Anda di halaman 1dari 11

Sumber Ajaran Tattwa

Sumber Ajaran Tattwa adalah ilmu filsafat. Sumber-sumber ajaran tattwa


adalah pustaka-pustaka suci Hindu yang merupakan sumber atau asal ajaran
kebenaran atau kenyataan yang disebut tattwa. Vedā adalah kitab suci dan
sumber ajaran agama Hindu. Dari Vedā mengalir ajaran yang merupakan
kebenaran Agama Hindu. Ajaran Vedā tidak terbatas hanya sampai pada
tuntunan hidup individual, tetapi juga dalam hidup sosial bermasyarakat.
Dari Vedālah mengalir dan memberikan validitas terhadap kitab-kitab
susastra Hindu pada masa berikutnya. Seperti yang dikembangkan dalam
,kitab Smāti , Itihāsa, Purāśa, Darśana, Tantra, dan Tattwa yang tersurat
dalam lontar-lontar.
Sumber itu ada dua macam yaitu : sumber yang asli dan sumber tak asli.
Sumber yang asli merupakan sumber Primer yang merupakan sumber
inspirasi serta menjadi dasar renungan dalam perkembangan ajaran tattwa
berikutnya. Sedangkan sumber tak asli adalah semua pustaka atau lontar-
lontar yang tumbuh dan berkembang dari sumber asli tadi namun tetap
menyajikan pemikiran atau pandangan yang bersifat falsafi.
Yang merupakan sumber asli sebagai sumber dari segala sumber Dharma
(Ajaran Hindu) adalah Veda, sesuai dengan pernyataan dalam kitab Manawa
Dharmaśastra II.6 sebagai berikut :

Idanim dharma pramananyaha,Veda ‘ khilo dharma mulam smāti śile ca


tad vidam, Acaraś ca iva sadhunam atmanastustir eva ca. (Manawa
Dharmaśastra II.6)

Artinya :

Seluruh pustaka suci Veda adalah merupakan sumber utama dari pada
dharma (agama Hindu) kemudian barulah smāti disamping śila dan
kemudian acara serta akhirnya atmatusti (kepuasan diri peribadi).

Selanjutnya Manawa Dharmaśastra XII. 95 menyebutkan :

Veda vahyah smātayo yaśca kudāśtayah,


Sarvasta nisphalah pretya tamo nistha hitah smātah.

Artinya :

Semua tradisi dan system kefilsafatan yang tidak bersumber pada Veda tidak
akan memberi pahala kelak sesudah mati karena dinyatakan bersumber pada
kegelapan.Vedalah sumber Dharma (Agama Hindu).
Demikian pula berdasarkan kutipan kedua jelaslah bahwa Tattwa yang
merupakan salah satu aspek Agama Hindu, maka itu berarti bahwa tattwa itu
pun sumbernya adalah Veda itu pula. Semua sistem kefilsafatan yang juga
mempunyai makna sama dengan tattwa bersumber pada Veda, karena jika
tidak, tidak akan memberi pahala.
Menurut sifat isinya Veda Śruti dibagi atas tiga bagian yaitu : bagian Mantra,
bagian Brahmana dan bagian Upaniśad atau Āranyaka. Maka bagian
Upaniśad inilah yang merupakan sumber aslinya ajaran Tattwa. Kata
“Upaniśad” itu berarti duduk dibawah, yaitu duduk dibawah kaki guru, untuk
mendengarkan ajaran Sang guru. Kamudian kata itu dipergunakan untuk
menyebutkan nama kitab-kitab yang memuat ajaran rahasia itu. Ada banyak
kitab Upaniśad. Berdasarkan catatan Muktikopaniśad jumlah Upaniśad yang
disebut secara tegas adalah sebanyak 108 buah buku, nama-nama itu adalah
sebagai berikut :

1. Kelompok Upanisad untuk Āgveda Saýhitā, yaitu Aitareya,


Kauśìtaki,Nādabindu, Tripurā, Ātmaprabodha, Nirvāśa, Mudgala,
Akśamālikā, Saubhagya & Baávāca jumlahnya 10 buah.

