Anda di halaman 1dari 15

Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.

H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

DARSANA (Pertemuan 1-5)

A. PENGERTIAN DARSANA

Kata Tattva berasal dari bahasa Sansekerta “Tat” yang artinya itu,yang

maksudnya adalah hakekat atau kebenaran (Thatnees). Dalam sumber lainya

kata Tattva juga berarti falsafah (Filsafat agama). Maksudnya adalah ilmu yang

mempelajari kebenaran sedalam-dalamnya (sebenarnya) tentang sesuatu seperti

mencari kebenaran tentang Tuhan, tentang atma serta yang lainya. Tattva juga

dapat diartikan kebenaran yang sejati dan hakiki. Penggunaan kata Tattva ini

sebagai istilah filsafat didasarkan atas tujuan yang hendak dicapai, oleh filsafat itu

yakni kebenaran yang tertinggi dan hakiki.

Didalam lontar-lontar di Bali kata Tattva inilah lebih sering diguṇa kan jika

dibandingkan dengan ke tiga istilah filsafat yang lainya, pendidikan, tempat suci,

upacara yajňa, adat istiadat dan lainya, semua itu merupaka konsep dasar atau inti

sarinya adalah Tattva. Ajaran Hindu kaya akan Tattva atau dalam ilmu modern

disebut filsafat, secara khusus filsafat disebut Darśana. Dalam perkembangan

agama Hindu atau kebudayaan Veda terdapat Sembilan cabang filsafat yang

disebut Nawa Darśana.

Filsafat Hindu bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia

memiliki nilai yang amat luhur, mulia, khas, dan sistematis yang didasarkan oleh

pengalaman spiritual mistis. Hindu tidak hanya kaya akan konsep ketuhanan tetapi

konsep filsafat yang dikenal sebagai Ṣaḍ Darśana atau enam cabang filsafat di

mana masing-masing filsafat memberikan penggambaran akan Tuhan yang pada

akhirnya bertujuan untuk mengajarkan bagaimana mencapai Brahman atau Tuhan.

Darśana identik dengan “visi kebenaran” yang satu dengan yang lainnnya saling

terikat. Filsafat Hindu memiliki karakter khusus yang menonjol, yaitu kedalaman
Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

dalam pembahasannya yang mencerminkan bahwa filsafat itu telah dikembangkan

dengan sepenuh hati dalam mencari kebenaran.

Kata Darśana berasal dari urat kata dṛś yang artinya melihat, menjadi kata

Darśana (kata benda) artinya pengelihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam

hubungan ini berarti pandangan tentang kebenaran (filsafat). Ilmu Filsafat adalah

sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan nilai-nilai

kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang dicita-citakan. Demikian

halnya ilmu filsafat yang ada di dalam ajaran Hindu yang juga disebut dengan

Darśana, semuanya berusaha untuk mengungkapkan tentang nilai-nilai kebenaran

dengan bersumber pada kitab suci Veda. Aliran atau sistem filsafat India dibagi

menjadi dua kelompok besar, yaitu āstika dan nāstika.

B. NASTIKA

Nastika ( Heterodoks ) merupakan sistem filsafat yang tidak mempercayai

adanya Tuhan dan tidak mengakui Veda sebagai otoritas tertinggi. Yang termasuk

kedalam kelompok Nastika adalah Bauddha, Jaina, Ajnani, Carvaka, Ajivika

(Heterodox).

1. Carvaka

Carwaka merupakan salah satu filsafat yang tidak mengakui otoritas Weda, oleh

karena itu Carwaka digolongkan kedalam kelompok Nastika. Untuk lebih mudah

memahami saya akan menjelaskan dari arti, faham, metafisika, epistimologi dari

Carwaka. Carwaka berasal dari kata Caru dan Vak. Caru disini berarti manis,

sedangkan Vak berarti ujaran. Carwaka berarti lidah manis yang bermakna

kenikmatan duniawi yang menjadi tujuan tertinggi dari filsafat Carwaka ini.

