Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

DIBUAT OLEH :
ANGELA FEBRIANI C. THENGGARA
BAB II
PEMBAHASAN
2.I Tradisi Bakar Uang Arwah, Cara Etnis Tionghoa
Menghormati Leluhur di Alam Baka
Meski tak terdengar familiar, tradisi membakar uang bukanlah hal yang janggal bagi
masyarakat keturunan Tionghoa, baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya. Tradisi
membakar uang sudah menjadi ritual yang dilakukan secara turun-temurun selama ribuan
tahun.
Tradisi membakar uang diadakan hampir di setiap hari besar dan juga acara
pemakaman. Uang yang digunakan juga bukan uang asli yang biasa kamu gunakan untuk
bertransaksi di kehidupan sehari-hari.

Uang palsu dibakar dalam api yang menyala

Ritual membakar uang menggunakan uang palsu atau yang dikenal sebagai uang
arwah atau uang hantu. Dilansir Culture Trip, ritual membakar uang hantu diyakini berasal
dari tradisi yang tercipta sekitar 2.500 tahun lalu.
Menurut catatan sejarah, ritual membakar uang arwah pertama kali dilakukan pada
zaman Dinasti Jin (265-420). Sejak saat itu, ritual membakar uang menjadi tradisi umum di
zaman kekaisaran selanjutnya, seperti Dinasti Tang dan Dinasti Song. Tradisi ini merupakan
campuran dari Taoisme, Buddha, dan cerita rakyat daerah. Konon, membakar uang kertas
dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang telah meninggal di akhirat.
Seorang ibu menyambangi pemakaman anggota keluarganya
Ritual membakar uang paling sering ditemukan pada awal April yang dikenal sebagai
Festival Qingming. Dalam merayakan Festival Qingming, orang-orang keturunan Tionghoa
akan mengunjungi makam leluhur mereka, membersihkannya, dan membakar uang kertas
sebagai persembahan.
Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, uang bisa membelikanmu kebahagiaan
bahkan di akhirat. Sehingga dengan membakar uang palsu saat pemakaman, mereka bisa
memastikan bahwa leluhurnya memiliki banyak uang di dunia setelah kematian.
Jadi, anggota keluarga yang masih hidup tak perlu cemas memikirkan kehidupan
anggota keluarganya yang telah meninggal. Karena jiwa-jiwa yang telah meninggal itu punya
uang untuk membeli barang dan kebutuhan mereka, agar dapat merasa nyaman di alam baka.

Uang arwah dibakar sebagai bentuk persembahan pada leluhur dan dewa

Membakar uang arwah juga merupakan bentuk pemujaan terhadap para leluhur, yang
mana leluhur memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kekayaan atau nasib anggota
keluarganya yang masih hidup.
Memberikan kehangatan bagi setiap keluarga untuk mengenang leluhur maupun
anggota keluarga yang telah tiada. Dan barang yang dibakar menjadi representasi
pembersihan bagi segala hal duniawi.

Ilustrasi uang arwah atau uang palsu untuk ritual pembakaran

Dihimpun dari berbagai sumber, dulunya, uang arwah terbuat dari kertas bambu yang
kasar atau kertas merang. Kertas itu dipotong persegi panjang dan didekorasi menggunakan
cap atau motif lainnya, tergantung daerah penghasilnya.
Ada tiga jenis uang arwah yang biasa digunakan dalam ritual pembakaran. Pertama
adalah uang tunai biasa atau yang dikenal pula sebagai uang tembaga. Uang ini dibakar
sebagai persembahan bagi orang-orang yang baru meninggal atau roh-roh yang tak diketahui
asalnya. Lalu jenis kedua adalah uang perak, yakni uang yang dipersembahkan untuk arwah
leluhur dan dewa lokal. Jenis terakhir adalah uang emas yang dipersembahkan bagi dewa-
dewi yang berada di langit, salah satunya adalah Kaisar Giok.

Salah seorang keturunan Tionghoa tengah melipat uang arwah untuk dibakar
Ritual membakar uang tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Jika kamu
melakukannya dengan cara yang salah, maka kabarnya, arwah yang ada di sekitarmu akan
kebingungan. Untuk membedakan uang arwah dengan yang sungguhan, biasanya pelayat
akan melipat uang tersebut. Di beberapa kasus tertentu, anggota keluarga biasanya tak cuma
membakar uang palsu saja. Tetapi juga rumah, mobil, cek bank dengan nominal tertentu, dan
berbagai benda elektronik lainnya, yang berbentuk replika dari kertas.

Uang dan persembahan lainnya dalam berbagai bentuk dibakar sedang dibakar
Lantas, mengapa mesti dibakar? Dalam perspektif agama Buddha, kosmos Buddha
terbagi dalam tiga alam yang masing-masing terdiri dari sejumlah alam kecil yang bila ditotal
mencapi 31 alam. Ketiga alam tersebut, yaitu alam indria, alam bermateri halus, dan alam
tanpa materi. Keberadaan dewa api lah yang dianggap menjadi penghubung antara ketiga
alam itu. Tradisi bakar uang masih dilaksanakan hingga kini, di berbagai negara, di berbagai
daerah. Kamu bisa menemukannya di acara-acara besar etnis Tionghoa.
Namun, di beberapa negara seperti Singapura, Taiwan, dan Hong Kong yang
memiliki banyak masyarakat keturunan Tionghoa khususnya yang memeluk Buddha, tradisi
ini biasanya dipusatkan di tempat peribadatan seperti klenteng. Menarik, ya. Kamu sendiri
pernah mengikuti tradisi ini?
2.2 Penghormatan leluhur dalam budaya Tionghoa

Penghormatan Leluhur pada budaya Tionghoa (Hanzi =敬祖;hanyu pinyin =jìngzǔ)


adalah kebiasaan yang dilakukan anggota keluarga yang masih hidup untuk berusaha
mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang sudah meninggal dan membuat mereka
berbahagia di akhirat. Praktik tersebut merupakan upaya untuk tetap menunjukkan bakti
kepada mereka yang telah meninggal, dan juga memperkokoh persatuan dalam keluarga dan
yang segaris keturunan. Menunjukkan rasa bakti kepada leluhur merupakan sebuah ideologi
yang berakar mendalam pada masyarakat Tionghoa. Dasar pemikirannya adalah kesalehan
anak (孝, xiào) yang ditekankan oleh Kong Hu Cu. Kesalehan anak adalah sebuah konsep
untuk selalu mengasihi orang tua sebagai seorang anak. Dipercaya bahwa meskipun orang
yang terkasih telah meninggal, hubungan yang terjadi selama ini masih tetap berlangsung,
serta orang yang telah meninggal memiliki kekuatan spiritual yang lebih besar dibandingkan
pada saat masih hidup. Pengertiannya adalah para leluhur dianggap menjadi dewa yang
memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan mempengaruhi kehidupan anggota keluarga
yang masih hidup.
Inti kepercayaan terhadap pemujaan leluhur adalah bahwa masih adanya "kehidupan"
setelah kematian. Dipercaya bahwa jiwa orang yang meninggal terbuat dari komponen Yin
dan Yang yang disebut hun dan po. Komponen Yin, po (魄), diasosiasikan dengan
makam,dan komponen Yang, hun (魂), diasosiasikan dengan papan nama leluhur yang
dipajang pada altar penghormatan leluhur (sekarang sering kali digantikan dengan memajang
foto). Po mengikuti tubuh ke dalam makam (ke pengadilan)dan hun tinggal dalam papan
nama leluhur. Hun dan po tidaklah abadi dan perlu dipelihara (diberi makan) dengan
persembahan, atau keduanya akan pergi ke akhirat (meskipun hun pergi ke surga terlebih
dulu). Tidak seperti istilah yang digunakan bangsa barat, akhirat tidak memiliki konotasi
negatif.
Keadaan pemujaan leluhur di Republik Rakyat Tiongkok modern dilaporkan mengalami
penurunan pada wilayah yang lebih dipengaruhi oleh rezim komunis (yang tidak ramah
terhadap praktik keagamaan). Namun pada daerah pedesaan, dan juga Taiwan, pemujaan
leluhur dan praktiknya masih biasa ditemukan.
 Ajaran Kong Hu Cu
Konfusius mengajarkan pentingnya memahami serta melaksanakan Lima Etika (Wu Lun).
Lima Etika merupakan aturan dalam berinteraksi agar kehidupan masyarakat menjadi
harmonis. Kelima hubungan tersebut adalah:

