Anda di halaman 1dari 15

Astangga Yoga

11.46  Kumpulan Makalah PA 3-A  No comments

Pendahuluan
Yoga merupakan salah satu jalan untuk memperoleh penyatuan dengan Tuhan melalui latihan
yang sangat keras dan teratur, sehingga apa yang menjadi tujuan kita tercapai. Yoga bukan
merupakan tradisi yang mati, yang kemudian stagnan tanpa perubahan, melainkan selalu
berubah dan dieksplorasi oleh para pelakunya, sehingga senantiasa menghasilkan perubahan
yang dianggap lebih efektif. Ada banyak aliran dalam yoga, karena yoga bukan merupakan
satu kesatuan utuh. Melainkan pendapat dan latihan setiap alirannya berbeda dan tidak dapat
didamaikan. Jadi, ketika kita berbicara tentang yoga, artinya kita membicarakan tentang
banyak aliran dalam yoga. Satu aliran yang paling senior, terkenal dan berpengaruh adalah
aliran Patanjali yang dikenal dengan Raja Yoga. Dan aliran ini yang akan kami bicarakan di
sini, karena jika harus menguraikan perdebatan berbagai aliran, akan sangat menyita waktu.
Patanjali, dalam Kita Yoga Sutras, memuat penjelasan tentang delapan aspek yoga yang
dikenal dengan ashtanga-yoga. Kedelapan ruas ini, seringkali digambarkan sebagai tangga
yang membimbing kehiudpan biasa menuju realisasi Diri dan melampaui personalitas ego.

Delapan jalan menuju ‘penyatuan’ Asthanga-yoga dan Etika dalam ajaran Yoga
Tujuan Yoga ialah untuk mengembalikan Citta1[1] itu dalam keadaannya yang semula, yang
murni tanpa perubahan, sehingga dengan demikian purusa2[2] itu dibebaskan dari
kesengsaraannya.3[3] Sementara menurut Matius Ali, Tujuan Yoga Patanjali adalah mencapai
kebebasan melalui konsentrasi dan Samadhi. Istilah teknis untuk pencapaian ini adalah
‘pembebasan’ (kaivalya). 4[4] Menurut Sri Aurobindo, Raja-Yoga bertujuan untuk mencapai

1[1] Citta adalah konsespsi yang paling penting dalam sistem yoga. Dianggap sebagai hasil pertama
dari perkembangan Prakrti (Alam dunia), yang meliputi Ahamkara dan Manas. Sehingga yang
dimaksud dengan ialah gabungan buddhi, ahamkara, dan manas. Di dalam citta ini, purusa (Jenis
kebenaran tertinggi/ roh), lihat Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal. 51: Adiputra, I Gede Rudia.
Tattwa Darsana, hal.59

2[2]Purusa adalah

3[3] Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal, 51

4[4] Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, hal. 59
pembebasan dan penyempurnaan diri mental, yakni pengendalian seluruh perangkat
pencerapan, emosi, pikiran dan kesadaran. 5[5]
Mahārși Patañjalidalam kitab Yoga Sutrasmenyusun ‘8 ruas yoga’ (Asthanga-yoga) sebagai
sebuah metode spiritualitas praktis dalam Yoga Sutras (2.29).6[6]
1.       Disiplin Moral (Yama)
2.       Disliplin Diri (Niyama)
3.       Postur Tubuh (asana)
4.       Pengendalian Napas (pranayama)
5.       Pengendalian Indera (Pratyahara)
6.       Konsentrasi (Dharana)
7.       Meditasi (Dhyana)
8.       Ekstasis (Samadhi)
Agar purusa itu bisa dilepaskan dari ikatan prakrti7[7], orang harus dapat menindas wrtti8[8]
itu, yaitu dengan meniadakan klesa-klesa. Sebab klesa itu mewujudkan satu fungsi yang
menjadi dasar pembentukan karma, yang menimbulkan awidya atau ketidak-tahuan. Di dalam
kehidupan kejiwaan manusia, terdapat suatu perputaran yang tidak putus, yaitu perputaran
wrtti, kecenderungan-kecenderungan, klesa-klesa, awidya dan seterusnya. Tujuan Yoga ialah
untuk mematahkan perputaran yang tidak putus ini, dengan perlahan-lahan meniadakan
klesa-klesa dan memberhentikan wrtti. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui usaha
(abhyasa) yang terus-menerus dan keadaan tanpa nafsu (wairagya). Manusia dapat
melepaskan diri dari nafsu melalui usaha dan latihan yang panjang sehingga dapat
membedakan antara pribadi dengan yang bukan pribadi, melalui asthanga-yoga.9[9]
Harun Hadiwijono menyusun asthanga-yoga dalam skema sistematis seperti berikut:

5[5] Ali, Matius. Ibid. lihat juga: Aurobindo, Sri. The Synthesis of Yoga, hal 30-31

6[6] Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, hal. 63, lihat juga
Grimes, J. A Concise Dictionary of Indian Philosophy, hal. 64; Yogendra, J & Vaz, J. Clement (eds.),
Yoga Today, tanpa hal., sesudah daftar isi.

