Anda di halaman 1dari 96

BAB I

“Kehidupan seseorang manusia dibagi-bagi dalam tiga keadaan (tahap) yaitu masing-
masing
alam-sadar, alam-mimpi dan alam-tidur tanpa mimpi. Namun di atas ketiga tahap ini
masih
ada sebuah alam lain yang bersifat kesadaran yang tertinggi . . . alam ini disebut
sebagai yang
Keempat.”

Mandukya
Upanishad

MANDUKYA & KARIKA

“Wahai para dewata, semoga kami senantiasa mendengarkan apapun yang bersifat suci
dan
murni: wahai para dewata yang kami puja-puji, semoga kami senantiasa melihat apapun
yang
bersifat suci dan murni. Semoga kami senantiasa menjalani kehidupan kami secara
sehat dan
sejahtera, sambil senantiasa memanjatkan doa-doa kami ke arahMu semua. Semoga Indra
yang Kuna dan terkenal, Pooshan (Surya) yang serba mengetahui; Bayu, dewata yang
berkecepatan tinggi yang senantiasa menyelamatkan kita dari segala bencana, dan
Brihaspati
yang menjaga kekayaan spiritual kita semua dengan kekuatan budhi agar kita dapat
memahami skripsi suci ini, dan semoga kami dapat mengikuti ajaran ini.”

Om Santhi-Santhi-Santhi

Keterangan : Demikianlah caranya dimasa lampau, para resi memulai ajaran mereka,
dengan
melantunkan shanti-mantra di atas, bersama-sama para sishya mereka sebelum memulai
sesuatu ajaran Upanishad yang dianggap suci. Mantra ini juga disebut Shantipat.
Upanishad
yang satu ini dianggap yang tertinggi diantara 108 Upanishad lainnya, walaupun
hanya
berisikan 12 sloka mantra saja, namun Karika (tafsir ditambah berbagai keterangan
dan
ajaran lain-lainnya) cukup panjang dan melelahkan bagi kaum awam.

Kata kita dan kami di mantra tersebut di atas, dapat diartikan sebagai berikut di
dalam bahasa
Inggris. We all = kita; we = kami. Demikian agar tidak rancu dalam pemahamannya.

Sebelum memulai dengan ajaran ini, sebaiknya kita menyimak dulu Upanishad yang satu
ini,
yang terkesan sangat khusus, yang selain berisikan 12 mantra inti, juga Karika yang
sulit
dipahami oleh kaum awam dan sebagian para resi sekalipun. Karika ditulis dan
diajarkan
oleh seorang resi agung bernama Sri Gaudapada, dari aliran Sri Shankara Acharya,
Bapak
agama Hindhu modern. Ajaran Karika ini telah diterima umat Hindhu sebagai pedoman
yang
handal untuk Upanishad yang satu ini.

Karika ini sendiri bukan sembarang ulasan yang bersifat biasa, tetapi lebih
bersifat ulasan
memorial dalam bentuk metrikal agar mudah dipahami oleh sishya. Berbagai mantra dan
sutra-sutra juga ditambahkan agar lebih mudah pemahamannya. Agar memori para murid
dan
pembaca terjaga dengan agak baik, banyak sekali mantra seloka terkesan diulang-
ulang, dan
agak membosankan, namun sangat bermanfaat dikala kita lupa akan intisari ajaran
ini, yang
seharusnya dihayati sedikit demi sedikit dan tidak perlu dibaca sekaligus. Yang
seharusnya
diperhatikan adalah mempelajari ilmu pengetahuan yang sarat filosofi ini, yang
dicetuskan
sewaktu bangsa Barat belum mengenal peradaban dunia ini.
Sejauh ini belum ada seorangpun yang mampu menjabarkan siapa gerangan penulis
ajaran
Upanishad ini, dan juga berbagai Upanishad yang lainnya. Para ahli hanya bisa
menduga-
duga bahwasanya nama depan resi penulis setiap Upanishad dipergunakan oleh para
sishyanya, sebagai judul kitab-kitab Upanishad ini. Sebagai contoh : Kathaka diduga
adalah
pencetus Kathopanishad; Kena mungkin adalah penulis Kanopanishad dan seterusnya.
Namun untuk Upanishad yang satu ini, dugaan tersebut bisa saja tidak berlaku,
karena kata
Mandukya dalam bahasa Sansekerta berarti kodok, Upanishad ini bisa berarti ajaran
Ajaran
Sang Kodok (Katak). Konon ada seorang resi yang menyatakan, bahwasanya penulis
Upanishad ini begitu merendahkan dirinya sehingga mengibaratkan dirinya sebagai
seekor
kodok yang terkungkung di dalam sebuah tempurung, dan merasakan apa yang diajarkan
ini
masih jauh dari sempurna, jadi beliau tidak mau namanya dicantumkan. Namun orang
suci
ini juga berkomentar bahwasanya seekor katak biasanya menyisihkan sekitar 9 atau 10
bulan
setahunnya untuk berhibernasi di kolam atau genangan lumpur pekat, seakan-akan
bermeditasi dalam suatu kesatuan kelompok, dan seakan-akan menjauhi seluruh
keaktifan
duniawi dan hanya terserap di alam hibernasinya saja, yang berkepanjangan namun
hening
ini. Pada musim hujan mereka keluar dari keheningan ini dan mulailah orkes katak
yang
mempesona itu. Orkes katak ini sudah tidak bisa dinikmati lagi oleh manusia yang
tinggal di
kota-kota besar!

Bukankah para resi yang menyepikan diri mereka ke hutan dan gua (para Sanyasi)
melakukan
hal serupa juga? Dengan pakaian yang sangat minim, bahkan ada yang bertelanjang
bulat;
para resi di India ini turun ke sungai Gangga setahun sekali pada hari raya Kumba
Mela atau
hari-hari khusus lainnya, untuk mengumandangkan ajaran kebenaran mereka.

Kata Upanishad ini sendiri bisa berarti : Upa + ni + shad yang berarti duduk
didataran rendah
(level yang ama). Maksudnya guru dan murid duduk di level yang sama di lapangan
terbuka,
yang satu menghadap ke yang lainnya. Inilah sistim sekolah tertua di dunia dan
masih
dipraktekkan di Shantiniketan, sebuah universitas yang didirikan oleh Sri
Rabindranath
Tagore di tahun empat puluhan.

Kembali ke Mandukya Upanishad ini, konon menurut ajaran Muktiko Upanishad, adalah
tepat untuk mengantarkan seseorang ke arah pembebasan duniawi yang disebut mukti
atau
moksha. Di dalam bahasa Sansekertanya dikatakan, “Mandukya ekam kevalan
mumukshunam vimuktaye”.

Kedua-belas sloka mantra di Upanishad ini berbicara mengenai sebuah topik utama
kehidupan yang tidak lekang dari segala jaman, dan masih merupakan misteri bagi
dunia
Barat yang serba sakit akibat kelebihan duniawi mereka. Mandukya berbicara akan
tiga
tahap kehidupan manusia sehari-harinya disamping menyiratkan ajaran akan “Non-
dualisme”. Juga yang terkenal dari ajaran ini adalah “Maha Vakya” yang merupakan
ajaran
untuk meditasi tingkat tinggi.

Menurut ajaran Sanathana Dharma, ada empat maha-vakya yang diperuntukkan bagi
Vedanta
Shadana yang masing-masing diambil dari setiap Veda. Contoh : Yang diambil dari
Atharvana Veda yang terkenal adalah:

“Ayam Atma Brahma” yang berarti “Atman ini adalah Sang Brahman”.

Kata Aku (Atman) yang bersifat universal di atas juga hadir di Upanishad ini secara
dominan.
Sekarang marilah membahas Karika , yang rumit dan panjang ini. Ada bab yang memuat
215
sloka, masing-masing disebut Agama Prakarana (bersifat skriptual) … bab 29.
Kemudian
Vaithathya Prakarana (Ilusi) … bab 38, kemudian Adwaita Prakarana (Non-dualisme,
bab
48) dan Alatha Santi Prakarana (memenangkan kobaran api).

Agama Prakarana memuat 12 sloka inti Uphanisad ini, dengan tambahan Karika disana-
sini
sesuai dengan ajaran Sruthi.

Selanjutnya mari kita ikuti bagian yang satu ini:

AGAMA PRAKARANA

(SKRIPTUAL)

Pembukaan Mandukya Uphanisad ini disebut sebagai “Perjanjian Skiptual (Penjelasan


Skriptual) karena isinya dan karena berbentuk metrikal yang disusun oleh Sri
Gaudapadiya,
sehingga sering juga disebut sebagai Sri Gaudapadiya Karika oleh peneliti asing.
Disebut
skriptual karena sloka-sloka mantra Uphanisad ini juga pada teks aslinya memuat
stanza-
stanza Karika di titik-titik yang dianggap penting. Pada prinsipnya dengan
metodenya sendiri,
Sri Gaudapadiya ingin mengarahkan ajaran ini ke tahap paling penting, yang di
Upanishad ini
disebut sebagai tahap Thuriya, yaitu Realitas Absolut yang bersifat Non-Dual.
Itulah
sebabnya dalam bahasa Sanekerta, bab ini disebut Agama Prakarana.

Dalam bahasa Sansekerta aslinya, agama berarti: bukti-bukti tradisional akan


keberadaan
(Hakikat) dari Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan Prakarana berarti ajaran-ajaran yang
bersifat permulaan atau dasar. Sri Gaudapadiya dalam ajarannya, mencoba untuk
membimbing kita melampaui tiga tahap yang kita tempuh sehari-hari dalam kehidupan
kita
yaitu:

Tahap Kesadaran,

Tahap Mimpi,

Dan tahap Tidur Lelap (tanpa mimpi)

Kata tahap bisa juga berarti alam, contoh: alam sadar, alam mimpi dsb. Beliau, sang
guru ini
ingin membimbing kita melalui ketiga tahap ini untuk mencapai alam atau tahap
Thuriya.
Bagi sishya modern disajikan maket di halaman berikut ini.

Bagi yang tidak mementingkan maket, maka ajaran selanjutnya akan sangat berguna
dalam
peningkatan daya spiritual dan pemahaman akan misteri dan kehidupan ini, yang
ternyata
dibahas oleh Sri Gaudapadiya pada suatu level seminar di India kuna, bersama-sama
dengan
berbagai utusan resi-resi agung dari berbagai aliran agama (ajaran) Hindhu Dharma.
Bayangkan mereka semua ini duduk berhari-hari dalam suatu lingkaran untuk mencapai
suatu
persamaan konsep akan Hakikat Yang Maha Kuasa, demi lestarinya umat manusia ini. Om
Shanti Shanti Shanti.
MANDUKYA UPANISHAD

Sloka - 1 “Harihi Om, Om, seluruhnya, hanya terdiri dari satu patah kata ini
saja.
Penjelasannya adalah seperti berikut ini. Semuanya dimasa lalu, dimasa kini, dan
dimasa
yang akan datang, sebenar-benarnya adalah Om. Semua yang diluar ketiga masa
tersebut
juga sebenar-benarnya adalah Om”.

Keterangan: Bagi seorang siswa atau sishya pemula, sloka pembukaan ini bisa
mengacaukan
persepsi spiritual yang dianutnya selama ini. Sebaiknya ia mempelajari dahulu
berbagai
Upanishad yang lainnya agar memaklumi arti kata dan intisari Om. Om adalah Nama,
obyek
yang dituju oleh nama ini, Om juga adanya, sebenarnya yang terlihat, terasakan dan
terpikirkan oleh umat manusia dari masa ke masa adalah Om itu sendiri, demikian
sabda dari
Sri Shankara Acharya, seorang filsuf muda yang dianggap sebagai pembaharu agama
Hindhu. Beliau lahir kira-kira pada zamannya Sang Sidharta Gautama. Semua benda dan
makhluk, apa saja, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata adalah juga
Om.
Tanpa kecuali semua berasal dariNya, untukNya dan kembali kepadaNya juga. Beliau
ini
adalah Om.

Sloka - 2 “Semua ini secara hakiki adalah Brahman. Sang Atman adalah Sang
Brahman. Sang Atman ini memiliki empat bagian”.

Keterangan: Sloka ini dikategorikan sebagai sloka maha-vakya, karena kandungan


intisarinya yang amat dalam secara spiritual dan tidak terbatas penalarannya.
Semakin
banyak seorang sishya memfokuskan arah studi dan meditasinya ke makna yang
dikandung
oleh sloka di atas, maka makin banyak yang akan diresapinya.

4 bagian Sang Jati Diri (Atman) adalah aspek-aspek sehari-hari secara duniawi bagi
seorang
manusia, yaitu alam kesadaran, alam mimpi dan alam tidur lelap (jumlah 3 tahap).
Diatasnya
baru hadir tahap keempat yang disebut Thuriya, yaitu tahap kesadaran akan Hakikat
Yang
Maha Esa. Bagi yang awam seakan-akan hadir 4 bagian ini, padahal bisa berarti Yang
Maha
Esa secara hakiki hadir di dalam keempat alam ini.

Sloka - 3 “Seperempat tahap ini (Pada) disebut Vaiswanara yang mencakup aktivitas
tahap-tahap kesadaran, yang sadar akan obyek-obyek dunia eksternal, yang memiliki
tujuh organ perangkat dan 19 mulut (bibir), yang menikmati berbagai obyek-obyek
kasar
duniawi ini.”

Keterangan : Alam atau tahap-tahap ini disebut sebagai pengalaman oleh para resi
guru, dan
setiap pengalaman ini dibagi dalam tiga faktor utama yaitu :
Yang mengalami, yang dialami, dan hubungan antara yang mengalami dan yang dialami.
Dan
yang terakhir ini disebut juga sebagai mengalami secara terus menerus. Sehari-
harinya setiap
insan manusia berinteraksi dengan ketiga alam ini dan ketiga faktor yang eksis
bersama-sama
ini. Sekilas ketiga alam ini berlainan dan tidak berkelompok secara bersama-sama.
Upanishad
ini untuk selanjutnya akan membahas semua ini secara terperinci.
Ego kesadaran manusia disebut Vaisnawara, dalam bahasa Sansekerta atau Viswa. Ego
ini
menikmati seluruh alam kesadaran dan seluruh aspek/obyek-obyek sensualnya. Juga
semua
fenomena sensual dinikmatinya, contoh: suara, rasa, bau dan sebagainya. Dalam alam
sadar
semua faktor dan fenomena ini bisa dinikmati oleh seluruh organ-organ sensual kita
(indriyas). Viswa ini diilustrasikan seakan-akan berorgan 7 dan bermulut 19,
seakan-akan
seekor ular naga yang mengerikan bentuknya, padahal hanya kata-kata kiasan saja,
namun
pada hakikatnya berarti dalam, ibarat naga yang menjerat kehidupan kita dengan yang
serba
duniawi ini, melalui jerat indriyas.

Mulut disini berarti berbagai perangkat konsumsi yang masing-masing adalah lima
perangkat persepsi, lima perangkat berbagai tindakan (pelaksanaan), lima aspek
Prana,
ditambah sang pikiran, budhi, egoisme dan chitta (keterikatan).

Sloka-mantra di atas menyatakan bhwasanya Atman adalah Brahman, dengan kata lain
itu
bisa diartikan sang ego individual adalag Ego Totalitas (Absolut). Dengan kata lain
“Sang
Jati Diri yang terbatas” adalah “Sang Jati Diri Yang Maha Tak Terbatas (Bentuk
Universal).”

Para resi guru mengistilahkan fenomena ini sebagai Vyasthi, yaitu mikrokosmos atau
buana
alit, dan Samasthi yaitu makrokosmos atau biana agung. Diterangkan di Upanishad ini
bahwa sang Atman didalam tahap kesadaran bermanifestasi melalui raga kasar ini
yaitu
Vaiswanara yang juga berperangkat 7 buah. Sekali lagi ditegaskan bahwa buana alit
adalah
Vaiswanara dan buana agung adalah Virat (kata lain untuk bentuk Universal).

Chastra-widhi menyatakan Sang Jati Diri Vaiswanara ini mencakup kepala (daerah
bercahaya), mata (surya), udara sebagai nafasnya, antariksa (bagian perutnya),
ginjal (air),
bumi (kaki) dan mulut (api yang disebut sebagai Ahavaniya). Ungkapan-ungkapan ini
pastilah membingungkan bagi para pemula, namun tidak bagi yang telah mempelajari
Bhagavat-Gita dan berbagai Upanishad lainnya.

Sloka mantra berikutnya berbicara tentang mimpi.

Sloka - 4 “Pada yang kedua disebut Taijasa, berbagai aktivitasnya disebut tahap
(alam)
mimpi. Tahap ini sadar akan kehidupan internal dari berbagai obyek-obyek lembut
(halus)
yang berasal dari berbagai aktivitas mental.”

Keterangan: Sloka sebelumnya berbicara akan alam sadar manusia, sloka di atas
menyatakan kekuatan yang sama itu bisa menjauhi dunia eksternal dan
mengidentifikasikan
dirinya ke tahap (alam) mimpi dan berinteraksi dengan alam ini dan juga dengan
berbagai
obyek lembut yang berasal dari badan halus manusia itu sendiri. Tahap ini disebut
Taijasa,
dan ketujuh perangkat dan 19 mulut yang dimilikinya bersifat sama dengan uraian di
sloka
sebelumnya di alam sadar. Kedua tahap ini yaitu Vaiswanara dan Taijasa, sang ego di
alam
sadar dan sang ego di alam mimpi, adalah 2 bagian integral manusia. Kesadaran
sejati atau
rasa eling yang berinterasi dengan raga kita memainkan peran sebagai Vaiswanara
dalam
alam sadar, dan faktor yang sama ini juga sewaktu ke alam mimpi, terserap oleh
obyek-obyek
dan fenomena halus di alam mimpi ini, dan berubah menjadi sang (si) pemimpi
(Taijasa) itu
sendiri. Demikianlah kedua Pada ini dijelaskan, kita akan memasuki Pada yang ketiga
yaitu
alam tidur.
Sloka - 5 “Itulah tahap tidur-lelap, dimana yang tertidur ini tidak mendambakan
obyek
apapun juga, dan iapun tidak menyaksikan mimpi apapun juga. Pada ketiga ini disebut
Prajnya yang tahapnya adalah tidur lelap. Di tahap ini seluruh pengalaman bersatu
dan
tidak bisa dibeda-bedakan, yang sebenarnya adalah kesadaran dalam bentuk homogeneou
(kesatuan secara keseluruhan), tahap ini merupakan pintu gerbang yang mengantar
manusia ke arah dua tahap kesadaran yaitu alam sadar dan alam mimpi.”

Keterangan: Ternyata alam tidur lelap adalah tahap kekosongan yang tidak kosong,
seperti
antariksa yang mengelilingi seluruh alam semesta ini. Tahap homogeneous ini
merupakan
kesatuan dari berbagai kesadaran, disebut juga Prajnyanaghana, para resi juga
menyebutnya
sebagai alam kebahagiaan (Anandamaya) karena di tahap ini manusia bisa lepas dari
berbagai
suka dan duka yang mengikatnya, kemudian lepas dari alam ini, kita ibaratnya
mendapatkan
energi baru, seperti alat yang telah direcharge lagi. Sebenarnya tubuh kita adalah
teknologi
penciptaan yang amat menakjubkan, sayang manusia karena kebodohannya merusak raga
ini
dengan obat terlarang dan perilaku serta minuman keras yang merusak.

Dari tahap tidur lelap ini kemudian seorang manusia diantar ke alam mimpi, lalu
diproyeksikan kembali ke alam sadar dan kemudian ke alam mimpi lagi dan seterusnya
ke
alam tidur lelap. Selama orang masih hidup maka proyek ini berjalan terus.
Demikianlah
Pada ketiga telah diuraikan secara manis sekali di sloka mantra di atas,
selanjutnya mantra
sloka berikutnya akan berbicara mengenai Sang Prajnya.

Sloka - 6 “Inilah Tuhan (Sarreswara) dari semuanya; Yang memahami semuanya;


Inilah yang mengendalikan bagian-bagian alam; Inilah sumber dari segala-galanya.
Dan
Ini adalah Itu yang merupakan asal-muasal dari semua ciptaan dan kedalamNya juga,
semua ini akhirnya akan melebur kembali.”

Keterangan: Kata Ini dan Itu adalah sebuatan halus yang sangat bernuansa halus
dalam
sabda-sabda para resi untuk menjelaskan akan Keberadaan dan Hakikat Tuhan Yang Maha
Esa (Sarreswara) secara sederhana sekali. Mereka, para resi teramat bijak
senantiasa
menyebut Yang Maha Esa dengan kata-kata seperti : Ini, Itu, Yang, Nya, Dia dan
sebagainya.
Kata Sarreswara (Tuhan) di sloka ini menggambarkan Kesadaran Maha Hakiki yang hadir
di
dalam semua ciptaanNya. Dari Beliau semua ini berasal, dan kepadaNya juga semua ini
akan
melebur kembali.

Selanjutnya akan hadir Karika (Tafsiran) dari Sri Gaudapadiya.

KARIKA

1. “Viswa, Pada yang pertama adalah dia Yang Maha Hadir, Yang merasakan obyek-
obyek eksternal yang kasar (disebut sebagai Yang Sadar). Taijasa, Pada yang kedua
adalah
dia yang memahami bagian dalam, badan halus (disebut sebagai yang bermimpi).
Prajnya
adalah dia yang berbentuk kesatuan kesadaran. Dia adalah ketiga-tiganya yang
dikenali di
ketiga Pada (tahap-tahap kesadaran) ini.”

2. “Viswa bekerja melalui mata kanan. Taijasa bekerja melalui sang pikiran, dan
Prajnya
bekerja melalui spasi yang ada di hati sanubari. Demikianlah, Satu Jati Diri ini
diperkirakan
bekerja dari tiga titik pusat sebagai tiga fenomena yang berlainan.”
3. “Pahamilah ketiga lapis pengalaman-pengalaman (hidup) ini; Vaiswanara
senantiasa
merasakan obyek-obyek sensual yang kasar (badan kasar); Taijasa menikmati obyek-
obyek
yang lembut yang berasal dari badan halus, dan Prajnya menikmati yang bersifat
kebahagiaan
(Ilahi).”