Pendiri filsafat Carwaka ialah Bhagavan Wrhaspati, dengan penekanan


Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

pengajaran pada aspek material sebagai tujuan hidup tertingi dan tidak percaya

akan adanya kehidupan di akhirat. Tradisi yang dikembangkan Carwaka adalah

Heterodoks, Atheisme, materialistic.

 Faham Carwaka Bersifat Atheis

Carwaka menganut faham atheis dikarnakan faham Carwaka memandang

eksistensi Tuhan hanya merupakan mitos belaka. Itu dikarnakan dalam

fahan Carwaka segala sesuatunya harus nyata dapat dirasakan, dilihat oleh

indriya – indriya. Tuhan tidaka dapat dilihat langsung oleh mata maka dari itu

filsafat Carwaka menganggap Tuhan sebagai mitos. Maka dari tiu Carwaka

mengatakan dunia ini bakan dari Tuhan. Bahkan tindakan para pendeta

yang menyelesaikan ritual dipandang sebagai hal yang membodohkan,

membodohkan masyarakat, dan meletakkan keyakinan pada eksistensi

Weda diabaikan.

 Faham Carwaka Bersifat Materialistik

Filsafat Carwaka dikatakan materialistic dikarnakan hanya mementingkan

kenikmatan duniawi, sehingga diistilahkan juga sebagai hendonisme

maknanya identic dengan pemenuhan kenikmatan duniawi. Fahan filsafat

Carwaka juga dikatakan faham naturalistic yang artinya pandangan filosofis

yang memberikan peranan kepada alam sekitar, yang posisinya pada roh

dan adikodrati.

2. Jaina

Filsafat Jaina di golongkan kedalam kelompok Nastika ( Heterodok ), mengakui

empat aspek kebenaran yaitu : Atman, Karma, Punarbhawa, dan Moksa.

Filsafat Jaina bersifat Atheis, namun mengakui jiwa-jiwa yang bebas disebut

dengan Sidhas, menekankan pada ajaran Ahimsa


Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

Karma. Filsafat Jaina memiliki 24 Thirthankara atau pendiri keyakinan sebagai

yang meneruskan ajaran-ajaran Jaina. Thirthankara I bernama Rishabadeva

adalah pendiri filsafat Jaina, disini tidak banyak diketahui

tentangnya. Thirthankara II sampai yang XXII tidak juga banyak diungkap dan

diketahui nama dan perkembangannya.

Thirthankara XXIII bernama Parsvanatha yang hidup pada abad 9

sebelum Masehi dan Thirthankara XXIV bernama Vidharmana Mahavira.

Jaina terdiri dari dua golongan diantaranya : golongan khusus ( Para Pedeta ),

dipandang sebagai yang mampu memperkokoh faham Jaina dan golongan

umum yaitu masyarakat biasa yang secara material dan moral membantu

eksistensitas golongan khusus.

 Svetambara dan Dirgambara merupakan dua sekta yang lahir karena

adanya perbedaan memahami ajaran-ajaran praktek

agama Jaina, namun Jaina tetap Jaina meskipun ajaran-ajarnnya ditafsirkan

berbeda. Pengikut Svetambara berpakain putih melambangkan penolakan

terhadap dunia materi.

 Pengikut Dirgambara berpakaian biru langit sebagai symbol pemutusan

hubungan dengan dunia. Svetambara lebih akomodatif dari

pada Dirgambara yang ekstrim. Berpakaian putih bagi

sekta Svetambara diberlakukan bagi pendeta tinggi, bukan untuk orang

kebanyakan dan pendeta rendah. Sekta Dirgambara yang ekstrim

mengharuskan pendeta tinggi telanjang bulat (berpakaian biru langit)

mempertahankan hidup dari meminta - minta, bertapa secara sempurna,

tidur hanya tiga jam, sisa waktu untuk belajar dan mengajar, dan bagi kaum
Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

wanita tidak dapat mencapai pembebasan. Karena begitu ekstrim

pengikutnya pun sedikit.

