan.
Putra bajik! Engkau bertanya tentang dari manakah Sutra ini berasal, ke manakah tujuannya,
dan di manakah ia akan berdiam, maka dengarkanlah baik-baik. Putra bajik! Pada hakikatnya
Sutra ini berasal dari istana para Buddha, ia menuju ke bodhicitta yang dibangkitkan semua
makhluk, dan akan berdiam di wilayah praktik para bodhisatva. Putra bajik! Demikianlah Sutra
ini berasal, demikianlah ia menuju, dan demikianlah ia berdiam. Oleh karena itulah Sutra ini
memiliki kekuatan tak terbayangkan dan pahala kebajikan tak terhingga yang demikian rupa
sampai membuat para makhluk dengan cepat merealisasi Anuttara-samyaksambodhi. Putra
bajik! Kini apakah engkau ingin mendengar bahwa Sutra ini juga memiliki sepuluh kekuatan dari
pahala kebajikan yang tak terbayangkan?

Mahavyuha berkata, “[Kami] dengan senang hati ingin mendengarnya.”

Sang Buddha berkata, “Putra bajik! Pertama, Sutra ini dapat membuat bodhisatva yang belum
membangkitkan bodhicitta menjadi terbangkitkan bodhicitta-nya, yang tidak memiliki rasa cinta
kasih menjadi terbangkitkan pikiran cinta kasihnya, yang suka membunuh menjadi
terbangkitkan pikiran welas asih agungnya, yang memiliki rasa iri hati menjadi terbangkitkan
rasa turut bergembiranya [atas kebahagiaan orang lain], yang memiliki kemelekatan menjadi
terbangkitkan kesanggupan melepasnya, yang diliputi kekikiran dan keserakahan menjadi
terbangkitkan batin dermawannya, yang penuh kesombongan menjadi terbangkitkan batin
praktik moralitasnya, yang sarat dengan amarah menjadi terbangkitkan pikiran sabarnya, yang
muncul kemalasan menjadi terbangkitkan semangatnya, yang diliputi kekalutan menjadi
terbangkitkan pikiran konsentrasinya, yang bodoh menjadi terbangkitkan pikiran bijaknya, yang
belum mampu menyelamatkan para makhluk menjadi terbangkitkan pikiran untuk
menyelamatkan para makhluk, yang melakukan sepuluh perbuatan buruk menjadi
terbangkitkan pikiran tentang sepuluh kebajikan, yang menyenangi aspek terkondisi menjadi
bertekad memiliki pikiran tak terkondisi, yang aspirasinya mundur membuat aspirasi tidak
mundur, yang memiliki kebocoran batin membangkitkan pikiran tanpa kebocoran batin, yang
memiliki banyak kekotoran batin membangkitkan pikiran untuk melenyapkannya. Putra bajik!
Inilah yang disebut kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan pertama dari Sutra ini.

Putra bajik! Kedua, kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan dari Sutra ini adalah jika ada
makhluk yang memperoleh Sutra ini lalu menyebarkannya [sebanyak] satu syair bahkan hingga
hanya satu penggal kalimat, maka ia akan mampu memahami ratusan, ribuan bahkan ratusan
juta makna yang selama kalpa tak terhingga tidak akan [habis] untuk membabarkan Dharma
yang diamalkannya tersebut. Mengapa demikian? Karena Sutra ini memiliki makna yang tak
terhingga. Putra bajik! Sutra ini, misalnya dari satu benih tanaman tumbuh menjadi ratusan,
ribuan, bahkan jutaan benih, kemudian dari ratusan, ribuan, dan jutaan [benih tersebut]
masing-masing tumbuh lagi sebanyak ratusan, ribuan, dan jutaan [benih], demikianlah
seterusnya berkembang sampai tak terhingga banyaknya. Demikian juga dengan Sutra ini. Oleh
karena itulah Sutra ini dinamakan Makna Tak Terhingga. Putra bajik! Inilah yang disebut
kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan kedua dari Sutra ini.