7[7]Prakrti adalah

8[8]Wrrti adalah

9[9] Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal. 51


Delapan aspek asthanga-yoga ini dapat dibagi menjadi dua bagian yang besar, yaitu:
pertama,mulai dari yama sampai pratyahara disebut pertolongan-pertolongan yang tak
langsung atau yang dari luar (bahiranga); dan mulai dari dharana sampai Samadhi, yang
disebut pertolongan-pertolongan yang langsung dari dalam (antaranga).10[10]
Kedelapan aspek yoga tersebut dapat dilihat dari dua perspektif, yakni: pertama, sebagai
unifikasi kesadaran yang tumbuh; kedua, sebagai pemurnian diri yang progresif. Kedua sudut
pandang ini tercermin dalam Yoga-Sutras. 11[11]
1.       Disiplin Moral atau Pengekangan Diri (Yama)
Definisi Yama yang dijelaskan dalam Yoga Sutras (2.30): “Yama teridiri atas tanpa
kekerasan, kebenaran, tidak mencuri, selibat dan ketidak-tamakan (ahimsa satyasteya
bramacaryaparigraha yamah). Seperti juga semua spiritualitas otentik, fondasi yoga
dibangun atas sebuah etika universal. Karenanya, ruas pertama yoga Patanjali bukanlah

10[10] Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal. 52

11[11] Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, hal. 64
postur tubuh atau meditasi, melainkan disiplin moral (yama).12[12] Kelima bagian Yama
adalah:
a.       Tanpa kekerasan (ahimsa)
Dari semua kewajiban moral, ‘tidak menyakiti’ adalah yang paling utama. Kata ahimsa
seringkali diterjemahkan sebagai tidak membunuh, namun ini tidak memberikan arti yang
penuh dari kata ahimsa. Dalam Yoga Sutras (2.35), ahimsa didefinisikan sebagai:
“Jika ahimsa sudah dilaksanakan secara mantap, maka semua kebencian akan terhenti.” 13[13]
Sebenarnya ahimsa adalah ‘tanpa kekerasan’ baik di dalam pikiran maupun dalam tindakan. 14
[14] Ia menjadi dasar dari disiplin yang lain. Keinginan untuk tidak menyakiti yang lain
bersumber dari dorongan kea rah unifikasi dan tansendensi sang ego. 15[15]
b.      Kebenaran (satya)
‘Kebenaran’ (satya) seringkali ditinggalkan dalam literatur etika dan yoga. Karena bagi orang
yang sudah menjalankan kebenaran, kejujuran, semua tindakan serta akibatnya akan tunduk
padanya. Dalam Yoga Sutras dikatakan bahwa:
“Bagi orang yang sudah menjalankan kebenaran dan kejujuran, semua tindakan serta akibatnya ada di bawah
kendali dirinya.”16[16]
Satya yaitu jujur baik dalam perkataan maupun dalam pikiran. 17[17]
c.       Tidak Mencuri (Asteya)
‘Tidak mencuri’ (asteya) terkait erat dengan ahimsa, karena pemilikan benda berharga secara
tidak benar, melanggar hak orang yang ia curi. Menurut Yoga Sutras, asteya dapat
didefinisikan:
“Jika asteya sudah ditanamkan, maka semua kekayaan akan datang.” 18[18]

d.      Kesucian-Kemurnian atau mengendalikan nafsu jasmani dan nafsu asmara


(brahmacarya)

12[12] Ali, Matius. Ibid, hal. 65

13[13] Ali, Matius. Ibid, hal.65; Satchidananda, S.Swami. The Yoga Sutras of Patanjali, hal. 130

14[14] Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu, hal. 165

15[15] Ali, Matius. Ibid, hal. 65; Feuerstein, G. The Yoga Tradition, hal. 325

16[16]

17[17]Adiputra, I GedeRudiadkk.TattwaDarsana. Hal. 62

18[18]Ali, Matius. Ibid, hal. 66


‘Selibat’ (brahmacarya) secara harfiah berarti ‘tingkah laku Brahmana’ merupakan hal
penting yang inti dalam kebanyakan tradisi spiritual dunia, walaaupun ditafsirkan secara
berbeda. Dalam Yoga Sutras (2.38) Brahmacarya dijelaskan sebagai berikut:
“Dengan menjalankan brahmacarya, orang mendapatkan kekuatan.” 19[19]
Dalam sistem Yoga, selibat didefinisikan dalam istilah asketisme yakni menahan diri dari
aktivitas seksual, baik dalam perbuatan maupun dalam pikiran. Secara umum, rangsangan
seksual dianggap menghambat dorongan ke arah pencerahan.
e.      Ketidaktamakan (Aparigraha)
‘Ketidaktamakan’ (aparigraha) didefinisikan sebagai ‘tidak menerima hadiah’, karena hadiah
tersebut menimbulkan keterikatan serta rasa takut akan kehilangan. Jadi, para yogi dianjurkan
untuk menumbuhkan kesederhanaan dengan sengaja. Terlalu banyak kepemilikan akan
mengganggu pikiran. Penyangkalan diri (renunciation) merupakan sebuah aspek integral dari
kehidupan seorang Yogi. Yoga Sutras (2.39) memberikan definisi aparigraha sebagai berikut:
“jika aparigraha sudah tertanam, maka akan datang sebuah iluminasi menyeluruh tentang bagaimana
dan mengapa seseorang dilahirkan.” 20[20]

Jika diikuasai sepenuhnya, maka masing-masing dari kelima keutamaan dapat


membeirkan kekuatan paranormal (siddhi). Sebagai contoh, penguasaan ahimsa akan
menciptakan aura kedamaian di sekitar diri sang yogi yang dapat menetralisir semua rasa
permusuhan serta penguasaan kebencian.
Melalui kebenaran (satya) seorang praktisi yoga mendapatkan kekuatan dengan selalu
mewujudkan kata-katanya. Penguasaan keutamaan ‘tidak mencuri’ (asteya) mendatangkan
segala macam harta tanpa usaha yang keras, sedangkan ‘ketidaktamakan’ (aparigraha
merupakan kunci untuk memahami kelahiran mereka sekarang, masa depan dan sebelumnya.
21
[21]
2.       Disiplin Diri (Niyama)
Ruas kedua Raja-yoga Patanjali, yakni: ‘disliplin diri’ (niyama), bertujuan untuk
mengendalikan energi psiko-fisis yang ditimbulkan dari pengendalian diri kehidupan batin
para yogi. Jika kelima disiplin moral (yama) bertujuan mengatur latihan displin yang teratru
sebagai unsur konstitutif keselarasan dengan dengan manusia lain, maka kelima aturan

19[19]Ali, Matius. Ibid, hal. 66

20[20]Ali, Matius. Ibid, hal. 67

21[21]Ali, Matius. Ibid, hal 67


‘disiplin diri’ (niyama) bertujuan menyelaraskan hubungan kelima disiplin diri dengan
kehidupan secara menyeluruh dan dengan Realitas Transendental.22[22]
Dalam Yoga-Sutras (2.32) Niyama dijelaskan sebagai:
“Niyama terdiri atas kemurnian diri, berpuas diri, askese, studi teks spiritual dan penyerahan
diri pada Tuhan.”
Kelima latihan niyama adalah:
1.       Kesucian atau kemurnian (shauca)
‘Kemurnian diri’ (sauca) merupakan kata kunci dalam spiritualitas yoga. Karenanya, tidaklah
mengherankan bahwa kemurnian diri termasuk dalam daftar pertama dari kelima disiplin diri.
Dalam Yoga Sutras (2.40) dijelaskan:
“Melalui pemurnian diri timbul kemuakan terhadap tubuh sendiri dan terhadap sentuhan dari
tubuh yang lain.”23[23]
2.       Berpuas Diri (Samtosha)
Berpuas diri artinya tidak menginginkan lebih dari apa yang sudah dimiliki. Karena itu,
berpuas diri merupakan keutamaan yang bertentangan dengan mentalitas konsumerisme
modern yang didorong oleh kebutuhan untuk selalu mendapatkan lebih dari mengisi
kekosongan batin. Berpuas diri adalah ungkapan dari penyangkalan diri, yakni pengorbanan
secara sukarela akan apa yang menurut takdir akan diambil dari kita pada saat kematian.
Samtosha membuat para yogi mengalami keberhasilan atau kegagalan, susah atau senang
dengan ketenangan hati. 24[24] Dalam Yoga Sutras (2.42) samtosha dijelaskan sebagai:
“Dengan berpuas diri, kegembiraan tertinggi dicapai”25[25]
Di sini, kita harus mengerti perbedaan antara ‘berpuas diri’ (contentment) dengan ‘kepuasan
diri’ (satisfaction). Berpuas diri artinya menjadi diri kita seperti apa adanya, tanpa mencari
kebahagiaan dari benda-benda di luar. Jika sesuatu datang, kita biarkan ia datang. Jika tidak,
ya tidak masalah. Berpuas diri artinya bersikap apa adanya, yakni tidak menyukai dan juga
tidak membenci.
3.       Askese (Tapas)
Askese merupakan unsur atau komponen ketiga dari niyama dan mencakup latihan, seperti:
berdiri atau duduk diam dalam waktu lama; menahan kelaparan, kehausan serta panas dan

