Anda di halaman 1dari 5

WEDANTA

1. Pengertian Filsafat dan Wedanta

Pengertian filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan dan berbeda pula dengan pengertian
agama. Menurut Drs.S.P.Siagian, MPA. dalam bukunya Filsafat Administrasi mengatakan “kata
filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, dari kata “Philllos” berarti gemar, senang atau cinta, dan
kata “Sophia” artinya kebijaksanaan. Karena itu filsafat berarti cinta kepada kebijaksanan.
Seseorang menjadi bijaksana karena berusaha mendalami hakikat sesuatu. Dengan demikian
filsafat berarti berusaha mengetahui tentang sesuatu dengan sedalam-dalamnya, baik mengenai
hakekat adanya sesuatu fungsi, ciri-cirinya,kegunaannya, masalahnya serta pemecahan terhadap
masalah-masalah itu.

Adapun Wedanta berasal dari kata “weda” dan “anta”, yang artinya bagian terakhir
dari Weda (Uttara Mimamsa) atau selesainya Weda. Nama ini adalah nama yang diberikan pada
ajaran Upanisad. Upanisad sendiri tidak terorganisasi dan filsafat yang sistematis agar dapat
dianalisis dengan lebih mudah. Wedanta merupakan kesimpulan dan perluasan tafsir Upanisad.
Didirikan oleh Badarayana pada 500 M. Didalamnya dibicarakan apa yang disebut “Jnana
Marga”, yang artinya “Jalan Ilmu”. Hal itu menunjukkan bahwa Wedanta itu adalah suatu jalan
kelepasan dengan mempergunakan ilmu (pengetahuan).

Kitab Upanisad juga disebut dengan Wedanta, karena kitab-kitab ini mewujudkan bagian
akhir dari Weda yang bersifat menyimpulkan. Upanishad juga yang sudah dikenal sebagai
Wedanta, sudah ribuan tahun menjadi sumber inspirasi filsafat religius umat Hindiu. Kata
Upanishad memiliki arti duduk dekat guru atau mendekatkan diri kepada Tuhan. Upanishad
merupakan ajaran rahasia dari Weda yang oleh para guru dinamakan dengan istilah
Wedopanisad. Jumlah kitab Upanishad adalah 108 buah. Walaupun hanya diterima sebagai
“sruti”, yaitu sebagai bagian dari pewahyuan Weda, status Upanishad bukan menyampaikan
kearifan manusia, namun menyediakan kebenaran yang membebaskan. Ada tiga faktor yang
meyebabkan Upanishad disebut dengan Wedanta, yaitu:

1. Upanishad adalah hasil karya terakhir dari zaman Weda.


2. Pada zaman Weda program pelajaran yang disampaikan oleh para Resi kepada
sisyanya, Upanishad juga merupakan pelajaran terakhir. Para Brahmacari pada
mulanya diberikan peajaran Shamhita yakni koleksi syair-syair dari zaman Weda.
Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran Brahmana yaitu tata cara untuk
melaksanakan upacara keagamaan
3. Upanishad merupakan kumpulan syair-syair yang terakhir daripada zaman Weda.
 

Oleh karena itu Upanishad adalah inti dari Weda atau Wedanta.

Ada yang menyebutkan bahwa sebutan Wedanta itu diartikan sebagai suatu sistem
filsafat yang ajarannya didasarkan pada kitab Upanishad. Karena banyaknya kitab Upanishad
dan untuk memudahkan sistem pengajarannya, maka Badarayana mencoba menyusun secara
sistematis pengajaran Upanishad dalam sebuah Sutra yang dinamakan Wedanta Sutra. Kitab ini
terbagi atas empat bab yang setiap babnya memuat hal – hal sebagai berikut :

1. Menyatakan bahwa Brahman adalah realitas yang tertinggi dan semua ayat
Weda mengandung Brahman di dalamya.
2. Menyatakan bahwa semua ajaran yang tidak sesuai dengan Weda tidak akan
dapat dipertahankan.
3. Membicarakan syarat – syarat untuk menyatukan diri dengan Brahman.
4. Membicarakan pahala dari seseorang yang telah mendapatkan pengetahuan
tentang Brahman atau Brahma Widhya.