2. Upaniśad untuk Samaveda Saýhitā,, yaitu Kena, Chāndogya,


Aruśi,Maitrāyaśi, Maitreyi, Vajraśùcika, Yogacùdamaśi, Vāsudeva,
Mahat, Saýyasa, Avyākta, Kuśdika, Sāvitri, Rudrakśajābāla, Darśana,
dan Jābāli jumlahnya 16 buah.

3. untuk Yajur Veda Hitam atau Kāśśa Yajur Veda, yaitu Kaþhavali,
Taittirìyaka, Brahma, Kaivalya, Śvetāśvatara, Garbha, Nārāyaśa,
Amātabindu,Amātanāda, Kālāgnirudra,Kśurika, Sarvasāra,
Sukarahasya, Tejobindu, Dhyānabindu, Brahmavidyā,
Yogatattva,Dakśiśā mùrti, Skanda, Śarìraka, Yogaśikha, Ekākśarā, Akśi,
Avadhùta, Kaþha, Rudrahādaya, Yogakuśdaliśi, Pañcabrahma,
Prāśāgnihotra, Varāha, Kalisaýtārana, dan Sarasvatìrahasya, jumlahnya
32 buah.

4. Upaniśad untuk Yajur Veda Putih atau Śukla Yajur Veda, yaitu
Ìśāvāsya, Bāhadāraśyaka, Jābāla, Haýsa, Paramahaýsa, Subāla,
Mantrika, Nirālambha, Piògala, Bhikśu, Sāþyāyanì, Triśikhabrāhmana,
Maśdalabrāhmana, Advanyatāraka, Turiyātita, Adhyātma, Tārasāra,
Yājñavalkya, dan Muktika, jumlahnya 19 buah.

5. Kelompok Upaniśad untuk Atharva Veda Saýhitā, yaitu Praśna,


Muśdaka, Māśdùkya, Atharvaśira, Atharvaśikha, Bāhajjābālā,
Nāsiýhatāpini, Nāradaparivrājaka, Sìtā, Sarabha, Mahānārāyaśa,
Rāmarahasya, Rāmatāpini, Sāndilya, Paramahaýsa parivrājaka,
Annapurśa, Surya, Ātma, Paśupata, Parabrahmana, Tripurātāpini,
Devì, Bhāvanā, Brahma, Gaśapati, Mahāvākya, Gopālatāpini, Kāśśa,
Hayagrìva, Dattātreya, dan Gārudā dan jumlahnya 31 buah

Upaniśad amat sulit dipelajari oleh masyarakat umum. Kemudian


muncullah kitab-kitab Sùtra yaitu uraian prosa yang disusun dengan singkat
serta dengan kalimat-kalimat pendek dengan maksud supaya mudah diingat.
Kitab-kitab Sùtra inilah yang menjadi sumber daripada sistim filsafat India.
Misalnya : Darśana seperti Nyāyā Sùtra, Vaiśeśika Sùtra, Saýkhya Sùtra, Yoga
Sùtra, Mimāmsā Sùtra (Pùrvamimāýsā, Uttarmimāýsā) Vedānta Sùtra
(Astika ) dan Budha, Jaina , Carvāka ( Nāstika ), Tantra, Brahma Sùtra, dan
lain – lain. Kitab – kitab Sùtra tersebut jika dipandang dari segi sistimatika
Veda menurut Maha Āśi Manu maka dikelompokkan kedalam jenis Nibandha.
Nibandha adalah kelompok kitab yang isinya memberi pandangan tersendiri
baik yang sependapat maupun bertentangan dengan alasan-alasan yang
meyakinkan tentang kebenaran ajaran yang diketengahkan. Jenis kitab
Nibandha ini merupakan hasil karya ilmiah dari tokoh-tokoh agama Hindu.
Karya mereka langsung membahas berbagai persoalan menurut bidang ilmu
yang tersebar didalam Veda.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya setelah kitab Veda
yaitu dari bagian Upanisad dan kitab-kitab Nibandha atau Sùtra itu dalam
bahasa Sanskerta maka lahir pulalah sejumlah naskah-naskah dengan
berbahasa Sanskerta Kepulauan (Archipelago Sanskrit) dan bahasa Jawa
Kuno yang memuat ajaran Tattwa. Adapun naskah Jawa Kuno yang
merupakan sumber dari Tattwa tersebut adalah :

