Pendahuluan
Yoga merupakan salah satu jalan untuk memperoleh penyatuan dengan Tuhan melalui latihan
yang sangat keras dan teratur, sehingga apa yang menjadi tujuan kita tercapai. Yoga bukan
merupakan tradisi yang mati, yang kemudian stagnan tanpa perubahan, melainkan selalu
berubah dan dieksplorasi oleh para pelakunya, sehingga senantiasa menghasilkan perubahan
yang dianggap lebih efektif. Ada banyak aliran dalam yoga, karena yoga bukan merupakan
satu kesatuan utuh. Melainkan pendapat dan latihan setiap alirannya berbeda dan tidak dapat
didamaikan. Jadi, ketika kita berbicara tentang yoga, artinya kita membicarakan tentang
banyak aliran dalam yoga. Satu aliran yang paling senior, terkenal dan berpengaruh adalah
aliran Patanjali yang dikenal dengan Raja Yoga. Dan aliran ini yang akan kami bicarakan di
sini, karena jika harus menguraikan perdebatan berbagai aliran, akan sangat menyita waktu.
Patanjali, dalam Kita Yoga Sutras, memuat penjelasan tentang delapan aspek yoga yang
dikenal dengan ashtanga-yoga. Kedelapan ruas ini, seringkali digambarkan sebagai tangga
yang membimbing kehiudpan biasa menuju realisasi Diri dan melampaui personalitas ego.
Delapan jalan menuju ‘penyatuan’ Asthanga-yoga dan Etika dalam ajaran Yoga
Tujuan Yoga ialah untuk mengembalikan Citta1[1] itu dalam keadaannya yang semula, yang
murni tanpa perubahan, sehingga dengan demikian purusa2[2] itu dibebaskan dari
kesengsaraannya.3[3] Sementara menurut Matius Ali, Tujuan Yoga Patanjali adalah mencapai
kebebasan melalui konsentrasi dan Samadhi. Istilah teknis untuk pencapaian ini adalah
‘pembebasan’ (kaivalya). 4[4] Menurut Sri Aurobindo, Raja-Yoga bertujuan untuk mencapai
1[1] Citta adalah konsespsi yang paling penting dalam sistem yoga. Dianggap sebagai hasil pertama
dari perkembangan Prakrti (Alam dunia), yang meliputi Ahamkara dan Manas. Sehingga yang
dimaksud dengan ialah gabungan buddhi, ahamkara, dan manas. Di dalam citta ini, purusa (Jenis
kebenaran tertinggi/ roh), lihat Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal. 51: Adiputra, I Gede Rudia.
Tattwa Darsana, hal.59
2[2]Purusa adalah
4[4] Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, hal. 59
pembebasan dan penyempurnaan diri mental, yakni pengendalian seluruh perangkat
pencerapan, emosi, pikiran dan kesadaran. 5[5]
Mahārși Patañjalidalam kitab Yoga Sutrasmenyusun ‘8 ruas yoga’ (Asthanga-yoga) sebagai
sebuah metode spiritualitas praktis dalam Yoga Sutras (2.29).6[6]
1. Disiplin Moral (Yama)
2. Disliplin Diri (Niyama)
3. Postur Tubuh (asana)
4. Pengendalian Napas (pranayama)
5. Pengendalian Indera (Pratyahara)
6. Konsentrasi (Dharana)
7. Meditasi (Dhyana)
8. Ekstasis (Samadhi)
Agar purusa itu bisa dilepaskan dari ikatan prakrti7[7], orang harus dapat menindas wrtti8[8]
itu, yaitu dengan meniadakan klesa-klesa. Sebab klesa itu mewujudkan satu fungsi yang
menjadi dasar pembentukan karma, yang menimbulkan awidya atau ketidak-tahuan. Di dalam
kehidupan kejiwaan manusia, terdapat suatu perputaran yang tidak putus, yaitu perputaran
wrtti, kecenderungan-kecenderungan, klesa-klesa, awidya dan seterusnya. Tujuan Yoga ialah
untuk mematahkan perputaran yang tidak putus ini, dengan perlahan-lahan meniadakan
klesa-klesa dan memberhentikan wrtti. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui usaha
(abhyasa) yang terus-menerus dan keadaan tanpa nafsu (wairagya). Manusia dapat
melepaskan diri dari nafsu melalui usaha dan latihan yang panjang sehingga dapat
membedakan antara pribadi dengan yang bukan pribadi, melalui asthanga-yoga.9[9]
Harun Hadiwijono menyusun asthanga-yoga dalam skema sistematis seperti berikut:
5[5] Ali, Matius. Ibid. lihat juga: Aurobindo, Sri. The Synthesis of Yoga, hal 30-31
6[6] Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, hal. 63, lihat juga
Grimes, J. A Concise Dictionary of Indian Philosophy, hal. 64; Yogendra, J & Vaz, J. Clement (eds.),
Yoga Today, tanpa hal., sesudah daftar isi.
7[7]Prakrti adalah
8[8]Wrrti adalah
11[11] Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, hal. 64
postur tubuh atau meditasi, melainkan disiplin moral (yama).12[12] Kelima bagian Yama
adalah:
a. Tanpa kekerasan (ahimsa)
Dari semua kewajiban moral, ‘tidak menyakiti’ adalah yang paling utama. Kata ahimsa
seringkali diterjemahkan sebagai tidak membunuh, namun ini tidak memberikan arti yang
penuh dari kata ahimsa. Dalam Yoga Sutras (2.35), ahimsa didefinisikan sebagai:
“Jika ahimsa sudah dilaksanakan secara mantap, maka semua kebencian akan terhenti.” 13[13]
Sebenarnya ahimsa adalah ‘tanpa kekerasan’ baik di dalam pikiran maupun dalam tindakan. 14
[14] Ia menjadi dasar dari disiplin yang lain. Keinginan untuk tidak menyakiti yang lain
bersumber dari dorongan kea rah unifikasi dan tansendensi sang ego. 15[15]
b. Kebenaran (satya)
‘Kebenaran’ (satya) seringkali ditinggalkan dalam literatur etika dan yoga. Karena bagi orang
yang sudah menjalankan kebenaran, kejujuran, semua tindakan serta akibatnya akan tunduk
padanya. Dalam Yoga Sutras dikatakan bahwa:
“Bagi orang yang sudah menjalankan kebenaran dan kejujuran, semua tindakan serta akibatnya ada di bawah
kendali dirinya.”16[16]
Satya yaitu jujur baik dalam perkataan maupun dalam pikiran. 17[17]
c. Tidak Mencuri (Asteya)
‘Tidak mencuri’ (asteya) terkait erat dengan ahimsa, karena pemilikan benda berharga secara
tidak benar, melanggar hak orang yang ia curi. Menurut Yoga Sutras, asteya dapat
didefinisikan:
“Jika asteya sudah ditanamkan, maka semua kekayaan akan datang.” 18[18]
13[13] Ali, Matius. Ibid, hal.65; Satchidananda, S.Swami. The Yoga Sutras of Patanjali, hal. 130
15[15] Ali, Matius. Ibid, hal. 65; Feuerstein, G. The Yoga Tradition, hal. 325
16[16]
24[24]Ali, Mukti. Ibid, hal. 70; Feuerstein, G. The Yoga Tradition, hal. 327
31[31] Samapatti adalah pencapaian, kondisi manunggal dengan objek, saran dan subjek kesadaran
dalam meditasi; savitarka berarti suatu jenis penyatuan (Samadhi) dimana pikiran terkonsentrasi
pada objek dan menginganama serta kualitasnya.
Etika Yoga
Secara umum, konsep etika dalam Yoga termasuk dalam latihan yama dan niyama, yaitu
disiplin moral dan disiplin diri. Aturan-aturan yang ada dalam yama dan niyama, juga
berfungsi sebagai kontrol sosial dalam mengatur moral manusia. Akan tetapi, dalam bukunya
Tattwa Darsana, I Gede Rudia menjelaskan bahwa etika dalam yoga adalah sebagai berikut.