22[22]Ali, Mukti. Filsafat India: SebuahPengantarHinduismedanBuddhisme, hal. 68

23[23]Ali, Mukti. Ibid, hal. 69

24[24]Ali, Mukti. Ibid, hal. 70; Feuerstein, G. The Yoga Tradition, hal. 327

25[25]Satchidananda, S. Swami. The Yoga Sutras of Patanjali, hal. 146


dingin, berdiam diri, serta berpuasa. Kata tapas berarti ‘berkilau’, ‘panas’ dan merujuk pada
energi psikosomatis yang dihasilkan dari latihan asketisme yang seringkali dialami sebagai
rasa panas. Para yogi menggunakan energi ini utuk memanaskan kawah energi tubuh dan
pikiran mereka, sampai menghasilkan kesadaran yang lebih luhur.
Dalam Yoga Sutras (3.46) tapas dijelaskan:
“Sebagai hasil latihan samyama akan datang, pencapaian anima serta kekuatan lain, seperti
kesempurnaan tubuh, menjadi kebal terhadap umur tertentu” (Y.S. 3.46)
Askese tidak boleh dikacaukan dengan penyiksaan diri. Dalam Bhagavad-Gita (17.14-19),
dibedakan tiga macam asketisme, tergantung pada kecenderungan dari ketiga kualitas alam
(gunas):
“Penyembahan pada dewa-dewa, terhadap sulinggih, para guru dan orang bijaksan, kesucian,
kejujuran, brahmachari, ahimsa, hal-hal ini disebut ujian (tapas) atas tubuh”. (Gita. 17.14)
“Ucapan kata-kata yang tidak menyakitkan hati, bebas dari hinaan, yang mengandung
kebenaran, menyenangkan dan bermanfaat dan pengucapan Weda dengan teratur, inilah yang
disebut ujian (tapas) dari ucapan” (Gita. 17.15)
“Ketenangan pikiran, kelemah-lembutan, baik hati, pendiam, penguasaan diri, kesucian hati,
ini disebut pertapaan pikiran” (Gita. 17.16)
“Ketiga macam pertapaan yang dilakukan dengan kepercayaan yang teguh oleh mereka yang
pikirannya kuat untuk tidak menghendaki buahnya, dikatakan sattwika, baik” (Gita. 17.17)
“Pertapaan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kehormatan, dan hanya sebagai
pameran belaka, dikatakan Rajasika, dan adalah goyah dan tidak panjang umurnya” (Gita.
17.18)
“Pertapaan yang dilakukan dengan kebodohan, keras kepala dengan jalan penyiksaan diri dan
untuk menyakiti orang lain adalah Tamasika, bodoh” (Gita. 17.19)
4.       Studi Teks Spiritual (Svadhyaya)
‘Studi teks spiritual’ merupakan komponen keempat dari niyama yang merupakan latihan
yoga yang penting. Kata svadhyayayang dibangun dari kata sva yang berarti ‘sendiri’ dan
adhyaya, artinya ‘masuk ke dalam’. Kata ‘studi’ merujuk pada pencarian makna tersembunyi
dari teks kitab suci. Tujuan svadhyaya bukanlah sebuah pembelajaran intelektual, melainkan
penerapan ke dalam kearifan kuno. Svadhyaya merupakan sebuah renungan meditatif
mengenai kebenaran yang dibukakan oleh para Rishi dan arif bijaksana yang telah berjalan ke
wilayah di mana pikiran tidak dapat mengikuti serta hanya hati yang menerima. Dalam Yoga
Sutras (2.44) dikatakan bahwa:
“Dengan mempelajari teks-teks spiritual, akan terjadi penyatuan dengan dewa-dewi
yang disembah”. 26[26]
5.       Penyerahan diri pada Tuhan (Ishwara-pranidhana)
Unsur terakhir dari Niyama adalah Ishwara-pranidhana, artinya penyerahan diri secara
menyeluruh kepada Tuhan (Ishwara).27[27] Dalam Yoga Sutras dijlaskan bahwa:
“ Melalui penyerahan diri secara menyeluruh, samadhi dicapai”
Ishwara adalah salah satu dari Diri transendental yang satu dan banyak (purusha). Menurut
definisi yang diberikan Patanjali, status Ishwara yang luar basa diantara banyak diri
disebabkan oleh fakta bahwa Ia tidak akan pernah tunduk pada ilusi yang menghilangkan
kemahatahuan serta kemahahadiran-NYa. DIri bebas yang lain, pernah sekali waktu
mengalami kehilangan kemahatahuan dan kemaha-hadiran-Nya ketika mereka menganggap
diri mereka sebagai sebuah personalitas egois partikular atau tubuh-pikiran terbatas. Secara
inheren, semua diri adalah bebas, namun hanya Ishwara yang sadar akan kebenaran ini.

3.       Postur Tubuh (asana)


Secara harfiah, kata asana berarti ‘dudukan’. Kedua komponen dari ‘delapan ruas yoga’
(ashtanga yoga) Patanjali, yakni yama dan niyama, berfungsi mengatur kehidupan sosial serta
personal para praktisi yoga. Yama dan niyama adalah sebuah usaha untuk mengurangi
terjadinya keinginan serta tindakan tidak baik, sehingga tidak menambah timbunan karma
buruk yang baru dalam kehidupan ini.
Tujuan dari latihan yama dan niyama adalah untuk menghilangkan semua karma, yaitu semua
penyebab subliminal yang tertanam di dalam jiwa (psyche). Untuk mewujudkan sebuah
transformasi kesadaran, seorang yogi harus menciptakan kondisi lingkungan yang benar, baik
di dalam maupun di luar diri. Yama-niyama merupakan langkah awal untuk untuk
menciptakan kondisi lingkungan yang benar, sedangkan latihan berbagai postur tubuh
(asanas) adalah sebuah usaha untuk mengangkat tubuh ke tahap berikutnya. Secara esensial,
asanas adalah sebuah latihan untuk memurnikan dan mendiamkan tubuh fisik. Dalam Yoga
Sutras (2.46), dikatakan bahwa:
“Postur tubuh haruslah dalam kondisi stabil dan enak”.

26[26]Ali, Mukti. Filsafat India: SebuahPengantarHinduismedanBuddhisme, hal. 72

27[27]Ali, MUkti. Ibid, hal. 72


Dengan melipat anggota tubuhnya, para yogi segera mencapai perubahan suasana dan
ketenangan dalam batin. Ketenangan ini membantu untuk mempermudah proses konsentrasi
pikiran.
Sekelompok asanas membentuk semacam ‘simbol’ (mudras) yang memiliki makna simbolis.
Bentuk mudras ini memilki potensi kuat untuk mengubah kondisi sang yogi, karena
mempengaruhi sistem kerja kelenjar endokrin tubuh. Namun melalui latihan yang teratur,
praktisi yoga akan dapat menemukan perubahan yang terjadi sebagai akibat dari asana
tertentu. Menurut Patanjali, latihan asanas yang teratur dan benarakan menghilangkan
sensitifitas terhadap dualisme ganda, seperti: panas dan dingin, terang dan gelap, hening dan
ribut.

4.       Pengendalian Napas (pranayama)


Kata prana berarti ‘daya hidup’ (life force), ‘vitalitas’. Kata prana seringkali diterjemahkan
sebagai ‘napas’ (breath) dan ‘hidup’ (life), padahal sebenarnya napas merupakan sebuah
manifestasi luar dari prana, yakni daya hidpu yang menembus serta menopang semua
kehidupan. Pranayama merupakan komponen ke-empat dari ‘delapan ruas yoga’ Patanjali.
‘Seluruh petualangan yoga berpuasa pada pengolahan prana’. Ini menunjukkan pentingnya
pranayama dalam proses yoga.
Teknik pranayama adalah sebuah cara sistematis yang dikembangkan oleh para yogi untuk
untuk mempengaruhi medan bioenergi tubuh. Bahkan latihan disiplin moral (yama),
pengendalian diri (niyama), pengendalian indera (pratyahara) dan konsentrasi mental
(dharana), juga merupakan bentuk manipulasi daya prana. Dalam budaya lain, ide tentang
bioenergi prana dikenal sebagai chi di Tiongkok dan mana di dalam tradisi Polinesia. Para
peneliti modern menyebutnya sebagai energi bioplasma. Para praktisi yoga mengetahui
bahwa ada hubungan antara prana, napas, emosi dan pikiran.
Dalam Yoga Sutras (2.49) dikatakan bahwa:
“Setelah menguasai asanas, kita harus melatih keluar masuknya napas”. 28[28]

5.       Pengendalian Indera (Pratyahara)


Latihan asana dan pranayama menghasilkan sebuah dsensitifikasi yang akan menghentikan
ransangan dari luar diri sang yogi. Kemudian secara berangsur sang yogi dapat hidup dalam
lingkungan batin pikirannya sendiri. Jika kesadaran sudah bisa secara berangsur sang yogi
dapat hidup dalam lingkungan batin pikirannya sendiri. Jika kesadaran sudah bisa secara
28[28] Ali, Mukti. Filsafat India: Sebuah Pengantar HInduisme dan Buddhisme, hal.79
efektif membebaskan diri dari pengaruh lingkungan luar, maka kondisi tersebut pratyahara.
Dalam Mahabharata (12.194.58) dikatakan tentang pratyahara:
“Sang Diri (self) tidak dapat ditangkap dengan indera yang kacau, terpecah-belah dan
terpencar dan sulit untuk dikenalikan bagi orang yang belum siap” (Mahabharata 12.194.58)
Dan dalam Yoga Sutras (2.54), pengendalian indera-indera (pratyahara) dijelaskan sebagai:
“JIka indera-indera menarik diri dari objek (benda-benda) dan meniru seolah-olah memiliki
kodrat materi pikiran, maka inilah yang disebut pratyahara”. 29[29]