1. Bhuwana Kośa

2. Tattwa

3. Jñāna

4. Tattwa

5. Siddhānta

6. Hyang Mahājñāna

7. Sangkśepa

8. Bhatara

9. Tattwa Purāśa
10. dan lain-lain.

2.2 Tinjauan Beberapa Sumber Tattwa

2.2.1 Bhuwana Kośa

Kośa adalah lontar tertua yang bersifat Śiwaistis, dan juga lontar yang
terpenting di Bali oleh karena konsep-konsep dasar tentang Śiwa Tattwa.
(hakekat Śiwa), terdapat di dalam lontar ini yang kemudian mengalir dan
berkembang ke dalam lontar-lontar Śiwaistis lainnya, seperti Wāhaspati
Tattwa, Gaśapatai Tattwa, Tattwa Jñāna, Bhuwana sangkśepa, Sang Hyang
Mahā Jñāna, Jñāna Siddhānta dan lain-lain.
Bhuwana Kośa termasuk jenis Tutur dan keadaan śloka Sanskertanya
cukup bagus dan dan jumlahnyapun cukup banyak. Bahkan lebih banyak dari
terjemahaannya atau komentarnya dalam bahasa Jawa Kuna. Bhuwana Kośa
adalah teks tertua yang masih ada sebagai pedoman para Pendeta penganut
ajaran Śiwa-Siddhānta. Śiwa Siddhānta di sini adalah merupakan bentuk baru
dari Śaiwa – Paksa yang dalam kurun waktu tertentu menerima atau
menyerap unsur-unsur dari sekta-sekta lain yang pernah berkembang di Bali.
Sehingga antara Śiwa Siddhānta yang ada di Bali dengan Śiwa Siddhānta yang
ada di India adalah berbeda. Bhuwana Kośa merupakan lontar tertua tentang
Śiwa Tattwa di Bali maka ini berarti bahwa ide atau konsep tentang hakekat
Bhatara Śiwa itu adalah bersumber dari lontar Bhuwana Kośa. Dengan kata
lain Lontar Bhuwana Kośa adalah merupakan babon (induk) dari lontar-
lontar Siwaistis yang ada di Indonesia.
Menurut Mardiwarsito (1987;147) secara leksikal Bhuwana Kośa berarti
perbendaharaan atau khazanah dunia. (the treasure of the world). Namun
dalam hubungannya lukisan ini kata Bhuwana Kośa adalah nama salah satu
lontar yang tergolong “Tutur”, sebagai babon (induk) dari lontar-lontar
Siwaistis yang terdapat di Bali.

Selanjutnya setelah itu adalah Nawami – Patalaá dan Tritya – Patalaá.


Sedangkan bab XI hanya berisi nama judul dengan tidak mencantumkan
nama urutan Patalaá-nya. Sehingga Bhuwana Kośa itu seakan-akan hanya
terdiri atas 10(sepuluh) bab (Patalaá). Jadi tepatnya harus dikatakan bahwa
Lontar Bhuwana Kośaterdiri dari 10 Patalaá lebih atau 11 bab, karena bab XI
tidak disebutkan sebagai Ekadaśamah – Patalaá.
Adapun isi dari Lontar Bhuwana Kośa dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :

1. Brahma-Rahasyam, terdiri dari 5 (lima) bab(Patalaá) mulai dari


Patalaá I sampai V. Bagian ini berisi percakapan antara Śrìmuni
Bhargawa dengan Bhathāra Śiwa mengenai Śiwa yang bersifat sangat
rahasia.

2. Jñāna Rahasyam terdiri atas 6 (enam) bab(Patalaá), yaitu mulai dari


Patalaá VI sampai bab XI. Bagian ini berisi percakapan antara
Bhathāra Śiwa dengan Bhaþārì Umā dan Sang Kumāra mengenai
pengetahuan untuk memahami Śiwa yang bersifat sangat rahasia

