Anda di halaman 1dari 173

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan mempunyai peranan penting bagi maju mundurnya suatu

bangsa. Pendidikan adalah investasi sosial terbaik dalam rangka pembangunan

modal manusia dan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Pendidikan merupakan sarana yang ampuh agar kualitas para generasi penerus

tidak menurun.
Sebagai generasi muda yang merupakan generasi penerus hendaknya

memiliki konsep pendidikan dan pemahaman agama yang seimbang, seiring

semakin berkembang dan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi karena

memiliki keterkaitan yang penting untuk kelangsungan hidup manusia, posisi

agama sebagai pengetahuan harus dimengerti secara baik dan benar, serta

mampu diaplikasikan dalam tindakan yang baik dan benar pula, agar mampu

mengarahkan manusia menjadi lebih baik yang tidak hanya memiliki

pengetahuan tetapi mempunyai pemahaman agama yang benar sesuai

kepercayaan yang diyakininya.


Kepercayaan agama asli yang hidup dan berkembang di Kalimantan

Tengah adalah Kaharingan, yang kini lebih dikenal dengan Hindu

Kaharingan setelah berintegrasi dengan agama Hindu pada tahun 1980.

Dalam Hindu Kaharingan, pengetahuan agama bersumber dari kitab suci.

Kitab Panaturan merupakan kitab suci dan pedoman spiritual yang

mempengaruhi karakteristik suku Dayak penganut Hindu Kaharingan

khususnya di Kalimantan Tengah. Kitab Panaturan adalah kitab suci yang

dijadikan pedoman, petunjuk dan penuntun hidup umat Hindu Kaharingan


2

dalam melaksanakan kehidupannya, karena di dalamnya banyak

meriwayatkan tentang ajaran-ajaran, tata cara pelaksanaan ritual yang

diwahyukan Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa kepada Raja Bunu dan

keturunannya untuk menjalankan kehidupan di dunia. Pelaksanaan ritual

dalam Hindu Kaharingan yang mengandung makna dan nilai pendidikan

dapat dilihat dalam beberapa pasal dalam Kitab Suci Panaturan yang

mengandung nilai-nilai pendidikan, salah satunya adalah dalam proses

pelaksanaan perkawinan. 1
Pelaksanaan ritual perkawinan termuat dalam Kitab Suci Panaturan.

Menurut ajaran Hindu Kaharingan pelaksanaan ritual perkawinan adalah tata

cara yang telah diwahyukan Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa pada

keturunan Raja Bunu nantinya untuk mendidik dalam membentuk sebuah

keluarga baru di Pantai Danum Kalunen (dunia). Apa yang ada dalam Kitab

Panaturan baik nilai, tata cara, ritual dan sebagainya diperoleh secara turun-

temurun dan metode penyampaiannya secara oral (dengan bercerita), namun

seiring dengan perkembangan zaman, ajaran Ranying Hatalla yang dulunya

dituturkan secara lisan, kini telah ditulis dan diterjemahkan menggunakan

ejaan baru yang disempurnakan oleh para tokoh dan kaum intelektual dan

dibukukan sebagai buku yang diberi nama Panaturan serta dianggap sebagai

kitab suci penganut Hindu Kaharingan. Inilah yang menjadi ciri tersendiri

sebagai bentuk kearifan lokal khususnya dalam ritual upacara dimana agama

Hindu berkembang di Kalimantan Tengah.


Anak terlahir dari orang tuanya melalui proses hubungan perkawinan

pasangan pria dan wanita. Semua agama menaruh perhatian yang besar

terhadap pembentukan anak-anak yang berkualitas dari orang tua yang


3

berkualitas pula melalui perkawinan. Sejalan dengan ajaran Agama Hindu

Kaharingan bahwa untuk membentuk anak-anak yang berkualitas hanya bisa

dibentuk dari pasangan yang berkualitas. Hal ini tentunya melalui tahapan-

tahapan perkawinan yang sah sehingga kelak anak-anak yang dilahirkan

menjadi keturunan yang sempurna, anak yang memiliki sifat dan budi pekerti

yang luhur serta berkepribadian mulia. Ritual perkawinan dalam Kitab Suci

Panaturan pertama kali terjadi antara Manyamei Tunggul Garing Janjahunan

Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, Limut Batu Kamasan

Tambun, yakni atas restu dari Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa, sebab

IA menghendaki keduanya melangsungkan Perkawinan agar memperoleh

keturunan. Apa yang dilakukan oleh keduanya adalah contoh bagi

keturunannya kelak. Keturunan yang dihasilkan dari Perkawinan yang suci

dan melalui upacara yang sakral diharapkan mampu memperoleh keturunan

yang sempurna.
Dewasa ini, pelaksanaan perkawinan telah mengalami pergesaran

yang sangat signifikan. Banyak pasangan muda mudi yang hendak

membangun dan membina keluarga menyepelekan nilai-nilai kesucian dan

kesakralan dalam proses pelaksanaan perkawinan tersebut. Inilah sebabnya

semua agama melarang dan menghindari hubungan di luar pernikahan. Terkait

dengan pelaksanaan perkawinan tersebut seperti kertas putih menurut John

Locke, kualitas anak bisa dilacak jauh sebelum dilahirkan ke dunia dilihat dari

latar belakang kedua orang tuanya. Anak yang dilahirkan dari hubungan yang

sah secara hukum dan agama relatif lebih mudah untuk dididik dari anak yang

dilahirkan dari pasangan tanpa ikatan pernikahan.


4

Penanaman nilai-nilai keagamaan dan pendidikan yang tepat bagi

anak penting diberikan sejak dini oleh orang tuanya. Jika kedua orang tuanya

berkualitas, maka kualitas kesucian keturunannya akan tinggi, begitu pula

sebaliknya. Seperti kata pepatah bahwa buah tidak akan jatuh jauh dari

pohonnya. Anak akan selalu mengikuti orang tuanya (baik fisik maupun

perilaku).
Berdasarkan hal tersebut, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji

tentang Pendidikan anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan dalam

Kitab Suci Panaturan, sebab belum ada peneliti sebelumnya yang mengangkat

atau membahas secara lebih mendalam berkaitan tentang pendidikan anak

yang terdapat dalam Kitab Suci Panaturan dengan rumusan masalah sebagai

berikut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan

dalam penelitian ini adalah:


1. Bagaimanakah kedudukan anak di dalam Kitab Suci Panaturan?
2. Bagaimanakah pendidikan anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan

dalam Kitab Suci Panaturan?


3. Apakah nilai-nilai pendidikan anak terkandung dalam Kitab Suci

Panaturan?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Adapun yang menjadi tujuan umum penelitian ini adalah untuk

memberikan pengetahuan terkait pendidikan anak menurut ajaran Agama

Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan.


2. Tujuan Khusus
5

Secara khusus penelitian ini bertujuan:


a. Untuk mengetahui kedudukan anak di dalam Kitab Suci Panaturan.
b. Untuk mengetahui pendidikan anak menurut ajaran Agama Hindu

Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan.


c. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan anak yang terkandung dalam

Kitab Suci Panaturan.


D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam

menerapkan teori-teori yang telah diperoleh selama perkuliahan. Penelitian

ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu dan

pengetahuan terutama dalam bidang pendidikan anak menurut pandangan

Agama Hindu Kaharingan yang terkandung dalam Kitab Suci Panaturan.

Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan bagi

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini bermanfaat sebagai berikut:
a. Memberikan masukan kepada masyarakat dan khususnya keluarga

Hindu terkait bagaimana pendidikan anak menurut ajaran Agama

Hindu Kaharingan yang tertuang dalam Kitab Suci Panaturan.


b. Sebagai bahan referensi dan bacaan bagi penelitian selanjutnya

berkaitan tentang pendidikan anak menurut ajaran Agama Hindu

Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan


E. Metode Penelitian
Guna memperoleh informasi sesuai dengan yang terumuskan dalam

permasalahan dan tujuan penelitian perlu suatu desain atau rencana

menyeluruh tentang urutan kerja penelitian yang dikenal dengan metode

penelitian. Metode penelitian merupakan hal penting yang perlu dipahami oleh

seorang peneliti karena diperlukan untuk mencari data-data yang diperlukan


6

oleh seorang peneliti. Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.


Metode penelitian berbeda dengan metodologi penelitian. Mengenai

pengertian dari metode penelitian, disampaikan Hamidi (2004: 68) sebagai

berikut:
Metode penelitian merupakan satu desain atau rencana menyeluruh
tentang urutan kerja penelitian dalam bentuk suatu rumusan
operasional suatu metode ilmiah, rincian garis-garis besar keputusan
sebagai suatu pilihan beserta dasar atau alasan-alasan ilmiahnya.

Kaelan (2010: 7), mendefinisikan bahwa metode diartikan suatu cara,

jalan, petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis, sehingga memiliki sifat yang

praktis. Metode penelitian dimaksudkan guna memperoleh informasi sesuai

dengan yang terumuskan dalam permasalahan atau tujuan penelitian.

Dalam metode penelitian pada dasarnya peneliti mengungkapkan

sejumlah cara yang diatur secara sistematis, logis, rasional dan terarah tentang

bagaimana pekerjaan sebelum, ketika dan sesudah mengumpulkan data,

diharapkan mampu menjawab secara ilmiah perumusan masalah yang telah

ditetapkan.

1. Pendekatan Penelitian
Penelitian dalam hal ini memerlukan pendekatan yang sesuai untuk

mengungkap objek yang diteliti. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan

oleh Endraswara (2003: 8), pendekatan merupakan wilayah (ruang

lingkup) penelitian sastra. Wilayah ini berhubungan dengan aspek yang

diungkap dalam penelitian. Pendekatan yang sesuai tersebut nantinya


7

akan memudahkan peneliti untuk mendapatkan data dari suatu objek

penelitian.
Pendekatan dalam suatu penelitian penting dilakukan agar tujuan

penelitian terarah dan dapat tercapai dengan baik, serta proses kerja dalam

suatu penelitian tersebut dapat terlaksana secara sistematik. Adapun

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif.
Mengenai pendekatan penelitian kualitatif, Jonathan (2006: 257),

mengungkapkan sebagai berikut:

Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi


suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak
meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Pendekatan kualitatif, lebih lanjut, mementingkan pada proses
dibandingkan dengan hasil akhir; Oleh karena itu, urut-urutan
kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan
banyaknya gejala-gejala yang ditemukan.

Kaelan (2010: 5) mengungkapkan hal yang sama tentang penelitian

dengan pendekatan kualitatif yaitu:

Penelitian kualitatif tidak menekankan pada kuantum atau jumlah,


jadi lebih menekankan pada segi kualitas secara ilmiah karena
menyangkut pengertian, konsep, nilai serta ciri-ciri yang melekat
pada objek penelitian lainnya. Dapat pula dikatakan bahwa
penelitian kualitatif dapat diartikan suatu penelitian yang tidak
melakukan perhitungan-perhitungan dalam melakukan justifikasi
epistemologis.

Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini

berdasarkan fakta yang ada tentang nilai pendidikan anak. Pendekatan ini

diharapkan memberikan gambaran objektif tentang nilai pendidikan anak

dalam ajaran Agama Hindu Kaharingan yang terkandung di Kitab Suci

Panaturan.
8

Moleong (2005: 14), berpendapat bahwa pendekatan kualitatif

bekerja dengan cara sebagai berikut:


a. Mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi
antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris.
b. Penelitian kualitatif mempunyai latar belakang alamiah
(natural setting) sebagai sumber tidak langsung.
c. Bersifat deskriptif, yaitu memiliki bentuk data yang terurai
(berupa data-data dan gambar-gambar), bukan dalam bentuk
angka-angka.
d. Mementingkan proses.
e. Sudut pandang subjek penelitian.

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, maka dalam

penelitian ini, peneliti dapat menentukan batas-batas pokok-pokok

penelitian yakni konsep-konsep terkait pendidikan anak, yang selanjutnya

berfungsi mempermudah menganalisis, memperjelas pemahaman terhadap

objek yang diteliti.

2. Jenis dan Sumber Data


a. Jenis Data
Menurut Sudarto (2002: 47) menjelaskan bahwa, data

merupakan bahan keterangan yang diperoleh dari suatu sumber

tertentu, biasanya berupa statistik dan keterangan yang dikumpulkan

atau diberikan oleh orang-orang kepada seseorang.


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah

mengutamakan data kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah data

kualitatif dan data kuantitatif. Penggunaan dua jenis data ini sejalan

dengan pendapat Ardika (dalam Gaya, 2016: 50), yang menyatakan

bahwa:
Terdapat dua jenis data dalam penelitian, yakni data kualitatif
dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah data hasil observasi
dan wawancara lapangan, sedangkan data kuantitatif adalah
data yang berupa angka-angka yang bersumber dari data
9

statistik lembaga umat, instansi, badan, dinas jabatan


pemerintahan dan sumber-sumber lain yang ada kaitannya
topik yang diteliti.

Maka, ada pun jenis data kualitatif yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah berupa ungkapan-ungkapan, tindakan-tindakan,

teks-teks, dokumen-dokumen berupa ayat-ayat setiap pasal yang

dituturkan dalam bentuk narasi yang terdapat dalam Kitab Suci

Panaturan. Sedangkan, data kuantitatif yang mendukung dalam

penelitian ini adalah data angka-angka yang memuat periode

perkembangan anak terkait pendidikan anak menurut ajaran Agama

Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan, sesuai dengan tujuan

penelitian yang dilakukan.


b. Sumber Data
Dalam suatu penelitian, sumber data merupakan suatu hal yang

sangat diperlukan untuk memperjelas data yang digunakan dalam

penelitian tersebut. Menurut Moleong (2005: 157), sumber data

utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan,

selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.


Namun, menurut Ratna (2010: 144), menjelaskan sebagai

berikut:
Pengertian data primer dan sekunder bersifat relatif tergantung
dari jenis dan tujuan penelitian. Ia menambahkan bahwa hasil
wawancara, survei, observasi, dan diskusi kelompok
merupakan data primer dalam penelitian lapangan, tetapi
menjadi data sekunder dalam penelitian pustaka.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada penelitian ini jenis

data yang digunakan adalah karya sastra, karya seni, kitab suci,

sejarah, benda-benda kultural lainnya dan sebagainya merupakan data

primer, sedangkan hasil-hasil wawancara dan data lapangan lainnya


10

merupakan data sekunder. Sebelum sumber data digunakan dalam

proses analisis data, maka peneliti mengelompokkan menjadi dua

berdasarkan sumber pengambilannya yaitu data primer dan data

sekunder.
1) Sumber data primer, yaitu buku-buku yang secara langsung

berkaitan dengan objek material penelitian. Dalam hal ini adalah

Panaturan Tahun 2013 Penerbit Widya Dharma Denpasar.


2) Sumber data sekunder, yaitu sumber data pendukung kegiatan

penelitian yang berupa sumber kepustakaan yang berkaitan dengan

objek formal atau buku sebagai pendukung dalam mendeskripsikan

objek material penelitian. Sumber data sekunder dalam penelitian

ini diantaranya Tesis yang ditulis Etika (2005) Aspek Ketuhanan

Dalam Kitab Panaturan Serta Identifikasinya Dipandang Dari

Teologi Hindu: Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna, dan Pranata

dkk (2009) dengan judul buku Upacara Ritual Perkawinan Agama

Hindu Kaharingan (Dalam Kitab Suci Panaturan) Filosofis

Perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dan Raja Garing

Hatungku.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan suatu data yang nantinya akan digunakan

dalam suatu penelitian, diperlukan suatu teknik atau metode yang tepat.

Adapun yang dimaksud dengan pengumpulan data menurut Subagyo

(2004: 61), adalah merupakan suatu metode pencarian data lapangan

yang menggunakan alat-alat pengumpulan data yang telah disediakan baik

secara tertulis maupun angan-angan suatu hal yang akan dicari di

lapangan.
11

Pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan teknik studi kepustakaan (libarary research), karena sumber

informasi yang diteliti berupa bahan tertulis dan bersifat bedah buku

(menginterpretasikan teks), yakni pasal-pasal yang terkandung dalam

Kitab Suci Panaturan berkaitan dengan konsep pendidikan anak.


Menurut Kaelan (2010: 149-150), adapun proses pengumpulan data

dalam penelitian kepustakaan sebagai berikut:


Pertama-tama yang harus dilakukan peneliti adalah menentukan
lokasi-lokasi sumber data, antara lain perpustakaan, pusat
penelitian, serta pusat-pusat studi. Setelah menentukan lokasi
sumber data, maka peneliti mulai melakukan pengumpulan data.
Kegiatan utama peneliti adalah membaca dan mencatat informasi
yang terkandung dalam data.
Sumber data dalam penelitian kepustakaan (library research)

diperoleh dari perpustakaan. Perpustakaan merupakan pusat tempat

berbagai literatur agama maupun literatur umum, baik dalam bentuk buku,

jurnal, majalah, dokumen maupun dalam bentuk lain seperti kitab tafsir

dan sebagainya. Dalam hal ini, untuk memperoleh sumber data yang

terkait dengan objek penelitian, peneliti mengambil sumber bacaan yang

ada di Perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung

Penyang (STAHN-TP) Palangka Raya yang terletak di Jalan G.Obos X

Palangka Raya.

Selanjutnya, Kaelan (2010: 150-156), menjelaskan terkait teknik

pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan diuraikan secara

terperinci sebagai berikut:


a. Membaca dalam rangka untuk memberikan arah peta penelitian
yang telah dibimbing oleh dugaan atau keterangan sementara.
Kegiatan membaca ini terdiri dari dua tahapan, yaitu:
1) Tahap pertama, membaca pada tingkat simbolik, artinya
peneliti membaca tidak perlu dilakukan secara menyeluruh
terlebih dahulu, melainkan menangkap sinopsis dari isi,
12

buku, bab yang menyusunnya, sub bab sampai pada bagian


terkecil dalam buku.
2) Tahap kedua, membaca pada tingkat semantik, artinya
peneliti mengumpulkan data dengan membaca lebih rinci,
terurai, dan menangkap esensi dari data tersebut. Proses
membaca pada tingkat semantik, maka peneliti membaca
pada poin-poin sumber data, atau setiap kategori data
senantiasa sekaligus dilakukan proses analisis.
b. Mencatat data pada kartu data. Proses perekaman dan
pencatatan pada kartu-kartu data bertujuan untuk melakukan
perekaman data secara sistematis dan terorganisir dengan baik,
agar memudahkan pemantauan jalan penelitian. Dalam
penelitian ini, ada empat cara mencatat data ke dalam kartu-
kartu data, yaitu:
1) Mencatat data secara quotasi, adalah mencatat data dari
sumber data dengan mengutip secara langsung, tanpa
mengubah sepatah kata pun dari sumber data, atau dengan
lain perkataan tanpa mengubah sepatah kata pun dari
penulis (tokoh agama/filsuf), yang menulis karya tersebut.
2) Mencatat secara paraphrase, artinya menangkap
keseluruhan intisari data kemudian mencatatkan pada kartu
data, dengan menggunakan kalimat atau kata-kata yang
disusun oleh peneliti sendiri.
3) Mencatat secara sinoptik, yaitu dengan cara membuat
ikhtisar atau summary (ringkasan) dari data yang dibaca
peneliti, namun masih memuat unsur-unsur yang persis
sebagaimana yang terkandung dalam data.
4) Mencatat secara precis, yang merupakan pemadatan lebih
lanjut dari pencatatan secara sinopsis. Pengumpulan data ini
akan memudahkan peneliti untuk memantau peta penelitian
pada tingkat yang lebih tinggi berkaitan tentang objek yang
diteliti.

Dalam penelitian maka peneliti memulai pengumpulan data dengan

membaca dalam rangka untuk memberikan arah peta penelitian. Pertama,

membaca pada tingkat simbolik, peneliti membaca judul buku, kemudian

daftar isi dalam buku tersebut, peneliti akan mengetahui pasal mana yang

kiranya relevan untuk diangkat sebagai data-data penelitian, khususnya

berkaitan tentang pendidikan anak menurut ajaran Agama Hindu

Kaharingan yang terdapat dalam kitab Panaturan. Kedua, tahapan

membaca pada tingkat semantik, peneliti akan mendahulukan data-data


13

yang berkaitan dengan sumber data primer, yaitu Panaturan terbitan tahun

2009, dan dilanjutkan dengan pengumpulan data pada sumber data

sekunder, yaitu yang berhubungan dengan objek formal dalam rangka

penyusunan laporan penelitian berkaitan tentang pendidikan anak dalam

ajaran Agama Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan. Kegiatan

mencatat data pada kartu data, yang terdiri dari empat cara, maka peneliti

memulai pengumpulan data dengan memantau peta penelitian pada tingkat

yang lebih tinggi berkaitan tentang pendidikan anak menurut ajaran

Agama Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan.

4. Teknik Analisis Data Penelitian


Analisis data merupakan bagian dalam proses penelitian yang

penting, karena dalam analisis data yang ada tampak manfaatnya dan ada

gunanya dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan

penelitian. Menurut Sugiyono (2005: 374) bahwa, di dalam analisis

diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji emampuan peneliti

dalam menalarkan sesuatu.


Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan deskriptif

kualitatif. Data yang dikumpulkan dari beberapa sumber (primer dan

sekunder) nantinya diproses dan dianalisis. Menganalisis data dengan

proses mengatur urutan data, mengorganisasikan dalam satu pola atau

satuan uraian dasar. Selain itu, juga perlu adanya satu interpretasi atau

penafsiran terhadap data. Melalui proses analisis menjelaskan pola serta

mencari hubungan di antara satu dengan unsur lainnya, dan kemudian

merumuskan konstruksi teoritisnya.


Untuk dapat menelaah adanya nilai pendidikan anak menurut

ajaran Agama Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan, peneliti


14

menggunakan teknik, yaitu Hermeneutika dan Content Analysis. Adapun

pengertian dan pemanfaatan kedua teknik tersebut dalam penelitian ini

diuraikan sebagai berikut.


a. Content Analysis (Analisis Isi)
Content analysis atau analisis isi pada awalnya berkembang

dalam bidang surat kabar yang bersifat kuantitatif. Menurut Ratna

(2010: 358) menjelaskan bahwa dalam analisis isi melibatkan tiga

komponen dengan fungsinya masing-masing, yaitu: a) siapa yang

berbicara, b) apa yang dibicarakan, dan c) apa efek yang

diakibatkannya.
Ricard Budd (dalam Suprayogo & Tobroni, 2009: 71)

mengemukakan, analisis isi adalah teknik sistematik untuk

menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat untuk

mengobservasi dan menganalisis perilaku komunikasi yang terbuka

dari komunikator yang dipilih. Lebih lanjut Suprayogo dan Tobroni

(2009: 73), menambahkan bahwa metode ini dapat dipakai untuk

menganalisis semua bentuk komunikasi, seperti surat kabar, buku,

puisi, film, cerita rakyat, peraturan perundang-undangan atau kitab

suci.
Dari pendapat di atas maka dengan menggunakan teknik

analisis isi diperoleh suatu hasil atau pemahaman terhadap berbagai isi

pesan komunikasi yang disampaikan oleh media massa, kitab suci atau

sumber informasi yang lain secara objektif, sistematis dan relevan.

Bentuk isi komunikasi yang dianalisis nantinya baik lisan maupun

tulisan, baik verbal maupun non verbal.


Dengan demikian dalam penelitian ini, penggunaan analisis isi

lebih banyak ditekankan pada bagaimana simbol-simbol yang ada pada


15

komunikasi. Penelitian dengan teknik analisis isi (content analysis),

digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi komunikasi yang

disampaikan dalam bentuk lambang yang terdokumentasi atau dapat

didokumentasikan.
Dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik tersebut

nantinya digunakan untuk menganalisis isi pesan-pesan yang

disampaikan Ranying Hatalla dan termuat dalam sebuah tulisan yang

berbentuk buku yang dikenal Panaturan, terutama ajaran Ranying

Hatalla yang memuat nilai-nilai pendidikan anak menurut ajaran

Agama Hindu Kaharingan.


b. Hermeneutika
Mengenai hermeneutika, Ratna (2010: 312-313) menyatakan

bahwa:
Hermeneutika secara leksikal dari hermeneuen yang berarti
menafsirkan, sedangkan orang yang menafsirkan disebut
hermeneus. Hermeneutika pada periode klasik disebut sebagai
hermeneutika kitab suci, yang mendasarinya adalah setiap ayat
kitab suci menyediakan ruang penafsiran sebagai ruang
kosong, bahkan belum jelas sehingga perlu ditafsirkan.
Diantara metode-metode yang lain, hermeneutika adalah
metode yang paling sering digunakan dalam penelitian karya
sastra maupun penafsiran kitab suci. Hermeneutika dianggap
sebagai metode ilmiah yang paling tua.

Terkait metode hermeneutika, Kaelan (2010: 180)

mengungkapkan sebagai berikut:

Metode hermeneutika sangat relevan menafsirkan berbagai


gejala, peristiwa, simbol, nilai yang terkandung dalam
ungkapan bahasa atau kebudayaan lainnya, yang muncul pada
fenomena kehidupan manusia. Tujuan hermeneutika adalah
untuk mencari data dan menemukan makna yang terkandung
16

dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan


manusia, melalui pemahaman dan interpretasi.
Memperhatikan kedua pendapat di atas bahwa hermeneutika

dapat digambarkan sebagai aktivitas mempelajari kitab suci melalui

penafsiran. Kunci utamanya adalah kemampuan bahasa, sebagai

wacana atau teks dalam mengungkapkan makna yang terkandung

sebagai aktivitas penerjemahan.


Dengan metode ini, peneliti memiliki tugas untuk menemukan

makna-makna yang terkandung dalam ayat kitab suci yaitu ayat dalam

Kitab Suci Panaturan yang memuat nilai-nilai pendidikan anak. Cara

kerja hermeneutika adalah memfokuskan pada objek yang berkaitan

dengan simbol-simbol, bahasa, atau pada teks-teks.


Peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai penafsir, maka

fenomena objek penelitian harus dilihat sebagai suatu wacana yang

terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan konteksnya, sebab kesalahan

dalam menafsirkan, baik lisan maupun tulisan, baik secara langsung

dan tidak langsung berarti kegagalan dalam menyampaikan isi pesan

tersebut. Teknik ini digunakan untuk menafsirkan isi pesan yang

mengandung konsep pendidikan anak menurut ajaran Agama Hindu

Kaharingan dalam ayat Kitab Suci Panaturan.

F. Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup dalam penelitian ini diarahkan pada pendidikan anak

menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan.

Namun, mengingat banyaknya nilai-nilai pendidikan anak pada Kitab Suci

Panaturan, sehingga yang dikaji dalam penelitian ini dimulai dari anak sejak

dalam kandungan (prenatal) sampai pada tahap anak setelah dilahirkan dan

mencapai usia kedewasaan sebagaimana Undang-Undang Republik Indonesia


17

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Namun mengingat jumlah

pasal dalam Kitab Suci Panaturan cukup banyak, maka peneliti mengambil

Pasal-Pasal dalam Kitab Suci Panaturan yang memiliki keterkaitan dengan

nilai-nilai pendidikan anak, yang peneliti anggap sebagai intisari dari konsep

pendidikan anak yang terkandung dalam Kitab Suci Panaturan, yang

selanjutnya ditelaah dengan Teknik Content Analysis dan Hermeneutika.

BAB II

TELAAH KEPUSTAKAAN

A. Kajian Pustaka
Supaya lebih memahami secara mendalam tentang Pendidikan anak

menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan, maka

digunakan beberapa kajian pustaka yang relevan sebagai bahan acuan dalam

penelitian ini. Kajian pustaka yang ada dan lebih banyak berupa studi

kepustakaan dan penelitian terdahulu para peneliti sebelumnya untuk

mendukung kajian teks dalam skripsi ini yang membahas tentang pendidikan

anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan khususnya mengkaji secara

mendalam yang terdapat dalam ayat-ayat Kitab Suci Panaturan. Langkah-

langkah yang digunakan yaitu dengan mengadakan observasi ke perpustakaan


18

yang ada di Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang

(STAHN-TP) Palangka Raya maupun Perpustakaan Daerah Provinsi

Kalimantan Tengah.
Kitab Suci Panaturan (2013) yang merupakan kitab suci Hindu

Kaharingan yang menjadi dasar dan pedoman dalam kehidupan

bermasyarakat. Kitab Suci Panaturan bagi umat Hindu Kaharingan menjadi

kitab yang harus dimaknai dan dijadikan landasan dan pedoman umat Hindu

Kaharingan dalam menjalani kehidupan beragama. Kitab ini meriwayatkan

tentang penciptaan alam semesta beserta isinya serta ajaran yang diajarkan

Ranying Hatalla kepada Raja Buno dan keturunannya yang diturunkan ke

dunia sebagai leluhur umat manusia (suku Dayak) agar tetap menjaga dan

menjalankan ajaran suci Ranying Hatalla yang mengandung nilai-nilai luhur

ketuhanan dan perlu dikaji secara mendalam terkait landasan dan pedoman

hidup. Panaturan ini sebagai bahan kajian pustaka terkait pendidikan anak
19
menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan yang tertuang dalam ayat-ayat suci

Panaturan.
Etika (2005), dalam penelitiannya yang berjudul Aspek Ketuhanan

Dalam Kitab Suci Panaturan, Serta Identifikasinya Dipandang Dari Teologi

Hindu. Dalam penelitiannya menjelaskan tentang bentuk, fungsi dan makna

Kitab Panaturan, yang dipahami dengan teori fungsional struktural, teori

interaksional simbolik dan teori simbol. Penelitian Etika dalam buku ini

banyak menganalisis isi dari Kitab Suci Panaturan, sehingga menjadi acuan

bagi peneliti untuk mengkaji tentang pendidikan anak. Penelitian Etika dapat

memberi sumbangan gagasan dan informasi bagi peneliti untuk mengatasi


19

kelangkaan referensi berkaitan dengan pendidikan anak menurut ajaran

Agama Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan.


Pranata dkk (2009) dengan judul buku Upacara Ritual Perkawinan

Agama Hindu Kaharingan (Dalam Kitab Suci Panaturan) Filosofis

Perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dan Raja Garing Hatungku,

banyak memuat nilai-nilai dan makna pelaksanaan perkawinan dalam ajaran

Hindu Kaharingan. Setiap pasangan suami istri yang telah menjalani

kehidupan berkeluarga menjalankan perannya dalam menanamkan nilai-

nilai/norma yang baik pada anaknya sebab keluarga adalah lembaga pertama

dan utama bagi setiap anak. Namun, sebelum membangun sebuah kehidupan

keluarga, setiap pasangan suami dan istri tentunya telah melangsungkan

upacara perkawinan dengan harapan dapat membentuk keluarga yang rukun,

bahagia dan sejahtera/ Oleh sebab itu, perkawinan dalam ajaran kepercayaan

Hindu Kaharingan adalah upacara yang sakral dan suci. Meskipun dalam

bahasannya lebih banyak membahas tentang upacara/ritual suci perkawinan

Raja Garing Hatungku dan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang, namun dapat

dijadikan acuan dalam penelitian ini untuk membahas lebih mendalam tentang

pendidikan anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan , sebab mendidik

anak dimulai dari pasangan pria dan wanita yang telah menjalin ikatan

perkawinan untuk nantinya membangun sebuah keluarga yang sejahtera,

bahagia dan abadi sesuai Undang-undang tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974.
B. Landasan Konsep
Penelitian ini menggunakan beberapa konsep dasar yang perlu

dijelaskan yakni: Pendidikan Anak, Hindu Kaharingan dan Kitab Panaturan.


1. Pendidikan Anak
20

Sebagaimana diketahui bahwa berbicara tentang pendidikan anak

tidak lengkap tanpa mengetahui definisi pendidikan dan anak. Pendidikan

merupakan hak seluruh rakyat, terkandung makna bahwa pendidikan

bukan untuk sebagian kecil masyarakat, melainkan pendidikan yang

memberi kesempatan kepada seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan

dan bakatnya masing-masing untuk memperoleh pendidikan yang

berkualitas.
Muhajir (dalam Kadir, 2012: 59) menjelaskan bahwa:
Secara bahasa pendidikan berasal dari bahasa Yunani, kata
paedagogy yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan
pulang sekolah diantar oleh seorang pelayan. Pelayan yang
mengantar dan menjemput dinamakan Paedagogos. Dalam bahasa
Romawi, pendidikan diistilahkan sebagai educate yang berarti
mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa Inggris
pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki
moral dan melatih intelektual.
Pendidikan merupakan usaha sadar oleh orang dewasa baik berupa

bimbingan atau pimpinan dalam pergaulannya dengan anak dala mencapai

kedewasaan. Hal ini sesuai dengan apa yang didefinisikan dalam Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu:


Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia Sekolah Dasar (2008: 74),

pendidikan adalah proses atau cara mendidik. Menurut Tanu (2010: 2),

menyatakan pendidikan sebagai proses kebudayaan dan melakukan

interaksi dan transformasi budaya dari generasi tua.


Terkait pengertian pendidikan, Tilaar (2009: 9) yang

mengungkapkan sebagai berikut:


Pendidikan adalah suatu proses yang menaburkan benih-benih
budaya dan peradaban manusia yang hidup dan dihadapi oleh nilai-
21

nilai atau visi yang berkembang atau dikembangkan di dalam suatu


masyarakat. Hal ini yang dinamakan pendidikan sebagai suatu
proses pembudayaan. Dengan demikian, bahwa pendidikan adalah
proses kebudayaan sebab kebudayaan sebagai pengetahuan, nilai-
nilai, kepercayaan yang senantiasa terjadi melalui proses
pendidikan.

Menurut Ihsan (1995: 2) menjelaskan bahwa, Pendidikan

merupakan usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan

potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan

nilai-nilai yang ada pada masyarakat dan kebudayaan. Sementara, Ki

Hajar Dewantara (dalam Hasbulah, 1997: 4) menyatakan bahwa

pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-

anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat

dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

Pendidikan sebagai suatu proses dalam rangka mempengaruhi

peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan

lingkungannya, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam

dirinya. Sejak lahir, manusia telah berusaha membuka dan

mengembangkan potensi-potensi pembawaannya baik jasmani maupun

rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

Pengertian pendidikan dalam rangka mengalihkan suatu

pengetahuan dari seseorang kepada orang lain tidak hanya dapat dilakukan

di dalam ruangan sekolah, akan tetapi dapat juga di luar sekolah

selanjutnya dalam proses perkembangan diri, kepribadian dan kemampuan

dapat dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab bagi dirinya sendiri

khususnya maupun bagi perkembangan bangsa pada umumnya.


22

Menurut Swami Sivananda (dalam Titib, 2007: 126) menjelaskan

tujuan pendidikan adalah:


Tujuan pendidikan untuk mengantarkan menuju jalan yang benar
dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakter
seseorang (menuju karakter yang mulia) yang dapat menolong
seseorang mencapai kebebasan, kesempurnaan dan pengetahuan
tentang sang Diri (Atma) dan dengan demikian seseorang akan
dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan seperti
tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati.

Menurut Tim Penyusun (1984: 12) bahwa pendidikan Hindu

dengan karakteristiknya agama juga menjadikan dasar-dasar agama

sebagai landasan pendidikannya. Dalam buku pendidikan Agama Hindu,

disebutkan bahwa Pendidikan Agama Hindu adalah suatu upaya untuk

membina pertumbuhan jiwa masyarakat dengan ajaran agama Hindu.

Punyatmadja (dalam Tim Penyusun, 1984: 12) juga menyatakan

bahwa:

Pendidikan Agama Hindu merupakan suatu ajaran pendidikan


moral yang dibimbing menurut petunjuk ajaran agama yang
berfungsi sebagai faktor pengamatan yang akan menjadi
keselamatan seseorang. Jadi pendidikan agama tidak lain daripada
bimbingan atau tuntunan yang diberikan kepada seseorang untuk
menunjukan perkembangan budi pekerti dalam menanamkan rasa
cinta kepada ajaran agama dan mau berbuat sesuai dengan ajaran
agama.

Jadi, Pendidikan Agama Hindu adalah suatu usaha sadar untuk

menyiapkan siswa dalam memahami, meyakini, menghayati dan

mengamalkan ajaran agama Hindu sebagai wujud Pengamalan Pancasila,

melalui bimbingan pengajaran dan latihan dengan memperhatikan tuntutan

saling menghormati antar umat beragama dalam kehidupan masyarakat,

untuk mewujudkan persatuan nasional.


23

Berbagai bahasan terkait pengertian pendidikan di atas, lebih lanjut

peneliti mendeskripsikan pengertian tentang anak. Dalam Kamus Bahasa

Indonesia Sekolah Dasar (2008: 12), anak didefinisikan sebagai

keturunan yang kedua.


Menurut Titib (2007: 118), anak yang dalam bahasa Sanskerta

disebut putra. Titib lebih jauh menjelaskan sebagai berikut:


Kata putra pada mulanya berarti kecil atau yang disayang,
kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya
seorang anak lahir dalam keluarga: Oleh karena seorang anak
yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang
disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh
karena itu ia disebut Putra (Manavadharmasastra IX.138).

Muin (2011: 368) menyatakan bahwa anak adalah simbol

kejayaan suatu keberadaan manusia sebagai makhluk hidup yang sifat

sejatinya adalah reproduksi dan regenerasi. Selain itu, dalam bukunya

Titib (2007: 119) menjelaskan sebagai berikut:


Ada kata yang lain untuk menyebut kata anak/putra adalah sunu,
atmaja, atmasambhava, nandana, kumara dan samtana. Kata
yang terakhir ini di Bali menjadi kata sentana yang berarti
keturunan. Seperti yang termuat dalam Adiparva (74, 38)
dinyatakan, Seseorang dapat menundukan dunia dengan lahirnya
anak, ia memperoleh kesenangan yang abadi, memperoleh cucu-
cucu dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan yang abadi
dengan lahirnya cucu-cucunya. Anak sebagai pelanjut keturunan
yang disebabkan oleh naluri (insting) makhluk manusia untuk
melanjutkan keberadaannya. Hal ini sejalan dengan pandangan
susastra Hindu yang mendukung betapa pentingnya setiap keluarga
memiliki anak.