Kitab Brahma Sutra (Wedanta Sutra), Upanisad dan Bhagawadgita, ketiga kitab tersebut
menjadi dasar filsafat Wedanta.

2. Pokok-pokok Ajaran Wedanta

Ajaran Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan yang
kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Weda, yaitu Upanishad. Kata Vedanta berakar kata dari
Vedasya dan Antah yang berarti akhir dari Weda. Sumber ajaran ini adalah kitab Vedantasutra
atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra (Aphorisme yang berhubungan degan
Brahman). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa,
atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwipayana.

Brahma Sutra terdiri dari 550 aphorisme dan ringkasan dari filsafat dasar dari Upanishad
dalam empat treatise (Adhyaya). Dengan adanya pandangan dari para cendikiawan, dalam
Brahma Sutra merefleksikan filsafat Chandogya Upanisad lebih dari Upanisad yang lain.
Aphorisme dalam Brahma Sutra sangatlah pendek dan beberapa diantaranya hanya terdiri dari
satu atau dua kata. Aphorisme ini tidak dapat diketahui artinya tanpa pembahasan. Komentar
tradisional yang mengandung dasar dari berbagai sistem filsafat, yang beberapa diantaranya
memberikan interpretasi diametris yang berlawanan dari sutra kecil yang sama.
Ada tiga sekolah utama filsafat Wedanta yang berbeda satu sama lain dalam cara
memandang hubungan antar pribadi, hal-hal dan realitas tertinggi (Brahman).  Untuk memenuhi
sebagai pendiri aliran Vedanta dengan julukan “master” (acarya), seorang pemimpin religius
harus menulis komentar terhadap teks-teks utama Upanisad, Bhagavad-ghita, dan Vedanta
Sutra. Seperti yang telah disebutkan diatas, ada 3 sekolah utama filsafat Wedanta yang masing-
masingnya memiliki tokoh dan pendapat yang berbeda. Perbedaan dasar dari sistem ini adalah
kepercayaan mereka untuk pertain dengan hubungan inter antara Brahman, dunia, dan atman.

a. Adwaita Wedanta

Pemikiran Adwaita didasarkan pada interpretasi Wedanta yang dibuat oleh


Adi Sankaracarya seorang Rsi dan juga seorang cendekiawan terkemuka, yang sering disebut
dengan seorang ahli metafisika Hindu yang jenius. Beliau hidup kira-kira 788-820 SM yang
terlahir dalam keluarga Brahmana di kota Coshin, India Selatan. Saat ia berumur delaan tahun, ia
sudah menguasai semua kitab Hindu. Ia menjadi seorang yang religius, guru spiritual juga
pereformasi dan pendiri dari empat Monasteri di India, diantaranya di Badrinatha di Himalaya, di
Dwarika di Pantai Barat,di Puri di Pantai Timur, dan yang terakhir di Sringeri di daerah Mysore.
Biara ini sangat terkenal dan merupakan pusat pembelajaran dan tempat suci di India.

Adwaita adalah sistem nondualistis. Menurut Sankara, Atman sama dengan Brahman,


yakni esensi subjektivitas yang bersatu dengan esensi dunia. Dunia seluruhnya tergantung pada
Brahman, tetapi Brahman tidak tergantung pada dunia. Brahman adalah dasar seluruh
pengalaman, ia tidak sama dengan dunia, tidak berbeda dengan dunia, tidak empiris, tidak
objektif, bukan tidak ada, sangat berbeda dari yang lain. Moksa atau pembebasan diri dicapai
dengan praktek devosi dan mewudjudkan nilai-nilai etis. Ini dicapai selama orang hidup.
Menurut Adwaita Wedanta, semua makhluk baik yang hidup maupun yang tidak hidup tiada lain
adalah Brahman. Brahman adalah kenyataan mutlak dan tidak ada kenyataan yan lain selain
Brahman. Dalam kata-katanya Sankaracarya mengatakan:

“Brahman satyam jagan mithya, jivo Brahmaiva naparah”

“Brahman sendiri adalah kebenaran, dalam dunia yang tidak nyata ini. Atman (Jiwa
individu) adalah hanya Brahman dan bukan yang lain”.

b. Wishistadwaita

Ramanujacarya (1055-1137) adalah tokoh utama yang menguraikan pemikiran filsafat


Wedanta. Ia terlahir dari keluarga Brahmana di Bhutapuri di India Selatan. Ia adalah orang suci
dan seorang cendekiawan dan mengajarkan pencerahan suci di Srirangam dekat dengan
Tiruchirappali saat ini.