Filsafat jaina merupakan sistem filsafat yang mengembangkan tradisi atheisme

namun spiritual, kata jaina sendiri berarti ‘penakluk spiritual’. Jaina

mengklasifikasikan pengetahuan menjadi 2, yaitu :

1. Aparoksa : pengetahuan langsung, terdiri dari avadhi (kemampuan melihat

hal-hal yang tidak nampak oleh indra), manahparyaya (telepathi), dan kevala

(kemahatahuan).

2. Paroksa : pengetahuan antara, terdiri dari mati (mencakup pengetahuan

perseptual dan inferensial) dan sruta (pengetahuan yang diambil dari otoritas)

Jaina menerima tiga jenis pramana, yaitu pratyaksa (persepsi), anumana

(inferensi), dan sruta (otoritas). Jaina meyakini tentang adanya pluralisme roh,

terdapat roh-roh sesuai dengan banyaknya tubuh. Tidak hanya roh dalam

manusia, binatang, dan tumbuhan, tapi meyakini hingga roh-roh yang ada dalam

debu.

Jaina mengenal lima disiplin spiritual, yang terdiri dari :

1. Ahimsa (non kekerasan)

2. Satya (kebenaran)

3. Asteya (tidak mencuri)

4. Brahmacarya (berpantang dari pemenuhan nafsu, baik pikiran, kata-kata, dan

perbuatan)

5. Aparigraha (kemelekatan dengan pikiran, kata-kata, dan perbuatan)


Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

3. Buddhisme

Filsafat Buddha lahir dari ajaran-ajaran Buddha Gautama pada abad 567 sm,

ajarannya bersifat atheisme dan spiritual. Buddha menekankan pada etika, cinta

kasih, persaudaraan, menolak sistem kasta, dan menolak otoritas Weda dan

pelaksanaan yajna. Tujuan akhir perjalanan hidup manusia adalah nirwana,

bukan sebagai karunia Tuhan dan Dewa-Dewa, namun diperoleh melalui usaha

diri sendiri. Pencerahan yang didapatkan oleh Sidharta Gautama meliputi empat

kebenaran utama (catvari arya-satyani), yaitu :

 Kebenaran bahwa ada penderitaan.

 Kebenaran bahwa ada penyebab penderitaan.

 Kebenaran bahwa ada penghentian penderitaan.

 Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan penderitaan.

Ajaran Buddha sering pula disebut dengan ‘jalan tengah’ (madhyama marga),

ajaran-ajaran pokoknya dibukukan dalam tiga kitab suci (tripitaka yang berarti

tiga keranjang pengetahuan), yang terdiri dari : Vinaya pitaka yang membahas

tata laksana bagi masyarakat umum, Sutta pitaka yang membahas upacara-

upacara dan dialog berkaitan dengan etika, dan Abhidhamma pitaka yang berisi

eksposisi teori-teori filsafat Buddha.

Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan penderitaan, terdiri dari 8 jalan

utama, yaitu :

1. Pandangan yang benar (samyagdrsti)

2. Determinasi yang benar (samyaksamkalpa)

3. Perkataan yang benar (samyalgwak)

4. Perilaku yang benar (samyakkarmanta)

5. Cara hidup yang benar (samyagajiva)


Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

6. Usaha yang benar (samyagvyayama)

7. Sikap pikiran yang benar (samyaksmrti)

8. Konsentrasi yang benar (samyaksamadhi)

Doktrin Buddha tidak mengakui eksistensi Atman dan Tuhan, namun mengadopsi

bentuk keykinan seperit hukum karma, reinkarnasi, dan pembebasan (nirwana)

SAD DARSANA
Secara etimologi Sad Darsana berasal dari dua kata yakni “Sad” dan “Darsana”. Sad
artinya enam sedangkan darsana artinya pandangan tentang kebenaran. Dalam bahasa
sanskerta dikatakan bahwa Darsana berasal dari akar kata drs yang memiliki makna melihat.
Kemudian berubah menjadi kata darsana yang artinya pandangan atau penglihatan.
Jadi Sad Darsana dalam ajaran filsafat Hindu dapat diartikan sebagai enam pandangan
tentang kebenaran yang meliputi:
1. Nyaya Darsana
2. Waisesika Darsana
3. Samkhya Darsana
4. Yoga Darsana
5. Mimamsa Darsana
6. Wedanta Darsana
Darsana merupakan padanan yang mendekati istilah filsafat (barat), namun secara esensial
ada perbedaan yang sangat mendasar, sebab filsafat terlepas dari agama, sedangkan
darsana tidak bisa lepas dari agama. Darsana berakar dari agama Hindu.