Pengertian tentang anak didefinisikan secara beragam. Menurut

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, yang dimaksud dengan anak

adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan

belum pernah kawin. Sementara itu, dalam Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional


24

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, memberi

definisi bahwa anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18

(delapan belas) tahun. Definisi ini sejalan dengan definisi yang termuat

dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak yang memberi definisi bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan.


Dari tiga definisi tentang anak yang dikemukakan dalam undang-

undang maupun keputusan presiden, maka peneliti menyimpulkan bahwa

anak ialah seseorang baik laki-laki atau perempuan yang belum mencapai

usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah.


Berdasarkan hal yang telah diungkapkan di atas, sejatinya

pendidikan anak menurut Tanu (2010: 3) menjelaskan peran keluarga

dalam pendidikan sebagai berikut:


Keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama bagi
anak yang memiliki peranan penting dalam membentuk akhlak dan
moral peserta didik. Hal ini disebabkan oleh anak pertama kali
mendapat pendidikan agama di lingkungan keluarga yakni sebelum
anak tersebut melanjutkan ke lembaga pendidikan formal
berikutnya yaitu pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Pendidikan terhadap anak merupakan realisasi tanggung jawab

orang tua, masyarakat, dan pemerintah, yang dimulai dari lingkup terkecil,

yaitu orang tua sejak kelahiran seorang anak, setiap orang tua berharap

anaknya sukses dalam kehidupan. Pemahaman bahwa keberhasilan dan

kesuksesan anak dapat diraih dan ditentukan oleh aspek pendidikan,

membuat keinginan orang tua semakin kuat untuk menyekolahkan anak.

Pendidikan anak menekankan pada masalah anak dilihat dari aspek

periodisasi perkembangan dan potensi keagamaannya. Menurut Elizabet


25

Hurlock (Huda dan Idris, 2008: 69), berikut periodisasi berdasarkan

didaktis yaitu:

a. Masa sebelum lahir (prenatal): 9 bulan


b. Masa bayi baru lahir (new born): 0-2 minggu
c. Masa bayi (babyhood): 2 minggu- 2 th
d. Masa kanak-kanak awal (early childhood): 2-6 th
e. Masa kanak-kanak akhir (later chilhood): 6-12 th
f. Masa puber (puberty): 11/12 15/16 th
g. Masa remaja (adolesence): 15/16 21 th
h. Masa dewasa awal (early adulthood) : 21-40 th
i. Masa dewasa madya (middle adulthood): 40-60 th
j. Masa usia lanjut (later adulthood): 60-..

Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai klasifikasi

periode/fase perkembangan manusia yang paling luas digunakan (Huda

dan Idris, 2008: 69-71):

a. Periode prakelahiran (prenatal period), ialah saat dari


pembuahan hingga kelahiran. Periodeini merupakan masa
pertumbuhan yang luar biasa dari satu sel tunggal hingga
menjadi organisme yang sempurna dengan kemampuan otak
dan perilaku, yang dihasilkan kira-kira dalam periode 9 bulan.
b. Masa bayi (infacy), ialah periode perkembangan yang
merentang dari kelahiran hingga 18 atau 24 bulan. Masa bayi
adalah masa yang sangat bergantung pada orang dewasa.
Banyak kegiatan psikologis yang terjadi hanya sebagai
permulaan seperti bahasa, pemikiran simbolis, koordinasi
sensorimotor, dan belajar sosial.
c. Masa awal anak-anak (early chidhood), yaitu periode
pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima
atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode
prasekolah. Selama masa ini, anak anak kecil belajar semakin
mandiri dan menjaga diri mereka sendiri, mengembangkan
keterampilan kesiapan bersekolah (mengikuti perintah,
mengidentifikasi huruf), dan meluangkan waktu berjam jam
untuk bermain dengan teman-teman sebaya. Jika telah
memasuki kelas satu sekolah dasar, maka secara umum
mengakhiri masa awal anak-anak.
d. Masa pertengahan dan akhir anak-anak (middle and later
childhood), ialah periode perkembangan yang merentang dari
usia kira-kira enam hingga sebelas tahun, yang kira-kira setara
dengan tahun-tahun sekolah dasar, periode ini biasanya disebut
dengan tahun-tahun sekolah dasar. Keterampilan-keterampilan
26

fundamental seperti membaca, menulis, dan berhitung telah


dikuasai. Anak secara formal berhubungan dengan dunia yang
lebih luas dan kebudayaan. Prestasi menjadi tema yang lebih
sentral dari dunia anak dan pengendalian diri mulai meningkat.
e. Masa remaja (adolescence), ialah suatu periode transisi dari
masa awal anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki
pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia
18 tahun hingga 22 tahun. Masa remaja bermula pada
perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan
yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan
karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada,
perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada
perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat
menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan
semakin banyak menghabiskan waktu di luar keluarga.
f. Masa awal dewasa (early adulthood), ialah periode
perkembangan yang bermula pada akhir usia belasan tahun atau
awal usia dua puluhan tahun dan yang berakhir pada usia tiga
puluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian
pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karir, dan bagi
banyak orang, masa pemilihan pasangan, belajar hidup dengan
seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan mengasuh anak
anak.
g. Masa pertengahan dewasa (middle adulthood), ialah periode
perkembangan yang bermula pada usia kira-kira 35 hingga 45
tahun dan merentang hingga usia enam puluhan tahun. Ini
adalah masa untuk memperluas keterlibatan dan tanggung
jawab pribadi dan sosial seperti membantu generasi berikutnya
menjadi individu yang berkompeten, dewasa dan mencapai
serta mempertahankan kepuasan dalam berkarir.
h. Masa akhir dewasa (later adulthood), ialah periode
perkembangan yang bermula pada usia enam puluhan atau
tujuh puluh tahun dan berakhir pada kematian. Ini adalah masa
penyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan,
menatap kembali kehidupannya, pensiun, dan penyesuaian diri
dengan peran peran sosial baru.

Sebagaimana Berk (dalam Suyadi, 46) juga membuat pembagian

periode perkembangan anak-anak beserta ciri khasnya dapat dilihat pada

tabel berikut ini:

Tabel
Tahapan Perkembangan Individu Beserta Ciri Khas
Periode Usia Ciri kasar
Masa prenatal konsepsi- Sel organisme yang membentuk
27

lahir menjadi bayi dan bertahan hidup


selama dalam kandungan.
Masa bayi Lahir-2 tahun Perubahan cepat yang terjadi pada
tubuh dan otak, motor perceptual,
kemampuan intelektual dan
hubungan dengan orang sekitar.
Masa kanak-kanak 2-6 tahun Tahun bermain, kemampuan motorik
awal mulai baik, pikiran dan bahasa
meluas, kesusilaan jelas dan anak
mulai mandiri dengan teman sebaya.
Masa pertengahan 6-11 tahun Tahun sekolah terjadi peningkatan
dan akhir kanak- pada kemampuan atletik, proses
kanak pemikiran yang logis, mampu
mengenal huruf, mengerti diri
sendiri, kesusilaan, persahabatan dan
teman sebaya yang tergabung dalam
grup.
Dalam periodisasi tahapan perkembangan yang diungkapkan ahli di

atas, lebih jauh dalam penelitian ini nantinya peneliti mengkaji tahapan

periodisasi perkembangan anak menurut Kitab Suci Panaturan

berdasarkan perkembangan fisik anak berdasarkan ciri khas tahapan

perkembangan yang dialami anak, sebab dalam ayat-ayat Kitab Suci

Panaturan hanya menuturkan perkembangan fisik dari sejak dalam

kandungan, bayi, setelah lahir, anak-anak, remaja, dewasa, dan saat anak

memulai kehidupan berumah tangga. Sehingga periodisasi pendidikan

anak seperti tahapan perkembangan umur anak di atas, hanya sebagai

komparatif/pembanding saja dalam penelitian ini.

Berdasar atas beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas

maka peneliti menyatakan bahwa pendidikan anak merupakan usaha dan

proses yang bertujuan membimbing dan membentuk anak ke arah

memasuki usia kedewasaan, yaitu sejak anak berada dalam kandungan

sampai dengan anak memasuki masa awal usia kedewasaanya, dengan

penanaman nilai-nilai luhur berdasar pada ajaran agama yang dianut


28

sebagai wujud tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan pemerintah,

agar anak menuju karakter yang mulia dan sesuai ajaran Dharma.

2. Hindu Kaharingan
Sebelum membahas tentang Hindu Kaharingan terlebih dahulu

peneliti menjelaskan pengertian dari Hindu dan Kaharingan, sebab Hindu

Kaharingan adalah kepercayaan lokal yang dianut sebagian besar

penduduk Provinsi Kalimantan Tengah. Sejak kepercayaan Kaharingan

berintegrasi dengan Hindu tahun 1980, sehingga sejak saat itu penganut

kepercayaan Kaharingan mulai dikenal sebagai Hindu/Hindu Kaharingan.


Menurut Awanita (2003: 5) menjelaskan bahwa, Kata Hindu

berasal dari bahasa Yunani, hydros atau hidos, dan sebagai nama untuk

menyebutkan kebudayaan atau agama yang berkembang di Lembah

Sungai Sindhu. Sedangkan Ardhana (2002: 3) mendefinisikan, Agama

Hindu sebenarnya dikenal dengan nama Sanatana Dharma yang berarti

agama yang kekal abadi.


Lebih jauh menurut Donder (2014: 453) menjelaskan sebagai

berikut:
Perkataan Hindu sendiri sebenarnya merupakan bentuk perubahan
ucapan dari kata Sindhu Sesuai yang diperkenalkan pertama kali
oleh Brahma kepada para guru kerohanian serta para orang suci di
brahmanda, Sanatana Dharma atau agama Hindu yang merupakan
agama universal untuk keseluruhan dunia yang pada dasarnya
secara langsung berasal dari Tuhan Yang Maha Tinggi.

Dari pengertian di atas, maka agama Hindu adalah merupakan

kebenaran abadi yang mencakup seluruh jalan kehidupan manusia yang

diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi dengan tujuan

untuk menuntun manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup yang

berupa kebahagiaan yang maha tinggi dan kesucian lahir dan bathin.
29

Sedangkan, terkait Kaharingan sebagaimana Koentjaraningrat

(dalam Etika, 2005: 22) mengatakan bahwa:


Agama asli penduduk pribumi Kalimantan Tengah adalah
Kaharingan. Sebutan ini dipergunakan sesudah Perang Dunia II,
ketika penduduk pribumi di Kalimantan timbul suatu kesadaran
akan kepribadian kebudayaan mereka sendiri, dan suatu keinginan
kuat untuk menghidupkan kembali kebudayaan Dayak yang asli.

Sebelum Kaharingan berintegrasi, Riwut (2003: 478) menjelaskan

sebagai berikut:
Kepercayaan asli suku Dayak adalah kepercayaan Agama Heloe
atau Kaharingan. Kaharingan berasal dari kata haring artinya
hidup, dengan demikian Kaharingan mempunyai pengertian
kehidupan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepercayaan orang-orang
Dayak terutama penganut kepercayaan Kaharingan, Kaharingan
telah ada sejak awal penciptaan, sejak awal Ranying Hatalla
(Tuhan) menciptakan manusia. Sejak ada kehidupan Ranying
Hatalla telah mengatur segala sesuatunya untuk menuju jalan
kehidupan ke arah kesempurnaan yang kekal dan abadi.

Menurut Tim Penyusun (1996: 14) menjelaskan sebagai berikut:


Para tokoh Kaharingan meyakini yang dimaksud dengan agama
Helu (Kaharingan) oleh masyarakat Dayak pada saat itu adalah
agama Hindu. Hal tersebut berdasarkan sejarah adanya kerajaan
tertua Hindu, yaitu: Kerajaan Kutai yang ada di Kalimantan Timur
pada abad ke-4 M, dengan ditemukannya batu bertulis berbentuk
Yupa di tepi sungai Mahakam Kalimantan Timur, menyebutkan
tentang kerajaan Kutai. Yupa tersebut berupa tiang batu yang
dipergunakan untuk mengikat binatang korban pada saat
dilaksanakan upacara. Dari isi Yupa tersebut memberikan bukti-
bukti kehinduan yang tertua di Indonesia. Yupa tersebut
menggunakan huruf Pallawa, bahasa Sanskerta. Awal munculnya
istilah Kaharingan, di Pantai Danum Sangiang, yaitu saat Ranying
Hatalla menyebut Cahaya Kehidupan Yang Kekal Abadi yang
disebut Hintan Kaharingan, dan kemudian dikenal sejak berdirinya
organisasi SKDI (Serikat Kaharingan Dayak Indonesia), yang
didirikan pada Tanggal 20 Juli 1950 di Sampit, Kalimantan Tengah.
Kemudian berdiri lagi lembaga Kaharingan di Kalimantan Tengah
pada tahun 1972, yang bernama Majelis Besar Alim Ulama
Kaharingan Indonesia (MBAUKI). Secara organisatoris, belum
diketahui adanya keterkaitan antara SKDI dengan MBAUKI, tetapi
besar kemungkinan lembaga baru ini merupakan perubahan dari
SKDI untuk mewadahi gencarnya perjuangan agar kepercayaan
mereka diakui oleh Negara. Setelah Desember tahun 1979,
MBAUKI mengadakan musyawarah besar. Mereka berhasil
mencapai kesepakatan agar Kaharingan diakui sebagai salah satu
30

agama oleh Negara. Namun, kondisi waktu itu tidak


memungkinkan lahirnya agama lain di luar lima agama yang
diakui Negara. Dengan alasan itu Kanwil Departemen Agama
Kalimantan Tengah menyarankan agar Kaharingan menginduk
pada agama Hindu, mungkin karena lembaga pemerintah melihat
kemiripan antara Kaharingan dengan Hindu. Setelah itu, MBAUKI
menerima saran tersebut. Sejak saat itu, MBAUKI kemudian
mengubah nama menjadi Majelis Agama Hindu Kaharingan, pada
tanggal 30 Maret 1980, pengukuhan pengurus lembaga tersebut.
Setelah diproses oleh Kanwil Departemen Agama Kalimantan
Tengah, akhirnya pada tanggal 28 April 1980, Menteri Agama
Republik Indonesia mengeluarkan surat bernomor MA/203/1980
yang berisi persetujuan bergabungnya penganut Kaharingan ke
dalam agama Hindu (Laksono, dkk, 2006: 45-48).

Berdasar pendapat tersebut di atas, agama Heloe/Helu

(Kaharingan), sejak tahun 1980 telah bersatu dengan Hindu dan menjadi

Hindu Kaharingan dan terbentuknya lembaga keagamaan, yaitu Majelis

Besar Agama Hindu Kaharingan (MB-AHK) yang berpusat di Kota

Palangka Raya.
Dengan demikian, dalam penelitian ini Hindu Kaharingan adalah

pemeluk kepercayaan atau ajaran peninggalan leluhur sebenarnya adalah

orang-orang yang meyakini kepercayaan Kaharingan yang sekarang telah

berintegrasi dengan agama Hindu dan berubah nama menjadi Agama

Hindu Kaharingan yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah.


3. Kitab Panaturan
Panaturan adalah kitab suci penganut Hindu Kaharingan.

Panaturan meriwayatkan penciptaan alam semesta dan isinya sejak jaman

dahulu kala mengandung tata aturan dari Ranying Hatalla/Tuhan Yang

Maha Esa.
Terkait Panaturan menurut Tim Penyusun (2007: 11-12)

menjelaskan berikut:
Secara etimologi Panaturan berasal dari bahasa Sangiang, tutur
(segala sesuatu kejadian, riwayat penciptaan alam semesta oleh
Ranying Hatalla Langit, pada awal kejadian jaman dahulu kala).
Kata nutur, artinya memberitahukan, menyampaikan,
31

menyebarkan, meriwayatkan kembali tentang kejadian penciptaan


alam semesta dan isinya oleh Ranying Hatalla Langit. Nuturan,
berubah sebutan menjadi Naturan, berasal dari kata nutur dan
aturan, yaitu menggambarkan, menyampaikan kembali penciptaan
alam semesta pada awal kejadian jaman dahulu kala beserta aturan
(ajaran) dari Ranying Hatalla Langit.

Kaharingan ikut mengalami perkembangan sejak berintegrasi

tahun 1980 dengan Hindu. Kini penganut Hindu Kaharingan bukan hanya

memiliki kitab suci yang dijadikan pedoman atau petunjuk menjalani

kehidupan, juga mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai

Basarah atau Balai Kaharingan sebagai tempat suci, dan buku-buku

agama lain yang diterbitkan seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa),

Tawur (Petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan ritual

menabur beras), dan sebagainya.


Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Panaturan adalah

kitab yang meriwayatkan penciptaan alam semesta dan isinya sejak jaman

dahulu kala mengandung tata aturan (petunjuk), yang banyak memuat nila-

nilai, ajaran, tata cara, petunjuk pelaksanaan ritual upacara kepada umat

manusia yang bersumber dari wahyu suci Ranying Hatalla/Tuhan Yang

Maha Esa.
32

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Kitab Panaturan


1. Identitas Kitab Panaturan
Panaturan adalah kitab yang disucikan oleh umat Hindu

Kaharingan khususnya di Kalimantan Tengah, isinya banyak memuat

tentang ajaran-ajaran ketuhanan, nilai-nilai etika dan tata cara pelaksanaan

ritual, yang bersumber dari ajaran Ranying Hatalla kepada Raja Bunu dan

keturunannya.
Menurut Tim Penyusun (2005: 2), mendefinisikan Panaturan

sebagai berikut:
Istilah Panaturan berasal dari bahasa Sangiang yaitu kata naturan
yang artinya menuturkan atau mensilsilahkan yang kemudian
mendapatkan awalan Pa sehingga menjadi kata Panaturan
yang mempunyai arti kitab suci yang menuturkan atau
mensilsilahkan tentang proses penciptaan alam semesta beserta
isinya, para Malaikat atau Dewa serta fungsinya bagi umat
manusia, atau aturan kehidupan manusia serta tata cara ritual umat
Hindu Kaharingan

Terkait pengertian Panaturan di atas, Etika (2005: 71)

menambahkan definisi Panaturan yaitu:


Kata Panaturan berasal dari bahasa Sangiang, asal kata tutur
berarti pesan/wahyu. Pesan/wahyu tersebut berisikan ajaran yang
diturunkan oleh Ranying Hatalla bersamaan dengan penciptaan
manusia dalam kehidupan dunia. Kata tutur mendapat awalan pa
dan akhiran an, sehingga menjadi kata Panaturan. Jadi, kata
Panaturan berarti pesan/wahyu beruapa ajaran tentang bagaimana
menjalankan kehidupan dan tentang bagaimana cara manusia
kembali kepada Ranying Hatalla.

34
33

Tutur dimaksud didengar langsung oleh leluhur manusia yaitu Raja


Bunu dan keturunaannya, baik ketika di Lewu Bukit Batu Nindan
Tarung, maupun di Pantai Danum Kalunen. Kemudian tutur
tersebut disampaikan kepada nenek moyang umat Kaharingan
secara turun temurun (para Basir/Rohaniwan) berikutnya secara
lisan pula. Kemudian pada tahun 1970-1971 ditulislah tutur itu ke
dalam sebuah buku/kitab, bernama Buku Panaturan, sebagai
penuntun umat manusia dalam rangka melaksanakan ajaran
Ranying Hatalla.

Pranata dkk (2009: 62) menambahkan sebagai berikut:

Proses Panaturan menjadi sebuah kitab suci sangatlah panjang, hal


ini dapat dilihat dari perjuangan tokoh-tokoh Kaharingan yang
dimulai dari Rapat Damai Tumbang Anoi, selanjutnya perjuangan
para tokoh muda Kaharingan dalam memperjuangkan
eksistensinya melalui Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI)
yang terbentuk pada Tanggal 20 Juli 1950 dalam hal
memperjuangkan provinsi Kalimantan Tengah, dan melalui SKDI
inilah pertama kali menyatakan Kaharingan sebagai agama.

Menurut Riwut (1939: 75-76) menjelaskan berikut ini:

Istilah Kaharingan mulai dikenal dari tulisannya dalam buku yang


berjudul Kamiar Oetoes Itah Dajak Hong 100 Njelo, yang
menyebut bahwa untuk menamakan kepercayaan yang dianut oleh
suku Dayak di Kalimantan kala itu, Dayak inilah yang awalnya
menganut Kepercayaan Heloe (Dahulu), artinya agama yang
pertama dianut oleh suku Dayak, yang dalam perkembangannya
disebut Kaharingan.

Dengan demikian, Panaturan merupakan kitab yang diyakini umat

pemeluk Agama Hindu Kaharingan sebagai pedoman hidup, tuntunan,

yang menuturkan sumber ajaran yang berasal dari Ranying Hatalla/Tuhan

Yang Maha Esa, memuat pokok-pokok ajaran ketuhanan, nilai-nilai etika,

tata cara upacara ritual yang berhubungan dengan kehidupan manusia di

dunia.

Penyusunan Panaturan dihimpun dengan narasumber adalah para

Basir dan rohaniwan Kaharingan. Panaturan pertama kali terbit pada

tahun 1972 yang berisikan 27 pasal. Kemudian dalam perkembangannya


34

Kitab Panaturan beberapa kali diterbitkan ulang. Teks Panaturan pada

tahun 1993-1995, mengalami perubahan sedikit dan menggunakan dua

bahasa yaitu bahasa Sangiang dan bahasa Indonesia dan terdapat

penambahan jumlah pasal menjadi 63 pasal.

Menurut Bajik R. Simpei (dalam Etika, 2005: 71) menjelaskan

terkait penerbitan ulang kitab Panaturan adalah:

Penambahan jumlah pasal dalam kitab Panaturan tersebut


sesungguhnya merupakan pengembangan dan penjabaran ke 27
pasal kitab Panaturan sebelumnya, terutama penjelasan mengenai
berbagai macam upacara keagamaan. Ia menjelaskan bahwa
walaupun Panaturan diterbitkan berulang-ulang dengan warna
sampul yang berbeda oleh beberapa lembaga yang berbeda pula,
serta ada sedikit varian tebal dan tipisnya halaman, akan tetapi
tidak jauh berbeda, karena sifatnya hanya sebagai peremajaan kulit
sampul dan kertas, namun bahasa yang digunakan dalam penulisan
Kitab Panaturan yakni menggunakan bahasa Sangiang (bahasa
Dayak Kuno) dan bahasa Indonesia.

Dengan demikian, maka Panaturan tahun 2013 merupakan upaya

penerbitan ulang Kitab Suci Panaturan oleh Widya Dharma Denpasar.

Dalam Panaturan tersebut terdapat 63 Pasal dengan jumlah ayat sebanyak

2.899 ayat dan ketebalan halaman yaitu 652 halaman, serta bahasa yang

digunakan di dalamnya adalah bahasa Sangiang dan terjemahan bahasa

Indonesia.

2. Naskah Pasal Kitab Panaturan


Naskah Kitab Panaturan tahun 2013 yang penulis teliti terdiri dari

63 pasal yang memuat 2.899 ayat. Mengingat banyaknya jumlah pasal dan

ayat tersebut, maka dalam penelitian ini diambil beberapa pasal yang

berhubungan dengan nilai pendidikan anak (naskah pasal dalam lampiran)

dengan sinopsis sebagai berikut:


35

Pasal 19 terdiri 19 ayat, tentang Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut Iatuh Gawin Lunuk Hakaja Pating Umba Kameluh

Putak Bulau Janjulen Karangan, menuturkan perkawinan Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut dengan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan, serta keinginan keduanya untuk memiliki anak. Upacara

perkawinan tersebut dilangsungkan oleh Raja Uju Hakanduang di Bukit

Batu Nindan Tarung Kereng Liang Bantilung Nyaring.


Pasal 20 terdiri dari 21 ayat, tentang Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun, Handiwung

Kanyurung Pusu, Pandung Bapangku Anake, menuturkan tentang

Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun

yang sedang hamil setelah perkawinannya dengan Manyamei Tunggul

Garing Janjahunan Laut, dan dituturkan pula prosesi upacara kelahiran

anak Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun, serta keduanya

memiliki tiga anak laki-laki sekaligus yang diberi nama: Raja Sangen,

Raja Sangiang dan Raja Bunu.


Pasal 22 terdiri dari 19 ayat, tentang Raja Bunu Dia Tau Baseput

Barigas Hakananan Pantar Pinang, menuturkan tentang anak Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan yaitu Raja Bunu, yang mengalami kesulitan dalam

pertumbuhannya, karena tidak memiliki nafsu makan seperti kedua

saudaranya. Sehingga Raja Bunu tidak dapat tumbuh gemuk dan sehat

sebagaimana kedua saudaranya Raja Sangen dan Raja Sangiang.

Kemudian selanjutnya dituturkan Ranying Hatalla menganugerahkan


36

suatu makanan bagi Raja Bunu, sehingga ia bisa tumbuh sehat seperti

kedua saudaranya.
Pasal 23 terdiri dari 25 ayat, tentang Raja Sangen, Raja Sangiang,

Tuntang Raja Bunu Inuah, menuturkan tentang anugerah dari Ranying

Hatalla yang diterima oleh ketiga anak Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan saat

sedang asyik bermain di sungai, berupa sebatang besi yang timbul di

permukaan air sungai, dimana besi tersebut, bagian ujungnya timbul di

permukaan air dan bagian sisi lainnya lagi tenggelam. Selanjutnya bagian

besi yang dianugerahkan dan dipegang anak-anak Manyamei Tunggul

Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan

tersebut nantinya akan dijadikan pusaka dan menentukan kehidupan

mereka di kemudian hari.


Pasal 24 terdiri dari 43 ayat, tentang Raja Sangen, Raja Sangiang

dan Raja Bunu Kanuah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang

Barikur Hintan, menuturkan tentang Raja Sangen, Raja Sangiang dan

Raja Bunu yang saat sedang berburu di Bukit Engkang Penyang

dianugerahi berupa seekor binatang yaitu Gajah Bakapek Bulau, Unta

Hajaran Tandang Barikur Hintan. Kemudian binatang tersebut diburu

oleh Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu dengan senjata pusaka

yang masing-masing mereka miliki. Kemudian pada suatu ketika dimana

Raja Bunu yang menikam Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang

Barikur Hintan dengan senjata yang dimilikinya maka bekas tikamannya

tidak pulih sehingga akhirnya Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran

Tandang Barikur Hintan menghembuskan nafasnya di hulu Batang


37

Danum Tiawu Bulau yang dipenuhi dengan harta kekayaan, emas, intan,

lilis lamiang, harta kekayaan tempat yang abadi selamanya, yang telah

diciptakan Ranying Hatalla, disebut sebagai Lewu Tatau Dia Rumpang

Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat.


B. Analisis Isi (Content Analysis) Pendidikan Anak Menurut Ajaran Agama

Hindu Kaharingan Dalam Kitab Suci Panaturan


Analisis isi digunakan untuk mengidentifikasi berkaitan dengan isi

komunikasi yang dituturkan dalam Kitab Suci Panaturan, dalam rangka

menemukan pesan yang terkandung dalam ayat-ayat Panaturan yang memuat

pendidikan anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan. Adapun analisis

isi pasal Kitab Panaturan yang terdapat dalam penelitian ini adalah:
1. Pasal 19 Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut I-atuh Gawin

Lunuk Hakaja Pating Umba Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan


Seorang anak dilahirkan dari bersatunya seorang laki-laki dan

perempuan dalam sebuah ikatan perkawinan. Pendidikan bagi anak

menurut ajaran agama Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan

diberikan dan sudah direncanakan oleh setiap pasangan pria dan wanita

memiliki niat membina rumah tangga. Pendidikan yang baik tentu

mengarah kepada implementasi pemikiran, perkataan dan perbuatan yang

baik dan benar pula. Sebagaimana pelaksanaan perkawinan bagi keturunan

Raja Bunu kelak sebagai petunjuk Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa

bagi kehidupan manusia di dunia, dan terkandung dalam ayat-ayat yang

terdapat dalam Pasal 19 Kitab Panaturan (MB-AHK, 2013: 56-60)

berikut:
Ayat 1:
Kilen kea amun jadi kinjap tutu pajanjuri dahan Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun palus hindai atun
mandinun garing tarantange, sihung lalundung.
38

Terjemahannya:
Melihat beberapa kejadian yang telah berlalu, sering Kameluh Putak
Bulau Janjulan Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun pajanjuri
darahnya, namun masih belum juga mendapat anak keturunannya.

Hasil analisis:
Sejak Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, Sahawung

Tangkuranan Hariran yang hidup bersama dengan Kameluh Putak Bulau

Janjulan Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun menyebabkan Kameluh

Putak Bulau Janjulan Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun

mengalami pajanjuri darah sebanyak dua belas kali, yang diindikasi

sebagai kejadian keguguran, sehingga keduanya masih belum juga

memperoleh keturunan yang dinantikan dalam kehidupannya.


Ayat 2:
RANYING HATALLA jadi mangahandak kakare taluh handiai ije jadi
injadiae tuntang kalute kea huang kakare taluh handiai ije injadiae harian
andau tinai; Hayak te kea IE japa-japan tatah: Hetuh jadi umbet katika
AKU manjadian kakare taluh handiai huang pambelum kalunen; AKU
manjadian biti bereng aingKU akan manyuang pambelum ije ingahandak
awiKU.

Terjemahannya:
RANYING HATALLA sudah berkehendak demikian, begitu pula IA
menjadikan segala Kehendaknya untuk masa mendatang; Maka IA
berfirman: Sekarang tibalah saatnya AKU menjadikan kehidupan dunia,
AKU menciptakan wujud serupa AKU untuk mengisi kehidupan dunia
yang AKU kehendaki, karena sesungguhnya kehidupan itu adalah AKU.

Hasil analisis:
Ranying Hatalla adalah Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah mencipta dan

menjadikan seluruh kehidupan di dunia ini termasuk bagi kehidupan

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan. Setelah menciptakan berbagai makhluk yang mengisi

alam semesta melalui kejadian pajanjuri darah yang dialami Kameluh

Putak Bulau Janjulen Karangan, maka sudah waktunya ia menciptakan

wujud serupa Ranying Hatalla, maksudnya adalah IA berkehendak


39

menciptakan makhluk ciptaan yang memiliki bentuk dan sifat-sifat luhur

atau sifat-sifat kedewataan. Kehidupan di dunia tidak akan terjadi tanpa

kehendak dari Yang Maha Kuasa, Ranying Hatalla.


Ayat 3:
Ewen ndue tuh puna ilalus gawin lunuk hakaja pating, baringen hatamuei
bumbung, awi ewen sintung ndue dapit jeha ije manak manarantang
hatamunan AKU huang pambelum Pantai Danum Kalunen ije puna
ingahandak awi-KU tuntang talatah panggawie, manjadi suntu akan
pambelum Pantai Danum Kalunen.

Terjemahannya:
Sesungguhnya mereka berdua ini adalah wujudKU sendiri, AKU akan
melaksanakan Upacara Perkawinannya agar mereka dapat memberikan
keturunan serupa AKU, bagi kehidupan dunia yang AKU kehendaki, dan
ini pula yang akan mereka lakukan pada kehidupan dunia nantinya.

Hasil analisis:
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan merupakan ciptaan Ranying Hatalla. Namun, agar

keduanya dapat melahirkan ciptaan yang memiliki sifat-sifat kedewataan

(ketuhanan), tidak dikuasai oleh sifat-sifat negatif, dan senantiasa

mengutamakan ajaran kebenaran, maka Ranying Hatalla menghendaki

keduanya melaksanakan upacara perkawinan. Hal ini bukan hanya

dilaksanakan bagi keduanya, tetapi sampai kehidupan-kehidupan

selanjutnya di masa yang akan datang.


Ayat 4:
RANYING HATALLA tuntang JATHA BALAWANG BULAU malawu rawei
hayak manyahuan RAJA UJU HAKANDUANG pajing tingang nulak
lunuk nanturung Bukit Batu Nindan Tarung, nyahendeng Kereng Liang
Bantilung Nyaring.

Terjemahannya:
RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU berfirman kepada
Raja Uju Hakanduang agar segera turun menuju Bukit Batu Nindan
Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring.

Hasil analisis:
40

Raja Uju Hakanduang adalah wujud kesaktian Ranying Hatalla dan Jatha

Balawang Bulau. Mereka ditugaskan untuk melaksanakan perkawinan dan

turun menuju Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung

Nyaring.
Ayat 5:
Hemben te kea RANYING HATALLA tuntang JATHA BALAWANG BUL
AU hapeteh rawei umba RAJA UJU HAKANDUANG pajing malalus
lunuk hakaja pating, baringen hatamuei bumbung akan Manyamei
Tunggul Garing Janjahunan Laut ewen ndue Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan.

Terjemahannya:
Pada saat itu RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU
berfirman lagi kepada Raja Uju Hakanduang, agar segera melaksanakan
Upacara Perkawinan bagi Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut
dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan.

Hasil analisis:
Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau melalui kuasanya

menginginkan wujud kesaktiannya yaitu Raja Uju Hakanduang untuk

melaksanakan upacara perkawinan bagi Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan. Upacara

pekawinan merupakan upacara yang diliputi kesucian dan dilaksanakan

atas kehendak Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau bagi kehidupan

di dunia nantinya.
Ayat 6:
Limbah jadi mandinun peteh mandehen, janji manjiret bara RANYING
HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU, te RAJA UJU
HAKANDUANG palus tingang nusang hadurut lunuk nanturung Bukit
Batu Nindan Tarung.

Terjemahannya:
Kemudian setelah mendapat firman RANYING HATALLA dan JATHA
BALAWANG BULAU, Raja Uju Hakanduang langsung berangkat menuju
Bukit Batu Nindan Tarung.

Hasil analisis:
41

Raja Uju Hakanduang yang memiliki kesaktian Yang Maha Kuasa, setelah

mendapat tugas sesuai petunjuk dari Ranying Hatalla, mereka langsung

menuju Bukit Batu Nindan Tarung.


Ayat 7:
Ewen RAJA UJU HAKANDUANG, KANARUHAN HANYA BASAKATI te,
iete bagare:
- Raja Mandurut Untung
- Raja Mandurut Bulau
- Raja Barakat
- Raja Angking Penyang
- Raja Garing Hatungku
- Raja Panimbang Darah
- Raja Tamanang
Ewen Raja Uju Hakanduang jetu, iete ije inyewut huang katamparan
kajadian kakare taluh handiai.

Terjemahannya:
Raja Uju Hakanduang itu, yaitu:
- Raja Mandurut Untung
- Raja Mandurut Bulau
- Raja Barakat
- Raja Angking Penyang
- Raja Garing Hatungku
- Raja Panimbang Darah
- Raja Tamanang
Mereka ini adalah Raja Uju Hakanduang yang disebutkan sebelumnya
pada awal kejadian dari RANYING HATALLA.

Hasil analisis:

Raja Uju Hakanduang adalah manifestasi Ranying Hatalla dalam bentuk

kekuatan dan kesaktiannya, mereka adalah manifestasi Yang Maha Kuasa,

Ranying Hatalla yang beraktivitas sesuai tugas dan fungsinya yang

dituturkan dalam pasal 3 Kitab Suci Panaturan.

Ayat 8:

Raja Uju Hakanduang hadurut mimbit kakare paramun lunuk hakaja


pating, parabean baringen hatamuei bumbung, iete: Sawang Tanggan
Tarung, Ranying Pandereh Bunu, Uei Rantihen Tingang, Bawui Samben,
Manuk Darung Tingang, Lamiang Bua Garing Belum, Manas Sambelum
Perun Tambun, tuntang ije beken kea paramun gawi.
42

Terjemahannya:
Raja Uju Hakanduang berangkat membawa semua peralatan Upacara
Perkawinan, yaitu pohon Sawang Tanggan Tarung, Manuk Darung
Tingang, Lamiang Bua Garing Belum, Manas Sambelum Perun Tambun
dan yang lainnya merupakan kelengkapan Upacara.

Hasil analisis:

Proses pelaksanaan upacara perkawinan bagi Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan oleh Raja

Uju Hakanduang disertai dengan menyediakan sarana dan prasarana

perlengkapan upacara, yaitu: Pohon Sawang Tanggan Tarung, Manuk

Darung Tingang, Lamiang Bua Garing Belum, Manas Sambelum Perun

Tambun dan yang lainnya.

Ayat 9:

Kakare taluh ije imbit awi RAJA UJU HAKANDUANG, KANARUHAN


HANYA BASAKATI, uras atun tagal kahain kuasan RANYING HATALLA
ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU ma-atuh taluh handiai tumun
kahandake.

Terjemahannya:
Segala sesuatu yang dibawa oleh Raja Uju Hakanduang, yang semuanya
itu adalah oleh Kebesaran Kekuasaan RANYING HATALLA dan JATHA
BALAWANG BULAU, sebagaimana yang IA kehendaki.

Hasil analisis:

Sarana dan prasarana yang disediakan oleh Raja Uju Hakanduang bagi

perkawinan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh

Putak Bulau Janjulen Karangan, disediakan atas petunjuk Ranying

Hatalla bagi kehidupan di dunia. Peralatan inilah yang nantinya juga ada

di setiap pelaksanaan upacara perkawinan di masa-masa yang akan datang.

Ayat 10:

Sana sembang Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung


Nyaring, Raja Uju Hakanduang hasembang tanduke umba Manyamei
43

Tunggul Garing Janjahunan Laut ewen ndue Kameluh Putak Bulau


Janjulen Karangan.

Terjemahannya:
Setiba Raja Uju Hakanduang di Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang
Bantilung Nyaring, mereka langsung bertemu dengan Manyamei Tunggul
Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan.

Hasil analisis:

Atas petunjuk Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau kepada Raja

Uju Hakanduang untuk melaksanakan upacara perkawinan, maka

manifestasi kekuatan Ranying Hatalla tersebut bertemu Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan di Bukit Batu Nindan Tarung.

Ayat 11:

RAJA UJU HAKANDUANG janjaruman peteh mandehen, janji manjiret


RANYING HATALLA tuntang JATHA BALAWANG BULAU, ije akan
malalus gawin lunuk hakaja pating, akan Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut ewen due Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan.

Terjemahannya:
Di dalam pertemuan mereka, Raja Uju Hakanduang menyampaikan
firman RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU, bahwa
kedatangan mereka tersebut, untuk melaksanakan Upacara Perkawinan
bagi Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dengan Kameluh Putak
Bulau Janjulen Karangan.

Hasil analisis:

Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau menyampaikan kehendaknya

melalui Raja Uju Hakanduang. Pada pertemuan Raja Uju Hakanduang

dengan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan, maka disampaikan maksud kedatangan mereka

untuk melaksanakan upacara perkawinan bagi keduanya atas petunjuk

yang diberikan Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau.


44

Ayat 12:

Nduan hambekan katun, namunan peteh mandehen RANYING HATALLA


ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU, ketun sintung due tuh akan ilalus
gawin lunuk hakaja pating, baringen hatamuei bumbunge.

Terjemahannya:
Sekarang sesuai dengan firman RANYING HATALLA dan JATHA
BALAWANG BULAU, untuk kalian berdua akan dilaksanakan Upacara
Perkawinan.

Hasil analisis:

Upacara perkawinan bagi Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut

dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan dilaksanakan oleh Raja Uju

Hakanduang sesuai kehendak dan petunjuk dari Ranying Hatalla.

Ayat 13:

Hanjak rantang pahalawang huang, rindang pahateluk kalingu Manyamei


Tunggul Garing Janjahunan Laut mandinun peteh rawei bara RANYING
HATALLA, awi puna IE ije katamparan pambelum, tuntang pambelum
kalunen iete puna AIE kabuate.

Terjemahannya:
Senang sekali Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut menerima
firman RANYING HATALLA, demikian karena sesungguhnya IA akan
mengawali kehidupan dunia dan kehidupan itu adalah diriNYA sendiri.

Hasil analisis:

Kehendak Ranying Hatalla bagi kehidupan Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan memberi

kebahagiaan bagi kehidupan keduanya. Melalui keduanya nantinya mereka

akan memulai menciptakan kehidupan di dunia dengan melahirkan

keturunannya.

Ayat 14:
45

Ie RAJA UJU HAKANDUANG palus malalus peteh mandehen RANYING


HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU malalus gawin lunuk
hakaja pating, baringen hatamuei bumbunge.

Terjemahannya:
Maka Raja Uju Hakanduang langsung melaksanakan firman dari
RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU untuk melakukan
Upacara Perkawinan itu.

Hasil analisis:

Raja Uju Hakanduang melaksanakan Upacara Perkawinan yang terjadi

sesuai petunjuk Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau.

Ayat 15:

Huang katika malalus gawin lunuk hakaja patinge, baringen hatamuei


bumbung RAJA UJU HAKANDUANG mampunduk Manyamei Tunggul
Garing Janjahunan Laut umba Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan
intu hunjun garantung hayak lenge pangantau mimbing batang Sawang
palus tunjuk paninjuk manunjuk akan ngambu manyarurui batang
Sawang, kalute kea paie mantijak batu.

Terjemahannya:
Pada saat melaksanakan Upacara Perkawinan, disitu Raja Uju
Hakanduang menempatkan Manyamei Tunggul Garing Janjuhanan Laut
dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan duduk di atas gong dan
tangan kanan mereka berdua memegang pohon Sawang serta telunjuk
jarinya menunjuk ke atas, begitu pula kaki mereka berdua menginjak batu.

Hasil analisis:

Prosesi upacara perkawinan yang dilakukan oleh Raja Uju Hakanduang

adalah Manyamei Tunggul Garing Janjuhanan Laut dan Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan ditempatkan duduk di atas gong dan tangan

kanan mereka memegang pohon Sawang serta telunjuk jari menunjuk ke

atas sambil kaki mereka berdua menginjak batu.

Ayat 16:

Ewen sintung ndue jadi mandukan hunjun garantung, hete Raja Uju
Hakanduang manyaki ewen sintung ndue mahapan darah manuk, bawui,
46

manitis undus, palus mameteng lilis lamiang, manas sambelum, hayak


mantar pinang sama hanjenan kapantar.

Terjemahannya:
Mereka berdua berada di atas gong, saat itu pula Raja Uju Hakanduang
mengoles darah ayam, babi, menetes minyak di kepalanya dan mengikat
lilis lamiang, manas sambelum, serta seusai itu semua, mereka berdua
memakan sirih pinang.

Hasil analisis:

Prosesi perkawinan tersebut yakni Manyamei Tunggul Garing Janjahunan

Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan yang duduk di atas

gong, saat itu Raja Uju Hakanduang mengoles darah ayam, babi, menetes

minyak di kepala keduanya dan mengikat lilis lamiang, manas sambelum,

serta seusai itu semua, kemudian keduanya memakan sirih pinang.

Ayat 17:

Limbah munduk hunjun garatung ewen sintung due mendeng nanturung


baun tunggang parung hayak nekap bahat ambu parung nukiii
naharungking bahing mandehen peteh RANYING HATALLA tuntang
JATHA BALAWANG BULAU.

Terjemahannya:
Sesudah duduk di atas gong, mereka berdua berdiri untuk menuju pintu
rumah dan di situ tangannya memegang sisi pintu seraya mengucapkan
pekikan tujuh kali, mereka berdua berjanji memegang teguh firman
RANYING HATALLA.

Hasil analisis:

Pada saat prosesi perkawinan tersebut Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan berdiri

untuk menuju pintu rumah dan di situ tangannya memegang sisi pintu

sambil mengucapkan pekikan tujuh kali, sebagai tanda memegang teguh

ajaran RANYING HATALLA.

Ayat 18:
47

Ewen sintung ndue malalus kakare peteh mandehen RANYING HATALLA


tuntang JATHA BALAWANG BULAU, hayak jetuh kea ije manjadi suntu
dapit jeha huang pambelum Pantai Kalunen ije ingahandak awi
RANYING HATALLA.

Terjemahannya:
Mereka berdua telah melaksanakan semua firman RANYING HATALLA
dan JATHA BALAWANG BULAU, dan ini pulalah yang menjadi contoh
kemudian hari bagi kehidupan dunia sebagaimana dikehendaki RANYING
HATALLA.

Hasil analisis:

Pelaksanaan upacara perkawinan bagi Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan adalah

kehendak Yang Maha Kuasa agar nantinya upacara yang dilakukan oleh

keduanya tersebut menjadi petunjuk dan contoh bagi keturunannya kelak

untuk memulai membina kehidupan suami istri.

Ayat 19:

Limbah jadi gawin lunuk hakaja pating, baringen hatamuei bumbung,


huang Bukit Batu Nindan Tarung, Raja Uju Hakanduang gandang
halalian buli umba RANYING HATALLA mijen Batang Danum Banyahu
Bulau.
Terjemahannya:
Kemudian setelah selesai palaksanaan Upacara Perkawinan di Bukit Batu
Nindan Tarung, Raja Uju Hakanduang kembali pada RANYING
HATALLA, berada di Batang Danum Banyahu Bulau.

Hasil analisis:

Setelah selesai segala prosesi upacara perkawinan yang dilaksanakan oleh

Raja Uju Hakanduang atas petunjuk dari Ranying Hatalla mereka kembali

menyatu dengan Ranying Hatalla, berada di Batang Danum Banyahu

Bulau.

Dari hasil analisis ayat yang terdapat dalam Pasal 19 tersebut di

atas maka dapat ditemukan, yaitu: 1) Ayat 1-2, menyampaikan penyebab


48

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan yang belum juga memperoleh keturunan; 2) Ayat 3,

menyampaikan petunjuk yang diberikan Ranying Hatalla agar Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan dapat memperoleh keturunan sesuai keinginan keduanya; dan 3)

Ayat 4-19, menyampaikan Raja Uju Hakanduang sebagai manifestasi

Ranying Hatalla yang ditugaskan melaksanakan Upacara Perkawinan bagi

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan sesuai petunjuk Ranying Hatalla.


2. Pasal 20 Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, Limut Batu

Kamasan Tambun, Handiwung Kanyurung Pusu, Pandung Bapangku

Anake
Kehamilan adalah dimulainya konsepsi sampai lahirnya janin.

Masa kehamilan umumnya berlangsung selama sembilan bulan atau lebih.

Pendidikan anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan dalam Kitab

Suci Panaturan diberikan oleh orang tua sejak anak berada dalam

kandungan hingga anak lahir ke dunia. Sebagaimana pasal 20 Panaturan

(MB-AHK, 2013: 60-65) berikut ini:


Ayat 1:
Are kea jadi katahie limbah lunuk hakaja pating, baringen hatamuei
bumbunge, leka atun angat kahubah biti berenge Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun.

Terjemahannya:
Sudah sekian lama setelah upacara perkawinan dilaksanakan, Kameluh
Putak Bulau Janjulen Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun, merasa
ada perubahan dalam tubuhnya.

Hasil analisis:
49

Setelah upacara perkawinan dilaksanakan, Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun mulai merasakan tanda-tanda

kehamilan dalam tubuhnya.

Ayat 2:
Awi atun angat kahubah biti berenge Kameluh Putak Bulau Janjulen
Karangan, hete ie palus malawu rawei umba Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut, kuae: Kahandak Ranying Hatalla ampi uras manjadi
akan pambelum kalunen.

Terjemahannya:
Oleh karena merasa ada perubahan dalam tubuhnya, Kameluh Putak
Bulau Janjulen Karangan berkata pada suaminya Manyamei Tunggul
Garing Janjahuan Laut, katanya: Sesungguhnya RANYING HATALLA
menjadikan kehidupan dunia.

Hasil analisis:
Perubahan yang terjadi dalam tubuh Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan sebagai tanda-tanda kehamilan yang dirasakannya, ia

sampaikan kepada suaminya, Manyamei Tunggul Garing Janjahunan

Laut.

Ayat 3:
Nahingan auh riwut rawei bulan bawi bambaie Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan kalute, Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut
paham hanjak rantang pahalawang huange, awi bulan bawi bambaie jadi
Handiwung Kanyurung Pusue, Pandung Bapangku Anake.

Terjemahannya:
Mendengar pembicaraan isterinya Kameluh Putak Bulau Janjulen
Karangan demikian, maka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut
sangai gembira riang rasa hatinya, bahwa isterinya sudah mulai
mengandung.

Hasil analisis:

Kehamilan yang dialami oleh istrinya membawa rasa kebahagiaan bagi

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, sebab akhirnya mereka

berdua dapat memperoleh keturunannya atas restu dan kehendak Ranying

Hatalla.
50

Ayat 4:
Palus hamauh ie, kuae: Kareh amun sama bujur kabajuran karangkan
lingungku nuah garing tarantang, aku mangan tung hajat, mandehen miat
umba RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU.

Terjemahannya:
Berkata pula ia, nanti kalau betul-betul terwujud harapanku mendapatkan
anak keturunanku, kini aku berjanji untuk bersyukur kepada RANYING
HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU.

Hasil analisis:

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut yang mengetahui isterinya

mulai mengandung anaknya memohon berkat dan anugerah Ranying

Hatalla dan Jatha Balawang Bulau agar niatnya memperoleh keturunan

terwujud dan berjanji untuk mengucap syukur atas berkah yang

dilimpahkan Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau tersebut.

Ayat 5:
Magun Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, kuta-kutak pahalawu
rawei, balaku asi belum, palakuan awat maharing umba RANYING
HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU tau kanuah garing
tarantang hatue kanampan bunu, rayung kanenjek ruhung.

Terjemahannya:
Masih berkata-kata di dalam hatinya Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut, ia bermohon pada RANYING HATALLA dan JATHA
BALAWANG BULAU, agar diberikan anak keturunannya, laki-laki.

Hasil analisis:

Setelah mengetahui isterinya mengandung ada harapan yang diinginkan

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut bagi keturunannya kelak,

yaitu agar Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau menganugerahkan

anak keturunannya laki-laki.

Ayat 6:
Ampie RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU,
atun manahingan pahariwut rawei Manyamei Tunggul Garing
51

Janjahunan Laut, ije balaku asi belum, palakuan awat maharing, hayak
balaku karambang kilau pulau pehun Sawang, hambalat ruwan Jumpung
Bunge.

Terjemahannya:
RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU, sesungguhnya
sudah mengetahui dan mendengar kehendak Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut memohon agar selalu dilindungi dan mendapat kasih
sayang.

Hasil analisis:

Kemahakuasaan Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau sangat besar,

ia sudah mengetahui apa yang ada dalam hati Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut tentang keinginannya pada anak keturunannya yang akan

lahir kelak.

Ayat 7:

Kalute Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, bilak dia buang


andau batanjung pain bukit panjang, haratean puruk batu ambu,
mangilau taluh ije nahuang bulan bawi bambaie hakanana.

Terjemahannya:
Demikian Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, hampir tiada hari
yang dilewatkan untuk berjalan dikaki- kaki bukit, menelusuri kaki
gunung, mencari sesuatu yang dikehendaki oleh isterinya.

Hasil analisis:
Setelah mengetahui isterinya sedang mengandung, Manyamei Tunggul

Garing Janjahunan Laut menelusuri kaki-kaki bukit dan gunung mencari

sesuatu yang diinginkan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan.


Ayat 8:
Hemben te kea RANYING HATALLA atun mameteh umba RAJA UJU
HAKANDUANG, uka janjaruman akan Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut, huang katika bulan bawi bambaie Kameluh Putak
Bulau Janjulen Karangan Handiwung Kanyurun Pusue, uka ie handung
hakatawan, tuntang ie mahaga bulan bawi bambaie te bua-buah.
52

Terjemahannya:
Di saat itu RANYING HATALLA berfirman kepada Raja Uju Hakanduang,
untuk memberitahukan kepada Manyamei Tunggul Garing Janjahunan
Laut, bahwa isterinya Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan
mengandung, agar ia bersungguh-sungguh memelihara isterinya baik-baik.

Hasil analisis:

Ranying Hatalla melalui manifestasi kemahakuasaannya, Raja Uju

Hakanduang, menginginkan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut

untuk senantiasa menjaga baik-baik dan menyayangi isterinya yang sedang

mengandung.

Ayat 9:
Basa kareh, huang ampin tamparan daha ije manjadi bereng ulun
mangalunen, hete atun kajadian ije pangkasulake, jete ije inyewut bagare
LUMPUK MATA, limbah te harun ie kajadian tinai manjadi BITI
BERENG, ISI DAHA, TULANG UHAT tuntang PUPUS BULU.

Terjemahannya:
Sebab nantinya pada saat awal darah menjadi badan manusia, di situ ada
kejadian yang paling pertama, yaitu yang disebut Lumpuk Mata, setelah itu
baru kejadian lagi menjadi Biti Bereng, Isi Daha, Tulang Uhat, Pupus
Bulu, yaitu berbentuk badan, darah daging, urat tulang, kulit dan bulu.

Hasil analisis:

Ranying Hatalla menuturkan bagaimana proses pembentukan manusia

secara sempurna dengan bagian-bagian tubuh yang terbentuk seperti

tersebut di atas.

Ayat 10:
Limbah ewen te jadi sukup atun tuntang tanggar genep katikae, bulan
patendue, banama te baungkar puate, hayak auh Nyahu Batengkung
Ngaruntung Langit, homboh Malentar Kilat Basiring Hawun, IE masuh
Nyalung Badehes Bakarampung Bua Buntis, ngasuhan Guhung Batiki
Bakatepas Sapanakir Mendeng; Huang katika jete atun dumah Janjalung
Tatu Riwut, tame berenge umba hinje ie.

Terjemahannya:
Setelah mereka itu semuanya lengkap dan tiba saatnya serta tepat
waktunya; Darah daging, urat tulang, kulit dan bulu yang berbentuk badan
itu, ia lahir disertai Bunyi Guntur Menggemuruh Semesta Alam, Petir
53

Halilintar Menggelegar Buana, ia lahir disertai Kekuatan dan


Kemahakuasaan Yang Maha Agung, dan saat itu pula IA datang dan
menyatu pada diriNYA.

Hasil analisis:

Setelah semua bagian tubuh telah terbentuk, saat bayi tersebut lahir

nantinya manusia diberikan kehidupan melalui zat kekuatan dan

kemahakuasaan Ranying Hatalla yang memberikan dan mengalirkan nafas

kehidupan dalam tubuh ciptaannya.

Ayat 11:
Huang katika jete kea, ie nukiii naharungking bahinge, mandehen riwute
ije manjadi ASENG PANJANG, tuntang palus atun pahalingei bitie umba
kalawa ain RANYING HATALLA ije rantep hinje umba ie; jete inyewut
HAMBARUAN
.
Terjemahannya:
Disaat itu pula IA berfirman: Bahwa sesungguhnya IA ada hidup bersama
diriNYA, IA berwujud bayangan dari sinar suci RANYING HATALLA yang
menyatu padanya, dan sesungguhnya itu dalam kehidupan, disebut
HAMBARUAN.

Hasil analisis:

Tuhan mempunyai kekuatan yaitu Ia ada berada dalam semua ciptaaanya,

ketika ia menjadikan ciptaaannya ada dalam kehidupan, zat maha suci,

sinar suci Ranying Hatalla ikut menyertainya yaitu jiwa yang bersifat

jamak disebut Hambaruan.

Ayat 12:
Kalute peteh RANYING HATALLA hajamban RAJA UJU HAKANDUANG
ije inyampaie umba Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, palus ie
mahagae bua-buah kakare asi tuntang kahandak ije i-atuh awi RANYING
HATALLA akae, ije kareh akan i-atuh tinai huang pambelum Pantai
Danum Kalunen, tumun jalae tesek, kalute kea jalae buli nanturung
RANYING HATALLA.

Terjemahannya:
Demikian pesan RANYING HATALLA melalui Raja Uju Hakanduang yang
disampaikan kepada Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, dan ia
memeliharanya dan serta kehendak yang diatur oleh RANYING HATALLA
54

kepadanya, yang nantinya akan diatur lagi dalam kehidupan dunia,


sebagaimana awalnya ada, begitu pula IA kembali menyatu RANYING
HATALLA.

Hasil analisis:
Dalam ayat tersebut bagaimana Ranying Hatalla menjadikan dan

mengatur kehidupan bagi ciptaan-Nya. Semua yang ada dalam kehidupan

berasal dari Ranying Hatalla, dan sampai ketikanya semua unsur yang

berasal dari Ranying Hatalla akan menyatu kembali kepada Sang

Pencipta.

Ayat 13:
Jadi sukup bulan tagalae, genep bintang patendue, nduan telu bulan
tanggar langit Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan handiwung
kanyurung pusue, hete Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut
malalus kakare gawi tumun peteh RANYING HATALLA ewen ndue JATHA
BALAWANG BULAU, Paleteng Kalangkang Sawang manyadiri, akan
tihin bulan bawi bambaie.

Terjemahannya:
Sudah tiba saatnya, genap tiga bulan langit, Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan mengandung anaknya, maka Manyamei Tunggul
Garing Janjahunan Laut, melaksanakan semua upacara yang sudah
dipesan oleh RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU,
yaitu: Melakukan Upacara Paleteng Kalangkang Sawang, untuk
kandungan isterinya.

Hasil analisis:
Saat kehamilan telah tiga bulan lamanya, Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut melaksanakan Upacara Paleteng Kalangkang Sawang

menyambut kehamilan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan sesuai

petunjuk Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau.


Ayat 14:
Kalute kea amun jadi sukup katahi tinai, nduan uju bulan tanggar langit,
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut malalus peteh mandehen
RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU, ie manyaki
Ehet palus manyadia Sangguhan Manak akan bulan bawi bambaie
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan.

Terjemahannya:
55

Demikian pula apabila sudah tiba saatnya tujuh bulan langit, Manyamei
Tunggul Garing Janjahunan Laut, melaksanakan lagi pesan RANYING
HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU manyaki Ehet isterinya
langsung mempersiapkan Sangguhan Manak, yaitu: Tempat melahirkan
untuk isterinya Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan.

Hasil analisis:

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut melaksanaan upacara

Manyaki Ehet untuk kandungan isterinya sesuai pesan Ranying Hatalla,

serta sekaligus mempersiapkan tempat melahirkan bagi Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan yaitu Sangguhan Manak.

Ayat 15:
Sukup jadi bulan tagalae, genep bintang patendue, nduan jalatien bulan
jalatien andau tanggar langit, hete palus banama baungkar puat, ajung
baurai dagangae.

Terjemahannya:
Tiba sudah saatnya, genap sembilan bulan sembilan hari, Banama
Baungkar Puat, Ajung Baurai Dagangae, yaitu: Si bayi dalam kandungan
lahir.

Hasil analisis:

Sesuai perhitungan masa kehamilan yaitu tepat sembilan bulan sembilan

hari, Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan melahirkan anaknya ke

dunia.

Ayat 16:
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan luas bujur-kabajuran, uras
hatue kanampan bunu, rayung kanenjek ruhung sintung telu.

Terjemahannya:
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan melahirkan anaknya dengan
selamat, tiga orang bayinya semua laki-laki.

Hasil analisis:

Bayi Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan yang lahir ke dunia dengan

selamat adalah kembar tiga dengan ke semuanya laki-laki.


56

Ayat 17:
Hanjak rantang pahalawang huange, rindang pahateluk kalingun
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, nuntun uluh garing
tarantang sintung telu, uras linga batanjung pulu, engkan bapilik jalatien,
uras mangkang barangkap, kilau bulan babangkang langit.

Terjemahannya:
Gembira riang perasaan hati Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut,
melihat ketiga orang anak keturunannya yang kesemuanya cantik molek,
tampan, gagah perkasa tiada bandingnya.
Hasil analisis:

Anak Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut yang lahir ke dunia

sangat sempurna, rupawan wajahnya, sehat tubuhnya, gagah perkasa, tiada

cacat sedikit pun.

Ayat 18:
Ie Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut maluput hajat niat umba
RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU, palus
malalus gawi Nahunan manampa gangguranan aran anake sintung telu.

Terjemahannya:
Maka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, menyampaikan
kurban suci kepada RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG
BULAU, sekaligus melaksanakan Upacara Nahunan, yaitu: Upacara
pemberian nama bagi ketiga bayinya.

Hasil analisis:

Upacara Nahunan adalah ritual pemberian nama bagi anak Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan, sekaligus menyampaikan ungkapan rasa terima kasih kurban

suci kepada Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau atas kasih

sayang, anugerah, berkah dalam kehidupan keduanya.

Ayat 19:
Huang katika ie malalus Nahunan manampa gangguranan aran anake
sintung telu, te Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut balaku Raja
Uju Hakandung tingang nusang hadurut lunuk, hayak balaku asi umba
RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU.

Terjemahannya:
57

Pada saat ia melaksanakan Upacara Nahunan memberi nama bagi ketiga


bayinya, maka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut memohon
kepada Raja Uju Hakanduang untuk datang ke tempat Upacara, bersama
itu pula ia memohon berkat RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG
BULAU.

Hasil analisis:

Pelaksanaan upacara Nahunan yaitu memberi nama bagi bayi Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan, dihadiri juga oleh Raja Uju Hakanduang dan dimohon Ranying

Hatalla dan Jatha Balawang Bulau memberi berkat melalui kesaktiannya

tersebut.

Ayat 20:
Sana ewen RAJA UJU HAKANDUANG jadi sembang Bukit Batu Nindan
Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring, te ewen malalus gawin
Nahunan garing tarantang Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut
sintung telu, palus manyaki-malase tumun peteh tuntang kahandak
RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU, hayak
nanggare gangguranan arae, iete:
- Raja Sangen
- Raja Sangiang
- Raja Bunu

Terjemahannya:
Setiba Raja Uju Hakanduang di Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang
Bantilung Nyaring, mereka melaksanakan Upacara Nahunan bagi bayi
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut. Raja Uju Hakanduang
mengoles darah hewan kurban pada ketiga bayi tersebut, sesuai pesan
RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU, sekaligus
memberikan nama ketiga bayi tersebut, yaitu:
- RAJA SANGEN
- RAJA SANGIANG
- RAJA BUNU

Hasil analisis:

Anak Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan yang telah lahir ke dunia disucikan dengan


58

mengoles darah hewan kurban yang dilakukan oleh Raja Uju Hakandunga

dan anak-anak tersebut diberi nama, yaitu: Raja Sangen, Raja Sangiang

dan Raja Bunu.

Ayat 21:

Limbah te RAJA UJU HAKAN- DUANG gandang halalian buli, tuntang


kalute ampin taluh ije jadi kajadian tagal kahandak RANYING HATALLA
akan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut ewen ndue Kameluh
Putak Bulau Janjulen Karangan.

Terjemahannya:
Setelah itu Raja Uju Hakanduang kembali ke tempatnya dan demikian
pula segala yang telah terjadi atas kehendak RANYING HATALLA kepada
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan pada saat itu.

Hasil analisis:

Segala proses dan pelaksanaan upacara yang dijalani Manyamei Tunggul

Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan

merupakan kehendak Ranying Hatalla bagi kehidupan keduanya.

Dari ayat-ayat yang terdapat dalam Pasal 20 tersebut dapat

ditemukan sebagai berikut: 1) Ayat 1-3, menyampaikan tanda-tanda

kehamilan yang dirasakan oleh Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan;

2) Ayat 4-6 menyampaikan permohonan yang diinginkan Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut bagi anak yang dikandung isterinya; 3)

Ayat 7-8, menyampaikan tanggung jawab suami terhadap istri; 4) Ayat 9-

12, menyampaikan proses pembentukan bagian-bagian dalam tubuh

manusia ketika dalam kandungan; dan 5) Ayat 13-21, menyampaikan


59

rentetan prosesi upacara yang dilaksanakan dari bayi sejak dalam

kandungan ibunya sampai bayi lahir ke dunia.

3. Pasal 22 Raja Bunu Dia Tau Baseput Barigas Hakananan Pantar

Pinang
Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan masa-masa

yang harus diperhatikan orang tua dalam rangka memberikan pendidikan

yang tepat bagi anak. Orangtua sebagai orang yang pertama dekat dengan

anak paling mengetahui tentang perkembangan dan kondisi anak.

Sebagaimana pasal 22 Kitab Panaturan (MB-AHK, 2013: 67-71) berikut:


Ayat 1:
Limbah pire-pire andau jadi katahie, ampie Raja Bunu lalau hakabeken
lingu nalatai bara tambun pahari ewen sintung due.

Terjemahannya:
Setelah beberapa hari sudah lamanya, kelihatannya Raja Bunu lain sekali
dari kedua saudaranya.

Hasil analisis:
Raja Bunu mengalami hambatan dalam pertumbuhannya.
Ayat 2:
Raja Bunu dia maku hakananan pantar pinang, aluh ie hakananae jatun
tau nyurung isi daha tuntang dia kea tau baseput barigas kilau tambun
pahari sintung due.

Terjemahannya:
Raja Bunu tidak mau memakan pantar Pinang, walaupun ia memakannya,
akan tetapi tidak bisa menjadi darah dagingnya dan ia tidak bisa gemuk
sehat sebagaimana saudaranya berdua.

Hasil analisis:

Hambatan yang dialami Raja Bunu dalam masa pertumbuhannya adalah ia

tidak bisa memakan pantar pinang. Pantar pinang adalah makanan pokok

ciptaan-ciptaan Ranying Hatalla di Pantai Danum Sangiang.

Ayat 3:
Amun tambun pahari sintung due, jete Raja Sangen tuntang Raja
Sangiang puna akan indu kaseput karigase.
60

Terjemahannya:
Kalau saudaranya berdua, yaitu Raja Sangen dan Raja Sangiang betul-
betul bisa membuat mereka gemuk dan sehat.

Hasil analisis:

Hambatan yang dialami Raja Bunu dalam masa pertumbuhannya adalah ia

tidak cocok memakan pantar pinang, padahal kedua saudaranya Raja

Sangen dan Raja Sangiang dapat tumbuh gemuk dan sehat dengan

memakan pantar pinang.

Ayat 4:
Kilen kea uluh tingang apange Manyamei Tunggul Garing Janjahunan
Laut, ewen ndue tingang indange Kameluh Putak Bulau Janjulen
Karangan paham kapehen itung huange nuntun garing tarantange Raja
Bunu ije kalute ampie.

Terjemahannya:
Bagaimanapun juga ayahnya Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut
bersama ibunya Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, sangat
khawatir melihat anaknya Raja Bunu yang mempunyai kelainan
sedemikian rupa.

Hasil analisis:

Setiap orang tua memiliki rasa kekhawatiran melihat pertumbuhan

anaknya yang terhambat, sama halnya yang dialami Manyamei Tunggul

Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Pulak Bulau Janjulen Karangan.

Ayat 5:
Ie Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, ewen ndue bulan bawi
bambaie Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan malawu raweie, pasi-
pasi lingun itah sintung due lalau nuah RANYING HATALLA lalangena,
nyambung JATHA BALAWANG BULAU sampalangen.

Terjemahannya:
Maka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut bersama isterinya
Kameluh Pulak Bulau Janjulen Karangan berkata: Kasihan sekali kita
berdua ini, dianugerahi RANYING HATALLA masih tanggung, juga
disayangi JATHA BALAWANG BULAU tidak sepenuhnya.
61

Hasil analisis:

Pertumbuhan Raja Bunu yang sedemikian rupa membuat Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Pulak Bulau Janjulen

Karangan memiliki rasa kekhawatiran yang berlebihan.

Ayat 6:
Kilen kea RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU,
nahingan pahariwut rawei Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut,
ewen ndue Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, balaku asi belum,
palakuan awat maharing.

Terjemahannya:
Sesungguhnya RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU
mendengar keluhan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan memohon kasih sayang bagi
hidup anaknya.

Hasil analisis:

Apa yang ada dalam hati dan pikiran Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut dan Kameluh Pulak Bulau Janjulen Karangan telah

diketahui oleh Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau bahwa agar

keduanya diberikan kasih sayang bagi kehidupan anak-anaknya.

Ayat 7:
Palus japa-japan tatah, jima-jimat tanteng RANYING HATALLA ewen
ndue JATHA BALAWANG BULAU, masi Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut ewen ndue Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan,
manjapa Lalang Tambangap Langit, ije ba- suang Behas Nyangen
Tingang, hayak inutup mahapan pundang lauk Ila-Ilai Langit, ije dia tau
una tuntang dia tau rugi.

Terjemahannya:
Dengan segala Kekuatan dan Kekuasaannya RANYING HATALLA dan
JATHA BALAWANG BULAU berfirman kepada Manyamei Tunggul
Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulan Janjulen Karangan,
IA menjadikan sebuah guci Lalang Tambangap Langit yang di dalamnya
telah berisi Behas Nyangen Tingang dan mulut guci tersebut ditutup
62

dengan dendeng ikan Ilai-ilai Langit, yang telah kering dan kedua barang
ini tidak pernah kurang untuk selama-lamanya.

Hasil analisis:
Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau senantiasa mendengar apa

yang dimohonkan dan dikehendaki oleh makhluk-makhluk ciptaannya,

sehingga IA menciptakan sebuah guci Lalang Tambangap Langit yang di

dalamnya telah berisi Behas Nyangen Tingang dan mulut guci tersebut

ditutup dengan dendeng ikan Ilai-ilai Langit, yang telah kering dan kedua

barang ini tidak pernah habis bagi kehidupan Raja Bunu.


Ayat 8:
Hayak Auh Nyahu Batengkung Ngaruntung Langit, homboh Malentar
Kilat Basiring Hawun, kahandak RANYING HATALLA ewen ndue JATHA
BALAWANG BULAU uras manjadi metuh te kea.

Terjemahannya:
Disertai bunyi Guntur menggemuruh memenuhi alam semesta, Petir
Halilintar menggetarkan buana, kehendak RANYING HATALLA dan
JATHA BALAWANG BULAU semuanya terjadi saat itu juga.

Hasil analisis:

Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau memiliki kekuatan yang

sangat besar, sehingga mampu menjadikan segala kehendaknya seketika

terjadi bagi kehidupan ciptaan-ciptaanNya yang ada di dunia.

Ayat 9:
Tinai Behas Nyangen Tingang ije akan suang Lalang Tambangap Langit,
ingaut ije supak nyurung ije gantang, ingaut ije gantang nyurung ije
luntung palundu, kalute laju-lajur palus katatah ie.

Terjemahannya:
Kemudian Behas Nyangen Tingang yang menjadi isi Lalang Tambangap
Langit, apabila diminta ia akan bertambah banyak berlipat ganda untuk
selama-lamanya.

Hasil analisis:
63

Benda-benda yang diciptakan oleh Ranying Hatalla dan Jatha Balawang

Bulau memiliki kesaktian, seperti halnya Behas Nyangen Tingang yang

menjadi isi Lalang Tambangap Langit, apabila diminta maka akan

bertambah banyak berlipat ganda untuk selama-lamanya.

Ayat 10:
Kalute kea pundang lauk Ila-Ilai Langit; Imipih kahain lukap, nyurung
kahain kiap; Awie Lalang Tambangap Langit te, atun Nyalung
Kaharingan Belum mijen hila palempange.

Terjemahannya:
Demikian pula Dendeng Ikan Ilai-Ilai Langit, apabila diminta sebesar
telapak tangan, ia akan bertambah semakin lebar, ini disebabkan karena di
dasar guci Lalang Tambangap Langit ada Air Suci Kehidupan.

Hasil analisis:

Dendeng ikan Ilai-Ilai Langit yang diminta sebesar telapak tangan, akan

bertambah semakin lebar. Hal ini disebabkan pada penciptaan benda-benda

tersebut disertai kekuatan Ranying Hatalla yang menganugerahkan Air

Suci Kehidupan di dasar guci Lalang Tambangap Langit.

Ayat 11:
Ie RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU nyahuan
RAJA UJU HAKANDUANG tingang nusang hadurut lunuk, ngagahan
Lalang Tambangap Langit ije basuang Behas Nyangen Tingang tuntang
pundang lauk Ila-Ilai Langit, nanturung Bukit Batu Nindan Tarung,
Kereng Liang Bantilung Nyaring.

Terjemahannya:
Maka RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU menyuruh
Raja Uju Hakanduang, agar mereka turun mengantar Lalang Tambangap
Langit yang berisikan Behas Nyangen Tingang dan dendeng ikan Ilai-llai
Langit menuju Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung
Nyaring.

Hasil analisis:
64

Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau menyampaikan kehendaknya

agar Raja Uju Hakanduang untuk mengantarkan anugerahnya yang

diberikan bagi kehidupan Raja Bunu yaitu Lalang Tambangap Langit yang

berisikan Behas Nyangen Tingang dan dendeng ikan Ilai-llai Langit

menuju Bukit batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring.

Ayat 12:
Sembang Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring,
RAJA UJU HAKANDUANG narui rangkan panginan, Behas Nyangen
Tingang tuntang pundang lauk Ila-Ilai Langit, akan panginan Raja Bunu,
ije mijen Lalang Tambangap Langit.

Terjemahannya:
Setibanya di Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring,
maka Raja Uju Hakanduang memberikan makanan, Behas Nyangen
Tingang dan dendeng ikan Ilai-Ilai Langit, yang berada di dalam guci
Lalang Tambangap Langit.

Hasil analisis:

Melalui Raja Uju Hakanduang maka anugerah Ranying Hatalla diterima

oleh Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan.

Ayat 13:
Limbah jadi hapeteh rawei umba Manyamei Tunggul Garing Janjahunan
Laut ewen ndue Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, te RAJA UJU
HAKANDUANG gandang halalian buli, garantung kamalesan mulang,
nanturung RANYING HATALLA.

Terjemahannya:
Setelah berpesan dengan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, maka Raja Uju Hakanduang
kembali menuju RANYING HATALLA.

Hasil analisis:
65

Setelah tugas yang diberikan untuk mengantar Lalang Tambangap Langit

yang berisikan Behas Nyangen Tingang dan dendeng ikan Ilai-llai Langit

menuju Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring telah

terlaksana, maka Raja Uju Hakanduang kembali menuju tahta Ranying

Hatalla.

Ayat 14:
Ie Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut ewen ndue Kameluh Putak
Bulau Janjulen Karangan, mampakasak rangkan panginan simpan, iran
sakunyatan sukup, akan garing tarantange Raja Bunu.

Terjemahannya:
Maka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak
Bulau Janjulen Karangan memasak makanan tersebut untuk anaknya Raja
Bunu.

Hasil analisis:

Makanan Behas Nyangen Tingang dan dendeng ikan Ilai-llai Langit

dimasak oleh Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh

Putak Bulau Janjulen Karangan.

Ayat 15:
Sana hakananan rangkan panginan simpan, iran sakunyatan sukup. Raja
Bunu harue nunjung karigase, baseput nyurung isi daha, sama kilau
tambun paharie ewen sintung due.

Terjemahannya:
Setelah memakan makanan tersebut, Raja Bunu mulai sehat dan gemuk,
makanan tersebut dapat menjadi darah dagingnya, sama seperti kedua
saudaranya.

Hasil analisis:
Behas Nyangen Tingang dan dendeng ikan Ilai-llai Langit yang dimasak

untuk makanan Raja Bunu oleh orang tuanya, ternyata cocok dimakan

oleh Raja Bunu. Raja Bunu tidak lagi mengalami hambatan dalam

pertumbuhannya, ia mulai sehat dan gemuk.


Ayat 16:
66

Limbah te RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU


manjapa tinai Hanggulan Garing, ije basalupu apui pambelum ije dia tau
belep, akan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut ewen ndue
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan tuntang ewen hanak Najarian.

Terjemahannya:
Setelah itu RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU,
mencipta lagi Hanggulan Garing yang selalu mengeluarkan Api
Kehidupan yang tidak akan pernah padam untuk selama-lamanya bagi
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan beserta anak-anaknya.

Hasil analisis:
Untuk memasak Behas Nyangen Tingang dan dendeng ikan Ilai-llai

Langit, Ranying Hatalla menjadikan Hanggulan Garing yang selalu

mengeluarkan Api Kehidupan yang tidak akan pernah padam untuk

selama-lamanya.
Ayat 17:
Hayak Auh Nyahu Batengkung Ngaruntung Langit, homboh Malentar
Kilat Basiring Hawun, kahandak RANYING HATALLA ewen ndue JATHA
BALAWANG BULAU manjapa Hanggulan Garing ije basalupu Apui
Pambelum, palus manjadi; te bukue atun hanggulan garing ije basalupu
Apui Pambelum intu Lewu Bukti Batu Nindan Tarung.

