Anda di halaman 1dari 4

TUGAS SOSIO ANTROPOLOGI

“Kebudayaan masyarakat Desa Tempurejo-Jember pada bulan


Muharam”

Dikumpulkan guna memenuhi tugas Ujian Tengah Semester


yang dibimbing oleh bapak Imam Bonjol Jauhari

Oleh:

Robiatus Soleha (082143021)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
DESEMBER 2015
Tempurejo adalah sebuah kecamatan di kabupaten jember. Desa
Tempurejo adalah desa yang sangat luas wilayahnya. Daerah kami merupakan
daerah yang luas akan kebudayaan, diantaranya adalah penggunaan bahasa yang
umum diterapkan dalam masyarakat Tempurejo-Jember. Bahasa yang digunakan
ialah bahasa madura. Bahasa yang sangat diminati oleh masyarakat kami dan
menjadi kebudayaan dalam masyarakat kami. Karena desa kami termasuk desa
pesantren salaf maka salah satu contoh yang diperoleh yaitu dalam hal pembacaan
kitab. Di daerah kami menggunakan bahasa madura halus. Berbeda sekali ketika
diterapkan di daerah Mangli-Jember yang dalam pembacaan kitab menggunakan
bahasa jawa.

Adapun kebudayaan yang sangat kental ketika berada di daerah Tempurejo


yaitu pada saat bulan Muharram. Bulan muharram adalah bulan dimana umat
islam mengawali tahun kalender hijriyah berdasarkan peredaran bulan.
Masyarakat desa kami berkeyakinan bahwa bulan muharram ini adalah bulan
keramat. Atas dasar keyakinan ini banyak di kalangan masyarakat kami yang
enggan menikahkan putrinya pada bulan ini karena alasan masyarakat kami akan
membawa sial dan kegagalan dalam berumah tangga. Selain itu masyarakat desa
kami merayakan tahun baru hijriyah dengan berbondong-bondong ke tempat
wisata terbaik di tempurejo, yaitu Super Galaxy. Disana kami mempersiapkan
bekal makanan untuk dimakan bersama-sama, belanja serta berdo’a bersama-sama
yang bertujuan untuk kedepannya menjadi masyarakat yang lebih baik.

Selain itu, masyarakat desa kami selalu menyambut tahun baru Islam 1
Muharram dengan selamatan khusus membuat jenang suro ( bubur suro). Bubur
suro yang sepintas mirip dengan bubur jakarta ini di buat hanya khusus pada
bulan suro, tetapi tidak diseragamkan tanggal pembuatannya. Jenang suro terbuat
dari beras, diberi kuah kare, ditaburi irisan dadar telor, kacang tanah goreng, tahu,
tempe, daun seledi dan cabe merah sebagai penghias.

Namun, kami sendiri tidak mengetahui apa arti dari jenang suro itu.
Termasuk simbol-simbol dari penampilan jenang suro, karena saat selametan
digelar tanpa mengundang tetangga, atau diacaran secara khusus. Niat dilafalkan
dalam hati, kemudian setelah jenang selesai dimasak dan ditata penampilan ,
selanjutnya akan diantar ke sanak saudara, tetangga, masing-masing satu piring.

Selain menggelar sendiri, masyarakat desa kami juga akan menerima


balasan dari tetangga yang akan menggelar selametan secara khusus pada hari
berikutnya, pada hari yang sama atau hari sebelumnya. Acara ini tidak
diumumkan secara khusus melalui masjid, namun lebih kepada kesadaran
individu.

Masyarakat desa kami selalu menyisihkan beras dan uang untuk


meneruskan tradisi membuat jenang suro. Meskikadang kurang faham apa arti
semua yang mereka lakukan. Bila dalam satu hari ada lebih dari satuwaga yang
menggelar selametan jenang suro, maka akan terjadi saling tukar jenang suro.
Tidak ada istilah, karena ini sudah menggelar selametan, terus tidak mendapatkan
dari tetangga yang menggelar.

Secara fisik, bentuk jenang suro sama dengan jenang yang lain, ada bubur
putih dari beras dari bubur beras, ada wana merah dari hiasan cabe merah,
sedangkan kuahnya warna kuning yaitu kuah kare berbahan kunyit. Menariknya,
saat mengantar dengan piring. Penerima tinggal menarik daun pisang yang di
bentuk bulat sebagai alas, kemudian dipindah ke piringnya sendiri. Kiranya
menjadi pekerjaan kita bersama, untuk mengungkapkan makna tradisi dari
selametan jenang suro. Agar kita juga bisa menjelaskan kepada generasi muda,
bahwa yang dilakukan orang tuanya itu ad maknanya, baik yang tersirat maupun
tersurat.

Selain itu, pada saat bulan muharram menjelang, sebagian masyarakat


kami berpuasa dan menyantuni anak-anak yatim serta membelaikan tangannya
pada rambut anak yatim.

Adapun hadis dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah pernah bersabda “


dan barang siapa yang membelaikan tangannya pada rambut (kepala) anak yatim
di hari asyura, maka Allah mengangkat derajat orang tersebut untuk satu kali helai
rambut satu derajat. Dan barang siapa memberikan ( makan dan minum) untuk
berbuka bagi orang mukmin ada malam asyura, maka pada malam asyura, maka
orang tersebut seperti memberikan makanan kepada seluruh umat Muhammad
saw dalam kedaan kenyang semuanya. Justru itu banyak masyarakat kami
mengamalkan hadis tersebut dengan membelaikan tangannya ke rambut anak
yatim.

Anda mungkin juga menyukai