Bagian-bagian SAD DARSANA:


1. NYAYA DARSANA
Nyaya darsana merupakan merupakan dasar dan pengantar dari seluruh pengajaran
filsafat Hindu. Nyaya Sutra yang digunakan sebagai sumber dari filsafat Nyaya ditulis oleh
Rsi Gautama atau sering pula dikenal dengan nama Aksapada atau Dirghatapas kurang
lebih pada abad ke-4 SM. Nyaya berarti ‘argumentasi’, sehingga sering pula disebut sebagai
Tarka vada atau diskusi tentang suatu darsana atau pandangan filsafat. Didalam Nyaya
Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

darsana sendiri terkandung ilmu perdebatan (Tarka vidya) dan ilmu diskusi (vada vidya)
yang berarti bersifat analitik dan logis. Dari konsep ini maka dapat diketahui bahwasannya
Nyaya menekankan pada aspek logika dan nalar dengan pendekatan ilmiah dan realisme.
Nyaya merupakan alat utama untuk meyakini sesuatu dengan penyimpulan yang tak
terbantahkan, yang dilalui dengan pengujian dengan berbagai argumentasi dan melewati
berbagai perbantahan sehingga membentuk suatu keyakinan yang penuh.
Menurut konsep Nyaya, pengetahuan menyatakan 4 kadaan, yaitu :
1. Subyek atau si pengamat (pramata)
2. Obyek (Prameya)
3. Keadaan hasil dari pengamatan (Pramiti)
4. Cara mengetahui (Pramana)
Nyaya Darsana mendiskusikan kebenaran mendasar melalui bantuan 4 cara pengamatan
(Catur Pramana) :
a. Pratyaksa pramana  pengamatan langsung
Pratyaksa pramana atau pengamatan secara langsung melalui panca indriya dengan
obyek yang diamati, sehingga memberi pengetahuan tentang obyek-obyek, sesuai
dengan keadaannya. Pratyaksa pramana terdiri dari 2 tingkat pengamatan, yaitu : 1).
Nirwikalpa pratyaksa (pengamatan yang tidak menentukan) pengamatan terhadap
suatu obyek tanpa penilaian, tanpa asosiasi dengan suatu subyek, 2) Savikalpa
pratyaksa (pengamatan yang menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek
dibarengi dengan pengenalan cirri-ciri, sifat-sifat dan juga subyeknya.
b. Anumana pramana  melalui penyimpulan
Anumana pramana merupakan hasil yang diperoleh dengan adanya suatu perantara
diantara subyek dan obyek, dimana pengamatan langsung dengan indra tidak dapat
menyimpulkan hasil dari pengamatan. Perantara merupakan suatu yang sangat
berkaitan dengan sifat dari obyek.
c. Upamana pramana  melalui perbandingan
Upamana pramana merupakan cara pengamatan dengan membandingkan kesamaan-
kesamaan yang munkin terjadi atau terdapat dalam suatu obyek yang di amati dengan
obyek yang sudah ada atau pernah diketahui.
Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

d. Sabda pramana  melalui penyaksian


Sabda pramana merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui kesaksian dari orang-
orang yang dipercaya kata-katanya, ataupun dari naskah-naskah yang diakui
kebenarannya. Kesaksian terdiri dari 2 jenis : 1). Laukika sabda : kesaksian yang didapat
dari orang-orang terpercaya dan kesaksiannya dapat diterima akal sehat, 2). Vaidika
sabda : kesaksian yang didasarkan pada naskah-naskah suci Veda sruti.

2. VAISESIKA
Vaisesika yang merupakan salah satu aliran filsafat India yang tergolong ke
dalam Ṣaḍ Darśana agaknya lebih tua dibandingkan dengan
filsafat Nyāya. Vaisesika dan Nyāya Darśana bersesuaian dalam prinsip pokok mereka,
seperti sifat-sifat dan hakikat Sang Diri dan teori atom alam semesta, dan dikatakan
pula Vaisesika merupakan tambahan dari filsafat Nyāya, yang memiliki analisis pengalaman
sebagai objektif utamanya.
Diawali dengan susunan pengamatan atas kategori-kategori (padārtha), yaitu
perhitungan atau perumusan tentang sifat-sifat umum yang dapat dikenakan pada benda-
benda yang ada di alam semesta ini, serta merumuskan konsep-konsep umum yang berlaku
pada benda-benda yang dikenal, baik melalui indra maupun melalui penyimpulan,
perbandingan, dan otoritas tertinggi. Sistem filsafat Vaisesika mengambil nama dari
kata Viśesa yang artinya kekhususan, yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda.
Jadi ciri pokok permasalahan yang diuraikan didalamnya adalah kekhususan (padārtha) atau
kategori-kategori yang nantinya akan disebutkan secara lebih terperinci.
Pendiri sistem ini adalah Rsi Kanada yang juga dikenal sebagai Rsi Uluka, sehingga
sistem ini dikenal juga sebagai ‘aulukya darsana’ dan dianggap juga dengan nama kasyapa
dan dianggap seorang Deva Rsi.
Padartha dalam vaisesika darsana berjumlah 7 kategori, yaitu :
1. Drawya : benda-benda atau substansi yang berjumlah 9 substansi, yaitu : tanah
(prthivi), air (apah), api (tejah), udara (vayu), ether (akasa), waktu (kala), ruang (dis),
roh (jiwa), dan pikiran (manas). Empat drawya pertama dan drawya terakhir (pikiran)
merupakan substansi abadi yang tidak meresapi segalanya namun dalam
persenyawaan sifatnya tidak abadi
Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

2. Guna : sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi, terdiri dari : rupa atau warna, rasa, bau
(gandha), sentuhan (sparsa), jumlah (samkhya), ukuran (parimana), keanekaragaman
(prthaktva), persekutuan (samyoga), keterpisahan (vibhaga), keterpencilan (paratva),
kedekatan (aparatva), bobot (gurutva), keenceran (dravatva), kekentalan (sneha),
suara (sabda), sifat pembiakan sendiri (samskara), budhi (pemahaman), sukha
(kesenangan), penderitaan (duhkha), kehendak (iccha), kebencian (dvesa), usaha
(prayatna), kebajikan (dharma), kekurangan/cacat (adharma). 8 guna yang terakhir
merupakan sifat dari roh, sedangkan yang lain milik dari substansi material.
3. Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan dengan unsur
dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri. Tidak semua substansi (zat)
dapat bergerak. Hanya substansi yang bersifat terbatas saja dapat bergerak atau
mengubah tempatnya. Sedangkan substansi yang tak terbatas (atma, hawa nafsu
dan akasa) tidak dapat bergerak karena telah memenuhi segala yang ada. Terdiri dari
gerakan keatas (utksepana), gerakan kebawah (avaksepana), gerakan membengkok
(A-kuncana), gerakan mengembang (prasarana), gerakan menjauh dan mendekat
(gamana).
4. Samanya : bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan :1) sifat umum yang
lebih tinggi dan lebih rendah, 2) jenis kelamin dan spesies.
5. Visesa : kekhususan yang dimiliki oleh 9 substansi abadi (drawya)
6. samavāya adalah sebuah hubungan yang tetap dan hanya berakhir ketika salah satu
di antara keduanya dihancurkan.
7. Abhava : ketidakadaan dan penyangkalan terdiri dari 4 jenis, yaitu : 1). Pragabhava :
ketidakadaan dari suatu benda sebelumnya, 2). Dhvasabhava : Penghentian
keberadaan, 3). Atyantabhava : ketidak adaan timbal balik, 4). Anyonyabhava :
ketiadaan mutlak.