Putra bajik! Ketiga, kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan dari Sutra ini adalah jika ada
makhluk yang mendengar Sutra ini lalu menyebarkannya [sebanyak] satu syair bahkan hingga
hanya satu penggal kalimat, dan setelah ia mampu memahami ratusan, ribuan bahkan ratusan
juta makna, maka meskipun [masih] memiliki kekotoran batin, ia seperti tidak memiliki
kekotoran batin, [sehingga] ia [dapat] keluar masuk [di dalam] siklus samsara tanpa merasa
takut demi belas kasihnya kepada para makhluk dan memiliki keberanian terhadap segala hal
bagaikan orang kuat yang mampu memikul dan membawa berbagai beban yang berat.
Demikian juga dengan orang yang mengamalkan Sutra ini, sanggup memikul beratnya permata
Bodhi yang tiada bandingannya dan memikul [tanggung jawab untuk membawa] para makhluk
keluar dari jalur siklus samsara, [sehingga walaupun ia] belum dapat menyelamatkan diri sendiri,
namun telah mampu menyelamatkan para makhluk lainnya. Ibarat nahkoda kapal yang
tubuhnya sakit berat, keempat anggota tubuhnya tidak bugar, dan hanya berdiam di pantai sini,
namun ia memiliki kapal yang kokoh dan kuat, serta kerap membuat berbagai perlengkapan
untuk menyeberangkan orang dengan memberikannya kepada mereka agar dapat pergi
[dengan selamat]. Demikian juga dengan orang yang mengamalkan Sutra ini, meskipun
tubuhnya berada di lima alam kehidupan yang selalu direcoki oleh seratus delapan jenis
penyakit berat, dan berdiam di pantai sini [yang diliputi] kegelapan batin, tua, sakit dan mati,
namun sehubungan dengan adanya penerapan Sutra Mahayana Makna Tak Terhingga yang
kokoh maka ia dapat menyelamatkan para makhluk, dapat membuat mereka yang berpraktik
sesuai dengan ajarannya terbebas dari samsara. Putra bajik! Inilah yang disebut kekuatan
pahala kebajikan tak terbayangkan ketiga dari Sutra ini.

Putra bajik! Keempat, kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan dari Sutra ini adalah jika ada
makhluk yang mendengar Sutra ini, lalu menyebarkannnya [sebanyak] satu syair bahkan hingga
hanya satu penggal kalimat, ia memperoleh keberanian [terhadap segala hal] [sehingga]
meskipun belum menyelamatkan diri sendiri namun ia mampu menyelamatkan makhluk
lainnya, ia menjadi bagian dari kerabat para bodhisatva, dan para Buddha Tathagata selalu
membabarkan Dharma kepada orang tersebut. Setelah mendengarnya, ia dapat menerima dan
mengamalkannya dengan mengikuti [ajarannya] tanpa ada pertentangan, selanjutnya seiring
dengan itu ia membabarkannya secara luas kepada orang lain. Putra bajik! Orang ini ibarat
seorang ratu yang baru saja melahirkan putra mahkota, meskipun baru berusia satu hari, dua
hari atau bahkan hanya tujuh hari, atau satu bulan, dua bulan, bahkan hingga tujuh bulan, atau
satu tahun bahkan hingga tujuh tahun, ia belum mampu memimpin suatu urusan negara,
namun telah mendapatkan penghormatan dari menteri dan rakyatnya, didampingi oleh para
pangeran besar, serta mendapatkan kasih sayang yang besar dari raja dan ratu, dan sering
diajak berbicara. Mengapa demikian? Karena usianya yang masih kecil. Putra bajik! Demikian
juga dengan orang yang mengamalkan Sutra ini, [ibarat] para ‘raja’ Buddha bersama ‘ratu’ Sutra
ini melahirkan sang putra bodhisatva. Jika sang bodhisatva mendengar Sutra ini sebanyak satu
kalimat atau satu syair, lantas menyebarkannya sebanyak satu putaran, atau sepuluh putaran,
atau seratus, seribu, sepuluh ribu, seratus juta triliun, atau bahkan sebanyak jumlah pasir
sungai Gangga yang tak terhingga dan tak terhitung putaran, meskipun ia masih belum mampu
memahami prinsip sejatinya secara mutlak, dan meskipun ia masih belum mampu
menggetarkan [seantero] sistem-dunia-mayor, menggelegarkan suara Brahma, dan memutar
roda Dharma agung, namun ia telah dihormati dan dipuja oleh seluruh empat kelompok [siswa]
dan delapan kelompok [makhluk supranatural], dan dianggap sebagai bagian dari kerabat para
bodhisatva agung, [mampu] memasuki secara mendalam rahasia Dharma dari para Buddha,
terhadap apa yang ia babarkan tiada lagi pertentangan dan kesalahan, lantaran ia selalu dijaga
dan diingat oleh para Buddha dengan penuh cinta kasih karena ia sebagai orang yang baru
belajar. Putra bajik! Inilah yang disebut kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan keempat
dari Sutra ini.