4. “Pahamilah ketiga faktor ini sebagai tiga lapis pemuasan; Vaiswanara


terpuaskan oleh
obyek-obyek kasar (luar), Taijasa terpuaskan oleh obyek-obyek yang halus, dan
Prajnya
mendapatkan kepuasan dari yang bersifat kebahagiaan Ilahi (Anandascha).”

5. “Seseorang yang mengalami kedua perihal ini, yaitu yang merasakan dan yang
dirasakan, sesuai dengan yang telah dijabarkan sejauh ini, sebagai yang berhubungan
dengan
tiga tahap kesadaran, (maka) insan tersebut tidak akan terpengaruh sewaktu ia
merasakan
masing-masing obyek ini, yang berasal dari ketiga tahap (alam) ini.”

Keterangan: Membaca sebuah buku masak memasak tidak berarti lalu seseorang bisa
langsung memasak. Diperlukan latihan terus menerus, diperlukan juga ketekunan dan
teknik
memasak dan perlahan-lahan seseorang akan trampil memasak. Demikian juga didalam
kehidupan kita sehari-hari, dari satu Pada ke pada yang lainnya dibutuhkan waktu,
disiplin
dan ketrampilan tersendiri untuk suatu waktu nanti merealisasikan Kesadaran Yang
Paling
Hakiki, yaitu Sang Atman yang juga dikenal sebagai Prajnya ini. Latihan meditasi
yang
berkesinambungan, guru-resi dan berbagai masukan spiritual yang positip harus
senantiasa
hadir didalam berbagai Pada ini, barulah dengan karuniaNya, insan yang berusaha ini
dapat
merealisasikan Kebahagiaan Ilahi ini, yang bersifat tanpa batas. Sekali terserap
kedalamNya,
maka kehidupan sehari-hari hanya dilakukan demi lestarinya kehidupan itu tanpa
terikat
kepada hasilnya.

6. “Selama ini telah ditegaskan bahwa sesuatu itu hanya bisa berasal dari
sesuatu lainnya
yang eksis (bukan yang non-eksis). Sang Prana memanifestasikan berbagai hal yang
bersifat
halus; Sang Purusha menciptakan makhluk-makhluk yang memiliki kesadaran, yang juga
memiliki ego, didalam berbagai bentuk ciptaan-ciptaan, secara terpisah-pisah.”

Keterangan: Menurut Sri Gaudapada dan para resi lainnya, dari aspek realitas
(Prana)
timbul hal-hal yang bersifat halus dan gaib di dunia ini, dan dari aspek kesadaran
Ilahi
(Purusha) lahirlah seisi dunia yang berwujud ini.

7. “Ada sementara peneliti dalam bidang penciptaan dunia ini berpendapat


bahwasanya
ini adalah pancaran dari kekuatan Kemegahan Yang Maha Kuasa itu sendiri yang
bersifat
Super Manusia; sedangkan ada pendapat lain yang mengatakan bahwasanya dunia ini
sifatnya sama saja dengan mimpi atau ilusi.”

Keterangan: Sekarang kita akan mulai menyimak berbagai argumentasi yang paling
diajukan di forum Sri Gaudapada ini, oleh sebagian resi guru yang teramat agung dan
piawai
dari sekte-sekte yang berbeda aliran dan pendapatnya mengenai Hakikat Yang Maha
Esa.

Secara pribadi, konon dikatakan bahwasanya Sri Gaudapadiya tidak mengakui


keberadaan
ciptaan-ciptaan ini. Menurut beliau, Realitas Yang Maha Suci ini tidak diciptakan
dan dunia
inipun tidak pernah diciptakan olehNya. Semua yang kita lihat dan pahami ini adalah
proyeksi kita sendiri. Teori non-penciptaan ini disebut Ajatawada. Konon dikatakan
teori ini
sinkron dengan filosofi permulaan ajaran Vedanta dan Yoga Vashista. Namun Ajaran
Vedanta berkembang terus dari zaman ke zaman, dan dibawah Sri Shankara Acharya,
ajaran
Vedanta memasuki dimensi yang baru. Beliau mengakui adanya Realitas relatif yang
terbungkus dengan berbagai obyek-obyek duniawi dan makhluk yang kita lihat dan
rasakan
sehari-hari. Sedangkan para resi lainnya berpendapat pada hakikatnya kedua teori
ini sama
saja isinya, dan kalau digabungkan malahan akan menambah khazanah dan wawasan kita
semua.

Ada ahli yang berpendapat bahwasanya dunia ini sebagai sebuah mimpi yang panjang,
seperti
yang akan diterangkan oleh Sri Gaudapadiya selanjutnya di karya ini juga. Sedangkan
ada
ahli non-penciptaan yang percaya bahwa hidup ini adalah sebuah mimpi panjang, namun
mimpi ini bukan ilusi tetapi betul-betul eksis (sebenar-benarnya ada) dan berjalan
terus
secara abadi. Mimpi itu benar-benar ada dan yang bermimpi juga ada.

8. “Para ahli yang percaya akan penciptaan ini berpendapat bahwa manifestasi
ini
terwujud karena Kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, sedangkan yang lainnya berpendapat,
bahwa Waktu adalah suatu perihal yang benar, dan menyatakan bahwa Sang Waktu adalah
penyebab semua manifestasi penciptaan-penciptaan ini.”

9. “Yang lainnya berpikir bahwasanya dunia ini diciptakan demi kenikmatan Yang
Maha Esa, kemudian yang lainnya lagi berpendapat bahwa dunia ini hanya sebuah benda
permainan dari Tuhan Yang Maha Esa. Namun bagi Sang Atman Yang Bercahaya Gilang-
Gemilang, Beliau ini tidak berhasrat apapun juga, karena (sebenarnya) apakah yang
tidak
mungkin didapatkanNya?

Keterangan: Demikianlah Sri Gaudapadiya telah mengemukakan berbagai teori akan


Hakikat Yang Maha Esa dari segala arah, namun diakhir sloka ini beliau menegaskan
bahwa
sebenarnya Tuhan itu tidak membutuhkan apapun juga, semua ini hanya teori-teori
manusia
saja. Dengan ini Karika dari Sri Gaudapadiya diakhiri untuk sementara, dan kita
kembali ke
Mandukya Upanishad, ke sloka 7, dimana kita akan mendapatkan penjelasan akan tahap
kesadaran alam Thuriya.

Kembali ke :

MANDUKYA UPANISHAD

Sloka - 7 “Tahap (alam) ini bukanlah sesuatu yang sadar akan bagian dalam dunia
yang bersifat subyektif, bukan juga sesuatu yang sadar akan dunia luar, juga bukan
sesuatu yang sadar akan kedua-duanya ini, juga bukan kesatuan kesadaran, juga
bukan bentuk kesadaran yang sederhana, juga bukan tidak memiliki kesadaran.
Tahap ini tidak terlihat oleh indriyas yang manapun juga, tidak terhubungkan dengan
apapun juga, tidak bisa diterangkan oleh pikiran, tidak bisa ditembus, tidak
terpikirkan, tidak bisa dijabarkan, semata-mata adalah Sang Jati Diri itu sendiri,
jauh
dari semua bentuk fenomena, bersifat shanti (damai) dan non-dual. Alam ini disebut
sebagai tahap keempat Thuriya. Ini adalah Sang Atman dan (Tujuan) yang harus
dicapai dan disadari.”

Keterangan: Ada yang tersirat di sloka ini, yaitu Sang Atman itu jauh dari segala-
galanya.
Kembali ke Karika:

10. “Di dalam sesuatu yang dikatakan Tidak Berubah-ubah ini, yaitu Yang Maha Kuasa,
terdapat akhir keseluruhan dari segala bentuk penderitaan; Sesuatu yang disebut
Thuriya,
Yang Maha Bercahaya Gilang-Gemilang secara Abadi dan Maha Hadir.”

11. “Viswa dan Taijasa, kedua-duanya ada dibawah pengaruh “sebab dan akibat”. Namun
Prajnya hanya ada dibawah pengaruh “sebab”. Kedua faktor “sebab dan akibat” ini
tidak
hadir di tahap Thuriya.”

Keterangan: “Sebab dan Akibat” adalah elemen-elemen hukum karma. Secara spiritual
“sebab” juga merupakan manifestasi dari kebodohan atau kekurang-pengetahuan
(Avidya)
dari sifat asli kita sendiri.

12. “Prajnya tidak memahami apapun juga yang berasal dari kebenaran atau non-
kebenaran, tidak juga Prajnya faham akan apapun yang berhubungan dengan Sang Jati
Diri
ataupun non-jati diri; Prajnya tidak memahami apapun juga. Namun Thuriya ini abadi
dan
senantiasa adalah Yang Maha Tahu (dan) Yang Maha Menyaksikan.”

13. “Faktor ketidak-pahaman akan dualitas bersifat sama rata baik di tahap tidur
maupun di
tahap Thuriya, namun, insan yang tidur, terkondisi di dalam tidurnya, berada
didalam bentuk
“penyebab”, (dan) faktor ini . . . yaitu tidur dan penyebab (Avidya, kebodohan)
tidak hadir di
dalam Thuriya.”

Keterangan : Secara sederhana sloka-mantra ini menyatakan bahwa alam tidur masih
berada di bawah faktor-faktor duniawi yang diliputi oleh Avidya, yaitu kebodohan
atau
kekurang pengetahuan. Dan Faktor ini tidak eksis di alam Thuriya, karena alam ini
adalah
alamnya Sang Pencipta itu Sendiri, Yang Maha Mengetahui.

14. “Viswa dan Taijasa, kedua-duanya ini berhubungan dengan berbagai keadaan mimpi
dan tidur; Prajnya adalah tahap tidur tanpa mimpi. Mereka-mereka yang memahami
Kebenaran tidak merasakan tidur maupun mimpi di tahap Thuriya.”

15. “Mimpi adalah sebuah tahap dimana Realitas tidak bisa dipahami secara tepat
(pemahaman yang menyimpang), sedangkan tidur adalah tahap dimana Realitas tidak
dapat
dipahami karena kebodohan (Avidya). Sewaktu pengetahuan yang salah dikedua tahap
ini
menghilang, (maka) tercapailah tahap Thuriya.

Keterangan: Secara psikologis dan filosofis, pernyataan diatas adalah fantastis


sifatnya.
Renungkanlah dengan baik: Seandainya Avidya dapat ditumpas maka efeknyapun tidak
akan
hadir di dalam kehidupan kita pribadi, dan itu berarti insan ini terangkat ke alam
Thuriya,
alam Yang Maha Esa itu sendiri.

16. “Sewaktu sang jiwa yang bersifat individual (tertidur dibawah pengaruh Sang
Maya
yang tidak bermula) ini, terjaga dari tidurnya, maka sang jiwa ini manyadari akan
faktor Non-
dualitas yang hadir di dalam dirinya, yang bersifat tanpa mula dan tanpa mimpi.”

Keterangan: Dari saat kita dilahirkan sampai saat ini, kita hidup dalam keadaan
“tertidur”,
yaitu alam-sadar yang terbungkus oleh Sang Maya (materi duniawi). Tahap ini disebut
tahap
ketidak-pahaman akan Realitas. Sewaktu seseorang melalui upaya shadananya berhasil
“bangun” dari tidurnya (tidur duniawi) ini, maka ia akan sadar bahwa sebenarnya
Sang
Realitas (Kebenaran Hakiki) ini bersifat non-dual (diluar faktor dan fenomena
negatif-
positif), tanpa mula dan tanpa mimpi.

Para resi di berbagai upanishad dan Sruthis selalu bersabda tanpa henti-hentinya
“bangun dan
bangkitlah”. Demikian juga seluruh ajaran Sanathana Dharma senantiasa menyiratkan
demikian, “Wahai manusia, janganlah lelap dan terbius oleh ayunan tidur Sang Maya
ini”.
Melalui meditasi dan renungan yang berkesinambungan, seseorang akan mencapai tahap
Thuriya ini, dimana Sang Maya tidak hadir.”

17. “Seandainya pruralitas yang selama ini kita pahami betul-betul bersifat
realitas, maka
keadaan tersebut akan menghilang suatu saat. Dualitas ini dipahami sebagai ilusi
dari Sang
Maya semata-mata. Yang Maha Kuasa (Realitas) adalah satu-satunya yang bersifat Non-
Dualitas.”

Keterangan: Yang dimaksudkan sebagai pruralitas adalah alam-semesta dan seluruh


isinya,
seluruh ciptaan ini, dan yang dimaksud dengan dwidasas adalah dua unsur yang saling
bertentangan dalam harmoni yaitu positip-negatip, baik-buruk, panas-dingin dsb. Di
sloka ini
dikatakan seandainya alam-semesta dan segala isinya itu benar-benar eksis maka
suatu saat
nanti akan tidak eksis dan begitupun sebaiknya. Itu hukum alam! Dwandas adalah
produk
Sang Maya, dan Yang Maha Kuasa (Realitas) berada jauh dari fenomena ini. Beliau
adalah
Satu-satunya yang keberadaanNya disebut Non-dual semata-mata (advaitan
paramathatah).

18. “Seandainya ada yang berkhayal atau berpikir akan adanya berbagai unsur di
alam-
semesta ini, maka semua itu akan menghilang. Keterangan ini diberikan untuk tujuan
mengajar para sishya. Dualitas yang baru saja diperbincangkan ini juga akan sirna
sewaktu
Kebenaran Tertinggi tercapai.”

Keterangan: Stanza kedelapan belas ini sementara mengakhiri ulasan Sri Gaudapada,
dan
kita kembali lagi ke Mandukya Upanishad sloka ke 8. Para pembaca yang budiman,
sudilah
maklum akan gaya penulisan buku ini, yang aslinya memang ditulis dari Mandukya ke
Karika dan sebaliknya ini.

Sloka - 8 “Dari pemahaman alfabet, Atman yang sama ini adalah Aum. Aum dengan
Pada-pada (bagian-bagian)Nya akan kita pelajari dari segi suara atau Aksara. Pada-
pada
disini adalah aksara (suara) dan aksara-aksara ini adalah Pada-pada. Aksara ini
adalah
A, U, dan M”.

Keterangan: Kalau sebelumnya sampai sloka 7 Mandukya Upanishad ini menerangkan


mengenai bagian (Pada) dari Sang Atman, maka ternyata sekarang ini akan diterangkan
melalui pemahaman aksara dan suara. Dalam bahasa Sansekerta ketiga Pada ini disebut
sebagai tiga Matras. Satu Pada adalah ¼ bagian dari keseluruhan Atman.

Sloka - 9 “Seorang yang bersifat Vaiswanara yang tahap-tahap aktifitasnya berpola


tahap kesadaran adalah A, aksara pertama dalam komposisi AUM, dan aksara ini adalah
yang selalu utama dalam (suara dan pembicaraan) atau selalu di depan (yang
pertama).
Faktor-faktor ini adalah biasa di kedua keadaan ini. Barangsiapa menyadari hal ini
akan
mencapai berbagai hasrat-hasratnya dan menjadi utama (pertama diantara semuanya
(yang lain-lainnya).”

Keterangan: Sekarang ajaran Mandukya menekankan atau menambahkan sebuah makna


baru yang bersifat duniawi sekali. AUM dijelaskan secara duniawi, baru A saja sudah
bermakna utama atau prima, apalagi ditambah U dan M yang secara psikologis saja
sudah
pasti akan memberikan dampak sugesti yang bersifat suci dan spiritual. Sama dengan
sugesti
yang kita ciptakan sewaktu memuja kepada arca ini dan arca itu, benda-benda keramat
dan
lain sebagainya. Sugesti dapat menghadirkan kesucian, ketakutan, kecemasan bahkan
kebahagiaan dan kesembuhan.

Demikian juga seandainya A-U-M ini dijadikan fokus meditasi kita, dan disimbolkan
sebagai manifestasi Hyang Maha Esa, atau Bhur-Bwah-Swah ataupun Tri Murti (Brahma-
Vishnu-Shiva), maka dampaknya akan muncul. Dan lagi tidak menghadirkannya, apapun
tidak akan muncul dihadapannya. Para resi konon mengatakan A adalah bagian dari AUM
yang diutarakan oleh seorang jabang bayi yang baru lahir. Ada yang mengatakan
teriakan
jabang bayi yang pertama adalah bernada uah, uah. Ada yang mengatakan oeh, oeh dan
sebagainya, tetapi para resi yakin suara pertama jabang bayi apapun kebangsaannya
adalah
Aum, Aum dan Aum, dan A adalah yang dominan di aksara ini.

Sloka - 10 “Seseorang yang tergolong Taijasa, yang tahap aktivitasnya adalah tahap
mimpi, adalah U, aksara kedua dalam komposisi AUM (OM), yang menandakan
superioritas atau juga bersifat “ditengah-tengah keduanya”. Barangsiapa yang paham
akan hal ini akan mencapai ilmu pengetahuan yang dahsyat (superior) dan akan
diperlakukan secara sama rata oleh semuanya dan insan ini akan memiliki turunan
yang
dari waktu ke waktu akan paham (akan) Sang Brahman.”

Sloka - 11 “Prajnya, yang tahap aktivitasnya adalah tahap tidur lelap, adalah M,
aksara
ketiga dari AUM, akara ini adalah „timbangan‟ dan juga “sesuatu dimana semuanya
menjadi kesatuan (satu)”. Seseorang yang memahami identitas “Prajnya” dan M ini
akan
mampu menyadari sifat sejati dari berbagai benda dan manusia di dunia ini, dan
memahami (menerangkan) semuanya di dalam dirinya.”

Kembali ke Karika:

19. “Sewaktu identitas Viswa dan suara A dijelaskan (maka) perihal yang sama
diantara
kedua-duanya adalah “pertama” pada posisinya masing-masing; faktanya: kedua-duanya
memang serba utama.”

20. ”Jelas sekali terlihat bahwa Taijasa bersifat sama dengan U diantara AUM,
persamaan
kedua-duanya adalah sifat “superioritas”, alasan selanjutnya adalah ciri khas
mereka adalah
posisinya yang berada ditengah-tengah.”

21. “Identitas Prajnya dan M mempunyai persamaan yang nyata, kedua-duanya bersifat
“timbangan”. Alasan yang lainnya, demi menunjang identitas itu adalah karena
“semuanya
menjadi satu” di Prajnya dan di M.”
22. “Seseorang yang paham tanpa ragu-ragu kaidah-kaidah sama yang hadir didalam
ketiga
tahap (alam) ini, akan dipuja dan dikagumi oleh semua makhluk; dan sebenar-benarnya
insan
ini adalah seorang resi yang mulia (teragung).”

23. Suara aksara A membantu yang bermeditasi mencapai tahap Viswa yang terbentuk
dengan baik. Sedangkan yang bermeditasi ke U, akan mencapai Teja (Tejasa, kekuatan
pikiran dan budhi) yang telah terbentuk dengan baik, dan yang bermeditasi ke m akan
mencapai Prajnya. Di tahap yang “tidak bersuara (beraksara)” tidak ada pencapaian
(tidak
ada yang harus dicapai).”

Keterangan: Ternyata menurut para resi guru yang handal, memang kalau meditasi
difokuskan ke salah satu aksara atau suara AUM maka akan timbul semacam karunia
spiritual yang tinggi seperti disaratkan oleh sloka-mantra Mandukya Upanishad
berikutnya.

Kembali ke Mandukya:

Sloka - 12 “Sesuatu Itu yang tidak memiliki bagian-bagian (Pada), tidak bersuara,
yang
tidak dapat dijabarkan, jauh berada di atas seluruh indriyas, akhir dari seluruh
bentuk-
bentuk fenomena, senantiasa berada dalam kebahagiaan (Ilahi) dan adalah AUM yang
non-dual; adalah (alam) tahap yang keempat dan sebenarnya sama dengan Sang Atman.
Seseorang yang memahami perihal ini akan meleburkan dirinya ke dalam Jati Diri Yang
Maha Agung . . . Sang individu ini terlebur ke dalam Keseluruhan.”

Keterangan: Secara mikrokosmis (buana alit), alam keempat ini bisa hadir tanpa
disengaja
oleh sadhaka yang sedang bermeditasi secara serius. Menurut para resi guru, sewaktu
seseorang didalam meditasinya yang khusyuk mengucapkan mantra AUM berulang-ulang,
maka spasi kosong diantara satu AUM ke AUM yang lainnya bisa juga diartikan sama
dengan tahap keempat yang dituju oleh para sadhaka, dan kalau si sadhaka beruntung
terhubungkan secara langsung ke Sang Atman dalam kekosongan ini, maka jatuhlah
berkahNya. Spasi ini eksis di dalam keheningan dan disebut spasi Thuriya.
Sebenarnya
mantra AUM adalah mantra meditasi tertinggi , lihat Bhagavat Gita, khususnya bab VI
yang
membahas meditasi spiritual ajaran langsung dari Sri Kreshna kepada umat manusia.
Japa
Gayatri adalah japa-mantra yang tertinggi, namun untuk meditasi AUM adalah yang
tertinggi. Namun semua ini harus dilakukan tanpa pamrih dan pengharapan sama
sekali.

Dengan ini berakhirlah seluruh sloka-mantra Bab I mengenai Mandukya Upanishad. Dan
selanjutnya kita kembali akan mempelajari uraian Sri Gaudapadiya dalam bentuk
Karikanya.
Kita kembali lagi ke Karika.

Kembali ke Karika:

24. “Mantra AUM (Omkara) ini harus dipahami secara Pada dari Pada, tidak perlu
diragukan
bahwa pada-pada ini sama dengan suara (morae). Setelah menggapai seluruh makna
Omkara
ini, maka tidak perlu lagi memikirkan hal-hal yang lainnya.”

Keterangan: Sloka ini menerangkan Sri Gaudapada yang sedang menjabarkan teknik-
teknik
meditasi yang harus difokuskan ke Omkara. Teknik-teknik ini mencakup naik-turun
nada
AUM dari nada tinggi ke nada rendah, namun teknik ini sebenarnya membutuhkan
tuntunan
seorang guru yang handal.

25. “Bersihkan (mandikan) pikiran dengan raungan AUM; Kenalilah sang pikiran
melalui
suara AUM; AUM adalah Brahman Yang Maha Gagah Berani (Perkasa). Barangsiapa yang
senantiasa terjalin dengan AUM, tidak akan pernah kenal dengan rasa takut dalam
bentuk
apapun juga.”

26. ”Om adalah sebenarnya Brahman (bagian bawah) dan Beliau dinyatakan juga sebagai
Brahman Yang Maha Kuasa. Pranawa (AUM) ini bersifat tanpa asal, tanpa manifestasi
berikutnya, tanpa sesuatu apapun diluarnya, dan tidak berubah-ubah.”

27. “AUM adalah sebenar-benarnya permulaan (Adi), bagian tengah (Madhyana) dan
akhir
(Anta) semuanya. Memahami AUM seperti ini, maka seseorang pasti segera akan
mencapai
Realitas Yang Maha Kuasa itu.”

28. “Pahami AUM sebagai Iswara (Penguasa), Tuhan, Yang senantiasa hadir di alam
pikiran
semuanya; Seseorang yang bijak yang telah memahami AUM sebagai Yang Maha Hadir,
tidak akan pernah khawatir (akan sesuatu hal apapun juga).”

29. Seseorang yang memahami AUM, yang tanpa suara dan (juga bersuara ini) dan
senantiasa damai karena jauh dari pengaruh sifat-sifat dualitas, maka orang
tersebut adalah
seorang suci yang benar, bukan yang lain-lainnya.”
BAB II

VAITHATHYA PRAKARANA

(Non-realitas yang berasal dari dunia yang bersifat obyektif)

Sloka - 1 “Kaum bijak menyatakan bahwasanya semua obyek mimpi bersifat ilusi,
semua obyek ini berlokasi di dalam badan dan juga karena kehadiran obyek-obyek ini
terbatas di dalam spasi yang amat ketat.”

Keterangan: Sri Gaudapadiya ingin menjelaskan bahwa menurut pendapat para resi yang
bijak, maka raga manusia ini merupakan sebuah wadah yang menyimpan alam mimpi
secara
sangat padat, ketat dan terbatas spasinya. Oleh karena itu beliau berteori bahwa
alam mimpi
itu bukan hal yang bersifat realitas.

Sloka - 2 “Sehubungan dengan singkatnya waktu (mimpi) maka tidak mungkin yang
bermimpi itu mengunjungi dan melihat-lihat obyek-obyek mimpinya. Juga sewaktu ia
sadar dari tidurnya, ia tidak berada di ruang di mana ia menyaksikan adegan-adegan
mimpinya ini.”

Keterangan: Seseorang yang bermimpi, sebenarnya dibatasi sekali oleh durasi waktu
mimpi
itu sendiri, karena singkatnya waktu mimpi itu sendiri, yang kadangkala bisa terasa
panjang
sekali, bahkan terputus-putus. Lokasi didalam mimpinya bisa saja ribuan kilometer
jauhnya,
bahkan ke loka-loka lainnya, namun begitu sadar dari tidurnya ia segera saja
menyadari
bahwasanya ia tidak pernah bergerak jauh dari tempat tidurnya. Sebab itu Sri
Gaudapada
berteori (menyatakan) bahwa fenomena mimpi ini bukan suatu hal yang bersifat
realitas,
karena dibatasi oleh waktu dan ruang (spasi).

Sloka - 3 “Berdasarkan alasan-alasan logika yang penuh disiplin (ketat), Sruthi


yang
menyatakan bahwa kereta-kereta kuda tersebut tidak eksis, (namun) diterima dan
diilusikan oleh yang bermimpi. Oleh karena itu para resi mengatakan bahwa Sruthi
sendiri juga menyatakan bahwa pengalaman-pengalaman mimpi itu sebenarnya adalah
bersifat ilusi, demikian juga Sruthi menyabdakannya melalui logika dan alasan-
alasan
(yang dapat diterima oleh akal).”

Keterangan: Sekali lagi kami ingatkan, yang disebut Sruthi adalah jajaran Shastra –
Widhi
suci dari Veda ke Bhagavat-Gita. Salah satu dari naskah suci ini adalah
Brihadaranyaka
Upanishad yang dalam salah satu penjelasannya mengenai ilusi dan mimpi menyatakan
seandainya seseorang bermimpi mengendarai kereta kuda padahal memiliki saja tidak,
maka
sewaktu ia terjaga dari mimpinya ia merasa kehilangan kereta dan kuda-kudanya,
namun
kenyataannya tidak ada yang hilang karena memang di alam-sadar orang tersebut
memang
tidak memiliki kereta tersebut., jadi kereta dan kuda-kudanya hanya ilusi belaka,
kata Sri
Gaudapada.

Sri Shankara Acharya, dalam karyanya yang disebut Brahma Gyanavali menyatakan bahwa
semua benda di dunia ini dapat dibagi didalam dua golongan, yaitu ilusi benda-benda
duniawi, dan dunia ilusi yang diilusikan oleh kita semua ini. Vedanta berpendapat
bahwa
insan yang berilusi sebenarnya adalah bentuk Kebenaran, sedangkan yang diilusikan
berbentuk tambahan-tambahan (superimposisi). Jadi dengan kata lain seluruh dunia
dan kita
semua adalah hasil ilusi belaka!

Sloka - 4 “Berbagai obyek-obyek yang muncul didalam mimpi bersifat ilusif karena
obyek-obyek ini dipancarkan untuk hadir (eksis). Dengan alasan yang sama, berbagai
obyek yang dilihat di alam sadar ini sama saja sifatnya, seyogyanya dianggap ilusi
juga.
Perbedaan satu-satunya adalah, terbatasnya spasi di alam mimpi karena semua obyek
mimpi terlihat di dalam diri sendiri.”

Keterangan: Sri Shankara Acharya dalam hal ini berkomentar sama: “Baik dalam mimpi
maupun dalam kesadaran, ada suatu persamaan yang utama yaitu: obyek-obyek ini
terlihat!

Sloka - 5 “Orang-orang yang berpikiran luas berbicara tentang persamaan alam-


sadar
dan alam mimpi berdasarkan adanya kesamaan dalam obyek-obyek ini yang diterima
dikedua tahap ini, dan berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di sloka-
sloka di
atas.”

Keterangan: Sekali lagi, menurut teori di Vedanta, dunia dan obyeknya ini adalah
superimposisi yang ditambahkan kepada Sang Atman, oleh karena itu berbagai obyek
ini
tidak eksis secara sendiri-sendiri (independen) dari substratum (sumber atau
Atman). Jadi
berbagai obyek-obyek duniawi yang terrealisasi ini adalah permainan sang pikiran
belaka.
Hanya Atman itu sendiri yang bersifat abadi, dan merupakan Realitas Yang Maha
Hadir.”

Sloka - 6 “Sesuatu yang bersifat non-eksis pada permulaannya dan pada akhirnya
juga
bersifat non-eksis bahkan pada saat ini juga. Berbagai obyek ini ibaratnya berbagai
ilusi
yang kita lihat, namun obyek-obyek ini dianggap sebagai hal yang nyata.”

Keterangan: Sri Gaudapada menyatakan disini, bahwasanya benda/obyek apa saja yang
tidak pernah eksis sebelumnya, tidak akan eksis pada saat ini, maupun pada
saat/masa-masa
yang akan datang.

Sloka - 7 “Obyek-obyek di alam sadar dapat membantu kebutuhan-kebutuhan kita,


hal
ini bersifat kontradiktif dengan alam-mimpi. Oleh karena itu tanpa ragu-ragu
dikatakan
bahwa semua obyek-obyek ini bersifat ilusif . . . baik di alam sadar maupun di alam
mimpi . . . Karena memiliki permulaan dan akhir.”

Keterangan: Ternyata ada oposisi/bantahan yang ditujukan kepada teori Sri


Gaudapadiya
dan teori Sri Shankara Acharya. Oposan ini menambahkan bahwa di alam sadar kita
bisa
membuat masakan yang enak, dan masakan tersebut betul-betul eksis, tetapi di alam
mimpi
itu tidak nyata. Namun ada persamaannya, karena ada permulaan dan ada akhir untuk
setiap
benda dan kehidupan ini, secara tersirat ini disebut ilusi, baik alam sadar maupun
alam
mimpi.
Sloka - 8 “Berbagai obyek yang didapatkan oleh seseorang yang bermimpi bersifat
tidak selaras dengan alam sadar, obyek-obyek ini sudah pasti mampu hadir sesuai
dengan
jalan pikiran orang yang bermimpi itu, dan jalan pikiran ini ibarat jalan pikiran
mereka-
mereka yang tinggal di swarga-loka. Sang pemimpi ini yang menggabungkan dirinya
dengan dunia mimpinya, mengalami berbagai pengalaman seakan-akan ia diperintahkan
agar pergi (berkelana) dari satu lokasi ke lokasi lainnya dan menyaksikan berbagai
obyek-
obyek yang hadir di tempat tersebut.”

Keterangan: Sloka ini memuat pendapat yang bertentangan dengan ilustrasi yang
terdapat di
Vedanta. Vedanta menyatakan bahwa alam-sadar bersifat sama dengan alam mimpi, yaitu
sama-sama tidak realistis. Namun yang berpendapat lain menyatakan alam-mimpi itu
tidak
realistis, dan tetapi alam sadar tidak bisa diperbandingkan secara keseluruhan
dengan alam
mimpi, karena di alam mimpi kita sering mengalami berbagai pengalaman yang aneh,
bahkan
ramalan atau kejadian di masa depan diproyeksikan lebih awal di dalam suatu mimpi,
juga
berbagai firasat dan peringatan dapat hadir lebih awal di dalam mimpi, disamping
fenomena-
fenomena aneh seperti melayang, alam gaib dan lain sebagainya yang tidak lazim
terjadi di
alam sadar. Jadi kesimpulannya alam mimpi itu tidak bersifat realistis dan berbagai
obyek di
dalamnya juga tidak bersifat realistis. Sebaiknya alam sadar ini memiliki ritme dan
sebuah
bentuk keharmonisan, dan selalu bergerak sesuai dengan sifat-sifat alaminya;
disimpulkan
bahwa alam sadar tidak bisa begitu saja diperbandingkan dengan alam mimpi.

Sloka - 9 -10 “Di alam mimpi apapun yang diimajinasikan oleh sang pemimpi di dalam
pikirannya bersifat ilusif dan apapun yang dikenali olehnya di luar mimpi terkesan
seakan-akan bersifat realistis. Namun sesungguhnya kedua faktor ini tidak benar . .
.
kedua-duanya ini adalah mimpi, Demikian juga di alam sadar, apapun yang
diimajinasikan sang pikiran dianggap ilusif dan yang dialami di luar pikiran
terkesan
seperti benar, padahal kedua faktor ini harus dianggap tidak realistis melalui
jalan pikiran
yang rasionil.”

Keterangan: Dengan dua seloka ini, Sri Gaudapadiya menyatakan pendapatnya melalui
dua
aspek kehidupan ini, yaitu obyek-obyek dan dunia-pikiran. Di alam mimpipun kedua
faktor
ini hadir. Di alam mimpi, orang yang bermimpi dan menerima dunia obyek dari mimpi-
mimpinya seakan-akan bersifat realistis, namun secara logika dan jalan pikiran yang
logis
seharusnya berbagai imajinasi pikiran itu dianggap sebagai ilusif (asat).

Sloka - 11 “Seandainya berbagai obyek yang dikenali di kedua alam ini bersifat
ilusif,
lalu siapakah (apakah) yang mengenali semua obyek yang bersifat ilusif ini dan
siapa
(apa) lagi yang mengimajinasikan semua ini?”

Keterangan: Lagi-lagi ada oposan yang bertolak belakang pendapat dengan kaum
Vedantin
(Pengikut Vedanta).

Sloka - 12 “Keputusan Vedantik adalah seperti berikut ini: “Sang Atman, yang
bercahaya
dari Dirinya Sendiri, melalui kekuatan-kekuatan yang timbul dari delusi (maya)Nya
sendiri, berimajinasi da dalam Dirinya , oleh Dirinya, akan seluruh obyek-obyek
ini, dan
berbagai pengalaman di berbagai alam, baik alam yang di dalam maupun yang diluar
dinikmati oleh si individualNya Sendiri. Hanya beliau semata-mata yang paham akan
obyek-obyek yang telah diciptakanNya.”

Keterangan: Pada sloka 10 dan 11 ini, Sri Gaudapada menjawab tuntas para oposan
ini.
Namun tidak begitu mudah untuk memahami makna jawaban ini sesungguhnya. Sang Atman
harus dipahami dulu HakikatNya, dan hal ini bukanlah suatu proses yang mudah bagi
seorang
sadhaka.

Sloka - 13 “Tuhan Yang Maha Esa, Sang Atman, dengan pikiranNya yang tertuju keluar,
berimajinasi akan berbagai obyek yang hadir di alam dalam dan di alam luar yang
hadir
di dalam jalan PikiranNya sebagai Vasanas atau Samsakaras atau berbagai bentuk
nafsu.
Kemudian Sang Atman sekali lagi menunjukkan pikirannya ke dalam dan memikirkan
(mengimajinasikan) berbagai ide/ pengalanan dan obyek.”

Keterangan: Atman di atas, adalah personifikasi dari kesadaran setiap individu yang
hadir
dalam setiap jiwa.

Sloka - 14 “Kedua faktor ini adalah imajinasi semata-mata. Semua yang dikenali
(dipahami) di dalam (hadir) selama dikenali, oleh masa berlakunya pikiran tersebut;
demikian juga dengan berbagai hal yang dirasakan yang menghubungkan kedua titik
waktu ini. Tidak ada alasan lain untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya.”

Keterangan: Sloka di atas adalah suatu pendapat yang beroposisi terhadap teori
Vedantin.
Menurut pendapat di atas, maka dunia (alam) dalam pikiran itu hanya dikuasai oleh
satu
masa (waktu) saja, dan alam luar berbagai obyek terkungkung oleh dua titik sang
waktu.

Menurut mereka (kaum oposan ini), alam sadar itu sifatnya lebih realistis karena
bersandarkan dua masa sang waktu, sedangkan alam mimpi hanya hadir di dalam pikiran
saja (satu titik sang waktu) dan hanya selama masa pikiran itu berlangsung. Di luar
itu, tidak
eksis lagi.

Sloka - 15 “Berbagai imajinasi yang bersifat subyektif yang hanya hadir di dalam
sang
pikiran, yang dipahami sebagai yang tak termanifestasi, juga berbagai hal lainnya
yang
hadir di dunia luar dalam bentuk termanifestasi obyek-obyek; kedua-duanya ini
adalah
imajinasi belaka, yang berbeda diantara keduanya adalah organ-organ sensual
(indriyas),
yang melalui indriyas inilah dunia luar seakan-akan terpahami.”

Keterangan: Sri Gaudapada menerangkan di sloka ini seluruh jawaban untuk suara
oposan
yang berpendapat bahwa ada perbedaan diantara dunia (alam) pikiran di dalam dan di
dunia
(alam) obyek di luar. Dunia pikiran bersifat “tidak termanifestasi” sedangkan
“dunia luar”
yaitu obyek-obyek di dalam kehidupan ini bersifat “manifestasi”, jadi menurut
mereka di luar
ini lebih berbobot daripada dunia pikiran.

Sri Gaudapada menjawab, dengan menyatakan disini bahwasanya kedua faktor tersebut
di
atas adalah imajinasi belaka, karena dibawah pengaruh berbagai indriyas sendiri.
Semua
fenomena dan faktor-faktor ini bisa (dapat) bermanifestasi atau sebaliknya sesuai
dengan
permainan/pengaruh dari berbagai indriyas ini.
Menurut beliau, pertama-tama imajinasi individu-individu yang berbeda-beda yang
dikenal
dengan nama Jivatma Bhavana (ide-ide ego sentris). Setiap egosentris yang
berhubungan
dengan setiap AtmanNya ini lahir dengan konsep yang berbeda-beda. Sewaktu sang
pikiran
menanjak naik ke alam kesadaran yang tinggi maka naik juga elemen-elemen egosentris
yang
terkesan realistis ini dan lalu beradaptasi dengan menyelaraskan sifat-sifat,
berbagai karakter,
pelaksanaan sehari-hari sesuai dengan media yang terproyeksikan yaitu kondisi
pikiran
(mental-condition).

Begitu proyeksi egosentris ini bersentuhan dengan Sang Atman, delusi ini
menciptakan
berbagai jenis delusi-delusi lainnya yang mengentalkan elemen-elemen kebatilan
(yang
bersifat asurik, iblis) dan menjauhkan kita semua dari Hakekat Yang Maha Benar, dan
makin
lama egosentris ini makin menjerumus ke dalam dunia mimpinya sendiri yang berbentuk
nama, rupa yang saling menunjang sesamanya (dengan kuat).

Sloka - 16 “Pertama-tama, sifat-sifat egosentris (Jiva-Bhavana) diproyeksikan dan


kemudian menyusul setelah itu berbagai imajinasi dari berbagai elemen, baik yang
berciri
obyektif dan subyektif. Begitu sifat ilmu-pengetahuannya, demikian juga sifat
memorinya.”

Keterangan: Timbul pertanyaan kini, seandainya semua yang bersifat obyektif dan
subyektif
adalah imajinasi belaka, maka seperti apakah bentuk dari sumber dari segala
imajinasi ini?

Pada saat ini yang berbantah pendapat dengan teori Vedantin mulai menyadari akan
sesuatu
hakikat yang sifatnya lebih tinggi dari kedua faktor tersebut di atas. Hakikat yang
lebih
tinggi ini tidak mungkin pikiran adanya, karena pikiran itu sifat dan bentuknya
masih materi;
bukan juga Sang Atman karena Beliau adalah Pengetahuan, dan tidak mungkin di dalam
Pengetahuan itu hadir delusi (Begitu sifat ilmu-pengetahuannya, demikian juga sifat
memorinya). Seandainya pengetahuan tidak ada, maka tidak akan eksis juga memori.
Memori
kita semua eksis berdasarkan fondasi ilmu-pengetahuan (dalam hal ini berdasarkan
fondasi
(tingkat) atau kualitas ilmu-pengetahuan kita masing-masing).

Sloka - 17 “Ibarat seutas tali dalam kegelapan, dianggap sebagai seekor ular,
demikian
juga Sang Atman (senantiasa diibaratkan) dalam berbagai bentuk.”

Keterangan: Perumpamaan di atas sangat populer di Sanathana Dharma dan sering


dipergunakan dalam berbagai ajaran spiritual.

Sloka - 18 “Sewaktu sifat asli tali ini terungkap, maka berbagai ilusi mengenai
tali inipun
menghilang dan kemudian sadarlah kita bahwa sebenarnya itu hanyalah seutas tali
yang
tidak pernah berganti-ganti bentuk; dekikian juga sifat dari Sang Atman, yaitu Ilmu
Pengetahuan Yang Maha Murni.”

Keterangan: Di dalam kegelapan atau situasi yang remang-remang sering kita merasa
(berilusi) bahwa benda panjang dihadapan kita adalah seekor ular, namun sewaktu
terang
baru kita sadar bahwa yang kita lihat itu adalah seutas tali atau benda panjang
lainnya.
Sloka - 19 “Sang Atman diimajinasikan dalam berbagai variasi yang tak terhitung,
seperti
prana dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena kekurang-pengetahuan yang
diakibatkan oleh Sang Maya yang berasal dari Sang Atman Yang Bercahaya dari Dirinya
Sendiri, melalui Sang Maya ini Sang Atman menyesatkan dirinya.”

Keterangan: Dari sloka ini kita mendapatkan sebuah teori tambahan dari kaum
Vedantin
bahwasanya Sang Atmanlah penyebab dari semua kebodohan dan kegelapan kita. Berbagai
ajaran Upanishad sebenarnya menuntun kita ke tahap: Hakikat Yang Maha Esa, demikian
juga dengan Upanishad yang satu ini. Di sloka-sloka berikutnya hadir 35 pandangan
akan
penciptaan ini yang diberikan melalui sudut pemikiran yang berbeda-beda. Di
zamannya Sri
Gaudapada itu sendiri, semua pandangan ini dianggap asing dan tidak bersifat
filosofis.

Sri Gaudapada dengan sangat bijaksana menuliskan semua pandangan ini di dalam
uraian
Karika ini demi kita semua tanpa memilah-milahnya. Beliau betul-betul adalah
seorang resi
yang mulia, dan tanpa Karika ini mungkin kita telah kehilangan suatu kesempatan
besar.
Semoga amal perbuatan beliau ini mendapatkan Karunia Yang Maha Esa secara setimpal.
Om Tat Sat.

Sedemikian demokratisnya beliau ini sehingga beliau menerima pendapat apa saja,
walaupun
sifatnya tidak rasional demi ilmu-pengetahuan yang dikembalikan ke kita semua.
Karena hal
sama selalu terulang dari waktu ke waktu.

Sloka - 20 “Mereka-mereka yang mengenal (memahami) Prana tersebut Sang Atman


sebagai Prana, yang mengenal Bhutas menyebutNya sebagai Bhutas; mereka-mereka
yang mengenal Gunas (sifat-sifat) alami menyebut Sang Atman sebagai Gunas; dan
mereka yang mengenal Thatwas, menyebutnya sebagai Thatwas (3 unsur Realitas yaitu:
Atman, Avidya dan Shiva).”

Keterangan: Kaum Vaiseshikas yakin bahwa Realitas yang hadir dibalik semua nama dan
ciptaan-ciptaan ini adalah Prana. Prana disini diidentikan dengan Hairanyagarbha
(Pencipta,
yang di Vedanta dikenal dengan nama Suthratma).

Mereka-mereka yang yakin akan kepercayaan ini memujaNya sebagai Realitas Yang Maha
Utama dan mereka menyebut Hundu Dharma dengan nama Hiranyagarbhakas.

Ada empat teori yang berbeda-beda di sloka di atas mengenai Sang Atman, demikian
juga
dengan sloka-sloka berikutnya.

Teori Charraka (berorientasi ke materi/bhutas), teori ini disebut juga Lokayathas,


penganut
teori ini tidak mau menerima adanya ether sebagai salah satu elemen penciptaan di
dunia ini,
bagi mereka hanya ada 4 bhutas saja, yaitu udara, api, air dan tanah.