3. SAMKHYA DARSANA
Kata ‘Samkhya’ berarti jumlah, dan system dari filsafat samkhya memberikan prinsip
dari alam semesta yang berjumlah 25 prinsip (tattwas). Istilah samkhya juga dipergunakan
dalam pengertian ‘vicara’ yaitu perenungan filosofis. Sri Kapila Muni merupakan pendiri
dari system filsafat samkhya, beliau sering pula disebut sebagai putra dari Brahma dan
awatara dari Wisnu.
Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

Samkhya tidak mengakui adanya satu jiwa universal yang menjadi penyebab segalanya,
sehingga sering disebut ‘Nir Isvara’ yaitu tidak mempercayai adanya Isvara atau Tuhan.
Samkhya darsana bersifat dualistik dan pluralitas karena mengajarkan bahwasannya purusa
sebagai asas roh yang jumlahnya banyak sekali. Prakrti dan purusa merupakan asas yang
sifatnya tanpa awal (anadi), tanpa akhir dan tak terbatas (ananta). Ketidak berbedaan
diantara purusa dan prakrti merupakan penyebab dari kelahiran dan kematian, dan
pembedaan dari keduanya akan memberikan pembebasan (mukti). Purusa bersifat tidak
terikat (asanga) dan merupakan kesadaran yang meresapi segalanya dan abadi, sedangkan
Prakrti merupakan pelaku dan penikmat. Purusa bersifat abadi dan tidak berubah, purusa
hanya menjadi saksi namun pernyataan kehadirannya seolah-olah terlibat dalam hukum
reinkarnasi, hal ini tidak lain karena kemelekatannya dengan prakrti. Prakrti merupakan ada
yang tanpa penyebab, sedangkan hasil-hasilnya disebabkan dan bergantung padanya.
Prakrti merupakan ketiadaan dari kecerdasan yang hanya bergantung pada unsur pokok
gunanya sendiri, yang terdiri dari 3 guna yaitu : 1). Sattwa (kemurnian, sinar, selaras), 2).
Rajas (nafsu, kegiatan, gerak), 3). Tamas (kegelapan, kemalasan, tanpa kegiatan). Kata guna
sendiri berarti tali yang nantinya menjadi pembelenggu dari roh. Ketiga guna ini tidak dapat
dipisahkan satu sama lain karena sifatnya saling menunjang.
Purusa dan Prakerti merupakan unsur yang bersifat kekal, halus, dan tidak dapat
dipisahkan. Purusa adalah unsur yang bersifat kejiwaan sedangkan Prakerti adalah unsur
yang bersifat kebendaan atau material. Pertemuan antara purusa dan prakrti membuat
prakrti berkembang dibawah pengaruh purusa, pertemuan ini mulai mengguncang guna
yang ada dalam prakrti sehingga membuatnya beraktifitas. Dari prakrti muncullah benih
besar alam semesta yang maha luas (Mahat). Kesadaran roh membuatnya sebagai sesuatu
yang sadar, sebagai kebangkitan alam dari kandungan kosmis, dari penampakan pikiran
pertama ini pula disebut dengan intelek (buddhi). Produk yang kedua adalah ahamkara,
sebagai rasa aku dan milikku (abhimana).
Dari ahamkara melalui ekses elemen satwa muncullah pikiran (Manas), lima organ
pengetahuan (panca budhindriya)
Panca budhinriya adalah yaitu 5 macam indriya yang berfungsi untuk mengetahui sesuatu
sebagai bagian dari Dasa Indria yang dalam bhuana alit:
1. Caksuindriya yaitu indriya pada mata yang berfungsi untuk melihat
2. Srotendriya yaitu indriya pada yang berfungsi untuk mendengar
Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

3. Ghranendriya yaitu indriya pada hidung yang berfungsi untuk mencium bau.
4. Jihwendriya yaitu indriya pada lidah yang berfungsi untuk mengecap rasa.
5. Twakindriya yaitu indriya pada kulit yang berfungsi untuk alat peraba.

Pancakarmendriya artinya lima indriya pelaku pada tubuh antara lain :


1. Panindriya yaitu indriya pada tangan yang berfungsi untuk mengambil, memegang
2. Padendriya yaitu indriya pada kaki yang berfungsi untuk berjalan
3. Wakindriya yaitu indriya pada mulut
4. Payuindriya yaitu penggerak pada pelepasan pada anus
5. Upasthendriya yaitu indriya pada kelamin laki-laki/bhagendriya pada kelamin wanita
Panca Tan matra yaitu lima unsur halus pembentuk bhuana agung dan bhuana alit. Unsur
– unsur dari Panca Tan Matra yaitu :
1. Sabda Tanmatra (bekas – bekas suara)
2. Sparsa Tanmatra (bekas – bekas rasa yang berasal dari sentuhan)
3. Rupa Tanmatra (bekas – bekas cahaya)
4. Rasa Tanmatra (bekas – bekas rasa yang pernah dikecap
5. Gandha Tanmatra (bekas – bekas bau)
Unsur – unsur yang ada diatas tersebut selanjutnya mengalami evolusi yaitu:
1. Sabda Tanmatra dapat berubah menjadi akasa (ether). Dalam tubuh manusia
berwujud segala rongga, misalnya rongga dada, mulut dan lainnya.
2. Sparsa Tanmatra dapat berubah bentuk menjadi bayu. Yang dalam tubuh manusia
dapat berupa nafas atau udara.
3. Rupa Tanmatra dapat berubah bentuk menjadi teja, yang berwujud zat atau sesuatu
yang panas dalam tubuh manusia.
4. Rasa Tanmatra dapat berubah bentuk menjadi apah. Apah ini dalam tubuh manusia
berwujud darah, lemak, empedu, dan segala yang bersifat cair.
5. Gandha Tanmatra dapat berubah menjadi perthiwi, yaitu zat padat yang ada dalam
tubuh manusia yang meliputi tulang, urat, kulit, kuku dan lainnya.
Panca Maha Bhuta adalah lima macam unsure zat alam yang bersifat kasar, terdiri dari :
1. Akasa (ether atau ruangan)
2. Wahyu (hawa atau udara)
3. Teja (api)
Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

4. Apah (air)
5. Perthiwi (tanah)
Akhirnya dari evolusi ini ada alam semesta beserta isinya. Seluruh unsur dari pertemuan
purusa dan prakrti akan selalu ada sepanjang zaman, walau dalam bentuknya yang berbeda-
beda. Seperti halnya manusia ketika mati terurai kembali jasadnya menjadi mahabhuta.
Hingga diyakini pada akhir zaman terjadi peleburan alam semesta maka dari pergerakan
evolusi, bergerak secara terbalik dan berlawanan dan pada akhirnya semua masuk kembali
kedalam prakrti, inilah yang disebut dengan proses penyusutan atau penguncupan.

4. YOGA DARSANA
Kata Yoga secara etimologi berasal dari kata “yuj” yang artinya menghubungkan. Yoga
artinya pengendalian aktivitas pikiran untuk menyatukan roh individu dengan roh tertinggih.
Dalam yoga sutra disebutkan “Yogas Citta Wrtti Nirodah” artinya Yoga sebagai
pengendalian benih-benih pikiran (citta) yang cenderung liar dari, dan masih lekat oleh
ragam objek duniawi. Pendiri filsafat Yoga adalah Maha Rsi Patanjali, filsafat yoga juga
merupakan tambahan dari samkhya. Pendiri sistematika yoga adalah Hiranyagarbha.
Filsafat Yoga mengakui Iswara sebagai Tuhan. Iswara merupakan purusa istimewa
yang tidak terpengaruh oleh penderitaan, Belau merupakan asas kemahatahuan, yang tidak
terpengaruh oleh waktu dan ruang, abadi. Filsafat yoga menerikan 25 tattwa dari samkhya,
tetapi menambahkan Isvara sebagai saksi yang abadi.
Filsafat yoga yang ditulis oleh Maha Rsi Patanjali terdiri dari 4 bagian, 196 sutra yang isinya
tentang:
1. Samadhipada menerangkan tentang filsafat, tujuan, dan bentuk ajaran yoga.
2. Sadhanapada menjelaskan tentang tahapan pelaksanaan yoga
3. Wibhutipada isinya mengajarkan tentang hal-hal yang bersifat batiniah (kekuatan
gaib dalam melakukan praktek yoga)
4. Kaiwalyapada isinya melukiskan tentang alam kelepasan dan keadaan jiwa yang
sudah terbebas dari ikatan duniawi
Ada delapan tahapan dalam beryoga yang disebut dengan Astanggayoga, yang diajarkan
oleh Maha rsi patanjali kedalam buku yang disbeut yoga sutra patanjali, bagian-bagiannya
sebagai berikut:
Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