2.2.2 Wāhaspati Tattwa


Wāhaspati Tattwa terdiri atas 74 pasal menggunakan dua bahasa yaitu
bahasa Sanskerta dan Bahasa Jawa Kuna. Bahasa Sanskertanya disusun
dalam bentuk śloka dan diterjemahkan atau dijelaskan dengan bahasa Jawa
Kuna dalam bentuk prosa (gancaran). Wāhaspati Tattwa berisi dialog antara
seorang guru spiritual yaitu Sang Hyang Ìśwara dengan Bhagawān Wāhaspati.
Sang Hyang Ìśwara, bersthana di puncak gunung Kailasa yaitu nama sebuah
puncak gunung Hiamayala yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawān
Wāhaspati adalah orang suci yang merupakan guru dunia (guru loka) yang
berada di Sorga. Wāhaspati Tattwa didalam menyajikan ajarannya
menggunakan metode yang dirangkum dalam suatu mitologi.
Untuk mengakhiri samsara itu Wāhaspati Tattwa menganjurkan untuk
melaksanakan dan memepelajari segala Tattwa (Jñānabhyudreka), tidak
tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (Indriyāyogamārga) dan tidak
terikat pada pahala baik dan buruk (Tāśśadośkśaya).
Pelajaran itu digubah secara mitologis adalah hanya merupakan suatu metode
pendidikan saja. Ajaran filsafat yang tinggi seperti ini memang sukar akan
ditangkap dan dipahami dengan cepat secara langsung oleh pikiran dan
perasaan biasa. Justru karena itu, maka diperlukan suatu metode, agar
mudahnya ajaran tersebut dapat dimengerti.
2.2.3 Tattwa Jñāna
Tattwajñāna dan Wāharspati Tattwa adalah naskah Jawa Kuno yang
menguraikan ajaran Tattwa (kebenaran). Kedua naskah tersebut pada
prinsipnya mengandung ajaran yang sama. Sama-sama bersifat Śiwaistis.
Sama-sama bersifat dualitis yang theistis, yaitu mengajarkan ada dua unsur
yaitu Cetana dana Acetana ditambah unsur theistisnya yaitu Śiwa. Sehingga
mirip dengan ajaran filsafat Saýkhya Yoga dalam sistim filsafat India.
Perbedaan terletak pada sistim dan metode penyajiannya dan perbedaan pada
beberapa istilah dalam materi ajarannya. Kalau Wāhaspati Tattwa menyajikan
ajaran dengan metode dialog atau percakapan tanya jawab atau diskusi
sedangkan Tattwajñāna dengan metode penyajian materi secara doktrin.
Wāhaspati Tattwa terdiri dari dua bahasa yaitu Śloka Sanskerta yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno, akan tetapi Tattwajñāna disusun
dalam bentuk prosa Jawa Kuno tanpa Śloka Sanskerta. Beberapa perbedaan
istilah dari kedua naskah tersebut misalnya: Śiwātma Tattwa dalam
Wāhaspati Tattwa disebut Ātmika Tattwa dalam Tattwajñāna. Dura
Sarwajñāna dalam Wāhaspati Tattwa disebut Durātmaka dalam Tattwajñāna.
Disamping itu terdapat juga perbedaan materi yang tidak tersebut dalam
Wāhaspati Tattwa tapi dalam Tattwa Jñāna itu ada seperti ajaran
Caturdhyana yang terdiri dari : tistan, bhojan, gacchan, suptan.
Sadā Śiwa Tattwa, adalah Bhathāra Śiwa yang sudah mulai tersentuh oleh
sarwajñā, sarwakaryakarta,caduŚakti dan jñāna Śakti . Ia disebut Bhathāra
Adipramāna, Bhathāra Jagatnatha, Bhathāra Karāśa, Bhathāra Parameśwara,
Bhathāra Guru, Bhathāra Mahuln, Bhathāra Waśawaśitwa. Ia berkuasa untuk
mengadakan dan meniadakan, tetapi Ia sendiri tidak diciptakan.
Ātmika Tattwa, (Śiwātma Tattwa) adalah Sadā Śiwa Tattwa yang “uta prota”
dalam Māyā Tattwa atau Acetana. Uta artinya Ia berada secara gaib dalam
Māyā Tattwa, bagaikan api yang berada dalam kayu kering. Prota artinya Ia
berkeadaan bagaikan permata bening cemerlang dalam Māyā Tattwa. Tetapi
karena dibungkus oleh Māyā Tattwa maka sifat sarwajñā, sarwakaryakarta,
caduŚakti dan jñāna Śakti , menjadi hilang. Karena itu disebut Ātmika Tattwa.
Disamping itu Tattwa Jñāna juga menjelaskan Tri Guśa dengan perinciannya,
yang sangat berpengaruh terhadap sifat manusia. Dan tubuh manusia di
bangun oleh intisari zat makanan yang disebut dengan śadrasa dan lain
sebagainya.

