Anda di halaman 1dari 14

TATTWA

Sebenarnya agama Hindu mempunyai kerangka dasar kebenaran yang sangat


kokoh karena masuk akal dan konseptual. Konsep pencarian kebenaran yang hakiki
di dalam Hindu diuraikan dalam ajaran filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam
agama Hindu dapat diserap sepenuhnya oleh pikiran manusia melalui beberapa cara
dan pendekatan yang disebut Pramana. Ada 3 (tiga) cara penyerapan pokok yang
disebut :
Tri Pramana.
"Tri" artinya tiga, "Pramana" artinya jalan, cara, atau ukuran. Jadi Tri Pramana adalah
tiga jalan/ cara untuk mengetahui hakekat kebenaran sesuatu, baik nyata maupun
abstrak yang meliputi:
1) Agama Pramana adalah suatu ukuran atau cara yang dipakai untuk
mengetahui dan meyakini sesuatu dengan mempercayai ucapan- ucapan kitab
suci, karena sering mendengar petuah petuah dan ceritera para guru, Resi atau
orang- orang suci lainnya.Ceritera- ceritera itu dipercayai dan diyakini karena
kesucian batin dan keluhuran budi dari para Maha Resi itu. Apa yang
diucapkan atau diceriterakannya menjadi pengetahuan bagi pendengarnya.
Misalnya: Guru ilmu pengetahuan alam berceritera bahwa di angkasa luar
banyak planet- planet, sebagaimana juga bumi berbentuk bulat dan berputar.
Setiap murid percaya kepada apa yang diceriterakan gurunya,
Oleh karena itu tentang planet dan bumi bulat serta berputar menjadi
pengetahuan yang.Diyakini kebenarannya, walaupun murid- murid tidak
pernah membuktikannya.Demikianlah umat Hindu meyakini Sang Hyang
Widhi Wasa berdasarkan kepercayaan kepada ajaran Weda,

melalui penjelasan- penjelasan dari para Maha Resi atau guru- guru agama,
karena sebagai kitab suci agama Hindu memang mengajarkan tentang Tuhan
itu demikian.
2) Anumana Pramana adalah cara atau ukuran untuk mengetahui dan meyakini
sesuatu dengan menggunakan perhitungan logis berdasarkan tanda- tanda atau
gejala- gejala yang dapat diamati. Dari tanda- tanda atau gejala- gejala itu
ditarik suatu kesimpulan tentang obyek yang diamati tadi. Cara menarik
kesimpulan adalah dengan dalil sebagai berikut:Yatra yatra dhumah, tatra
tatra wahnih . Dimana ada asap, disana pasti ada api.
Contoh:
Apabila kita memperhatikan sistem tata surya yang harmonis, di mana
bumi yang berputar pada sumbunya mengedari matahari, begitu pula
bulan beredar mengelilingi matahari pada garis edarnya, tidak pernah
bertabrakan, begitu teratur abadi. Kita lalu menjadi kagum dan
berpikir bahwa keteraturan itu tentu ada yang mengatur, the force of
nature, yaitu Sang Hyang Widhi Wasa.
3) Pratyaksa Pramana adalah cara untuk mengetahui dan meyakini sesuatu
dengan cara mengamati langsung terhadap sesuatu obyek, sehingga tidak ada
yang perlu diragukan tentang sesuatu itu selain hanya harus meyakini.
Misalnya menyaksikan atau melihat dengan mata kepala sendiri, kita jadi tahu
dan yakin terhadap suatu benda atau kejadian yang kita amati. Untuk dapat
mengetahui serta merasakan adanya Sang Hyang Widhi Wasa dengan
pengamatan langsung haruslah didasarkan atas kesucian batin yang tinggi dan
kepekaan intuisi yang mekar dengan pelaksanaan yoga samadhi yang
sempurna.

Dalam Wrhaspati Tattwa sloka 26 disebutkan:


Pratyaksanumanasca krtan tad wacanagamah pramananitriwidamproktam tat
samyajnanam uttamam. Ikang sang kahanan dening pramana telu, ngaranya,
pratyaksanumanagama. Artinya: Adapun orang yang dikatakan memiliki tiga cara
untuk mendapat pengetahuan yang disebut Pratyaksa, Anumana, dan Agama.
Pratyaksa ngaranya katon kagamel. Anumana ngaranya kadyangganing anon
kukus ring kadohan, yata manganuhingganing apuy, yeka Anumana ngaranya.
Artinya: Pratyaksa namanya (karena) terlihat (dan) terpegang. Anumana sebutannya
sebagai melihat asap di tempat jauh, untuk membuktikan kepastian (adanya) api,
itulah disebut Anumana.
Agama ngaranya ikang aji inupapattyan desang guru, yeka Agama ngaranya.
Sang kinahanan dening pramana telu Pratyaksanumanagama, yata sinagguh
Samyajnana ngaranya. Artinya: Agama disebut pengetahuan yang diberikan oleh
para guru (sarjana), itulah dikatakan Agama. Orang yang memiliki tiga cara untuk
mendapat pengetahuan Pratyaksa, Anumana, dan Agama, dinamakan Samyajnana
(serba tahu).
Tri Pramana ini, menyebabkan akal budi dan pengertian manusia dapat menerima
kebenaran hakiki dalam tattwa, sehingga berkembang menjadi keyakinan dan
kepercayaan. Kepercayaan dan keyakinan dalam Hindu disebut dengan sradha.
Dalam Hindu, sradha disarikan menjadi 5 (lima) esensi, disebut Panca Sradha.
Panca Sradha
Tiap agama dilandasi dengan keyakinan, di mana dalam agama Hindu dikenal
dengan istilah Sradha. Ada lima keyakinan yang disebut Panca Sradha yang
mendasari segala aspek kehidupan bagi umat Hindu.

1. Brahman (Keyakinan terhadap Tuhan)


Agama Hindu mendidik umatnya untuk yakin akan adanya kemahaagungan
Sang Hyang Widhi Wasa. Tuhan merupakan sumber segala yang ada di alam ini
baik yang tampak nyata maupun yang abstrak (sekala - niskala).

Tuhan berada di mana- mana dan mengatasi segala keadaan, ada tanpa
diadakan atau ada karena mengadakan dirinya sendiri (Wibhu Sakti),

Maha Pencipta (Krya Sakti), dan maha mengetahui segala- galanya (Jnana
Sakti).

Brahman adalah Maha Esa,oleh karena itu agama Hindu adalah Monotheisme.

Dalam menguasai alam semesta Tuhan Yang Maha Esa dikenal dalam berbagai
manifestasi sesuai fungsi dan kemahakuasaan- Nya dalam nama "Dewa" (Dewa
berasal dari kata Sanskerta DIW- Sinar).
:
Ekam sat wipra bahuda wadanti, agnim yamam matariswanam (Reg Weda
Mandala I Sukta 164, mantra 46) Artinya: Tuhan itu hanya satu adanya, oleh para
Resi

disebutkan

dengan

berbagai

nama

seperti:

AGNI,

YAMA,

MATARISWAN.Ekam Ewa Adwityam Brahman(Upanishad IV.2.1) Artinya:


Tuhan itu hanya satu

tidak ada duanya.

Narayadna dwityo 'asti kascit(Narayana Upanishad)Artinya: Narayana tidak ada


dua- Nya yang hamba hormati.
Banyak gelar lagi yang dipersembahkan oleh umat Hindu kepada Tuhan Yang
Maha Esa sebagai:

Sang Hyang Parameswara (Raja Termulia),

Parama Wisesa (Maha Kuasa),

Jagad Karana (Pencipta Alam) dan lain- lainnya.

Sebagai Pencipta Ia bergelar Brahma (Utpati),

sebagai Pemelihara dan Pelindung (Sthiti) Ia disebut Wisnu dan

dalam fungsi atau kekuasaan- Nya mengembalikan segala isi alam ini kepada
sumber asalnya (pralina) Ia bergelar Siwa.

Dalam ketiga gelar perwujudan inilah Ia disebut Tri Murti.


Sifat sifat Tuhan
Di dalam kitab Wrhaspatitattwa terdapat keterangan tentang sifat- sifat Tuhan
yang disebut Asta Sakti atau Astaiswarya yang artinya delapan sifat
kemahakuasaan Tuhan.
1. Hana Anima ngaranya, Kesaktian Tuhan yang disebut Anima "Anu" yang
berarti "atom". Anima dari Astaiswarya, ialah sifat yang halus bagaikan
kehalusan atom yang dimiliki oleh Sang Hyang Widhi Wasa.
2. hana Laghima ngaranya, Kesaktian Tuhan yang disebut Laghima Laghima
berasal dari kata "Laghu" yang artinya ringan. Laghima berarti sifat- Nya yang
amat ringan lebih ringan dari ether.
3. hana Mahima ngaranya, Kesaktian Tuhan yang disebut Mahima Mahima
berasal dari kata "Maha" yang berarti Maha Besar, di sini berarti Sang Hyang
Widhi Wasa meliputi semua tempat. Tidak ada tempat yang kosong (hampa)
bagi- Nya, semua ruang angkasa dipenuhi.

4. hana Prapti ngaranya, Kesaktian Tuhan yang disebut Prapti Prapti berasal
dari "Prapta" yang artinya tercapai. Prapti berarti segala tempat tercapai olehNya, ke mana Ia hendak pergi di sana Ia telah ada.
5. hana Prakamya ngaranya, Kesaktian Tuhan yang disebut Prakamya
Prakamya berasal dari kata "Pra Kama" berarti segala kehendak- Nya selalu
terlaksana atau terjadi.
6. hana Isitwa ngaranya, Kesaktian Tuhan yang disebut Isitwa Isitwa berasal
dari kata "Isa" yang berarti raja, Isitwa berarti merajai segala- galanya, dalam
segala hal paling utama.
7. hana Wasitwa ngaranya, Kesaktian Tuhan yang disebut Wasitwa Wasitwa
berasal dari kata "Wasa" yang berarti menguasai dan mengatasi. Wasitwa
artinya paling berkuasa.
8. hana Yatrakamawasayitwa ngaranya, Kesaktian Tuhan yang disebut
Yatrakamawasayitwa Yatrakamawasayitwa berarti tidak ada yang dapat
menentang kehendak dan kodrat- Nya.
Kedelapan sifat keagungan Sang Hyang Widhi Wasa ini, disimbulkan
dengan singgasana teratai (padmasana) yang berdaun bunga delapan helai
(astadala). Singgasana teratai adalah lambang kemahakuasaan- Nya dan daun
bunga teratai sejumlah delapan helai itu adalah lambang delapan sifat agung/
kemahakuasaan (Astaiswarya) yang menguasai dan mengatur alam semesta dan
makhluk semua.
2. Atman (Keyakinan terhadap Atman)
Atman adalah merupakan percikan- percikan kecil (halus) dari Brahman/ Sang
Hyang Widhi Wasa yang berada di dalam setiap makhluk hidup. Atman di dalam
badan manusia disebut: Jiwatman yaitu yang menghidupkan manusia. Hubungan

atman dengan badan ini ibarat bola lampu dengan listrik. Bola lampu tidak akan
menyala tanpa listrik, demikian pula badan jasmani takkan hidup tanpa atman.
Demikianlah atman itu menghidupkan sarwa prani (makhluk di alam semesta ini).
Indria tak dapat bekerja bila tak ada atman. Misalnya telinga tak dapat mendengar
bila tak ada atman, mata tak dapat melihat bila tak ada atman, kulit tak dapat
merasakan bila tak ada atman. Atman itu berasal dari Sang Hyang Widhi Wasa,
bagaikan matahari dengan sinarnya. Sang Hyang Widhi Wasa sebagai matahari
dan atma- atma sebagai sinar- Nya yang terpencar memasuki dalam hidup semua
makhluk.
1) Sifat- sifat Atman.
Di dalam kitab Bhagavad-Gita terdapat penjelasan tentang sifat- sifat atma.
Secara singkat sifat- sifat atma itu sebagai berikut:
Achedya : tak terlukai oleh senjata
Adahya : tak terbakar oleh api
Akledya : tak terkeringkan oleh angina
Acesyah : tak terbasahkan oleh air
Nitya : abadi
Sarwagatah : di mana- mana ada
Sthanu : tak berpindah- pindah
Acala : tak bergerak
Sanatana : selalu sama

Awyakta : tak dilahirkan


Acintya : tak terpikirkan
Awikara : tak berubah dan sempurna,tidak laki- laki atau perempuan.
Bhagavad-Gita II sloka 23, 24, dan 25 menyebutkan:
Sloka :nai'nam chhindanti sastrani na chai'nam kledayanty apo na soshayati
marutah
Artinya : Senjata tidak dapat melukai Dia dan api tidak bisa membakar- Nya
angin tidak dapat mengeringkan Dia dan air tidak bisa membasahiNya.
Sloka : Achedyo 'yam adahyo 'yam akledya 'soshya eva cha nityah sarwagatah
sthanur achalo 'yam sanatanah
Artinya : Dia tidak dapat dilukai, dibakar juga tidak dikeringkan dan dibasahi
Dia adalah abadi, tiada berubah tiada bergerak, tetap selama- lamanya.
Sloka : Awyakto 'yam achintyo 'yam Awikaryo 'yam uchyate tasmad ewam
widitasi 'nam na 'nusochitum arhasi
Artinya : Dia dikatakan tidak termanifestasikan tidak dapat dipikirkan, tidak
berubah- ubah dan mengetahui halnya demikian engkau hendaknya
jangan berduka.
Perkataan Dia dan Nya dalam sloka ini sama dengan atma. Jadi atma itu
dikatakan mengatasi segala elemen materi, kekal abadi, dan tidak terpikirkan.
Oleh karenanya atma itu tidak dapat menjadi subyek maupun obyek dan tindakan
atau pekerjaan. Dengan perkataan lain atma itu tidak terkena oleh akibat
perubahan- perubahan yang dialami pikiran, hidup, dan badan jasmani. Semua

bentuk ini bisa berubah, datang, dan pergi, tetapi atma itu tetap langgeng untuk
selamanya.
3. Karmaphala (Keyakinan terhadap hukum Karma).
Karmaphala terdiri dari dua kata yaitu karma dan phala, berasal dari bahasa
Sanskerta. "Karma" artinya perbuatan dan "Phala" artinya buah, hasil, atau
pahala. Jadi Karmaphala artinya hasil dari perbuatan seseorang.
Kita percaya bahwa perbuatan yang baik (subha karma) membawa hasil yang
baik dan perbuatan yang buruk (asubha karma) membawa hasil yang buruk. Jadi
seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang akan diterimanya, demikian
pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya.
Karmaphala memberi keyakinan kepada kita untuk mengarahkan segala tingkah
laku kita agar selalu berdasarkan etika dan cara yang baik guna mencapai citacita yang luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang buruk.
Phala dari karma itu ada tiga macam yaitu:
1. Sancita Karmaphala Phala dari perbuatan dalam kehidupan terdahulu
yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan
kehidupan kita sekarang.
2. Prarabda Karmaphala Phala dari perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa
ada sisanya lagi.
3. Kriyamana Karmaphala Phala perbuatan yang tidak dapat dinikmati pada
saat berbuat sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.
Dengan pengertian tiga macam Karmaphala itu maka jelaslah, cepat atau
lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu
pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Karmaphala mengantarkan roh

(atma) masuk Surga atau masuk neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma
baik maka pahala yang didapat adalah Surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu
berkarma buruk maka hukuman nerakalah yang diterimanya. Dalam pustakapustaka dan ceritera- ceritera keagamaan dijelaskan bahwa Surga artinya alam
atas, alam suksma, alam kebahagiaan, alam yang serba indah dan serba
mengenakkan. Neraka adalah alam hukuman, tempat roh atau atma mendapat
siksaan sebagai hasil dan perbuatan buruk selama masa hidupnya. Selesai
menikmati Surga atau neraka, roh atau atma akan mendapatkan kesempatan
mengalami penjelmaan kembali sebagai karya penebusan dalam usaha menuju
Moksa.
Menurut ajaran agama (dharma) yang diwahyukan ke dunia dengan
perantaraan para Maha Resi, maka segala baik buruk kegiatan (subha karma atau
asubha karma) akan membawa akibat tidak saja di dalam hidup sekarang ini tetapi
juga di akhirat (Surga dan neraka). Setelah atma (roh) dengan suksma sarira
(badan astral) terpisah dari stula sarira (badan wadag) dan membawa akibat pula
dalam penjelmaan yang akan datang (Punarbhawa), maka atma bersama dengan
suksma sariranya bersenyawa lagi dengan stula sarira. Sang Hyang Widhi Wasa
menghukumnya dengan hukum yang bersendikan Dharma. Dan Dia akan
merahmati atma seseorang yang berjasa dan yang melakukan amal kebajikan
yang suci (subha karma) dan Diapun akan mengampuni atma seseorang yang
pernah berbuat dosa, bila ia tobat dan tawakal serta tidak akan melakukan dosa
lagi.
Tuhan Yang Maha Tahu bergelar Yamadipati (pelindung Agung Hukum Keadilan)
yang selalu menjatuhi hukuman kepada atma yang tiada henti- hentinya
melakukan kejahatan atau dosa dan memasukkannya ke dalam neraka.
Di sini atma itu menerima hasil perbuatannya berupa neraka. Adapun penjelmaan
atma semacam ini adalah sangat nista dan derajatnya pun semakin merosot, jika ia
selalu berbuat jahat.

4. Punarbhawa / Samsara (Keyakinan terhadap penjelmaan kembali).


Kata punarbhawa terdiri dari dua kata Sanskerta yaitu "punar" (lagi) dan
"bhawa" (menjelma). Jadi Punarbhawa ialah keyakinan terhadap kelahiran yang
berulang- ulang yang disebut juga penitisan atau samsara. Dalam Pustaka suci
Weda tersebut dinyatakan bahwa penjelmaan jiwatman berulang- ulang di dunia
ini atau di dunia yang lebih tinggi disebut samsara. Kelahirannya yang berulangulang

ini

membawa

akibat

suka

dan

duka.

Punarbhawa atau samsara terjadi oleh karena jiwatman masih dipengaruhi oleh
Wisaya dan Awidya sehingga kematiannya akan diikuti oleh kelahiran kembali.
5. Moksa (Keyakinan terhadap bersatunya Atman dengan Brahman).
Tujuan hidup umat Hindu ialah mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin
(moksartham jagadhita). Kebahagiaan batin yang tertinggi ialah bersatunya
Atman dengan Brahman yang disebut Moksa. Moksa atau mukti atau nirwana
berarti kebebasan, kemerdekaan atau terlepas dari ikatan karma, kelahiran,
kematian, dan belenggu maya/ penderitaan hidup keduniawian. Moksa adalah
tujuan terakhir bagi umat Hindu. Dengan menghayati dan mengamalkan ajaran
agama dalam kehidupan sehari- hari secara baik dan benar, misalnya dengan
menjalankan

sembahyang

batin

dengan

menetapkan

cipta

(Dharana),

memusatkan cipta (Dhyana) dan mengheningkan cipta (Semadhi), manusia


berangsur- angsur akan dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi ialah
bebas dari segala ikatan keduniawian, untuk mencapai bersatunya Atman dengan
Brahman.
Bhagavad-Gita VII. 19: Bahunam janmanam ante jnnanawan mam
prapadyate Wasudewah sarwam iti sa mahatma sudurlabhah

Artinya: Pada akhir dari banyak kelahiran orang yang bijaksana menuju kepada
Aku, karena mengetahui bahwa Tuhan adalah semuanya yang ada.
Berbekal Panca Sradha yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan
hidup seorang Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan
lahir dan batin yaitu Jagadhita dan Moksa. Ada 4 (empat) jalan yang bisa
ditempuh, jalan itu disebut Catur Marga.
CATUR MARGA
Berdasarkan dasar ajaran agama Hindu Panca Sradha, kita mengenal ajaran
Moksa yang mempunyai makna kembalinya roh individu kepada Tuhan Yang Maha
Pencipta. Dalam usaha perjalanan manusia menuju kepada Tuhan, ada empat jalan
yang harus ditempuh yaitu Catur Marga. Catur artinya empat dan Marga artinya jalan.
Jadi Catur Marga artinya: empat jalan yang harus ditempuh dalam usaha manusia
menuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Empat jalan tersebut adalah Bhakti
Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Raja Marga.
1. BHAKTI MARGA
Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan jalan
sujud bakti kepada Tuhan. Dengan sujud dan cinta kepada Tuhan Pelindung dan
Pemelihara semua makhluk, maka Tuhan akan menuntun seorang Bhakta, yakni
orang yang cinta, bakti dan sujud kepada- Nya untuk mencapai kesempurnaan.
Dengan menambah dan berdoa mohon perlindungan dan ampun atas dosadosanya yang pernah dilaksanakan serta mengucap syukur atas perlindungannya,
kian hari cinta baktinya kepada Tuhan makin mendalam hingga Tuhan
menampakkan

diri

(manifest)

di

hadapan

Bhakta

itu.

Tuhan memelihara dan melindungi orang yang beriman itu, supaya hidupnya
tetap tenang dan tenteram. Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah

rajin menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas, seperti melaksanakan Tri
Sandhya yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari, pagi, siang, dan sore hari dan
bersembahyang hari suci lainnya.

2. KARMA MARGA
Karma Marga berarti jalan atau usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa
dengan melakukan kebajikan, tiada terikat oleh nafsu hendak mendapat hasilnya
berupa kemasyhuran, kewibawaan, keuntungan, dan sebagainya, melainkan
melakukan kewajiban demi untuk mengabdi, berbuat amal kebajikan untuk
kesejahteraan umat manusia dan sesama makhluk.
Selain itu Karma Marga berhampiran inti ajarannya dengan Bhakti Marga, yaitu
mengarahkan segala usaha, pengabdian kebijaksanaan, amal dan pengorbanan itu
bukan dari dirinya sendiri melainkan dari Tuhan.
3. JNANA MARGA
Jnana Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai jagadhita dan Moksa
dengan mempergunakan kebijaksanaan filsafat (Jnana). Di dalam usaha untuk
mencapai kesempurnaan dengan kebijaksanaan itu, para arif bijaksana (Jnanin)
melaksanakan dengan keinsyafan bahwa manusia adalah bagian dari alam
semesta yang bersumber pada suatu sumber alam, yang di dalam kitab suci Weda
disebut Brahman atau Purusa.
Di dalam Upanishad dijelaskan bahwa Brahman atau Purusa adalah sebagai
sumber unsur- unsur rohani maupun jasmani semua makhluk dan sumber segala
benda yang terdapat di alam ini. Brahman sebagai sumber segala- galanya
mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan hukum kodrat, atau sifatnya yang
menyebabkan Brahman berubah menjadi serba segala, rohaniah maupun

jasmaniah (sekala- niskala). Menginsyafi bahwa segala yang ada, rohani maupun
jasmani, benda yang berwujud (Sthula) maupun abstrak (suksma) bersumber pada
Brahman, maka para bijaksana (Jnanin) memandang bahwa semua benda
jasmaniah (jasad) dan wujud rohani (alam pikiran dan sebagainya) yang timbul
dari Brahman adalah benda dan wujud yang bersifat sementara (relatif). Hanya
sumbernya yaitu Brahman (Siwa) Yang Maha Agung yang sungguh- sungguh ada
dan mutlak (absolut).
Dengan kebijaksanaan (Jnana) mereka dapat mencapai dharma yang memberikan
kebahagiaan lahir batin dalam hidupnya sekarang, di akhirat (Swarga) dan dalam
penjelmaan yang akan datang (Swarga Cyuta). Andaikata rahmat melimpah
akhirnya mereka dapat menginjak alam Moksa yaitu kebahagiaan yang kekal,
yang menyebabkan roh (Atma) bebas dari penjelmaan.
4. RAJA YOGA MARGA
Raja Yoga Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai Jagadhita dan
Moksa melalui pengabdian diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa yaitu mulai
berlangsung dan berakhir pada konsentrasi.
Dalam arti yang lebih luas yoga ini mengandung pengertian tentang pengekangan
diri. Dengan pengendalian diri yang ketat, tekun dalam yoga, maka persatuan
Atman dengan Brahman akan tercapai.
Demikianlah tattwa Hindu Dharma. Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian.
Istilah- istilah yang disebutkan di atas janganlah dianggap sebagai dogma, karena
dalam Hindu tidak ada dogma. Yang ada adalah kata- bantu yang telah disarikan dari
sastra dan veda, oleh para pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat yang
mendapatkan pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang hakiki.

Anda mungkin juga menyukai