Teori Sankyas di atas mengatakan: Dunia ini berasal dari tiga sifat gunas yang
masing-
masing berintikan unsur (physic dan psichological) seperti a) non-aktivitas, b)
aktivitas, dan
c) tidak aktif. Menurut mereka, Pralaya (kiamat) adalah suatu bentuk penghancuran
dunia ini
yang menyisakan kondisi manifestasi yang bersifat homogeneous sewaktu ketiga gunas
ini
memasuki tahap equilibrium. Pada saat keselarasan equilibrium ini terganggu atau
diganggu,
maka gunas ini lalu hancur berantakan ibarat rumah yang disusun dari kartu, ke
dalam nama
dan bentuk (rupa) yang berbagai ragam ini dan menghasilkan pruralitas alam-semesta
ini!

Di India hadir aliran Saivas (Pemuja Shiva) yang percaya akan Eksistensi Yang Maha
Esa
(Realitas) berdasarkan tiga faktor utama, yaitu yang disebut tiga bentuk Tatras:
Sang Atman –
Avidya (kegelapan-kebodohan) – Shiva.

Sloka - 21 “Mereka-mereka yang terbiasa dengan empat bagian Padas menyebut Sang
Atman sebagai Padas; Mereka-mereka yang terbiasa dengan berbagai indriyas
menyatakan bahwa dasar-dasar dunia ini adalah berbagai obyek-obyek sensual ini;
mereka-mereka yang terbiasa dengan berbagai loka (planet dan sebagainya) menyatakan
bahwa Sang Realitas adalah Loka-loka itu Sendiri dan mereka-mereka yang mengenal
para dewata (Devas) juga menyatakan bahwa Sang Realitas adalah gabungan dari para
dewa-dewa ini.”

Keterangan: Penjelasan lengkap mengenai 4 bagian Padas telah hadir pada permulaan
karya
ini, lihat keterangan mengenai Om Upasana di awal buku ini.

Menurut Vatsayana dan pengikut-pengikutnya, Realitas terakhir adalah berbagai obyek


sensual dalam bentuk berbagai suara, bentuk, bau-bauan, rasa dan sentuhan.

Menurut Panarikas (mythologis), Sang Realitas terdiri dari tiga dunia (loka) yang
disebut
“Bhur”, “Bhuva” dan “Suvah”.

Menurut Meemamsakas, penganut-penganut penuh disiplin dari berbagai Vedas, Dewa


Agni,
Indra dan lain-lainnya, maka gabungan dari semua dewa-dewi ini adalah Realitas yang
Abadi. Para dewa-dewa ini oleh para penganut ini dianggap sebagai Penjaring dari
berbagai
karma dan pahala-pahalanya (Karmaphaladatas).

Sloka - 22 “Mereka-mereka yang memahami berbagai Vedas menyebutNya sebagai


Vedas; mereka-mereka yang mengenal berbagai bentuk pengorbanan menyebutNya
sebagai Pengorbanan suci. Mereka yang memahami sang penikmat menyatakan Beliau itu
sebagai Sang Maha Penikmat, dan mereka-mereka yang memahami berbagai obyek
kenikmatan menyebutNya sebagai obyek berbagai kenikmatan.”

Keterangan: Para Vedins yakin bahwa Tuhan itu adalah berbagai Veda-veda itu
sendiri.

Para penganut aliran Bodhyanas menyatakan bahwa berbagai bentuk pengorbanan


(yagnas)
adalah Sang Realitas. Tanpa pengorbanan agung dari Sang Pencipta, tidak mungkin
alam-
semesta ini bisa tercipta pada mulanya, dan pengorbanan tersebut dilakukan secara
tulus dan
oleh bakti yang dilandasi paham-paham ajaran Veda. Bagi para ahli lainnya, pendapat
ini
dinilai tidak filosofis, jadi tidak benar karena mana mungkin benda-benda duniawi
menciptakan Yang Maha Esa.
Pandapat kaum Sankhyas menyatakan Sang Realitas adalah penikmat. Menurut mereka
ini,
Sang Atman bukanlah pelaku juga bukan tuhan, sebaliknya Beliau adalah Penikmat
(dari
semua bentuk kehidupan dan seluruh ciptaan ini).
Ada juga kaum Sapukaras (juru masak), yang beranggapan bahwa Sang Penikmat itu
adalah
Sang Realitas atau sebaliknya (bukan Penikmat).

Sloka - 23 “Mereka-mereka yang memahami unsur-unsur lembut, menyebutNya sebagai


Yang Lembut; mereka-mereka yang memahami wujud-wujud (benda) kasar menyebutnya
sebagai Yang Kasar (padat, penuh, berbentuk) dan mereka-mereka yang memuja sebuah
bentuk menyebutNya sebagai seseorang yang berbentuk dan mereka-mereka yang yakin
akan yang tidak berbentuk menyebutNya sebagai Kekosongan.”

Keterangan: Kaum Naiyayikas (pemaham logika) menyatakan dunia ini adalah modifikasi
(parinama) dari realitas Yang Maha Utama. Parinama ini terdiri dari tiga faktor
yaitu sesuai
dengan dimensi realitas yang dikenal; yang pertama bersifat atomik (Anu-Parinam),
yang
kedua ukurannya sebesar raga manusia itu sendiri (Madhyama-Parinam) dan yang ketiga
bersifat universal (Vibhu-Parinama). Menurut teori yang pertama: Realitas adalah
bentuk
terkecil dan terlembut di alam-semesta ini yang juga hadir di dalam relung hati
sanubari yang
paling dalam. Kata lembut disebut Sukshma (Suksuma) dan sifatnya adalah terkecil
dari yang
terkecil (atom) . . . Anuparinam.

Penganut aliran Lokayathas (materialis) berpendapat, raga ini adalah Realitas yang
Utama
yang terutama di dalam kehidupan ini. Penganut aliran ini terbagi dalam tiga aliran
kepercayaan. Yang pertama percaya bahwasanya badan atau raga ini adalah Realitas
Utama,
mereka ini disebut Deha-Atma-Vadins. Yang kedua percaya bahwasanya berbagai
indriyas
adalah Sang Realitas Utama, mereka ini disebut Indriya-Atma-Vadins, sedangkan
aliran
ketiga berkeyakinan bahwa Sang Realitas adalah sang pikiran itu sendiri. Mereka
dikenal
dengan nama Man-Atman-Vadins.

Kaum Agamikas adalah penganut berbagai agamas …. Mereka yakin Sang Realitas
memiliki
bentuk-bentuk suci dan berbagai nama seperti Maheswara (dengan Trisulanya), sebagi
Vishnu dengan Cakranya, atau sebagai Sri Krishna dengan serulingnya.

Adalah satu golongan Buddhis yang disebut Nihilis telah berketetapan bahwasanya
Realitas
Yang Maha Utama adalah Non-eksistensi yang memproyeksikan semua bentuk dan nama di
alam-semesta ini.

Sloka - 24 “Mereka-mereka yang percaya akan Sang Waktu (Kala) menyebutNya sebagai
Sang Waktu, yang percaya akan antariksa menyebutNya sebagai Sang Hyang Antariksa
(Disa). Para alkemis dan ahli-ahli sulap menyebutnya sebagai Vada (ilmu fisika) dan
mereka-mereka yang memahami berbagai dunia ini menyebutNya sebagai Bhuvanan
(gabungan dari berbagai loka, dunia).”

Keterangan: Para ahli astrologi dan astronomi di jaman tersebut yakin bahwa dunia
(alam-
semesta) ini lahir dari Faktor Eternal yang disebut Kala (Sang Waktu), mereka yakin
alam-
semesta ini ditunjang oleh Sang Kala dan akan menyatu kembali ke dalam Sang Waktu.
Oleh
karena itu, bagi mereka faktor utama adalah Sang Kala. Namun banyak ahli yang tidak
sependapat, karena menurut mereka sang waktu selalu berubah-ubah, jadi tidak
mungkin bisa
bersifat abadi.
Kaum Swarodayavadins adalah golongan pemikir yang sangat piawai dalam membaca hal-
hal yang berhubungan dengan masa-masa yang akan datang dan implikasinya dengan
berbagai swara (suara dan nada) yang dihasilkan oleh para fauna-fauna dan berbagai
elemen/fenomena di dunia ini. Mereka ini mampu menghitung dan mendeteksi berbagai
suara di alam ini dan meramalkan hal-hal yang akan terjadi. Bagi mereka ini arah
mata-angin
(desa) adalah basis Abadi dari kehidupan yang serba pruralistik ini. Golongan ini
juga terdiri
dari Dhatuvadins (atau mantravadins) yang melakukan kegiatan magis mereka dengan
menggunakan berbagai perangkat seperti kristal, mantra-mantra, ramu-ramuan dan lain
sebagainya. Seni magis ini mereka sebut Vada, dan bagi para alkemis ini, Faktor
Kebenaran
di alam-semesta yang serba berubah-ubah ini adalah Yang Terutama.

Sloka - 25 “Mereka-mereka yang percaya akan sang pikiran (mana) menyebutNya Sang
Mana; mereka-mereka yang yakin akan sang intelek murni menyebutNya sebagai Sang
Budhi, mereka-mereka yang percaya akan inti sang pikiran menyebutNya sebagai Chit
(Chittam); dan mereka-mereka yang mengenaliNya sebagai Kebenaran menyebutNya
sebagai Dharma dan Adharma.”

Keterangan: Penganut Sang Buddhi di atas, disebut juga Budhis. Ada juga golongan
Buddhis lainnya yang menyebut Yogachaeas, yang yakin bahwa Chit (Buddhi tertinggi
yang
hadir di dalam Sang Pikiran) adalah Sang Realitas Abadi. Mereka ini yakin, tanpa
Chit yang
merupakan Prinsip bercahaya, maka seseorang tidak akan dapat mencapai persepsiNya.
Ketiga kategori pemuja ini masuk dalam satu wadah Buddhis yang berorientasi ke
unsur-
unsur materi, yang agak berbeda persepsi keyakinannya.

Kemudian ada golongan meemsakas (baca mimsakas) yang yakin bahwa Dharma dan
Adharma (Punya dan Papa), adalah realitas yang bersifat fundamental dan merupakan
basis
alam-semesta ini. Bagi mereka alam-semesta ini terkendali oleh faktor kebajikan
dari masa
lampau dan faktor masa kini akan menentukan masa depan alam-semesta di masa-masa
yang
akan datang.

Sloka - 26 “Sementara ahli berpendapat bahwasanya Sang Realitas ini terdiri dari 25
golongan (kategori), ada yang mengatakan 26 dan ada juga yang berpendapat bahwa
jumahnya tidak terbatas.”

Keterangan: Bagi kaum Sankhyan di India, Yang Maha Esa mengekspresikan


ManifestasiNya dalam 25 bentuk fenomena yang dinilai dengan mula-prakriti dan
kemudian
bermodifikasi seterusnya dan berjumlah 25 kategori penunjang kehidupan di seluruh
alam-
semesta ini. Namun yogin lainnya berkata 26 manifestasi, para yogin ini beraliran
Patanjali.
Kemudian ditambah satu lagi yaitu Ishwara Thatwa. Sedangkan aliran Pasupatas
menyatakan
unsur-unsur ini ada 31 dan lengkapnya sebagai berikut:

1) Shiva 2) Sukh 3) Sada-Shiva 4) Ishwara 5) Vidya

6) Purusha 7) Maya 13)Prakriti Yang Tak Bermanifestasi


14) Mahat 15) Ahamkar 16) Manas
5 organ indriyas; 5 organ segala tindakan; 5 thanmatras = 31 dan 5 unsur maha panca
butha =
36.

Di atas ini Sri Gaudapada menyebut 31 kategori, padahal masih ada unsur Sang Waktu
(8),
raga (12) dan sebagai implikasi Sang Maya (7). Namun ada juga yang berpendapat
bahwasanya Yang Maha Esa itu tidak terbatas manifestasiNya.

Sloka - 27 “Bagi mereka-mereka yang gemar menyenangkan hati orang lain yaitu kaum
Lukikas, menyebutNya sebagai “tindakan yang membahagiakan dunia ini”, bagi kaum
Ashramas yang setia, mereka menyebutNya sebagai Ashramas; bagi ahli tata-bahasa,
Beliau dikategorikan sebagai pria, wanita dan banci; dan ada lagi yang menyatakan
Beliau ini Para dan Apara (Brahman minor dan Brahman major).”

Sloka - 28 “Para pengagum penciptaan ini menyebutNya sebagai Penciptaan, yang


percaya akan kiamat (laya) menyebutNya Sang Kiamat, dan yang percaya akan bentuk
pemeliharaan menyebutNya Sang Pemelihara (Pengayom). Sebenarnya semua pemikiran
ini hanyalah (berbagai) imajinasi Sang Atman.”

Sloka - 29 “Bagi seorang Sadhaka, maka ia mengenaliNya seperti yang diajarkan oleh
gurunya. Sang Atman senantiasa menyelaraskan Dirinya dengan berbagai hasrat para
pemuja-pemujaNya, dan melindungi mereka (dengan bentuk tersebut). Dengan demikian
sang Pemuja akan meyadari Hakikatnya . . . sebagai satu-satuNya bentuk Kebenaran.”

Keterangan: Seperti halnya Sri Krishna di Bhagavat-Gita, maka Sri Gaudapada pun
dengan
sangat liberal menyatakan bahwa Yang Maha Esa menyelaraskan DiriNya untuk dipuja
dalam bentuk dan agama/ajaran apapun juga. Lalu untuk apa kita ribut sesama agama?
Atau
dengan umat lain? Tuhan sendiri tidak protes dan malahan berkenan, mengapa harus
kita-
kita yang selalu merasakan diri kita benar dan yang lainnya salah?

Sloka - 30 “Sang Jati Diri, walaupun tidak memisahkan diri dari kesemuanya ini,
terkesan terpisah dan jauh keberadaanNya. Seseorang yang hanya dengan memahami
makna ini saja, seyogyanya akan mampu memahami makna dari berbagai Veda tanpa
keragu-raguan sedikitpun.”

Sloka - 31 “Ibarat mimpi yang berasal dari berbagai ilusi, atau “istana kediaman
bidadari
Morgana” yang terlihat di langit, demikian juga alam-semesta ini diamati oleh para
Vedantin yang telah penuh dengan pengalaman (Kebijaksanaan dan ilmu-pengetahuan).”

Sloka - 32 “Tidak ada pralaya (kiamat), juga tidak ada kelahiran; tidak juga hadir
keterikatan, ataupun seseorang pencari kebijaksanaan, ataupun ada seorang pencari
kebebasan, araupun seseorang yang telah dibebaskan. Hanya inilah Kebenaran Yang
Maha Utama.”
Keterangan: Bagi yang telah mencapai Kemanunggalan dengan Sang Jati Diri maka semua
fenomena spiritual diatas pun tidak eksis lagi. Baca Ashtavakra-Gita yang berisikan
intisari
dari sloka ini.

Sloka - 33 “Sang Atman (Jati Diri) ini diimajinasikan sebagai yang tidak nyata dan
juga
sebagai Yang Nyata. Berbagai obyek diimajinasikan di dalam Non-dualitas Itu
Sendiri.
Oleh karena itu dikatakan bahwaanya, Sang Non-dualitas ini adalah bentuk Kesucian
yang Tertinggi.”

Sloka - 34 “Berbagai lapisan pruralitas ini tidak eksis seperti yang


diidentifikasikan
dengan Sang Atman. Namun Ia juga tidak dapat lepas dari bebas merdeka dari DiriNya
Sendiri. Ia tidak terpisahkan dari Sang Brahman, tidak juga Non-pruralitas berpisah
DariNya. Demikian kata para kaum bijaksana yang telah memahami berbagai
Upanishad.”

Sloka - 35 “Oleh para resi-resi suci yang agung yang berasal dari kurun masa yang
lampau, yang tidak memiliki keterikatan, rasa takut (khawatir) dan kemarahan, yang
telah
mempelajari kebenaran berbagai Upanishad secara mendalam, maka kaum suci ini
disadari sebagai “Sesuatu” yang secara total lepas dari berbagai imajinasi dan
bebas
(merdeka) dari berbagai lapisan ilusi, Beliau juga dipahami sebagai Eksistensui
Yang
Abadi dan Non-dual HakikatNya.”

Keterangan: Penjelasan di atas ini sebenarnya termuat di sebuah kitab ajaran yang
disebut
Prakarana Granth yang berisikan berbagai instruksi hasil ajaran para guru resi yang
mengkhususkan mengajar para peniti jalan shadana. Sri Gaudapadiya secara tidak
langsung
mengisyaratkan kepada para murid-muridnya agar mempelajari berbagai Upanishad dan
kitab-kitab suci yang bernuansa adi-luhung agar mampu menjangkau HakikatNya.

Sloka - 36 “Oleh karena itu setelah menyadari akan Hakikat Sang Atman yang
bercirikan
demikian, persatukanlah dirimu denganNya. Setelah menyadariNya secara penuh sebagai
Realitas yang bersifat Non-dual, kemudian bergeraklah di dalam kehidupan ini penuh
dengan kesadaran hakiki.”

Keterangan: Kesadaran yang hakiki berarti orang yang saat ini, nantinya secara
murni tidak
akan berpihak ke agama ataupun ajaran-ajaran lainnya, karena ia sadar bahwa Yang
Maha
Esa sebagai Hakikat Tertinggi tidak terjangkau oleh nalar manusia yang terikat
dengan
berbagai dogma, kepercayaan dan keyakinan. Ia sadar bahwasanya hanya Yang Maha Esa
saja yang mampu hadir di berbagai ajaran dan agama sebagai tujuan tertinggi.

Sloka - 37 “Seorang suci yang telah mengendalikan dirinya, seharusnya berada di


atas
semua bentuk pujian dan kehormatan (yang diarahkan kepadanya), juga diatas berbagai
ritual ….. diatas berbagai agama dan lain sebagainya. Baginya hanya Sang Atman saja
yang menjadi penyandang raganya dan ia hanya berpasarah diri dalam memenuhi
berbagai kebutuhan fisiknya ini.”
Sloka - 38 “Setelah memahami Kebenaran tersebut di dalam raganya maka di dunia
(alam) eksternal ia menyatu dengan Sang Realitas; dan selanjutnya (senantiasa)
menyerap berbagai bentuk kebahagiaan dariNya dan ia tidak pernah tersesat dari
Kebenaran ini.”
BAB III

ADWAITA PRAKARANA

(Penjelasan mengenai Faktor Non-dualisme)

Pada kedua bab sebelumnya Sri Gaudapada secara jelas dan terperinci menerangkan
berbagai
ekspresi dari berbagai agama-agama di jaman tersebut. Di bab pertama beliau
menerangkan
eksistensi agung dari Sang Realitas yang bersifat non-dual, keterangan yang
diberikan
berdasarkan skripsi-skripsi yang telah beliau pelajari. Kemudian di bab kedua kita
diberikan
sajian berupa berbagai argumentasi dari berbagai aliran (agamas) untuk membuktikan
sifat
ilusif dari dunia yang serba pruralistik ini. Di bab ini beliau menuntun kita ke
arah fenomena
dunia yang serba pruralistik ini yang ternyata sebaliknya tidak bersifat ilusif.
Bab ini penuh
dengan berbagai sitiran dari berbagai skripsi suci dan juga menuntun kita ke arah
meditasi
kita sehari-hari.

Konon, di bab yang akan kita ikuti ini (bab III), tersirat adanya ajaran unik yang
hadir dalam
Vedanta yang disebut “Asparse Yoga”. Yoga ini tersirat juga di ajaran Sang Buddha
Gautama.

Di akhir bab III, Sri Gaudapada meneriakkan ajaran filosofinya mengenai non-
penciptaan. Di
sloka tersebut mengungkap seluruh sari pati ajaran Karika ini hanya dalam dua
kalimat yaitu:

“Tak ada satu jiwapun yang pernah dilahirkan; tidak ada alasan apapun juga untuk
melahirkannya.
Itulah kebenaran yang tertinggi, yaitu tidak ada sesuatupun yang pernah lahir.”

ADWAITA PRAKARANA

Dimulai

Sloka - 1 “Setiap ego individual yang sedang meniti jalan bakti (upasana)
berimajinasi
bahwasanya ia terhubungkan ke Sang Brahman, yang diperkirakan olehnya telah
memanifestasikan DiriNya. Insan (Ego) ini disebut memiliki budhi yang rendah,
karena
insan ini berpikir bahwa sebelum terjadi penciptaan, maka semua ini bersifat
Realitas
yang belum dilahirkan.”

Sloka - 2 “Oleh karena itu, akan kuterangkan padamu, akan Sang Brahman ini, yang
lepas dan merdeka dari berbagai keterbatasan, yang tidak pernah dilahirkan dan
bersifat
homogeneous (sama jenis), dan dariNya ini sebenarnya tidak ada yang dilahirkan,
walaupun terkesan berbentuk berbagai manifestasi yang tidak ada habis-habisnya.”
Sloka - 3 “Sang Atman yang mirip dengan Akash (ether) bermanifestasi dalam
berbagai bentuk ego, dan dapat dibandingkan dengan spasi/ruang dalam bejana. Sekali
lagi, spasi dalam bejana dikatakan diproduksi oleh spasi-total, oleh karena itu
disebutkan
bahwasanya bentuk-bentuk kasar (kasat mata) diciptakan dari Sang Realitas. Inilah
ilustrasi bagi dunia dalam bentuknya yang bermanifestasi.”

Keterangan: Di dalam filosofi Vedanta terdapat analogi tentang spasi total


(kehampaan
alam-semesta) dan ruangan hampa, contoh ruang hampa dalam gerabah seperti pot,
bejana,
tempayan dan sebagainya. Spasi total adalah antariksa, ether, langit yang
mengelilingi kita,
sedangkan ruangan dalam bentuk dan ukuran apapun juga adalah sebagian kecil dari
kehampaan total alam-semesta ini.

Sloka - 4 “Sewaktu jambangan yang terbuat dari gerabah ini pecah, maka spasi
(ruang) dalam gerabah ini menyatu kembali dengan Akash (kehampaan alam-semesta),
demikian juga setiap ego (individu) menyatu kembali dengan Sang Atman.”

Sloka - 5 “Mengisi ruang kosong gerabah dengan asap atau tanah tidak berarti lalu
seluruh ruang hampa di alam-semesta jadi terisi. Demikian juga halnya akan
kebahagiaan dan penderitaan di dalam hati seseorang tidak harus menjadi penderitaan
dan kebahagiaan semuanya. Pengalaman jiwa seseorang tidak harus jadi pengalaman
semua yang lain.”

