Semua berjumlah delapan disebut Walisana yang berarti Dununganing Wali (tempatnya
Wali) (Bandingkan antara kalimat Walisana dengan Wali Songo sekarang, barang
kali karena ditelan masa dari kalimat Walisana berubah menjadi Wali Songo.
Sedangkan Jumlahnya yang sembilan disesuaikan dengan keadaan, yaitu di jawa
timur ada 5, jawa tengah ada 3 dan jawa barat ada 1, dimana angka ini dan angka 9
sangat erat hubungannya dalam syarat laku dalam ilmu jawa,. Pen.)
TERJEMAHAN BEBAS SULUK WALI SANA
YANG MENCERITAKAN ASAL MULA WALI DI TANAH JAWA
Lanjut cerita, Sayid Nges dengan Sayid Jakoeb pergi ke tanah Jawa, Sajid
Nges menuju Majalengka, sayid Jakoeb menuju Balambangan. Sajid Nges oleh
Prabu Brawijaya,diberi gelar Soetamaharadja kemudian pergi ke Ngampel Dento,
dan menjadi Imam di Demak. Sajid Jakoeb kemudian dijadikan menantu oleh Prabu
Blambangan kawin dengan Dewi Sabodi, dan diberi nama Pangeran Lanang.
Pangeran Lanang kemudian diusir oleh Prabu Blambangan disebabkan kerena
menyiarkan Agama Islam. Selanjutnya Pangeran Lanang pergi ke Ngampeldento
dan menjadi imam di Tukangan.
Alkisah Dewi Sabodi pada saat ditinggal oleh Pangeran Lanang sedang
mengandung, dan melahirkan bayi laki-laki yang selanjutnya dilarung oleh Prabu
Blambangan yang kebetulan pada saat itu di Blambangan terjadi Pageblug atau
wabah penyakit dan dikiranya penyebabnya adalah bayi tersebut. Kendaga yang
berisi bayi pada akhirnya ditemukan oleh Juragan Kamboja yang tidak disebutkan
namanya di Gesik dan dirawat, karena usianya yang sudah lanjut akhirnya juragan
tersebut meninggal dunia sedangkan bayinya dipelihara oleh Nyai Juragan yang
kemudian diberi nama Raden Satmata.
Oleh sebab semua uangnya habis untuk beramal, tukang perahu dalam
rombongan yang bernama Baroes Samsoe menuntut Raden Satmata soal habisnya
uang. Raden Satmata menjelaskan kepada tukang prahu, bahwa semua orang yang
mau menolong kepada sesama tentu akan mendapatkan pahala dari Tuhan,
kemudian Raden Satmata memuja suatu benda sehingga berubah menjadi emas
dan intan sehingga tukang perahu percaya pada mangunah yang dimiliki Raden
Satmata. Raden Satmata kemudian memerintahkan agar kapal yang berjumlah tiga
buah diisi dengan batu padas, kerikil, pasir dan daun pisang kering untuk dibawa
pulang. Setelah sampai, Raden satmata berdo’a pada Tuhan, sehingga pasir
berubah menjadi beras dan kopi, batu padas jadi emas dan kerikil berubah menjadi
inten dan sesampainya di Benang semua barang tersebut dibagi-bagikankan,
sedangkan Tukang Prahu mendapat bagian paling banyak yang kemudian dijadikan
modal berdagang. Raden Satmata pergi menggembara lagi.
Lanjut cerita, Raden Satmata di Benang ingin pergi ke Mekah dan mampir
dulu di Malaka untuk menemui Maulana Iskak untuk berguru. Setelah Maulana Iskak
bertanya ternyata Raden Satmata adalah cucunya sendiri anak dari Wali Lanang.
Raden Satmata kemudian minta diajari tentang ilmu sejatinya Pangeran, ilmu
sejatinya Allah Muhammad, nama tujuh dan perbuatannya sampai tamat. (Karena
Sulit diterjemahkan inti ajaran tidak diuraikan, demikian pula untuk inti ajaran
selanjutnya hanya pokok-pokoknya saja)
Setelah merasa cukup berguru, Raden Satmata tidak jadi pergi ke Mekah,
tetapi kembali ke Benang. Tidak lama kemudian pindah ke Jipang terus ke Tandes
dengan menumpang kapal milik Ki Panangsang, untuk menemui Pangeran di Nitih.
Setelah bertemu akhirnya Raden Satmata diangkat anak serta dijadikan Imam
Agama bergelar Pangeran Kalifah. Tidak lama kemudian pindah ke Girigajah untuk
bertafakur. Selanjutnya pergi ke Ngampel dan bertemu dengan Sunan Ngampel
untuk berguru. Sunan Ngampel mengajarkan manunggalnya makhluk dengan Tuhan
(Manunggaling Kawulo Gusti). Kemudian Raden Satmata yang telah berjuluk
Pangeran Kalipah diambil manantu oleh Sunan Ngampel kemudian pulang ke
Tandes untuk menjadi Raja Pandita dan menjadi Imam Agama dan akhirnya
menetap di Girigajah.
Syech Maulana Iskak, Kakek Sunan Ngampel (Anak Syech Yunus) pergi ke
Jawa bersama dengan anaknya yang bernama Kalipah Kusen dengan tujuan ke
Ngampel. Setelah sampai di Ngampel kemudian meneruskan perjalanan ke Madura.
Di Madura diambil menantu ipe oleh Prabu Lembupeteng kawin dengan anak dari
Aya Baribin.Setelah agak lama mengajarkan Agama Islam di Madura, akan tetapi
Sang Parabu tetap tidak mau masuk Islam yang pada akhirnya keduanya diusir dan
Maulana Iskak kembali ke Malaka sedangkan Kalipah Koesen kembali ke Ngampel.
Maulana Machribi dan Maulana Gaibbi saudara muda dari Maulana Koesen
pergi ke Jawa menuju ke Ngampel Dento. Maulana Machribi kawin dengan Retna
Marakis anak dari Arja Tedja di Tuban. Maulana Gaibbi kawin dengan Niken
Soedara anak dari Gadjah Maodara. Kemudian keduanya menetap di Banten, akan
tetapi Maulana Machribi kembali ke Ngegri Cempa dikarenakan di Banten tidak
kerasan.
Sajid Djen juga ke Jawa, menuju ke Ngampel terus menetap di Cirebon dan
terkenal dengan nama Soenan Goenoengdjati.
Siti Oemikasoem, anak dari Syech Wali’oelislam dengan anak dari Syech
Soetamaharadja yang bernama Siti Djenab mengungsi ke Cirebon berlindung
kepada Soenan Goenoengdjati.