Putra bajik! Kelima, kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan dari Sutra ini adalah jika ada
putra dan putri bajik yang menerima, mengamalkan, melantunkan dan menyalin Sutra
Mahayana Makna Tak Terhingga yang tiada bandingannya dan sangat dalam ini—baik pada saat
Buddha masih berada di dunia ini maupun setelah parinirvana—maka walaupun orang ini masih
terikat oleh kekotoran batin, belum mampu menjauhi berbagai aktivitas keduniawian, namun ia
telah mampu mempertunjukkan jalan pencerahan agung, memperpanjang satu hari menjadi
seratus kalpa dan begitu juga seratus kalpa dapat dipersingkat menjadi satu hari agar para
makhluk meyakininya dengan penuh sukacita. Putra bajik! Putra dan putri bajik ini ibarat anak
naga yang baru lahir tujuh hari sudah mampu menumbuhkan awan dan juga dapat menurunkan
hujan. Putra bajik! Inilah yang disebut kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan kelima dari
Sutra ini.

Putra bajik! Keenam, kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan dari Sutra ini adalah jika ada
putra dan putri bajik yang menerima dan melantunkan Sutra ini—baik pada saat Buddha masih
berada di dunia ini maupun setelah parinirvana—maka meskipun ia memiliki kekotoran batin,
namun tetap mengajarkan Dharma kepada para makhluk agar mereka dapat terbebas dari
kekotoran batin, samsara, dan melenyapkan semua penderitaan. Setelah makhluk tersebut
mendengar [ajaran] kemudian mempraktikkannya, mereka merealisasi Dharma, merealisasi
buah [pencapaian], dan merealisasi jalan [pencerahan] yang setara dengan Buddha tanpa
perbedaan. Ibarat putra mahkota, meskipun ia masih kecil, jika raja sedang melakukan
perjalanan atau sedang sakit, maka sang putra mahkota akan mewakili [raja] untuk memimpin
suatu urusan negara. Saat itu sang putra mahkota memerintah para menteri dan pejabat-
pejabatnya sesuai dengan instruksi maha raja, agar menjalankan tugas mereka sesuai dengan
hukum kebenaran agar rakyat di kerajaannya dapat hidup dengan aman dan tenteram di mana
hal ini sama seperti saat raja sendiri menjalankan pemerintahannya tanpa beda. Demikian juga
dengan putra dan putri bajik yang mengamalkan Sutra ini, baik saat Buddha masih berada di
dunia ini maupun setelah parinirvana, walaupun sang putra bajik masih belum mencapai
tahapan Acala-bhumi dari [jalan] bodhisatva, ia dapat mengajarkan [Dharma] dengan mengikuti
instruksi ajaran dari Buddha. Setelah para makhluk mendengarnya, dan mempraktikkannya
dengan sungguh-sungguh, maka mereka dapat mengikis kekotoran batin, merealisasi Dharma,
merealisasi buah [pencapaian], bahkan hingga merealisasi jalan [pencerahan]. Putra bajik!
Inilah yang disebut kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan keenam dari Sutra ini.

Putra bajik! Ketujuh, kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan dari Sutra ini adalah jika ada
putra dan putri bajik yang mendengar Sutra ini—baik pada saat Buddha masih berada di dunia
ini maupun setelah parinirvana—lalu ia bergembira, meyakini dengan sukacita, memunculkan
pikiran akan betapa langkanya [Sutra ini], menerima, mengamalkan, melantunkan, menyalin,
mengajarkannya, dan mempraktikannya dengan benar, membangkitkan bodhicitta,
memunculkan berbagai akar kebajikan, menumbuhkan pikiran welas asih agung, berkehendak
menyelamatkan semua makhluk yang menderita. Meskipun belum mempraktikkan Enam
Paramita, namun Enam Paramita telah berada di hadapannya secara alami, kemudian melalui
tubuhnya ini ia merealisasi [tingkat] Anutpatikadharma-ksanti, kekotoran batinnya di samsara
hancur dalam sekejap, ia naik ke tingkat bhumi ketujuh dan tahap bodhisatva agung. Ibarat
seorang yang perkasa membantu raja menumpas musuh, begitu musuh telah ditumpas, raja
sangat bersukacita lalu memberikan hadiah setengah dari kerajaannya. Demikian juga dengan
putra dan putri bajik yang mengamalkan Sutra ini, ia adalah yang paling perkasa di antara para
praktisi [lainnya], permata Dharma dari Enam Paramita datang sendiri tanpa ia mencarinya,
[sehingga] musuh dari siklus samsara dihancurkan dengan sendirinya, dan ia merealisasi [tahap]
Anutpatikadharma-ksanti, setengah dari permata negeri Buddha diperolehnya dengan sukacita.
Putra bajik! Inilah yang disebut kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan ketujuh dari Sutra
ini.

