Anda di halaman 1dari 4

1

Dunia Pendidikan dalam Perspektif Hindu


(Sebuah Tinjauan Historis dan Filosofis Agama Hindu)
*


Oleh : Miswanto
**

Purwaka
Hindu adalah agama tertua di dunia yang banyak menyimpan monumen-monumen
sejarah yang selalu menarik untuk digali dan diteliti. Banyak para ahli dari Barat yang
datang ke wilayah-wilayah yang dahulu menjadi pusat-pusat peradaban Hindu untuk
dijadikan kajian dari berbagai macam bidang ilmu seperti : filsafat, humaniora, politik,
pendidikan dan sebagainya.
Weda sebagai kitab suci agama Hindu merupakan sumber ajaran agama Hindu
yang juga telah banyak memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan
di bumi ini. Para mahai yang merupakan penerima wahyu Weda juga telah mewariskan
seluruh pengetahuan suci tersebut kepada para murid-muridnya. Proses ini telah
berlangsung dalam jangka waktu sang sangat lama dan dilaksanakan secara turun-temuru
melalui sistem dan proses pendidikan yang khas. Sistem dan proses inilah yang akan
menjadi topik bahasan pada penulisan makalah singkat ini.
Tinjauan Historis Pendidikan dalam Sketsa Agama Hindu
Dunia pendidikan dalam sejarah Hindu sesungguhnya sudah berkembang sejak
ribuan tahun yang lalu. Sistem pendidikan pada masa itu menggunakan sebuah sistem
pendidikan yang dikenal sebagai "parapra". Hal ini sebagaimana sabda ri Ka yang
termaktub dalam Kitab Bhagawad Git IV.2 berikut :
HR9H" l Fd8 ll
Terjemahan :
Wahai Arjuna, demikianlah (ajaranku/yoga) diteruskan secara turun-temurun melalui
parapar, para raja ri mengetahuinya; ajaran ini lenyap di dunia bersamaan dengan
berlalunya masa yang amat panjang (Pudja, 2005 : 106).

Dalam sloka tersebut jelas sekali bahwa dahulu kala pendidikan dalam Hindu
menggunakan sistem Perguruan Weda yang disebut Parapar. Sistem ini dilaksanakan
dengan cara "pengasramaan" oleh para guru terhadap para iyanya yang pada awalnya
hanya dilakukan untuk para pertapa (Zoetmulder, 2006 : 70). Hal ini sesuai dengan arti asal
kata "pengasramaan" yang dari kata Sanskerta "rama" yaitu "tempat pemondokan untuk
para pertapa" (Sharma, 1985 : 34).
Secara historis, model pendidikan asrama dalam masyarakat Hindu memiliki akar
tradisi yang sangat tua dan lebih tua dibandingkan model sekolah. Model pendidikan
rama ini banyak mendapat inspirasi dari kearifan lokal karena diperkaya oleh epos
Ramayana dan Mahabharata yang kemudian memperoleh bobot kontekstual terkait dengan
konsep jna yaja, tri kya pariuddha, triguru dan konsep lcara lainnya.
Lebih jauh Svami Rama (2002 : 38) dalam buku "Living with The Himalayan
Masters" mengatakan bahwa sejak dahulu kala pada tradisi spiritual di Pegunungan
Himalaya India, seorang sisya harus hidup bersama gurunya di gua biara atau di pondok
gurunya. Sistem pemondokan ini juga disebut sebagai rama. Selama di rama inilah