 Antara pemimpin dan rakyat


 Antara ayah dan putra
 Antara suami dan istri
 Antara kakak dan adik
 Antara yang lebih tua dan yang lebih muda
Semenjak masa hidup Konfusius hingga abad ke-20, kematian orang tua secara umum
memiliki arti bahwa anak-anak mereka akan berkabung selama tiga tahun. Masa tiga tahun
tersebut melambangkan tiga tahun pertama pada kehidupan anak-anak saat mereka dirawat
dan dicintai secara penuh oleh orang tua mereka. Praktik perkabungan tersebut termasuk
mengenakan baju goni, tidak mencukur rambut, makan bubur dua kali sehari, tinggal dalam
gubuk berkabung yang didirikan di samping rumah. Dikisahkan bahwa setelah kematian
Konfusius, para muridnya melakukan periode tiga tahun perkabungan ini untuk menunjukkan
komitmen mereka pada ajaran dia.
 Ritual Berkabung
Praktik berkabung biasanya menggunakan tata cara yang terperinci, dan yang umumnya
selalu ada adalah: Meratap sebagai penanda bahwa terjadi kematian di dalam keluarga,
keluarga mengenakan pakaian putih pemakaman, memandikan jenasah, mempersembahkan
barang-barang secara simbolis kepada jiwa yang meninggal (seperti uang dan makanan),
menyiapkan dan memasang papan arwah, memanggil spesialis ritual (pendeta Tao atau
Buddhis), memainkan musik atau membacakan doa untuk menemani jenasah dan
menenangkan jiwa yang meninggal, menutup peti jenasah, menjauhkan peti dari masyarakat.
[3]
 Terdapat kepercayaan bahwa keras-tidaknya ratapan yang dikeluarkan menggambarkan
hubungan orang yang meratap dengan yang meninggal.
Jika orang yang meninggal berusia di bawah 80 tahun, semua perlengkapan (lilin, kain
nama, taplak meja, dan sebagainya) menggunakan warna putih. Tetapi jika yang
bersangkutan berusia lebih dari 80 tahun, peralatan yang digunakan sebagian berwarna merah
untuk menandakan bahwa ia telah mengalami hidup yang panjang dan bahagia. Warna merah
bagi masyarakat Tionghoa memiliki arti bahagia, sedangkan putih berarti berduka-cita.
Masyarakat Tionghoa tradisional juga membedakan antara keturunan
dalam dan keturunan luar. Keturunan dalam adalah semua anak, cucu, cicit, dan buyut yang
berasal dari anak pria; sementara keturunan luar berasal dari anak wanita. Anggota keluarga
yang termasuk ke dalam keturunan dalam menggunakan ikat kepala berwarna putih yang
dijahit dengan seperca kain goni, sedangkan anggota keluarga yang termasuk keturunan luar
mengenakan ikat kepala putih yang dijahit dengan seperca kain merah.
 Ritual Pemakaman
Menurut budaya tradisional Tionghoa, dikatakan bahwa terdapat dua hal penting yang
harus dilakukan seseorang agar hidupnya dapat dikatakan sempurna; Pertama adalah
memakamkan ayahnya, kedua adalah memakamkan ibunya. Pemakaman dianggap menjadi
bagian dalam perjalanan hidup normal sebuah keluarga, dan menjadi pemersatu keluarga-
keluarga dari generasi ke generasi. Tujuan utamanya adalah melindungi jiwa yang meninggal
dari roh jahat, mengarahkan jiwa Yin ke bumi, dan jiwa Yang menuju tempat para leluhur.
Pemakaman memastikan jiwa yang meninggal merasa nyaman dan tenteram, serta
memberikan peruntungan bagus bagi para keturunannya. Saat orang yang terkasih meninggal,
jenasahnya dimandikan dan dikenakan pakaian pemakaman (atau "pakaian panjang umur"
yang melambangkan umur panjang bagi jiwa.
Profesional Tao atau Buddhis juga dapat dipanggil dalam proses pemakaman untuk
mengusir roh-roh jahat dan memberi energi bagus kepada yang meninggal. Keluarga akan
meletakkan papan leluhur di atas altar pada rumah mereka di antara papan-papan arwah
leluhur yang lainnya. Tindakan tersebut melambangkan persatuan para leluhur, serta demi
kepentingan garis keturunan keluarga.[2] Hio dinyalakan di depan altar setiap harinya, dan
persembahan seperti makanan favorit, minuman, dan uang arwah (kimcoa) dipersembahkan
setiap bulannya. Uang arwah adalah uang kertas yang dibakar (sehingga dapat diterima
jiwa leluhur dan mereka gunakan di akhirat); pada zaman sekarang juga disediakan bentuk
kartu kredit arwah, televisi arwah, sepeda arwah, dan sebagainya Semakin kaya sebuah
keluarga, mereka biasanya juga akan semakin lama menunda masa penguburan; peti mati
akan ditempatkan pada ruangan rumah yang disediakan untuk waktu yang lebih lama.
Contohnya adalah, sebuah pemakaman yang menguntungkan dapat terjadi beberapa tahun
setelah penguburan, tulang-belulangnya digali, dicuci, dikeringkan, dan disimpan dalam guci
tanah liat (keramik). Setelah selang beberapa waktu, isinya akan dimakamkan kembali untuk
terakhir kalinya pada lokasi yang telah dipilih oleh seorang ahli feng shui.
 Penghormatan Selanjutnya
Para keturunan orang yang meninggal akan memakamkan leluhur mereka bersama
dengan barang-barang yang mereka harapkan akan dibawa ke akhirat. Beberapa keluarga
kerajaan meletakkan bejana perunggu, tulang orakel, serta korban manusia atau binatang di
dalam makam. Semua persembahan tersebut dipandang sebagai segala sesuatu yang akan
dibutuhkan jiwa tersebut di akhirat dan sebagai wujud bakti kepada leluhur. Persembahan
yang paling umum adalah membakar hio dan lilin, dan mempersembahkan arak serta
makanan.[1] Seorang medium shi (尸) adalah perwakilan persembahan dari keluarga orang
yang meninggal semenjak masa Dinasti Zhou (1045 SM-256 SM). Selama upacara shi, roh
orang yang meninggal akan memasuki sang medium yang selanjutnya akan makan dan
minum persembahan serta menyampaikan pesan spiritual.
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang

Pada hakekatnya manusia telah diberi anugrah oleh Allah SWT berupa akal dan nafsu, akal
dan nafsu inilah yang mendorong manusia untuk menciptakan sesuatu yang dapat
mewujudkan cita-cita atau penghargaannya. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut manusia
telah menciptakan sains, teknologi dan seni sebagai salah satu sarana sehingga sejak saat itu
kehidupan manusia mulai berubah. Selain itu sains, teknologi, dan seni juga telah
mempengaruhi peradapan manusia dalam kehidupannya terutama dalam bidang budaya.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan seni diharapkan dapat memberikan pengaruh
yang positif terhadap bidang-bidang lain, khususnya budaya yang menjadi kebanggaan
bangsa Indonesia. Pemanfaatan kemajuan teknologi, dan seni secara baik haruslah
diterapkan, sehingga dapat menjaga kelestarian budaya bangsa.

Manusia tidak dapat lepas dari kebudayaan, disebabkan kebudayaan merupakan cara
beradaptasi manusia dengan lingkungannya yang merupakan warisan sosial. Dan kebudayaan
itu sendiri bagi manusia berguna untuk mengatur hubungan antar manusia dan sebagai wadah
masyarakat menuju taraf hidup tertentu yang lebih baik, manusiawi, dan berperi
kemanusiaan.

1.2          Tujuan dan manfaat

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan sedikit informasi bagi yang
belum mengetahui adat istiadat daerah saya Thiongkok dan memberikan kemudahan bagi
setiap orang untuk memahami segala aspek tentang kebudayaan adat istiadat daerah saya.

Kita sebagai subyek yang berperan utama mempunyai peranan yang sangat penting
dalam aspek sebagai pelaku budaya. Dengan kita menjaga kelestarian budaya maka kita dapat
melestarikan kebiasaan-kebiasaan yang membentuk pribadi kita masing-masing. Budaya
merupakan ciri khas dari suatu daerah yang menggambarkan hubungan kebersamaan atau
panutan di antara masyarakat setempat.