Putra bajik! Kedelapan, kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan dari Sutra ini adalah jika
ada putra dan putri bajik yang memperoleh Sutra ini —baik pada saat Buddha masih berada di
dunia ini maupun setelah parinirvana—lalu ia menghormati dan meyakininya seperti sedang
melihat tubuh Sang Buddha tanpa beda, menyenangi Sutra ini, menerima, mengamalkan,
melantunkan, menyalin, menjunjungi, dan mempraktikkannya secara benar, teguh di dalam
praktik moralitas dan kesabaran, ditambah dengan praktik dana-paramita, mengembangkan
cinta kasih dan welas asih secara dalam lalu membabarkan Sutra Mahayana Makna Tak
Terhingga yang tiada bandingannya ini secara luas kepada [semua] orang. Apabila ada orang
yang awalnya tidak memiliki keyakinan tentang adanya akibat dari perbuatan baik dan buruk,
maka tunjukkanlah Sutra ini, gunakan berbagai cara-cara terampil untuk membimbingnya
dengan teguh agar ia meyakininya. Karena melalui kekuatan perkasa dari Sutra ini maka
menginspirasi batinnya untuk berbalik haluan dalam sekejap. Begitu keyakinan dalam batinnya
terbangkitkan karena dari ketekunan dan keberaniannya, ia mendapatkan kekuatan kebajikan
yang luar biasa dari Sutra ini sehingga merealisasi jalan [pencerahan] dan buah [pencapaian].
Oleh karena itu, putra dan putri bajik melalui tubuh [dalam kehidupan ini] merealisasi [dari
tingkat] Anutpatikadharma-ksanti hingga tahapan bhumi yang tinggi, dan ia menjadi bagian dari
kerabat para bodhisatva, dapat dengan cepat menghasilkan tanah-Buddha yang murni untuk
para makhluk, tidak lama lagi akan merealisasi pencerahan sempurna yang tiada bandingannya.
Putra bajik! Inilah yang disebut kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan kedelapan dari
Sutra ini.

Putra bajik! Kesembilan, kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan dari Sutra ini adalah jika
ada putra dan putri bajik yang memperoleh Sutra ini—baik pada saat Buddha masih berada di
dunia ini maupun setelah parinirvana—lalu ia meluapkan kegembiraannya karena
mendapatkan apa yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya, kemudian menerima,
mengamalkan, melantunkan, menyalin, memberi persembahan, dan menjabarkannya secara
luas kepada semua orang, serta menjelaskan makna dari Sutra ini, maka sisa karma buruk
kehidupan lampau dan rintangan karma beratnya dalam satu saat akan terkikis habis,
kemudian ia menjadi murni, memperoleh kemampuan berbicara yang luas, dan secara
bertahap menghiasi berbagai paramita, memperoleh berbagai konsentrasi, [seperti]
Shurangama Samadhi, dan memasuki metode dharani agung, memperoleh kekuatan semangat
yang teguh, sehingga dengan cepat melampaui tahapan bhumi [tingkat] atas, memiliki
kemampuan secara piawai dalam memperbanyak tubuh untuk disebarkan ke sepuluh penjuru
negeri demi mencabut semua bagian dari dua puluh lima jenis penderitaan ekstrim para
makhluk, agar mereka dapat terbebaskan. Oleh karena itulah Sutra ini memiliki kekuatan yang
sedemikian rupa. Putra bajik! Inilah yang disebut kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan
kesembilan dari Sutra ini.

Putra bajik! Kesepuluh, kekuatan pahala kebajikan tak terbayangkan dari Sutra ini adalah jika
ada putra dan putri bajik yang memperoleh Sutra ini—baik pada saat Buddha masih berada di
dunia ini maupun setelah parinirvana—lalu ia meluapkan kegembiraannya yang besar,
memunculkan pikiran akan betapa langkanya [Sutra ini] dengan menerima, mengamalkan,
melantunkan, menyalin, memberikan persembahan, dan mempraktikkannya dengan benar,
kemudian ia dapat menasihati para perumah tangga dan mereka yang meninggalkan kehidupan
rumah tangga untuk menerima, mengamalkan, melantunkan, menyalin, memberikan
persembahan, menjelaskan dan mempraktikkannya dengan benar, kemudian juga membuat
orang lain untuk mempraktikkannya, dan sehubungan dengan kekuatan Sutra ini maka mereka
merealisasi jalan [pencerahan] dan buah [pencapaian], yang semua ini disebabkan oleh
kekuatan bimbingan dari putra dan putri bajik ini yang didasarkan atas welas asihnya. Putra dan
putri bajik ini dengan tubuh [dalam kehidupan ini] akan memperoleh berbagai metode dharani
yang tak terhingga. Sebagai makhluk yang masih di tahapan awam dari sejak awal ia akan dapat
membangkitkan aspirasi agung sebanyak asankheyya tak terhitung, [yaitu] dapat
membangkitkan [aspirasi] yang dalam untuk menyelamatkan semua makhluk dengan
memenuhi belas kasih agung dan mampu menyelamatkan para makhluk dari penderitaan,
banyak memupuk akar kebajikan demi memberi manfaat kepada semua [makhluk] melalui
pembabaran Dharma demi melembabkan [ladang batin makhluk] yang tandus, kemudian
menggunakan berbagai jenis racikan obat Dharma, lalu diberikan kepada para makhluk untuk
menenteramkan mereka semua, sehingga ia secara bertahap dapat mencapai dan berdiam di
[tahapan] bhumi Dharmamegha [dari jalan bodhisatva]. Jasa kebajikannya menyebar secara
universal, dan tiada yang tidak dinaungi oleh welas asihnya agar semua makhluk yang
menderita dapat dituntun untuk masuk ke jalur Dharma. Dengan demikian, orang ini tidak lama
lagi akan merealisasi Anuttara-samyaksambodhi. Putra bajik! Inilah yang disebut kekuatan
pahala kebajikan tak terbayangkan kesepuluh dari Sutra ini.

Putra bajik! Demikianlah Sutra Mahayana Makna Tak Terhingga yang tiada bandingannya,
sungguh memiliki daya kekuatan gaib yang besar, dan keluhuran yang tertinggi, dapat membuat
para makhluk awam merealisasi buah kesucian, terbebas dari siklus samsara selamanya
sehingga mendapatkan keleluasan. Oleh karena itulah Sutra ini bernama Makna Tak Terhingga.
Ia dapat membuat semua makhluk dari tahap makhluk awam menumbuhkan tunas jalan
bodhisatva yang tak terhingga banyaknya, dapat membuat pohon pahala kebajikannya menjadi
subur, rindang, dan berkembang. Oleh karena itu, Sutra ini disebut sebagai sepuluh kekuatan
pahala kebajikan tak terbayangkan.”

Kemudian Bodhisatva-mahasatva Mahavyuha bersama delapan puluh ribu bodhisatva-


mahasatva secara serempak berkata kepada Sang Buddha, “Bhagava, Sutra Mahayana Makna
Tak Terhingga yang sangat dalam, halus dan luhur, yang dibabarkan oleh Buddha ini memiliki
prinsip yang sungguh benar dan keluhuran yang tertinggi yang [selalu] dijaga bersama oleh para
Buddha dari tiga masa. Tidak ada kelompok Mara dan thirtika (penganut sekte luar) [mana pun]
yang dapat memasukinya, dan ia tidak dapat dirusak dan ditaklukkan oleh semua pandangan
sesat [yang berada di dalam] samsara. Oleh karena itulah Sutra ini memiliki sepuluh kekuatan
dari pahala kebajikan tak terbayangkan sedemikian rupa, memberi manfaat yang besar kepada
semua makhluk yang tak terhingga banyaknya, dan membuat para bodhisatva masing-masing
memperoleh konsentrasi [yang disebut] Ananta-nirdesa Samadhi, atau memperoleh ratusan
ribu metode dharani, atau membuat [mereka] merealisasi berbagai tahapan bhumi dari [jalan]
bodhisatva dan berbagai jenis kesabaran (ksanti), atau merealisasi [tingkat] pratyekabuddha,
dan arahat [termasuk] empat tingkat kesucian [lainnya]. Sang Bhagava [sungguh] berbelas kasih,
sehingga dengan sigap membabarkan Dharma demikian kepada kami, dan membuat kami
banyak memperoleh manfaat Dharma. Ini sungguh sangat istimewa dan unik, tidak pernah
terjadi sebelumnya. Welas asih dan jasa kebajikan Sang Bhagava sungguh sulit dibalas.

