PRILAKU AGAMA
DOSEN;
I GEDE DEDY DIANA PUTRA, S.Pd.H , M. Pd. H
PENYUSUN;
Om Swatyastu
Puja dan Puji Syukur saya panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kertha Wara Nugrahanya-Nya lah makalah yang
memiliki pembahasan mengenai “Tradisi Ngejot Sebagai Salah Satu Bentuk Warisan
Prilaku Agama” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Saya menyadari bahwa isi makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga makalah
yang saya buat ini dapat bermanfaat dan berguna untuk para pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Religi atau yang disebut sebagai agama berasal dari bahasa Latin yaitu ereligio
yang akar katanya adalah religare yang berarti mengikat (Subandi, 2013). Subandi (2013)
menjelaskan bahwa pada umumnya, di dalam agama, terdapat peraturan-peraturan dan
kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan. Hal tersebut berfungsi untuk mengikat
dan mengukuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan
Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitarnya (Subandi, 2013). Kata agama dalam Bahasa
Indonesia, berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna tradisi, peraturan hidup atau
sesuatu yang tidak bergerak atau tidak adanya kekacauan (Subandi, 2013). Hal ini berarti
bahwa, agama memberikan peraturan pada manusia yang diterapkan oleh tradisi
kehidupan sehari-hari (Subandi, 2013).
Agama dalam kehidupan manusia berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang
memuat norma tertentu yang akan menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan
bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sebuah
sistem nilai, agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta
dipertahankan sebagai bentuk ciri khas (Jalaluddin, 2012). Menurut Robert C. Monk
(dalam Jalaluddin, 2012), pengalaman agama memang pada umumnya bersifat individual.
Namun demikian, karena pengalaman agama yang dimiliki umumnya selalu menekankan
pada pendekatan keagamaan pribadi.
Inilah sisi-sisi sosial atau kemasyarakatan yang menjadi unsur pemelihara dan
pelestarian sikap para individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut. Sikap
keagamaan perorangan dalam masyarakat yang menganut suatu keyakinan agama
merupakan unsur penopang bagi terbentuknya tradisi keagamaan. Tradisi keagamaan
menurut Monk (dalam Jalaluddin, 2012) menunjukkan kepada kompleksitas pola-pola
tingkah laku, sikap-sikap, dan kepercayaan atau keyakinan yang berfungsi untuk menolak
atau menaati suatu nilai penting oleh sekelompok orang yang dipelihara dan diteruskan
secara berkesinambungan selama periode-periode tertentu.
1.2 Rumusan masalah
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
Perilaku keagamaan terbentuk dan dipengaruhi oleh dua faktor, dimana kedua
faktor ini bisa menciptakan kepribadian dan perilaku keagamaan seseorang. Kedua faktor
tersebut yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern ini menyatakan bahwa
manusia adalah homo religius (makhluk beragama), karena manusia sudah memiliki
potensi untuk beragama, dimana tiap-tiap manusia yang lahir ke muka bumi, membawa
suatu tabiat dalam jiwanya, tabiat ingin beragama, yaitu ingin mengabdi dan menyembah
kepada sesuatu yang dianggapnya Maha Kuasa. Pembawaan ingin beragama ini memang
telah menjadi fitrah kejadian manusia, yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dalam diri
manusia .
Sedangkan faktor ekstern, yaitu segala sesuatu yang ada diluar pribadi dan
mempunyai pengaruh pada perkembangan kepribadian dan keagamaan seseorang, seperti,
keluarga, teman sepergaulan, dan lingkungan sehari-hari yang sering banyak
bersinggungan. Jadi, selain dari pada insting dan pembawaan jiwa, ada lagi hal-hal yang
mendorong manusia untuk beragama, yaitu suasana kehidupan di muka bumi ini. Dari
uraian di atas jelas, bahwa perilaku keagamaan pada dasarnya bukan hanya terjadi ketika
seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas
lain yang didorong oleh kekuatan lahir. Karena itu keberagamaan seseorang akan meliputi
berbagai macam sisi atau dimensi. Menurut Glock Stark seperti yang dikutip Ancok dan
Suroso ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu “dimensi keyakinan (ideologis),
dimensi peribadatan atau praktek agama (ritualistic), dimensi penghayatan (experiensial),
Dimensi pengamalan (konsekuensial),dimensi pengetahuan agama (intelektual). Oleh
karena itu, perilaku keagaman merupakan satu kesatuan perbuatan manusia yang
mencakup tingkah laku dan aktivitas manusia.
Menurut Dr. Nico Syukur Dister praktek kegamaan adalah pelaksanaan secara
nyata apa yang terdapat dalam sistem kepercayaan kepada Tuhan karena motif tertentu .
Sedangkan menurut Dr. Quraish Shihab, yang dimaksud dengan praktek keagamaan
adalah pelaksanaan secara nyata apa yang terdapat dalam sistem kepercayaan kepada
Tuhan karena kebutuhan . Demikian pula pengertian praktek keagamaan menurut Drs.
Amsal Bachtiar, MA., adalah pelaksanaan secara nyata apa yang terdapat dalam sistem
kepercayaan kepada Tuhan juga karena kebutuhan . Bentuk-bentuk aktivitas keagamaan
tidak akan lepas dari adanya partisipasi atau peran serta. Partisipasi adalah ikut sertanya
satu kesatuan untuk mengambil bagian dalam aktivitas yang dilaksanakannya oleh
susunan kesatuan yang lebih besar.