Dari banyak ragam budaya dan adat istiadat didunia ini terkhususnya indonesia kita
ini yang ada masing-masing memiliki adat nya masing-masing dari budaya tersebut. Dan cara
melakukannya juga berbeda-beda, ini menunjukkan bahwa budaya adat istiadat merupakan
cerminan dari diri seseorang dan setiap golongannya masing masiing.
Banyak manfaat yang kita peroleh dari kita mengikuti budaya adat istiadat kita,
namun bukan budaya adat yang menyimpang. Melainkan, budaya adat yang sudah kita tekuni
mulai dari kita lahir yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat setempat.
Kebersamaan, gotong royong, kekeluargaan dan hubungan timbal balik lainnya.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.I Simpulan
Telah diuraikan dalam pendahuluan tentang bagaimana kepercayaan kaum Tionghoa,
bahwa salah satu aspek dari kebudayaan adalah religi. Khusus dalam skripsi ini penulis
mengetengahkan tentang religi atau kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa, terhadap
pengaruh Roh-roh dan hantu dalam kepercayaan mereka serta perayaan Zhong Yuan Jie.
Permasalahan yang menjadi perhatian penulis adalah mengenai kepercayaan masyarakat
Tionghoa terhadap kesaktian Roh-roh dan hantu, serta masih mengamalkan kepercayaan
traditional dalam kehidupan mereka, walaupun sudah dihambat waktu yang moderen. Yang
mana dilihat, ratarata kepercayaan tersebut hanya dianggap sebatas dongeng atau cerita
rekaan semata-mata. Akan tetapi dari hasil pengamatan penulis, kepercayaan tersebut masih
mengakar dan kuat dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa bahkan diamalkan kepercayaan
tersebut dan diturunkan kepercayaan itu kepada anak dan cucu mereka.
Selain kepercayaan terhadap Roh-roh dan hantu, penghormatan terhadap leluhur telah
membentuk suatu moral yang baik dalam masyarakat Tionghoa. Ianya menyangkut
solidaritas kekeluargaan dan menguatkan hubungan kekeluargaan itu sendiri. Tata kehidupan
moral yang berlaku dalam masyarakat Tionghoa didasarkan atas ajaran Konfusianisme,
Sistemetika yang diajarkan oleh Konfusius menyangkut keselarasan hubungan manusia.
ianya menjadi filsafat dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Mengenai makna dan Fungsi
perayaan Zhong Yuan Jie ini. Banyak fungsi baik yang ada di dalam perayaan tersebut,
perayaan ini juga memberi kesan yang baik dari segi sosial masyarakat,ekonomi dan
sebagainya. Dari segi makna perayaannya juga memberikan pemahaman tentang pelaksanaan
perayaan tersebut terhadap mereka yang ingin memahami kebudayaan masyarakat Tionghoa
ini.
Peran yang dilakukan oleh komunitas masyarakat Tionghoa dalam mempertahankan
kebudayaan masyarakat Cina juga harus diberi pujian. Karena walaupun masyarakat Cina
hanya sebatas penduduk yang minoritas di provinsi Terengganu. Mereka dengan gigihnya
membentuk komunitas dalam usaha mempertahankan kebudayaan Cina di provinsi
Terengganu, walaupun mereka terpaksa menangani beberapa masalah dan cabaran dalam
usaha ini. Akan tetapi mereka berjaya mempertahankan kebudayaan dan tradisi mereka,
sehingga berjaya membentuk Kampung Cina sebagai kubu kebudayaan Cina di Kuala
Terengganu.

3.2 Saran-saran
Dari hasil penelitian mengenai perayaan Zhong Yuan Jie ini, penulis melihat ada
beberapa hal yang harus diperhatikan demi kelestarian budaya ini, sebagai wujud kepedulian
kita terhadap khazanah budaya masyarakat Tionghoa yang berwarna warni ini. Peran dari
komunitas masyarakat Tionghoa hendaklah lebih bekerja keras dalam melestari dan
mengekalkan kebudayaan Cina di Kampung Cina tersebut, karena dampaknya dari
melestarikan budaya dapat masyarakat bukan Cina memahami kebudayaan masyarakat
Tionghoa, dengan itu akan terbit saling menghormati akan kebudayaan masing-masing.
Kerajaan juga perlu memainkan peranan dalam membangun serta menjaga keutuhan
Kampung Cina sebagai kubu budaya masyarakat Cina.
Dengan demikian Juga akan memberikan kesan yang baik pada perekonomian negeri,
karena Kampung Cina juga sebagai perkampungan yang bersejarah, maka akan menaikkan
sektor pelancongan dengan lebih baik, kesannya akan memberi manfaat yang baik kepada
perekonomian negara
DAFTAR INI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

1.2 TUJUAN DAN MANFAAT

BAB II PEMBAHASAN

2.1 TRADISI BAKAR UANG ARWAH, CARA ETHINIS


TIONGHOA MENGHORMATI LELUHUR DI ALAM
BAKA

2.2 PENGHORMATAN LELUHUR DALAM BUDAYA


TIONGHOA

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 SIMPULAN

3.2 SARAN

Anda mungkin juga menyukai