Sloka - 6 “Di sana-sini terdapat berbagai perbedaan di dalam berbagai bentuk,


fungsi
dan nama, namun di alam-semesta yang tak terterangkan ini tidak terdapat semua
perbedaan ini. Demikian juga halnya dengan kebenaran, Beliau hadir secara sama-rata
di dalam berbagai individu ciptaan-ciptaanNya.”

Sloka - 7 “Spasi hampa di dalam sebuah gerabah bukanlah hasil ataupun sebagian
dari spasi total alam-semesta; demikian juga dengan halnya setiap ego (jiwa,
individu)
yang bukan hasil dari Roh tersebut dan juga bukan sebagian dari Roh ini.”

Sloka - 8 “Ibarat langit yang terkesan penuh polusi (dari sudut pandang anak-anak
bodoh), demikian juga Sang Atman (sering) terkesan diliputi oleh noda-noda dari
sudut
pandangan orang-orang yang kurang berpengetahuan.”

Sloka - 9 “Sang Atman yang bersemayam di dalam setiap raga, di dalam proses
setiap
kelahiran, kematian atau perpindahan (reinkarnasi), sebenarnya tidak berbeda dengan
fenomena spasi hampa di dalam sebuah bejana.”

Sloka - 10 Setiap perangkat (organ-organ kehidupan) seperti badan, pikiran dan


intelek
terciptakan akibat pemahaman yang salah mengenai hakikat sejati Sang Jati Diri.
Tidak
ada sebuah alasan rasional apapun yang dapat dipergunakan untuk menyatakan realitas
(semua) ini, apakah yang satu lebih superior daripada yang lainnya, ataukah yang
satu
sederajad dengan yang lainnya.”
Sloka - 11 “Sang Jati Diri Yang Maha Agung yang bukan lain dan bukan tidak adalah
Sang Brahman yang berciri Non-dual, adalah Sang Jati Diri dari ke lima unsur
seperti
fisik, mental dan lain sebagainya seperti yang telah diterangkan di Taittireeyaka
Upanishad. Beliau Yang Maha Agung ini adalah seperti yang telah diterangkan sebelum
ini oleh kami, yaitu ibarat spasi hampa total di dalam semesta ini.”

Sloka - 12 “Keterangan mengenai berbagai bentuk pasangan dari Akasa (ether) yang
juga
hadir di bumi, juga di dalam perut seseorang, walaupun berbagai ragam sebutannya,
sebenarnya adalah sama bagi Sang Brahman; demikian menurut ajaran yang terdapat di
Madhu Brahman, dimana Beliau dikenal sebagai Adhyatma dan Adhi-Daiva.”

Keterangan: Yang disebut berbagai pasangan di sloka ini adalah pasangan-pasangan


dari
buana-alit dan buana-agung, spasi gerabah versus spasi alam semesta, dan di Madhu
Brahmana, fenomena ini disebut sebagai Adhyatmik dan Adhydaivik.

Sloka - 13 “Karena identiras Sang Jiwa dan Sang Jati Diri (Atman) diantara mereka
berdua ini selalu diperdebatkan di berbagai skripsi, maka dikatakan bahwasanya non-
dualitas adalah satu-satunya hal yang bersifat rasional dan tepat.”

Sloka - 14 Perbedaan antara Sang Jiwa dan Sang Atman yang telah dijabarkan secara
ritual di dalam Veda yang berhubungan dengan Alam-Semesta ini, dapat bersifat
figuratif
karena berhubungan dengan keterangan mengenai yang mengantisipasi hal-hal yang
akan terjadi. Keterangan mengenai konsep dualistik ini (sebenarnya) dapat tidak
berarti
apapun juga secara literal.”

Keterangan: Di dalam bab yang mengulas Karma-Kanda di Veda (bagian ritualistik),


terdapat berbagai keterangan seperti di atas.

Sloka - 15 “Berbagai pernyataan yang diilustrasikan oleh berbagai contoh dari bumi,
besi, cahaya dan lain sebagainya . . . Yang berhubungan dengan penciptaan dunia ini
ataupun sebaliknya . . . memang dapat menerangkan keberadaan (fenomena) penyatuan
antara Sang Jati Diri secara perseorangan dengan Sang Jati Diri Yang Bersifat
Universal.
Sebenarnya hal-hal yang berhubungan dengan fenomena yang beragam-ragam ini tidak
eksis sama sekali.”

Keterangan: Di Brihadarayaka Upanishad, banyak disajikan contoh-contoh seperti


misalnya
penciptaan dunia ini dari berbagai elemen yaitu tanah, besi dan lain-lainnya.
Sedangkan
pesan-pesan di dalam Vedanta menyiratkan “melalui dunia ini menuju ke dunia yang
lain.”
Sloka di atas menyatakan bahwa seluruh penciptaan ini sebenarnya berasal dari
delusi
semata-mata (Pelajaran ini).
Sloka - 16 “Berdasarkan berbagai tahap dan kadar intelektual yang berbeda-beda
seperti
misalnya jiwa yang bersifat di bawah, di tengah dan di atas, maka kehidupan ini
dapat
dibagi-bagi diantara tiga tahap skripsi-skripsi suci yang berdasarkan prinsip-
prinsip kasih
sayang yang mengajarkan penalaran semacam ini agar bermanfaat bagi mereka-mereka
yang belum mencapai penerangan.”

Keterangan: Bagi penganut Vedantin, upaya-upaya utama pada mulanya adalah ajaran-
ajaran penuh disiplin (Upasana), agar jalan pikiran dan budhi mereka menyatu, untuk
kemudian diarahkan ke level yang lebih tinggi. Sruthi pada mulanya mengajarkan kita
akan
berbagai bentuk penciptaan yang bersifat pruralitas yang tercipta dari Kebenaran.
Namun
teori ini diajarkan berdasarkan kasih sayang bagi para pemula yang masih kurang
pengetahuannya akan Hakikat yang sesungguhnya (sejati).

Sloka - 17 “Kaum dualis bersiteguh pada hasil-hasil kesimpulan mereka sendiri dan
menganggapnya sebagai kebenaran. Jadi mereka sering berdebat satu dengan yang
lainnya, namun kaum Advaitin tidak pernah berkonradiksi diantara mereka sendiri.”

Keterangan: Yang disebut kaum dualist adalah golongan kepercayaan seperti kapila,
Kanada, Jaina dan lain-lainnya.

Sloka - 18 “Non-dualitas adalah Realitas Utama yang sejati; dualitas adalah


efeknya.
Kaum dualis merasakan hadirnya dualitas baik di dalam Yang Maha Hakiki dan di dalam
berbagai fenomena (dunia ini). Oleh sebab itu, non dualisme adalah sebuah filosofi
yang
tidak bertentangan dengan posisi kaum dualis.”

Sloka - 19 “Sang Brahman yang non-dual dan tidak berganti-ganti ini, sebenarnya
tidak
dilahirkan, dan terkesan berubah-ubah karena terbungkus oleh ilusi atau Sang Maya,
jadi
bukan bersifat de facto. Karena, seandainya perubahan ini benar maka Sang Brahman
Yang Maha Abadi akan berubah menjadi tidak abadi.”

Keterangan: Sebagian manusia dikarenakan oleh ilusinya sendiri merasakan Tuhan itu
berganti-ganti bentuk, contoh: berbagai dewa-dewi, fenomena alam, berbagai bentuk
Tuhan
dan agama, ajaran, aliran kepercayaan dan sebagainya. Padahal Beliau adalah Hakikat
Yang
Maha Murni yang tak mungkin terjangkau oleh berbagai teori dan ajaran mulut manusia
sebetapa canggihnya manusia tersebut.

Sloka - 20 Kaum dualis bersikeras bahwasanya Sang Atman yang tidak pernah
dilahirkan
dan tidak berubah-ubah bentuk ini, menjalani perubahan bentuk. Bagaimana mungkin
Zat yang bersifat konstan dan abadi ini dapat berubah menjadi benda mati (mengenal
kematian).”

Sloka - 21 “Yang Abadi tidak bisa berubah menjadi tidak abadi dan sebaliknya yang
tidak
abadipun tidak bisa menjadi Abadi, karena pada hakikatnya tidak pernah terjadi
bahwa
sesuatu itu dapat berganti-ganti sifat bawaannya yang dominan (utama), jadi
dikatakan
sesuatu itu senantiasa bersifat sama.”
Sloka - 22 “Bagiamana mungkin seseorang yang percaya bahwa unsur Abadi yang utama
berubah menjadi tidak abadi, tinggal di dalam KeabadianNya setelah berubah bentuk,
kemudian mempertahankan bentuk utamanya yang bersifat immutabilitas (tidak bisa
diganti).”

Sloka - 23 “Kedua bentuk pandangan bahwasanya, ciptaan ini adalah realitas dan juga
sebaliknya telah diajarkan oleh Sruthi secara seimbang. Apa yang telah didukung dan
dinyatakan Sruthi ini dan telah difahami secara logika adalah yang dapat diterima
sebagai
Kebenaran bukan hal-hal yang lainnya.”

Sloka - 24 “Melalui (konsep-konsep) seperti yang terdapat di berbagai sloka-sloka


di
berbagai skripsi suci, contoh: “tidak ada bentuk jamak di sini”, atau, “melalui
ilusi Sang
Maya, dan sebagainya” . . . kita memahami behwasanya Sang Atman walaupun tidak
dilahirkan, terkesan berbentuk aneka ragam (vineka) melalui penalaran Sang Maya
(yaitu
ilusi duniawinya sang manusia itu sendiri).”

Sloka - 25 “Sekali lagi, sewaktu fenomena penciptaan ditolak (Sambuthi) maka


terjadilah
penolakan terhadap teori ini. Kasualitas akan Sang Atman sekali lagi tidak diterima
oleh
pernyataan seperti ini :” Siapakah yang mampu mengakibatkanNya untuk lahir?”

Keterangan: Tersirat di sloka ini behwasanya hukum karma (sebab dan akibat) hanya
bisa
eksis dalam jalan pikiran manusia. Hukum ini tidak berlaku untuk Sang Pencipta,
Beliau ini
tidak dilahirkan dan tidak melahirkan!

Sloka - 26 “Berhubungan dengan ketidak-mampuan skripsi-skripsi suci untuk


menerangkan Hakikat Sang Atman dengan jelas maka sering sekali skripsi-skripsi suci
ini
menyatakan: “Ia adalah bukan ini, bukan juga itu,”. . . dua bentuk ekspresi ini
selalu
disajikan demi memahami Sang Atman. Oleh karena itu, Sang Atman yang tidak
dilahirkan ini saja yang eksis . . . bukan bentuk dualitasNya.”

Sloka - 27 “Beliau (Zat tersebut) yang selalu Maha Hadir terkesan melahirkan (atau
dilahirkan) melalui penalaran konsep yang salah (delusi). Menurut sudut pandang
Realitas, maka hal ini tidaklah benar. Mereka-mereka yang percaya akan fenomena
kelahiranNya sebagai suatu hal yang benar, menegaskan bahwasanya sesuatu yang
dilahirkan, akan dilahirkan kembali (ad infinitum).”

Sloka - 28 “Yang Maha Tak Nyata, tidak bisa dilahirkan baik secara nyata maupun
secara delusi (tidak nyata), konsep berpikir yang salah. Ibarat anak yang dikandung
oleh
seorang wanita yang mandul, tidak bisa dikatakan dilahirkan de facto ataupun
dilahirkan
melalui delusi.”
Sloka - 29 “Ibarat di dalam sebuah mimpi, sang pikiran bertindak melalui Sang Maya
(delusi, ilusi) dan menampilkan berbagai penampakan akan dualitas, maka demikian
juga
dalam tahap sadar (tidak tidur), sang pikiran terangsang oleh Sang Maya dan
mengakibatkan penampakan berbagai dunia yang penuh dengan berbagai obyek-obyek
duniawi.”

Sloka - 30 “Secara pasti dapat dikatakan bahwasanya Sang Pikiran yang bersifat non-
dual terkesan berantakan di dalam pluralitas mimpi-mimpinya. Demikian juga, Sang
Realitas yang bersifat Non-Dual nampak sebagai penuh dengan berbagai variasi di
tahap
(alam) sadar ini.”

Sloka - 31 “Apapun yang kita sadari (capai) di dunia ini baik yang bersifat
bergerak
maupun yang tidak bergerak, adalah tidak lain tetapi persepsi dari sang pikiran itu
sendiri
. . . yaitu sang pikiran itu sendiri. Karena, pluralitas itu tidak mungkin dapat
terpikirkan
kalau sang pikiran mampu dikuasai.”

Sloka - 32 “Sewaktu sang pikiran tidak berimajinasi lagi karena telah memahami
hakikat
akan ilmu-pengetahuan tentang Kebenaran, yaitu Sang Atman (Kesadaran murni), maka
sang pikiran itupun berhenti berilusi. Sang pikiranpun lepas dari berbagai ide-ide
pemahaman demi memahami obyek-obyek yang dipahami ini.”

Sloka - 33 “Ilmu pengetahuan yang tidak dilahirkan dan bebas dari semua imajinasi
selalu bersifat tak terpisahkan dari yang mengetahuinya. Sang Brahman yang tak
pernah
dilahirkan dan Yang Tak Dapat Tersentuh adalah tujuan satu-satunya dari ilmu-
pengetahuan ini. Yang bersifat tidak dilahirkan hanya dapat dipahami oleh mereka-
mereka yang tak terlahirkan.”

Sloka - 34 “Pahamilah jalan pikiran (sifat) dari sang pikiran yang berada di bawah
kendali yang sempurna . . . yang lepas dari semua imajinasi (Sankalpa) . . . yang
berdasarkan pemikiran yang murni. Keadaan sang pikiran di dalam tahap tidur lelap
berbentuk sangat luas dan berlainan dan tidak seperti pikiran terkendali secara
damai.”

Keterangan: Tiga tahap (alam) telah dijabarkan di bab-bab sebelumnya, mulai sloka
ini akan
diterangkan mengenai alam Thuriya, yaitu tahap kesadaran yang tertinggi dimana
berbagai
faktor pluralistik tidak akan hadir. Namun bagi para resi dan sadhaka yang telah
bertahun-
tahun tidak mampu menembus ke alam ini, maka mereka bisa kembali ke alam duniawi
dan
berubah menjadi liar dan beringas, penuh dengan kebejatan dan pamrih. Ingat selalu,
jalan
shadana itu tidak dapat dipaksakan, bukan kita yang memilih Sang Dharma, namun
sebaliknya Sang Dharma yang memilih kita.
Sloka - 35 “Dalam tahap (alam) tidur lelap, sang pikiran tenggelam di dalam
kebodohan
belaka, namun di dalam pelaksanaan disiplin Vedantik, maka hal tersebut berbeda
sekali.
Oleh karena itu ada perbedaan diantara seseorang yang tertidur lelap dan seseorang
yang
telah memasuki alam kesadaran dalam menghayati berbagai fenomena kehidupannya.
Jalan pikiran seorang Jnyani menjadi identik dengan Sang Brahman Yang Maha Gagah
Perkasa; yang menjadi batas antara mereka berdua adalah (perbedaan) antara Sang
Atman dan Sang Brahman belaka.”

Sloka - 36 “Sang Brahman tidak dilahirkan ditinjau dari sudut kondisi alam tidur
dan
alam mimpi, tanpa nama dan tanpa bentuk, senantiasa bercahaya dan maha hadir. Tidak
diperlukan upacara apapun juga, dan dalam bentuk apapun yang harus dilaksanakan di
altarnya Sang Brahman.”

Sloka - 37 “Sang Jati Diri ini berada jauh dari berbagai ekspresi maupun kata-kata,
jauh
dari berbagai pelaksanaan sang pikiran. Beliau adalah yang serba damai, serba
(senantiasa berkilauan, lepas dari berbagai pelaksanaan dan ketakutan (rasa
khawatir).
Beliau dapat dipahami (dicapai) melalui budhi-daya yang terkonsentrasi.”

Sloka - 38 “Di sana, di dalam Sang Jati Diri, yang merupakan pencapaian terakhir
dari
berbagai pelaksanaan sang pikiran, tidak hadir persepsi maupun projeksi diri ke
dalam
berbagai bentuk-bentuk ide. Kokoh terserap kedalam Ilmu-Pengetahuan … Jnyani ini
akan mencapai tahap yang tak tergoyahkan dan merupakan tahap kesatuan.”

Sloka - 39 “Yoga ini disebut Sentuhan dari yang tidak tersentuh, yoga ini sulit
untuk
dicapai oleh para pencari kebenaran. Para yogin takut akan Jalan ini, karena mereka
ketakutan akan Itu (KehadiranNya) ……. Yang (sebenarnya) adalah tempat dimana
seseorang mampu merasakan tahap sebenarnya akan tidak hadirnya rasa kekhawatiran
dalam bentuk apapun juga..

Sloka - 40 “Para yogin yang tidak meniti Jalan Ilmu-Pengetahuan seperti yang
dinyatakan di dalam Karika ini akan berada (sepenuhnya) didalam kendali dari
pikiran
mereka dalam menghadapi rasa tidak-ketakutan, penghancuran berbagai penderitaan,
dan juga ilmu-pengetahuan akan Sang Jati Diri dan kedamaian.”

Keterangan: Yang dimaksud dengan para yogin ini, adalah penganut hatha-yoga yang
hanya
mengandalkan pranayama dan berbagai gerak asanas (gerakan-gerakan dan posisi
badan),
yang sebenarnya diperuntukkan bagi kebugaran jasmani mereka. Fisik yang baik akan
mengantarkan seseorang ke strata spiritual yang baik, namun kalau hanya terpaku
kepada
hatha-yoga saja tanpa meniti jalan-pengetahuan, maka jalan pikiran mereka akan
tetap rapuh
dan mudah terombang-ambing oleh berbagai aspek kehidupan ini.”
Sloka - 41 “Sang pikiran itu dapat dikendalikan, namun diperlukan usaha yang tidak
ada
habis-habisnya, ibaratnya mengosongkan sebuah samudra dengan menimba airnya setetes
demi setetes dengan mempergunakan sehelai rumput kusa.”
Keterangan: Mungkin ada sebagian sidang pembaca yang menanggapi dengan pesimis
makna sloka ini, sepertinya sia-sia saja usaha mengosongkan sebuah samudra, sudah
setetes
demi setetes, menggunakan rumput kusa lagi, tentu saja tetesannya semakin kecil
saja.

Ada sebuah kisah kuno, disebuah shastra yang dikenal dengan nama Hitopadesa, kisah
ini
sendiri termuat di sebuah bab yang disebut Tithipopakhyaha. Konon diceritakan di
sini akan
kisah seekor burung kecil yang menetaskan telur-telurnya di pasir sebuah pantai.
Namun
disuatu saat air laut pasang, dan telur-telur ini terseret semuanya ke laut. Sang
burung kecil
kehilangan ini, tidak mau menerima kenyataan ini, dan dengan menggunakan sehelai
rumput
kusa, sang burung setiap harinya berusaha menimba air laut tersebut setets demi
setetes
dengan harapan sang laut akan kosong suatu saat nanti, dan ia akan mendapatkan
kembali
telur-telurnya. Usaha ini secara diam-diam diperhatikan oleh Sang Garuda yang amat
bersimpati kepada burung kecil ini. Sang Garuda menghampiri dewa laut dan mengancam
akan menyerangnya kalau tidak mengembalikan telur-telur tersebut. Ternyata dewa
laut ini
sangat takut dan segan kepada Sang Garuda dan segera mengembalikan telur-telur ini
kepada
si burung kecil.

Pesan yang dikandung kisah ini jelas sekali: Walaupun mengalahkan sang pikiran itu
adalah
hal yang musykil dan tidak mungkin, namun seandainya seseorang itu beriman dan
berusaha
terus secara berkesinambungan penuh dengan disiplin dan bhakti, maka Yang Maha Esa
secara pribadi akan datang membantunya. Di Bhagavat-Gita, Sang Krishna menyatakan
selangkah seseorang itu melangkah ke arahnya, maka 1000 langkah Beliau maju
menjemputnya, dan coba renungkan betapa besar, agung dan luasnya satu langkah Tuhan
Yang Maha Esa ini. Kita berusaha tanpa pamrih di dalam kesehari-harian kita,
biarkan Yang
Maha Esa yang menentukan hasilnya; dengan melatih diri kita secara demikian, maka
akan
timbul hubungan denganNya, dan hubungan yang gaib ini penuh dengan kesadaran yang
mencengangkan sang bhakta ini sendiri, ibaratnya ia tinggal di dunia ini, tetapi
paada saat
yang lain ia melihat dan juga hidup dan merasakan berbagai dimensi pikiran yang
lain,
karena sang pikiran yang tidak sibuk dengan berbagai suka-duka ini lalu secara
otomatis
masuk ke dimensi yang selama ini “tertutup” oleh kesibukan, kegalauan dan berbagai
aktifitas kita, padahal di dalam kehidupan ini, ada keajaiban di dalam tubuh kita
sendiri yang
harus kieksplorasi oleh kita sendiri!

Sloka - 42 “Sebuah jalan pikiran yang tidak tertarik akan berbagai keinginan
(hasrat,
nafsu), dan demikian juga sang pikiran yang menikmati kenikmatan dari “alam tidur
yang
menyeluruh, disebut Laya”, harus digiring di bawah disiplin yang ketat dan
sempurna,
dengan menyadarkan sang pikiran ini melalui berbagai jalan-jalan yang seharusnya.
Karena “alam trance (kesurupan) atau “alam tertidur lelap” yang disebuut Laya ini
sama
merugikan seperti halnya dengan berbagai cobaan dan gangguan berbagai nafsu dan
keinginan.”

Keterangan: Di sloka ini, Sang Guru, yaitu Sri Gaudapada memperingatkan para
sadhaka
agar berhati-hati dengan shadananya. Walaupun seseorang telah menanggalkan berbagai
hasrat dan nafsu-nafsunya, namun ada faktor lain yang pasti akan menjegal jalan
dhyananya,
yaitu yang disebut Laya (Kesurupan/trance atau tahap setengah tidur / setengah
mengawang
yang dapat membawanya ke alam-alam yang penuh dengan cobaan-cobaan yang bersifat
negatif dan bahkan cenderung bersifat sidhi/kesaktian).