Raden Patah tetap pada pendiriannya dan tidak mau untuk menjadi raja,
dan akhirnya melarikan diri bersama Raden Koesen. Dalam perjalanan, keduanya
berjumpa dengan Syech Sabil untuk bersama-sama meneruskan perjalanan menuju
ke Pulau Jawa. Dalam perjalanan madapatkankan rintangan dirampok, akan tetapi
ketiganya selamat dan melanjutkan perjalanan menuju Gunung Rasamuko. Pada
akhirnya ketiganya ditolong oleh Juragan Layar sehingga sampai ke Pulau Jawa.
Raden Patah berguru kepada Soenan Ngampel, Raden Koesen dan Syech Sabil
mengabdi kepada Prabu Brawijaya. Raden Koesen diangkat menjadi Dipati Teroeng.
Syech Sabil diutus ke Ngampel, di situ diperintahkan ke Ngudung, sehingga Syech
Sabil terkenal dengan nama Sunan Ngudung.
Pada saat yang lain, Raden Patah meminta tempat tinggal kepada Sunan
Ngampel, dan akhirnya diperintah untuk menetap di Bintara yang ada tumbuhannya
bernama Glagah Wangi
Sunan Kalijaga berjalan ke arah Utara sehingga sampai di tepi laut. Sunan
Kalijaga menemui kebingungan yang sangat dalam karena tidak bisa menyebarangi
lautan, sehingga Sunan Kalijaga bertafakur. Pada akhirnya Nabi Khidir datang
menemui Sunan Kalijaga dan mengajarkan Ilmu yang sangat banyak. (tidak
diterjemahkan) Untuk cerita tersebut bisa dibandingkan dengan kisah Dewa
Rutji yang dibuat oleh Kapunjanggan Surakarta pada abad 19 M. Dan juga
hampir sama dengan Suluk Linglung Sunan Kalijaga/Syech Malaya,
karangan Imam Anom pada tahun 1086 Caka/1884 Masehi. Atau dalam
Wayang ceritanya mirip dengan Lakon Bima Suci (Tambahan Pen).
Setelah Sunan Kalijaga ditinggal oleh Nabi Khidir, Sunan Kalijaga termangu
di tepi laut. Setelah agak lama Sunan Kalijaga Pulang dan semenjak itu Sunan
Kalijaga terkenal dengan nama Sunan Kalijaga.
Pada saat yang lain Sajid Ngalimurkid saudara Sunan Ngampel lain Ibu
pergi ke Tanah Jawa menuju ke Ngampel. Oleh Sunan Ngampel disuruh menetap di
Mejagung sehingga terkenal dengan nama Pangeran Mejagung (berbeda dengan
Sunan Mejagung), akan tetapi beliau tidak termasuk golongan Wali, hanya termasuk
Wali Nukba yang artinya Wali tututan atau sambungan Wali, atau disebut juga Wali
Anakan. Sedangkan yang termasuk Wali di Tanah Jawa adalah yang disebut
Sinuwun dalam arti sebagai panutan, yaitu :
1. Sunan Tembayat
2. Sunan Giri Parapen
3. Sunan Kudus
4. Sultan Sah Ngalam Akbar
5. Pangran Wijil di Kadilangu
6. Pangran Ngewongga
7. Ke Gede Kenanga Pengging
8. Pangeran Konang
9. Pangeran Cirebon
10. Pangeran Karanggayam
11. Ki Ageng Sela
12. Pangeran Panggung
13. Pangeran di Surapringga
14. Kyai Juru Martani di Giring
15. Kyai Ageng Pamanahan
16. Buyut Ngerang
17. Ki Gede Wanasaba
18. Panembahan Palembang
19. Ki Buyut di Banyubiru
20. Ki Ageng Majasta
21. Ki Ageng Gribig
22. Ki Ageng di Karotangan
23. Ki Ageng Toyajene
24. Ki Ageng Toyareka
25. Pamungkas Wali Raja Soeltan Agung.
Pada hari jum’at yang telah ditentukan, jadilah Sunan Giri akan
mengajarkan Ilmu Rahasia kepada murid-muridnya. Syech Lemahbang segera
merobah dirinya menjadi cacing kalung dan menyusup di bawah perahu yang
digunakan oleh Sunan Giri untuk mengajarkan Ilmu Rahasia. Sunan Giri sebetulnya
sudah tau bahwa ada penyusup, akan tetapi tetap dibiarkan, sehingga Syech
Lemahbang bisa mendengar semua ajaran Ilmu Rahasia-nya Sunan Giri. Setelah
dikuasinya semua Ilmu Rahasia, Syech Lemahbang pergi dari Giri dan mendirikan
Padepokan sendiri serta menjadi Guru Besar dalam oleh Ilmu bathin sehingga
terkenal dengan sebutan Pangeran Sitijenar.
Lain cerita, bahwa pada saat itu di Majapahit sedang terjadi wabah yang
mengakibatkan banyak para penduduk yang meninggal dunia. Prabu Brawijaya
memerintahkan kepada Kyai Bubak dan Djenal Ngabidin, meminta syarat kepada
Sunan Giri, akan tetapi Sunan Giri tidak berkenan. Sunan Giri menyatakan bahwa
apabila Prabu Brawijaya mau menghadap langsung kepada Sunan Giri, serta
menyerahkan kerajaan kepada Sunan Giri, maka barulah Sunan Giri berkenan
memberi syarat. Sebab sudah kehendak Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kerajaan
sudah waktunya dipindahkan ke Giri.
Lanjut cerita, Prabu Anom di Palembang yaitu anak dari Adipati Pecatonda
yang dahulu diangkat menjadi patih oleh Sunan Giri, pada saat itu sedang berada di
Tandes dengan membawa prajurit. Setelah Sunan Giri mendengar kabar tersebut,
maka Sunan Giri menyuruh untuk memanggil Prabu Anom. Akan tetapi Prabu Anom
tidak berkenan, bahkan jawabannya mau menghadap Sunan Giri dengan syarat
diperbolehkan duduk sama tinggi dengan Sunan Giri. Sunan Giri marah, akan tetapi
ditutupi kemarahannya itu. Akhirnya Prabu anom diperkenankan duduk sama tinggi
dengan Sunan Giri.
Singkat cerita Prabu Anom sudah menghadap dan duduk sama tinggi
dengan Sunan Giri. Pada saat itu Sunan Giri menunjukan kemarahannya. Prabu
Anom dimarahi oleh Sunan Giri sehingga Prabu Anom sangat ketakutan dan tidak
bisa berkata apa-apa, malahan badannya lemas dan turun dari tempat duduk sambil
menyembah kepada Sunan Giri. Akhirnya Prabu Anom dimaafkan dan diambil anak
angkat oleh Sunan Giri. Sunan Giri sangat menyayangi Prabu Anom, bahkan Prabu
anom dianggap sebagai anak kandungnya sendiri dan dianggap sebagai anak yang
paling tua dan diberi gelar Prabu Anom Suradiraja. Prabu Anom menyatakan
kepada ayah angkat sanggup menyerang orang yang bukan Islam, akan tetapi
Sunan Giri tidak menyetujuinya yang disebabkan Prabu Anom kedudukanya bukan
sebagai ahli waris. Sunan Giri takut pada kutukan Tuhan Yang Maha Esa. Prabu
Anom mohon ijin pulang ke Palembang. Sunan Giri menyetujuinya dan memberi
pendaping seorang yang bernama Pecantanda seorang sesepuh di Surabaya.
Pecantanda di Palembang diberi penghargaan tanah di Maospura dan di Balitung.
Pada saat itu Adipati Terung ayah dari Prabu Anom mendengar kabar tentang
keadaan putranya sehingga Adipati Terung sangat bahagia.
Pada saat yang lain, Adipati Tuban dan Daha menyimpang juga dari ajaran
syariat Islam. Ki Panagsang mendapat tugas dari Sunan Giri untuk menyerbu ke
Tuban dan Daha. Pasukan Tuban karena merasa kalah kuat tidak mau melawan,
bahkan Adipati Tuban mengutus utusan menyatakan menyerah kepada Sunan Giri.
Sunan Giri sangat bahagia dan mengutus Ki Panagsang menggagalkan
penyerangan dan diperintahkan kembali ke Giri. Atas jasa Ki Pangsang maka Sunan
Giri mengangkat Ki Panangsang menjadi Ariya, sehingga namanya menjadi Ariya
Panangsang.
Lanjut cerita, Sunan Giri meninggal dunia dan dimakamkan di Giri. Atas
kehendak Sunan Benang, sepeninggal Sunan Giri, yang diangkat menjadi raja
adalah anak yang tertua yang bernama Pangeran Dalem, kemudian bergelar Sunan
Giri ke II.
Setelah Giri dalam keadaan kosong, semua rumah dibakar oleh pasukan
Gajah Pramada, bahkan makam Sunan Giri I dibongkar, akan tetapi tidak ada yang
bisa, sebab semuanya pingsan. Di dekat makam ada dua orang Giri dan masing-
masing mempunyai ciri, yang satu buta dan yang satu pincang. Kedua orang
tersebut oleh Patih Gaja Pramada dipaksa membongkar makam Sunan Giri I.
Karena kedua orang tersebut takut akan dibunuh sehingga mau. Dalam penggalian
tidak ada halangan. Akan tetapi setelah papan penutup makam sudah nampak,
keluarlah banyak lebah dari dalam makam dan menyengat pasukan Majapahit.
Semua pasukan melarikan diri ke Majapahit. Akan tetapi lebah terus mengejar
sampai ke pusat kerajaan Majapahit. Bahkan Prabu Brawijaya beserta kerabatnya
dikejar terus oleh lebah. Singkat cerita Prabu Brawijaya mengungsi ke Wirasaba.
Kerajaan dikosongkan.
Setelah Majapahit kosong, Sunan Giri II kembali ke Giri. Akan tetapi karena
rumah-rumah di Giri telah habis terbakar, maka Sunan Giri II memerintahkan untuk
mengambil rumah-rumah yang kosong di Majapahit untuk dibawa ke Giri. Singkat
cerita Giri sudah kembali seperti sedia kala.
Pawa Wali beserta Putra Mapajapit, Prabu Jaran Panolih dari Sumenep, Sri
Lembupeteng dari Madura, Dewa Ketut dari Bali, Batara Katong dari Panaraga,
berkumpul di Bintara bermusyawarah akan menghancurkan Majapahit. Yang
dijadikan Senopati adalah Sunan Benang. Dipati Bintara hanya dipersiapkan
sebagai Raja. Dipati Bintara memerintahkan duta dengan mambawa surat yag
ditujukan kepada Dipati Terung. Duta sudah berangkat. Sepeninggal pembawa
surat, para wali berniat membuat sebuah Masjid. Dalam pembuatan masjid para
Wali berbagi tugas. Sunan Kali ditugasi membuat satu tiang, akan tetapi belum siap
yag akhirnya Sunan Kali mengumpulkan Tatal dan disabda menjadi tiang. Singkat
cerita Masjid sudah selesai dibangun. Akan tetapi Para Wali ragu dan kuatir
barangkali arah kiblat tidak sesuai. Sunan Kali kemudian membentangkan
tangannya, tangan yang satu memegang Ka’bah, dan tangan yang satunya lagi
memegang pengimaman masjid. Kemudian dibetulkan arah kiblatnya. Setelah
sempurna barulah Para Wali Sholat. Setelah pagi di dalam masjid ada sebuah
benda tergantung tanpa gantungan yang kemudian diambil oleh Para Wali. Setelah
dibuka benda tadi adalah sebuah pakaian taqwa yang ada tandanya, bahwa pakaian
tersebut adalah untuk Sunan Kalijaga. Selanjutnya pakaian tersebut oleh Para Wali
diserahkan kepada Sunan Kalijaga, sehingga sangat bersyukurlah beliau kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Sunan Benang mengatakan bahwa baju tersebut adalah
bekas dipakai sholat oleh Kanjeng Nabi Muhammad, SAW. dan baju tersebut
bernama antakusuma. Sedangkan yang pantas memiliki dan memakainya adalah
yang akan menjadi Ratu di Tanah Jawa.
Lanjut cerita, Dipati Terung sudah mendapat surat dari kakaknya yang
berisi rencana penyerangan ke Majapahit. Dipati Terung juga menyetujui, akan tetapi
dalam memberangkatkan pasukan dengan cara menyamar agar tidak diketahui.
Rencana Dipati Terung sangat menggembirakan Sunan Benang, sehingga Sunan
Benang memberangkatkan pasukannya dari Demak.
Cerita selanjutnya, ada seseorang dalang dari Demak yang bernama Kyai
Becak. Mempunyai seorang istri yang sangat cantik, datang ke Tarub untuk
mengadakan pertunjukan wayang. Istri dalang yang cantik sangat diinginkan Ki
Ageng Sela. Dalang tersebut oleh Ki Ageng Sela dibunuh, sehingga semua
peralatan wayang dan istri Ki Dhalang menjadi milik Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela
sangat menyukai alat musik wayang yang bernama Kempul Saking senangnya
terhadap kempul tadi, Ki Ageng Sela sampai lupa terhadap istri Ki Dhalang. Kempul
tersebut kemudian diberi nama Kyai Becak, yang oleh Sunan Kalijaga diberi syarat
sehingga kempul tersebut mempunyai kekuatan magis bisa sebagai pertanda
perang. Apabila kempul atau bende tersebut dibunyikan dan suaranya nyaring
menandakan akan menang perang. Dan siapapun yang memilikinya, di belakang
hari akan menurunkan raja-raja di tanah jawa.
1. Sholat Dhuhur 4 roka’at, disebabkan karena manusia mendapat anugrah 2 tangan
dan 2 kakki.
2. Sholat Asar 4 roka’at, karena manusia mendapat anugrah sepasanga telaga
kalkautsar dan punggung kanan kiri.
3. Sholat Maghrib 3 roka’at, karena manusia mendapat anugrah 2 lobang hidung dan
satu buah mulut.
4. Sholat “Isya 4 roka’at, karena manusai mendapat anugrah dua telinga dan dua
mata.
5. Sholat Shubuh 2 roka’at, karena manusia mendapat anugrah Roh dan Jasad.
6. Sedangkan Sholat Witir adalah sebagai perlambang dari dua buah alis manusia.
1. Sholat Subuh yang mempunyai kisah adalah Nabi Adam pada saat diturunkan dari
Sorga berpisah dengan Siti Hawa, sehingga Nabi Adam sangat menderita karena
tidak ada temannya. Nabi Adam bertobat, dan atas kemurahan Sang Maha
Pencipta, Malaikat Jibril mengemban tugas dari Tuhan memerintahkan Nabi Adam
untuk menjalankan Sholat dua roka’at. Nabi Adam menjalankan sholat dua roka’at
bersamaan dengan waktu fajar. Ketika uluk salam kanan dan kiri, Siti Hawa sudah
berada di sampingnya dan menjawab salam Nabi Adam.
2. Sholat Dhuhur yang mempunyai kisah adalah Nabi Ibrahim pada saat dibakar. Nabi
Ibrahim bertobat sehingga diperintah Tuhan agar menjalankan Sholat 4 roka’at. Nabi
Ibrahim Sholat sehingga mengakibatkan api padam.
3. Sholat Ashar yang mempunyai kisah adalah Nabi Yunus pada waktu berada di di
dalam perut ikan paus. Setelah bertobat, Nabi Yunus mendapat perintah Tuhan agar
menjalankan sholat 4 roka’at. Setelah Nabi Yunus menjalankan sholat, ikan paus
tidak kuat dan hancurlah tubuhnya sehingga Nabi Yunus bisa keluar dari dalam
perut ikan paus tersebut.
4. Sholat Maghrib yang mempunyai kisah adalah Nabi Nuh ketika dilanda banjir dan
topan yang sangat besar. Nabi Nuh merasa salah dan bertobat, sehinnga Nabi Nuh
diperintahkan menjalankan Sholat tiga roka’at sehingga air menjadi surut dan badai
sirna.
5. Sholat Isha yang mempunyai kisah adalah Nabi Musa ketika kalah perang dengan
Raja Arkiya. Setelah Nabi Musa Sholat Khajat. Nabi Musa mendapat perintah
menjalankan Sholat empat roka’at sehingga Nabi Musa menang perang.
Yang ke dua adalah Sifat, yaitu segala bentuk yang nampak. Bentuk yang
besar maupun yang kecil. Segala bentuk isi bumu dan langit hakekatnya tidak
memiliki bentuk. Hanya Allah yang memiliki segala bentuk.
Sedangkan Asma adalah nama segala sesuatu. Isi bumi dan langit berbeda
namanya akan tetapi hanya Allah-lah yang mempunyai nama yang sempurna.
Arti dari Afngal adalah perbuatan yang nampak. Semua isi bumi dan langit
berbeda pekerjaannya. Semuanya tanpa gerak. Hanya Allah-lah yang kuasa atas
segala gerak.
Telah habis anasirnya Allah, ganti yang dibicarakan yaitu mengenai anasir
Roh yang juga berjumlah 4, masing-masing yaitu Wujud, Ilmu, Nur dan Suhud.
Wujud adalah hidup yaitu hidup yang sejati. Sedangkan Ilmu adalah penegrtian atau
pemahaman batin. Nur adalah Roh Illapi yaitu cahaya yang sangat terang.
Sedangkan Suhud itu adalah cita-citanya batin.
Sedangkan anasir Kawula juga berjumlah 4, terdiri dari Bumi, Api, Angin
dan air. Bumi menjadi Jasad. Api menjadi cahaya yang memancar. Angin menjadi
napas. Sedangkan air menjadi darah dan cairan tubuh.
Sedangkan hitungan wuku pada jaman kuna masih tetap dilestarikan. Untuk
penanggalan, nama hari dan pasaran, wuku dan dewanya, pandangon, paringkelan,
widadari, petung paarasan, semuanya dirobah. Termasuk juga sengkala nabi pitu
yang diberi nama panaasan. Kesemuanya bertujuan menyamai hitungan jaman
dahulu. Termasuk juga hitungan pasangaran, pasangatan lima mengikuti saat waktu
setiap hari. Sedangkan Dewa ari panca dicocokan dengan kitab nujum ramal,
walaupun beda akan tetapi sama-sama mempunyai tanda baik ataupun buruknya
hari yang berguna dalam ilmu filasat dan piyafat.
Sedangkan hitungan bayi lahir, wuku dan dewanya, termasuk kayu dan
hitungan burung, candra perlambang serta pangapesan dan tulak paliyasan dirobah
menjadi do’a agar lebih bermanfaat dalam keselamatan hidup sang bayi, termasuk
tulak condong dan puji hari.
Sedangkan nama bulan juga dirobah dengan mengambil dari bahasa arab
menjadi Mucharam, Sapar, Rabingulawal, Rabingulakir, Jumadilawal, Jumadilakir,
Rajab, Sakban, Ramadhan, Sawal, Dulkangidah, Dulkijah, yang kesemuanya
dicocokan dengan hari, wuku dan pasaran, pada setiap awal windu untuk
mengetahui kejadian dalam kurun waktu satu windu.
Semua ajaran yang tersebut di atas makna yang hakiki adalah sama, sebab
kesemuanya berasal dari Sunan Ngampel. Dan kesemuanya hanya untuk
mempermudah dalam perinciannya berdasarkan Dalil, Khadis, Kiyas dan Ijmak.
Kesemuanya disebabkan karena apabila menguraikan Dzat-Nya Tuhan, tidak ada
kalimat yang bisa menguraikannya, sebab baik huruf, kata maupun kalimat adalah
ciptaan-Nya sebagai Hijab bagi Tuhan Yang Maha Esa, termasuk juga semua nama
adalah sebagai hijab bagi yang dinamai. Sebab Tuhan Sangat-sangat rahasia,
tanpa warna tanpa bentuk, tidak laki-laki, tidak perempuan, dan tidak pula banci,
serta tidak dibatasi oleh ruang, waktu ataupun masa, tidak bertempat, hanya ada di
dalam cipta dan sasmita pada diri manusia yang waskita. Atau juga ajaran tersebut
di atas bisa dipahami apabila, paling tidak sudah mengenal ilmu ma’rifat. Lebih
mudah lagi apabila sudah mengenal ilmu di atas ilmu ma’rifat dimana ilmu ini dalam
teori bisa dipelajari dari buku yang dikarang oleh Imam An Nafri yang berjudul Al
Mawaqif Wa Muqothobat yang isinya sudah melampaui tingkat ilmu ma’rifat. Sebab
dalam Islam orang ahli ilmu disebut Ulama, orang ahli ma’rifat disebut Arifin,
sedangkan orang yang ahli melampau ilmu ma’rifat disebut Waqif. Buku-buku teori
yang mengajarkan ilmu tingkat ma’rifat bisa dipelajari dari Buku peninggalan Ulama
besar seperti; Syech Abdul Qadir Jilani, (Fat Al Rabbani, Fat Al Ghoib), Al
Qusyairiyah dengan Risalahnya, Ibnu Abad dengan Surat-suratnya, Abnu Atha Illah
dengan Kitab Al Hikamnya, Surahwardi Maqtul dengan empat Kitabnya, Al Halaj, Al
Kalabazi dengan Risalahnya, Abu Tholib Maqi, dengan Qut Al Qulubnya, Fariduddin
Al Atar dengan kisah para Sufinya, Jalaladin Rumi, Al Muhasysyibi dll, yang sudah
banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan dalam ilmu jawa
ajaran tersebut bisa dipahami bagi orang yang paling tidak telah mengenal Teori
Ilmu Rasa atau Ilmu Sejati. Sebagian teorinya bisa dipelajari di Serat Jatimurti, Kaca
Wiranggi, Madurasa dll.. Atau juga bisa dipahami bagi yang telah mengenal Teori
Aqidah diatas Aqidah Tingkat Pertama. Tingkatan Aqidah dasar adalah
Laaillaahaillallh. Tingkatan kedua adalah Laaillahaillahuwa (QS. Al Hasyir : 22-24,
dll). Tingkatan ke tiga adalah Laaillahailla Anta (Qs. Al Ambiya : 87). Tingkatan ke
empat adalah Rahasia. Tingkatan ke lima adalah Rahasia di atas Rahasia.
Kedelapan ajaran Wali di atas akan menimbulkan pertentangan dan
permasalahan besar apabila diajarkan pada orang yang masih dalam tingkat ilmu
Syari’at. (Tambahan penerjemah sendiri).
Para Wali juga membuka Layang Ambiya, yang sebagian isinya
menjelaskan bahwa ada delapan Nabi yang meninggalkan Kitab sebagai pedoman
umatnya, yaitu Nabi Adam meninggalkan kitan 10 buah, Nabi Esis meninggalkan
kitab 50 buah, Nabi Idris meninggalkan kitab 30 buah, Nabi Ibrahim meninggalkan
kitab 10 buah, Nabi Musa meninggalkan kitab 1 buah yang benama Taurat, Nabi
Dawud meninggalkan kitab 1 buah yang bernama Kitab Jabur, Nabi Isya
meninggalkan kitab 1 buah yang bernama Injil, yang terakhir Nabi Muhammad
meninggalkan kitab 1 buah yang bernama Al Qur’an.
Nabi yang ajarannya menjadi agama berjumlah 6 yaitu, Nabi Adam, Nabi
Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isya dan Nabi Muhammad, SAW.
Nabi Muhammad meninggalkan Kitab Al Qur’a, yang trdiri dari 30 jus, 114
ayat, Hatinya Al Qur’an 112, jumlah ayatnya 6.217 ayat, jumlah kalimatnya sebanyak
3.006.217.
Ganti yang diceritakan, adalah Syech Sitijenar pada jaman dahulu, yang
sekarang ajarannya tambah melenceng dan berbeda jauh dengan ajaran Para Wali,
sehingga akhirnya Sunan Giri melaporkan kepada Sultan Bintara bahwa segala
gerak gerik Syech Sitijenar dan para muridnya sudah merusak syariat yang
mengakibatkan Masjid menjadi kosong. Apabila tetap dibiarkan akan sia-sia
perjuangan Para Wali, karena tidak ada orang yang mau Sholat dan rusak pula tata
aturan negara. Dan berdasarkan adat hukum syariat pada jaman dahulu, apabila
mengajarkan Ilmu Agama keluar dari aturan syariat harus dihukum mati. (Contoh :
Al Halaj, Surahwardi Maktul, dll. Pen).
Setelah mendengar penuturan Sunan Giri, akhirnya Sultan Bintara
bermusyawarah dengan para wali dan menghasilkan kesepakatan agar
mengundang Syech Sitijenar ke Bintara. Singkat cerita Syech Sitijenar sudah
menghadap Sultan Bintara dengan diikuti oleh tujuh muridnya. Setelah ditanya oleh
Para Wali, Syech Sitijenar tetap bertekad mengajarkan ilmu ajarannya. Akhirnya
Sunan Kalijaga mendapat sasmita dari Sunan Giri. Sunan Kalijaga kemudian
mencabut pedang dan dihantamkan ke leher Syech Sitijenar hingga putus, sehingga
darah berceceran. Akan tetapi darah Syech Sitijenar tetap merah sehingga Sunan
Kalijaga tersenyum dan mengatakan bahwa Syech SitiJenar masih sebagai manusia
biasa dikarenakan darahnya masih tetap merah dan jasadnya masih tetap kelihatan.
(Berbeda dengan salah satu fersi Serat Sitijenar, sebab Serat Sitijenar
banyak fersinya, yang menyebutkan bahwa sebagai duta wali adalah Sunan
Kudus dan Syech Sitijenar meninggal dengan cara menutup air kehidupan
yang berada ditengkuknya sendiri dan inti ajarannya adalah Ananing
Unaning Anung atau Ananing Unaning Unang, Pen.).
Setelah agak lama kemudian darah Syech Sitijenar yang semula merah,
berubah menjadi berwarna putih. Sedangkan jasadnya dirawat oleh Para Wali
dengan penuh rasa heran. Setelah malam tiba, jasad Syech Sitijenar mengeluarkan
cahaya yang sangat terang, kemudian membentuk empat warna yaitu merah, hitam,
kuning dan putih. Warna tersebut kemudian berobah lagi menjadi warna ungu, biru,
hijau dadu dan jingga, kemudian berubah lagi menjadi satu warna sangat terang dan
akhirnya menghilang. Sedangkan darah Syech Sitijenar yang berwarna putih
kemudian membentuk tulisan, yang oleh para wali dibaca berbunyi lafal
Laailaahaillallah. Setelah terbaca kemudian darah dan jasad Syech Sitijenar
musnah, sehingga Sunan Kalijaga berkata keras bahwa matinya Syech Sitijenar
seperti matinya setan dikarenakan jasadnya hilang tanpa bekas.
Tidak lama kemudian terdengar wasiat Syech Sitijenar bahwa mati patitis
adalah dari kesentausaan hati bukan karena menjalankan syariat. Karena syariat
menurut Syech Sitijenar adalah menjadi penghalang, sebab syariat hanya bisa
digunakan menyelesaikan urusan duniawi. Sedangkan apabila digunakan untuk
urusan mati adalah sangat mengecewakan. Sebab sebenar-benarnya ilmu
tempatnya pada cipta pribadi yaitu pada keadaan eneng dan ening.
Setelah tidak terdengar lagi suara, Sunan Giri pelan berkata bahwa
apabila direnungkan adalah benar matinya Syech Sitijenar sebagai mati yang patitis.
Kemudian Para Wali yang dipandegani Sunan Giri mengambil pohon pisang untuk
digunakan sebagai pengganti jasad Syech Sitijenar yang musnah, kemudian
dibungkus dibentuk bagaikan bungkusan mayat. Setelah sempurna barulah ketujuh
murid pengiring Syech Sitijenar dipanggil menghadap para wali. Para wali
mengatakan bahwa apabila murid benar-benar berbakti pada guru pasti akan
membela guru. Setelah tau bahwa Syech Sitijenar sebagai gurunya telah meninggal
dunia ke tujuh murid Syech sitijenar tanpa dikomando ikut belapati dengan jalan
bunuh diri menggunakan keris miliknya masing-masing.
1. Para Sunan lan para Dipati, Sabijantu djumurung ing karsa, Sunan
Benang Timbalane, sadaya tyasnya limut, kaja age tempuking djurit,
angrusak Madjalengka (nama lain Majapahit), Anggempur karatun, Jata
Pangeran Siti Djenar, Duk mijarsa mitjoreng sadjroning galih, Lah iki
Tutur apa.
2. Siti Djenar sumdul turnya ris, Kados pundi ing karsa paduka, dene
asalah karsane, Sri Madjapahit pundjul, sih kawula para marta sih,
ambeg ngumala retna, adil mring wadya gung, teka arsa pinrih tjidra,
napa mboten angsal benduning Hjang Widdi, inggih Allah Ta ngala.
3. Duk kalane praptane Para Wali, binetjikan pinaringan papan, ingudja
ing sakarepe, tan ana aru biru, teka dadak pinrih tan betjik, kawula datan
rembag ing karsa pukulun, punapa Djeng Rasulullah, kang sinebut arane
Nabi sinelir, ngadjani budi tjidra.
4. Teka anak angglanggar ing djurit, marang Bapa kapindone Radja, ping
telu angsung kamukten, napa tan panggih bendu, marang Gusti Kang
Maha Suktji, kapindo Rasulululah, ing pangraos hulun, Djeng Nabi
Najakaningrat, dene mboten kinen ngukum tijang betjik, mring Wali lan
Ngulama.
5. Jen makaten ing pandugi mami, ing karsane pra Wali sadaja, among
pamrih ing risake, bapa kalawan sunu, mburu katah isine kendil, bingah
jen angsal brekat, jen akeh wong lampus, mila darbe mbeg tan ardja,
wong weh betjik wekasan binalang tai, kados karsa paduka.
6. Duk mijarsa sagunging pra mukmin, ing wuwuse Pangran Siti Djenar,
sakalangkung ing lingseme, Sunan Benang duk ngrungu, dukanira jajah
sinipi, heh apa djadjil laknat, ingkang sira wuwus, Wali Tjilik kurang
adjar, nganggo wani njajampahi karsa mami, pan sira bosen gesang.
7. Pilih endi mati karo urip, lamun ora miturut kaseng wang, amesthi mati
rinampok, Siti Djenar asendu, dudu Siti Djenar sajekti, lamun wedi
palastra, gja rinebut pupuh, Siti Djenar pinedjahan, Sunan Giri kang
kinen nglawe nelasi, tumuli ana swara.
8. Eling-eling ngulama ing Giri, sira nora sun wales neng kerat, sun wales
neng donja bae,den enget sira besuk, lamun ana Narendra djawi, kanthi
wong Bangsa tuwa, sun lawe gulumu, Sunan Giri duk mijarsa, besuk
wani ija ing samengko wani, ingsun masa mukira.
Sedangkan wasiat Gajahmada setelah meninggal dikeroyok Prajurit Demak
dimana jasadnya musnah, di dalam Serat Darma Gandul adalah sebagai
berikut :
1. Heh eling-eling wong Islam, den betjiki satemah angalani, ngrebat
pradja mamrih lampus, sun wales sira bendjang, ingsun adjar weruh
nalar bener luput, sun damoni gitokira, rambutmu sun tjukur bersih.
Sedangkan wasiat Prabu Brawidjaja kepada Sultan Demak di makam Putri
Cempa, di dalam serat Darmagandul, sebagai berikut :
1. Dene gadjah ginetak lir kutjing, nadyan mati tata kalahiran, lah eling-
eling tembe, jen wus agama kawruh nalar, bener lawan luput, pranatane
mengku pradja, mangan babi kadya djaman Madjapahit, Sultan Demak
miharsa.
Sedangkan wasiat Sabdo Palon Naya Genggong, dalam Serat Darmagandul,
sebagai berikut :
1. Prapteng samanten kewala, gen kawula momong paduka adji, pan wus
dadya tekat ulun, ngleluri luhur djawa, kula pamit kesah ing sapurug-
purug, Sri Naredra ris ngandika, sira lunga menyang ngendi.
2. Sabdapalon aturira, datan kesah tan manggen wonten ngriki, mung
netepi nama ulun, nama Ki Lurah Semar, kula nglimput saliring samar
kang wudjud, anglela kalingan padang, den enget Sang Nata bendjing.
3. Jen wonten manusa djawa, djawa djawi mangerti netra sidji, nama sepuh
gama kawruh, niku momongan kula, arsa ngrangkul weruhken bener
luput, sigra tedak Sri Narendra, arsa ngrangkul den inggati. (Yang
dimaksud adalah ramalan Sabdo Palon Naya Genggong Nagih Janji
fersi Islam, yaitu kebangkitan Islam dalam ilmu Tasafuf. Sebab ramalan
ini selain digunakan dalam aliran kejawen juga digunakan oleh Aliran
Islam yang mengikuti Ajaran Nabi Khidir, Ajaran Siti Jenar dan Juga
dari Ajaran Tasafuf yang akan bangkit di awali dari Pulau Jawa atau
kebangkitan Islam berawal dari Pulau Jawa. Sebab Kasultanan Islam
yang berkembang ke arah Barat dari Mekah yaitu ke Spanyol dan yang
terakhir berada di Puluai Silcilia (dekat Italia) semuanya hancur.