2.2.4 Ganapati Tattwa


Ganapati Tattwa adalah salah satu lontar Tattwa, lontar filsafat Śiwa, yang
disampaikan dengan methode tanya jawab. Bhathāra Śiwa sebagai maha guru
memberikan pelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan rohani yang
bersifat abstrak dan rahasia. Bhathāra Ganapati yang disebut pula Sang
Hyang Gaśapati atau Ganadipa adalah putra Bhathāra Śiwa adalah berperan
sebagai penanya yang sangat cerdas, ingin mengetahui ajaran tentang
kebenaran sumber ciptaan yang ada serta proses kembalinya kepada sumber
asalnya. Dan Bhathāra Śiwa adalah juga Bhathāra Maheśwara, sebagai maha
guru yang menjabarkan ajaran Rahasya Jñānā, menjelaskan tentang misteri
alam semesta beserta isinya, terutama tentang hakekat manusia misalnya:
dari mana ia dilahirkan, untuk apa ia lahir, ke mana ia akan kembali dan
bagaimana caranya agar bisa mencapai alam kelepasan atau mokśa.
Lontar Gaśapati Tattwa ditulis di dalam 37 lembar daun tal (lontar), disusun
dalan 64 bait śloka dengan canda Anustubh Sanskerta, dan disertai dengan
ulasan bahasa Jawa Kuna. Penjelasan masing-masing śloka Sanskerta itu, ada
yang cukup singkat ada pula yang panjang, terutama pada śloka permulaan.
Adapun isi ringkas Gaśapati Tattwa adalah sebagai berikut : Oýkara adalah
sabda śunya, nada Brahman, asal mula dari mana Pañca Daiwātmā (Brahma,
Wiśśu, Ìśwara, Rudra dan Sang Hyang Sadā Śiwa)dilahirkan. Dan Pañca
Daiwātmā adalah sumber dari mana Pañca Tan Matra diciptakan. Pañca tan
Matra meliputi : ganda;unsur bau, rasa ; unsur rasa atau kenikmatan, rupa ;
unsur bentuk, sparsa ; unsur rabaan atau sentuhan, dan sabda ; unsur suara .
Itu adalah sumber dari Pañca Mahā Bhuta yaitu : akāśa ; ether, bayu ; angin,
teja ; sinar, apah ; zat cair; dan perthiwi ; zat padat. Dari Pañca Mahā Bhuta
inilah alam semesta beserta isinya diciptakan, dan Sang Hyang Śiwātma
menjadi sumber hidup yang menggerakannya segala ciptaanNya.
Gaśapati Tattwa juga mengajarkan Yoga yaitu Sadangga Yoga yang
meliputi : Pratyahārayoga, Dhyānatoga, Pranayāmayoga, Dharanayoga,
Tarkkayoga dan Semadhiyoga. Sadangga Yoga adalah merupakan jalan
spiritual untuk mencapai kelepasan atau mokśa. Padma Hati sebagai
Śiwalingga dimana Beliau harus direnungkan. Hanya ia yang bijaksana
berhati suci dan penuh keyakinan yang dapat mengetahui Beliau. Beliau
hendaknya setiap saat dipuja dengan sarana Sang Hyang Caturdaśākśara.
Selanjutnya Ganapati Tattwa juga menerangkan anggapan orang yang
bodoh dan sombong tentang ātma, dan menjelaskan sthana Bhathāra Wisnu,
Brahma, dan Siwa pada badan jasmani. Sang Hyang Bheda Jñāna adalah
ajaran Rahasia tentang manusia. Yang berhak menerima ajaran Rahasia ini
adalah ia yang sungguh-sungguh melaksanakan Dharma.

2.2.5 Jñāna Siddhānta


Lontar Jñāna Siddhānta terdiri dari 27 bab dengan menggunakan dua
bahasa yaitu bahasa Sanskerta dan dijelaskan dan diterjemahkan dengan
bahasa Jawa Kuna.
Jñāna Siddhānta sebagai salah satu sumber ajaran Tattwa pada intinya
mengandung ajaran tentang kelepasan atau mokśa yaitu menyatunya ātma
dengan sumbernya. Untuk memperoleh kelepasan seseorang dapat
melaksanakan yoga melalui enam tahapan (Sadanggayoga). Keenam tahapan
itu adalah : Pratyāhārayoga, Dhyānatoga, Prānayāmayoga, Dhāranayoga,
Tarkkayoga dan Samādhiyoga.
Sang Hyang Widhi dalam Jñāna Siddhānta disebut Bhathāra Śiwa. Deliau
adalah Maha Esa (sa eko, ekatva).Ia merupakan kekuasaan tertinggi.
Bhathāra Śiwa Yang Esa sering dipandang lebih dari satu (aneka), karena
bercirikan empat yaitu yaitu : Sthùla, Sùkśma, Para dan Śùnya. Sthùla artinya
beliau dibayangkan tampat dalam śabda māyā, śabda māyā artinya dituturkan
dalam bentuk mantra. Sùkśma artinya beliau dibayangkan terjelma dalam
citta māyā, citta māyā adalah isi dari pikiran yang terwujud dalam
pengetahuan. Para artinya Beliau dibayangkan terjelma dalam citta -wirahita,
citta-wirahita artinya ditinggalkan oleh akal budhi. Śùnya artinya beliau
dipandang sebagai citta-rahitantya, citta-rahitantya artinya tidak memiliki
ciri-ciri apapun. Bhathāra Śiwa adalah sumber utama dari semua yang ada
termasuk Dewa-Dewa dan manusia. Bhathāra Śiwa menciptakan tubuh
manusia sebagai sebuah misteri yang sulit dipahami. Tubuh manusia
dikatakan sebagai tiruan dari dunia yang besar (Bhuawana agung) karena itu
disebut dengan Bhuwana Alit, yang juga ditempati oleh Dewa-Dewa.Tubuh
manusia dilukiskan sebagai lambang Omkara atau Pranawa. Demikianlah
sedikit tinjauan tentang isi Jñāna Siddhānta.

2.2.6 Sang Hyang Mahājñāna


Sang Hyang Mahājñāna terdiri dari 87 pasal dengan menggunakan dua
bahasa yaitu bahasa Sanskerta dalam bentuk śloka dan diterjemakan atau
dijelaskan dengan bahasa Jawa Kuna.
Sang Hyang Mahājñāna mengandung ajaran yang bersifat Śiwaistik yang pada
intinya mengajarkan mengenai cara untuk mencapai kelepasan, bersatu
dengan Sang Pencipta yaitu Bhathāra Śiwa. Ajaran Sang Hyang Mahājñāna
disampaikan dalam bentuk dialog, tanya jawab, antara Bhathāra Guru sebagai
guru rohani dengan Sang Hyang Kumara sebagai siswa, mengenai hakekat
tertinggi tentang Bhathāra Śiwa.
Sang Hyang Mahājñāna mengungkap rahasia diri manusia dalam
hubungannya dengan Dewa-Dewa dan alam semesta. Di mana hal tersebut
mutlak harus diketahui bila seseorang menginginkan kelepasan. sepuluh
indriya (Daśendriya) yang ada dalam diri manusia bersifat tidur, tidak ada
gerak, diam. Sedangkan lima unsur tenaga hidup (Pañcawāyu) dan teja
memiliki sifat jaga, penuh dengan gerak.
Alam Paramakewalya yang merupakan sthana Parama Śiwa adalah
merupakan tujuan setiap orang yang menginginkan kelepasan dan kebebasan
dari proses tumimbal lahir (māyā kajanma sangsara) setelah mengalami
kematian. Karena ia adalah inti dari kelepasan.