Sloka - 43 “Jauhkanlah sang pikiran dari berbagai kenikmatan dengan keyakinan


bahwasanya berbagai indriyas ini sebenarnya terbungkus dengan teka-teki dan
misteri.
Dualitas yang tercipta (dari sang jalan pikiran) kemudian tidak akan mempu menembus
persepsi kita seandainya kita secara terus menerus berrefleksi kepada Sang Brahman
yang
tak pernah dilahirkan dan tak pernah berganti-ganti (status dan bentuk ini.)

Sloka - 44 “Dalam tahap trance ini, kita menyadarkan pikiran kita; sewaktu
terganggu,
harus kita damaikan; sementara ini kita juga menyadari bahwasanya sang pikiran ini
penuh dengan berbagai hasrat dan nafsu yang tak pernah puas (termanifestasikan),
namun masih penuh dengan potensi tersebut. Seandainya sang pikiran telah mencapai
tahap keseimbangan yang sempurna, maka kemudian jangan diganggu lagi.”

Keterangan: Seandainya seseorang merasa telah mampu mengalahkan jalan pikirannya,


maka ia harus berhati-hati, karena potensi nafsu di dalam pikiran itu sebenarnya
besar sekali,
potensi ini akan menyerang sang sadhaka melalui sifat-sifat animalistik (peri-
kebinatangan)
yang terpendam di dalam dirinya sendiri. Potensi yang menghancurkan ini hadir dalam
samadhi setiap sadhaka pada saat-saat akhir penyempurnaan samadhinya, dan disebut
Kashaya. Ini menunjukkan sebenarnya sebelum mengalami evolusi menjadi manusia kita
mungkin adalah juga sejenis fauna, namun berbudi-daya lebih tinggi dari yang lain-
lainnya,
dan kehidupan sedang membawa kita ke evolusi masa depan. Seperti apakah bentuk dan
tingkah laku manusia ini, evolusi dan kehendak Sang Pencipta saja yang akan
menentukannya di masa depan.

Kembali ke sang sadhaka yang sedang mendaki shadananya, seandainya ia berhasil


melampaui tahap yang sulit ini, maka ia akan berada langsung di depan pintu gerbang
Sang
Brahman, Sang Realitas. Sang Sadhaka kemudian tinggal “mengetuk” pintu ini. Tahap
di
pintu gerbang ini disebut tahap keseimbangan. Pintu ini dibuka olehNya, masa
penantian ini
harus dijaga secara hati-hati, agar jangan terganggu lagi pada saat yang paling
akhir. Yang
paling mampu mengganggu kita adalah kita sendiri, demikian pesan Sri Gaudapadiya
kepada
para sadhakanya.

Sloka - 45 “Sang pikiran (dalam tahap samadhi ini) tidak boleh diajak menikmati
Karunia Ilahi yang terpancar dari samadhinya. Melalui penalaran yang murni, ia
harus
melepaskan dirinya dari kenikmatan spiritual ini. Seandainya, sang pikiran, sekali
mencapai tahap keseimbangan ini, masih ingin keluar menikmati obyek-obyek di luar,
maka sang pikiran ini harus disatukan kembali dengan Sang Jati Diri sekali lagi,
melalui
upaya-upaya dirinya sendiri.”

Keterangan: Ternyata, tahap karunia transedental Ilahi dalam samadhi juga masih
merupakan sebuah ikatan yang bersifat kebahagiaan. Karena terbius oleh kenikmatan
spiritual ini, sang sadhaka lalu “larut atau tenggelam di dalamnya.” Ia harus
menyadarkan
dirinya bahwa Sang Atman adalah tujuannya, dan ia harus sekuat tenaga keluar dari
tahap
kebahagiaan ini demi penyatuannya dengan Sang Atman. Ternyata jalan shadana ini
tidak
mudah sama sekali dan terkesan rumit dan musykil. Namun jangan putus asa karena
Iswara
Kripa (atau Guru Kripa = Karunia Yang Maha Esa) pasti diberkahkan kepada yang layak
mendapatkannya. Bersyukur dan berterima-kasihlah kita kepada Sri Gaudapadiya yang
sudi
menuntun kita semua.

Sloka - 46 “Lepas dari ikatan-ikatan tahap trance (kesurupan) ini, dan juga dari
segala
ikatan-ikatan berbagai nafsu dan hasrat-hasratnya, maka sang pikiran ini lalu
berubah
menjadi tenang dan damai dan tidak mengembara lagi, sang pikiran ini lalu sebenar-
benarnya telah merubah menjadi Sang Brahman.”

Keterangan: “Manusia tanpa pikiran adalah Tuhan (Brahman), Tuhan ditambah sang
pikiran
adalah manusia (Atman).”

Sang pikiran hadir dalam keadaan (Asanti) tidak tenang, sedangkan Tuhan Yang Maha
Esa
hadir di dalam shanti. Pada saat pikiran sang sadhaka sudah tidak eksis lagi karena
berada di
bawah karunia total Yang Maha Esa, maka Sang Atman langsung melebur kembali ke Sang
Brahman. Pada saat itu Sang Atman sudah bersih dari kontaminasi pikiran dan berubah
murni
identik dengan asalnya, yaitu Sang Brahman. Di tahap ini terjadilah tarikan magnet
yang
dahsyat dan sang buana alit langsung melebur ke buana agung. Itulah hukum dan
rahasia
alam-semesta dan ciptaanNya yang berbentuk manusia.

Sloka - 47 “Karunia tertinggi ini didasarkan atas penemuan Sang Jati Diri. Ia
merupakan
bentuk kedamaian yang identik dengan pembebasan, tidak dapat diterangkan dan tidak
pernah dilahirkan. Ia (beliau) ini kemudian diterangkan sebagai Sang Brahman Yang
Maha Hadir, karena Ia satu (manunggal) dengan Sang Jati Diri yang tidak dilahirkan,
yang merupakan tujuan dari pencari Ilmu Pengetahuan Yang Hakiki.”

Keterangan: Sewaktu yang dituju selalu ini tercapai, maka terciptalah sejenis
kedamaian
yang sulit dijabarkan ke individu yang belum pernah mengalami fenomena ini.

Sloka - 48 “Tidak ada Jiwa . . .Makhluk-makhluk khusus yang berego-sentris . . .


yang
pernah dilahirkan. Tidak ada suatu sebab (alasan) yang dapat menciptakan berbagai
jiwa
ini sebagai hasil akibatnya. Inilah Kebenaran yang tertinggi yaitu tidak ada
sesuatu
apapun yang pernah dilahirkan.”

Keterangan: Ajaran di atas adalah teori Ajatavada yang diajarkan oleh Resi Vasishta
(di
Yoga-Vasishta) kepada Sri Rama, muridnya, ribuan tahun yang silam, sebelum hadir
Bhagavat-Gita. Di ajaran ini, Resi Vasishta meramalkan kepada Sri Rama bahwasanya
Beliau
akan beravatara ribuan tahun kemudian sebagai Sri Krishna dan mencetuskan ajaran
Bhagavat-Gita untuk zaman Kali-Yuga.
Pada sloka terakhir bab ini, Sri Gaudapadiya menyimpulkan inti-sari dari berbagai
ajaran-
ajarannya bahwasanya Yang Maha Esa itu tidak pernah dilahirkan, jadi tidak juga
pernah
melahirkan apapun juga. Semua yang kita rasa, alami dan saksikan, halunisasi
belaka.
Mencari-cari asal-usul Tuhan dan penciptaan ini sama seperti mencari jejak-jejak
burung
yang terbang di angkasa. Kaum Buddhist menyebut fenomena ini sebagai, “Soonya
Vadins.”
BAB IV

ALATHA SANTI

( MEMADAMKAN BARA API )

Para ahli dan peneliti agama Hindhu menyatakan bahwa bab ini sangatlah penting
karena
dianggap sebagai suatu karya tersendiri. Ada yang menyatakan bahwa seluruh
Gaudapada
Karika sebenarnya bukan hasil seorang pengarang, namun mungkin saja hasil banyak
orang,
yang kemudian diakumulasikan menjadi satu buku (dari aslinya berjumlah 4 buku). Ada
juga
yang menyatakan, karena buku ini dibuka dengan sebuah doa puja, maka bab empat ini
sebenarnya adalah karya yang khusus tersendiri. Ada lagi yang berkomentar
bahwasanya bab
IV ini penuh dengan pengulangan yang sudah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, yang
memang benar demikian adanya.

Sri Gaudapada (Gaudapadiya) di bab ini berusaha menerangkan :

1) Ketidak mampuan secara piawai dari aspek kasualitas melalui unsur dialektika;

2) Menerangkan berbagai bentuk ilusi dari dunia pluralistik dengan memperbanding-


kannya dengan pola-pola palsu yang diciptakan oleh Alatha (bara-api);

3) Menekankan pemakaian istilah-istilah Buddhist bahwasanya Yang Maha Kebenaran


bersifat Non-dual (Eka, Esa) Tidak bermula dan senantiasa Abadi.

Oleh sebab itu di atas, banyak ahli juga menyatakan bahwa Sri Gaudapadiya
mengajarkan
filosofi Sang Buddha di buku ini, namun banyak sekali ahli lainnya yang membantah,
karena
Ashtavakra-Gita yang tahun sebelum karya ini telah hadir di zamannya Raja Janaka,
dan itu
sudah ribuan tahun sebelum karya ini, atau lahirnya Sri Gaudapada itu sendiri.
Kemudian
ada yang berkata bahwa karya ini menyiratkan ajaran Vedanta di dalam Buddhisme,
namun
banyak juga yang berpendapat bahwa karya ini adalah sebuah bentuk Upanishad yang
teramat unik dan sarat akan berbagai pengetahuan yang teramat spesifik dan sulit
dimengerti
oleh kaum awam, apalagi untuk dicernakan begitu saja. Yang terakhir ini ternyata
mengandung kebenaran dan kebenaran ternyata sulit untuk dijabarkan, dari masa ke
masa,
dari tempat ke tempat, apalagi dari satu persepsi ke persepsi yang lain, apalagi
kalau
ditunjang dari segi adat budaya dan tradisi yang sudah mengakar, yang salah bisa
benar dan
begitu juga sebaliknya.

Di bawah ini dihadirkan sebuah sloka yang menjelaskan hierarki dari para Acharyas,
dari Sri
Shankara Acharya dan para sishya-sishyanya. Menurut para ahli hierarki ini bermula
dari
dewa Vishnu, dan dari Beliau ini ajaran-ajaran yang diturunkan ke manusia mencapai
kita
secara berantai (estafet), dari satu ke yang lainnya dengan urut-urutan seperti
berikut ini: Sri
Nayarana (Vishnu), Vasishta, Sakti, putranya Parasara, Vyasa, Suka, Gaudapada,
Govindapada, Sri Shankara Acharya, Padmapada, Hashamalaka, dan Throtakacharya.

Ternyata guru dari Sri Shankara Acharya, yaitu Sri Govindapada adalah murid
langsung dari
Sri Gaudapada. Demikianlah ajaran ini diturunkan ke kita semua dari kurun waktu
yang
teramat silam ke masa kini dan seterusnya.
Sloka - 1 “Aku bersujud kepada yang terbaik diantara manusia, yang melalui jalan
ilmu pengetahuan, yang mirip dengan antariksa, dan tidak berbeda-beda dari obyek
ilmu-
pengetahuan, telah menyadari akan sifat dari berbagai Jati-Diri individual, yang
juga
mirip dengan antariksa itu sendiri.”

Keterangan: Dengan doa-puja ini Sri Gaudapada memulai bab ke empat ini. Doa ini
dihaturkan kepada gurunya sebagai tanda terima kasih dan sebagai wujud
penghormatan,
karena tanpa seorang guru pembimbing yang non-pamrih tidak mungkin Gaudapada
mencapai status yang mulia ini. Konon ada juga yang berpendapat bahwa doa ini
ditujukan
kepada Sang Buddha Gautama; dan ada juga yang mengatakan bahwa doa ini ditujukan
kepada Sang Hyang Vishnu (Narayana), karena sudah menjadi pengetahuan umum
bahwasanya Sri Gaudapada ini adalah pemuja konstan dari Sri Vishnu di sebuah kuil
di
daerah Badrinath. Disanalah konon beliau mendapatkan dharsana Hyang Nayarana, Ishta
Dewatanya. Karya Karika ini dianggap para ahli Hindhu Dharma sebagai ekspresi Sri
Gaudapada, yang didapatkan dari berbagai pengalaman spriritualnya secara pribadi.

Sloka - 2 “Aku bersujud ke yoga yang disebut Asparsa ini, yang diajarkan melalui
berbagai skripsi, yoga yang mempromosikan (menghantarkan) kebahagiaan kepada
semuanya, yang langsung terbebaskan dari berbagai penderitaan dan pertentangan.”

Keterangan: Setelah menghaturkan sembah ke Yang Maha Esa, Sri Gaudapada kemudian
menghaturkan sembah ke jalan yoga (ilmu-pengetahuan) yang dihayatinya selama ini.
Di
dalam Sanathana Dharma, Tujuan dan Jalan yang meniti ke Tujuan dianggap sama-sama
penting dan sakral, jadi layak untuk dijadikan pujaan. Jalan ilmu pengetahuan
adalah jalannya
para Aryan yang sadar sekali akan hakikat Tujuan dan jalan ke Sang Tujuan ini.
Mengenai
Asparsa-yoga, telah diterangkan di bab sebelumnya, jalan ini ternyata dianjurkan
oleh Sri
Gaudapada kepada para nya, melalui karya ini.

Sloka - 3 “Banyak para peneliti yang berbantah-bantahan dantara mereka sendiri,


ada
yang menyatakan behwasanya sesuatu zat yang memang sudah hadir dari dahulunya ini
sedang mengalami perubahan-perubahan evolusi; dan ada juga yang menyatakan
(seakan-akan mereka ini sangat bijaksana) bahwasanya sebuah evolusi sedang
berlangsung keluar Zat tersebut.”

Keterangan: Pandangan yang pertama adalah pandangan kaum Sankhyanas yang pada masa
tersebut menyatakan, setiap benda yang eksis di alam-semesta ini diproduksi oleh
suatu
sebab, sedangkan pandangan kedua menyatakan teori kaum Nyaya-Vaisheshikas, yang
percaya bahwa setiap benda/perihal dan fenomena di alam semesta ini diproduksi atau
tercipta dari sebab-sebab non-eksisten.

Sloka - 4 “Yang sudah eksis tidak bisa dilahirkan kembali, juga tidak mungkin
bagi
yang tidak eksis untuk eksis kembali. Demikianlah, berbantah-bantahan diantara
mereka
sendiri, tanpa disadari mereka menegaskan teori Adwaita dan mendukung teori non-
penciptaan Yang Maha Hakiki.”
Sloka - 5 Kami menyetujui teori non-penciptaan yang berasal dari kaum Ajathi yang
dideklarasikan oleh kaum dualis. Kami tidak berbantah-bantahan dengan mereka.
Sekarang dengarkanlah dari kami apakah itu Realitas Yang Maha Utama yang lepas dari
berbagai kontradiksi dan pertengkaran.”

Sloka - 6 “Kaum dualis yang selalu bertengkar diantara mereka ini selalu
bersikeras
bahwasanya yang tak dilahirkan . . . yaitu Zat yang tak berubah-ubah . . . Sang
Atman,
yang mengalami perubahan. Bagaimana mungkin suatu Zat yang tidak berubah-ubah dan
abadi sifatnya berubah sifat menjadi tidak abadi?”

Sloka - 7 “Yang tidak abadi tidak bisa berubah menjadi abadi, demikian juga
sebaliknya, karena tidak mungkin sesuatu berganti-ganti sifat.”

Sloka - 8 “Bagaimana mungkin bisa ia percaya behwasanya Zat abadi secara alami
ini
dapat berubah menjadi tidak abadi, (kemudian) bersikeras bahwasanya yang abadi ini
setelah menjalani kelahiran mempertahankan sifatnya yang tidak berubah-ubah?”

Sloka - 9 “Kami mengerti akan istilah Prakriti atau sifat-sifat duniawi yang
dominan
dari berbagai benda, yaitu sewaktu berhasil dicapai, menjadi pelengkap total dari
berbagai
harta-benda ini; yaitu kualitas yang tidak berbentuk artifisial (imitasi atau
palsu). Dan
tidak ada sesuatu apapun yang mampu menonjolkan sifatnya (yang asli).”

Sloka - 10 “Semua zat yang bersifat egosentris, sesuai dengan sifat-sifat (aslinya)
lepas
dari berbagai kekotoran dan kematian. Para jiwa yang berimajinasi, berpikir bahwa
mereka ini dapat berubah-ubah bentuknya, dan dengan demikian, melalui pikiran
mereka,
mereka terkesan tersesat dari sifat mereka (yang sejati).”

Keterangan: Sang Atman adalah percikan Sang Brahman itu sendiri, jadi tidak mungkin
dikotori oleh apapun juga, dan tidak mungkin dapat mati. Namun sewaktu terbungkus
di
dalam sesuatu bentuk jiwa, maka Sang Atman yang terbungkus oleh ilusi duniawi ini
terkesan terbius dan sering tersesat dari sifatnya yang sejati dan sering
berhalunisasi seakan-
akan ia mengalami perubahan-perubahan terus-menerus sepanjang hidupnya.

Sloka - 11 “Mereka-mereka yang saling berbantahan ini, yang beranggapan bahwa


akibat
adalah sebab, berkata sebab itu lahir dari akibat. Bagaimana mungkin sebab itu
berubah-
ubah seandainya sebab lahir sebagai akibat? Bagaimana mungkin sebab bersifat abadi
kalau sebab itu terkurung oleh berbagai modifikasi sang waktu?”

Sloka - 12 “Seandainya seperti yang dikau katakan, sebab itu identik dengan akibat,
maka
sifat-sifat akibat pastilah abadi dan tak terlahirkan. Lebih lanjut lagi, bagaimana
mungkin
sebab bersifat langgeng atau abadi seandainya ia tidak berbeda (identik dengan)
dari
akibat yang bersifat dilahirkan?”
Sloka - 13 “Tidak ada sebuah ilustrasi apapun di dalam kehidupan ini yang mampu
mendukung kepercayaan bahwasanya akibat itu lahir dari sebab-sebab yang tidak
dilahirkan. Sekali lagi, seandainya dikatakan bahwasanya akibat diproduksi oleh
sebab
yang sebenarnya bersifat dilahirkan (diciptakan), maka hal tersebut sama saja
dengan
melakukan kebohongan secara logika (Anavashta Dosh).”

Sloka - 14 “Bagaimana mungkin mereka-mereka yang bersikeras bahwasanya akibat


adalah sebab dari sesuatu sebab, dan sebab adalah sesuatu sebab dari akibat yang
mempertahankan sifat tanpa mula (kelahiran)nya baik bagi sebab maupun akibat.”

Sloka - 15 Mereka-mereka yang bersikukuh bahwasanya akibat adalah sebab yang


berasal dari sebab dan sebab adalah sebab dari akibat; yang menerangkan,
sebenarnya,
(seakan-akan) adanya sebuah evolusi (terbalik), yaitu ibarat kelahiran seorang ayah
dari
putranya sendiri.”

Sloka - 16 Seandainya sebab dan akibat dipertahankan secara semestinya, maka urutan
sebab dan akibat ini harus ditetapkan. Kalau seandainya dikatakan bahwasanya mereka
berdua timbul pada saat-saat yang bersamaan, maka mereka ibaratnya adalah dua buah
tanduk dari seekor fauna, yang tidak ada hubungannya dengan yang lainnya (walaupun
ada di satu kepala).”

Keterangan: Sepasang tanduk memang tidak berhubungan satu dengan yang lain, namun
kalau dipergunakan secara bersamaan dapat berakibat fatal. Pernyataan dari Sri
Gaudapadiya
ini ditujukan sebagai sindiran kepada kaum Mimasaka yang senantiasa bersikeras
dalam
mempertahankan teori mereka. Sindiran ini sifatnya humoris.

Sloka - 17 “Sebab itu tidak bisa diwujudkan seandainya diproduksi dari akibat,
(lalu)
bagaimana mungkin sebab yang dikau akibatkan (timbulkan) yang bersifat tidak
berwujud
dapat melahirkan sesuatu akibat?”

Sloka - 18 “Seandainya sebab dilahirkan dari akibat dan juga seandainya akibat
dilahirkan dari sebab, maka yang manakah yang dilahirkan dahulu, dan yang manakah
yang bersandar kepada lainnya?”

Sloka - 19 “Ketidak-mampuan untuk menjawab“, “kebodohan akan sesuatu hal”, dan


“Ketidak-mungkinan” untuk mengukuhkan sesuatu yang berhubungan dengan sebab dan
akibat, secara jelas mempertegas pendirian kaum bijak untuk tetap bertahan pada
teori
non-penciptaan Yang Maha Hakiki (Ajati).”

Keterangan: Pernyataan di atas ini adalah ajaran inti dari Sri Gaudapadiya dalam
karya ini,
khusus bagi yang suka memperdebatkan hakikat Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan
Ajati (yaitu Hakikat Yang Tak Terciptakan).
Sloka - 20 Ada sebuah teori yang harus dibuktikan, yaitu hubungan antara sebuah
benih
(biji) tanaman dan kecambah hasil dari benih tersebut. Ilustrasi-ilustrasi yang
masih
memerlukan pembuktian ini tidak bisa dipergunakan untuk menegaskan sebuah usul yang
masih harus dibuktikan.”

Keterangan: Rupanya para penentang teori Sri Gaudapadiya mengajukan teori benih
kecambah (sebab dan akibat) namun oleh Sri Gaudapadiya dijawab dengan sloka di atas
ini.
Menurut beliau, “sebab dan akibat” hanyalah merupakan kondisi sebuah unsur (sang
benih)
yang sama dengan sang kecambah, yang hadir pada dua tahap waktu yang berlainan.
Perihal
“benih” yang sama adalah “sebab dan akibat” dan juga “akibat yang menjadi sebab
lagi”,
yang berhubungan dengan waktu dan kondisi yang berbeda (mendatang). Jadi kita
sebenarnya tidak tahu yang mana yang berasal dari yang mana pada awalnya, sang biji
atau
sang kecambah, seperti teori telur: ajam dulu atau telur dulu? Dilihat dari sudut
kondisi dan
waktu, maka yang satu bisa berubah menjadi yang lainnya dan begitu pula sebaliknya.
Jadi
Sri Gaudapadiya tidak mau menerima teori di atas sebelum teori ini dipastikan dulu.