*
Disampaikan pada acara Seminar Sehari "Membaca Banyuwangi dari Pintu Dunia Pendidikan" tanggal 22 Desember
2008 di Pondok Wina, Banyuwangi yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Guru Bantu Banyuwangi.
**
Wakil Sekretaris PHDI Kabupaten Banyuwangi, Staf Pengajar UNTAG Banyuwangi, Dosen Luar Biasa di STHD
Klaten, Wartawan Media Hindu, Penulis Lepas (Freelance) di beberapa media massa, Kini Aktif Memberikan Dharma
Wacana di wilayah Jawa Timur.
2
para sisya belajar baik melalui pengalaman langsung (pratyaka), membaca kitab suci
(agama) maupun dengan mendengarkan sabda-sabda gurunya.
Sistem pengasramaan tersebut kemudian oleh Rabindranath Tagore (1861-1941),
seorang sastrawan sekaligus filsuf dari India diejawantahkan kembali dalam bentuk
konsepsi pendidikan dengan sistem gurukula (Djumhur & Danasuparta, 1976 : 10). Pada
waktu itu Tagore mendirikan lembaga pendidikan yang bernama Shantiniketan yang
kemudian berkembang menjadi Universitas Vishva Bharati. Bentuk lembaga pendidikan
ini adalah rama. Sistem pendidikan Tagore ini berdasarkan religiousity, humanity and
culture atau keagamaan, kemanusiaan dan kebudayaan (Suwarno, 1988 : 119-120).
Selanjutnya konsep rama di Indonesia juga dapat kita lihat pada Sistem
Pendidikan Taman Siswa yang dirintis oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang
kemudian bergelar (abhiseka) menjadi Ki Hadjar Dewantara. Menurut Theo Riyanto
sebagaimana dilansir oleh www.bruderfic.or.id, perubahan nama tersebut menunjukkan
perubahan sikapnya dalam pendidikan yaitu dari "satria pinanita" ke "pinanita satria"
atau "dari pahlawan yang berwatak guru spiritual" ke "guru spiritual yang berjiwa ksatria,
yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara".
Perubahan nama ini merupakan tradisi turun temurun dalam sistem pendidikan asrama. Di
mana seorang iya yang sudah selesai menempuh pendidikan akan di-wiuddha sakara
dan diberi gelar (abhiseka) dengan cara berganti nama (amalih aran).
Pendidikan dalam Perspektif Filosofi Hindu
Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa pendidikan Hindu dilaksanakan melalui
sistem rama. Agama Hindu mengenal konsep ini dalam ajaran caturrama. Dalam
Kitab Agastya Parwa disebutkan bahwa caturrama adalah empat lapangan hidup yang
berdasarkan petunjuk kerohanian. Empat lapangan hidup tersebut terdiri dari beberapa
masa seperti : brahmacri (menuntut ilmu), ghastha (berumah tangga), vnaprastha
(pergi ke hutan untuk bertapa) dan bhikuka atau sanysa (menjadi pendeta). Dari
keempat lapangan hidup kerohanian itu, yang terkait dengan pendidikan secara langsung
adalah lapangan hidup atau pada masa brahmacri di mana pada masa ini seseorang
diharuskan untuk menuntut ilmu pengetahuan (ivnanda, 2003 : 55-58).
Pada masa brahmacri atau masa pendidikan ini, seorang murid (iya) diasuh oleh
seorang guru (crya) guna mencapai tujuan pendidikan Hindu yaitu menjadikan orang
lebih dewasa. Kata "dewasa" berasal dari kata Sanskerta "dewasya" yang berarti
mempunyai sifat kedewataan (daiw sampad). Dewa merupakan sinar suci Tuhan. Oleh
karena itu orang yang mempunyai sifat kedewataan akan mempunyai kecemerlangan
dalam segala hal.
Indikator daiw sampad menurut Kitab Bhagawad Gt XVI.1-3 yaitu : abhaya
(pemberani), sattwa sauddhir (berhati murni), vyavasthiti (mantab dalam mencari
ilmu), janayoga (berpengetahuan), dna (dermawan), dama (mengendalikan indriya),
yaja (mau berkorban), svdhyya (mempelajari kitab suci), tapa (pengekangan nafsu),
rjawa (jujur), ahis (tidak suka menyakiti), satya (benar), akrodha (tidak suka
marah), tyga (tidak egois), ntir (tenang dan suka kedamaian), apaiunam (tidak suka
memfitnah), day bhteu (menyayangi semua makhluk), aloluptwa (tidak bingung oleh
keinginan), mrdawam (lemah lembut), hri (sopan), acpalam (berketetapan hati), teja
(giat), kam (pemaaf), dhti (tabah dan ulet), aucam (suci), adroha (bebas dari
kedengkian dan dendam), dan ntimnita (tidak angkuh). Kesemuanya itu merupakan
indikator sifat-sifat kedewataan. Indikator-indikator tersebut pada hakikatnya merupakan
ciri-ciri dari orang yang sujana (orang yang baik) (Pudja, 2005 : 371-372). Hal inilah yang
harus selalu diupayakan oleh para guru sebagaimana tersirat dalam mantra Atharwaweda
XI.5.6 berikut ini :
3
NQ=NQ=
Terjemahan :
chrya atau para guru harus selalu memelihara keunggulan moral seperti pencipta alam
semesta (Prajpati) (Titib, 1998 : 434).