Terjemahannya:
Bersama bunyi Guntur menggemuruh memenuhi alam semesta, Petir
Halilintar menggetarkan buana, kehendak RANYING HATALLA dan
JATHA BALAWANG BULAU menciptakan Hanggulan Garing yang
mengeluarkan Api Kehidupan langsung terjadi, dan itulah sebabnya
Hanggulan Garing berada di Lewu Bukit Batu Nindan Tarung.

Hasil analisis:
Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau menciptakan Hanggulan

Garing yang mengeluarkan Api Kehidupan untuk memasak makanan bagi

Raja Bunu yang berada di Lewu Bukit Batu Nindan Tarung


Ayat 18:
Tinai Behas Nyangen Tingang ije mijen Lalang Tambangap Langit
tuntang pundang lauk Ila-llai Langit, jete puna dia tau imindah bara ekae,
tuntun iatuh awi RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG
BULAU; Basa amun ie imindah, te ie tau lepah.

Terjemahannya:
67

Kemudian Behas Nyangen Tingang yang berada di dalam Lalang


Tambangap Langit dan dendeng ikan Ilai-Ilai Langit, sesungguhnya tidak
boleh dipindahkan dari tempatnya, yang telah ditempatkan oleh RANYING
HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU; Sebab kalau dipindahkan,
maka ia akan dapat habis.

Hasil analisis:

Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau memberikan peringatan agar

Behas Nyangen Tingang yang berada di dalam Lalang Tambangap Langit

dan Dendeng Ikan Ilai-Ilai Langit tidak boleh dipindahkan dari tempat

asalnya sebab bila dipindahkan maka benda yang diciptakan tersebut akan

habis.

Ayat 19:
Kalute ampin kahandak RANYING HATALLA ewen ndue JATHA
BALAWANG BULAU mampajadi kare kahandake huang katika jete, intu
Bukit Batu Nindan Tarung.

Terjemahannya:
Demikian RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU
menjadikan segalanya kehendakNYA pada saat itu, di Lewu Bukit Batu
Nindan Tarung.

Hasil analisis:

Demikian apa yang telah diciptakan dan dianugerahkan atas kehendak

Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau di Lewu Bukit Batu Nindan

Tarung.

Dari ayat-ayat tersebut yang terdapat dalam Pasal 22 maka dapat

ditemukan yaitu: 1) Ayat 1-6, menyampaikan kewajiban orang tua dalam

memperhatikan masa pertumbuhan dan perkembangan anak serta mencari

solusi dalam mengatasi permasalahan anak; dan 2) Ayat 7-19,


68

menyampaikan anugerah Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau agar

Raja Bunu dapat tumbuh sehat.

4. Pasal 23 Raja Sangen, Raja Sangiang, Tuntang Raja Bunu Inuah


Orang tua menurut ajaran agama Hindu Kaharingan dalam

Kitab Suci Panaturan memiliki peranan penting sebagai pendidikan

internal. Keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak bisa mempengaruhi

sikap anak terhadap pengetahuan yang diterimanya sebab apabila

mendidik anak dengan baik dan benar berarti menumbuh-kembangkan

totalitas potensi anak secara wajar. Sebagaimana pasal 23 Kitab suci

Panaturan (MB-AHK, 2013: 71-76) berikut ini:


Ayat 1:
Kilen kea amun ewen telu te jadi sasa-sasar hai tuntang sasa-sasar bakas,
hayak puna paham ampin karigase, indue ewen ndue bapae hanjak tutu
pahalawang huange, rindang pahateluk kalingue, manuntun garing
tarantang.

Terjemahannya:
Dari hari ke hari, mereka bertiga sudah semakin besar dan mulai dewasa,
ditambah lagi semakin gagah rupanya, ibu dan bapaknya sangat gembira
sekali hatinya melihat perkembangan/pertumbuhan ketiga anaknya
tersebut.

Hasil analisis:

Seiring pertumbuhan dan perkembangannya Raja Sangen, Raja Sangiang

dan Raja Bunu sudah semakin besar dan terlihat kedewasaaannya, gagah

rupawan membuat orang tuanya sangat bahagia melihat ketiga anaknya

tersebut.

Ayat 2:
Ewen sintung telu karas kabangange, habayang teras tapang bentuk
lawang parintaran tingang, basangkelang kea nalanjung lawin kayun
Sangalang Garing tuntang halangunyan bilun nyalung.

Terjemahannya:
Ketiga mereka sangat suka bermain-main, bermain gasing dipekarangan,
di samping itu pula mereka suka menaiki pohon kayu dan mandi di sungai.
69

Hasil analisis:
Perkembangannya anak-anak Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut

dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, diusianya mereka senang

bermain-main, seperti bermain gasing di pekarangan, memanjat pohon dan

mandi di sungai.
Ayat 3:
Kalute kahanjak pahalawang huang indang apange, nuntun garing
tarantang uras baling tambange.

Terjemahannya:
Demikian gembiranya ibu dan bapak mereka, melihat anak-anaknya semua
sehat dan gagah perkasa.

Hasil analisis:

Keaktifan dan kelincahan ketiganya dalam aktivitas kesehariannya,

membuat orang tuanya senang gembira sebab anak-anak tumbuh sehat dan

gagah perkasa.

Ayat 4:
Kilen kea huang sinde andau ewen sintung telu, salenga atun tiruk
karangkan huange muhun pandui tingang, halangunyan bilun nyalung,
huang batang danum, panapian Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang
Bantilung Nyaring.

Terjemahannya:
Entah bagaimana, pada satu hari mereka bertiga ada keinginan dan
rencananya turun mandi ke sungai, di tepian Bukit Batu Nindan Tarung,
Kereng Liang Bantilung Nyaring.

Hasil analisis:

Sejak terlihat sudah kematangan ketiganya, mereka secara mandiri telah

mampu menentukan keinginan dan apa yang hendak dilakukan seperti

halnya keinginan mandi ke sungai di tepian Bukit Batu Nindan Tarung,

Kereng Liang Bantilung Nyaring.

Ayat 5:
70

Sana jadi hakabuah tiruk karangkan lingun ewen sintung telu, ie ewen
sintung telu palus muhun pandui tingang, hanyalung repang, nanturung
bilun nyalung.

Terjemahannya:
Setelah sudah sepakat rencana mereka bertiga, mereka langsung berangkat
mandi menuju ke sungai.

Hasil analisis:

Keinginan untuk mandi ke sungai di tepian Bukit Batu Nindan Tarung,

Kereng Liang Bantilung Nyaring dilakukan dengan menyatukan keinginan

mereka bersama-sama, sehingga setelah sepakat barulah ketiganya

berangkat mandi.

Ayat 6:
RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU manuntun
ewen sintung telu ije metuh karehue pandui tingang, hanyalung repang
bagantung bilun nyalung.

Terjemahannya:
RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU melihat dan
mengetahui ketiga mereka yang sedang asyik mandi di sungai tersebut.

Hasil analisis:

Kegiatan yang dilakukan Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu

yang mandi di sungai sudah dilihat dan diketahui oleh Ranying Hatalla

dan Jatha Balawang Bulau.

Ayat 7:
Ie RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU,
halaluhan ije kadereh sanaman, lampang puntunge tuntang leteng
puntunge.

Terjemahannya:
Maka RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU memberikan
sepotong besi, yang bagian ujungnya timbul dan bagian pangkalnya
tenggelam.
71

Hasil analisis:

Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau menganugerahkan sepotong

besi yang bagian ujungnya timbul dan bagian pangkalnya tenggelam.

Ayat 8:
Kilen kea, kabantengan ewen sintung telu pandui tingang, hanyalung
repang, salenga ewen sintung telu nuntun atun ije kadereh sanaman,
puntunge lampang hunjun bilun nyalung, tuntang hila puntung leteng
mijen kahaleman nyalung.

Terjemahannya:
Entah bagaimana, dipertengahan mereka bertiga mandi tersebut, tiba-tiba
saja mereka bertiga melihat ada sepotong besi yang ujungnya timbul di
permukaan air dan dibagian pangkalnya tenggelam di bawah air.

Hasil analisis:

Anugerah sepotong besi yang bagian ujungnya timbul dan bagian

pangkalnya tenggelam di bawah air terlihat oleh Raja Sangen, Raja

Sangiang dan Raja Bunu yang sedang asyik mandi.

Ayat 9:
Sana ewen sintung telu nuntun atun sanaman te, ie ewen sintung telu
haya- hayak manting nangkaruan tambang nanturung sanaman te hayak
kea manekape.

Terjemahannya:
Begitu mereka bertiga melihat ada besi itu, maka mereka bertiga serentak
berlari menuju besi itu dan serempak memegangnya.

Hasil analisis:

Melihat sepotong besi yang bagian ujungnya timbul dan bagian

pangkalnya tenggelam di bawah air, membuat ketiganya penasaran dan

berlari menuju besi tersebut dan serempak memegangnya.

Ayat 10:
72

Kilen kea Raja Sangen tuntang Raja Sanging manekap sanaman te hila
puntunge ije lampang; Limbah te ampie Raja Bunu manekap puntunge
sanaman hila ije leteng.

Terjemahannya:
Entah bagaimana Raja Sangen dan Raja Sangiang memegang besi itu di
bagian ujungnya yang timbul, kemudian Raja Bunu memegang bagian
pangkal besi itu yang tenggelam.

Hasil analisis:

Kejadian ketiganya ketika memegang besi tersebut yaitu Raja Sangen dan

Raja Sangiang memegang besi itu di bagian ujungnya yang timbul,

sedangkan Raja Bunu memegang bagian pangkal besi itu yang tenggelam.

Ayat 11:
Hanjak rantang pahalawang huang ewen sintung telu palus haduanan
sanaman te; Ie kuan riwut raweie, itah sintung telu kanuah awi RANYING
HATALLA ewen ndue JATHA BALA WANG BULAU.

Terjemahannya:
Bukan main gembiranya hati mereka bertiga dan langsung mengambil besi
tersebut, seraya berkata; Kita bertiga dianugerahi RANYING HATALLA
dan JATHA BALAWANG BULAU.

Hasil analisis:
Anugerah sepotong besi tersebut oleh Ranying Hatalla dan Jatha

Balawang Bulau membuat ketiga anaknya riang gembira rasa hatinya.


Ayat 12:
Ewen sintung telu palus mimbit sana-man jete gandang halalian buli,
nanturung parung mahawang nyembang uluh tingang apange, burung
indange.

Terjemahannya:
Mereka bertiga langsung membawa besi tersebut pulang kembali menuju
rumah mereka dan menemui ayah dan ibunya.

Hasil analisis:

Setelah mendapat anugerah sepotong besi tersebut, Raja Sangen, Raja

Sangiang dan Raja Bunu pulang kembali menuju rumah mereka dan

menemui ayah dan ibunya.


73

Ayat 13:
Amun ewen sintung telu jadi sembang parung mahawang, hasembang
umba uluh tingang apange, ie ewen sintung telu janjaruman panalataie,
ewen sintung telu jadi kanuah ije kadereh sanaman, ije puntunge lampang
tuntang puntunge letenge.

Terjemahannya:
Begitu mereka bertiga tiba di rumahnya dan bertemu dengan ayahnya,
mereka menceriterakan tentang sesuatu yang telah terjadi pada mereka
bertiga, dianugerahi sepotong besi, yang ujungnya timbul dan pangkalnya
tenggelam.

Hasil analisis:

Kejadian menemukan sepotong besi yang ujungnya timbul dan pangkalnya

tenggelam, ketiga anaknya ceritakan pada ayahnya. Benda tersebut

merupakan anugerah dari Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau.

Ayat 14:
Ie ewen sintung telu palus hajalukan sanaman te, akan uluh tingang
apange hayak janjaruman panalataie hila sanaman ije lampang, tuntang
hila sanaman ije leteng; Hayak balaku umba uluh tingang apange
nabasan sanaman te manjadi Duhung Papan Benteng, Ranying Pandereh
Bunu tuntang Sipet Lumpung Nanjeman Penyang.

Terjemahannya:
Mereka bertiga langsung memberikan besi itu kepada ayahnya dan
memberitahukan tentang segalanya yang telah terjadi, bahwa besi itu di
bagian ujungnya timbul dan di bagian pangkalnya tenggelam, serta
bersama itu pula mereka memohon kepada ayahnya agar membuat besi itu
menjadi Duhung Papan Benteng, Ranying Pendereh Bunu, dan Sipet
Lumpung Nanjeman Penyang.

Hasil analisis:

Anugerah yang diterima ketiganya yaitu sepotong besi di bagian ujungnya

timbul dan di bagian pangkalnya tenggelam, mereka memohon kepada

ayahnya agar membuat besi itu menjadi senjata: Duhung Papan Benteng,

Ranying Pendereh Bunu, dan Sipet Lumpung Nanjeman Penyang.


74

Ayat 15:
Tumbah uluh tingang apange, kuae; Narai bulan salae tingang anak ketun
sintung telu, itah balaku asi umba RANYING HATALLA ewen ndue
JATHA BALAWANG BULAU nabasan akan ketun sintung telu.

Terjemahannya:
Ayah mereka berkata; Baiklah anak-anakku kalian bertiga, sekarang kita
mohon kasih sayang dari RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG
BULAU untuk menjadikannya, bagi kalian bertiga.

Hasil analisis:

Sesungguhnya apa yang ketiganya kehendaki dari sepotong besi yang di

bagian ujungnya timbul dan di bagian pangkalnya tenggelam yaitu agar

ayahnya menjadikannya sebagai senjata. Hal ini tidak mampu terjadi tanpa

kehendak dari Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau, maka dari itu

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut mohon agar Yang Maha

Kuasa, memperlihatkan kasih sayangnya dengan mengabulkan kehendak

yang diminta ketiga anaknya tersebut.

Ayat 16:
Ie Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut ewen ndue Kameluh Putak
Bulau Janjulen Karangan, kuta-kutak pahalawu rawei, kuae: Jakae
RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU tau masi
karangkan lingun uluh garing tarantangku sintung telu.

Terjemahannya:
Maka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak
Bulau Janjulen Karangan, berkata: Alangkah bahagianya kita jika
RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU, dapat
mengabulkan kehendak anak-anakku ini.

Hasil analisis:

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan senantiasa berdoa dan memohon agar kehendak ketiga

anaknya menjadi kenyataan.

Ayat 17:
75

RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU, puna


usang handung hakatawan panalataie, kilau bulan mating malawit dare,
hayak auh Nyahu Batengkung Ngaruntung Langit, homboh Malentar Kilat
Basiring Hawun, sanaman jete palus kajadian manjadi sintung telu
Duhung Papan Benteng, sintung telu Ranying Pandereh Bunu tuntang
sintung telu kea Sipet Lumpung Nanjeman Penyang.

Terjemahannya:
RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU sudah terlebih
dahulu mengetahui akan semuanya itu: Disertai bunyi Guntur
menggemuruh alam semesta, Petir Halilintar menggelegar buana, besi
tersebut langsung berubah menjadi tiga buah Duhung Papan Benteng, tiga
buah Ranying Pendereh Bunu, dan tiga buah juga Sipet Lumpung
Nanjeman Penyang.

Hasil analisis:

Segala kehendak anak-anak Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut

dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan terlebih dahulu sudah

diketahui oleh Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau. Bersamaan

dengan hal tersebut dengan kemahakuasaan dan kesaktiannya, maka

kejadianlah sepotong besi tersebut berubah menjadi tiga buah Duhung

Papan Benteng, tiga buah Ranying Pendereh Bunu dan tiga buah juga

Sipet Lumpung Nanjeman Penyang.

Ayat 18:

Limbah kajadian urase, taluh ije ingahandak awi ewen sintung telu,
Duhung Papan Benteng, Ranying Pandereh Bunu tuntang Sipet Lumpung
Nanjeman Penyang hemben te palus atun intu bentuk Parang Mahawang.

Terjemahannya:
Setelah segala sesuatu yang diinginkan oleh mereka bertiga itu semuanya
ada, yaitu Duhung Papan Benteng, Ranying Pendereh Bunu, dan Sipet
Lumpung Nanjeman Penyang, yang telah siap berada di ruang tengah
rumah mereka.

Hasil analisis:

Tidak perlu waktu lama bagi Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau

menjadikan kehendak anak-anak Manyamei Tunggul Garing Janjahunan


76

Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, sebab dalam sekejap

di ruang tengah rumah langsung ada Duhung Papan Benteng, Ranying

Pendereh Bunu, dan Sipet Lumpung Nanjeman Penyang.

Ayat 19:
Hete uluh tingang apange nyahuan garing tarantange ewen sintung telu
haya-hayak haduanan ayue tumun kanahuange.

Terjemahannya:
Saat itu pula ayahnya menyuruh mereka bertiga masing-masing
mengambilnya sesuai menurut kehendak mereka masing-masing.

Hasil analisis:

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut menyuruh ketiga anaknya

masing-masing mengambil Duhung Papan Benteng, Ranying Pandereh

Bunu dan Sipet Lumpung Nanjeman Penyang sesuai kehendak mereka

masing-masing.

Ayat 20:
Amun ewen sintung telu jadi atun nuntun Duhung Papan Benteng,
Ranying Pandereh Bunu tuntang Sipet Lumpung Nanjeman Penyang,
huang bentuk labehun parung mahawang, te ewen sintung telu palus
haduanae.

Terjemahannya:
Begitu mereka bertiga melihat Duhung Papan Benteng, Ranying Pendereh
Bunu dan Sipet Lumpung Nanjeman Penyang, ada di tengah-tengah
ruangan rumah dan ayahnya telah menyuruh mereka bertiga
mengambilnya, maka mereka bertiga langsung memegang dan mengambil
untuk miliknya masing-masing.

Hasil analisis:

Melihat kebesaran dan kasih sayang Ranying Hatalla dan Jatha Balawang

Bulau bagi kehidupan anak-anaknya, maka Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut menyuruh mereka bertiga masing-masing mengambil

dan memegang Duhung Papan Benteng, Ranying Pandereh Bunu, dan

Sipet Lumpung Nanjeman Penyang.


77

Ayat 21:
Ampie Raja Sangen tuntang Raja Sangiang magun taratekap Duhung
Papan Benteng, Ranying Pandereh Bunu tuntang Sipet Lumpung
Nanjeman Penyang ije bara hila sanaman lampang, Raja Bunu magun
taratekap ije bara hila puntung sanaman leteng.

Terjemahannya:
Raja Sangen dan Raja Sangiang tetap mendapatkan Duhung Papan
Benteng dan Ranying Pendereh Bunu serta Sipet Lumpung Nanjeman
Penyang yang telah jadi bagian besi yang timbul, sedangkan Raja Bunu
sendiri tetap mengambil dari bagian besi yang tenggelam.

Hasil analisis:

Anugerah yang diterima oleh Raja Sangen dan Raja Sangiang yaitu

mendapatkan Duhung Papan Benteng, Ranying Pendereh Bunu dan Sipet

Lumpung Nanjeman Penyang yang telah jadi dari bagian besi yang timbul,

sedangkan Raja Bunu mendapatkan senjatanya tetap mengambil dari

bagian besi yang tenggelam.

Ayat 22:
Kalute ampin kahandak RANYING HATALLA ewen ndue JATHA
BALAWANG BULAU, jadi manenga tingkes akan garing tarantang
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut ewen ndue Kameluh Putak
Bulau Janjulen Karangan, sintung telu te.

Terjemahannya:
Demikian kehendak RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG
BULAU sudah memperlihatkan kehendakNYA kepada Manyamei Tunggul
Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan,
tentang keberadaan anak-anaknya dimasa depan.

Hasil analisis:

Benda-benda yaitu Duhung Papan Benteng, Ranying Pendereh Bunu, dan

Sipet Lumpung Nanjeman Penyang yang dianugerahkan Ranying Hatalla

dan Jatha Balawang Bulau, menjadi pertanda bagi Raja Sangen, Raja

Sangiang dan Raja Bunu, kehidupan ketiganya di masa yang akan datang.

Ayat 23:
78

Rimae, hila puntung sanaman ije lampang, ain Raja Sangen tuntang Raja
Sangiang, jete puna inatap awi RANYING HATALLA ewen ndue JATHA
BALAWANG BULAU akan mahaga pambelum ije katatahie.

Terjemahannya:
Maksudnya, bagian ujung besi yang timbul kepunyaan Raja Sangen dan
Raja Sangiang, sesungguhnya sudah ditetapkan oleh RANYING HATALLA
dan JATHA BALAWANG BULAU, bahwa mereka berdua memelihara
kehidupan yang kekal abadi untuk selama-lamanya.

Hasil analisis:

Raja Sangen dan Raja Sangiang mendapatkan Duhung Papan Benteng,

Ranying Pendereh Bunu, dan Sipet Lumpung Nanjeman Penyang dari

bagian besi yang timbul, hal ini menandakan keduanya berada di alam atas

dan memelihara kehidupan yang kekal abadi.

Ayat 24:
Raja Bunu tempun hila puntung sanaman ije leteng, iatuh awi RANYING
HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU mahaga Lewu Injam
Tingang, Pantai Danum Kalunen kareh, ije bagin matei.

Terjemahannya:
Raja Bunu mendapatkan bagian besi yang tenggelam, juga telah ditetapkan
oleh RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU untuk
memelihara kehidupan dunia, yang sifatnya hanya sementara.

Hasil analisis:

Raja Bunu mendapat Duhung Papan Benteng, Ranying Pendereh Bunu,

dan Sipet Lumpung Nanjeman Penyang dari bagian besi yang tenggelam.

Hal ini menandakan bahwa di masa depan ia menjalani kehidupan di alam

bawah yang merupakan alam yang tidak kekal abadi dan memelihara

kehidupan di dunia yang bersifat sementara.

Ayat 25:
Kalute ampin kakare taluh ije kajadian huang ketika hete, jadi iatuh awi
RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU.

Terjemahannya:
79

Demikian segala sesuatu itu telah terjadi atas hendak RANYING HATALLA
dan JATHA BALAWANG BULAU untuk saat itu.

Hasil analisis:

Anugerah yang diberikan dan diterima ketiganya merupakan kehendak

Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau dalam mengatur setiap

kehidupan bagi makhluk-makhluk ciptaannya di dunia.

Dari ayat-ayat yang terdapat dalam Pasal 23 di atas dapat

ditemukan yaitu: 1) Ayat 1-3, menyampaikan masa pertumbuhan dan

perkembangan Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu; 2) Ayat 4-6,

menyampaikan aktivitas yang dilakukan Raja Sangen, Raja Sangiang dan

Raja Bunu; dan 3) Ayat 7-25, menyampaikan anugerah Ranying Hatalla

dan Jatha Balawang Bulau yang menjadi pertanda bagi kehidupan Raja

Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu di masa depan serta ciri bagi

kehidupan Raja Bunu di masa depan.

5. Pasal 24 Raja Sangen, Raja Sangiang, Raja Bunu Kanuah Gajah

Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan


Pendidikan anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan

dalam Kitab Suci Panaturan lebih banyak melibatkan orang tua (informal),

selain pendidikan formal dan non formal. Sehingga orang tua harus dapat

bersinergi melibatkan semua unsur baik yang termasuk pendidikan formal dan

non formal dalam memberikan pola asih, asah, asuh yang tepat sesuai dengan

perkembangan anaknya. Sebagaimana Pasal 24 Kitab suci Panaturan (MB-

AHK, 2013: 76-84) berikut:


Ayat 1:
Miar andau miar kea alem, Raja Sangen, Raja Sangiang, Raja Bunu puna
hanjak rantang pahalawang huange, rindang pahateluk kalingue, jadi
atun mahaga Duhung Papan Benteng, Ranying Panderah Bunu tuntang
80

Sipet Lumpung Nanjeman Penyang, ije jadi injadian awi RANYING


HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU.

Terjemahannya:
Dari waktu ke waktu, Raja Sangen, Raja Sangiang, Raja Bunu, sangat
gembira riang hatinya sudah ada memiliki Duhung Papan Benteng,
Ranying Pendereh Bunu, dan Sipet Lumpang Nanjeman Penyang, yang
telah dijadikan oleh RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG
BULAU.

Hasil analisis:

Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu memiliki rasa kegembiraan

sebab telah mendapat senjata Duhung Papan Benteng, Ranying Pendereh

Bunu, dan Sipet Lumpung Nanjeman Penyang dari sepotong besi yang

dianugerahkan Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau.

Ayat 2:
Bilak dia bahelang andau ewen sintung telu tulak mengan mambuang
lawang, hakaliling Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung
Nyaring, nyamah karen metu burung uras nunjung ikeh tingang mantang
pain bukit panjang.

Terjemahannya:
Hampir tidak pernah ada waktu dilewatkan oleh mereka bertiga untuk
berburu masuk ke hutan sekeliling Bukit Batu Nindan Tarung, Kareng
Liang Bantilung Nyaring, sehingga burung-burung dan binatang lainnya
takut dan tidak menampakkan dirinya.

Hasil analisis:

Setelah memiliki senjata Duhung Papan Benteng, Ranying Pendereh

Bunu, dan Sipet Lumpung Nanjeman Penyang, anak-anak Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan sangat gemar berburu mencari binatang buruannya di sekeliling

hutan Bukit Batu Nindan Tarung. Kegemaran ketiganya menyebabkan

binatang-binatang takut dan enggan menampakan diri.

Ayat 3:
81

Kilen kea panalatie RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG


BULAU malaluhan Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang
Barikur Hintan mijen Bukit Engkan Penyang.

Terjemahannya:
Sehingga pada suatu saat RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG
BULAU menjadikan seekor harta pusaka Gajah Bakapek Bulau, Unta
Hajaran Tandang, Barikur Hintan, dan menempatkannya di suatu bukit
yang di namakan Bukit Engkan Penyang.

Hasil analisis:

Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau menciptakan seekor harta

pusaka Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang, Barikur Hintan,

dan menempatkannya di Bukit Engkan Penyang.

Ayat 4:

Taluh ije ingahandak awi RANYING HATALLA ewen ndue JATHA


BALAWANG BULAU malaluhan Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan mijen Bukit Engkan Penyang, jadi handung
hakatawan awi Manyamei Tunggal Garing Janjahunan Laut ewen ndue
Kameluh Putak Balau Janjulen Karangan jajaruman awi RANYING
HATALLA.

Terjemahannya:
Segala sesuatu yang dikehendaki RANYING HATALLA dan JATHA
BALAWANG BULAU, menjadikan harta pusaka seekor Gajah Bakapek
Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan, berada di Bukit Engkan
Penyang, memang sudah diberitahukan sebelumnya kepada Manyamei
Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen
Karangan oleh RANYING HATALLA.

Hasil analisis:

Keberadaan binatang Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang

Barikur Hintan di Bukit Engkan Penyang telah disampaikan Ranying


82

Hatalla, untuk diketahui oleh Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut

dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan.

Ayat 5:
Ie Manyamei Tunggal Garing Janjahunan Laut ewen ndue Kameluh Putak
Bulau Janjulen Karangan malawu rawei umba garing tarantange sintung
telu; Umbet lalu ketun sintung telu batanjung panjang mambuang lawang,
mengan kare burung metu hakaliling Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng
Liang Bantilung Nyaring tuh.

Terjemahannya:
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan, berkata kepada anaknya: Cukup saja kalian berjalan
jauh masuk hutan berburu burung dan binatang-binatang lainnya di
sekeliling Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring ini.
Hasil analisis:

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan menyampaikan larangannya kepada anak-anaknya

agar hanya berburu di sekeliling Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang

Bantilung Nyaring.

Ayat 6:
Hayak ije puna nahatengkangku akan ketun sintung telu, ela nanturung
Bukit engkan Penyang, awi hete tege Hatuen Nyaring ije saru-sarui hanyi,
tau entae ketun sintung telu manta-manta dia hanyeren belai, nele bula-
bulat dia hagarut balengkunge.

Terjemahannya:
Bersama itu pula kata ayahnya, aku memang melarang kalian bertiga pergi
menuju Bukit Engkan Penyang, sebab disitu ada satu wujud Hatuen
Nyaring, yang sangat buas dan bisa memakan kalian bertiga mentah-
mentah serta diteguknya kalian bertiga bulat-bulat nantinya.

Hasil analisis:

Larangan tersebut isinya adalah agar ketiga putranya tidak pergi berburu

menuju Bukit Engkan Penyang dan menjelaskan bahwa di bukit tersebut

ada wujud Hatuen Nyaring, yang buas dan bisa memakan manusia

mentah-mentah dan meneguknya bulat-bulat.


83

Ayat 7:
Iyoh tingang apang, rawei garing tarantenge sintung telu, akan narai kea
gawin ikei sintung telu nanturung Bukti Engkan Panyang, amun puna tege
Hatuen Nyaring ije saru-sarui hanyi, baka ike-ikeh matei, are bewei bukit
ije beken eka ikei sintung telu mengan mambuang lawang.

Terjemahannya:
Ya ayahku, kata ketiga anaknya; Memang benar untuk apa kami bertiga
menuju Bukit Engkan Penyang kalau memang ada Hatuen Nyaring yang
berani dan buas di situ, yang sangat menakutkan itu; Karena masih banyak
bukit yang lain tempat kami bertiga berburu di hutan.

Hasil analisis:

Saat mendengarkan dan menerima larangan tersebut ketiganya

menerimanya begitu saja dan meyakini apa yang dikatakan oleh orang

tuanya memang nyata dan benar-benar ada.

Ayat 8:
Kilen kea sinde andau, ewen sintung telu tulak tinai mengan mambuang
lawang, ngumbang ngaliling Bukit Batu Nindan Tarung, ngalingkang
Kereng Liang Bantilung Nyaring, leka eleh tunis nyalantinau buang jatun
atun kare metu burung.

Terjemahannya:
Entah bagaimana di suatu hari mereka mengitari Bukit Batu Nindan
Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring, kelihatannya sunyi sepi kosong
tiada satu pun binatang atau burung menampakkan dirinya.

Hasil analisis:

Suatu ketika di sekitar Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung

Nyaring, yang terlihat hanya kesunyian, kesepian dan kekosongan sebab

tidak ada lagi binatang-binatang yang menampakkan diri.

Ayat 9:
Matei indang tasang bunu bilin banama, itah sintung telu karuhung aring
kuan rawei Raja Sangen, bilang jatun nuntun garisik sarahempun kare
Tupai Mandiwui.

Terjemahannya:
84

Mengapa bisa jadi begini bagi kita bertiga ini, kata Raja Sangen; Sama
sekali tidak ada terlihat dan terdengar bunyi gerisik binatang seperti Tupai
Mandiwui misalnya.

Hasil analisis:

Saat dalam perburuan tersebut, Raja Sangen merasa ada keanehan sebab

tidak melihat dan menemukan binatang-binatang seperti Tupai Mandiwui.

Ayat 10:
Ie Raja Sangen tinai malawu rawei; Kilen jakai itah sintung telu karuhung
aring nanturung Bukit Engkan Penyang ambun andau etuh, awi puna dia
puji itah sintung telu nanturung hete.

Terjemahannya:
Maka berkata pula Raja Sangen: Bagaimana misalnya kalau kita bertiga
pergi saja menuju Bukit Engkan Penyang hari ini, sebab selama ini kita
belum pernah menuju ke sana.

Hasil analisis:

Keadaan yang sedemikian rupa membuat Raja Sangen mengajak saudara-

saudaranya ke Bukit Engkan Penyang yang belum pernah mereka datangi.

Ayat 11:
Kuan rawei Raja Sangiang; Ela gilan tingang karuhung aring, basa uluh
tingang apang jadi nahatengkan itah sintung telu, nanturung Bukit
Engkan Penyang.

Terjemahannya:
Berkata pula Raja Sangiang: Jangan macam-macam engkau katanya,
sebab ayah kita sudah melarang kita bertiga menuju Bukit Engkan
Penyang.

Hasil analisis:

Raja Sangiang berusaha menolak ajakan Raja Sangen sebab ia mengingat

larangan yang diperingatkan ayahnya, untuk tidak berburu di Bukit

Engkan Penyang.
85

Ayat 12:
Rawei Raja Bunu, akan narai kea Duhung Papan Benteng, Ranying
Pandereh Bunu tuntang Sipet Lumpung Nanjeman Penyang tuh, amun dia
hapan itah ngabanting Hatuen Nyaring je gila-gila enteng, Busun
Sahakung je saru-sarui hanyi, ela itah sintung telu nunjung ikeh tingang.

Terjemahannya:
Raja Bunu berkata menjawab pembicaraan Raja Sangiang: Untuk apa lagi
Duhung Papan Benteng, Ranying Pandereh Bunu dan Sipet Lumpung
Nanjeman Penyang ini, kalau tidak kita pakai untuk membunuh Hatuen
Nyaring yang berani dan buas itu, jangan sampai kita bertiga takut
padanya.

Hasil analisis:

Raja Bunu menjawab pembicaraan Raja Sangiang bahwa seharusnya

mereka bertiga tidak perlu takut menuju Bukit Engkan Penyang yang

terdapat sosok Hatuen Nyaring sebab mereka telah dianugerahi Duhung

Papan Benteng, Ranying Pandereh Bunu dan Sipet Lumpung Nanjeman

Penyang.

Ayat 13:
Iyoh kuan riwut rawei tambun pahari Raja Sangen, Raja Sangiang ewen
sintung due, pajing itah sintung telu nanturung Bukit Engkan Penyang te.

Terjemahannya:
Betul juga, kata saudaranya Raja Sangen dan Raja Sangiang: Sebaiknya
kita bertiga pergi menuju Bukit Engkan Penyang tersebut.

Hasil analisis:

Jawaban Raja Bunu tersebut dibenarkan oleh Raja Sangen dan Raja

Sangiang, dan muncul keberanian ketiganya untuk menuju Bukit Engkan

Penyang.

Ayat 14:
Ie ewen sintung telu manting nangkaruan tambange nanturung Bukit
Engkan Penyang, kueh balandung tahi sembang ewen sintung telu Bukit
Engkan Penyang.

Terjemahannya:
86

Maka mereka bertiga langsung, saja menuju Bukit Engkan Penyang dan
tidak lama tibalah mereka bertiga di Bukit Engkan Penyang tersebut.

Hasil analisis:

Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu berangkat menuju Bukit

Engkan Penyang dan tiba di sana.

Ayat 15:
Bara keja-kejau eleh taratuntun awi ewen sintung telu pahalendang Gajah
Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan, puna lenda-
lendang, linge-lingei sinde.

Terjemahannya:
Dari jauh sudah terlihat oleh mereka bertiga ada cahaya, yaitu cahaya
Gajah Bakapek Bulau, sinar Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan,
sangat besar sekali kelihatannya.

Hasil analisis:

Setibanya di Bukit Engkan Penyang, maka Raja Sangen, Raja Sangiang

dan Raja Bunu melihat ada cahaya yang sangat besar, yaitu cahaya Gajah

Bakapek Bulau, sinar Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan.

Ayat 16:
Manting nangkaruan tambang ewen sintung telu hasanselu, nanturung
Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan, haya-
hayak sembang palus nekape.

Terjemahannya:
Begitu mereka bertiga tiba, mereka berlari saling mendahului menuju
Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan, dan
ternyata mereka bersamaan tiba dan langsung memegangnya.

Hasil analisis:
Melihat cahaya yang berasal dari Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran

Tandang Barikur Hintan, membuat ketiganya saling berebutan dan


87

mendahului satu sama lain mencoba mendapatkan binatang tersebut untuk

dirinya, namun ketiganya secara bersamaan tiba dan memegangnya.


Ayat 17:
Ewen sintung telu sama njijit nyaratunda; Nyaratunda ngaju, nyaratunda
ngawa hayak malawu rawei; Kuan Raja Sangen aku tempu, kuan Raja
Sangiang aku tempu, kuan Raja Bunu aku tempu; Hai lalentun tingang
ewen sintung telu hatakiae.

Terjemahannya:
Mereka bertiga saling berebutan tarik-menarik, seraya berkata, kata Raja
Sangen: Saya yang punya, kata Raja Sangiang: Saya yang punya, begitu
pula kata Raja Bunu dia yang punya sehingga gemuruh sekali suara
mereka bertiga berebutan.

Hasil analisis:

Timbul keinginan Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu untuk

memiliki binatang tersebut dan berebut satu sama lain, sehingga

menimbulkan suara keributan yang disebabkan oleh percekcokan

ketiganya.

Ayat 18:
Nahingan lalentun tingang garing tarantange sintung telu, Manyamei
Tunggul Garing Janjahunan Laut ewen ndue Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan, ije hatakian Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan, ie palus manting nangkaruang tambang
nyembang Bukit Engkan Penyang.

Terjemahannya:
Mendengar gemuruh suara anak-anaknya bertiga berebutan Gajah
Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan maka Manyamei
Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Karangan,
langsung berlari menuju Bukit Engkan Penyang.

Hasil analisis:

Mendengar suara keributan anak-anaknya memperebutkan binatang Gajah

Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan, membuat

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau

Karangan mendatangi Bukit Engkan Penyang.


88

Ayat 19:
Sembang Bukit Engkan Penyang, ManyameiTunggul Garing Janjahunan
Laut palus malawu rawei; Iyo-iyoh garing tarantangku ketun sintung telu,
ela gilan tingang manakian Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang
Barikur Hintan tuh, keleh ketun sintung telu sama-sama tempue, sama-
sama kea mahagae.

Terjemahannya:
Setibanya di Bukit Engkan Penyang, Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut berkata: Hai, anak-anakku kalian bertiga, jangan
berebutan Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan
ini, lebih baik kalian bertiga sama-sama memiliknya, sama-sama pula
memeliharanya.

Hasil analisis:

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut mencoba melerai anak-

anaknya yang sedang berebut Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran

Tandang Barikur Hintan dan berkata agar Raja Sangen, Raja Sangiang

dan Raja Bunu lebih baik sama-sama memelihara dan menjadikan

binatang tersebut milik ketiganya.

Ayat 20:
Kuan rawei Raja Sangen, nyulang auh rawei uluh tingang apange; Aku je
tempue, awi aku ije helu nuntue.

Terjemahannya:
Maka berkata Raja Sangen menjawab kata-kata ayahnya: Saya yang
punya, sebab saya yang paling dahulu melihatnya.