Sloka - 21 Ketidak-mampuan untuk menunjukkan hubungan atau sebaliknya dari sebeb


dan akibat ini jelas membuktikan tidak hadirnya evolusi atau penciptaan. Seandainya
…….. akibat zat ego-sentris ini (sang jiwa) memang betul dilahirkan dari suatu
sebab, lalu
mengapa dikau tidak mampu menjabarkan secara pasti hubungannya dengan sebab?”

Sloka - 22 “Tidak ada sesuatu apapun yang pernah dilahirkan, apakah itu dari
dirinya
sendiri, atau dari yang lainnya, atau dari kedua-duanya ini. Tidak ada sesuatu
apapun
baik yang berbentuk makhluk hidup maupun yang tidak berbentuk makhluk hidup
ataupun kedua-duanya yang pernah dilahirkan.”

Sloka - 23 “Sebab itu tidak bisa diproduksi dari sebuah akibat yang bersifat tanpa
mula,
juga tidak bisa akibat terlahir dari akibat itu sendiri. Sesuatu yang tanpa mula
itu
seharusnya bebas dari kelahiran.”

Sloka - 24 “Ilmu pengetahuan berciri subyektif harus mempunyai sebab yang berciri
obyektif; kalau tidak, kedua-duanya haruslah tidak eksis. Oleh karena alasan ini,
juga
didasarkan pada teori pengalaman penderitaan eksternal para Dwaitin, haruslah
diterima.”

Keterangan: Teori pengalaman penderitaan eksternal para kaum Dwaitin menyatakan


bahwa
penderitaan itu sifatnya realistik, karena berasal dari dunia yang penuh dengan
penderitaan
ini. Dunia ini bersifat realistik kata mereka, maka begitu juga isinya. Argumen ini
oleh Sri
Gaudapada dibalas dengan teori Buddhistik yang dicetuskan oleh kaum Vijnana Vadin.
Teori
Buddhistik ini hadir di sloka-sloka berikutnya (sloka 25, 26 dan 27).
Sloka - 25 Sejauh ini sesuai dengan alasan-alasan yang ada; maka fakta akan
berbagai
prularitas ini harus diterima (teori Yukti Dharsana). Namun dari susut pandang
teori
penganut Yang Maha Absolut (teori Bhuta Dharsana), dunia pruralistik dengan seluruh
variasi-variasinya dan berbagai hubungannya ini bersifat ilusif.”

Sloka - 26 “Sang pikiran tidak melakukan kontak dengan berbagai obyek-obyek dunia
ekstenal, tidak juga berbagai ide-ide yang tampil sebagai obyek eksternal
berrefleksi ke
sang pikiran. Kami tegaskan demikian, karena berbagai obyek bersifat non-eksis, dan
berbagai ide, yang terkesan sebagai berbagai obyek dari dunia luar, tidak bersifat
berjauhan dari sang pikiran.”

Sloka - 27 “Sang pikiran tidak memasuki hubungan kausal di dalam tiga periode
waktu.
Bagaimana mungkin sang pikiran dapat dipengaruhi oleh delusi, karena tidak ada
alasan
untuk terjadinya tipuan mental semacam itu.”

Keterangan: Sri Gaudapadiya sedang mencoba menerangkan, bahwasanya sang pikiran itu
tidak bisa memasuki hubungan dengan apapun juga di tiga periode sang waktu, jadi
beliau ini
membantah adanya dunia yang realistik di manapun juga, tetapi iapun ingin
membuktikan
bahwa sang pikiran tidak akan terpengaruh oleh berbagai impresi walaupun ada dunia
yang
eksis ini. Ketiga periode sang waktu adalah: Periode permulaan (awal) dunia, waktu
di tengah
dan akhir zaman.

Sloka - 28 “Yang pernah dilahirkan …….. bukan berbentuk sang pikiran, juga bukan
berbagai obyek yang dipersepsi oleh sang pikiran. Mereka-mereka yang bersikeras
akan
aspek-aspek kelahiran ini sebaiknya mencoba menemukan jejak-jejak burung di
angkasa.”

Keterangan: Sri Gaudapada rupanya sudah tidak sabar lagi menghadapi kaum muda di
hadapannya yang lebih condong teori dualis. Untuk membuat mereka faham ia harus
mengulang-ulang secara tegas agar para pemuda ini dapat terpancing untuk berdiskusi
dengannya penuh dengan pemahaman, dan tidak secara emosional maupun dengan menebak-
nebak.

Sloka - 29 “Di dalam jalan pikiran para hadirin yang sedang berbeda faham ini, maka
Itu
(Yang Maha Esa) yang tak pernah dilahirkan ini dinyatakan telah lahir. Beliau akan
senantiasa bersifat tak dilahirkan. Adalah tidak mungkin bagi sesuatu untuk berubah
bentuk ke lainnya (sesuai dengan sifat-sifat aslinya yang dominan).”

Keterangan: Api itu sifatnya panas, jadi tidak ada itu yang disebut api dingin,
atau es yang
panas sekali. Demikian juga akan Yang Maha Pencipta, Beliau ini tidak pernah
dilahirkan
dan tidak akan pernah dilahirkan, karena memang sudah demikian hukum alam atau
kodratNya Yang Maha Agung ini, jadi sia-sia saja mendiskusikanNya, kata Sri
Gaudapadiya.
Sloka - 30 “Seandainya dunia ini diakui sebagai tak bermula …… seperti ditegaskan
oleh
para pembahas ini ….. maka dunia ini tidak dapat bersifat non-abadi. Moksha atau
pembebasan itu tidak mungkin memiliki permulaan dan akan selalu bersifat abadi.”

Sloka - 31 Sesuatu yang bersifat non-eksis pada awalnya dan pada akhirnya,
seharusnya
juga bersifat non-eksis di tengah-tengah kedua periode sang waktu tersebut.
Berbagai
obyek yang kita saksikan adalah ilusi belaka, namun dianggap sebagai benar
(realistik).”

Sloka - 32 “Argumentasi yang menyatakan bahwa berbagai obyek-obyek yang berada di


alam-sadar, yang dianggap bermanfaat, hadir secara terbalik (sebaliknya) di alam-
mimpi.
Oleh karena itu, semua ini secara pasti diterima sebagai ilusi bagi para peneliti,
karena
dianggap mempunyai permulaan dan akhir.”

Keterangan: Banyak ahli di India percaya bahwa dunia mimpi itu bersifat realistik.
Selama
seseorang mampu bermimpi, maka mimpi mereka itu pastilah dianggap benar. Perhatikan
dan simaklah dengan naik argumentasi selanjutnya.

Sloka - 33 “Semua obyek yang dikenal (dialami) di dalam berbagai mimpi bersifat
tidak
realistis karena semua ini disaksikan di dalam raga itu sendiri. Bagaimana mungkin
menjabarkan berbagai benda yang telah dijabarkan sebagai eksis, berada benar-benar
di
dalam (raga) ?”

Sloka - 34 “Tidak mungkin bagi si pemimpi untuk pergi mendapatkan berbagai


pengalaman obyek-obyek mimpinya karena terbatasnya waktu untuk melakukan
perjalanan tersebut. Dan begitu ia sadar, ternyata ia tidak berada di tempat
seharusnya ia
berada di dalam mimpinya itu.”

Sloka - 35 “Si pemimpi, sewaktu ia terbangun dari mimpinya menyadari akan


pembicaraan ilusif yang terjadi dengan seseorang atau dengan beberapa orang selama
ia
bermimpi. Lebih dari itu, ia tidak mendapatkan sesuatu apapun juga yang berasal
dari
mimpinya itu.”

Sloka - 36 “Raga atau badan yang aktif berpartisipasi di kehidupan (alam) mimpi,
seyogyanya dianggap tidak realistis (nyata) karena raga lainnya dari orang yang
bermimpi
ini dianggap tidur di atas ranjang, sedangkan raga satunya beraktifitas di dalam
mimpinya. Sama halnya dengan raga (manusia ini, maka apa saja yang dikenali
(dialami)
di dalam mimpi seharusnya tidak bersifat realistis (nyata, benar).”
Sloka - 37 “Karena berbagai pengalaman dan obyek-obyeknya yang terdapat di alam
mimpi ini mirip dengan berbagai pengalaman dan obyek-obyeknya di alam sadar, maka
diperkirakan bahwasanya berbagai pengalaman di alam-sadar adalah penyebab berbagai
mimpi. Didasari oleh pemikiran (alasan) ini maka berbagai pengalaman alam-sadar,
yang
dianggap sebagai penyebab mimpi, nampak hadir seakan-akan nyata bagi orang yang
bermimpi itu saja.”

Sloka - 38 “Karena penciptaan atau evolusi ini tidak dapat ditegaskan secara de
facto
maka semua (fenomena) ini dikatakan sebagai tidak pernah dilahirkan. Adalah tidak
mungkin selamanya sesuatu yang bersifat tidak nyata dilahirkan dari sesuatu yang
nyata.”

Sloka - 39 “Begitu terkesannya (terpesonanya) seseorang dengan berbagai obyek yang


dilihatnya di alam-sadar ini, sehingga seseorang “melihatnya” juga di dalam mimpi-
mimpinya ini, tidak ditemui lagi di alam-sadar (nya).”

Keterangan: Ada sesuatu yang tidak pernah didiskusikan dalam karya Upanishad ini,
yaitu
bagaimana menjabarkan sesuatu yang kita sakssikan di dalam mimpi, yang kemudian
terulang lagi baik di dalam mimpi-mimpi berikutnya beberapa waktu kemudian, juga
bisa
terjadi persis dikehidupan alam sadar. Kemudian ada mimpi yang dapat menjadi
petunjuk
atau peringatan dini bagi seseorang, dan ini beragam sekali sifatnya. Terkesan
semua orang
yang berdebat ini termasuk Sri Gaudapada tidak mengacuhkan fenomena ini, padahal
Smritis
yaitu berbagai legenda Hindhu yang dianggap suci penuh dengan berbagai kisah-kisah
mimpi
yang menjadi petunjuk handal bagi yang mengalaminya. [mohan.m.s ]

Sloka - 40 “Yang tidak nyata tidak dapat meyatakan yang tidak nyata sebagai sebab,
tidak juga Yang Nyata dihasilkan dari yang tidak nyata. Yang Nyata tidak mungkin
adalah
sebab dari Yang Nyata. (Lalu) bagaimana mungkin Yang Nyata dapat menjadi penyebab
dari yang tidak yata?”

Sloka - 41 “Seperti seseorang yang berada di alam-sadar berbpikir bahwa alam ini
bersifat nyata (melalui ilmu-pengetahuan yang salah) berbagai obyek yang sifatnya
tidak
dapat dijabarkan, demikian juga secara sama, di alam-mimpipun melalui ilmu-
pengetahuan yang salah, seseorang mendapatkan bebagai obyek yang kehadirannya
dimungkinkan hanya karena kondisi tersebut.”

Sloka - 42 “Seseorang yang bijaksana mendukung teori kasualitas ini. Hanya demi
mereka yang khawatir akan Yang Maha Esa (Hakiki), yang Tak Diciptakan, mereka ini
bersiteguh kepada teori realitas yang menikmati berbagai obyek (duniawi) dan
berdasarkan cara berpikir dan iman mereka yang gemar melaksanakan berbagai
upacara.”

Keterangan: Kepada para sadhaka pemula, para resi mengajarkan akan Hakikat Yang
Maha
Esa dalam bentuk Kasualitas, agar mereka-mereka yang masih awam ini dan terikat
pada
berbagai praktek upacara tidak bingung dan bimbang. Lambat laun para sadhaka
dibimbing
ke arah teori Akomisme (Ajata vada) ini. Kalau langsung diajarkan akan hakikat yang
Maha
Esa Yang Tak Berwujud, Yang Tak Terlahirkan, maka para sadhaka akan bingung dan
kehilangan kepercayaan mereka akan pujaan yang mereka kenal secara tradisionil.
Melalui
tahap-tahap ritual, bakti dan upasana, baru kemudian dibimbing ke arah filosofi
yang terkesan
berat ini, yang tentu saja bukan merupakan “santapan rohani” kaum awam. Itulah
sebabnya
seluruh karya ini dikhususkan bagi mereka-mereka yang telah melewati berbagai
bakti, ritual
dan upasana dalam bakti mereka ke Yang Maha Esa.

Pada mulanya memang karya ini terasa kacau dan membingungkan sekali, namun setelah
mempelajari berbagai Upanishad, Bhagavat-Gita, karya-karya shahtra-widhi lainnya
dan
kembali mendalami ajaran ini, maka akan terbukalah wawasan intelektual (budhi)
seorang
sadhaka yang sedang berorientasi ke penelitian mengenai Hakikat Tuhan Yang Maha
Esa.
Jadi karya ini sebaiknya difahami sebagai sebuah studi banding untuk bakat-bakat
khusus
saja.

Sloka - 43 “Mereka-mereka yang khawatir akan Sang kebenaran sebagai hakikat Non-
manifestasi dan juga berdasarkan persepsi mereka akan dunia obyek-obyek dan
berbagai
fenomena ini, mereka tidak terpengaruh oleh pengaruh iblis karena mereka percaya
akan
teori kausalitas. Kalaupun ada pengaruh ini, maka pengaruh tersebut tidak begitu
terlalu
nyata.”

Keterangan: Pada mulanya teori kasualitas mengajar kita semua dengan berbagai
praktek,
cara berbakti, ritual, pemahaman akan simbol AUM dan sebagainya. Lama-kelamaan kita
bertanya-tanya apakah benar semua ini benar-benar jalan ke Yang Maha Esa, dan
seperti
apakah Hakikat Beliau ini (Yang Maha Agung). Bagi para sadhaka, dalam tahap inilah
baru
ajaran Upanishad dari Sri Gaudapadiya ini bisa bermakna. Sering orang-orang
bertanya,
salahkah kita, kalau orang menyembah ke berbagai dewa-dewi, ataukah semua ini
disesatkan
oleh iblis? Tidak!, jawab Sri Gaudapadiya, karena memang demikian prosesnya, dari
kurang
pengetahuan, menjadi faham secara benar, persisi sama seperti sekolah saja.

Sloka - 44 “Ibarat seekor gajah yang dihadirkan oleh imajinasi (seorang tukang
sulap),
dikatakan eksis (di depan mata para penonton), oleh karena (a) …. Hal tersebut
dirasakan, (b) karena gerak-gerik sang gajah yang meyakinkan akan kehadirannya.
Demikian juga dengan berbagai obyek duniawi ini yang (a) …. Hadir karena dirasakan
dan (b) karena memenuhi hasrat-hasrat manusia itu sendiri akan kebutuhannya untuk
berbagai obyek duniawi tersebut.”

Sloka - 45 “Kesadaran murni yang terkesan dilahirkan, atau yang bergerak atau yang
mengambil bentuk sesuatu benda, sebenarnya tidak pernah dilahirkan, tidak bergerak
dan lepas dari materi; beliau itu sifatNya Kedamaian Total dan Tunggal.”

Sloka - 46 “Demikianlah sang pikiran ini (sebenarnya) tidak terikat oleh kelahiran
atau
perubahan. Semua makhluk sebenarnya bebas dari kelahiran. Mereka-mereka yang telah
menyadari (memahami) hakikat kebenaran ini tidak akan terpengaruh oleh ilmu-
pengetahuan yang palsu ….yaitu berbagai penalaran yang salah akan Yang Maha
Hakiki.”
Sloka - 47 “Ibarat alur bara-api sewaktu sedang bergerak terlihat lurus, berkelok-
kelok,
bergulung-gulung dan sebagainya, demikian juga dengan kesadaran sewaktu bergetar
akan terkesan seakan-akan ia adalah “yang menyadari” atau “yang disadarkan” dan
lain
sebagainya.”

Keterangan: Alur api (Alata) ini disebut-sebut di ajaran Maitrayam Upanishad


sewaktu
menggambarkan Sang Hyang Brahman yang oleh masing-masing individu dipandang dan
dihayati secara berbeda satu dari yang lainnya, sesuai dengan tahap kesadaran
masing-masing
individu itu sendiri; walaupun “Itu intinya adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan itu
adalah api.”

Sloka - 48 “Sewaktu tidak bergerak maka alur bara api akan lepas dari berbagai
bentuk
dan terkesan diam. Demikian juga dengan kesadaran, sewaktu tidak tergetar dengan
berbagai imajinasinya akan lepas dari berbagai bentuk dan bersifat (terlihat) diam
tanpa
berganti-ganti bentuk.”

Sloka - 49 “Sewaktu alur api sedang berada dalam bentuk gerakan, maka berbagai
bentuk alur apipun ttidak akan pergi kemana-mana, tidak juga dapat dikatakan
bahwasanya berbagai bentuk api tersebut telah menyatu ke api ini, sewaktu alur api
berhenti bergerak.”

Sloka - 50 Berbagai bentuk alur api ini tidak berasal dari api tersebut karena
memang
bukan “benda” substantial. Demikian juga dengan kesadaran itu sendiri yang memiliki
kesamaan dengan dua kasus tersebut di atas.”

Sloka - 51 - 52 “Sewaktu kesadaran dihubungkan dengan sefat-sifat, maka apa yang


terlihat dan terkesan, tidak berasal dari manapun juga. Sewaktu kesadaran sedang
aktif,
maka berbagai kesan yang terlihat juga tidak pergi kemanapun juga. Demikian juga
dengan berbagai kesan yang terlihat, tidak juga pernah memasukinya; kesan-kesan
yang
nampak terlihat ini tidak pernah muncul dari Kesadaran tersebut karena tidak
bersifat
nyata; Semua fenomena ini berada di luar (jalan pikiran) dan kata-kata, karena
memang
tidak berhubungan dengan ikatan sebab-akibat.”

Sloka - 53 “Sesuatu benda fisik dapat saja merupakan produk dari benda yang lain;
demikian juga sesuatu yang bersifat bukan benda bisa memproduksi sesuatu benda lain
yang bukan juga bersifat benda. Demikianlah, pusat-pusat ego dikatakan tidak bisa
bersifat benda maupun berbeda dengan benda.”

Keterangan: Ego-sentris seorang individu disebut bukan sebagai benda (Dravya), juga
bukan “bukan benda (Anyabhava)”. Tidak ada sesuatu apapun yang dapat
menciptakannya,
demikian juga ia tidak dapat menciptakan sesuatu.
Sloka - 54 “Demikianlah bentuk eksternal berbagai obyek indriyas, tidak diciptakan
oleh
sang pikiran, juga tidak bisa dikatakan bahwasanya sang pikiran sebaliknya
diciptakan
oleh berbagai indriyas ini. Oleh karena itu semua manusia yang bijak berprinsip
bahwasanya non-penciptaan atau non-evolusi adalah Kebenaran Sejati.”

Sloka - 55 “Selama seseorang percaya kepada prinsip Kebenaran Sejati (hukum


Kasualitas ini), maka selama itu pula ia akan menyadari berfungsinya hukum ini,
namun
sewaktu prinsip ini hilang dari jalan pikiran seseorang sadhaka, maka hukum sebab-
akibatpun akan hilang darinya.”

Sloka - 56 “Selama seseorang percaya akan kasualitas yang berintikan berbagai


kematian
dan kelahiran (tanpa habis-habisnya), maka fenomena itu akan eksis. Namun sewaktu
kepercayaan tersebut hancur oleh ilmu-pengetahuan, maka kelahiran dan kematian
berubah menjadi tidak eksis lagi.”

Sloka - 57 “Konsep tentang kelahiran hanyalah sebuah pengalaman ilusif yang


tercipta
karena didasari oleh sebuah kebodohan (kekurang-pengetahuan), jadi sebenarnya tidak
ada sesuatu apapun yang abadi. (Karena) semua ini berasal dan bersatu dengan
Realitas
Utama, maka dikatakan tidak ada yang pernah dilahirkan dan, tidak ada itu yang
disebuat
kiamat (penghancuran, kematian).”

Keterangan: Secara duniawi kita memang lahir dan mati, tetapi proses tersebut
terulang
terus secara sistematis, dan sifatnya malahan abadi. Dari sudut pandangan Sang
Pencipta
tidak ada lahir dan mati, yang eksis hanya prosesnya saja; dari sudut pandangan dan
pikiran
manusia semua fenomena ini dianggap ada, dan manusia ketakutan sendiri akan pralaya
(kiamat, kematian).

Sloka - 58 “Berbagai elemen (unsur-unsur) yang brhubungan dengan pusat-pusat ego


disebut dilahirkan; namun dari sudut pandangan Realitas Utama, hal tersebut tidak
dimungkinkan. Oleh karena itu dikatakan kelahiran itu sifatnya adalah obyek ilusi.
Dan
yang namanya ilusi itu bersifat tidak eksis.”

Sloka - 59 “Kecambah ilusi tumbuh dari benih ilusi. Kecambah ilusi ini tidak
permanen
maupun non-permanen sifatnya. Demikian juga dengan berbagai jiwa-jiwa (ini).”

Sloka - 60 “Unsur “permanen” ataupun “non-permanen” tidak dapat diaplikasikan


kepada ego-ego yang belum dilahirkan. Sesuatu yang tidak bisa dijabarkan dengan
kata-
kata tidak bisa dibeda-bedakan sebagai benar ataupun salah.”
Sloka - 61 “Ibarat di dalam mimpi sang pikiran terkesan berperi-laku melalui
delusi, dan
memproduksi dualitas akan dirinya sendiri, demikian juga di alam-sadar ini sang
pikiran
ini terkesan melaksanakan berbagai hal melalui Maya dan memproduksi berbagai
penampakan (hal, fenomena yang bersifat) pruralistik.”
Sloka - 62 “Tak ada keragu-raguan bahwasanya sang pikirang yang sebenarnya tidak
non-dual sifatnya, memecah-mecah dirinya menjadi banyak di alam-mimpi. Demikian
juga di alam sadar ini sang pikiran ini bersifat non-dual dan melakukan hal yang
sama.”