Sedangkan yang berkembang ke arah Timur yang berdasar garis bujur,
terakhir Kasultanan Islam berada di Indonesia yaitu Jogjakarta.
Walapun di Indonesia Kasultanan Islam belum menjadi Sumber dari
panutan dalam ilmu syariat, sebab di Indonesia umat Islam lebih patuh
pada Kyai dari pada kepada Sultan. Dan sekarang banyak sekali tumbuh
dan berkembang aliran Thoriqot di Indonesia, sehingga dunia barat
sangat ketakutan). Penerjemah.
Sedangkan alasan Sunan Kalijaga memakai pakaian warna wulung berbeda
dengan pakaian para wali, adalah sebagai berikut :
1. Mula adil adat Ratu Djawi, awit Demak Padjang lan Mataram, ing
Kartasura watese, tan nganggo ngowel umur, adil tjina kang dipun irib,
krana patokanira, kitab ingkang ngatur, Sultan Demak iku tjina, awit
Demak sapangandap durung salin, patokan kitab Demak.
2. Sunan Kali waskitha ing gaib, jen sinemon dinukan dening Hjang,
nalangsa kaluputane, gja ngagem sarwa wulung, beda lawan sanesing
wali, mangangge sarwa seta, tan rumangsa luput, mung ngrasa sutji
kewala, among Sunan Kali pribadi kang ngerti, sasmita dukaning Hjang.
3. Hanelangsa tobat mring Hjang Widdi, ing ngapura kaluputanira, orong-
orong pasemone, ing githok prapteng punuk, sineselan tataling djati,
punukmu panakena, sedjatining ngelmu, tan susah guru wong Arab,
ngelmunira aneng githokmu pribadi, pudji thok wudjudira. Dst.
Kesemuanya yang tersebut di atas disadur dari Serat Darma Gandul.
Setelah beberapa hari berlalu dari pemakaman Syech Sitijenar, Istri Syech
Sitijenar mendengar kabar bahwa suaminya di Giri telah meninggal dunia. Dan
sebab kematian suaminya adalah dihukum oleh para wali yang sebenarnya tanpa
dosa. Akhirnya Istri Syech Sitijenar mempersiapkan diri berangkat ke Giripura untuk
menggugat para wali atas kematian suaminya yang tanpa dosa.
Setelah sampai di Giri Istri Syech Sitijenar menggugat wali. Dijawab oleh
Sunan Giri bahwa para wali hanya mengemban tugas raja, dikarenakan Syech
Lemahbang ajarannya telah merusak syariat dan melanggar aturan negara. Akan
tetapi Istri Syech Sitijenar tetap tidak bisa menerima penjelasan Sunan Giri. Akhirnya
Sunan Giri dengan terpaksa menunjukan ilmu mangunahnya dan memerintahkan
Istri Syech Sitijenar supaya melihat ke langit. Seketika itu langit terbuka dan nampak
sorga dengan jelas dan nampak pula Syech Sitijenar sedang duduk pada ruangan
yang dihias sangat indah dengan didampingi oleh Para Nabi. Akhirnya Istri Syech
Sitijenar baru bisa menerima dan meminta kepada para wali untuk didoakan agar
apabila dirinya meninggal dunia, dirinya bisa berkumpul dengan suaminya di alam
akherat.
Pada suatu hari ada seseorang dari Daerah Kedu yang bernama Pak
Kadim, menghadap kepada Kyai Ageng Pengging dengan tujuan meminta obat
untuk anaknya yang menderita sakit bisu sejak kecil. Setelah diobati oleh Kyai
Ageng Pengging anak Pak Kadim bisa sembuh, sehingga Pak Kadim sangat
gembira. Dan selanjutnya Pak KAdim berserta anaknya mengabdi kepada Kyai
Ageng Pengging.
Dandang Gula
1. Doeh bendara kang asih ing dasih, kamipoeroen matoer sarasehan, noewoen
oeninga doenoenge, pralampitaning kawroeh, isbat-napi, amba tan ngreti,
paran ing widjangira, oeloen nyoewoen makmoem, Ki Ageng Pengging
ngandika, eh rengenta nalikanira Djeng Nabi, Rosoel Najakningrat.
2. Wektoe Soeboeh nijat satengahing, Takbir Ekram moeng tekaboelira, pinareng
lan noegrahane, rinilan medar ngelmoe, bangsa tekad tekaboelngelmi, ing napi
lawan isbat, binabar sing kalboe, jwa kongsi tan mo ring karsa, rehning toenggal
karja toenggal warna toewin, amoeng beda artinja.
3. Kabeh kalaboe obahing boedi, beda-beda panoenggalira, rerasan rasa
roengoene, pamawasaning kawroeh, wroeh ing doedoe doedoenga dadi,
widagdaning kasidan, sidik ing pandoeloe, pandoeloe delenge ilang,
langlangana meleng denira angliling, weninge ing panoenggal.
4. Ing nalika Djoemoengah Djeng Nabi, lawan para sakabat sakawan, neng
bet’oellah sabakdane, salat djoemoengah ladjoe, arsa medar kawroehing gaib,
wiwit bangsa tekad, tjatoer antepipoen, Djeng Nabi aris ngandika, eh ta
ngoemar, Aboebakar Ngoesman Ngali, pajo pada rerasan.
5. Kang Soen rasa soerasaning ngelmi, Ingkang Maha Soetji kang anitah, Napi
Isbat prabedane, myang pisah-koempoelipoen, djroning rasa kawan prakawis,
sawidji adepira, eklas kalihipoen, tri antep teteping tekad, kaping pate
sampoernanira kang pasti, wroeha bedaning toenggal.
6. Ngawroehana bedane kang napi, ngawroehana bedane kang isbat, paran ta
moenggoeh doenoenge, e sakabat ngong tjatoer, sapakoleh pikiren sami,
salah-sidji kang tampa, Ilhaming Hjang Agoeng, soekoer bage kabeh tampa,
begdjanira jwa kongsi angendong pikir, pra sekabat toer sembah.
7. Raosing tyas pan dereng amanggih, pan soemangga ing Goesti panoetan,
abdinta njoewoen djarwane, Djeng Nabi ngandika roem, bangsa tekad samya
pinikir, jen bener pirang bara, ing panemoenipoen, ing mengko pan ingsoen
djarwa, prabedane napi-isbat ing Hjang Widi, antepe djroning rasa.