Guna mencapai indikator-indikator sebagaimana disebutkan di atas, maka dalam
setiap rama, ada aturan-aturan yang harus dilaksanakan oleh para iya-nya. Aturan-
aturan itu berupa disiplin diri (yama) dan kepatuhan (niyama). Yama terdiri dari : ahis
(tanpa kekerasan), satya (kejujuran), brahmcrya (pengendalian seks/nafsu), asteya (tidak
mencuri) dan aprigraha (tanpa kemewahan). Sedangkan niyama terdiri dari : auca
(pemurnian dalam dan luar) santoa (keteguhan dan kepuasan), tapas (pengendalian diri)
swdhyya (belajar mandiri) dan wara praidhna serta (penyerahan diri secara total)
(ivnanda, 2003 : 136-137).
Lebih jauh pendidikan menurut Hindu harus mampu mengubah seorang manusia
biasa (manawa) menjadi manusia yang mempunyai nilai kebajikan lebih tinggi (madhawa)
atau dengan lain perkataan dari manusia biasa menjadi meminjam istilah Iwan Fals
"Manusia Setengah Dewa". Dan bukan sebaliknya, membuat manawa menjadi danawa
(golongan raksasa) memberlakukan "matyanyya" (hukum rimba) yang kuat
menghancurkan yang lemah. Menjadi madhawa berarti harus memenuhi indikator-
indikator sebagaimana telah disebutkan di muka. Pemahaman ini sejalan dengan konsep
Driyarkara yang menyebutkan bahwa pendidikan merupakan upaya memanusiakan
manusia muda atau nguwongk uwong (Riyanto, 2007).
Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, maka menurut Hindu harus ada proses
pendidikan yang mengacu pada tiga hal yaitu : strata (pengetahuan dari buku), guruta
(kata-kata guru) dan swata (pengalaman pribadi). Ketiga hal tersebut juga merupakan
metode mendidik yang pada masa lampau dilaksanakan di asrama-asrama para mahari. Di
sini iya dituntut untuk belajar dari kitab atau buku, belajar dari guru dan selalu berbakti
kepadanya, serta melaksanakan praktek (sadhana) dari teori-teori yang didapatkannya.
Dari ketiga hal terkait metode mendidik tersebut guru sebagai sumber belajar
memegang peranan yang penting dalam setiap asrama. Guru juga dianggap sebagai
perwujudan Dewa (="HH). Dalam konsep teologi Hindu sendiri, wa yang
merupakan Mhadewa (Dewata Tertinggi) juga disebut sebagai "Bhaara Guru". Oleh
karena itu ilmu yang didapatkan dari seorang guru adalah sama dengan anugrah dari para
dewa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Kitab wasahit III.11 yang
menyebutkan :
HHHUHFH l ~FH"" ll
Terjemahan :
Hanya pengetahuan yang diberikan oleh seorang guru, melalui bibirnya sajalah yang penuh
kekuatan dan sangat bermanfaat, yang lainnya menjadi tanpa guna, lemah dan amat
menyedihkan (Vasu, 2000 : 43).

