Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan 7
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kata Tattva berasal dari bahasa Sanskerta ‘Tat’ yang artinya ‘Itu’, yang maksudnya
adalah hakikat atau kebenaran (Thatnees). Dalam sumber lainnya, kata Tattva juga
berarti falsafah (filsafat agama), yakni ilmu yang mempelajari kebenaran
sedalamdalamnya (sebenarnya) tentang sesuatu seperti mencari kebenaran tentang
Tuhan,
tentang atma, serta yang lainya sampai pada proses kebenaran tentang reinkarnasi
dan karmapala. Dalam ajaran Tattva, kebenaran yang dicari adalah hakikat tentang
Brahman (Tuhan) dan segala sesuatu yang terkait dengan kemahakuasaan Tuhan.
Dalam buku Theologi Hindu, kata Tattva berarti hakikat tentang Tat atau Itu (yaitu
Tuhan dalam bentuk Nirguṇa Brahman). Penggunaan kata Tat sebagai kata yang
artinya Tuhan, adalah untuk menunjukkan kepada Tuhan yang jauh dengan manusia.
Kata ‘Itu’ dibedakan dengan kata ‘Idam’ yang artinya menunjuk pada kata benda yang
dekat (pada semua ciptaan Tuhan). Definisi tersebut berdasarkan pada pengertian
bahwa Tuhan atau Brahman adalah asal segala yang ada, Brahman merupakan
primacosa yang adanya bersifat mutlak. Karena sumber atas semua yang ada, tanpa
ada Brahman maka tidak mungkin semuanya ada.
Tattva juga dapat diartikan kebenaran yang sejati dan hakiki. Penggunaan kata
Tattva ini adalah istilah dalam filsafat yang didasarkan atas tujuan yang hendak
dicapai yakni kebenaran tertinggi dan hakiki. Dalam lontar-lontar di Bali, kata
Tattva lebih sering diguṇakan jika dibandingkan dengan istilah filsafat yang lainnya.
Dengan pengertian ini dapat diartikan bahwa Tattva adalah suatu istilah dalam filsafat
agama yang diartikan sebagai kebenaran sejati dan hakiki yang didasari perenungan
mendalam dan memerlukan pemikiran yang cemerlang agar sampai kepada hakikat
dan sifat kodrati. Ajaran Hindu kaya akan Tattva, dan secara khusus disebut Darśana.
Kata Darśana berasal dari urat kata dṛś yang artinya melihat, menjadi kata
Darśana (kata benda) yang artinya penglihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam
hubungan ini berarti pandangan tentang kebenaran (filsafat).Filsafat adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang
dijadikan landasan untuk hidup yang dicita-citakan. Demikian juga halnya dengan
Darśana yang berusaha mengungkap nilai-nilai kebenaran dengan bersumber pada
kitab suci Veda. Dalam agama Hindu terdapat sembilan cabang filsafat yang disebut
Nawa Darśana.
1
Pada masa Upaniṣad, Darśana dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu astika
(kelompok yang mengakui Veda sebagai ajaran tertinggi) dan nastika (kelompok yang
tidak mengakui Veda ajaran tertinggi ). Terdapat enam cabang filsafat yang mengakui
Veda yang disebut Ṣaḍ Darśana (Nyāyā, Sāṁkya, Yoga, Mīmāmsā, Vaisiseka, dan
Vedānta) dan tiga cabang filsafat yang menentang Veda yaitu Jaina, Carvaka dan
Buddha.
2
Rumusan Masalah
Siapakah yang mendirikan ajaran Vedanta Darsana dan
darimana sumber ajaran Vedanta Darsana?
Bagaimanakah sifat ajaran Vedanta Darsana?
Apa sajakah pokok-pokok ajaran Vedanta Darsana?