6.       Konsentrasi (Dharana)


‘Konsentrasi’ merupakan proses lanjutan dari pratyahara. Konsentrasi adalah komponen
keenam dari ashtanga-yoga Patanjali. Konsentrasi dapat didefinisikan sebagai ‘memfokuskan
perhatian pada satu tempat tertentu’ (desha). Tempat (locus) tersebut dapat merupakan bagian
tertentu dari tubuh, serpeti cakra atau objek eksternal yang diinternalisasikan seperti imaji
seorang dewa-dewi. Istilah yang dipakai oleh Patanjali untuk ‘konsentrasi’ adalah dharana.
Dalam Yoga Sutras (2.53), dharana dijelaskan sebagai berikut:
“Dan pikiran sudah siap untuk konsentrasi”.
“Dharana adalah memfokuskan pikiran pada satu tempat, objek atau ide”. (Y.S. 3.1)
7.       Meditasi (Dhyana)
Konsentrasi yang diperpanjang serta mendalam, secara alami akan membimbing seseorang ke
kondisi yang disebut ‘meditasi’ (dhyana). Dalam meditasi, objek atau locus yang
diinternalisasikan mengisi seluruh ruang kesadaran. Jika dalam ‘konsentrasi’ mekanisme
utama adalah ‘keterfokusan perhatian’, maka dalam ‘meditasi’ mekanisme yang mendasari
proses ini adalah ‘kemengaliran yang tunggal’ (ekatanata). 30[30]
Kondisi meditasi tidak menghilangkan kejernihan pikiran, malah sebaliknya ia memperkuat
ke-sadar-an, walaupun memang tidak ada atau terdapat sedikit sekali kesadaran akan
lingkungan eksternal. Tujuan awal meditasi dalam yoga adalah untuk menahan, menekan,
serta menghentikan modifikasi pikiran (cittas-vritti-nirodhah). Aktivitas mental tersebut
meliputi lima kategori:
1.       Pramana : pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi, penyimpulan atau bukti yang
bisa dipertanggungjawabkan, seperti teks kitab suci.
2.       Viparyaya : Kesalahpahaman, pengertian yang keliru.

29[29] Ali, Mukti. Ibid, hal.79

30[30] Ali, Mukti. Ibid, hal.82


3.       Vikalpa : pengetahuan konseptual, imajinasi.
4.       Nidra : tidur
5.       Smriti : Ingatan.
Dalam kondisi identifikasi dengan Diri (self), unsur pengaktif yang menyebabkan
eksternalisasi kesadaran dicabut. Ingatan memiliki dua aspek, yakni aspek kasar dan aspek
halus. Aspek kasar dari ingatan dapat dilumpuhkan melalui meditasi, sedangkan aspek
halusnya dapat dinetralkan melalui samadhi suprasadar. Ada 3 tahap proses ‘penghentian’
(nirodha), yakni:
a.       Vritti-nidrodha : penghentian kelima kategori aktivitas mental kasar dalam meditasi.
b.      Pratyaya-nirodha : penghentian ide (pratyaya) yang muncul dalam berbagai jenis
samadhi sadar (samprajnata-samadhi). Para yogi harus dapat mengatasi pikiran yang mucnul
secara spontan dalam kondisi savitarka-samapatti31[31]. Para yogi juga harus mampu
melampaui rasa bahagia (ananda) dalam kondisi ananda-samapatti
c.       Samskara-nirodha : penghentian unsur pengaktif batin dalam kondisi samadhi suprasadar
(asamprajnata-samadhi). Dalam kondisi asmprajnata-samadhi, sang yogi melumpuhkan
ingatan batin dengan potensi laten (vasana), yang selalu menghasilkan aktivita spsikomental
baru.
Masalah penghancuran samskara dijelaskan dalam Yoga Sutras (1.50)
“Kesan (impresi) yang dihasilkan melalui samadhi akan menghapuskan semua kesan-
kesan lainnya.”32[32]

8.       Ekstasis (Samadhi)


Pada bagian konsentrasi dan meditasi, sudah dijelaskan bahwa konsentrasi (dharana)
mengarah pada meditasi (dhyana). Kemudian kita akan mleihat bahwa meditasi (dhyana)
mengarah pada penyatuan (samadhi). Kondisi samadhi dapat tercapai jika semua modifikasi
(vritti) dalam kesadaran bangun sudah dihentikan melalui latihan meditasi. Karena itu,
konsentrasi, meditasi dan penyatuan merupakan tiga fase dari satu proses yang
berkesinambungan (samyama). Yoga Sutras memberikan (3.3) memberikan definisi samadhi
sebagai:

31[31] Samapatti adalah pencapaian, kondisi manunggal dengan objek, saran dan subjek kesadaran
dalam meditasi; savitarka berarti suatu jenis penyatuan (Samadhi) dimana pikiran terkonsentrasi
pada objek dan menginganama serta kualitasnya.

32[32] Ali, Mukti. Ibid, hal. 83-84


“samadhi adalah kondisi meditasi yang sama, dimana hanya ada objek saja, seolah tidak ada
bentuknya”.33[33]
Samadhi adalah suatu kondisi puncak yang dicapai melalui sebuah proses disiplin mental
yang panjang dan sulit.

Etika Yoga
Secara umum, konsep etika dalam Yoga termasuk dalam latihan yama dan niyama, yaitu
disiplin moral dan disiplin diri. Aturan-aturan yang ada dalam yama dan niyama, juga
berfungsi sebagai kontrol sosial dalam mengatur moral manusia. Akan tetapi, dalam bukunya
Tattwa Darsana, I Gede Rudia menjelaskan bahwa etika dalam yoga adalah sebagai berikut.
Dalam samadhi, seorang Yogi memasuki ketenangan tertinggi yang tidak tersentuh oleh
suara-suara yang tak henti-hentinya, yang berasal dari luar dan pikiran kehilangan fungsinya,
di mana indera-indera terserap ke dalam pikiran. Apabila semua perubahan pikiran
terkendalikan, si pengamat atau Purusa, terhenti dalam dirinya sendiri dan di dalam Yoga-
Sutra Patanjali disebut sebagai Svarupa Avasthanam (kedudukan dalam diri seseorang yang
sesungguhnya).34[34]
Dalam filsafat Yoga, maka yoga berarti penghentian kegoncangan-kegoncangan pikiran. Ada
lima keadaan pikiran itu. Keadaaan pikiran itu ditentukan oleh intensitas sattwa, rajas dan
tamas. Kelima keadaaan pikiran itu adalah:
1.       Ksipta artinya tidak diam-diam
Dalam keadaan pikiran itu diombang-ambingkan oleh rajas dan tamas, dan ditarik-tarik oleh
objek indriya dan sarana-sarana untuk mencapaInya, pikiran melompat-lompat dari satu
objek ke objek yang lain tanpa terhenti pada satu objek. 35[35]
2.       Mudha artinya lamban dan malas
Ini idsebabkan oleh pengaruh tamas yang menguasai alam pikiran. Akibatnya orang yang
alam pikirannya demikian cenderung bodoh, senang tidur dan sebagainya.
3.       Wiksipta artinya bingung, kacau.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh rajas. Karena pengaruh ini , pikiran mempu mewujudkan
semua objek dan mengarahkannya pada kebajikan, pengetahuan, dan sebagainya. Ini

33[33] Ali, Mukti. Ibid, hal. 84

34[34]Maswinara, I Wayan.SistemFIlsafat Hindu, hal. 167

35[35]Adiputra, I GedeRudia, TattwaDarsana, hal 60.


merupakan tahap pemusatan pikiran pada suatu objek, namun sifatnya sementara, sebab akan
disusul lagi oleh kekuatan pikiran.
4.       Ekarga artinya terpusat.
Di sini, Citta terhapus dari cemarnya rajas sehingga sattva lah yang menguasai pikiran. Ini
merupakan awal pemusatan pikiran pada suatu objek yang memungkinkan ia mengetahui
alamnya yang sejati sebagai persiapan untuk menghentikan perubahan-perubahan pikiran.
5.       Niruddha artinya terkendali
Dalam tahap ini, berhentilah semua kegiatan pikiran, hanya ketenanganlah yang ada.
Ekagra dan Niruddha merupakan persiapan dan bantuan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu
kelepasan. Ekagra bila dapat berlangsung terus menerus, maka disebut samprajna-yoga atau
meditasi yang dalam, yang padanya ada perenungan kesadaran akan suatu objek yang terang.
Tingkatan Niruddha juga disebut asaniprajnata-yoga, karena semua perubahan dan
kegoncangan pikiran terhenti, tiada satu pun diketahui oleh pikiran lagi. Dalam keadaan
demikian, tidak ada riak-riak gelombang kecil sekali pun dalam permukaan alam pikiran atau
citta itu. Inilah yang dinamakan orang samadhi yoga. 36[36]
Ada empat macam samparjnana-yoga menurut jenis objek renungannya. Keempat jenis itu
adalah:
1.       Sawitarka ialah apabila pikiran dipusatkan pada suatu objek benda kasar seperti arca dewa
atau dewi.
2.       Sawicara ialah bila pikiran dipusatkan pada objek yang halus yang tidak nyata seperti
tanmantra.
3.       Sananda, ialah bila pikiran dipusatkan pada suatu objek yang halus seperti rasa indriya.
4.       Sasmita, ialah bila pikiran dipusatkan pada asmita, yaitu anasir rasa aku yang biasanya roh
menyamakan dirinya dengan ini. 37[37]

Tuhan dalam Ajaran Yoga


Patanjali menerima eksistensi Tuhan (Isvara) dimana Tuhan menurutnya adalah The
Perfect Supreme Being, bersifat abadi, meliputi segalanya, Maha Kuasa, Maha Tahu, dan
Maha ada. Tuhan adalah purusa yang khusus yang tidak dipengaruhi oleh kebodohan,

36[36]Adiputra, I GedeRudia.Ibid, hal. 60-61

37[37]Adiputra, I GedeRudia.TattwaDarsana, hal. 61; lihatjugaMaswinara, I Wayan.SistemFilsafat


Hindu, hal. 167
egoisme, nafsu, kebencian dan takut akan kematian. Ia bebas dari Karma, Karmaphala dan
impresi-impresi yang bersifat laten.
Patanjali beranggapan bahwa individu-individu memiliki esensi yang sama dengan
Tuhan, akan tetapi oleh karena ia dibatasi oleh sesuatu yang dihasilkan oleh keterikatan dan
karma, maka ia berpisah dengan kesadarannya tentang Tuhan dan menjadi korban dari dunia
material ini.
Tujuan dan aspirasi manusia bukanlah bersatu dengan Tuhan, tetapi pemisahan yang
tegas antara Purusan dan Prakrti (SR, hal371). Hanya satu Tuhan. Menurut Vijnanabhisu:
“dari semua jenis kesadaran meditasi, bermeditasi kepada kepribadian Tuhan adalah
meditasi yang tertinggi. (SR, 372) Ada bebagai obyek yang dijadikan sebagai pemusatan
meditasi yaitu bermeditasi pada sesuatu yang ada di luar diri kita, bermeditasi kepada suatu
tempat yang ada pada tubuh kita sendiri dan yang tertinggi adalah bermeditasi yang di
pusatkan kepada Tuhan.
Kebodohan menyatakan bahwa ada dualisme dari satu realitas yang disebut Tuhan.
Ketika kebodohan dihilangkan oleh pengetahuan maka dualisme hilang dan kesatuan penuh
akan dicapai. Ketika seseorang mengatasi kebodohan maka dualisme hilang maka ia menyatu
dengan The Perfect Single Being tetapi kesempurnaan The Single Being itu selalu ada dan
tetap tersisa sebagai sesuatu yang sempurna dan satu. Tak ada perubahan dalam lautan,
seberapa banyakpun sungai-sungai yang mengalirkan airnya dan bermuara padanya. Ketidak
berubahan adalah keadaan dasar dari kesempurnaan.

Kesimpulan
Filasafat yoga merupakan salah satu aliran filsafat dalam agama Hindu yang membahas
tentang latihan, baik fisik maupun mental, yang keras dan serius, agar dapat memperoleh apa
yang disebut dengan Transendensi Diri. Dalam yoga, dipercaya ada 8 tingkatan untuk
mencapai tujuan tersebut, yaitu: Disiplin moral (yama), disiplin diri (niyama), Postur Tubuh
(asana), Pengendalian Napas (pranayama), Pengendalian Indera (Pratyahara), Konsentrasi
(Dharana), Meditasi (Dhyana), Ekstasis (Samadhi)
Sistem etika yang terdapat dalam agama Hindu, diatur dalam 2 tingkatan pertama, yaitu
Disiplin moral dan Disiplin diri. Yang dibagi menjadi sepuluh aturan: lima aturan pertama
merupakan aturan yama, dan lima yang lain merupakan aturan niyama. Disiplin Moral atau
Pengekangan Diri (Yama) terdiri atas: Tanpa kekerasan (ahimsa), Kebenaran (satya), Tidak
Mencuri (Asteya), Kesucian-Kemurnian atau mengendalikan nafsu jasmani dan nafsu asmara
(brahmacarya), Ketidaktamakan (Aparigraha). Sementara Disiplin Diri (Niyama) terdiri dari:
Kesucian atau kemurnian (shauca), Berpuas Diri (Samtosha), Askese (Tapas), Studi Teks
Spiritual (Svadhyaya), Penyerahan diri pada Tuhan (Ishwara-pranidhana).
Konsep Tuhan dalam agama Hindu, Patanjali menerima eksistensi Tuhan (Isvara) dimana
Tuhan menurutnya adalah The Perfect Supreme Being, bersifat abadi, meliputi segalanya,
Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha ada. Patanjali beranggapan bahwa individu-individu
memiliki esensi yang sama dengan Tuhan, akan tetapi oleh karena ia dibatasi oleh sesuatu
yang dihasilkan oleh keterikatan dan karma, maka ia berpisah dengan kesadarannya tentang
Tuhan dan menjadi korban dari dunia material ini.

DAFTAR PUSTAKA

         Adiputra, I Gede, Rudia, dkk. Tattwa Darsana. Jakarta : Yayasan Dharma Sharati, 1990.
         Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme & Buddhisme. Tangerang :
Sanggar Luxor, 2010.
         Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India. Jakarta : Badan Penerbit Kristen, 1971.
         Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha), Surabaya :
Paramita, 2006.

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook


Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Anda mungkin juga menyukai