2.2.7 Bhuwana Sangkśepa


Bhuwana Sangkśepa adalah salah satu lontar penting yang memuat ajaran
Śiwa Tattwa, yang disajikan dalam bentuk dialog antara Bhaþārā Śiwa
(Ìśwara) dengan Bhaþārì Uma istriNya dan Bhaþārā Kumara putraNya.
Lontar Bhuwana Sangkśepa terdiri dari 128 Śloka Sanskerta dengan
terjemahan ke dalam bahasa Jawa Kua, namun tidak seluruh Śloka ada
terjemahannya ke dalam bahasa Jawa Kuna.
Adapun inti dari pada isi Lontar Bhuwana Sangkśepa adalah mengenai cara
untuk mencapai Kelepasan dengan melaksanakan ajaran Yoga .
Bagian pertama dari lontar Bhuwana Sangkśepa adalah menjelaskan
tentang proses penjadian, sebagai berikut : ketika tidak ada apa-apa, air,
tanah, cahaya, angin, bulan, matahari, angkasa, bintang-bintang pun juga tak
ada. Yang ada ketika itu hanyalah “ Śùnya “ belaka yang bersifat kekal abadi
(langgeng). Kemudian dari “Śùnya “ atau disebut juga “Niśkala” secara
berurut lahirlah matra nadānta nada windu ardhacandra triyākśara Pañca
Brahma- Pañcākśara Sarwākśara Swara dan Wyañjana yang merupakan
tubuh para dewa, seperti dewa Ìśwara di Timur, Maheśora di Tenggara,
Brahma di Selatan, Rudra di Barat Daya, Mahādewa di Barat, Śangkara di
Barat Laut, Wiśśu di Utara, Śambhu di Timur Laut, Śiwātma di Bawah,
Śadāśiwa di Tengah, Paramaśiwa di Atas dan sebagainya, serta wujud dari
masing-masing dewa tersebut. Pemahaman akan dewa-dewa tersebut
merupakan dasar untuk melaksanakan Smarana. Lontar Bhuwana Sangkśepa
menjelaskan pula mengenai tata cara sang Yogiśwara melaksanakan Yoga.
Lontar Bhuwana Sangkśepa juga menguraikan mengenai kwalitas dari
Pañcākśara, Triyākśara, yang pada akhirnya yang paling utama adalah
Ongkara yang merupakan sarana untuk mencapai Kelepasan. Lontar
Bhuwana Sangkśepa menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini
sifatnya tidak kekal yang pada akhirnya lenyap menjadi Ākāśa.
Pada bagian belakang dari Lontar Bhuwana Sangkśepa menguraikan
tentang Saptaloka, Saptapātāla, Sapta Samudra, Saptatirtha, Saptadwìpa,
yang terdapat dalam tubuh manusia, beserta nama dewa-sewanya. Lontar
Bhuwana Sangkśepa juga menguraikan Pañcawāyu, yaitu : Prāśa, Apāna,
Wyāna, Sāmana dan Udana. Pada bagian akhirnya menguraikan mengenai
dewa-dewa Nawasanga dengan senjatanya masing-masing.

2.2.8 Pamatëlu Bhathāra


Lontar Pamatëlu Bhathāra adalah salah satu dari sekian banyak lontar
Tattwa yang ada di Bali. Lontar ini berisi ajaran yang bersifat Śiwaisti. Ada
kecendrungan lontar ini ditulis di Bali dengan menggunakan teks-teks Tattwa
yang lebih tua sebagai sumbernya, seperti umpamanya Wāhaspati Tattwa.
Karena apa yang diuraikan dalam Pamatëlu Bhathāra ada dalam Wāhaspati
Tattwa, tetapi uarainnya sangat singkat. Berdasarkan hal tersebut dapat
diasumsikan bahwa Pamatëlu Bhathāra adalah naskah “cantungan” artinya
naskah itu dibuat dengan mengambil dari sumbernya sesuai dengan
kepentingan penulisnya.
Pamatëlu Bhathāra adalah pembagian Sang Hyang Widhi atau Tuhan atas
tiga yaitu Śiwa, Sadā Śiwa dan Parama Śiwa. Pembagian ini didasarkan atas
kadar pengaruh māyā yang terdapat pada sifat-sifat Sang Hyang Widhi atau
Tuhan.
Parama Śiwa tidak memiliki substansi sehingga sulit untuk dapat
dibayangkan apalagi dapat dilihat karena, Ia adalah perwujudan Sepi Śunya
yang tertinggi (śunya taya paramārtha), Tanpa aktivitas, acintya, tak dapat
dipikirkan. Pada tingkatan Śadā Śiwa pengaruh māyā sudah mulai tampak.
Karena tarikan pengaruh māyā Tuhan mulai aktif mencipta semua yang ada
baik yang bersifat nyata maupun yang bersifat tidak nyata. Pada tingkatan
Śiwa pengaruh māyā sudah kuat sekali mengikat, ia memiliki banyak
substansi, memenuhi makrokosmos, mikrokosmos dan semua makhluk
dengan baik, tanpa ada yang kurang yang dikenal dengan sebutan ātman atau
jiwātman.
Kemudian roh dan badan terus berkembang mengikuti hukum Utpetti
(lahi), Sthiti (mengada) dan Pralina (meniada) melalui tiga wujud kuasa
Tuhan yaitu Brahma, Wisnu dan Rudra yang disebut Bhatara Tri Purusa.
Pada saat terjadi penyatuan roh dengan badan telah disertai dengan setia oleh
tri guśa, sadwarga, trimala, śubha-aśubha karma, yang menyebabkan adanya
tiga tingkatan ātma yaitu ātma rendah , ātma menengah dan ātma utama.
Ātma-ātma yang ada pada tingkatan ini masih mengalami proses kelahiran
(reinkarnasi).

Kegagalan seseorang mencapai kelepasan(moksa) disebabkan oleh adanya


perasaan-perasaan seperti tdak mau berpisah, rasa cinta dan sebagainya yang
merupakan noda-noda bagi ātma. Perasaan-perasaan seperti itu hendaknya
dibakar habis dengan api ilmu pengetahuan, sehingga ātma betul-betul bersih
dari noda yang merupakan kunci untuk mencapai kelepasan.
Kelepasan (moksa) adalah suatu keadaan lenyapnya semua selubung ātma
tanpa bekas yang tinggal adalah yang utama (menyatu pada Parama Śiwa).
Badan kasar semua makhluk berasal dari tidak ada karena itu akan kembali
pada tidak ada. Dalam teks kelepasan itu diumpamakan tempayan, air, api,
mahahari, dan laut. Badan diumpamakan sebagai tempayan. Air adalah
pradhana, Pikiran adalah api, Laut adalah kemoksan. Matahari adalah
Parama Siwa (sedangkan ātma adalah bayangannya matahari). Bilamana
tempayan di bakar dengan api kristal matahari, lama-kelamaan tempayan
akan terbakar habis dan airnyapun akan lenyap. Demikian pula bayangan
matahari itupun tidak ada. Apabila abu tempayan dibuang ke laut, abu itu
akan tidak tampak, dan bayangan matahari pun tidak ada tampa bekas.
Kemana ? Karena bayangan itu lenyap bersama lenyapnya tempayan dengan
air itu. Demikian pula dengan ātma akan lenyap bersama-sama dengan
lenyapnya jasad. Itulah kelepasan atau mokśa.(Sura,tt;137-138).

2.2.9 Śiwa Tattwa Purāna


Śiwa Tattwa Purāna adalah salah satu dari sekian banyak lontar yang
mengandung ajaran Śiwaisti. Śiwa (Sanghyang Jagatpati), mengajarkan Acara
Agama kepada putra-putraNya. Ajaran ini diuraikan dengan metode dialog
dan juga ceramah.
Lontar Śiwa Tattwa Purāśa, yaitu hanya terdiri dari 20 lembar lontar. Jika
ditinjau dari segi bahasa dan latar belakang budaya yang melatarinya, teks
lontar Śiwa Tattwa Purāśa rupa-rupanya ditulis pada jaman Bali Tengahan.
Dapat dikatakan sebagai teks minor yang isinya bersumber dari beberapa teks
yang lebih tua. Bahasa Kawi yang dipergunakan sebagai media, banyak
menyerap istilah budaya dan kosa kata bahasa Bali Tengahan. Mengenai
struktur bahasanya kurang terpelihara. Struktur sosial masyarakat Bali
Tradisional sangat dominan menentukan perbedaan sistem pelaksanaan
upacara yang diajarkan. Lontar Śiwa Tattwa Purāśa pada intinya menguraikan
tentang perbedaan sarana upacara Ngaben dari masing-masing keturunan
seperti Brahmana, Kesatria, Wesia dan Sudra.

Anda mungkin juga menyukai