Partisipasi mempunyai hubungan dengan kebutuhan pokok yaitu partisipasi dalam
pembangunan lembaga-lembaga keagamaan dan bukan keagamaan, misalnya tempat-
tempat ibadah, sekolah-sekolah agama, dan sekolahsekolah umum, dan lain-lain. Selain
itu, partisipasi juga mempunyai hubungan dengan kebutuhan pokok misalnya
pembangunan sarana dan prasarana baik yang berhubungan dengan fisik dan non fisik,
memperbaiki jalan, dan lain-lain. Dalam bidang kegiatan non fisik, adalah secara
individu sebagai bagian dari umat beragama adalah berpartisipasi dalam kegiatan-
kegiatan keagamaan yang dilakukan dalam tempat ibadah, yang terdiri dari kebaktian atau
misa mingguan, memperingati hari-hari besar keagamaan, ceramah-ceramah yang
berisikan persoalan yang berhubungan dengan agama dan ibadah, dan lain-lain.
Pada hakikatnya antara partisipasi dan aktivitas tidak dapat dipisahkan antara
keduanya, karena dalam pengertian partisipasi terkandung pula di dalamnya aktivitas atau
kegiatan, dan dalam aktivitas tercakup pula di dalamnya partisipasi jika seseorang terlibat
dalam kegiatan-kegiatan dan seseorang melakukan kegiatan (aktivitas) berarti ia
berpartisipasi aktif dalam kegiatan itu. Sekalipun ada banyak bentuk-bentuk aktivitas
keagamaan, namun semua itu terangkum dalam dua kategori tersebut di atas.
Bali yang terkenal dengan sebutan “Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura” ini selain
umat Hindu yang menjadi mayoritas, di Bali juga terdapat penganut agama selain Hindu
yakni Islam, Kristen, Budha dan Kong Hu Cu. Jumlah penganut agama Islam adalah
terbesar kedua setelah Hindu di Bali. Sebagai mayoritas masyarakat yang memeluk
agama Hindu, sangat menghargai masyarakat yang memeluk agama lainnya.
Masyarakat Bali juga dalam relasi sosialnya memahami yang disebut “Menyama
Braya” yakni sebagai kekayaan yang utama dalam hidup, jalan untuk menggapai
kebahagiaan dan keharmonisan hidup (dharma santhi) dan kearifan lokal (local wisdom)
yang dipahami dan diyakini secara luas sebagai sebuah kearifan yang cukup efektif dalam
menjaga integrasi sosial, karena di dalamnya semua manusia tanpa kecuali, sedarah tidak
sedarah, segolongan tidak segolongan, seagama tidak seagama, orang Bali asli ataupun
pendatang, se-etnis atau tidak se-etnis, se-kultur atau tidak sekultur sesungguhnya semua
adalah bersaudara. Dan melalui nilai-nilai kemanusiaannya yang universalasah, asih, dan
asuh (saling belajar, saling mengasihi, dan saling menjaga) makin mengkukuhkan betapa
pentingnya menyama braya dalam dinamika dan interaksi masyarakat Bali guna
terciptanya integrasi sosial di tengah pluralitas agama, etnis, dan budaya. (Damawayana,
2011: 219-220). Pemahaman masyarakat Bali ini, tentu tidak terlepas dari filosofi dasar
yang menjiwai kehidupan sosial masyarakat Bali, yakni “Tri Hita Karana”, berarti tiga
penyebab kesejahteraan, dimana Tri berarti tiga, Hita berarti sejahtera, dan Karana berarti
penyebab.
Dalam tradisi ngejot keluarga yang akan atau sedang melaksanakan sebuah
perayaan atau hajatan akan berbagi makanan dengan mengantarkannya langsung ke
masing-masing rumah para tetangga dan sanak keluarga yang lain. Biasanya dialksanakan
sehari menjelang hari H pelaksanaan sebuah perayaan atau kegiatan upacara adat
keagamaan serta sehari setelah hari H atau ketika perayaan atau upacara adat keagamaan
telah usai dilakukan. Tradisi dan budaya itu hingga sekarang masih tetap lestari baik di
desa maupun di perkotaan di Bali. Kondisi demikian itu telah diwarisi secara turun
temurun sejak ratusan tahun silam, berkat adanya saling pengertian dan menghormati satu
sama lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Faktor intern ini menyatakan bahwa manusia adalah homo religius (makhluk
beragama), karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama, dimana tiap-tiap
manusia yang lahir ke muka bumi, membawa suatu tabiat dalam jiwanya, tabiat ingin
beragama, yaitu ingin mengabdi dan menyembah kepada sesuatu yang dianggapnya Maha
Kuasa. Pembawaan ingin beragama ini memang telah menjadi fitrah kejadian manusia,
yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dalam diri manusia .
Sedangkan faktor ekstern, yaitu segala sesuatu yang ada diluar pribadi dan
mempunyai pengaruh pada perkembangan kepribadian dan keagamaan seseorang, seperti,
keluarga, teman sepergaulan, dan lingkungan sehari-hari yang sering banyak
bersinggungan. Jadi, selain dari pada insting dan pembawaan jiwa, ada lagi hal-hal yang
mendorong manusia untuk beragama, yaitu suasana kehidupan di muka bumi ini.
Dalam tradisi ngejot banyak sekali perilaku keagamaan yang bisa kita teladani
seperti toleransi , saling berbagi, silahturahmi karena bukan tanpa alasan tradisi itu terus
dijalankan hingga kini , kondisi demikian itu telah diwarisi secara turun temurun sejak
ratusan tahun silam, berkat adanya saling pengertian dan menghormati satu sama lainnya.
Daftar Rujukan
https://media.neliti.com/media/publications/266376-pendidikan-acara-agama-hindu-
antara-trad-3c3ea5b1.pdf
http://digilib.uinsby.ac.id/13302/57/Bab%202.pdf
https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/mkwu/4-PendidikanAgamaHindu.pdf
http://eprints.umm.ac.id/44257/2/jiptummpp-gdl-tutitinata-53159-2-babi.pdf