Sloka - 63 “Berbagai bentuk kelahiran dari berbagai jenis telur, keringat, dan
lain-
lainnya, selalu terlihat oleh seseorang yang bermimpi sewaktu ia hidup di dalam
mimpinya, ia kesana-kemari, ke 10 arah di dalam mimpinya ini, ---- (sebenarnya)
semua
ini tidak eksis, jauh dari sang pikiran si pemimpi tersebut.”

Sloka - 64 “Berbagai pusat-pusat sang pikiran yang berbeda-beda ini, yang adalah
berbagai obyek sang pikiran itu sendiri tidak memiliki eksistensi mereka masing-
masing
selain dari pikiran itu sendiri. Demikian juga, pikiran sang pemimpi ini diterima
sebagai
obyek persepsi sang pemimpi itu sendiri. Oleh karena itu, pikiran sang pemimpi itu
tidak
terpisah dari sang pemimpi itu sendiri.”

Sloka - 65 - 66 “Berbagai bentuk kelahiran dari pusat-pusat ego yang dilahirkan


dari
berbagai unsur (jenis) telur, keringat, biji-bijian dan lain sebagainya, yang
dirasakan oleh
seseorang di alam sadar, di sepuluh arah, adalah hanya obyek sang pikiran dikala ia
berada di alam sadar. Demikian juga, pikiran seseorang di alam sadar ini diterima
sebagai
berbagai obyek-obyek persepsi dari orang yang berada di alam sadar itu sendiri.
Oleh
karena itu, sang pikiran disebut tidak berpisah dari orang yang merasakan itu
semuanya.”

Sloka - 67 “Kedua-duanya, yaitu sang pikiran dan berbagai pusat-pusat ego, adalah
obyek-obyek persepsi bagi satu dengan yang lainnya; lalu bagaimana dapat dikatakan
mereka ini lepas bebas satu dari yang lainnya? Kedua-duanya tidak memiliki ciri
(tanda)
tertentu yang dapat membedakan mereka, karena yang satu hanya dapat dikenali
melalui
yang satunya lagi.”

Sloka - 68 “Seperti halnya dengan jiwa di alam-mimpi merealisasikan dirinya sebagai


mahluk dan kemudian sirna, demikian juga halnya dengan berbagai ego yang hadir di
dalam alam-sadar kita, muncul kemudian hilang.”

Sloka - 69 “Seperti halnya dengan gabungan berbagai unsur merealisasikan dirinya


dan
kemudian berlalu, demikian juga halnya dengan berbagai jiwa yang terasakan
kehadirannya di alam sadar, datang dan pergi.”

Sloka - 70 “Ibarat semua pusat-pusat ego yang bersifat artifisial (tidak asli)
datang dan
pergi, demikian juga dengan berbagai jiwa yang terasakan di alam-sadar datang dan
pergi.”
Sloka - 71 “Tiada satu makhlukpun yang pernah dilahirkan; tidak juga ada alasan
untuk
penciptaan ini. Kebenaran Sejati adalah behwasanya tidak ada sesuatu apapun
dilahirkan.”

Sloka - 72 “Dunia yang bersifat dualitas ini dicirikan berdasarkan konsep hubungan
antara subyek dan obyek, dan kemudian hal ini diterima oleh yang menerima konsep
ini;
semua ini adalah pekerjaan sang pikiran. Sang pikiran ini sekali lagi (sebenarnya)
tidak
pernah berhubungan dengan salah satu obyek apapun juga (ini). Oleh karena itu, sang
pikiran ditegaskan sebagai abadi dan tak tersentuh.”

Keterangan: Teori Vedantin di atas ini menyatakan bahwa Sang Pikiran adalah Sang
Brahman itu sendiri, jadi bersifat abadi dan tidak dapat disentuh oleh fenomena
maupun
benda apapun juga.

Sloka - 73 “Sesuatu yang eksis berdasarkan kekuatan ilusi, pada hakikatnya tidak
eksis.
Sesuatu yang dikatakan eksis berdasarkan kekuatan pandangan yang didukung oleh
berbagai aliran kepercayaan lainnya, sebenarnya (pada hakikatnya) tidak pernah
eksis.”

Keterangan: Penjelasan di atas dapat dikategorikan mencengangkan atau menakjubkan


untuk sementara ahli. Yang Maha Esa dan Hakikatnya yang oleh berbagai aliran
kepercayaan
di dunia ini (dari masa ke masa) itu disebut sebagai Yang Maha Hakiki, tetapi kalau
ada
yang menentang teori ini, (yang tidak dipaksakan); karena Hakikat itu eksis atau
tidak bukan
karena berbagai golongan menyatakan pro dan kontranya, namun karena KehendakNya
belaka! Yang Maha esa ini, sekali lagi bukan untuk diperdebatkan, namun untuk
dihayati dan
difahami.!

Sloka - 74 “Sang Atman, dikatakan sebagai tidak dilahirkan ditinjau dari sudut
pengalaman dan pandangan sehari-hari. Bahkan dikatakan sebenarnya Sang Atman
memang tidak pernah dilahirkan (eksis). Sang Atman terkesan hadir karena hal
tersebut
adalah kepercayaan dari berbagai aliran kepercayaan.”

Sloka - 75 “Manusia mempunyai persepsi kepercayaan yang “amburadul” sifatnya akan


Realitas ini Yang Tidak Nyata ini. “Tidak ada dualitas. Seseorang yang telah
menyadari
akan ketidak-hadiran dualitas, tidak pernah dilahirkan kembali, karena sudah tidak
ada
alasan lagi untuk dilahirkan.”

Keterangan: Sri Gaudapada di sloka ini seakan-akan menyatakan konklusi terakhirnya


akan
sifat-sifat manusia yang agak “konyol atau amburadul”. Sekali sebagian manusia ini
berpersepsi, mereka langsung menjadi fanatik dengan kepercayaan tersebut, dan
mereka ini
atas nama agama, adat ataupun budaya bisa lebih “tuhan“ dari Yang Maha Esa itu
sendiri.
Keperyaan ini disebutnya amburadul atau konyol (Abhinivesa), dan sebenarnya sangat
menghancurkan sang individu maupun kelompoknya sendiri. Namun beliau juga berkata
bahwasanya seseorang yang egonya telah mati dan mengenal Hakikat Yang Maha Esa
(Realitas Sejati) dan memahamiNya, maka bagi insan ini tidak akan berreinkarnasi,
namun
pada hakikatnya semua fenomena duniawi ini sudah bukan masalah lagi baginya!
Sloka - 76 “Sewaktu sang pikiran tidak mendapatkan suatu alasan utama atau yang
tidak
utama atau yang di tengah-tengah kedua faktor ini, maka sang pikiran ini berubah
bebas
dari kelahiran. Bagaimana mungkin bisa terjadi akibat kalau sebabnya tidak hadir?”

Sloka - 77 “Tahap ilmu-pengetahuan, atau non-evolusi dari sang pikiran yang tidak
pernah dilahirkan dan tanpa hubungan apapun juga, bersifat absolut dan konstan.
Semua hal lainnya, oleh karena itu secara sama rata tidak dilahirkan, karena
kemajemukan sebenarnya adalah proyeksi obyektif dari sang pikiran itu sendiri.”

Sloka - 78 “Setelah menyadari (memahami) ketidak-hadiran unsur kasualitas sebagai


Sang Jati Diri (Atman), yaitu Kebenaran Yang Tidak Terbatas …… maka, sewaktu
seseorang tidak menemukan sesuatu alasan atau sebab untuk bermanifestasi lagi ….
maka orang tersebut akan mencapai pembebasan Sang Jati Diri yang lepas dari
kekhawatiran, berbagai nafsu, berbagai hasrat dan ketakutan.”

Sloka - 79 “Oleh karena ikatan seseorang kepada benda-benda yang tidak nyata
(duniawi), maka sang pikiran ini berlari mengejar berbagai obyek indriyas tersebut.
Namun hal tersebut bisa berbalik sewaktu seseorang berubah tidak terikat lagi …..
memahami dirinya ……. sewaktu ia meyakini akan ketidak-nyataan semua obyek ini
secara total."

Sloka - 80 “Jalan pikiran seseorang yang telah hancur dari berbagai ikatannya akan
menarik dirinya dari berbagai godaan ……. Kemudian akan mencapai tahap Kemurnian
yang tidak berubah-ubah. Faktor ini difahami oleh para kaum bijak sebagai sesuatu
yang
tidak bisa dibeda-bedakan (dibanding-bandingkan), tidak memiliki kelahiran, dan
non-
dual.”

Keterangan: Yang disebut faktor di atas adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Sloka - 81 “Sang Jati Diri yang lepas dari kelahiran dan lepas (bebas) dari “tidur”
dan
“mimpi” mengungkapkan diriNya oleh diriNya juga; karena pada hakikatnya, ang Jati
Diri ini, bersifat senantiasa bercahaya gilang-gemilang.”

Sloka - 82 „Karena sang pikiran selalu terikat kepada berbagai obyek individual
(duniawi), maka Kebahagiaan Ilahi (Sukham-avriyate nityam) itu selalu terselubung
sifatnya, dan berbagai penderitaanpun muncul ke permukaan. Oleh sebab itu, Tuhan
Yang Maha Esa (Bercahaya) ini sulit untuk direalisasikan.”
Sloka - 83 “Mereka-mereka yang masih bersifat “kekanak-kanakan” mengungkap
(menjabarkan), Kebenaran ini sebagai: eksistensi, non-eksistensi ………dan, analisa
mereka ini datang dari berbagai ekspresi seperti: yang permanen (abadi), yang tidak
permanen (tidak abadi), yang memiliki sifat abadi dan tidak abadi, (keabadian dan
ketidak-abadian).”

Keterangan: Aliran Vaisheshikas berpendapat bahwa Sang Atman itu jauh adanya dari
raga,
indriyas dan prana. Atman oleh mereka disebut Eksistensi.

Kaum Buddhis dari aliran Kshanika Vijnana Vadine berpendapat bahwasanya sang Atman
itu walaupun terpisah dari raga ini, bersifat identik dengan sang intelek (buddhi).

Menurut aliran Jaina, Sang Atman adalah “Eksistensi dan Bukan Eksistensi” (Asti-
Nasti).
Bagi mereka ini ukuran Sang Atman itu sama besarnya dengan raga yang menyandangNya,
dan sewaktu raga itu eksis, sang Atman pun ikut eksis. Sewaktu raga ini binasa,
Sang
Atmanpun tidak eksis. Yang terakhir adalah kepercayaan dari salah satu aliran
Buddhis yang
disebut kaum Nihilis, menurut mereka tidak ada realitas yang dapat dibanding-
bandingkan
dengan sang Atman. Semua yang lain apakah itu makhluk hidup maupun benda mati
berakhir dengan kehancuran (kematian). Jadi bagi mereka “Penolakan Absolut” (Nasti-
Asti)
adalah “Kebenaran Yang Maha Utama.”

Sloka - 84 “Di sini terpapar empat pendapat alternatif yang berhubungan dengan
sifat
Sang Atman. Karena berhubungan dengan keterikatan seseorang kepada pendapat-
pendapat ini, maka Sang Atmanpun terselubung dari pandangan orang-orang tersebut.
Barangsiapa yang faham bahwasanya Sang Atman ini tidak tersentuh oleh berbagai
teori
ini, sebenarnyalah yang merasakan (melihat dan juga memahami) Sang Atman.”

Sloka - 85 “Seandainya orang tersebut telah mencapai tahap Sang Brahman, sebuah
tahap non-dualitas yang sempurna, yang tidak bermula tidak berakhir, dan tidak
bertengah (masa diantara mula dan akhir) ……..maka apa lagi yang harus dihasratkan?

Sloka - 86 “Kesadaran akan Hakikat Sang Brahman ini adalah dengan sendirinya
merupakan kerendahan hati alami bagi Sang Brahman. Orang-orang yang sadar ini
sifatnya selalu spontan. Mereka-mereka ini dikatakan telah mencapai kendali atas
indriyas mereka secara sempurna ……, dan ini mereka dapatkan secara alami (sebagai
suatu kewajaran spiritual). Barang siapa yang menyadari akan hakikat Sang Brahman
Yang Maha Shanti, maka orang tersebut akan berubah menjadi shanti (tenang dan
damai).”

Sloka - 87 “Vedanta mengakui tahap empirik dari tahap alam-sadar dimana unsur
pruralitas berhubungan dengan berbagai obyek dan ide-ide yang dikenal (selama ini).
Vedanta juga mengakui tahap lembut lainnya dimana pruralitas dialami, dimana
berbagai
ide (faham, pikiran) berhubungan dengan berbagai obyek yang sebenarnya tidak
eksis.”
Keterangan: Sri Gaudapadiya di sloka ini menyitir ajaran dari aliran kaum Buddhis
yang
disebut Yogacharas. Di dalam ajaran ini, alam sadar disebut Laukika, dan alam-mimpi
disebut sebagai Suddha Laukika. Mandukya Upanishad ini telah menerangkan kedua
tahap
ini sebelumnya.

Dalam tahap Laukika dan Suddha Laukika, terdapat hubungan antara yang merasakan dan
yang dirasakan dan satu-satunya perbedaan (kelainan) adalah dalam tahap sadar,
“orang
yang sadar” merasakan berbagai obyek yang terkesan nyata, sebaliknya “orang yang
bermimpi” merasakan berbagai obyek yang sebenarnya adalah ide atau faham yang
berasal
dari pikiran yang terobsesi oleh alam mimpi ini.

Sloka - 88 “Dan ada lagi sebuah tahap lain dari kesadaran yang diterima oleh kaum
yang
bijak, pendapat ini bebas dari hubungan obyek-obyek eksternal dan juga bebas dari
brbagai bentuk jalan pikiran yang hdir secara internal. Tahap ini jauh dari
berbagai
pengalaman empirik. Kaum bijak selalu menjabarkan ketiga-tiganya ini ….., yaitu
sebagai
ilmu-pengetahuan, ilmu-pengetahuan akan berbagai obyek, dan yang harus dipahami
….., yaitu Sang Realitas Utama.”

Sloka - 89 “Ilmu-pengetahuan dan ketiga lapis yang difahami ini, sewaktu dimengerti
secara susunan yang benar, satu sesudah yang lainnya, maka seseorang yang memiliki
naluri yang tinggi secara spontan akan mencapai tahap ilmu-pengetahuan yang hadir
dimana saja dan di dalam apa saja di kehidupan ini.”

Keterangan: Tahap yang dimaksud di atas disebut sebagai tahap Thuriya dari
Kesadaran
Murni, seseorang yang mampu mencapai tahap ini disebut seorang yang suci (Sant,
Santa).
Ia terserap ke dalam Sang Atman dan berubah menjadi Atman itu sendiri, dan mampu
hadir
dan faham akan berbagai fenomena di mana saja dan dalam bentuk apapun juga.

Sloka - 90 “Empat hal yang harus diketahui pada saat permulaan adalah (1) hal-hal
yang harus dihindari; (2) obyek (tujuan) yang harus direalisasikan; (3) hal-hal
yang harus
dicapai dan (4) berbagai jalan pikiran yang dirasakan sebagai tidak efektif;
diantara ke
empat ini, semua unsur-unsur tersebut di atas selain unsur yang harus
direalisasikan,
hadir hanya sebatgai imajinasi belaka.”

Sloka - 91 “Semua unsur sesuai dengan sifat-sifat alaminya bersifat tanpa mula dan
tak
terlihat, ibarat kehampaan (ruang angkasa). Tidak ada varietas sedikitpun di dalam
unsur-unsur ini dilihat dari sudut manapun, maupun pada dimensi waktu apapun.”

Keterangan: Dalam tahap Thuriya, Kebenaran Hakiki ini tidak tersentuh oleh unsur
apapun,
dalam bentuk apapun, maupun oleh sang waktu itu sendiri.
Sloka - 92 “Semua unsur-unsur ego-sentris, sesuai dengan sifat-sifat asli, telah
terang
(dicahayai) dari permulaan, dan mereka ini tak tergoyahkan sifatnya. Barangsiapa
berdasarkan ilmu-pengetahuan ini, sudah merasa cukup dan tidak mencari ilmu-
pengetahuan lain, maka ia seorang diri akan mampu menyadari (Hakikat) Kebenaran
Yang Maha Tinggi.”

Sloka - 93 “Semua unsur-unsur ego-sentris yang dari permulaan dan dikarenakan oleh
sifat alami mereka berciri sama, tidak dilahirkan dan bebas secara sempurna; sifat
utama
mereka adalah kesamaan dan tidak berbeda-beda satu dari yang lainnya. Oleh sebab
itu,
berbagai unsur ini sebenarnya tidak bukan dan tidak lain dari Sang Atman, yang
tidak
dilahirkan, selalu bersemayam secara mantap di dalam “Persamaan dan Kemurnian.”

Keterangan: Sekali lagi kami jelaskan bahwa yang dimaksud dengan ego-sentris itu
sama
artinya dengan jiwa (individual).

Sloka - 94 “Mereka-meraka yang selalu bersandar pada konsep perbedaan, tidak akan
pernah merealisasikan Kemurnian alami yang hadir di dalam Sang Jati Diri. Karena
itu,
mereka-mereka yang terserap di dalam faham pruralitas ini dan mereka-mereka yang
membedakan setiap benda dan individu satu dari yang lainnya, disebut sebagai orang-
orang yang berpikiran sempit (Kripanah).”

Sloka - 95 “Hanya mereka yang dapat disebut teramat bijaksana yang sangat teguh
dengan iman mereka akan Hakikat Sang Jati Diri, Yang Tak Dilahirkan dan Senantiasa
Sama; fenomana ini, tidak bisa difahami oleh manusia awam.”

Sloka - 96 “Kesadaran murni, intisari dari berbagai unsur (jiwa) yang berlainan
dikatakan sebagai Jati Diri yang tak dilahirkan dan tidak berhubungan dengan obyek-
obyek eksternal apapun juga. Ilmu-pengetahuan ini dikatakan tidak bersyarat (tidak
bisa
ditawar-tawar lagi), karena bagaimanapun juga tidak berhubungan dengan obyek-obyek
lain dalam bentuk apapun juga.”

Keterangan: Teori di atas adalah kepercayaan kaum Naiyayaka, akan Sang Atman.

Sloka - 97 “Sedikit saja pemahaman akan hadirnya unsur-unsur pruralitas dalam Sang
Atman oleh seseorang yang kurang pengetahuannya, akan menghalangi mereka dalam
mendekati Beliau Yang Hakiki ini, di manakah kemudian akan ada kehancuran tirai
penutup Hakikat Asli Sang Atman ini?”

Sloka - 98 “Semua jiwa (sebenarnya) bebas dari ikatan dan murni sifatnya. Mereka
ini
senantiasa bercahaya dan merdeka semenjak masa permulaan. Namun, tetap saja para
kaum bijak menyebut para individu ini sebagai “mereka-mereka yang berkemampuan
untuk memahami” …………Sang Jati Diri.”
Sloka - 99 “Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang telah sadar, yang
teramat bijak, tidak akan tersentuh oleh berbagai obyek (duniawi). Semua unsur,
sama
halnya dengan ilmu-pengetahuan juga tidak tersentuh oleh obyek-obyek apapun juga.
Ini
bukan pandangan Sang Buddha.”

Keterangan: Dua sloka terakhir ini adalah akhir dan konklusi Sri Gaudapadiya,
pernyataan
ini mirip dengan ajaran Sang Buddha Gautama, yang juga berasal dari kurun waktu
yang
sama dengan Sri Gaudapadiya. Pada masa itu di India, kaum brahmana yang picik,
sangat
alergi terhadap ajaran sang Buddha Gautama. Sri Gaudapada menegaskan bahwa ajaran-
ajarannya bukan berasal dari ajaran Sang Buddha, namun intisarinya memang sudah
hakikatnya demikian (jadi tidak ada perbedaan antara Hindhu dan Buddha
sebenarnya!).
Filosofi Buddhis amat mendekati ajaran Advaita secara dialektik, namun ada
perbedaan-
perbedaan yang tipis diantara keduanya. Sang Budha sebenarnya tidak pernah
mengajarkan
bahwasanya Yang Maha Absolut adalah Realitas Yang Terakhir.

Sloka - 100 “Setelah menyadari tahap Realitas Utama ini, yang hakikatnya sulit
untuk
digapai secara murni ….yaitu tidak dilahirkan, senantiasa sama, secara total
bersifat
ilmu-pengetahuan dan lepas dari pruralitas ……..maka kami menghaturkan puja hormat
kami sebaik mungkin dengan kemampuan yang kami miliki.”

Keterangan: Demikianlah Sri Gaudapadiya menutup ajarannya ini dengan puja syukur
penuh hormat kepada Sang Hakikat Yang Maha Utama. Dengan teramat rendah hati beliau
berkata bahwasanya puja hormat ini adalah minimum sifatnya dibandingkan dengan
kemampuan Tuhan Yang Maha Esa di dalam bidang apapun juga. Dengan kata lain beliau
mengingatkan kita semua bahwa seberapapun tingginya ilmu yang kita miliki,
sebenarnya
tidak berarti apa-apa di depan Yang Maha Esa. Jadi berhentilah berdiskusi akan
kepercayaan
orang lain, dan mempermasalahkan kepercayaan agama orang lain, namun sebaiknya
senantiasa giatlah selalu memahami Sang Jati dirimu sendiri. Inilah intisari yang
tersirat di
ajaran yang terkesan amat rumit ini. Salam puja penuh hormat bagi Sri Gaudapadiya
yang
telah bersusah payah beryagna bagi umat manusia melalui karya Karika Upanishad ini.
Puja
sujud dan hormat sekali lagi baginya dan Yang Maha Hakiki serta seluruh jajaran
resi
Sanathana Dharma dari masa ke masa, sesuai dengan kemampuan yang teramat minim yang
kami miliki secara duniawi ini.

“Tak Terikat, Tak Terikat, Tak Terikat Aku ini lagi dan lagi; Aku bersifat Absolut;
Eksistensi Ilmu-Pengetahuan ……..Kebahagiaan Ilahi; Aku adalah Aku ……Yang Abadi,
yang Tak Terbinasakan, Yang Tak Terhancurkan !!!”

OM SARVAM BHUTAM MANGGALAM


OM SHANTI SHANTI SHANTI

OM TAT SAT

Anda mungkin juga menyukai