Pada saat itu,[seantero] sistem-dunia-mayor bergetar dengan enam cara, di atas angkasa turun
hujan berbagai jenis bunga, yaitu bunga utpala surgawi, bunga padma, bunga kumuda, dan
bunga pundarika. Lalu juga turun hujan berbagai jenis dupa surgawi, pakaian surgawi, perhiasan
surgawi, dan permata surgawi tak ternilai yang tak terhingga banyaknya. [Semuanya] turun dari
angkasa dalam bentuk pusaran sebagai persembahan kepada Sang Buddha, para bodhisatva
dan kelompok besar [siswa] sravaka. Ada hidangan surgawi yang terisi penuh di mangkok patra
surgawi dengan aneka ragam citarasa surgawi. bagi mereka yang melihat wujud dan mencium
aromanya saja akan menjadi terpuaskan secara alami. Di setiap lokasi tampak terpasang panji,
bendara, dan kanopi surgawi, serta peralatan musik surgawi. Kemudian alunan musik surgawi
tersebut dimainkan untuk menghibur Sang Buddha, para bodhisatva, dan kelompok besar
[siswa] sravaka di sana. Demikian juga dengan kondisi di penjuru selatan, barat, utara, dan
empat penjuru lainnya, serta atas dan bawah.

Kemudian pada saat itu Sang Buddha berkata kepada Bodhisatva-mahasatva Mahavyuha dan
delapan puluh ribu bodhisatva-mahasatva, “Kalian hendaknya menumbuhkan rasa hormat yang
dalam kepada Sutra ini, mempraktikannya dengan benar, membimbing [para makhluk] secara
luas, dan menyebarkannya secara gigih. Selalu menjaganya siang malam dengan tulus, dan
upayakan agar para makhluk memperoleh manfaat dari Dharma [tersebut]. [Dengan demikian
maka] kalian sungguh memiliki cinta kasih dan welas asih agung, dan membangkitkan tekad
kekuatan batin untuk menjaga Sutra ini, jangan sampai ada keraguan [terhadapnya], lalu di
masa mendatang upayakanlah agar ia dapat dipraktikkan secara luas di Jambudvipa agar semua
makhluk dapat melihat, mendengar, melantunkan, menyalin, dan memberikan persembahan.
Dengan demikian maka ia juga akan membuat kalian dengan cepat merealisasi Anuttara-
samyaksambodhi.”

Selanjutnya, pada saat itu, Bodhisatva-mahasatva Mahavyuha dan delapan puluh ribu
bodhisatva-mahasatva bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Sang Buddha, menghormat
dengan kepala [menyentuh] di bawah kakiNya, mengelilingiNya [ke arah kanan] sebanyak
ratusan ribu kali, lalu bersujud, dan dengan suara yang serempak berkata kepada Sang Buddha,
“Bhagava, berkat cinta kasih dan belas kasih Sang Bhagava kepada kami telah membabarkan
Sutra Mahayana Makna Tak Terhingga yang sangat dalam, halus dan luhur ini. [Kami] dengan
hormat menerima instruksi Sang Buddha, setelah Sang Tathagata parinirvana kami akan
berupaya menyebarluaskan Sutra ini agar semua [makhluk] dapat menerima, mengamalkan,
melantunkan, menyalin, dan memberikan persembahan. Mohon Sang Bhagava tidak perlu
merasa khawatir. Dengan kekuatan tekad ini kami akan berupaya agar semua makhluk dapat
melihat, mendengar, melantunkan, menyalin, memberikan persembahan, dan memperoleh
daya kekuatan gaib dari Dharma dalam Sutra ini.

Pada saat itu Sang Buddha memuji [para bodhisatva] dengan berkata, “Bagus, bagus, para putra
bajik! Kini kalian benar-benar adalah putra Buddha [yang memiliki] cinta kasih dan welas asih
agung, betapa dapat mencabut dan menyelamatkan mereka dari penderitaan, menjadi ladang
yang subur bagi semua makhluk, menjadi pembimbing agung yang baik bagi semuanya, menjadi
tempat sandaran yang agung bagi semua makhluk, menjadi penderma yang agung bagi semua
makhluk, dan selalu menggunakan Dharma yang bermanfaat untuk didermakannya secara luas
kepada semua [makhluk].

Pada saat itu, seluruh kelompok persamuhan merasakan suka cita yang besar, [kemudian
mereka] memberi hormat kepada Sang Buddha, menerima dan mengamalkannya, lalu
meninggalkan [persamuhan].

Anda mungkin juga menyukai