 Wishistadwaita menekankan perbedaan dalam non dualisme Sankara. Dunia Diri,


Brahman itu riil, tapi dunia dan diri tergantung pada Brahman. Diri memiliki eksistensi
abadi, dunia atau materi diri dan Brahman membentuk satu kesatuan, tetapi diri dan dunia hanya
sebagai tubuh Brahman. Diluar Brahman tidak ada apa-apa. Itu sebabnya Ramanuja disebut
nondualisme dengan perbedaan yakni Brahman memiliki dua bentuk, diri dan materi.setinggi
apapun manusia merealisasikan diri, Brahman masih lebih tinggi. Manusia harus selalu
menghormati Brahman, itulah sebabnya Ramanuja menekankan aspek kebaktian pada Brahman.

Jadi, pandangan Ramanuja ialah bahwa Brahman adalah kesatuan organis yang dibentuk
oleh identitas (jati diri) yang terdiri dari bagian-bagian. Ia bukan sesuatu yang abstrak tetapi
konkrit dengan dibentuk oleh objek-objek yang bermacam-macam dari kesadaran dan serempak
juga kesadaran itu sendiri. Kesatuan organis inilah yang disebut Ramanuja Brahman, atau Dewa
(Ishvara).

c. Dwaita

Pemikiran dari filsafat ini dikembangkan oleh Madhvacarya (1199-1278) SM, yang lahir


di Udipi dekat dengan Managlore di pantai Barat India. Ia adalah vaisnava (pemuja Dewa
Wisnu) seorang yang suci dan pereformasi keagamaan. Ia mengembangkan sistem filsafat yang
mengkombinasikan dualisme dengan theisme da dikenal dengan nama Dwaita,“filsafat dari
keduanya”.

Menurut Madhva, pokok-pokok ajaran filsafatnya adalah perbedaan (beda). Sistem ini
disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini adalah nyata bukan maya. Akhirnya
sistem ini juga bersifat theistis, karena menerima adanya Tuhan yang pribadi sebagai satu-
satunya kenyataan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madhva mengakui/percaya
dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam. Dasar ajaran Madhva adalah
mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semuanya mempunyai ciri dan
sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Menurutnya, di dunia ini ada lima
macam perbedaan-perbedaan, yaitu:

1. Perbedaan antara Tuhan dengan jwa,


2. Perbedaan antara jiwa dengan jiwa yang lainnya,
3. Perbedaan antara Tuhan dengan benda,
4. Perbedaan antara jiwa dengan benda,
5. Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang lainnya.

Semua itu berbeda secara mutlak, sekalipun perbedaan itu tidak berarti bahwa semuanya
tidak saling bergantungan. Penemuan besar pada masa Upanishad adalah apa yang biasa disebut
sebagai sintesis sebagai Atman-Brahman, yakni identifikasi jiwa individual (Atman) dengan
dasar semesta alam (Brahman).

Wedanta memiliki kaitan erat dengan Mimamsa, adapun kaitan Wedanta dengan
Mimamsa dapat dilihat dari pengertian Mimamsa yang menyebutkan bahwa bagian pertama dari
filasfat ini disebut Purwa-Mimamsa (Mimamsa), sedangkan bagian kedua dari filsafat Mimamsa
disebut Uttara-Mimamsa (Vedanta). Mimamsa dan vedanta juga seringkali dijadikan satu
pasangan. Sistem Mimamsa-Vedanta adalah dua bagian dari satu filsafat yang mewakili unsur
paling ortodoks dari tradisi Weda. Kedua sistem ini menjelaskan perkembangan, tujuan, serta
ruang lingkup teks Weda. Filsafat Mimamsa yang akan dibahas adalah Purwa Mimamsa, yang
umum disebut dengan Mimamsa saja. Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis
terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab
Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara
Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Vedanta.Purwa Mimamsa sering
disebut Karma Mimamsa, Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.

Anda mungkin juga menyukai