Banyak contoh dalam Kitab Itihsa dan Pura yang menceritakan tentang
hubungan antara guru dan iya-nya. Misalnya kisah Kara yang tidak bisa menggunakan
senjata brahmstra ketika berperang melawan rjuna karena dikutuk oleh gurunya.
Yudhistira ketika harus bertempur melawan gurunya, maka dia pun menyentuh kaki
gurunya dan memohon restu dariya sebelum perang dimulai. Kisah Bhagawan Dhomya
yang menguji ketiga iya-nya sebelum mereka berguru kepadanya. Dan masih banyak
cerita-cerita lain yang menceritakan tentang pentingnya peranan seorang guru dalam
pendidikan di rama.
4
Lontar lakrama sendiri menyebutkan ada tiga macam guru (tri kang sinanggah
guru). Ketiga macam guru tersebut adalah : Guru Rpaka atau orang tua, Guru Pangajyan
atau yang memberikan pendidikan rohani dan ilmu pengetahuan untuk mendapatkan
kesempurnaan, serta Guru Wiea atau pemerintah yang menjadi abdi untuk kesejahteraan
rakyat. Di antara ketiga guru tersebut Guru Pangajyan atau crya inilah yang
mendapatkan penghormatan lebih dari kedua guru yang lain (Puniyatmadja, 1976 : 24-25).
Terkait dengan konsep Triguru tersebut sesungguhnya pendidikan menurut Hindu
mempunyai tiga pilar istitusi yang pokok yaitu : keluarga, sekolah dan masyarakat.
Keluarga dalam hal ini dilaksanakan oleh Guru Rpaka (orang tua). Di sekolah anak akan
dididik oleh Guru Pangajyan. Sementara itu pada masyarakat diwakili oleh keberadaan
Guru Wiea.
Keluarga merupakan insitusi yang pertama dan utama dalam memberikan
pendidikan kepada anak. Seorang anak atau putra adalah mereka yang akan mengentaskan
orang tua dari penderitaan (neraka). Hal ini sesuai dengan asal kata putra yakni : put yang
berarti penderitaan/neraka dan tra(a) yang berarti membebaskan. Jika orang tua tidak bisa
memberikan pendidikan yang baik maka mereka akan menderita pada akhir hidupnya.
Berbicara mengenai pendidikan dalam keluarga, maka seorang ibu adalah unsur
yang paling vital dalam mendidik anak. Menurut Hindu ibu harus mengawali pendidikan
terhadap anak sejak dalam kandungan (prenatal) hingga akhir hayatnya. Ini terlihat dari
setiap sadcra yang dilaksanakan pada saat ibu mengandung.
Dalam cerita Itihsa ada beberapa ibu yang patut dijadikan suri teladan karena
mereka telah berhasil mendidik putra-putranya menjadi pahlawan-pahlawan besar. Mereka
adalah Gag, Kunt, Yasod, Kausaly, Sumitr dan St. Dalam gweda VIII.33.19
sendiri disebutkan " FNQNH~ " yang artinya : "istri/wanita sesungguhnya adalah para
sarjana dan pendidik (babhwitha)" (Titib, 1998 : 417).
Wasana Wakya
Bertolak dari pemaparan di atas maka dapat dikatakan bahwa pendidikan menurut
Hindu bukan hanya dilihat dari produk tetapi juga dari sistem dan prosesnya. Hal ini
sebagaimana tersirat dalam cuplikan Serat Wedatama karya Mangkunegara IV yang
menyebutkan " ".
Selanjutnya masalah pendidikan merupakan tanggung jawab bersama adantara tiga
institusi pokok yaitu : keluarga, sekolah dan masyarakat/pemerintah. Ketiga komponen ini
harus saling bahu membahu dan tidak perlu saling menyalahkan satu dengan lainnya.
Semoga bermanfaat (Siddhirastu).
Daftar Pustaka
Djumhur, I dan Danasuparta. 1976. Sejarah Pendidikan. Bandung : CV Ilmu.
Pudja, Gde. 2005. Bhagawad Gt (Pacama Veda). Surabaya : Paramita.
Puniatmaja, Ida Bagus. 1976. lakrama. Denpasar : PHDI Pusat.
Rama, Swami. 2002. Living with The Himalayan Masters. Surabaya : Paramita
Riyanto, Theo. 2007. Pendidikan Yang Humanis. diakses dari www.bruderfic.or.id.
Sharma, Mukunda Madhava. 1985. Unsur-unsur Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Indonesia.
Denpasar : Vyasa Sanggraha.
Suwarno, 1988. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta : Bina Aksara.
Titib, I Made. 1998. Veda Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya : Pramita.
ivnanda, r Swm, 2003. All about Hinduism. Surabaya : Paramita.
Vasu, Rai Bahadur rsa Candra, 2000. iva Sahit. Surabaya : Pramita.
Zoetmulder, P.J. 2006. Kamus Jawa Kuna Indonesia, terj. Darusuprapta, dan Sumarti Suprayitna,
Jakarta : Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai