Kisah ini memang disebut sebagai mitos penciptaan versi Buddhis, tapi sebenarnya hanya
dibaca sebagai sebuah fabel. Tujuannya bukan untuk menjawab tentang apa dan siapa yang
menciptakan kita, melainkan untuk menolak kasta. Kelihatannya cerita ini ditujukan untuk
menentang kisah-kisah dalam Veda agama Hindu yang membenarkan adanya kasta. Penolakan
Sang Buddha terhadap sistem kasta juga dapat ditemukan dalam beberapa naskah awal; seperti
kisah dari seorang siswa bernama Upali.
Agganna Sutta bisa ditemukan di Sutta Pitaka dari Tipitaka Pali. Sutta ini merupakan sutta ke-27
dalam Digha Nikaya. Diperkirakan sutta ini dibabarkan oleh Sang Buddha dan dilestarikan
secara lisan sampai pada abad ke-1 SM baru dituliskan.
Berikut ini kisah dalam Agganna Sutta, yang sudah diparafrase dan dirangkum secara padat.
Demikianlah yang pernah saya dengar – ketika Sang Buddha sedang menetap di Savatthi,
terdapat dua orang kasta Brahmana ingin bergabung dengan Sangha. Suatu hari, mereka
melihat Sang Buddha sedang berjalan-jalan. Karena ingin mendengar ajaran dari Beliau, mereka
berdua pun mendekati Sang Buddha.
Sang Buddha berkata, “Kalian berdua adalah kasta Brahmana, tapi sekarang kalian tinggal
bersama orang-orang tak berumah dengan latar belakang berbeda-beda. Apakah reaksi
Brahmana lain?”
“Tidak bagus,” mereka balas berkata. “Kami dicela dan dikecam. Mereka mengatakan bahwa
para Brahmana terlahir dari mulut Dewa Brahma, sedangkan kasta-kasta lebih rendah terlahir
dari kaki Dewa Brahma, sehingga kami tidak boleh bergaul dengan orang-orang kasta rendah.”
“Para Brahma lahir dari seorang ibu, sama seperti semua orang lainnya,” kata Sang Buddha.
“Serta orang-orang yang bermoral maupun tak bermoral, atau berbudi luhur maupun yang
tidak, dapat ditemukan dalam setiap kasta. Orang yang bijak tidak memandang kasta Brahmana
lebih tinggi daripada semua orang, karena seseorang yang telah mencapai penerangan dan
menjadi Arahat lah yang sesungguhnya lebih tinggi dari semua kasta.
“Orang bijak tahu bahwa siapapun di dunia ini yang meyakini Dhamma dapat mengatakan,
‘Saya terlahir dari Dhamma, diciptakan oleh Dhamma, dan merupakan pewaris Dhamma,’ tanpa
peduli ia terlahir di kasta apa.
“Ketika alam semesta berakhir dan berkontraksi, serta sebelum alam semesta baru dimulai,
kebanyakan makhluk dilahirkan di alam Brahma Abhassara. Makhluk-makhluk bercahaya ini
berusia sangat panjang, dan bertahan hidup hanya dengan kebahagiaan. Dan sementara alam
semesta berkontraksi, tidak ada matahari atau bintang, planet ataupun bulan.
“Lalu, pada kontraksi terakhir, sebuah bumi pun terbentuk; indah dan harum dan manis
dirasakan. Makhluk-makhluk ini, yang telah merasakan tanah yang lezat, mulai mendambakan
tanah tersebut. Mereka duduk dan memakan tanah manis itu dengan serakah dan tamak,
sampai-sampai cahaya mereka menghilang. Cahaya yang terlepas dari tubuh mereka pun
menjadi bulan dan matahari, sehingga siang dan malam, serta bulan, tahun, dan musim pun
dapat dibedakan.
“Ketika makhluk-makhluk mengisi perut dengan tanah manis, tubuh mereka menjadi makin
kasar. Beberapa di antara mereka wajahnya tampan dan cantik, tapi ada juga yang jelek
mukanya. Mereka yang berwajah tampan membenci yang jelek dan menjadi sangat sombong,
sehingga membuat tanah manis menghilang. Karena kejadian ini, mereka merasa sangat sedih.
“Akan tetapi, kemudian sebuah fungus, atau jamur, mulai tumbuh serta rasanya manis dan
enak sekali. Jadi, sekali lagi mereka pun memakannya dengan rakus, dan tubuh mereka pun
menjadi semakin kasar lagi. Dan lagi, yang tampan menjadi sombong, sehingga fungus tersebut
menghilang. Setelah itu, mereka menemukan tanaman merambat yang rasanya manis, lalu
semua pun terulang kembali.
“Kemudian, beras pun muncul dalam jumlah banyak. Apapun beras yang mereka panen akan
tumbuh kembali keesokan harinya, oleh sebab itu selalu ada makanan yang tersedia untuk
semua orang. Pada saat inilah, tubuh mereka mengembangkan organ-organ kelamin, yang
menyebabkan hawa nafsu. Mereka yang berhubungan badan dibenci oleh makhluk-makhluk
lain, sampai-sampai diusir keluar dari desa. Akan tetapi, makhluk yang diasingkan kemudian
juga membangun desa mereka sendiri.
“Makhluk-makhluk yang telah tunduk pada nafsu berahi semakin lama semakin malas, dan
mereka pun memutuskan tidak memanen beras setiap kali waktu makan. Sebagai gantinya,
mereka akan memanen cukup banyak beras untuk dua, lima, atau 16 kali makan. Akan tetapi,
beras yang disimpan malah berjamur, dan padi-padi di ladang tidak lagi tumbuh kembali
secepat sebelumnya. Kekurangan makanan membuat mereka saling curiga dengan satu sama
lain, sehingga akhirnya ladang dibagi-bagi menjadi properti-properti yang terpisah.
“Pada akhirnya, seorang pria berbohong dan mengambil lahan orang lain tanpa izin. Oleh
karena itu, perbuatan mencuri dan berbohong pun terlahir. Orang-orang yang murka pada pria
ini kemudian memukulinya dengan kepalan tangan serta tongkat, dan hukuman pun terlahir.
“Ketika hal-hal jahat ini muncul, para makhluk memutuskan untuk memilih seorang pemimpin
yang tugasnya menghakimi dan memutuskan hukuman. Kejadian ini pun memulai kasta Ksatria,
yaitu kasta para pejuang dan pemimpin.
“Sementara itu, beberapa orang memutuskan untuk menyingkirkan hal-hal duniawi, dan
mereka membangun gubuk-gubuk di hutan dan bermeditasi sepanjang waktu. Akan tetapi,
mereka yang tidak terlalu pandai bermeditasi tetap tinggal di desa-desa dan menulis buku
mengenai agama. Mereka inilah yang merupakan Brahma pertama.
“Kemudian, sisanya ada yang menjadi saudagar, sehingga kasta Waisya atau pedagang pun
terbentuk; sedangkan yang lain menjadi pemburu, buruh, dan pelayan; orang-orang inilah yang
membentuk kasta terendah kasta Sudra.
“Siapapun dari kasta apapun bisa saja berbudi luhur, atau bisa juga tidak berbudi luhur.
Siapapun dari kasta apapun juga bisa berjalan di jalan Dhamma, sehingga akhirnya mencapai
Nibbana dalam kehidupan ini.
“Dhamma lah yang terbaik bagi semua orang, dalam kehidupan ini maupun kehidupan
berikutnya. Mereka yang bijaksana dan berperilaku baik lah yang terbaik di antara para dewa
dan manusia.”
Kemudian, kedua Brahmana tersebut pun berbahagia mendengar ucapan Sang Buddha.