Hasil analisis:

Raja Sangen menjawab perkataan ayahnya bahwa Gajah Bakapek Bulau,

Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan adalah miliknya.

Ayat 21:
Dia kuan rawei Raja Sangiang, nyulang rawei tambun paharie Raja
Sangen; Aku tuh ije tempue, awi aku ije helu nuntue tuntang helu
sembange.

Terjemahannya:
89

Tidak demikian, kata Raja Sangiang, menjawab kata-kata saudara Raja


Sangen, saya ini yang mempunyainya, sebab saya yang paling dahulu
melihatnya dan paling dahulu pula tiba.

Hasil analisis:

Namun mendengar perkataan Raja Sangen, maka Raja Sangiang

menjawab bahwa Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur

Hintan adalah miliknya juga.

Ayat 22:
Kuan rawei Raja Bunu, nyulang rawei tambun pahari sintung due, Aku ije
tempue, awi aku ije helu nuntue tuntang aku kea ije helu nekape.

Terjemahannya:
Kata Raja Bunu, menjawab perkataan kedua saudaranya: Saya yang
mempunyainya, sebab saya paling dahulu melihatnya dan saya juga yang
paling dahulu memegangnya.

Hasil analisis:
Raja Sangen dan Raja Sangiang yang berkata demikian, maka Raja Bunu

juga mengatakan hal yang sama bahwa Gajah Bakapek Bulau, Unta

Hajaran Tandang Barikur Hintan adalah miliknya pula.


Ayat 23:
Ulih giri-gagariten tanteng Raja Sangen nahingan riwut rawei tambun
paharie ewen sintung ndue, hayak nyilak nyahumpak Duhung Papan
Benteng palus nambekae Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang
Barikur Hintan.

Terjemahannya:
Marah sekali Raja Sangen mendengar perkataan kedua saudaranya
tersebut, ia langsung menghunus Duhung Papan Bentengnya dan
menikam Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan.

Hasil analisis:
90

Perkataan saudara-saudaranya yang demikian, Raja Sangen menjadi geram

dan seketika menghunus Duhung Papan Benteng dan menikam Gajah

Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan.

Ayat 24:
Eleh pajanjuri darahe Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang
Barikur Hintan, nyua-nyuang panalusung lawung, menu-menu sangku
raja, palus basaluh jadi rangkan panatau simpan, iran panyambungan
sukup.

Terjemahannya:
Begitu tertikam Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur
Hintan, langsung darahnya menyembur keluar, dan Raja Sangen
mengambil kain ikat kepalanya serta sangku bulau untuk menampung
darah Gajah Bakapek Bulau tersebut yang sekejap saja kejadian menjadi
bermacam-macam harta kekayaan.

Hasil analisis:

Tikaman Duhung Papan Benteng milik Raja Sangen menyebabkan darah

Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan menyebur

keluar. Seketika Raja Sangen mengambil kain ikat kepalanya dan sangku

bulau untuk menampung darah tersebut yang sekejap saja kejadian

menjadi bermacam-macam harta kekayaan.

Ayat 25:
Magun pajanjuri tinai dahae Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan ini, lebih baik kalian dang Barikur Hintan,
manjadi baras bulau, busung hintan, karangan lamiang, jadi Bangkang
Balanga Tingang, Tambun Repang Garantung.

Terjemahannya:
Masih keluar darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang
Barikur Hintan, kejadian menjadi emas, intan, lilis lamiang, menjadi guci
balanga dan gong.

Hasil analisis:
91

Kejadian yang berasal dari Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang

Barikur Hintan, menjelma pula menjadi emas, intan, lilis lamiang,

menjadi guci balanga dan gong.

Ayat 26:
Ie nekap marut awi uluh tingang apang Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut awan tambekan Duhung Papan Benteng Raja Sangen ije
intu Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan, ie
palus halit.

Terjemahannya:
Melihat demikian Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, ia
mengusap bekas tikaman Duhung Papan Benteng Raja Sangen pada
Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan dan bekas
tikaman tersebut tertutup kembali tanpa bekas.

Hasil analisis:

Tindakan yang dilakukan anaknya Raja Sangen, membuat ayahnya

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut segera mengusap bekas

tikaman Duhung Papan Benteng, dengan seketika bekas tikaman tertutup

tidak berbekas.

Ayat 27:
Kilen kea Raja Sangiang nuntun gawin tambun pahari Raja Sangen kalute
kalute ampie, palus giri-gagariten kea tantenge, hayak nyilak-nyahumpak
Duhung Papan Benteng nambekan Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan.

Terjemahannya:
Bagaimanapun juga Raja Sangiang melihat perbuatan saudaranya Raja
Sangen demikian, ia marah dan langsung menghunus Duhung Papan
Bentengnya seraya menikam Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan.

Hasil analisis:

Tindakan Raja Sangen tersebut memicu amarah Raja Sangiang dan ia pun

melakukan tindakan yang sama dengan menghunuskan Duhung Papan


92

Bentengnya pada Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur

Hintan.

Ayat 28:
Hemben te kea pajanjuri darahe Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan, nyua-nyuang panalusung lawung, menu-menu
Sangku Raja.

Terjemahannya:
Maka saat itu keluarlah darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan, langsung disambut olehnya memakai kain ikat
kepalanya serta memenuhi pula Sangku Raja.

Hasil analisis:

Tikaman yang diterima Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang

Barikur Hintan membuat darahnya kembali mengucur keluar. Raja

Sangiang menampung darah yang keluar tersebut dengan kain ikat

kepalanya serta memenuhi Sangku Raja.

Ayat 29:
Basaluh darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur
Hintan manjadi rangkan panatau simpan, baras bulau, busung hintan,
karangan lamiang, bangkang balanga tingang, tambun repang garantung.

Terjemahannya:
Maka terjadilah darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang
Barikur Hintan menjadi bermacam-macam harta kekayaan, emas, intan,
lilis lamiang, guci balanga dan gong.

Hasil analisis:

Darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan yang

mengucur kembali menjelma menjadi bermacam-macam harta kekayaan,

emas, intan, lilis lamiang, guci balanga dan gong.

Ayat 30:
Nekap marut tinai awi uluh tingang apange Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut awan tambekan Duhung Papan Benteng Raja Sangiang,
palus halit haluli.
93

Terjemahannya:
Melihat kejadian demikian Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut
kembali mengusap bekas tikaman Duhung Papan Benteng Raja Sangiang
dan langsung kembali tanpa bekas.

Hasil analisis:

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut tidak tinggal diam melihat

apa yang dilakukan anaknya Raja Sangiang maka ia pun kembali

mengusap bekas tikaman dan langsung kembali tanpa bekas.

Ayat 31:
Kilen kea tambun pahari Raja Bunu ngumpang ngabehu huang, eleh giri-
gagariten tantenge, nuntun panatau panuhan ain uluh tambun pahari
sintung due, ije kajadian bara darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan.

Terjemahannya:
Melihat kejadian bagi kedua saudaranya demikian, Raja Bunu ingin juga
mendapatkan harta kekayaan sebagaimana kejadian yang didapat oleh
kedua saudaranya dari darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan.

Hasil analisis:

Melihat darah yang mengucur dari Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran

Tandang Barikur Hintan dan seketika menjelma menjadi bermacam-

macam harta kekayaan, emas, intan, lilis lamiang, guci balanga dan gong,

membuat Raja Bunu memiliki rasa cemburu dan ingin pula memperoleh

harta kekayan tersebut.

Ayat 32:
Ie palus nyilak-nyahumpak Duhung Papan Benteng, hayak nambekae kea
Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan.

Terjemahannya:
Maka ia pun langsung menghunus Duhung Papan Bentengnya seraya
menikam Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan.
94

Hasil analisis:

Raja Bunu kembali melukai binatang Gajah Bakapek Bulau, Unta

Hajaran Tandang Barikur Hintan dengan menghunus Duhung Papan

Bentengnya.

Ayat 33:
Pajanjuri darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur
Hintan nata petak sintel habalambang tambun, Hang deret habangkalan
karangan.

Terjemahannya:
Keluarlah darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur
Hintan bercucuran membasahi tanah dimana mereka berada.

Hasil analisis:

Tindakan Raja Bunu membuat darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran

Tandang Barikur Hintan bercucuran keluar dan membasahi tanah.

Ayat 34:
Hayak Auh Nyahu Batengkung Ngaruntung Langit, homboh Malentar
Kilat Basiring Hawun, basaluh darah Gajah Bakapek Bulau, Unta
Hajaran Tandang Barikur Hintan ije manata petak sintel habalambang
tambun, Liang deret habangkalan karangan, manjadi rangkan panatau
simpan.

Terjemahannya:
Disertai bunyi Guntur menggemuruh memenuhi alam semesta, Petir
Halilintar menggetarkan buana, darah Gajah Bakapek Bulau, Unta
Hajaran Tandang Barikur Hintan yang membasahi tanah tersebut kejadian
menjadi bermacam-macam harta kekayaan.

Hasil analisis:

Darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan yang

bercucuran tersebut seketika berubah menjadi bermacam-macam harta

kekayaan.

Ayat 35:
Sukup jadi darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur
Hintan pajanjuri, ie uluh tingang apange Manyamei Tunggul Garing
95

Janjahunan Laut, nekap marut awan tambekan Duhung Papan Benteng


Raja Bunu, kueh tau halit haluli.

Terjemahannya:
Masih bercucuran darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang
Barikur Hintan keluar, maka ayahnya Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut kembali mengusap bekas tikaman Duhung Papan
Benteng Raja Bunu, namun tidak dapat kembali seperti semula.

Hasil analisis:

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut berusaha mengobati bekas

tikaman Raja Bunu seperti saat ia mengusap bekas tikaman yang

disebabkan Raja Sangen dan Raja Sangiang. Saat mengusap tikaman

tersebut tidak dapat menutup kembali seperti sebelum-sebelumnya.

Ayat 36:
Nyuhu-nyuhu pajanjuri darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan, manata petak sintel habalambang tambun,
Liang deret habangkalan karangan, hayak te kea nunjung tambange
masuh pamahimping langit nyamah sembang tumbang Panjungan
Manjung.

Terjemahannya:
Malahan mengalir terus darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan membasahi tanah, dan oleh sebab itu ia berlari
menelusuri sisi langit dan tiba di Tumbang Panjungan Manjung.

Hasil analisis:

Akibat tikaman Raja Bunu yang mematikan darah Gajah Bakapek Bulau,

Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan terus membasahi tanah dan luka

yang diterima binatang tersebut membuatnya berlari menelusuri sisi langit

dan tiba di Tumbang Panjungan Manjung.

Ayat 37:
Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan, palus
menter intu tumbang Panjungan Manjung, hayak pajanjuri darahe mujan
hila Pantai Kalunen nata hulu batang danum, sungei saka, bukit gantung,
puruk batu ambu; Ie bukue Pantai Danum Kalunen are batang danum,
sungei saka, uras bakandung bulau, hintan.
Terjemahannya:
96

Disitu sejenak Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur


Hintan berbaring di Tumbang Panjungan Manjung dan bersama itu pula
darahnya terus keluar membasahi bumi, serta membasahi sungai, anak-
anak sungai, dataran, bukit tinggi, gunung batu; Itulah sebabnya bumi ini
atau dunia ini, banyak sungai, anak sungai yang mengandung emas, intan
dan logam lainnya.

Hasil analisis:
Bumi, sungai, anak-anak sungai, dataran, bukit tinggi, gunung batu

dibasahi darah Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur

Hintan. Darah yang terus mengucur keluar tersebut seketika pula berubah

menjadi harta kekayaan dan menyebabkan daerah-daerah yang dibasahi

darah tersebut mengandung emas, intan dan logam lainnya.


Ayat 38:
Dahae Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan ije
manata hunjun petak, jete basaluh manjadi sambarana kare gita kayu
tuntang kakare gitan kayu te uras tau hapa manuwe Bulau Pungkal Raja,
tuntang tuwen peres baratus arae.

Terjemahannya:
Darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan yang
membasahi permukaan bumi; Itu yang terjadi lagi menjadi bermacam-
macam jenis getah kayu, yang semuanya dapat menjadi sumber kehidupan
dunia dan menjadi obat-obatan penangkal segala macam penyakit.

Hasil analisis:

Darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan yang

mengucur membasahi permukaan bumi, juga berubah menjadi bermacam-

macam jenis getah kayu, dan bermanfaat sebagai sumber kehidupan dunia

dan obat-obatan penangkal segala macam penyakit.

Ayat 39:
Bara hete nunjung tambange Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan, haratean pamahimping langit ngumbang hila
Pantai Sangiang; Hayak pajanjuri darah manata Pantai Sangiang, uras
manjadi baras bulau, busung hintan, karangan lamiang.

Terjemahannya:
Dan sana lari lagi Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur
Hintan dan masih menelusuri sisi langit mengelilingi bagian Pantai
97

Sangiang; Bersama itu pula darahnya keluar membasahi Pantai Sangiang


yang semuanya langsung kejadian menjadi harta kekayaan emas, intan dan
lilis lamiang.

Hasil analisis:

Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan yang

kesakitan akibat darah yang terus mengucur keluar berlari hingga

menelusuri sisi langit mengelilingi bagian Pantai Sangiang.

Ayat 40:
Awi te bukue Pantai Sangiang uras hapanatau baras bulau, busung
hintan, karangan lamiang, kajarian darah Gajah Bakapek Bulau, Unta
Hajaran Tandang Barikur Hintan.

Terjemahannya:
Oleh sebab itu Pantai Sangiang semuanya berharta kekayaan emas
permata, intan berlian dan lilis lamiang yang terjadi dari darah Gajah
Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan.

Hasil analisis:
Kejadian dari darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang

Barikur Hintan berubah seketika menjadi harta kekayaan emas permata,

intan berlian dan lilis lamiang yang ada di Pantai Sangiang.


Ayat 41:
Limbah te tinai Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur
Hintan, nunjung tambange akan hulu Batang Danum Tiawu Bulau; Ie
palus matei hete; Awi te bukue Batang Danum Tiawu Bulau, Habaras
Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang, eka ije tatau dia
rumpang tulang, isen bakalesu uhat, tuntang hetuh eka ije inyewut
RANYING HATALLA, LEWU TATAU.

Terjemahannya:
Setelah itu, Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan
masih berlari dan tiba di hulu Batang Danum Tiawu Bulau langsung ia
mati di tempat itu; Itu sebabnya Batang Danum Tiawu Bulau penuh
dengan harta kekayaan, emas, intan, lilis lamiang, harta kekayaan Lewu
Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat, tempat
yang abadi selamanya, suatu tempat yang telah disediakan RANYING
HATALLA.

Hasil analisis:
98

Kesakitan akibat tikaman membuat Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran

Tandang Barikur Hintan terus berlari dan tiba di hulu Batang Danum

Tiawu Bulau dan langsung mati di tempat itu. Kematian Gajah Bakapek

Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan di tempat tersebut telah

disediakan Ranying Hatalla sebagai Batang Danum Tiawu Bulau penuh

dengan harta kekayaan, emas, intan, lilis lamiang, harta kekayaan Lewu

Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat, tempat

yang abadi selamanya.


Ayat 42:
Tinai hantun Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur
Hintan, basaluh manjadi Kayu Nyarataka Alam, ije ngambang bulau
gagenep andau, malelak hintan gagenep bulan, mandawen Timpung
Bembang Gawang, Mamotok Garanuhing Kurik, Mamua Lamiang Bua
Garing Belum, Mamating Suling Ringun Tingang, babuku Tisin
Pangarikir Bintang, Mujan Nyalung Kaharingan Belum, mijen Lewu
Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Bakalesu Uhat.

Terjemahannya:
Kemudian bangkai Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur
Hintan kejadian menjadi Kayu Nyarataka Alam, yang berbungakan emas
permata, intan berlian, berdaunkan kain berwarna-warni, berbakal buah
garanuhing kecil, berbuah lamiang bua garing belum, berbuku cincin
permata, dan selalu mengalirkan air suci kehidupan bagi kehidupan Lewu
Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat.

Hasil analisis:

Bangkai Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan

berubah menjadi Kayu Nyarataka Alam. Kayu Nyarataka Alam

diilustrasikan sebagai pohon berbungakan emas permata, intan berlian,

berdaunkan kain berwarna-warni, berbakal buah garanuhing kecil,

berbuah lamiang bua garing belum, berbuku cincin permata, dan selalu
99

mengalirkan air suci kehidupan bagi kehidupan Lewu Tatau Dia Rumpang

Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat.

Ayat 43:
Kalute ampin taluh handiai ije jadi kajadian intu Bukit Batu Nindan
Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring hemben te.

Terjemahannya:
Demikianlah segala sesuatu yang telah terjadi di Bukit Batu Nindan
Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring pada saat itu.

Hasil analisis:

Demikian anugerah Ranying Hatalla melalui Gajah Bakapek Bulau, Unta

Hajaran Tandang Barikur Hintan di Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng

Liang Bantilung Nyaring dan kehidupan di dunia.

Dari ayat-ayat yang terdaoat dalam Pasal 24 di atas, maka dapat

ditemukan yaitu: 1) Ayat 1-2, menyampaikan aktivitas yang dilakukan

Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu menginjak usia remajanya; 2)

Ayat 3-43, menyampaikan anugerah Ranying Hatalla dan Jatha Balawang

Bulau yang menciptakan Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang

Barikur Hintan bagi kehidupan Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja

Bunu, serta ciri ketiga bagi kehidupan Raja Bunu di masa depan.

C. Identifikasi Hermeneutika Pendidikan Anak Menurut Ajaran Agama

Hindu Kaharingan Dalam Kitab Suci Panaturan


Hermeneutika digunakan untuk mengidentifikasi ayat dalam Pasal-

pasal Panaturan yang berhubungan dengan pendidikan anak. Hal ini

dilakukan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman makna dari ayat-ayat

tersebut. Kesalahan pemahaman tersebut dikarenakan bahasa yang digunakan

merupakan bahasa Sangiang yang oleh sebagian orang sulit untuk dipahami.
100

1. Kedudukan Anak Menurut Ajaran Agama Hindu Kaharingan Dalam

Kitab Suci Panaturan


Pandangan susastra Hindu mendukung betapa pentingnya setiap

keluarga memiliki anak. Kehadiran seorang anak dalam sebuah keluarga

merupakan dambaan setiap pasangan yang telah membina rumah tangga.

Sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Panaturan Pasal 19 ayat 1

sebagai berikut:
Kilen kea amun jadi kinjap tutu pajanjuri dahan Kameluh Putak
Bulau Janjulen Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun palus
hindai atun mandinun garing tarantange, sihung lalundung.

Terjemahannya:
Melihat beberapa kejadian yang telah berlalu, sering Kameluh
Putak Bulau Janjulan Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun
pajanjuri darahnya, namun masih belum juga mendapat anak
keturunannya.

Dari ayat dalam pasal di atas dapat diidentifikasi bahwa Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut, Sahawung Tangkuranan Hariran dan

Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun

menantikan kehadiran garing tarantange yaitu keturunan/kelahiran anak

dalam kehidupan keduanya. Kejadian pajanjuri darah yang sering kali

menimpa Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan menjadi penyebab ia

tidak bisa memiliki keturunannya.


Menurut Etika (2005: 266) menyatakan bahwa kejadian pajanjuri

darah adalah:
Hubungan tanpa ikatan pernikahan antara Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan dan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan
Laut, merupakan contoh dari perilaku yang tidak sesuai dengan
kaidah/aturan yang berlaku, sehingga mengakibatkan terciptanya
hal-hal negatif yang akan menjadi sumber permasalahan bagi
kehidupan di dunia.

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan begitu menginginkan kelahiran anak sebagai


101

penerus keturunan keduanya mengalami hambatan akibat kejadian

pajanjuri darah (keguguran) yang dialami sebanyak dua belas kali

tersebut. Kejadian yang dialami Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun memang dikehendaki dan diatur

oleh Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa. Basir Embang (Wawancara,

21 Agustus 2016).
Pajanjuri darah dalam beberapa pasal dalam Kitab Suci Panaturan

dapat diidentifikasi peneliti sebagai kejadian keguguran. Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan dan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan

Laut, telah hidup bersama tanpa adanya upacara suci perkawinan antara

keduanya. Kejadian keguguran tersebut menjelaskan bahwa memang hal

tersebut adalah kehendak Ranying Hatalla dalam proses penciptaan alam

beserta isinya, namun penciptaan yang berasal dari kejadian yang tidak

suci tersebut melahirkan ciptaan dengan sifat-sifat asurisampat

(keraksasaan) terhadap alam lingkungan. Sebagaimana bunyi dalam pasal

19 ayat 2 disebutkan sebagaimana bunyi Panaturan berikut ini:


RANYING HATALLA jadi mangahandak kakare taluh handiai ije
jadi injadiae tuntang kalute kea huang kakare taluh handiai ije
injadiae harian andau tinai; Hayak te kea IE japa-japan tatah:
Hetuh jadi umbet katika AKU manjadian kakare taluh handiai
huang pambelum kalunen; AKU manjadian biti bereng aingKU
akan manyuang pambelum ije ingahandak awiKU.

Terjemahannya:
RANYING HATALLA sudah berkehendak demikian, begitu pula IA
menjadikan segala Kehendaknya untuk masa mendatang; Maka IA
berfirman: Sekarang tibalah saatnya AKU menjadikan kehidupan
dunia, AKU menciptakan wujud serupa AKU untuk mengisi
kehidupan dunia yang AKU kehendaki, karena sesungguhnya
kehidupan itu adalah AKU.

Dapat diidentifikasi bahwa setelah penciptaan makhluk-makhluk

dari kejadian Pajanjuri darah tersebut, maka Ranying Hatalla berkehendak


102

untuk menciptakan wujud serupa diri-Nya. Hal ini maknai bahwa Ranying

Hatalla berkehendak menciptakan makhluk ciptaan yang memiliki bentuk

dan sifat-sifat luhur atau sifat-sifat kedewataan yang dimiliki-Nya.

Ranying Hatalla adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, IA Yang Maha

Segalanya yang memiliki semua sifat-sifat luhur atau dikenal dengan sifat

kedewataan (daiwisampat), yang tidak dikuasai oleh hal-hal negatif,

diliputi kesucian, menjunjung kebenaran (dharma). Demikianlah kehendak

Ranying Hatalla bagi ciptaan-Nya sehingga dapat terlahir manusia yang

sejati, yang memiliki kesadaran serupa IA yang ada di dalam semua

mahluk dan menyadari keutamaannya sebagai seorang manusia.


Kejadian yang telah diterima Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan

mengajarkan dan mengingatkan dalam kehidupan, seorang pria dan wanita

yang hendak membina dan membangun keluarga selalu mengutamakan

ajaran ketuhanan, etika dan kesucian upacara yang bersumber dari

Ranying Hatalla sebab IA adalah Tuhan Yang Maha Esa merupakan awal

dan akhir segala kehidupan yang ada di dunia.


Kedudukan anak dalam sebuah keluarga begitu penting. Kehadiran

anak ditandai dengan keinginan setiap pasangan yang telah melaksanakan

perkawinan yang begitu mengidam-idamkan kelahiran seorang anak. Anak

adalah anugerah, sehingga setiap pasangan yang telah membina rumah

tangga tentu ingin memperoleh anugerah yaitu kehadiran anak dalam

kehidupan dengan berkepribadian dan memiliki sifat kedewataan,

bertingkah laku yang baik, yaitu terlahirnya anak yang suputra adalah
103

kebahagiaan yang tak terhingga sebagai pelanjut keturunan bagi setiap

orang tua. Dalam Panaturan Pasal 20 ayat 5 berbunyi berikut ini:


Magun Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, kuta-kutak
pahalawu rawei, balaku asi belum, palakuan awat maharing umba
RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU tau
kanuah garing tarantang hatue kanampan bunu, rayung kanenjek
ruhung.

Terjemahannya:
Masih berkata-kata di dalam hatinya Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut, ia bermohon pada RANYING HATALLA dan
JATHA BALAWANG BULAU, agar diberikan anak keturunannya,
laki-laki.

Sebagaimana bunyi kutipan ayat di atas, bahwa sebagai seorang

ayah, maka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut mengharapkan

isterinya mengandung anak keturunannya laki-laki. Kehadiran anak laki-

laki dalam terjemahan ayat tersebut mengindikasikan bahwa kedudukan

anak laki-laki begitu diharapkan dalam kelahiran keturunannya kelak.

Namun, hal ini bukan dimaksudkan bahwa kelahiran anak perempuan

mempunyai kedudukan yang lebih rendah dibandingkan anak laki-laki.


Menurut Amini (2006: 98) menjelaskan bahwa anak lelaki atau

perempuan tidak berbeda. Anak perempuan dapat menjadi orang yang

berguna dan efisien seperti anak laki-laki. Terkait hal ini, maka Gaya

menjelaskan sebagai berikut:


Keinginan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut adalah
memiliki putra. Setiap orang tua mengharapkan kehadiran
anak/putra yang baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun
keturunan yang diharapkan dalam kutipan ayat tersebut
menyebutkan anak laki-laki. Menurut pandangan Hindu
Kaharingan, yang dimaksud putra adalah anak baik dia laki-laki
maupun perempuan adalah anugerah Ranying Hatalla dan
diharapkan memiliki karakter dan sifat sebagai pelindung, pelopor,
penganyom, pemberani, pemimpin, cerdas, cerdik, pandai,
cantik/molek, gagah, perkasa, sopan santun, jujur, disiplin, dan
sifat-sifat baik lainnya. (Wawancara, 24 Agustus 2016).
104

Dengan demikian, hendaknya setiap orang tua yang mengharapkan

kehadiran seorang anak tidak membeda-bedakan anak mengacu pada jenis

kelaminnya baik itu anak laki-laki atau anak perempuan. Dalam penjelasan

terkait ayat tersebut dapat dimaknai sebagai sifat-sifat yang cenderung

dimiliki oleh laki-laki. Sebagai orang tua harus dapat bersyukur atas

anugerah yang diberikan Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Ea apabila

menerima kelahiran anaknya sehat dan sempurna baik itu laki-laki dan

perempuan, dengan kebahagiaan yang sama.


2. Pendidikan Anak Menurut Ajaran Agama Hindu Kaharingan Dalam

Kitab Suci Panaturan


Panaturan adalah kitab yang penuh dengan petunjuk, panduan,

pedoman ajaran ketuhanan, tata aturan etika, nilai kesucian pelaksanaan

tata cara ritual upacara keagamaan yang harus dipedomani dan diteladani

oleh setiap umat manusia khususnya penganut Hindu Kaharingan. Banyak

yang dapat digali dan diuraikan serta kemudian diimplementasikan dalam

kehidupan sehari-hari termasuk pendidikan bagi anak.


a. Perkawinan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan

Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan


Pendidikan bagi anak dimulai dan diberikan dari orang tuanya.

Perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan suci yang dilalui manusia

untuk memiliki seorang anak. Dari sebuah perkawinan tentu

diharapkan keturunan yang mulia dan juga dapat meneruskan

kelangsungan hidup manusia. Sebagaimana bunyi Panaturan Pasal 19

ayat 3 (MB-AHK, 2013: 56) berikut ini:


Ewen ndue tuh puna ilalus gawin lunuk hakaja pating,
baringen hatamuei bumbung, awi ewen sintung ndue dapit
jeha ije manak manarantang hatamunan AKU huang
pambelum Pantai Danum Kalunen ije puna ingahandak awi-
105

KU tuntang talatah panggawie, manjadi suntu akan pambelum


Pantai Danum Kalunen.

Terjemahannya:
Sesungguhnya mereka berdua ini adalah wujudKU sendiri,
AKU akan melaksanakan Upacara Perkawinannya agar mereka
dapat memberikan keturunan serupa AKU, bagi kehidupan
dunia yang AKU kehendaki, dan ini pula yang akan mereka
lakukan pada kehidupan dunia nantinya.

Dari kutipan ayat di atas dapat diidentifikasi bahwa Ranying

Hatalla menghendaki bahwa manusia ataupun seorang anak dilahirkan

dari bersatunya seorang laki-laki dan perempuan dalam sebuah ikatan

perkawinan. Oleh sebab itu, Ranying Hatalla menghendaki Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan melaksanakan upacara perkawinan.


Bagi penganut Hindu Kaharingan, hidup adalah perjalanan

yang telah diatur oleh Ranying Hatalla sebagai Sang Pencipta. Apa

yang telah IA atur bagi kehidupan manusia di dunia senantiasa adalah

untuk kebaikan, kedamaian, kesejahteraan secara skala dan niskala.

Salah satunya pelaksanaan upacara perkawinan tersebut adalah bentuk

upacara suci dan sakral yang telah dikehendaki Ranying Hatalla bagi

manusia untuk memulai membina rumah tangga.


Pelaksanaan upacara perkawinan tersirat penanaman nilai

pendidikan ketuhanan, etika dan upacara yang mengajarkan manusia

bahwa sebelum pasangan pria dan wanita, dalam hal ini sebagai

contoh, yaitu pasangan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut

dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, bagaimana cara

keduanya memperoleh keturunannya. Ranying Hatalla/Tuhan Yang


106

Maha Esa menghendaki keduanya menjalani ritual perkawinan sesuai

petunjuknya yang akan dilaksanakan oleh Raja Uju Hakanduang.


Perkawinan antara Manyamei Tunggul Garing Janjahunan

Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan adalah contoh bagi

keturunannya kelak menjalani kehidupan di dunia. Perkawinan bukan

bertujuan untuk memenuhi hasrat seksual semata, namun dalam

upacara tersebut nantinya keduanya disucikan, memohon berkat dan

restu dari Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa, agar apa yang

diinginkan dapat tercapai sehingga kejadian-kejadian yang sifatnya

negatif baik pajanjuri darah, tidak lagi terjadi di kehidupan keduanya

akibat kesalahan yang telah mereka perbuat seperti sebelumnya.


Terkait prosesi pelaksanaan upacara perkawinan bagi

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan sebagaimana bunyi pasal 19 ayat 8 (MB-

AHK, 2013: 57), maka ada sarana prasarana yang dipersiapkan yaitu:
Raja Uju Hakanduang hadurut mimbit kakare paramun lunuk
hakaja pating, parabean baringen hatamuei bumbung, iete:
Sawang Tanggan Tarung, Ranying Pandereh Bunu, Uei
Rantihen Tingang, Bawui Samben, Manuk Darung Tingang,
Lamiang Bua Garing Belum, Manas Sambelum Perun
Tambun, tuntang ije beken kea paramun gawi.

Terjemahannya:
Raja Uju Hakanduang berangkat membawa semua peralatan
Upacara Perkawinan, yaitu pohon Sawang Tanggan Tarung,
Manuk Darung Tingang, Lamiang Bua Garing Belum, Manas
Sambelum Perun Tambun dan yang lainnya merupakan
kelengkapan Upacara.

Upacara perkawinan antara Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan

dilaksanakan Raja Uju Hakanduang atas pesan yang diberikan

Ranying Hatalla. Sarana dan prasarana perlengkapan upacara tersebut


107

diantaranya pohon Sawang Tanggan Tarung, Manuk Darung Tingang,

Lamiang Bua Garing Belum, Manas Sambelum Perun Tambun dan

yang lainnya.
Upacara perkawinan bagi Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan

dilaksanakan oleh Raja Uju Hakanduang sesuai kehendak dan

petunjuk dari Ranying Hatalla. Prosesi upacara perkawinan tersebut

sebagaimana yang termuat dalam Panaturan berikut ini:


Huang katika malalus gawin lunuk hakaja patinge, baringen
hatamuei bumbung RAJA UJU HAKANDUANG mampunduk
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut umba Kameluh
Putak Bulau Janjulen Karangan intu hunjun garantung hayak
lenge pangantau mimbing batang Sawang palus tunjuk
paninjuk manunjuk akan ngambu manyarurui batang Sawang,
kalute kea paie mantijak batu.
Pasal 19 Ayat 15 (MB-AHK, 2013: 59)
Terjemahannya:
Pada saat melaksanakan Upacara Perkawinan, disitu Raja Uju
Hakanduang menempatkan Manyamei Tunggul Garing
Janjuhanan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen
Karangan duduk di atas gong dan tangan kanan mereka berdua
memegang pohon Sawang serta telunjuk jarinya menunjuk ke
atas, begitu pula kaki mereka berdua menginjak batu.

Ewen sintung ndue jadi mandukan hunjun garantung, hete


Raja Uju Hakanduang manyaki ewen sintung ndue mahapan
darah manuk, bawui, manitis undus, palus mameteng lilis
lamiang, manas sambelum, hayak mantar pinang sama
hanjenan kapantar.
Pasal 19 Ayat 16 (MB-AHK, 2013: 59)
Terjemahannya:
Mereka berdua berada di atas gong, saat itu pula Raja Uju
Hakanduang mengoles darah ayam, babi, menetes minyak di
kepalanya dan mengikat lilis lamiang, manas sambelum, serta
seusai itu semua, mereka berdua memakan sirih pinang.

Dapat diidentifikasi dalam kutipan ayat di atas bahwa prosesi

upacara perkawinan yang dilakukan oleh Raja Uju Hakanduang bagi

Manyamei Tunggul Garing Janjuhanan Laut dan Kameluh Putak


108

Bulau Janjulen Karangan, yaitu keduanya duduk di atas gong dan

tangan kanan mereka berdua memegang pohon Sawang serta telunjuk

jarinya menunjuk ke atas, begitu pula kaki mereka berdua menginjak

batu.
Menurut Gaya (2012: 81-82) menjelaskan bahwa prosesi

dalam upacara perkawinan mengandung makna-makna simbolis yaitu:


Pasangan pria dan wanita yang duduk di atas gong, diharapkan
dalam kehidupan keduanya nanti tersohor dan dikenal oleh
orang banyak; tangan kanan yang memegang pohon sawang
bahwa pohon sawang menyimbolkan pohon kehidupan yang
bermakna keduanya dapat menjalani kehidupan berumah
tangga dengan hidup rukun, tenteram, bahagia dan abadi; jari
telunjuk yang menunjuk ke atas bermakna bahwa mereka
berjanji kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ranying Hatalla untuk
hidup setia sampai mati; dan kaki yang menginjak batu
menyimbolkan mereka hidup beralaskan keyakinan iman yang
kokoh bagaikan batu karang, bahwa Tuhan Yang Maha
Esa/Ranying Hatalla akan senantiasa melindungi, menyertai
dan memberkati setiap langkah dalam menjalani bahtera
kehidupan berumah tangga.

Kemudian dalam prosesi perkawinan tersebut selanjutnya Raja

Uju Hakanduang mengoles darah ayam, babi, menetes minyak di

kepala keduanya dan mengikat lilis lamiang, manas sambelum, serta

seusai itu semua, mereka berdua memakan sirih pinang. Gaya

menjelaskan hal tersebut sebagai berikut (2012: 83) adalalah:

Mengoles darah ayam, babi, menyimbolkan penyucian diri


secara lahiriah dan batiniah; meneteskan minyak di kepala
dimaknai sebagai agar keduanya dapat hidup ruhui rahayu
sehingga meskipun ada kesulitan atau hambatan dalam
kehidupan, pasangan tersebut dapat diatasi dengan arif dan
bijaksana; mengikat lilis lamiang, manas sambelum
menyimbolkan agar dalam kehidupan keduanya dapat
memperoleh harta kekayaan yang didapat berdasarkan ajaran
dharma serta dengan harapan rumah tangganya kelak seperti
lilis lamiang, manas sambelum yang tidak berubah warnanya
seperti itu pula ia menjaga keharmonisan dalam rumah
tangganya; dan memakan sirih pinang menyimbolkan sejak
saat itu keduanya disatukan dalam ikatan perkawinan.
109

Seperti yang digambarkan dalam Kitab Suci Panaturan

dituturkan bahwa Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan

Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan telah tinggal bersama

namun dari hubungannya tersebut belum juga dikaruniai keturunan.

Beberapa kali ia mengandung namun selalu saja mengalami

keguguran. Oleh sebab itulah, agar tidak mengulang kejadian yang

sama maka atas petunjuk Ranying Hatalla menghendaki agar mereka

berdua melaksanakan upacara perkawinan agar mendapatkan

keturunan. Makna yang terkandung dalam prosesi pelaksanaan upacara

perkawinan bagi Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan

Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan adalah ritual tersebut atas

kehendak dan petunjuk Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa agar

nantinya upacara yang dilakukan tersebut menjadi contoh bagi umat

manusia kelak untuk memulai membina kehidupan berumah tangga.


Oleh karena itu, sebagai calon orang tua harus diketahui bahwa

mendidik seorang anak tidak hanya dilakukan saat anak tersebut telah

lahir ke dunia, bahkan upaya mendidik anak telah direncanakan oleh

pasangan pria dan wanita yang memiliki kehendak untuk membina

rumah tangga. Ritual perkawinan yang didasarkan dan dilandasi

kesucian nantinya diharapkan dapat melahirkan anak-anak yang

memiliki sifat-sifat kedewataan (ketuhanan), tidak dikuasai oleh sifat-

sifat negatif, dan senantiasa mengutamakan ajaran kebenaran, dan

tumbuh menjadi anak yang suputra.


Implementasi pendidikan anak dalam pasal tersebut dapat

diidentifikasi bahwa hendaknya setiap anak yang dilahirkan berasal


110

dari hubungan yang sah baik secara agama, sosial dan hukum, sebab

anak yang lahir tersebut dapat tumbuh secara sempurna dan relatif

lebih mudah untuk dididik dari anak yang lahir dari pasangan tanpa

ikatan perkawinan. Sebab, anak yang dilahirkan dari pasangan sah dan

resmi tersebut akan mendapatkan pola asih, asah dan asuh dari orang

tuanya secara sempurna pula, dan mendapatkan pengakuan (legalitas)

yang sah baik internal keluarga dan eksternal keluarga (kehidupan

sosial), sementara anak yang lahir dari pasangan tanpa ikatan

perkawinan beresiko sulit mendapatkan kasih sayang yang seharusnya.