Dalam samadhi, seorang Yogi memasuki ketenangan tertinggi yang tidak tersentuh oleh
suara-suara yang tak henti-hentinya, yang berasal dari luar dan pikiran kehilangan fungsinya,
di mana indera-indera terserap ke dalam pikiran. Apabila semua perubahan pikiran
terkendalikan, si pengamat atau Purusa, terhenti dalam dirinya sendiri dan di dalam Yoga-
Sutra Patanjali disebut sebagai Svarupa Avasthanam (kedudukan dalam diri seseorang yang
sesungguhnya).34[34]
Dalam filsafat Yoga, maka yoga berarti penghentian kegoncangan-kegoncangan pikiran. Ada
lima keadaan pikiran itu. Keadaaan pikiran itu ditentukan oleh intensitas sattwa, rajas dan
tamas. Kelima keadaaan pikiran itu adalah:
1. Ksipta artinya tidak diam-diam
Dalam keadaan pikiran itu diombang-ambingkan oleh rajas dan tamas, dan ditarik-tarik oleh
objek indriya dan sarana-sarana untuk mencapaInya, pikiran melompat-lompat dari satu
objek ke objek yang lain tanpa terhenti pada satu objek. 35[35]
2. Mudha artinya lamban dan malas
Ini idsebabkan oleh pengaruh tamas yang menguasai alam pikiran. Akibatnya orang yang
alam pikirannya demikian cenderung bodoh, senang tidur dan sebagainya.
3. Wiksipta artinya bingung, kacau.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh rajas. Karena pengaruh ini , pikiran mempu mewujudkan
semua objek dan mengarahkannya pada kebajikan, pengetahuan, dan sebagainya. Ini
Kesimpulan
Filasafat yoga merupakan salah satu aliran filsafat dalam agama Hindu yang membahas
tentang latihan, baik fisik maupun mental, yang keras dan serius, agar dapat memperoleh apa
yang disebut dengan Transendensi Diri. Dalam yoga, dipercaya ada 8 tingkatan untuk
mencapai tujuan tersebut, yaitu: Disiplin moral (yama), disiplin diri (niyama), Postur Tubuh
(asana), Pengendalian Napas (pranayama), Pengendalian Indera (Pratyahara), Konsentrasi
(Dharana), Meditasi (Dhyana), Ekstasis (Samadhi)
Sistem etika yang terdapat dalam agama Hindu, diatur dalam 2 tingkatan pertama, yaitu
Disiplin moral dan Disiplin diri. Yang dibagi menjadi sepuluh aturan: lima aturan pertama
merupakan aturan yama, dan lima yang lain merupakan aturan niyama. Disiplin Moral atau
Pengekangan Diri (Yama) terdiri atas: Tanpa kekerasan (ahimsa), Kebenaran (satya), Tidak
Mencuri (Asteya), Kesucian-Kemurnian atau mengendalikan nafsu jasmani dan nafsu asmara
(brahmacarya), Ketidaktamakan (Aparigraha). Sementara Disiplin Diri (Niyama) terdiri dari:
Kesucian atau kemurnian (shauca), Berpuas Diri (Samtosha), Askese (Tapas), Studi Teks
Spiritual (Svadhyaya), Penyerahan diri pada Tuhan (Ishwara-pranidhana).
Konsep Tuhan dalam agama Hindu, Patanjali menerima eksistensi Tuhan (Isvara) dimana
Tuhan menurutnya adalah The Perfect Supreme Being, bersifat abadi, meliputi segalanya,
Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha ada. Patanjali beranggapan bahwa individu-individu
memiliki esensi yang sama dengan Tuhan, akan tetapi oleh karena ia dibatasi oleh sesuatu
yang dihasilkan oleh keterikatan dan karma, maka ia berpisah dengan kesadarannya tentang
Tuhan dan menjadi korban dari dunia material ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, I Gede, Rudia, dkk. Tattwa Darsana. Jakarta : Yayasan Dharma Sharati, 1990.
Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme & Buddhisme. Tangerang :
Sanggar Luxor, 2010.
Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India. Jakarta : Badan Penerbit Kristen, 1971.
Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha), Surabaya :
Paramita, 2006.