8. Waspadakna ananireng Widi, panoenggale ing rasa poenika, sa obahe lan
osike, kalawan wening ipoen, jen woes wening anane jekti, jektine datan lijan,
moenggoeh ing Hjang Agoeng, pamomore karsanira, ambawani solah bawanira
iki, anglimpoeti tjasira.
9. Doemoenoenge ana kang nganani, toeroe loenggoeh atangi loemakja, ikoe ta
noegraha lire, oepama damar moeroeb, oeroebira pada madangi, kang padang
ikoe njawa, ija kang anglimpoet, ing sadjroning roepa panas, jekoe mangka
ibarat ingkang woes jekti, isbate ananira.
10 Padanging tjas tetep isbat jekti, napekena napi kang kisenan, ingawa pamoring
. gawe, koewat toemibeng ewoeh, djroning amrih antareng pati, pati patitisena,
kang wening doemoenoeng, isbatna kaananing Dat, rasanira napi tingaling
Hjang Widdi, pangening tjipta maja.
11 Pantjadrija drijane kang wening, nirna mala mamalani drija, ideken ing boedi
. sareh, ririh satiti roeroeh, peteng renteng roeten neng kapti, tratap kesaring
nala, jekoe mangka sikoe, pamoeroengireng kasidan, jen tan awas eling lawan
sipat napi, sipate awasena.
12 Prabedane lan sawidji-widji, Dat wadjiboel woedjoed mbok Manawa, ing kene
. pinaringake, tjipta ingkang toewadjoeh, djinatenan djatining-djati, djatining
antepira, dera kang Maha Goeng, jekoe margane kasidan, widagdaning
ngandel koemandel ing Widdi, pinandeng kang waspada.
13 Kaanane sedjanen ing boedi, ilapate ing Dat kang sanjata, Pinta-pinta
. panggonane, bangsaning isbat ikoe, napi-nira pan napi djinis, jekoe mangka
panoenggal, ing ananirekoe, napi nira isbatena, ing tegese moertja
toetoenggale dadi, pratanda neng sihira.
14 Netjanta kang warna kaananing, Dat sampoerna Noer moring kang warna,
. awenes wening bedane, Dat salikin roemoehoen, tjahja saking ing drija kaki,
lintang pandjer rahina, eram aroem-aroem, Dat moetlak kadi poernama, Dat
ngalimoen ing sapanoenggale kadi, sawarna lawan sipat.
15 Ilaning Dat asma pan wahjaning, Dat soebekti lir soerja warnanya, moeksaning
. Dat soebektine, ing tjahjaning Dat Soehoet, angebeki boewana kadi, tjahja tan
ana mada, ing salaminipoen, beda lan padanging soerja, mjang padanging
remboelan datan amirib, ikoe padanging padang.
16 Kang Moenggeng djroning padang kang pasti, ananing Dat jekti ananira,
. ananira sadjatine, ja anane Hjang Agoeng, solah tingkah woes datan kalih, ikoe
Isbat kang njata, napi woes kapoengkoer, ikoe anteping tjasira,mantep ikoe
papadang amor ing Gaib, wong anom den waspada.
SINOM
KINANTI
1. Dene lakoene ing soehoet, soehoet tegese woes moeklis, moeklis woestan
karem doenja, tan ana rarasan malih, nora lara lan nora sak, tan soeka datan
prihatin.
2. Kaananing Kang Maha Goeng, poerbawasesaning moeklis, Hjang Soeksma
dadekken Alam, mjang akarja boemi langit, isen-isenning bawana, manoesa
tinitah loewih.
3. Tan na oeni tanpa woedjoed, kang awoedjoed tanpa oeni, tan aroepa tanpa
ganda, ana ganda tanpa nami, kang woedjoed datanpa njawa, kang njawa
datanpa osik.
4. Ana wening tanpa ndoeloe, Allah ikoe tanpa warni, kang moedjoed datanpa
njawa, ana woewoes tanpa warni, kang woedjoed datanpa njawa, kang njawa
datanpa moeni.
5. Kang loengan tan nedya mantoek, kang moelih gan loenga ngoeni, warna-
warna titahing Hjang, sinandang titahing Widdi, sami sinoeng kanikmatan,
moenpangat moerahing Widdi.
6. Kabeh roesak jektinipoen, tan ana langgeng sawidji, moeng manoesa kang
kinarja, tinitah loehoer pribadi, ana roesak ana ora, oerip langgeng pribadi.
7. Djati-djatine pan ikoe, kang moerba wiseseng dasih, toenggal lawan moeklisira,
tan ana sipat kakalih, wroeha bedaning atoenggal, toenggalena nala ening.
8. Djangdjine prabedanipoen, moeklis tinariman ing sih, Sih ing Hjang marang ing
sira, tegese panrimaneki, adepira ing Hjang Soeksma, ikoe sadjatine moeklis.
9. Ing kono prabedanipoen, barang rehira woes toenggil, jawa sira darbe pantjipta,
koewasa wasis pribadi, den soekoer lawan narima, jen pinareng Sihing Widdi.
10 Dadine datan kalawoen, kajoenira kang lestari, lestari pamoring Soeksma,
. sinoeksmanan kang patitis, moerwakala poerbaning karsa, karjanta tansah den
sihi.
11 Idepna adepirekoe, doenoenging Hjang Maha Loewih, den poesti ana ing sira,
. djiwanta sadjati wening, anglimpoeti kalimpoetan, dadi eneng kang sajekti.
DAFTAR - PUSTAKA
R. Tanoyo, Wirid Hidayat Jati, Ronggo Warsito , Penerbit Trimurti, Surabaya Tahun
1954.
Drs. M. Khafid Kasri, dkk; Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syech Melaya), Penerbit
Balai Pustaka Tahun 1993.
Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Walisongo , Yayasan Festifal Walisongo
bekerjasama dengan Penerbit SIC Surabaya, Tahun 1999;
Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar, Pergumulan Islam Jawa , Yayasan Bentang
Budaya, Sambilegi Baru No.35 RT.01 RW.53, Jogjakarta, Tahun 1999;
Gilani Kamran, Ana Al Haqq (Akulah Kebenaran), Terjemahan, Risalah Gusti,
Surabaya, Tahun 2001;
Tanpa Aran, Sangkan Paraning Dumadi, Yayasan Djoyo Boyo, Bekerja sama
dengan Paguyuban Sosrokartanan Surabaya, Tahun 1988;
R. Tanoyo, Serat Dewaruci Kidung, Terjemahan, Karangan Imam Anom Th. 1806
Caka/1884 Masehi di Surakarta, Gubahan Kapujanggan Surakarta ing Madya
Awal Abad 19 M, Tahun 1962.
Katiti dening Redaksi Penerbit : Keluarga Soebarno, Serat Darmagandul, Toko Buku
Sadu Budi Solo, tanpa tahun.