Terkait hal ini maka Suyadi (2009: 30) menjelaskan bahwa

kesulitan yang terjadi bisa dikarenakan dua faktor adalah:


Pertama, anak menurunkan atau mempunyai sifat yang mirip
dengan orang tuanya, yakni senang melanggar aturan atau
berperilaku asubha karma. Kedua, kesulitan tersebut karena
kedua orang tuanya tidak mampu mendidik anak-anak yang
dilahirkan dari hubungan tidak sah. Ini lebih dikarenakan
seringnya orang tua kadang kala menyesali perbuatan tidak
benar tersebut sehingga seolah-olah anak yang lahir tidak atas
kehendak orang tuanya.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa begitu pentingnya

makna yang terkandung dalam perkawinan bagi setiap calon orang tua

yang mengharapkan kehadiran buah hati di dalam kehidupan rumah

tangganya. Dengan demikian, pendidikan anak dalam ajaran agama

Hindu Kaharingan dalam Kitab suci Panaturan adalah hendaknya

setiap remaja baik pria dan wanita yang hendak membina rumah

tangga dididik agar mempertimbangkan rencana untuk hidup bersama

dengan matang supaya ada kesiapan lahiriah dan batiniah dalam

menjalani bahtera hidup berumah tangga dan mampu memberikan

pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya kelak. Keturunan yang dapat


111

terlahir secara sempurna, tumbuh sehat, serta mempunyai masa depan

yang lebih cerah daripada orang tuanya, tumbuh menjadi anak yang

suputra adalah anugerah yang begitu besar dari Tuhan Yang Maha Esa.
b. Masa Kehamilan dan Pasca-Kelahiran Anak Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun


1) Tanda-Tanda Kehamilan
Seorang ibu mempunyai peran penting dalam menciptakan

generasi penerus yang berkualitas. Menurut BKKBN (2003: 19)

bahwa kehamilan adalah suatu anugrah dari Tuhan yang perlu

mendapatkan perhatian dan dukungan dari seluruh anggota

keluarga.
Persiapan menjadi seorang ibu sudah seharusnya

dilakukan sejak seorang wanita merencanakan untuk menikah.

Persiapan tidak hanya secara fisik, tetapi juga batin sebab

menjalani masa kehamilan perlu adanya dukungan dan perhatian

dari seluruh anggota keluarga. Kesiapan batin adalah kesiapan

seorang wanita menghadapi kehamilan sampai persalinan dengan

berbagai resikonya. Kehamilan telah merubah fisik seorang wanita

secara perlahan tetapi pasti sejak tanda kehamilan diketahui sampai

anak dilahirkan kelak.


Pada umumnya, perubahan fisik yang terjadi adalah

perubahan berat badan yang tidak hanya mempengaruhi besarnya

perut, tetapi juga bagian tubuh lainnya. Semua keadaan ini akan

mempengaruhi perasaan seorang wanita dari perasaan gembira

karena harapan untuk memiliki buah hati tercinta sampai perasaan

cemas karena beban fisik yang harus ditanggung. Sebagaimana

bunyi pasal 20 ayat 1 (MB-AHK, 2013: 60) berikut ini:


112

Are kea jadi katahie limbah lunuk hakaja pating, baringen


hatamuei bumbunge, leka atun angat kahubah biti
berenge Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, Limut
Batu Kamasan Tambun.

Terjemahannya:
Sudah sekian lama setelah upacara perkawinan
dilaksanakan, Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan,
Limut Batu Kamasan Tambun, merasa ada perubahan
dalam tubuhnya.

Dapat diidentifikasi bahwa seorang ibu yang sedang

mengalami kehamilan akan merasa berbeda baik secara psikis

maupun secara fisik seperti yang dialami Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan dalam kutipan ayat di atas. Setelah berlangsung

perkawinan antara pasangan pria dan wanita, seorang wanita yang

menginginkan kehadiran buah hati dalam kehidupannya setidaknya

harus memiliki kepekaan dalam mengenali tanda-tanda kehamilan

dalam tubuhnya.
Perubahan yang terjadi yang dapat diketahui sebagai

tanda-tanda kehamilan. Misalnya, perubahan yang terlihat jelas

adalah perubahan fisik yang ditandai dengan kenaikan berat badan,

perut yang membuncit dan payudara yang membesar. Perubahan

fisik tersebut mau tidak mau akan memberikan pengaruh juga

terhadap kondisi psikologis ibu. Adanya perubahan tersebut akan

menimbulkan suatu kesadaran dalam diri ibu tersebut bahwa ada

yang tidak sama, dan dapat memberikan efek negatif dan positif

kepada ibu yang bersangkutan. Sebagaimana yang diungkapkan

Handayani (2003: 3) menjelaskan bahwa:


Kehamilan dapat diketahui melalui tanda-tanda kehamilan
seperti berhentinya menstruasi paling tidak setelah
113

melewati 10 hari dari tanggal biasanya mendapat haid, dan


disertai keluhan keluhan-keluhan seperti mual dan muntah
pada pagi hari dan sering kencing.

Dalam Pasal 20 ayat 2 Panaturan (MB-AHK, 2013: 60)

menuturkan sebagai berikut:


Awi atun angat kahubah biti berenge Kameluh Putak
Bulau Janjulen Karangan, hete ie palus malawu rawei
umba Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, kuae:
Kahandak Ranying Hatalla ampi uras manjadi akan
pambelum kalunen.

Terjemahannya:
Oleh karena merasa ada perubahan dalam tubuhnya,
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan berkata pada
suaminya Manyamei Tunggul Garing Janjahuan Laut,
katanya: Sesungguhnya RANYING HATALLA menjadikan
kehidupan dunia.

Kehamilan yang dialami oleh seorang istri harus diterima

oleh sukacita dan tentu saja disambut dengan rasa kegembiraan

oleh suami yang mengharapkan kehadiran sang buah hati. Ketika

hamil, seorang wanita tersebut telah menjadi seorang ibu sejak saat

itu. Amini (2006: 6) menjelaskan bahwa seorang ibu pada

umumnya mengemban tanggung jawab lebih besar dalam

mengasuh anak. Bahkan pada masa kehamilan, kebiasaan makan

dan perilakunya akan berpengaruh pada kualitas dan

perkembangan anak di kemudian hari.


Sebagaimana pendapat seorang intelektual (dalam Amini,

2006: 40) menjelaskan sebagai berikut:

Tubuh ibu dan semua yang terkait dengannya berpengaruh


bagi anak yang dikandungnya. Anak dalam kandungan
begitu sensitif terhadap perubahan yang dialami tubuh
ibunya. Ini karena tubuh ibu telah sempurna, sementara
tubuh anak sedang berkembang menuju kesempurnaan.
Oleh karena itu, adalah tugas ibu hamil untuk menjaga
114

lingkungan yang baik, mengetahui kejadian apa yang


dampak berdampak baik dan buruk bagi anaknya.

Begitu besar tanggung jawab yang ada pada sang ibu.

Namun, bukan berarti seorang ayah hanya memiliki sedikit

tanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak-

anaknya. Dalam Panaturan dituturkan ajaran Ranying Hatalla

dalam pasal 20 ayat 8 (MB-AHK, 2013: 61) sebagai berikut:


Hemben te kea RANYING HATALLA atun mameteh umba
RAJA UJU HAKANDUANG, uka janjaruman akan
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, huang
katika bulan bawi bambaie Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan Handiwung Kanyurung Pusue, uka ie
handung hakatawan, tuntang ie mahaga bulan bawi
bambaie te bua-buah.

Terjemahannya:
Di saat itu RANYING HATALLA berfirman kepada Raja
Uju Hakanduang, untuk memberitahukan kepada
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, bahwa
isterinya Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan
mengandung, agar ia bersungguh-sungguh memelihara
isterinya baik-baik.

Kehamilan adalah masa yang rawan bagi istri sehingga

sebagai seorang suami haruslah senantiasa memberikan kasih

sayang, menjaga dan berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan

istri yang sedang mengandung bahkan bukan hanya selama masa

kehamilan tetapi setelah melahirkan anaknya nantinya.


Dengan demikian, seseorang yang mengetahui dirinya

sedang hamil hendaknya menerima kehamilan sebagai ungkapan

rasa syukur sebab kehamilan adalah suatu anugerah dari Yang

Maha Kuasa. Sebagai setiap calon orang tua kelak mengemban

tanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak


115

dalam kandungan sampai anak lahir ke dunia dan tumbuh dewasa

kelak.
2) Fase-Fase Kehamilan
Berbicara mengenai fase perkembangan pendidikan anak

tidak lengkap tanpa membahas fase-fase kehamilan yang dialami

calon ibu. Dapat dipahami bahwa pendidikan anak menurut

pendidikan Hindu Kaharingan dimulai semenjak anak berada

dalam kandungan ibunya melalui pelaksanaan upacara.

Sebagaimana bunyi Panaturan pasal 20 ayat 13 (MB-AHK, 2013:

63) yaitu:
Jadi sukup bulan tagalae, genep bintang patendue, nduan
telu bulan tanggar langit Kameluh Putak Bulau Janjulen
Karangan handiwung kanyurung pusue, hete Manyamei
Tunggul Garing Janjahunan Laut malalus kakare gawi
tumun peteh RANYING HATALLA ewen ndue JATHA
BALAWANG BULAU, Paleteng Kalangkang Sawang
manyadiri, akan tihin bulan bawi bambaie.

Terjemahannya:
Sudah tiba saatnya, genap tiga bulan langit, Kameluh
Putak Bulan Janjulen Karangan mengandung anaknya,
maka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut,
melaksanakan semua upacara yang sudah dipesan oleh
RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU,
yaitu: Melaksanakan Upacara Paleteng Kalangkang
Sawang, untuk kandungan isterinya.

Dalam ayat tersebut diidentifikasi bahwa Upacara

Paleteng Kalangkang Sawang yang dilaksanakan oleh Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut untuk isterinya adalah upacara

menyambut tiga bulan kehamilan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan. Pendidikan bagi anak tidak hanya dilakukan setelah

anak lahir ke dunia bahkan jauh sebelum itu pendidikan bagi anak

telah berlangsung sejak anak berada dalam kandungan dengan


116

harapan agar anak yang dilahirkan secara jasmani dan rohani, lahir

menjadi manusia yang sempurna.


Dari penjelasan ayat suci Panaturan tersebut, bahwa

pelaksanaan upacara-upacara sejak dalam kandungan dan setelah

anak dilahirkan ke dunia adalah bentuk pendidikan prenatal bagi

anak. Hal tersebut sejalan dengan sloka dalam kitab Weda Smerti

Bab II Sloka 26 (dalam Rahmawati, 2012: 49) yaitu:


Waidakaih karmabhih punyair,
Nisikadirdwiyanmanam, karyah,
Carira samskarah pawanah pretya ceha ca

Artinya:
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Weda,
upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat
terjadinya pembuahan dalam rahim ibu, serta upacara
manusia yadnya lainnya yang dapat menyucikan diri dari
segala dosa dalam hidup ini maupun setelah meninggal
dunia.

Ritual/yadnya dimaksudkan untuk penyucian diri dan

membina kesiapan mental spiritual. Hal ini dalam tradisi Hindu

adalah pelaksanaan upacara dan realisasi nyata pendidikan yang

ditujukan untuk kehidupan manusia, dari baru terjadinya

pembuahan sampai meninggal dunia nantinya manusia akan

diajarkan bagaimana tata cara melaksanakan kehidupan yang baik

dan benar dengan dilandasi oleh ajaran suci Ranying

Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa.


Pelaksanaan upacara keagamaan Hindu di dunia tidak jauh

berbeda dengan umat Hindu yang ada di Kalimantan Tengah

khususnya penganut Hindu Kaharingan. Panaturan dijadikan

pedoman, penuntun, dan petunjuk hidup untuk nantinya keturunan


117

Raja Bunu yang menjadi cikal bakal suku Dayak di Kalimantan

yang menjalani kehidupan di Pantai Danum Kalunen (dunia).


Menurut Kitab Suci Weda (dalam Rahmawati, 2012: 50)

juga disebutkan tiga upacara penyucian pada saat terjadinya

pembuahan dalam rahim sang ibu, antara lain: 1) Upacara

Garbadhana, yaitu upacara yang dilakukan saat terjadinya

pertemuan kama bang (sperma) dan kama petak (sel telur), yang

merupakan cikal bakal benih dari kelahiran seorang anak; 2)

Upacara Sinantonaya, yaitu belahan rambut pada kepala

wanita/calon ibu, upacara ini dilakukan setelah kandungan berumur

empat atau lima bulan, dan secara psikilogis bahwa pada bulan ini

mekanisme otak janin sudah mulai berfungsi sehingga pemisahan

rambut di kepala ibu dapat memberikan rangsangan dari luar; dan

3) Magedong-gedongan, yaitu diadakan setelah kandungan

berumur tujuh bulan, tujuannya adalah memohon kepada Ida Sang

Hyang Widhi Wasa agar memberkati keselamatan kepada cabang

bayi dalam rahim ibu dapat lahir dan tumbuh dengan sehat. Ketiga

tahapan ini tergolong sebagai tahapan prenatal, yaitu sejak calon

anak dalam kandungan sang ibu.


Momen penting pendidikan bagi anak terdiri atas 2 adalah

pada saat anak masih berada dalam kandungan (prenatal) dan

setelah anak dilahirkan ke dunia (postnatal). Ketika seorang wanita

sedang mengandung banyak hal-hal yang harus diperhatikan bagi

calon orang tua. Pada momen kehamilan dan perkembangan janin


118

sang istri banyak hal yang harus diperhatikan oleh suami atau calon

ayah nantinya.
Dalam bunyi Panaturan dalam pasal 20 ayat 8 tersebut

dapat dimaknai bahwa sejak sang istri mengandung, memiliki janin

dalam kandungannya, suami senantiasa menjaga dan

memperhatikan keadaan isterinya, hal ini dikarenakan pada fase

kehamilan merupakan masa yang rentan bagi calon ibu, baik dari

segi pola makan dan perilaku. Terkait masalah makanan memang

menjadi kebutuhan pokok setiap makhluk hidup, begitu pula

manusia. Manusia hidup tentu butuh makan, meskipun hidup

bukan sekedar untuk makan. Kebutuhan akan makanan tidak hanya

pada orang dewasa dan anak-anak, tetapi anak yang masih berada

dalam kandungan. Sesuai yang dituturkan dalam pasal 20 ayat 7

(MB-AHK, 2013: 61) berikut ini:


Kalute Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, bilak
dia buang andau batanjung pain bukit panjang, haratean
puruk batu ambu mangilau taluh ije nahuang bulan bawi
bambaie hakanana.

Terjemahannya:
Demikian Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut,
hampir tiada hari yang dilewatkan untuk berjalan di kaki-
kaki bukit, menelusuri kaki gunung, mencari sesuatu yang
dikehendaki isterinya.
Dalam kutipan ayat suci di atas, dapat diketahui bahwa

Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, pada fase kehamilannya

banyak permintaan terhadap suaminya, Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut. Meskipun dalam ayat ini tidak menyebutkan

secara jelas sesuatu yang sebenarnya dikehendaki oleh Kameluh

Putak Bulau Janjulen Karangan, sehingga Manyamei Tunggul


119

Garing Janjahunan Laut senantiasa berjalan di kaki-kaki bukit

mencari kehendak atau apa yang diinginkan istrinya. Namun, pada

umumnya fenomena yang dialami oleh wanita hamil tersebut lebih

dikenal dengan ngidam.


Menurut Syafei (2006: 30) menjelaskan bahwa pada

wanita yang sedang hamil, tentunya makanan yang diproses di

dalam perutnya itu sebagian diperuntukkan bagi pertumbuhan

bakal anak yang dikandungnya, baik pertumbuhan fisik maupun

pertumbuhan jiwanya. Suyadi (2009: 44) menambahkan bahwa

fenomena ngidam biasanya dialami wanita hamil pada triwulan

pertama fase kehamilan, tetapi bagi beberapa ibu hamil, ada yang

sampai fase triwulan ketiga masih ngidam.


Kejadian yang dialami Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan, merupakan fenomena alami yang dialami setiap wanita

saat hamil. Suyadi (2009: 45) menjelaskan fenomena tersebut

sebagai berikut:
Fenomena ngidam (craving) merupakan hal wajar karena
munculnya kebutuhan terhadap zat-zat tertentu yang
dibutuhkan tubuh untuk kelangsungan kehamilan yang
lebih sehat. Tetapi, sebenarnya kebutuhan tersebut banyak
dipengaruhi oleh gejolak psikologis. Contoh ngidam yang
lazim terjadi di masyarakat seperti: ngidam makanan
(buah-buahan, dll), membenci menu favorit, membenci
suami sendiri dan sebagainya.

Dengan demikian, makanan yang dikonsumsi ibu

merupakan sari makanan bagi janin dalam kandungannya. Oleh

kaarena itu, harus menjadi keyakinan setiap calon orang tua bahwa

apa yang dimakan dan perilaku yang diperbuat akan membawa

dampak baik atau buruk terhadap anak yang sedang dikandung.


120

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para orang tua atau

calon orang tua, khususnya calon ibu yang sedang mengandung,

antara lain:
a) Masalah Makanan
Makanan yang bermutu secara sederhana dapat

dikatakan makanan yang memenuhi standar atau ukuran

kesehatan. Menurut Syafei (2006: 30-31) menjelaskan bahwa

makanan yang memenuhi standar kesehatan adalah sebagai

berikut:
- Memiliki kandungan gizi dan vitamin yang cukup.
- Bebas dari pencemaran.
- Tidak kadaluwarsa.
- Jumlah yang cukup sesuai dengan aturan makan
yang lazim.
- Dalam hal makanan itu perlu dimasak terlebih
dahulu, maka cara memasaknya harus sesuai dengan
aturan yang berlaku.

Selain itu, sumber dan cara perolehan makanan dalam

hal ini yang patut diperhatikan adalah sumber dan cara itu tidak

melawan hukum, baik hukum agama maupun hukum Negara

dan hukum-hukum lainnya yang mengatur kehidupan manusia

di alam dunia ini. Oleh karenanya, bagi ibu yang sedang

mengandung hendaknya menerima makanan tersebut

bersumber dan cara memperolehnya tidak bertentangan dengan

ajaran dharma. Dalam keyakinan umat Hindu Kaharingan

khususnya, makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak

benar mengandung hal-hal yang tidak baik pula dan akan

berdampak negatif secara spiritual terhadap orang yang

memakannya.
121

Jenis makanan yang sumbernya bertentangan dengan

ajaran agama, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk

tata cara perolehannya menjadi sangat penting untuk

diperhatikan. Misalnya, dalam bentuk fisik seperti minuman

keras, obat-obatan terlarang, zat yang bertentangan dengan

kesehatan, daging kucing, anjing, tikus, ular dan lain-lain yang

tidak layak dan tidak lazim untuk dikonsumsi. Sedangkan,

dalam kaitan dengan cara perolehannya berupa barang tersebut

hasil mencuri, menipu, merampas milik orang lain, uang hasil

korupsi dan lain-lain.


Terkait perihal makanan, pendapat lain menjelaskan

sebagai berikut:
Makanan yang dapat dikonsumsi adalah makanan yang
memiliki kandungan gizi yang bisa membentuk sifat-
sifat satwam (makanan yang mengakibatkan manusia
memiliki sifat kedewataan). Artinya makanan yang
segar, baik dan memenuhi standar gizi yang menurut
para medis dikategorikan makanan empat sehat lima
sempurna, (seperti: nasi, lauk pauk, sayur-mayur, buah-
buahan, susu dan air yang mengandung zat mineral). Di
luar makanan tersebut di atas, dikategorikan sebagai
makanan-makanan yang sifatnya rajasika (makanan
yang membangkitkan sifat-sifat keras) dan tamasika
(makanan yang membangkitkan sifat-sifat malas). Oleh
karenanya, makanan yang mengandung sifat rajasika
dan tamasika diupayakan untuk dihindari oleh manusia
yang menginginkan hidup dan kesehatan yang lebih
baik, lebih-lebih bagi seorang wanita yang sedang
hamil dan menginginkan lahirnya seorang anak yang
baik. Gaya (Wawancara, 22 Agustus 2016).

Dengan demikian, ada pemahaman bahwa apa yang

dimakan orang tua dan bagaimana cara memperoleh makanan

tersebut, secara tidak langsung ikut berimplikasi terhadap


122

karakter anak setelah lahir, termasuk bagi pendidikan anak di

jenjang berikutnya.
b) Masalah perilaku orang tua
Perilaku orang tua ikut mempengaruhi proses mendidik

anak, termasuk mendidik anak dalam kandungan. Perilaku-

perilaku tersebut (dalam Syafei, 2006: 32-33) meliputi:


(1) Perilaku dalam Bersanggama
Seyogyanya persanggamaan yang dilakukan oleh suami-
istri calon orang tua (ayah dan ibu) memperhatikan hal-hal
berikut:
- Kondisi fisik dan mental dalam keadaan baik, segar dan
lepas. Tidak ada yang merasa terpaksa atau dipaksa.
- Diciptakan kondisi persanggamaan yang harmonis,
romantis, dan santai antara pasangan suami istri.
- Membaca doa sebelum persanggamaan dilakukan dan
sang istri hendaknya dalam keadaan bersih (tidak dalam
keadaan haid/menstruasi).
- Persanggamaan dengan istri/suami merupakan bagian
dari kewajiban (melanjutkan keturunan) dan tidak
tergores niat bahwa persanggamaan adalah untuk
memenuhi keinginan (kama) hawa nafsu semata.
- Memiliki rasa syukur kepada Tuhan bahwa
persanggamaan yang dijalani dengan kesucian dan
ketulusan akan dapat menghasilkan keturunan yang
sempurna nantinya.
(2) Perilaku Keseharian
Perilaku keseharian ini antara lain meliputi hal berikut:
- Terpancarnya kesadaran akan hak dan kewajiban
sebagai penanggung jawab rumah tangga atau keluarga.
- Terpancarnya kesadaran bermasyarakat secara baik dan
bertanggung jawab, karena pada dasarnya rumah tangga
itu merupakan kelompok masyarakat kecil.
- Memiliki rasa kebersamaan dalam keberadaan dan
merasa berada dalam kebersamaan.
- Tidak ada yang mempunyai niat melakukan
penyelewangan rumah tangga, baik berupa
perselingkuhan maupun perceraian.
- Memiliki rasa tanggung jawab dan kemauan baik untuk
membina rumah tangga yang tenteram, harmonis, dan
berkesinambungan.
- Adanya kemauan baik dan upaya nyata untuk
menciptakan rumah tangga yang aman, tenteram,
damai, sejahtera dan bahagia lahir dan batin sesuai
tujuan perkawinan.
123

- Calon ayah harus dapat menangkap isyarat bahwa sang


istri yang akan atau sedang mengandung. Karena pada
lazimnya perilaku wanita hamil atau akan hamil kadang
tidak seperti biasanya. Ini berkaitan dengan emosi sang
istri (calon ibu) berikut anak yang sedang
dikandungnya. Ada beberapa orang mengatakan bahwa
tindakan tidak biasa wanita yang sedang hamil
merupakan bawaan sang anak dalam kandungan.
- Manakala calon bapak atau calon ibu yang
bersangkutan senantiasa memberikan pendidikan
prenatal bagi anaknya. Misalnya pada saat sedang
mengelus kandungan sang istri, hendaknya jangan lupa
berdoa, memohon kepada Tuhan, agar anak yang akan
dilahirkan selamat, dan berikutnya diharapkan menjadi
anak yang suputra, anak yang berakhlak mulia,
berbakti, cerdas, dan berguna bagi keluarga,
masyarakat, bangsa dan Negara.
- Calon ibu senantiasa mengupayakan mengajarkan
pendidikan keagamaan sejak anak dalam kandungan.
Misalnya mengajak calon anak dalam kandungan
berkomunikasi dan memperdengarkan lagu-lagu
kerohanian, kidung-kidung suci keagamaan, menonton
acara yang bernuansa keagamaan, bahkan senantiasaa
membaca dan melafalkan ayat-ayat Kitab Suci.
- Calon ibu hendaknya memberikan rasa nyaman bagi
sang anak dan menikmati keberadaan bayinya di dalam
rahim, sehingga secara naluriah sang anak merasa
aman, nyaman dan tenteram. Dengan demikian sang
anak dalam kandungan merasakan bahwa orang tuanya
mengasihi dan menyayangi keberadaannya dengan
setulus hati.
- Tidak menyesali kehamilan, meski datangnya lebih
cepat maupun terlambat dari apa yang diharapkan,
karena pada dasarnya kehamilan merupakan salah satu
bukti kekuasaan Tuhan, bukan urusan manusia.

Hendaknya pendidikan prenatal bagi anak (sebelum anak

lahir ke dunia) sudah direncanakan setiap orang tua sebelum

memiliki keinginan membangun rumah tangga. Hal ini disebabkan

karena pendidikan secara jelas berlangsung seumur hidup manusia

(long life education), sehingga pendidikan prenatal dilaksanakan

saat anak berada dalam kandungan selain memperhatikan pola


124

makanan dan perilaku orang tua yang sedang mengandung

anaknya, juga perlu dilaksanakan upacara-upacara tertentu.


Pelaksanaan upacara dalam kehidupan manusia menurut

Hindu pada umumnya disebut dengan manusa yadnya dan Hindu

Kaharingan di Kalimatan Tengah dikenal dengan upacara daur

hidup. Pada fase kehamilan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan dilaksanakan pula upacara yang dituturkan dalam

Panaturan pasal 20 ayat 13 (MB-AHK, 2013: 63) yaitu:


Jadi sukup bulan tagalae, genep bintang patendue, nduan
telu bulan tanggar langit Kameluh Putak Bulau Janjulen
Karangan handiwung kanyurung pusue, hete Manyamei
Tunggul Garing Janjahunan Laut malalus kakare gawi
tumun peteh RANYING HATALLA ewen ndue JATHA
BALAWANG BULAU, Paleteng Kalangkang Sawang
manyadiri, akan tihin bulan bawi bambaie.

Terjemahannya:
Sudah tiba saatnya, genap tiga bulan langit, Kameluh
Putak Bulan Janjulen Karangan mengandung anaknya,
maka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut,
melaksanakan semua upacara yang sudah dipesan oleh
RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU,
yaitu: Melaksanakan Upacara Paleteng Kalangkang
Sawang, untuk kandungan isterinya.

Dalam ayat tersebut dapat diidentifikasi bahwa Upacara

Paleteng Kalangkang Sawang yang dilaksanakan oleh Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut untuk isterinya adalah upacara

menyambut tiga bulan kehamilan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan. Tujuan pelaksanaan upacara tersebut adalah memohon

berkat dan restu Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa untuk

keselamatan isterinya yang sedang mengandung serta anak

keturunannya.
125

Sihung (dalam Tim Pengelola Desa Binaan, 2009) upacara

Paleteng Kalangkang Sawang dalam Panaturan disebutkan pula

dalam penelitiannya namun disebut dengan upacara daur hidup

Meteng Kahang Badak. Meskipun ada perbedaan nama dan saat

pelaksanaan upacara tiga bulanan tersebut yang dijelaskan sebagai

berikut:

Meteng Kahang Badak adalah ritual yang dilaksanakan


kira-kira umur kehamilan 7 bulan kandungan. Pemaknaan
istilah Kahang Badak (yaitu daun kajang/rais berduri)
diambil dari sejumlah ukuran yang seberapa ukuran yang
diperlukan pada ritual tersebut. Daun kajang/rais tersebut
yang sudah kering digulung sekecil mungkin lalu
dibuatkan tangkainya, diikat atau dijepit, kemudian ditaruh
atau diselipkan di belakang pintu masuk rumah. Maknanya
diharapkan walaupun kecil Rahim atau kandungan si ibu
yang masih muda, namun sangat diharapkan dapat
melahirkan dengan lancar, doa agar bayinya lahir baik
sempurna, sehat dan sebagai benih yang bermanfaat bagi
kelanjutan kehidupan keluarga bersangkutan.

Dalam Panaturan ayat 14 pasal 20 (MB-AHK, 2013: 63)

disebutkan pula yaitu:

Kalute kea amun jadi sukup katahie tinai, nduan uju bulan
tanggar langit, Manyamei Tunggul Garing Janjahunan
Laut malalus peteh mandehen RANYING HATALLA ewen
ndue JATHA BALAWANG BULAU, ie Manyaki Ehet palus
manyadia Sangguhan Manak akan bulan bawi bambaie
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan.

Terjemahannya:
Demikian pula apabila suda tiba saatnya tujuh bulan
langit, Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut,
melaksanakan lagi pesan RANYING HATALLA dan
JATHA BALAWANG BULAU Manyaki Ehet isterinya
langsung mempersiapkan Sangguhan Manak, yaitu:
Tempat melahirkan untuk isterinya Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan.
126

Ayat dalam pasal di atas dapat diidentifikasi bahwa setelah

usia kandungan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan telah

menginjak tujuh bulan langit, maka dilaksanakan ritual Manyaki

Ehet. Pelaksanaan ritual ini tidak lepas atas kehendak Ranying

Hatalla dan Jatha Balawang Bulau. Terkait tentang ritual ini, Gaya

(2012: 102) menjelaskan yaitu:

Upacara Manyaki/Mamalas Ehet adalah upacara yang


dilakukan oleh keluarga kepada ibu yang sedang
mengandung dengan usia kandungannya sudah tujuh
bulan. Upacara ini bersifat magis, sebab istilah ehet adalah
benda yang dipercaya memiliki kekuatan gaib untuk
menolak dan melindungi bayi yang terdapat dalam
kandungan sang ibu. Ehet biasanya terbuat dari berbagai
macam kayu-kayuan atau benda yang dipercaya memiliki
kekuatan magis dan mampu menjaga bayi yang ada dalam
kandungan dari hal-hal tertentu yang dapat mengancam
keselamatan sang bayi dalam kandungan ibu. Kayu atau
benda-benda tersebut secara spiritual yang dipercaya
memiliki kekuatan dibungkus menggunakan kain hitam
dan diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung
dan tidak dilepaskan sebelum bayi yang dalam
kandungannya telah lahir.

Dalam ayat tersebut juga diidentifikasi bahwa Manyaki

Ehet adalah ritual tujuh bulanan ibu yang sedang mengandung.

Pada masa menjelang kelahiran, sesuai pesan RANYING HATALLA

dan JATHA BALAWANG BULAU bagi Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut mempersiapkan Sangguhan Manak bagi

isterinya.
Sangguhan Manak merupakan suatu benda yang

diciptakan sebagai tempat melahirkan bagi Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan. Benda ini dibuat mengingat pasca kelahiran

sang anak adalah masa-masa yang sangat sensitif dan penuh resiko.
127

Proses dan penangangan kelahiran yang tepat dapat memperkecil

kemungkinan bahaya bagi ibu dan anak. Sehingga Sangguhan

Manak adalah benda yang kala itu dibuat bertujuan untuk

mempermudah proses kelahiran dan memperkecil resiko yang

sewaktu-waktu dapat terjadi.


Menurut Amini (2006: 71) bahwa, masa kehamilan

umumnya berlangsung selama sembilan bulan sepuluh hari.

Lamanya bayi dalam kandungan pada wanita hamil kebanyakan

adalah sembilan bulan lebih, namun adapula yang kurang.

Sebagaimana dituturkan dalam Panaturan (MB-AHK, 2013: 63-

64) adalah sebagai berikut:


Sukup jadi bulan tagalae, genep bintang patendue, nduan
jalatien andau tanggar langit, hete palus banama
baungkar puat, ajung baurai dagangae.
Pasal 20 Ayat 15 (MB-AHK, 2013: 63)
Terjemahannya:
Tiba sudah saatnya, sudah genap sembilan bulan sembilan
hari, Banama Baungkar Puat, Ajung Baurai Dagangae,
yaitu: Si bayi dalam kandungan lahir.

Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan luas bujur-


kabajuran, uras hatue kanampan bunu, rayung kanenjek
ruhung sintung telu.
Pasal 20 Ayat 16 (MB-AHK, 2013: 63)
Terjemahannya:
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan melahirkan
anaknya dengan selamat, tiga orang bayinya semua laki-
laki.

Hanjak rantang pahalawang huange, rindang pahateluk


kalingun Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut,
nuntun uluh garing tarantang sintung telu, uras linga
batanjung pulu, engkan bapilik jalatien, uras mangkang
barangkap, kilau bulan babangkang langit
Pasal 20 Ayat 17 (MB-AHK, 2013: 64)
Terjemahannya:
Gembira riang perasaan hati Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut, melihat ketiga orang anak keturunannya
128

yang kesemuanya tampan, gagah perkasa tiada


bandingnya.

Dapat didentifikasi dari kutipan ayat Panaturan di atas,

bahwa dari waktu ke waktu maka tepat sembilan bulan sembilan

hari lamanya usia kandungan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan tiba saatnya ia melahirkan. Anak keturunan Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut yang terlahir dengan selamat ke

dunia adalah kembar tiga dengan semuanya laki-laki, kelahiran

tersebut sangat sempurna, bayi sehat secara fisik seperti diharapkan

oleh orang tuanya.


3) Periode Emas (Golden Age)
Periode emas anak berlangsung sekali seumur hidup

menjadi kunci perkembangan potensi dan kecerdasan anak di

masa-masa selanjutnya. Suyadi (2009: 63) menyatakan, periode

emas adalah masa dimana otak bayi mengalami perkembangan

paling cepat sepanjang sejarah kehidupannya. Periode berlangsung

di usia 0-6 tahun, karena pertumbuhan dan perkembangan otak

anak mencapai 90% dari otaknya di masa dewasa kelak.


Sependapat pula Deborah Stipek sebagaimana dikutip

Lawrence E. Shapiro (dalam Suyadi, 2009: 64), menyatakan

bahwa:
Pada anak usia dini memiliki harapan yang tinggi
mempelajari segala hal. Artinya, anak dapat diajari dan
dididik untuk melakukan apa saja dan mempunyai
kepercayaan diri yang tinggi meskipun hasilnya sangat
buruk, bahkan terkesan mustahil.

Oleh karena itulah, upaya mendidik anak setelah kelahiran

(postnatal) yang paling penting berada pada masa kanak-kanak

(golden age), saat itu anak telah dididik dan dibimbing untuk
129

menuju jenjang kedewasaannya terutama memunculkan rasa

keberagamaan pada anak melalui pelaksanaan upacara (yadnya).

Dalam Hindu menurut Titib (2007: 120) mengungkapkan

pula bahwa:
Keseluruhan upacara sejak dalam kandungan sampai
kematian bertujuan untuk memperoleh sifat-sifat baik
untuk kemuliaan jiwa, yaitu: kemurahan hati, kesabaran,
bebas dari iri hati, kesucian, ketenangan, perilaku yang
baik, bebas dari dorongan nafsu dan bebas dari lobha dan
tamak.

Sebagaimana pendapat di atas, maka rangkaian upacara

tersebut sangat penting dan mutlak dilakukan oleh umat Hindu.

Terkait hal tersebut, penganut Hindu Kaharingan pun meyakini

upacara-upacara semasa hidup yang dituturkan dalam Panaturan

dapat diidentifikasi sebagai rangkaian/proses yang harus dijalani

dan dilakukan sebagai wujud tata cara yang diajarkan Ranying

Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa serta bentuk penyucian diri dan

memohon berkat serta anugerah dari Yang Maha Kuasa. Sehingga

kiranya Ranying Hatalla/Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan

memberikan bimbingan dan karunia-Nya sehingga melalui

pelaksanaan berbagai upacara tersebut setiap anak yang lahir

tumbuh menjadi anak-anak yang berkepribadian baik, berakhlak

mulia, sehat, cerdas, berperilaku yang baik, sopan santun, taat pada

agama dan mampu menjalankan kewajiban dan tanggung jawab

yang diembannya dalam kehidupannya kelak.

Dengan demikian, secara nyata pendidikan anak menurut

ajaran Agama Hindu Kaharingan banyak diarahkan pada


130

pendidikan prenatal (sejak dalam kandungan), juga dilanjutkan

pada pendidikan postnatal anak (setelah kelahiran). Pendidikan

postnatal adalah tepatnya dimulai sejak penamaan nama bagi bayi

yang baru lahir, dimana hal ini berdasarkan pada isi Panaturan

Pasal 20 Ayat 18 (MB-AHK, 2013: 64) yakni:


Ie Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut maluput
hajat miat umba RANYING HATALLA ewen ndue JATHA
BALAWANG BULAU, palus malalus gawi Nahunan
manampa ganggarunan aran anake sintung telu.

Terjemahannya:
Maka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut,
menyampaikan korban suci kepada RANYING HATALLA
dan JATHA BALAWANG BULAU, sekaligus melaksanakan
Upacara Nahunan, yaitu: Upacara pemberian nama bagi
ketiga bayinya.

Dapat diidentifikasi bahwa pemberian nama bagi bayi

dilaksanakan setelah bayi lahir ke dunia dan penamaannya tidak

dilaksanakan secara sembarangan. Sebagaimana yang dituturkan

dalam Panaturan pasal 20 ayat 20 (MB-AHK, 2013: 64) sebagai

berikut:
Sana ewen RAJA UJU HAKANDUANG jadi sembang
Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung
Nyaring, te ewen malalus gawin Nahunan garing
tarantang Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut
sintung telu, palus manyaki-malase tumun peteh tuntang
kahandak RANYING HATALLA ewen ndue JATHA
BALAWANG BULAU, hayak nanggare gangguranan arae,
iete:
- Raja Sangen
- Raja Sangiang
- Raja Bunu

Terjemahannya:
Setiba Raja Uju Hakanduang di Bukit Batu Nindan
Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring, mereka
melaksanakan Upacara Nahunan bagi bayi Manyamei
Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Raja Uju
Hakanduang mengoles darah hewan kurban pada mereka,
131

sesuai pesan RANYING HATALLA dan JATHA


BALAWANG BULAU, sekaligus memberikan nama ketiga
bayi tersebut, yaitu:
- Raja Sangen
- Raja Sangiang
- Raja Bunu

Pelaksanaan ritual-ritual sejak awal kehamilan dan

kelahiran bayi sampai saat ini masih terjaga dan terlaksana oleh

masyarakat suku Dayak penganut Hindu Kaharingan yang ada di

Kalimantan Tengah. Sebagaimana dalam keyakinan Hindu

Kaharingan yang dituturkan dalam Panaturan, bahwa upacara

Nahunan adalah ritual pemberian nama bagi kelahiran anak

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan.


Nama adalah identitas seseorang dan sering kali melalui

nama ikut pula menggambarkan pribadi, karakter dan kehidupan

anak tersebut nantinya. Amini (2006: 101) menjelaskan bahwa,

salah satu tanggung jawab penting orang tua adalah memilih

nama untuk anaknya,


Dalam kutipan ayat tersebut di atas bahwa proses

pemberian nama bagi anak Manyamei Tunggul Garing Janjahunan

Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan dalam upacara

Nahunan tersebut dilaksanakan oleh Raja Uju Hakanduang.


Etika (2005: 96) menjelaskan Raja Uju Hakanduang

merupakan wujud Ranying Hatalla dalam bentuk kekuatan atau

kesaktian. Dapat diidentifikasi bahwa Raja Uju Hakanduang

sebagai wujud kekuatan/kesaktian Ranying Hatalla yang

senantiasa membimbing, menuntun dan melaksanakan upacara


132

bagi Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh

Putak Bulau Janjulen Karangan. Nantinya, ritual pemberian nama

tersebut disertai prosesi manyaki-malase, yaitu mengoles darah

hewan korban.
Dalam penelitiannya, Gaya (2012: 103) menjelaskan

perihal upacara Nahunan sebagai berikut:

Pelaksanaan Nahunan disiapkan pula hewan korban


berupa ayam dan babi yang berat atau besarnya sesuai
kemampuan orang tuanya. Darah hewan yang dikorbankan
diambil sedikit dan ditaruh dalam mangkok kecil dan
digunakan untuk manyaki mamalas anak atau bayi yang
akan diupacarai, dengan harapan agar bayi yang diberi
nama dalam upacara tersebut dapat tumbuh dewasa, sehat
lahir batin, cakap, cerdas, kreatif, menjadi manusia yang
berguna baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat,
maupun bagi bangsa dan Negara. Sedangkan, daging
hewan korban tersebut tadi dimasak dan disuguhkan
kepada handai taulan, sanak famili, tamu undangan yang
menghadiri upacara tersebut. Hal ini sekaligus ungkapan
rasa syukur atas karunia Ranying Hatalla yang telah
menganugerahi mereka seorang anak.

Manyaki mamalas atau mengoles darah hewan adalah:


Pada hakekatnya manyaki mamalas merupakan prosesi
penyucian diri. Dijelaskan bahwa setiap manusia yang
lahir ke dunia adalah papa (kotor), oleh karenanya
hendaknya ia selalu dibersihkan baik secara jasmani
maupun rohani. Pelaksanaan penyucian ini sekaligus
memohon anugerah dan berkat Ranying Hatalla dalam
kehidupan manusia di masa yang akan datang. Gaya
(Wawancara, 8 Agustus 2016).

Dari penjelasan di atas, terkait kutipan ayat Panaturan

yang dituturkan, dapat diketahui bahwa pemberian nama kepada

anak Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh

Putak Bulau Janjulen Karangan, tidak dilakukan secara

sembarangan bahkan pelaksanaan ritual tersebut dinamakan

Nahunan dan dilaksanakan oleh Raja Uju Hakanduang yang


133

merupakan manifestasi dan kesaktian dari wujud kemahakuasaan

Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau. Adapun nama yang

diberikan kepada ketiganya yaitu: Raja Sangen, Raja Sangiang

dan Raja Bunu.


Terkait eksistensi pelaksanaan ritual ini, Walter S.

Penyang, menjelaskan bahwa:


Pelaksanaan upacara Nahunan senantiasa dilaksanakan
oleh suku Dayak penganut Hindu Kaharingan di
Kalimantan Tengah. Namun di beberapa daerah di
Kalimantan Tengah ada perbedaan nama dan proses
pelaksanaan ritual dalam pemberian nama tersebut. Hal ini
tentu saja menyesuaikan dengan desa, kala, dan patra
masing-masing daerah yang memiliki ciri khas dan
kearifan lokal tersendiri. (Wawancara, 4 Agustus 2016).

Ajaran yang dituturkan dalam Panaturan sejalan dengan

ajaran suci Weda dan susastra Hindu lainnya yang memandang

anak atau putra sebagai pusat perhatian dan kegiatan yang

berkaitan dengan pendidikan. Menurut Rahmawati (2012: 50)

mengungkapkan bahwa sebagai berikut:


Selama masa kehidupan ada kurang lebih 13 upacara yang
harus dijalani bagi setiap umat Hindu guna meningkatkan
kesucian dirinya baik rohani maupun jasmani di
antaranya: 1. Pawiwahan (Perkawinan) untuk menyucikan
benih sukla dan swanita, 2. Magedong-gedongan, 3. Bayi
lahir, 4. Kepus pusar, 5. Ngelepas hawo, 6. Tutug
Kambuan, 7. Sambutan, 8. Otonan, 9. Upacara
Ngempugin (tumbuh gigi), 10. Upacara Makupak (tanggal
gigi), 11. Raja Sewala (menek dehe-truna), 12. Potong
gigi, dan 13. Mewinten. Semua upacara ini pada intinya
bertujuan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa
melalui simbol sarana dan prasarana banten agar berkenan
memberikan bimbingan dan karunianya sehingga setiap
anak yang lahir tumbuh menjadi anak-anak yang suputra
dan mampu menjalankan kewajiban dan tanggung jawab
yang diembannya dalam kehidupan ini.

Sebagaimana hal tersebut, dapat didentifikasi ritual-ritual

tersebut di atas berhubungan dengan proses tumbuh kembang


134

setiap anak yang dilaksanakan semasa hidupnya. Dalam hal ini,

umat Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah meyakini bahwa

karakter seorang anak sangat ditentukan oleh kedua orang tuanya,

lingkungan-lingkungannya dan pelaksanaan upacara-upacara yang

berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan seorang

anak.
Pendidikan anak menurut ajaran Hindu Kaharingan yang

dituturkan dalam Panaturan tidak dapat dijelaskan melalui tahapan

proses pertumbuhannya tahun demi tahun. Hal ini dikarenakan

dalam Panaturan pertumbuhan Raja Sangen, Raja Sangiang dan

Raja Bunu dapat dianalisa melalui pertumbuhan fisik ketiganya

menuju perkembangan kedewasaannya. Sebagaimana pasal

Panaturan yang menuturkan sebagai berikut:


Limbah pire-pire andau jadi katahie, ampie Raja Bunu
lalau hakabeken lingu nalatai baru tambun pahari ewen
sintung due.
Pasal 22 Ayat 1 (MB-AHK, 2013: 67)
Terjemahannya:
Setelah beberapa hari sudah lamanya, kelihatannya Raja
Bunu lain sekali dari kedua saudaranya.

Raja Bunu dia maku hakananan pantar pinang, aluh je


hakananae jatun tau nyurung isi daha tuntang dia kea tau
baseput, barigas kilau tambun pahari sintung due.
Pasal 22 Ayat 2 (MB-AHK, 2013: 67)
Terjemahannya:
Raja Bunu tidak mau memakan pantar Pinang, walaupun
ia memakannya, akan tetapi tidak bisa menjadi darah
dagingnya dan ia tidak bisa gemuk sehat sebagaimana
saudaranya berdua.

Amun tambun pahari sintung due, jete Raja Sangen


tuntang Raja Sangiang puna akan indu kaseput karigase.
Pasal 22 Ayat 3 (MB-AHK, 2013: 68)
Terjemahannya:
135

Kalau saudaranya berdua, yaitu Raja Sangen dan Raja


Sangiang betul-betul bisa membuat mereka gemuk dan
sehat.

Dari kutipan ayat di pasal ini dapat diidentifikasi bahwa

setelah kelahirannya, yang menjadi makanan Raja Sangen, Raja

Sangiang dan Raja Bunu adalah pantar pinang atau sirih pinang.
Menurut Gaya menjelaskan sebagai berikut ini:
Pantar pinang yang dituturkan dalam Panaturan tersebut
adalah kegiatan makan buah pinang (menginang/manyipa)
dan daun sirih yang menjadi makanan pokok orang-orang
di Pantai Danum Sangiang (alam atas), dalam ritual di
kehidupan manusia (Pantai Danum Kalunen), buah pinang
senantiasa digunakan sebagai salah satu sarana setiap
upacara kegamaan Hindu Kaharingan di Kalimantan
Tengah. (Wawancara, 8 Agustus 2016).

Ritual persembahyangan Basarah misalnya, umat Hindu

Kaharingan senantiasa menggunakan sirih pinang di dalam Sangku

Tambak Raja yang disebut sebagai giling pinang. Dalam buku

Kandayu (Nau, 2003: 38-39) menjelaskan bahwa giling pinang

terdiri dari daun sirih, kapur, buah pinang dan tembakau, cara

membuatnya yaitu daun sirih diolesi dengan kapur, kemudian

dilipat membundar membentuk kerucut sebesar ibu jari tangan,

kemudian diisi dengan belahan buah pinang dan tembakau.


Dewasa ini, pertumbuhan dan perkembangan anak yang

sudah lahir ke dunia harus menjadi perhatian utama bagi orang tua.

Oleh karena itu, Syafei (2006: 34-35) menjelaskan upaya mendidik

anak usia balita (bayi di bawah lima tahun) antara lain sebagai

berikut.
1) Tidak bersikap memanjakan yang berlebihan.
2) Dalam hal mendiamkan anak yang sedang menangis,
hendaknya dihindari cara menakuti-nakuti, karena
dapat membentuk anak menjadi pribadi yang penakut.
136

3) Dalam hal menyusui anak (khusus bagi ibu),


hendaknya memberi ASI tidak melewati usia tiga
tahun.
4) Saat anak-anak sudah mulai berbicara, ajarkanlah kata-
kata pendek yang merupakan perkenalan dengan
orang-orang terdekat; juga kata-kata yang
mengandung didikan agama seperti nama Tuhan, kitab
suci dan lain-lain.
5) Apabila hendak menidurkan anak, diiringi dengan
membaca dongeng atau cerita dan nyanyian religius
(mempunyai nilai keagamaan).
6) Mengajari anak memulai suatu pekerjaan dengan
membaca doa.
7) Orang tua hendaknya menyediakan waktu khusus
untuk bercengkrama, berkomuninkasi, bercanda ria
dengan anak secara lepas, yang dimaksudkan agar
terjalin dan terbina rasa kasih sayang dan keakraban
antara anak dan orang tua
8) Tidak memarahi apalagi membentak atau berkata kasar
jika anak melakukan kesalahan.
9) Orang tua menghindari diri berperilaku yang tidak
baik di hadapan anak, karena hal ini bisa
ditiru/dicontoh oleh anak tersebut.
10) Biasakan anak dengan berbagai kegiatan yang sesuai
dengan usia, pembawaan, jenis kelamin, dan tingkat
perkembangan anak.

Setiap orang tua harus pandai mengamati pertumbuhan

dan perkembangan sang buah hati. Ini dimaksudkan agar proses

pertumbuhan dan perkembangan anak tidak terhambat seperti

halnya yang dialami oleh Raja Bunu, sehingga pertumbuhan anak

tetap terkendali dan tindakan pendidikan yang dipilih tidak salah.

Hal ini merupakan pendidikan internal dalam keluarga pada

periode emas anak.


Terhambatnya pertumbuhan Raja Bunu yang disebabkan

oleh ketidakcocokan makanan yang diberikan, yaitu pantar

pinang. Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh


137

Putak Bulau Janjulen Karangan, memohon petunjuk dan anugerah

dari Ranying Hatalla, sebagaimana yang tertuang berikut ini:


Kilen kea uluh tingang apange Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut, ewen ndue tingang indange Kameluh
Putak Bulau Janjulen Karangan paham kapehen itung
huange nuntun garing tarantange Raja Bunu ije kalute
ampie.
Pasal 22 Ayat 4 (MB-AHK, 2013: 68)
Terjemahannya:
Bagaimanapun juga ayahnya Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut bersama ibunya Kameluh Putak Bulau
Janjulen Karangan, sangat khawatir melihat anaknya Raja
Bunu yang mempunyai kelainan sedemikian rupa.

Ie Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, ewen


ndue bulan bawi bambaie Kameluh Putak Bulau Janjulen
Karangan malawu raweie, pasi-pasi lingun itah sintung
due lalau nuah RANYING HATALLA lalangena,
nyambung JATHA BALAWANG BULAU sampalangen
Pasal 22 Ayat 5 (MB-AHK, 2013: 68)
Terjemahannya:
Maka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut
bersama istrinya Kameluh Putak Bulau Janjulen
Karangan berkata: Kasihan sekali kita berdua ini,
dianugerahi RANYING HATALLA masih tanggung, juga
disayangi JATHA BALAWANG BULAU tidak
sepenuhnya.

Dalam ayat di atas diidentifikasi bahwa dari hari ke hari

pertumbuhan Raja Bunu yang berbeda dari kedua saudaranya

membuat orang tuanya khawatir. Apa yang menjadi makanan

pokok Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu kala itu, bahwa

lantaran pantar pinang adalah makanan pokok orang di Pantai

Danum Sangiang tidak cocok bagi Raja Bunu.


Dalam kehidupan dewasa ini, hendaknya orang tua

terutama ibu yang telah melahirkan anaknya memberikan ASI

sebagai nutrisi terbaik bagi anaknya pasca kelahiran. Amini (2006:

80) mengungkapkan bahwa:


138

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan teraman bagi bayi,


anak yang dibesarkan dengan ASI akan lebih sehat
dibanding anak lainnya yang diberi susu jenis lain. Sebab
kasus kematian bayi yang mengonsumsi ASI
kenyataannya lebih sedikit ketimbang yang mengonsumsi
selainnya.

Terkait hal tersebut maka yang terjadi dalam kehidupan

sekarang jelas berbeda dengan kejadian yang telah diatur oleh

Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau bagi Raja Bunu. Hal

tersebut adalah ciri pertama bahwa kelak kehidupan Raja Bunu dan

keturunannya adalah mendiami Pantai Danum Kalunen (alam

manusia) yang sifatnya sementara dan tidak kekal abadi.

Sedangkan, kedua saudara kembarnya, Raja Sangen dan Raja

Sangiang memang telah diatur untuk menjalani kehidupan abadi di

Pantai Danum Sangiang dan makanan pokoknya adalah pantar

pinang.
Meskipun demikian Ranying Hatalla senantiasa

melimpahkan anugerah-Nya kepada makhluk ciptaannya. Setelah

mendengar keinginan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut

dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan yang memohon

kasih sayang Ranying Hatalla di kehidupan anaknya, maka

selanjutnya ia menciptakan makanan yang bisa dicerna bagi Raja

Bunu, yang tertuang dalam Panaturan pasal 22 ayat 7 (MB-AHK,

2013: 68) berikut ini:


Palus japa-japan tatah, jima-jimat tanteng RANYING
HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG BULAU, masi
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut ewen ndue
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, manjapa
Lalang Tambangap Langit, ije basuang Behas Nyangen
Tingang, hayak inutup mahapan pundang lauk Ila-Ilai
Langit, ije dia tau una tuntung dia tau rugi.
139

Terjemahannya:
Dengan segala Kekuatan dan Kekuasaannya RANYING
HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU berfirman
kepada Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, IA menjadikan
sebuah guci Lalang Tambangap Langit yang di dalamnya
telah berisi Behas Nyangen Tingang dan mulut guci
tersebut ditutup dengan dendeng Ikan Ilai-Ilai Langit,
yang telah kering dan kedua barang ini tidak pernah
kurang untuk selama-lamanya.

Dari kutipan ayat di atas dapat diidentifikasi bahwa

hendaknya setiap orang tua senantiasa memperhatikan tumbuh

kembang anaknya, dan tidak membeda-bedakan anaknya satu sama

lain, ada rasa kasih sayang yang sama diberikan pada masing-

masing anak sehingga setiap anak tidak akan muncul rasa tidak

diperhatikan oleh orang tuanya. Selanjutnya, maka Ranying

Hatalla dan Jatha Balawang Bulau menganugerahkan Behas

Nyangen Tingang dan Dendeng Ikan Ilai-Ilai Langit yang kering

dan menjadi sumber makanan tak ada habis-habisnya bagi

kehidupan Raja Bunu. Semua hal tersebut memang telah

dikehendaki Ranying Hatalla sebab Raja Bunu memang telah

diatur menjalani kehidupan yang berbeda dari kedua saudaranya.

Kehidupan yang bersifat sementara dan tidak abadi.


4) Fase Bermain
Setiap anak senang bermain. Bermain bagi seorang anak

adalah hal yang menyenangkan. Seringkali melalui permainan

orang tua bisa mengajarkan hal baru kepada anak untuk

mengembangkan ketajaman pengamatan anak terhadap keadaan

sekitarnya dan daya nalar anak.


140

Setiap orang tua harus mampu mengikuti perkembangan

yang dialami sang anak, misalnya dalam hal anak memiliki

kelebihan dan kekurangannya. Berdasarkan hal tersebut dituturkan

dalam Panaturan Pasal 23 ayat 1 (MB-AHK, 2013: 71) berikut ini:


Kilen kea amun ewen telu te jadi sasar hai tuntang sasa-
sasar bakas, hayak puna paham ampin karigase, indue
ewen ndue bapae hanjak tutu pahalawang huange,
rindang pahateluk kalingue, manuntun garing tarantang.

Terjemahannya:
Dari hari ke hari, mereka bertiga sudah semakin besar dan
mulai dewasa, ditambah lagi semakin gagah rupanya, ibu
dan bapaknya sangat gembira sekali hatinya melihat
perkembangan/pertumbuhan ketiga anaknya tersebut.

Dapat diidentifikasi dalam kutipan ayat di atas,

pertumbuhan dan perkembangan Raja Sangen, Raja Sangiang dan

Raja Bunu kian pesat setiap harinya dan telah terlihat perubahan-

perubahan dalam tubuhnya. Hal ini ditunjukan bahwa mereka

bertiga semakin besar dan mulai menuju kedewasaannya, wajah

yang rupawan, gagah dan sehat.


Dalam Panaturan pasal 23 ayat 2 (MB-AHK, 2013: 71)

dituturkan sebagai berikut:

Ewen sintung telu karas kabangange, habayang teras


tapang bentuk lawing parintaran tingang, basangkelang
kea nalanjung lawin kayun Sangalang Garing tuntang
halangunyan bilun nyalung.

Terjemahannya:
Ketiga mereka sangat suka bermain-main, bermain gasing
di pekarangan, di samping itu pula mereka suka menaiki
pohon kayu dan mandi di sungai.

Menurut Erickson (dalam Danim & Khairil, 2011: 72)

mengungkapkan fase bermain antara umur 3-5 tahun dan selama

periode ini anak mengalami suatu keinginan untuk meniru orang


141

dewasa di sekitarnya dan mengambil inisiatif dalam menciptakan

situasi bermain. Namun, dalam ayat tersebut diidentifikasi bahwa

kesenangan ketiganya akan permainan menunjukan ketiganya

berada pada periode kanak-kanak. Raja Sangen, Raja Sangiang

dan Raja Bunu yang dituturkan senang sekali bermain, seperti

permainan habayang (gasing) di pekarangan rumahnya, memanjat

pohon dan mandi di sungai.


Bermain adalah olahraga alami bagi anak. Pendidikan

anak pada periode ini ditunjukan pada proses bermain ketiga anak

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan yang melalui proses belajar melalui

petualangan. Ratnawati (2002: 83) menjelaskan hakikat bermain

adalah:

Bermain bagi seorang anak adalah kebutuhan. Dengan


bermain anak-anak bisa mengembangkan semua potensi di
dalam dirinya, moral, sosial, emosi, ekspresi, dan
sebagainya. Melalui permainan, anak dapat menyalurkan
energinya serta mempunyai kesempatan tertawa dan bebas
bercanda.

Permainan yang dilakukan Raja Sangen, Raja Sangiang,

dan Raja Bunu adalah permainan tradisional yang tidak

memerlukan alat-alat bermain yang harus dibeli dan berharga

mahal. Alat bermain mereka peroleh dari memanfaatkan bahan-

bahan di alam sekitarnya yaitu pohon kayu untuk bermain

habayang (gasing) tersebut. Bentuk permainan seperti ini dapat

menjadikan anak aktif, mampu bersosialiasi, mampu berkompetisi

dan bisa mengembangkan emosinya secara wajar.


142

Melakukan permainan akan menjadikan tubuh anak kuat,

selain itu kemampuan mentalnya juga akan terasah dan ia pun akan

tumbuh kokoh. Di tempat bermain, anak juga akan berinteraksi

dengan alam sekitarnya. Sebagaimana Raja Sangen, Raja

Sangiang dan Raja Bunu yang senang sekali menaiki/memanjat

pohon dan mandi di sungai. Kesenangan ketiganya menunjang

aktivitas fisik anak yang sangat diperlukan untuk melatih

keterampilan fisiknya.
Menurut Ratnawati (2002: 89-90) menjelaskan bahwa:
Anak dibiarkan bebas bergerak sesuai dengan umur
mereka, semakin banyak bergerak, semakin baik untuk
otot-ototnya. Ia juga menyebut bahwa anak usia
prasekolah 3-4 tahun lebih menekankan aktifitas fisik
menyerupai senam, seperti akrobatik, meloncat, dan
melengkungkan badan.

Dengan demikian, melakukan permainan merupakan

aktivitas fisik yang penting, yang sangat diperlukan bagi kesehatan

anak. Dalam permainan, anak tidak hanya melakukan pekerjaan

spesifik, namun pada fase ini kecenderungan kapabilitas alamiah

dan personal akan terwujud. Ketika bermain, karakter anak

terbentuk dalam menyongsong masa depannya kelak. Oleh sebab

itu, permainan penting sekali bagi pertumbuhan anak, namun orang

tua harus pula memperhatikan anak dengan waktu bermainnya

yang tetap dan harus dibatasi pula agar anak tidak pula bermain

secara berlebihan.
5) Fase Anak-Anak
Menurut Danim dan Khairil (2011: 72), pada usia 6-12

tahun merupakan tahap yang sangat penting bagi pengembangan


143

sosial, anak mampu belajar, menciptakan dan menyelesaikan

berbagai keterampilan baru dan pengetahuan.


Terkait hal tersebut, dalam perkembangannya sosial anak

diajarkan berinteraksi dengan alam sekitarnya, sebagaimana yang

tertuang dalam Pasal Panaturan berikut ini:

Kilen kea huang sinde andau ewen sintung telu, salenga


atun tiruk karangkan huange muhun pandui tingang,
halangunyan bilun nyalung, huang batang danum,
panapian Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang
Bantilung Nyaring.
Pasal 23 ayat 4 (MB-AHK, 2013: 72)
Terjemahannya:
Entah bagaimana pada suatu hari mereka bertiga ada
keinginan dan rencananya turun mandi ke sungai, di tepian
Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung
Nyaring.

RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG


BULAU manuntun ewen sintung telu ije metuh karehue
pandui tingang, hanyalung repang bagantung bilun
nyalung.
Pasal 23 ayat 6 (MB-AHK, 2013: 72)
Terjemahannya:
RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU
melihat dan mengetahui ketiga mereka yang sedang asik
mandi di sungai tersebut.

Ie RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG


BULAU, halaluhan ije kadereh sanaman, lampang
puntunge tuntang leteng puntunge.
Pasal 23 ayat 7 (MB-AHK, 2013: 72)
Terjemahannya:
Maka RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG
BULAU memberikan sepotong besi, yang bagian ujungnya
timbul dan bagian pangkalnya tenggelam.

Dalam beberapa ayat di atas, diidentifikasi bahwa ketika

Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu memutuskan untuk

mandi di sungai yang ada di tepian Bukit Batu Nindan Tarung.

Perkembangan keterampilan Raja Sangen, Raja Sangiang dan


144

Raja Bunu yang berenang dan mandi di sungai adalah bentuk

adaptasi dengan alam sekitarnya, di usianya mereka sudah belajar

keterampilan berenang.
Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau mengetahui

apa yang dilakukan oleh ketiganya. Sehingga Ranying Hatalla dan

kekuasaannya Jatha Balawang Bulau menganugerahkan sepotong

besi yang ujungnya timbul dan bagian pangkalnya tenggelam.

Anugerah Ranying Hatalla tersebut adalah pertanda bagi

kehidupan ketiganya kelak di masa depan. Panaturan pasal 23 ayat

8 (MB-AHK, 2013: 72) menuturkan sebagai berikut:


Kilen kea, kabantengan ewen sintung telu pandui tingang,
hanyalung repang, salenga ewen sintung telu nuntun atun
ije kadereh sanaman, puntunge lampang hunjun bilun
nyalung, tuntang hila punting leteng mijen kahaleman
nyalung.

Terjemahannya:
Entah bagaimana, dipertengahan mereka bertiga mandi
tersebut, tiba-tiba saja mereka bertiga melihat ada
sepotong besi yang ujungnya timbul di permukaan air dan
di bagian pangkalnya tenggelam di bawah air.

Anugerah yang diberikan Ranying Hatalla dan Jatha

Balawang Bulau secara tidak langsung memicu rasa keingintahuan

anak dan rasa kegembiraan dan kesenangan yang besar terhadap

proses pendidikan anak khususnya pendidikan bagi Raja Sangen,

Raja Sangiang dan Raja Bunu. Sebagaimana dalam pasal 23 ayat 9

(MB-AHK, 2013: 72) ditegaskan berikut ini:


Sana ewen sintung telu nuntun atun sanaman te, ie ewen
sintung telu haya-hayak manting nangkaruan tambang
nanturung te hayak kea manekape.

Terjemahannya:
145

Begitu mereka bertiga melihat ada besi itu, maka mereka


bertiga serentak berlari menuju besi itu dan serempak
memegangnya.

Dengan demikian, jelas bahwa ternyata anak memiliki rasa

ingin tahu yang besar pada fase perkembangannya. Dalam ayat

tersebut dituturkan bagaimana ketiga anak tersebut melihat besi

yang dianugerahkan Ranying Hatalla, maka Raja Sangen, Raja

Sangiang dan Raja Bunu serentak berlari ingin mendapatkan benda

tersebut. Mereka menaruh perhatian pada apa yang ada di

sekelilingnya. Selanjutnya, dalam Panaturan dituturkan kembali

sebagaimana bunyi ayat 10 pasal 23 (MB-AHK, 2013: 72-73)

berikut ini:
Kilen kea Raja Sangen tuntang Raja Sangiang manekap
sanaman te hila puntunge ije lampang; Limbah te ampie
Raja Bunu manekap puntung sanaman hila ije leteng.

Terjemahannya:
Entah bagaimana Raja Sangen dan Raja Sangiang
memegang besi itu di bagian ujungnya yang timbul,
kemudian Raja Bunu memegang bagian pangkal besi itu
yang tenggelam.

Dalam kutipan ayat Panaturan di atas, dapat diidentifikasi

bahwa besi yang dianugerahkan Ranying Hatalla kepada ketiga

putra Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh

Putak Bulau Janjulen Karangan adalah pertanda yang menjadi

kehidupan ketiganya kelak di masa yang akan datang terutama ciri

kedua bagi kehidupan Raja Bunu di masa yang akan datang. Hal

ini dimana Raja Sangen dan Raja Sangiang yang memegang

bagian besi yang ujungnya timbul di permukaan air, menandakan

kehidupan mereka yang berada di alam atas, mereka berdua


146

nantinya akan memelihara kehidupan yang kekal abadi untuk

selama-lamanya. Sedangkan, bagian yang tenggelam yang diterima

Raja Bunu adalah bahwa ia akan memelihara kehidupan di dunia

yang bersifat sementara, yang tidak kekal abadi.


Bagian besi yang masing-masing dipegang oleh Raja

Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu tersebut dibuat menjadi

senjata, yang akan digunakan untuk berburu. Perihal tersebut

dituturkan dalam Panaturan pasal 23 ayat 17 (MB-AHK, 2013:

74) berikut ini:


RANYING HATALLA ewen ndue JATHA BALAWANG
BULAU, puna using handung hakatawan panalataie,
kilau bulan mating malawit dare, hayak auh Nyahu
Batengkung Ngaruntung Langit, homboh Malentar Kilat
Basiring Hawun, sanaman jete palus kajadian manjadi
sintung telu Duhung Papan Benteng, sintung telu Ranying
Pandereh Bunu tuntang sintung telu kea Sipet Lumpung
Nanjeman Penyang.

Terjemahannya:
RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG BULAU
sudah terlebih dahulu mengetahui akan semuanya itu;
Disertai bunyi Guntur menggemuruh alam semesta, Petir
Halilintar menggelegar buana, besi tersebut langsung
berubah menjadi tiga buah Duhung Papan Benteng, tiga
buah Ranying Pandereh Bunu dan tiga buah Sipet
Lumpung Nanjeman Penyang.

Identifikasi terhadap ayat di atas bahwa Raja Sangen,

Raja Sangiang dan Raja Bunu telah dibuatkan senjata masing-

masing bagi ketiganya, yaitu Duhung Papan Benteng, Ranying

Pandereh Bunu dan Sipet Lumpung Nanjeman Penyang. Masing-

masing senjata tersebut dibuat dari besi yang bagian ujungnya

timbul dan bagian pangkalnya tenggelam. Keinginan mereka

memiliki senjata telah dikabulkan oleh Ranying Hatalla dan Jatha


147

Balawang Bulau, yang selanjutnya digunakan ketiganya untuk

berburu.

6) Fase Remaja
Masa remaja merupakan suatu tahap dimana manusia

bukan lagi anak-anak dan belum masuk fase kehidupan orang

dewasa. Menurut Danim dan Khairil (2011: 73), usia remaja

berlangsung antara umur 12-18 tahun.


Dalam Panaturan pasal 23 ayat 1 sebelumnya dapat

diidentifikasi bahwa Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu

sudah semakin besar dan mulai dewasa. Periode ini juga dapat

diidentifikasi bahwa ketiganya telah sampai pada tahapan kanak-

kanak menuju perkembangan usia remaja/belia. Seperti yang

dituturkan Panaturan dalam pasal 23 ayat 3 (MB-AHK, 2013: 71),

yaitu:
Kalute kahanjak pahalawang huang indang apange,
nuntun garing tarantang uras baling tambange.

Terjemahannya:
Demikian gembiranya ibu dan bapak mereka, melihat
anak-anaknya semua sehat dan gagah perkasa.

Dari kutipan ayat tersebut di atas bahwa aktifitas bermain

yang dilakukan ketiganya memberikan efek terhadap perubahan

fisik ketiganya, yakni sehat dan gagah perkasa. Hal yang penting di

sini adalah dalam penelitian dr. Sadoso (dalam Ratnawati, 2002:

91) diuraikan sebagai berikut:

Umumnya anak-anak yang mengikuti latihan olahraga


dengan takaran yang cukup, pertumbuhan badannya
cenderung lebih baik. Mereka tumbuh lebih tinggi,
badannya lebih berat, lingkar dadanya lebih luas, dan
persendian lututnya juga lebih besar. Jadi, aktifitas fisik itu
148

membantu pertumbuhan anak. Latihan olahraga yang


dilakukan sejak dini dengan takaran yang cukup, juga
mempengaruhi keterampilan, ketegaran dan keberanian
seseorang. Mereka juga mempunyai tingkat kebugaran
yang tinggi, tidak cepat kena penyakit, tidak cepat capek.

Dengan demikian, aktifitas fisik yang diberikan sejak dini

terhadap anak memberikan efek positif terhadap pertumbuhan dan

perkembangan anak, sama halnya yang dialami Raja Sangen, Raja

Sangiang dan Raja Bunu. Masa penting pertumbuhan dan

perkembangan anak-anak telah dilalui oleh ketiga anak Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan. Mendidik anak usia remaja berbeda dengan

mendidik anak di usia kanak-kanak, meskipun ada beberapa bagian

dalam mendidik anak kanak-kanak yang masih relevan digunakan

pada jenjang berikutnya.


Menurut Syafei (2006: 49) menjelaskan bahwa, ketika

anak berada pada usia 12-15 tahun, dia telah tumbuh sebagai

individu yang lebih besar, lebih nyata adanya, dia mulai berangkat

remaja, meski dalam kategori remaja kecil.


Pertumbuhan dan perkembangan anak berkembang seiring

pertumbuhan fisik dan usia sekolahnya, namun proses pendidikan

anak yang dialami Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu

berbeda dengan anak di masa kini. Sebab jaman dahulu, Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan masih belum ada dan tidak mengenal bentuk

institusi belajar seperti sekolah dasar hingga jenjang pendidikan

tinggi. Oleh karenanya, alam sekitarnya dan lingkungannya yang


149

mengajarkan mereka bagaimana menjalani kehidupan di dunia.

Sebagaimana bunyi pasal 24 ayat 2 (MB-AHK, 2013: 2) berikut

ini:
Bilak dia bahelang andau ewen sintung telu tulak mengan
mambuang lawing, hakaliling Bukit Batu Nindan Tarung,
Kereng Liang Bantilung Nyaring, nyamah karen metu
burung uras nunjung ikeh tingang mantang pain bukit
panjang.

Terjemahannya:
Hampir tidak pernah ada waktu dilewatkan oleh mereka
bertiga untuk berburu masuk ke hutan sekeliling Bukit
Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring,
sehingga burung-burung dan binatang lainnya takut dan
tidak menampakkan dirinya.

Dari ayat di atas diidentifikasi bahwa sejak memiliki

senjata dari sepotong besi yang dianugerahkan Ranying Hatalla

dan Jatha Balawang Bulau, yakni Duhung Papan Benteng,

Ranying Pandereh Bunu dan Sipet Lumpung Nanjeman Penyang,

maka Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu, tidak pernah

melewatkan hari untuk berburu di hutan sekeliling Bukit Batu

Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring. Perburuan yang

dilakukan ketiganya mengakibatkan binatang-binatang yang ada di

hutan habis mati dan tidak menampakkan diri di hadapan

ketiganya.
Proses pendidikan yang dialami ketiga anak Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan adalah mereka sejak kecil hingga remaja telah

diajarkan berenang, berburu, memanah, menyumpit, menombak,

aktifitas fisik dan sebagainya untuk meningkatkan kekuatan, daya

tahan, kesegaran jasmani, kebugaran tubuh, keterampilan dan


150

ketangkasan ketiganya sehingga mampu hidup berdampingan

dengan alam lingkungan.


Dalam Panaturan pasal 24 ayat 4 (MB-AHK, 2013: 76-

77) menuturkan sebagai berikut:


Taluh ije ingahandak awi RANYING HATALLA ewen ndue
JATHA BALAWANG BULAU malaluhan Gajah Bakapek
Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan mijen Bukit
Engkan Penyang, jadi handung hakatawan awi Manyamei
Tunggul Garing Janjahunan Laut ewen ndue Kameluh
Putak Bulau Janjulen Karangan janjaruman awi
RANYING HATALLA.

Terjemahannya:
Segala sesuatu yang dikehendaki RANYING HATALLA
dan JATHA BALAWANG BULAU, menjadikan harta
pusaka seekor Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan, berada di Bukit Engkan
Penyang, memang sudah diberitahukan sebelumnya
kepada Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan oleh RANYING
HATALLA.

Perjalanan kehidupan Raja Sangen, Raja Sangiang dan

Raja Bunu telah diatur dan dikehendaki Ranying Hatalla

sedemikian rupa. Selanjutnya, dalam ayat ini ditegaskan bahwa

Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau menjadikan harta

pusaka, yaitu Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang

Barikur Hintan di Bukit Engkan Penyang.


Sebagaimana sinopsis dalam Panaturan yang terdapat

dalam pasal 24 bahwa suatu ketika di saat ketiganya tidak

menemukan binatang perburuan lagi di hutan Bukit Batu Nindan

Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring, ketiganya pulang ke

rumah tanpa hasil apa-apa. Maka, berpesanlah Manyamei Tunggul

Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan agar ketiga anaknya hanya berburu di hutan sekeliling


151

Bukit Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring, dan

melarang mereka pergi menuju Bukit Engkan Penyang yang

terdapat wujud Hatuen Nyaring, yang sangat buas dan

menakutkan. Hal ini diuraikan dalam Pasal Panaturan berikut ini:


Ie Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut ewen ndue
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan malawu rawei
umba garing tarantange sintung telu; Umbet lalau ketun
sintung telu batanjung panjang mambuang lawing,
mengkan kare burung metu hakaliling Bukit Batu Nindan
Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring tuh.
Pasal 24 ayat 5 (MB-AHK, 2013: 77)
Terjemahannya:
Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh
Putak Bulau Janjulen Karangan, berkata kepada anaknya:
Cukup saja kalian berjalan jauh masuk hutan berburu
burung dan binatang-binatang lainnya di sekeliling Bukit
Batu Nindan Tarung, Kereng Liang Bantilung Nyaring.

Hayak ije puna nahatengkangku akan ketun sintung telu,


ela nanturung Bukit Engkan Penyang, awi hete tege
Hatuen Nyaring ije gila-gila enteng, Busun Sahakung ije
saru-sarui hanyi, tau entae ketun sintung telu manta-
manta dia hanyeren belai, nele bula-bulat dia hagarut
balengkunge.
Pasal 24 ayat 6 (MB-AHK, 2013: 77)
Terjemahannya:
Bersama itu pula kata ayahnya, aku melarang kalian
bertiga pergi menuju Bukit Engkan Penyang, sebab disitu
ada wujud Hatuen Nyaring, yang sangat buas dan bisa
memakan kalian bertiga mentah-mentah serta diteguknya
kalian bertiga bulat-bulat.

Menurut Etika (2005: 183) bahwa, akibat larangan yang

ditujukan kepada anak-anaknya, yaitu Raja Sangen, Raja Sangiang

dan Raja Bunu bukan membuat ketiganya takut, melainkan

membuat mereka penasaran untuk mencoba keampuhan senjata

yang dimiliki. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai reaksi terhadap

rasa keingintahuan, rasa tertarik, percaya diri, semangat,

keberanian dan kompetisi yang dimiliki oleh ketiganya di masa


152

tumbuh kembangnya. Seperti yang dituturkan dalam ayat-ayat

Panaturan berikut ini:


Bara keja-kejau eleh taratuntun awi ewen sintung telu
pahalendang Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan, puna lenda-lendang, linge-lingei
sinde.
Pasal 24 ayat 15 (MB-AHK, 2013: 79)
Terjemahannya:
Dari jauh sudah terlihat oleh mereka bertiga ada cahaya,
yaitu cahaya Gajah Bakapek Bulau, sinar Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan, sangat besar sekali kelihatannya.

Manting nangkaruan tambang ewen sintung telu


hasanselu, nanturung Gajah Bakapek Bulau, Unta
Hajaran Tandang Barikur Hintan, haya-hayak sembang
palus nekape.
Pasal 24 ayat 16 (MB-AHK, 2013: 79)
Terjemahannya:
Begitu mereka bertiga tiba, mereka berlari saling
mendahului menuju Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan, dan ternyata mereka bersamaan
tiba dan langsung memegangnya.

Ewen sintung telu sama njijit-nyaratunda; Nyaratunda


ngaju, nyaratunda ngawa hayak malawu rawei; Kuan
Raja Sangen aku tempu, kuan Raja Sangiang aku tempu,
kuan Raja Bunu aku tempu; Hai lalentun tingang ewen
sintung telu hatakiae.
Pasal 24 ayat 17 (MB-AHK, 2013: 79)
Terjemahannya:
Mereka bertiga saling berebutan tarik-menarik, seraya
berkata, kata Raja Sangen: Saya yang punya, kata Raja
Sangiang: Saya yang punya, begitu pula Raja Bunu dia
yang punya, sehingga gemuruh sekali suara mereka
bertiga berebutan.

Menurut Etika (2005: 183) menjelaskan bahwa, Gajah

Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan diartikan

sebagai gajah besar yang memiliki ikat kepala dari Intan, dan

seluruh tubuhnya juga berkilauan intan-berlian. Dapat

diidentifikasi bahwa perwujudan Gajah Bakapek Bulau, Unta

Hajaran Tandang Barikur Hintan tersebut membuat Raja Sangen,


153

Raja Sangiang dan Raja Bunu memperebutkan binatang tersebut

dan ingin menjadikan miliknya seorang masing-masing.


Selanjutnya dalam akhir kejadian yang dituturkan dalam

pasal 24 ini bahwa nantinya Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran

Tandang Barikur Hintan yang diperebutkan oleh ketiga saudara

kembar tersebut, mereka mencoba memiliki binatang dan masing-

masing menghunuskan senjata yang dimiliki, sehingga membuat

darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur

Hintan darahnya bercucuran dan kejadian menjadi berbagai macam

emas, intan, lilis lamiang, guci balanga dan gong yang berkilauan.
Awalnya kejadian perselisihan ketiganya yang

memperebutkan Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang

Barikur Hintan, terdengar oleh ayahnya, Manyamei Tunggul

Garing Janjahunan Laut. Ayahnya segera mendatangi ketiganya

dan ketika itulah disaksikan oleh Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut, yang berniat mencoba melerai anak-anaknya

yang saling memperebutkan binatang tersebut, masing-masing dari

mereka menghunuskan senjata yang dimiliki. Saat Manyamei

Tunggul Garing Janjahunan Laut mencoba memulihkan bekas

luka yang diakibatkan senjata yang digunakan Raja Sangen dan

Raja Sangiang, luka pada Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran

Tandang Barikur Hintan dapat pulih dan menutup seperti sedia

kala. Tetapi ketika Raja Bunu yang menghunus senjatanya, luka

Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan

akibat tikaman senjata mematikan Raja Bunu tidak mampu pulih


154

dan menutup kembali seperti sediakala. Darah yang terus-menerus

bercucuran, dan kejadian menjadi bermacam harta kekayaan,

mengakibatkan Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang

Barikur Hintan kesakitan dan berlari-larian hingga akhirnya ia mati

di hulu Batang Danum Tiawu Bulau yang dikenal sebagai tempat

Batang Danum Tiawu Bulau yang penuh dengan harta kekayaan,

emas, intan, lilis lamiang, harta kekayaan Lewu Tatau Dia

Rumpang Tulang Rundung Raja Isen Kamalesu Uhate, tempat

yang yang abadi selamanya dan telah diciptakan Ranying Hatalla.

Akhirnya, Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur

Hintan yang telah mati, bangkainya kejadian menjadi Kayu

Nyarataka Alam. Sebagaimana yang dituturkan pasal 24 ayat 42

(MB-AHK, 2013: 84) berikut ini:


Tinai hantun Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan, basaluh manjadi Kayu
Nyarataka Alam, ije ngambang bulau gaganep andau,
malelak hintan gagenep bulan, mandewen Timpung
Bembang Gawang, Mamotok Garanuhing Kurik, Mamua
Lamiang Bua Garing Belum, Mamating Suling Ringun
Tingang, babuku Tisin Pangarikir Bintang, Mujan
Nyalung Kaharingan Belum, mijen Lewu Tatau Dia
Rumpang Tulang, Rundung Rasa Isen Bakalesu Uhate.

Terjemahannya:
Kemudian Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang
Barikur Hintan kejadian menjadi Kayu Nyarataka Alam,
yang berbungakan emas permata, intan berlian,
berdaunkan kain berwarna-warni, berbakal buah
garanuhing kecil, berbuah bua garing belum, berbuku
cincin permata, dan selalu mengalirkan air suci kehidupan
bagi kehidupan Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang,
Rundung Raja Isen Kamalesu Uhate.

Menurut Gaya (2016: 117) menjelaskan sebagai berikut:


Akibat luka tikaman yang tak dapat sembuh dan darah
yang terus bercucuran tersebut, akhirnya Gajah Bakapek
155

Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan meninggal


dan jasadnya menjelma menjadi pohon kayu Nyarataka
Alam (sumber ilmu pengetahuan) yang dalam bahasa
Sangiang digambarkan secara puitis sebagai pohon
menakjubkan karena tiap hari berbunga emas dan
berbunga intan.

Kejadian Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang

Barikur Hintan yang dituturkan dalam pasal 24 Panaturan

tersebut, dapat diidentifikasi bahwa Kayu Nyarataka Alam secara

filosofis digambarkan sebagai pohon sumber ilmu pengetahuan

bagi kehidupan di dunia.


Dengan demikian, segala yang berasal dari darah Gajah

Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan yang

membasahi bumi, sungai, anak-anak sungai, dataran, bukit tinggi,

gunung batu penuh dengan harta kekayaan, emas, intan, lilis

lamiang, harta kekayaan Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang,

Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat, tempat yang abadi selamanya,

inilah harta kekayaan bagi kehidupan Raja Bunu dan keturunannya

kelak di dunia. Darah yang juga membasahi permukaan bumi,

berubah menjadi bermacam-macam jenis getah kayu, dan

bermanfaat sebagai sumber kehidupan dunia dan obat-obatan

penangkal segala macam penyakit. Kejadian yang dialami Raja

Bunu adalah atas kehendak Ranying Hatalla dan Jatha Balawang

Bulau, merupakan ciri ketiga bagi kehidupan Raja Bunu yang akan

menjalani kehidupan di dunia yang sifatnya sementara dan tidak

kekal abadi.
Ayat dalam pasal-pasal Panaturan yang diuraikan di atas sebagaimana

berkaitan dengan pendidikan anak bahwa pendidikan anak sudah diberikan


156

oleh orang tua sejak anak berada dalam kandungan ibunya (prenatal) dan

setelah anak dilahirkan ke dunia (postnatal). Interaksi orang tua terhadap

anak-anaknya, dalam hal ini adalah Manyamei Tunggul Garing Janjahunan

Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan kepada ketiga anaknya

Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu.


D. Nilai-Nilai Pendidikan Anak Menurut Ajaran Agama Hindu Kaharingan

Dalam Kitab Suci Panaturan


Setelah melalui proses dengan analisis isi (content analysis) dan

dilanjutkan dengan identifikasi dengan menggunakan teknik Hermeneutika.

Sebagai lanjutan dari teknik hermeneutika tersebut diharapkan mampu

mengungkapkan lebih jauh nilai-nilai dalam ayat Panaturan tersebut terkait

pendidikan anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan.


Dalam pandangan Hindu Kaharingan, seorang anak merupakan

keturunan/pewaris sekaligus penyelamat bagi orang tua dan para leluhur.

Begitu pentingnya peran, kedudukan dan pendidikan seorang anak. Setiap

keluarga tentu mengharapkan lahirnya seorang anak yang suputra, seorang

anak yang berwatak dan berkarakter baik, berbakti kepada orang tua dan

leluhur serta taat kepada ajaran agama. Ada beberapa unsur penting dalam

pendidikan anak yang diberikan sejak dini. Berbagai cara, bentuk, teknik

kadang kala dilakukan orang tua agar anak kelak tumbuh dan bisa menjadi

anak yang baik dan membanggakan orang tuanya. Namun sejalan dengan hal

tersebut, pendidikan bagi anak tidak akan lengkap secara spiritual bila tidak

didampingi seluruh rangkaian upacara yang ditujukan untuk memberikan

pemeliharaan, penyucian lahir dan bathin bagi setiap manusia selama

hidupnya. Ini merupakan proses pendidikan yang membentuk karakter anak di

masa depan.
157

Panaturan adalah sumber ajaran Ranying Hatalla yang memuat

ajaran-ajaran pokok ketuhanan, etika dan upacara terkait pendidikan anak

dalam Agama Hindu Kaharingan. Panaturan tidak bertentangan dengan kitab

suci Weda yang merupakan pedoman dalam menuntun hidup manusia

menjalankan kehidupan sehari-hari. Dalam hubungannya proses pendidikan

anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan,

terkandung nilai-nilai pendidikan berdasarkan atas konsepsi ajaran-ajaran Tri

Kerangka Dasar agama Hindu sebagai berikut.


1. Aspek Ketuhanan Pendidikan Anak Dalam Panaturan
Sejak anak dilahirkan hingga dewasa, agama anak selalu mengikuti

orang tua atau orang yang mengasuhnya. Menurut Zakiah Daradjat (dalam

Suyadi, 2009: 158) bahwa anak-anak sudah mempunyai rasa beragama

melalui perkembangan bahasa yang diucapkan orang tua atau orang

dewasa yang ada di sekelilingnya.


Penumbuhan nilai pendidikan perkembangan sosial-emosional bagi

anak, yaitu secara sosial yang diperoleh dengan tingkat jalinan interaksi

antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya, mulai

dari orang tua, saudara, teman bermain, masyarakat secara luas, hingga

manusia dengan alam lingkungan. Sedangkan, perkembangan terhadap

emosionalnya adalah luapan perasaan ketika anak berinteraksi dengan

orang lain. Maka, nilai pendidikan perkembangan sosial-emosional, anak

memiliki kepekaan untuk memahami perasaan orang lain ketika

berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.


Anak-anak memiliki kemampuan berpikir (perkembangan kognitif)

yang belum mampu menjangkau pemikiran yang bersifat abstrak.

Sehingga nilai pendidikan dalam aspek ketuhanan menurut Panaturan


158

adalah dengan menumbuhkan rasa beragama pada anak dan akibat

interaksi sosial-emosional yang dilalui anak dalam kehidupannya, yang

diimplementasikan sebagai dasar keyakinannya. Sebab sebagai manusia

yang percaya kepada Tuhan, bahwa Tuhan itu adalah sumber segala yang

ada di alam semesta. Landasan dasar keyakinan dalam Agama Hindu

Kaharingan yaitu lime sarahan (lima dasar keyakinan) dan tertuang di

Kitab Suci Panaturan sebagai berikut:


a. Ranying Hatalla Katamparan
Umat Kaharingan menyebut Tuhan dengan Ranying Hatalla.

Ranying Hatalla merupakan awal dan akhir segala kejadian yang ada

di alam semesta. Sebagaimana bunyi pasal 1 tentang Tamparan Taluh

Handiai, dapat ditemukan dalam ayat 3 (MB-AHK, 2013: 1) yang

menyebutkan:
AKU tuh RANYING HATALLA ije paling kuasae, tamparan
taluh handiai tuntang kahapuse, tuntang kalawa jetuh iete
kalawa pambelum, ije inanggare-KU ganggarunan arae
bagare HINTAN KAHARINGAN.

Terjemahannya:
AKU inilah RANYING HATALLA Yang Maha Kuasa, Awal dan
Akhir segala kejadian, dan cahaya kemuliaan-KU yang terang,
bersih dan suci, adalah Cahaya Kehidupan yang kekal abadi,
dan AKU sebut ia HINTAN KAHARINGAN.

Ranying Hatalla adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang

menciptakan alam semesta beserta isinya. Ia hanya ada satu, tidak ada

Ranying Hatalla yang lainnya. Aspek ketuhanan dalam pendidikan

anak dapat ditemukan dalam Panaturan pasal 19 ayat 2 (MB-AHK,

2013: 56) sebagai berikut:


RANYING HATALLA jadi mangahandak kakare taluh handiai
ije jadi injadiae tuntang kalute kea huang kakare taluh handiai
ije injadiae harian andau tinai; Hayak te kea IE japa-japan
tatah: Hetuh jadi umbet katika AKU manjadian kakare taluh
handiai huang pambelum kalunen; AKU manjadian biti
159

bereng aingKU akan manyuang pambelum ije ingahandak


awiKU.

Terjemahannya:
RANYING HATALLA sudah berkehendak demikian, begitu
pula IA menjadikan segala Kehendaknya untuk masa
mendatang; Maka IA berfirman: Sekarang tibalah saatnya
AKU menciptakan wujud serupa AKU untuk mengisi
kehidupan dunia yang AKU kehendaki, karena sesungguhnya
kehidupan itu adalah AKU.

Penganut Hindu Kaharingan meyakini bahwa kehendak

Ranying Hatalla adalah mutlak. Jadi, apa yang telah Ranying Hatalla

atur bagi kehidupan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan

Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan di kehidupannya senantiasa

adalah untuk kebaikan, kedamaian, kesejahteraan bagi umat manusia

di dunia kemudian harinya.


Pelaksanaan upacara sejak anak berada dalam kandungan

(prenatal) sampai kelahiran anak (postnatal) adalah wujud kesadaran

dan kewajiban manusia dan orang tua untuk mempersembahkan

sesuatu kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta. Persembahan tersebut

adalah perwujudan rasa terima kasih, ungkapan rasa syukur atas berkat

dan anugerah Ranying Hatalla kepada umatnya. Sebagaimana yang

diungkapakan dalam Panaturan pasal 20 ayat 4 (MB-AHK, 2013: 61)

yaitu:
Palus hamauh ie, kuae: Kareh amun sama bujur-kabajuran
karangkan lingungku nuah garing tarantang, aku mangantung
hajat, mandehen miat umba RANYING HATALLA ewen ndue
JATHA BALAWANG BULAU.

Terjemahannya:
Berkata pula ia, nanti kalau betul-betul harapanku
mendapatkan anak keturunanku, aku berjanji untuk bersyukur
kepada RANYING HATALLA dan JATHA BALAWANG
BULAU.
160

Setiap orang tua yang menginginkan kehadiran keturunan

dalam menjalani kehidupan berumah tangga, tidak dapat mewujudkan

kehendaknya tanpa ada campur tangan dari Ranying Hatalla/Tuhan

Yang Maha Esa. Sebagai contoh yaitu Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut yang bermohon mempunyai keturunan, maka ia

meminta kepada Ranying Hatalla agar isterinya segera mengandung

anaknya. Berkat dan anugerah yang diwujudkan dan dipenuhi

Ranying Hatalla nantinya, ia berjanji akan membalas ungkapan rasa

syukur tersebut apabila kehendak yang ia mohon dapat terwujud.


Pendidikan anak yang termuat dalam ayat tersebut

mengisyaratkan bahwa Tuhan yakni Ranying Hatalla memiliki

kekuatan dan kemahakuasaan yang maha besar. Ia mampu menjadikan

segala sesuatu yang ada di dunia ini termasuk apa yang menjadi

kehendak Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut. Manusia yang

memiliki kemampuan terbatas harus menyadari bahwa segala sesuatu,

upaya, aktivitas yang dilakukan tanpa adanya kehendak dan

didampingi restu Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau tidak

dapat terlaksana. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan suatu

aktivitas atau tindakan tertentu hendaknya manusia senantiasa

memohon penyertaan dari Ranying Hatalla, agar segalanya dapat

berjalan dengan baik, lancar dan tercapai.


Dalam Panaturan pasal 20 ayat 18 (MB-AHK, 2013: 64)

dituturkan kembali sebagai berikut:


Ie Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut maluput hajat
miat umba RANYING HATALLA ewen ndue JATHA
BALAWANG BULAU, palus malalus gawi Nahunan manampa
ganggarunan aran anake sintung telu.
161

Terjemahannya:
Maka Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut,
menyampaikan korban suci kepada RANYING HATALLA dan
JATHA BALAWANG BULAU, sekaligus melaksanakan
Upacara Nahunan, yaitu: Upacara pemberian nama bagi ketiga
bayinya.

Menurut Gepu (2014: 11) menyatakan bahwa, tidak ada satu

manusia pun yang lepas dari hukum yadnya. Dari kutipan ayat

tersebut adalah Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut

melaksanakan upacara Nahunan. Upacara Nahunan adalah yadnya.

Pelaksanaan upacara ini terkandung makna pemujaan kepada Sang

Pencipta, Ranying Hatalla, sebagai rasa sujud bhakti umat manusia

karena Ranying Hatalla telah memberikan anugerah dalam kehidupan,

yaitu Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan untuk memiliki anak keturunan yang sehat

sempurna jasmani dan rohani.


Upacara Nahunan merupakan rangkaian upacara dalam Agama

Hindu Kaharingan yang memiliki nilai pendidikan bagaimana

menumbuhkan rasa syukur kepada Ranying Hatalla dan

manifestasinya atas limpahan rahmat yang diberikan-Nya. Pelaksanaan

upacara Nahunan merupakan wujud yang hendaknya dilaksanakan

manusia sebagai implementasi ajaran agama yang menjadi kewajiban

setiap manusia agar kehidupannya menjadi lebih baik lagi di dunia.


b. Langit Katambuan
Bagi umat Kaharingan, langit adalah sesuatu atau benda yang

membentang di atas bumi ini, dan berada di atas semua makhluk yang

ada di alam ini. Ranying Hatalla dalam sifatnya yang nyata (skala),

Tuhan mewujudkan diri-Nya melalui ciptaan-Nya. Keyakinan tersebut


162

bagi Kaharingan bahwa Tuhan ada dalam setiap bentuk ciptaan-Nya,

sebagaimana Panaturan pasal 1 ayat 9 (MB-AHK, 2013: 3)

disebutkan seperti berikut :


Sana ewen sintung due hasembang bulau balawan tanduk,
RANYING HATALLA tuntang JATHA BALAWANG BULAU,
hasambewa rabia rantunan kening mijen tantan Bukit Bulau
Kangantung Gandang, marung tahanjunga Kereng Rabia
Nunyang Hapalangka Langit, palus japa-japan tatah, jima-
jimat tanteng, RANYING HATALLA manjapa Langit, Petak,
Bulan, Bintang, Matan Andau, palus kakare taluh handiai
akan puate.

Terjemahannya:
Sesudah mereka bertemu di atas Puncak Bukit Bulau
Kangantung Gandang, Kereng Rabia Nunyang Hapalangka
Langit, mereka membuka kuasa dan kebesaran-NYA; Bersama
itu RANYING HATALLA berfirman: Alangkah indahnya jika
AKU menjadikan Bumi, Langit, Bulan, Bintang, Matahari dan
segala isinya.

Langit Katambuan adalah alam atas yaitu Pantai Danum

Sangiang, umat Kaharingan meyakini alam atas adalah tahta

kemuliaan Ranying Hatalla dan tahta para Sangiang yaitu

Raja/Kameluh sebagai perantara Ranying Hatalla. Sejalan dengan hal

tersebut, Etika (2005: 29-30) menjelaskan bahwa:


Makna yang terkandung dari kalimat Langit Katambuan
tersebut, memiliki dua makna filosofis, yakni: (1) Bahwa
kekuasaan yang dimiliki Ranying Hatalla, bagaikan tingginya
langit yang membentang menjadi atap atau berada di atas
segala benda planet, termasuk bumi; (2) Bahwa kebenaran
Ranying Hatalla merupakan hal yang sangat hakiki, yang
perlu dimiliki umat Kaharingan.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa tidak ada

kekuasaan yang paling tinggi selain kekuasaan yang dimiliki Ranying

Hatalla. Selain itu, kebenaran merupakan wujud niskala Ranying

Hatalla, sehingga hendaknya manusia selalu mengutamakan kebenaran

di atas segala tindakan yang akan diperbuat.


163

Dengan demikian, pendidikan anak yang terdapat dalam dasar

keyakinan Langit Katambuan dimaknai sebagai kesadaran manusia

bahwa ada kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi dan melebihi dari

kekuatan dan kekuasaan manusia. Manusia adalah makhluk yang

memiliki keterbatasan.
c. Petak Tapajakan
Petak tapajakan dimaknai sebagai tanah tempat berpijak atau

ibu pertiwi. Dalam kepercayaan Kaharingan bahwa tanah sebagai

tempat tumbuh dan berkembangnya makhluk hidup. Semua unsur

kehidupan berasal dari ibu pertiwi.


Menurut Etika (2005: 32) menyatakan bahwa makna yang

terkandung dari Petak Tapajakan, yakni mengisyaratkan bahwa

Ranying Hatalla sebagai sumber segala unsur yang ada pada setiap

makhluk hidup di dunia ini, oleh karenanya hendaknya semua makhluk

saling menyayangi dan mengasihi. Sebagaimana bunyi Panaturan

pasal 20 ayat 12 (MB-AHK, 2013: 62-63) yaitu:


HAKANDUANG ije inyimpei umba Manyamei Tunggul Garing
Janjahunan Laut, palus ie mahaga bua-buah kakare asi
tuntang kahandak ije i-atuh awi RANYING HATALLA akae, ije
kareh akan i-atuh tinai huang pambelum Pantai Danum
Kalunen, tumun jalae tesek, kalute kea jalae buli nanturung
RANYING HATALLA.

Terjemahannya:
Demikian pesan RANYING HATALLA melalui RAJA UJU
HAKANDUANG yang disampaikan kepada Manyamei
Tunggul Garing Janjahunan Laut, dan ia memeliharanya
dengan sebaik-baiknya segala berkat kasih serta kehendak
yang diatur oleh RANYING HATALLA kepadanya, yang
nantinya akan diatur lagi dalam kehidupan di dunia,
sebagaimana awalnya ada, begitu pula ia kembali menyatu
RANYING HATALLA.

Dalam kutipan ayat di atas mengisyaratkan bahwa manusia

mendapatkan segala unsur kehidupan dari bumi. Apabila saat ia


164

mengalami kematian kelak, maka badan kasar manusia atau makhluk

hidup lainnya akan kembali ke bumi, sebagaimana sumber kehidupan

yang ia peroleh.
Nilai pendidikan yang terkandung dalam uraian di atas adalah

agar hendaknya tidak lupa diri dan terlena dengan kehidupan yang

sifatnya sementara sebab segala unsur kehidupan yang berasal dari

Tuhan pada akhirnya akan kembali kepada unsur penciptanya sehingga

hendaknya umat manusia menjaga kelestarian alam, baik hubungan

manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan sekitarnya, dan

hubungan manusia dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta.


d. Nyalung Kapanduyan
Nyalung dalam bahasa Sangiang diartikan sebagai air yang

memberikan kehidupan. Air merupakan salah satu unsur yang penting

bagi sumber kehidupan setiap makhluk hidup. Suku Dayak penganut

Kaharingan sangat meyakini bahwa tanpa air tidak ada satu makhluk

pun yang mampu bertahan hidup di muka bumi.


Menurut Etika (2005: 32) menyatakan bahwa Nyalung

Kapanduyan dipercaya sebagai sumber air suci yang selalu diharapkan

kehadirannya pada saat pelaksanaan ritual atau persembahyangan.


Dari penjelasan tersebut bahwa Nyalung Kapanduyan memiliki

filosofis sebagai sarana penyucian diri dalam setiap rangkaian

pelaksanaan upacara keagamaan, air juga sebagai kebutuhan hidup

untuk makan dan minum, dan membersihkan diri dari kotoran secara

skala. Di samping sebagai sarana penyucian diri, secara spiritual air

juga dibutuhkan oleh semua makhluk hidup untuk mempertahankan

kehidupannya.
165

Dengan demikian, nilai pendidikan yang terkandung di dalam

Nyalung Kapanduyan adalah agar setiap umat manusia dimana pun ia

hidup di muka bumi yang menjadi kewajibannya adalah memelihara,

menjaga dan melestarikan sumber-sumber air yang menjadi sumber

kebutuhan hidup, dan hal tersebut harus dilakukan oleh setiap orang.

e. Kalata Padadukan
Kalata Padadukan adalah alam semesta beserta isinya yang

diciptakan oleh Ranying Hatalla, yang memberi kehidupan bagi semua

makhluk yang diciptakannya. Etika (2005: 34) menyatakan bahwa

Kalata Padadukan adalah alam semesta yang diciptakan sebagai

tempat bertemunya makhluk hidup dari tingkat yang paling rendah

hingga yang paling tinggi, dengan berbagai aktivitasnya.


Kewajiban manusia adalah menjaga keharmonisan alam

semesta beserta isinya termasuk di dalamnya adalah alam yang

memberi sumber kehidupan bagi manusia. Manusia tidak bisa hidup

tanpa menghirup udara, oleh karenanya manusia harus menjaga

kebersihan udara. Udara yang dihirup manusia adalah Oksigen yang

berasal dari hasil fotosintesis tumbuh-tumbuhan di alam.


Nilai pendidikan yang terkandung adalah manusia senantiasa

menjaga alam lingkungannya, dengan tidak membakar hutan

sembarangan, menebang pohon, membuang limbah sembarangan

mengurangi efek rumah kaca, membuang sampah sembarangan dan

sebagainya yang menjadi penyebab pencemaran udara. Manusia sejak

sudah mengenal alam lingkungan harus dibiasakan menjaga dan

melestarikan alam, misalnya dengan menanam tumbuh-tumbuhan dan


166

pepohonan untuk menjaga kestabilan oksigen yang tersedia di muka

bumi.
Dapat disimpulkan bahwa aspek ketuhanan yang terkandung dalam

lime sarahan adalah lima pokok-pokok keimanan dan keyakinan bagi

penganut Hindu Kaharingan dalam memunculkan rasa beragama dan

perkembangan sosial-emosional bagi setiap anak. Oleh karena itu, dengan

menjalankan dasar keyakinan yang bersumber dari Ranying Hatalla

mampu menjadikan manusia mencapai kebahagian hidup secara lahiriah

dan batiniah atau kebahagiaan abadi di dunia dan di akhirat.


2. Aspek Etika Pendidikan Anak Dalam Panaturan
Menurut Wiratmadja (1975: 5), etika berasal dari bahasa Yunani

yaitu kata etos atau la ethos, yang berarti kebiasaan atau adat. Etika

sebagai ilmu pengetahuan tidak membahas kebiasaan-kebiasaan semata

berdasarkan tata adat, melainkan membahas adat istiadat yang

berhubungan dengan pengertian kesusilaan.


Dalam aspek etika dalam Panaturan terkandung nilai pendidikan

perkembangan kognitif dan psikomotorik terhadap anak ditandai dengan

perhatian terhadap lingkungan sekitarnya. Pendidikan anak dipandang

dalam aspek etika adalah melalui tata aturan yang diajarkan Ranying

Hatalla bagi kehidupan di dunia yang mana manusia dapat menunjukan

tentang apa yang dianggap baik, perbuatan bagaimana yang harus

dilakukan dan larangan mana yang harus dihindari, dari hal mana yang

disebut baik atau buruk. Pengetahuan kognitif muncul sebab manusia

senantiasa belajar melalui pengalaman-pengalaman yang diperolehnya dan

mengolah pengalaman tersebut menjadi pengetahuan baru sehingga ia


167

kemudian memiliki pertimbangan dengan akal yang baik atau buruknya

suatu tindakan.
Sedangkan, pengetahuan bagi perkembangan psikomotorik

berperan utama dalam membantu anak menjadi tumbuh sehat, cerdas dan

genius. Anak yang sejak kecil perbuatan dan tingkah lakunya sudah dilatih

kemampuan fisik yang baik akan mudah menguasai keterampilan-

keterampilan baru seperti hiking, jogging, memanjat, dan lainnya.

Sebagaimana yang dialami Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu

semasa kecilnya hingga tumbuh dewasa.


Aspek etika terhadap pendidikan anak dalam Panaturan terkait

dengan pengetahuan kognitif terhadap tingkah laku/perilaku yang

mengacu pada sebutan baik dan tidak baik. Sebagaimana asal mula

perkawinan antara Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan

Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, yang dalam Kitab Suci

Panaturan dinyatakan pada pasal 7 sampai dengan pasal 18 menuturkan

mengenai segala yang terjadi akibat hubungan yang telah dilakukan oleh

Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau

Janjulen Karangan, yang hidup tanpa ikatan perkawinan. Akibat

hubungan tersebut, maka Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan

mengalami kejadian pajanjuri darah (keguguran) sebanyak 12 kali.


Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak

Bulau Janjulen Karangan melaksanakan upacara Perkawinan adalah

contoh bagi keturunannya kelak menjalani kehidupan di dunia, dan

kejadian-kejadian pajanjuri darah yang sifatnya negatif, tidak lagi terjadi

di kehidupan keduanya akibat perbuatan atau tingkah laku yang tidak baik

seperti sebelumnya. Hubungan tanpa pernikahan/hidup bersama yang


168

terjadi antara Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh

Putak Bulau Janjulen Karangan di awal pertemuannya menyimbolkan

suatu perbuatan atau tingkah laku yang tidak baik. Hal ini apabila

dibiarkan berlangsung terus-menerus akan merugikan dan memunculkan

permasalahan bagi kehidupan di dunia. Namun, Ranying Hatalla

senantiasa membimbing dan memberi petunjuk agar keduanya dapat

menjalani kehidupan yang baik dan benar. Sehingga, ia melaksanakan

upacara perkawinan bagi keduanya.


Tingkah laku mengacu pada mana yang baik dan yang buruk dalam

kehidupan sehari-hari memberikan perkembangan terhadap pengetahuan

kognitif yang berdampak terhadap intelektual anak. Bagi pengetahuan

kognitif, setidaknya anak memiliki perkembangan terhadap dua hal, yaitu:

(1) kemampuan untuk berpikir logis, analisis, dan rasional, yaitu

kemampuan untuk mendidik kedisiplinan terhadap anak, ia mampu

mengembangkan logika sehingga anak-anak semakin dewasa dalam

mengambil keputusan. (2) menemukan hubungan sebab-akibat, yaitu anak

dapat memahami bahwa segala tindakan yang dilakukan ada akibatnya

(karmaphala), sehingga anak akan bertindak dengan pola berpikir sebab-

akibat secara rasional.


Dengan demikian, uraian penjelasan Panaturan di atas bahwa

penanaman pendidikan nilai etika/susila membentuk pengetahuan kognitif,

yang mengajarkan manusia hendaknya sebelum pasangan pria dan wanita

memutuskan hidup bersama dan menjalani hubungan perkawinan

hendaknya dilaksanakan upacara terlebih dahulu. Dengan bercermin dan

meneladani pada pengalaman yang dialami Manyamei Tunggul Garing


169

Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan,

hendaknya melalui upacara perkawinan tersebut nantinya pasangan pria

dan wanita disucikan, memohon berkat dan restu dari Ranying

Hatalla/Tuhan Yang Maha Esa, agar apa yang diinginkan dapat tercapai

untuk memiliki keturunan sempurna terwujud.

Terkait perkembangan psikomotorik berhubungan aktifitas fisik

yang diberikan sejak dini terhadap anak memberikan efek positif terhadap

pertumbuhan dan perkembangan anak, sama halnya yang dialami Raja

Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu. Berbagai bentuk proses

pendidikan yang dialami ketiga anak Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan tersebut

adalah sejak kecil hingga remaja baik berenang, berburu, memanah,

menyumpit, menombak, aktifitas fisik dan sebagainya adalah untuk

meningkatkan kekuatan, daya tahan, kesegaran jasmani, kebugaran tubuh,

keterampilan dan ketangkasan ketiganya sehingga mampu hidup

berdampingan dengan alam lingkungan.

3. Aspek Upacara Pendidikan Anak Dalam Panaturan


Implementasi upacara terhadap pendidikan anak dalam Panaturan

dilaksanakan sesuai ajaran yang diberikan Ranying Hatalla/Tuhan Yang

Maha Esa. Masyarakat suku Dayak penganut Kaharingan senantiasa

melaksanakan upacara dengan konsep ajaran yakni desa, kala dan patra

(tempat, waktu dan keadaan).


Gaya mengatakan bahwa, pelaksanaan upacara dalam Agama

Hindu Kaharingan adalah kebutuhan, hal ini dikarenakan bahwa upacara

keagamaan sebagai kurban suci (yadnya) yang dipersembahkan dengan


170

tulus ikhlas kepada Ranying Hatalla (Tuhan Yang Maha Esa). Upacara

juga diyakini sebagai media untuk memohon berkat dan anugerah dari

Yang Maha Kuasa. (Wawancara, 25 Agustus 2016)


Dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan baik sejak anak

berada dalam kandungan hingga anak lahir ke dunia tidak terlepas dari

simbol-simbol sarana dan prasarana yang digunakan dalam upacara

tersebut. Berbagai upacara menyangkut kehidupan yang dituturkan dalam

Panaturan tersebut seperti Upacara Paleteng Kalangkang Sawang,

Manyaki Ehet, Nahunan dan sebagainya. Pelaksanaan tersebut tidak lepas

atas ajaran yang diajarkan Ranying Hatalla kepada Raja Bunu dan

keturunannya kelak di dunia. Sudah sepantasnya seluruh upacara yang

diajarkan dan diwariskan oleh Ranying Hatalla dan Jatha Balawang

Bulau kepada Raja Bunu dan keturunannya agar senantiasa dilaksanakan,

dipelihara, dijaga dan dilestarikan untuk memohon kehidupan yang lebih

baik, damai, tenteram, dan sejahtera.


Ritual-ritual dalam kehidupan Manyamei Tunggul Garing

Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan bagi

kehidupan anak-anaknya tersebut di atas berhubungan dengan proses

tumbuh kembang setiap anak yang dilaksanakan semasa hidupnya yang

mencakup beberapa aspek bagi anak, yaitu aspek rasa keyakinan terhadap

kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, aspek kognitif, psikomotorik dan

sosial-emosional anak.

BAB IV

PENUTUP
171

A. Simpulan
Dari beberapa permasalahan yang dibahas di atas, ada pun yang

menjadi kesimpulan dalam skripsi ini antara lain:


1. Kedudukan anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan adalah

dipandang sebagai pusat perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan

pendidikan. Anak sebagai pelanjut keturunan yang akan meneruskan

kewajiban orang tua dalam kehidupan duniawi. Anak sebagai penyelamat

orang tua, leluhurnya kelak. Anak yang diharapkan kehadirannya adalah

anak yang suputra, seorang anak yang berwatak dan berkarakter baik dan

benar, berbakti kepada orang tua dan leluhur serta taat kepada ajaran

agama.
2. Pendidikan kepada anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharigan secara

garis besar diidentifikasi menggunakan teknik content analysis dan

hermeneutika. Utamanya pendidikan bagi anak berlangsung dan diberikan

orang tua sejak anak masih berada dalam kandungan (prenatal) dan setelah

anak dilahirkan ke dunia (postnatal). Pendidikan anak menurut ajaran

Agama Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan, mengajarkan

umat manusia meneladani ajaran ketuhanan, etika/tata aturan, dan

pelaksanaan ritual upacara yang tersirat dalam contoh peneladanan

perkawinan antara Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut,

Sahawung Tangkuranan Hariran dan Kameluh Putak Bulau Janjulen

Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun serta proses pertumbuhan dan

perkembangan anak-anaknya di masa depan.


3. Nilai-nilai pendidikan anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan

dalam Kitab Suci Panaturan memuat, yaitu : (1) perkembangan rasa


178
172

beragama, yakni anak mampu menumbuhkan rasa beragama dengan

peneladanan orang tua, lingkungan, dan guru yang mengajar di sekolah, ia

dapat memahami baik dan benar baik pemikiran, perkataan, dan perbuatan

yang sesuai dengan ajaran agama yang diyakini dan dianutnya; (2)

perkembangan kognitif, yakni kemampuan intelektual anak, anak belajar

melalui pengalaman yang diperolehnya dan mengolah pengalaman

tersebut menjadi pengetahuan baru; (3) perkembangan psikomotorik,

yakni membantu anak menjadi tumbuh sehat, cerdas dan genius dengan

dilatih keterampilan kemampuan fisiknya; dan (4) perkembangan sosial-

emosional, yakni anak memiliki kepekaan untuk memahami perasaan

orang lain ketika berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Keempat hal

tersebut terkandung dalam Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, yang terdiri

tiga, antara lain: (1) Aspek Ketuhanan, (2) Aspek Etika, dan (3) Aspek

Upacara Pendidikan Anak dalam Panaturan. Nilai-nilai pendidikan anak

tersebut terealisasi dalam interaksi orang tua terhadap anak-anaknya,

dalam hal ini adalah Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan

Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan kepada ketiga anaknya Raja

Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu, sebagaimana yang dituturkan

dalam Kitab Suci Panaturan.

B. Saran
Adapun saran-saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi para pembaca kaum cendikiawan, kaum akademisi dan para peneliti

selanjutnya dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk penelitian-

penelitian selanjutnya yang membahas objek yang sama terkait pendidikan


173

anak menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci

Panaturan.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan yang relevan bagi para orang tua

khususnya keluarga Hindu Kaharingan untuk menerapkan dan

mengimplementasikan konsep pendidikan anak menurut ajaran Agama

Hindu Kaharingan dalam Kitab Suci Panaturan.


3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi para peneliti

untuk mengembangkan objek terkait pendidikan anak dalam bidang dan

bahasan yang lebih luas lagi.

Anda mungkin juga menyukai