1. Yama adalah pengendalian diri secara jasmani (ahimsa, satya, asteya, brahmacarya
dan aparigraha)
2. Niyama adalah pengendalian diri secara rohani (sauca, santosa, tapa swadhyaya dan
iswara pranidhana )
3. Asana adalah sikap duduk yang baik atau yang menyenangkan dalam beryoga
(silasana, bajrasana, padmasana, padasana)
4. Peranayama adalah pengaturan nafas sehingga menjadi lebih sempurna. (puraka
menari, kumbhaka menahan, recaka mengeluarkan)
5. Pratyaksa adalah pengontrol dan mengendalikan indria dari ikatan objeknya.
6. Dharana adalah usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang
diinginkan
7. Dhyana adalah pemusatan pikiran yang tenang dan tak tergoyahkan oleh siatu objek
8. Samadhi adalah penyatuan atman dengan sang diri sejati.

5. MIMAMSA DARSANA

Filsafat mimamsa juga disebut dengan Purwa mimamsa yang didirikan oleh Rsi Jaimini.
Purwa mimamsa artinya penyelidikan kedalam bagian kitab suci weda. Disebut dengan
istilah purwa mimamsa karena dianggap lebih awal dari uttara mimamsa. Mimamsa berarti
menganalisis dan mengerti seluruhnya, yang intinya memberikan tentang landasan filsafat
pada ritual-ritual dalam weda. Menurut mimamsa weda merupakan apuruseya, yang
artinya bukan karya manusia, karena weda terbebas dari berbagai kesalahan yang dibuat
manusia. Kitab weda yang termasuk sruti sebagai otoritas tertinggi (mencapai kebahagian
sejati).
Menurut Rsi Jaimini meneriman tiga pramana tentang pengamatan:
1. Pratyaksa pramana adalah pengamatan
2. Anumana pramana adalah penyimpulan
3. Sabda pramana adalah pembuktian weda

6. WEDANTA
Wedanta juga disebut dengan Uttara mimamsa yang artinya filsafat yang bersumber
langsung pada weda. Wedanta artinya bagian akhir weda (upanisad), upanisad yang
Ni Nyoman Risma Yanti, S.Pd.H
Guru Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

artinya duduk dekat dengan guru dalam rangka menerima ajaran-ajaran Tuhan melalui
seorang guru. Sumber filsafat wedanta adalah Upanisad, Bhagawadgita, Brahman sutra
(Prastana-traya).
Filosofis kehidupan wedanta merupakan pelengkap dan penyempurnaan filsafat hidup
mimamsa. Kehidupan bagi merika artinya mengasingkan diri (sanyasin) yangmerupakan
bagian akhir dari Catur Asrama. Tuhan dalam konsep wedanta bersifat mutlak, memiliki tiga
aspek yang tidak bisa dipisahkan:

1. Bhagawan (Tuhan yang berwujud pribadi)


2. Brahman (Tuhan impersonal)
3. Parama atman ( Tuhan yang meresap dalam segala sesuatu)
Tuhan yang menyebabkan adanya material dialam semesta, Tuhan juga mengembangkan
dirinya menjadi alam semesta guna lila dan kridanya. (Tuhan tetap utuh). Tuhan juga
merupakan Paramarthika Satta (realitas mutlak), alam dunia adalah Wyawaharika Satta
(realita relatif), objek-objek dari mimpi Prathibasika Satta (relitas yang nyata).

Anda mungkin juga menyukai