Tujuan
Melatih kemampuan siswa maupun siswi dalam mengerjakan
karya tulis ilmiah
Agar siswa maupun siswi lebih mendalami tentang Vedanta
Darsana
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Sifat Ajaran Vedanta Darsana
Sistem filsafat Vedānta juga disebut Uttara Mīmāmsā kata ‘Vedānta’ berarti akhir
dari Veda. Sumber ajarannya adalah kitab Upaniṣad. Oleh karena kitab Vedānta
bersumber pada kitab-kitab Upaniṣad, Brahma Sūtra dan Bhagavad Gītā, maka
sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme. Absolutisme maksudnya adalah aliran
yang meyakini bahwa Tuhan yang Maha Esa adalah mutlak dan tidak berpribadi
(impersonal God),sedangkan teisme mengajarkan Tuhan yang berpribadi (personal
God). Uttara-Mīmāmsā atau filsafa Vedānta dari Bādarāyaṇa atau Vyāsa ditempatkan
sebagai terakhir dari enam filsafat orthodox, tetapi sesungguhnya ia menempati
urutan pertama dalam kepustakaan Hindu.
5
Sūtra terakhir dari Bab IV adalah Anāvṛṭṭiḥ Śabdāt Anāvṛṭṭiḥ Śabdāt – tak ada
kembali bagi roh bebas, disebabkan kitab suci menyatakan tentang akibat itu. Masingmasing buku
tersebut memberikan ulasan isi filsafat itu berbeda-beda. Hal ini disebabkan
oleh sudut pandangannya yang berbeda. Walaupun objeknya sama, tentu hasilnya akan
berbeda. Sama halnya dengan orang buta yang meraba gajah dari sudut yang berbeda,
tentu hasilnya akan berbeda pula.
Demikian pula halnya dengan filsafa tentang dunia ini, ada yang memberikan ulasan
bahwa dunia ini maya (bayangan saja), dilain pihak menyebutkan dunia ini betul-betul
ada, bukan palsu sebab diciptakan oleh Tuhan dari diri-Nya sendiri. Karena perbedaan
pendapat ini dengan sendirinya menimbulkan suatu teka-teki, apakah dunia ini benarbenar ada
ataukah dunia ini betul-betul maya.
Hal ini menyebabkan timbulnya penafsiran yangg bermacam-macam pula. Akibat dari
penapsiran tersebut menghasilkan aliran-aliran filsafat Vedānta. Sūtra-sūtra atau Aphorisma
dari Vyāsa merupakan dasar dari filsafatVedānta dan telah dijelaskan oleh berbagai pengulas
yang berbeda-beda sehingga dari ulasan-ulasan itu muncul beberapa aliran filsafat, yaitu
1) Kevala Advaita dari Śrī Ṣaṇkarācārya
2) Viśiṣṭādvaita dari Śrī Rāmānujācārya
3) Dvaita dari Śrī Madhvācārya
4) Bhedābedhā dari Śrī Caitanya
5) Śuddha Advaita dari Śrī Vallabhācarya, dan
6) Siddhānta dari Śrī Meykāṇdar.
Masing-masing filsafat tersebut membicarakan tentang 3 masalah pokok yaitu,
Tuhan, alam, dan roh. Dvaita, Viśiṣṭādvaita, dan Advaita adalah tiga aliran utama
dari pemikiran metafisika, yang kesemuanya menapak jalan yang menuju kebenaran
terakhir, yaitu Para Brahman. Dvaita, Viśiṣṭādvaita, dan Advaita adalah tiga aliran
utama dari pemikiran metafisika, yang kesemuanya menapak jalan menuju kebenaran
terakhir, yaitu Para Brahman.
Mereka merupakan anak-anak tangga pada tangganya Yoga, yang sama sekali tidak
saling bertentangan, bahkan sebaliknya saling memuji satu sama lainnya. Tahapan
ini disusun secara selaras dalam rangakaian pengalaman spiritual berjenjang, yang
dimulai dengan Dvaita, Viśiṣṭādvaita, dan Advaita murni yang semuanya ini akhirnya
memuncak pada Advaita Vedāntis perwujudan dari yang mutlak atau Triguṇatītā
Ananta Brahman transcendental.
6
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan