Anda di halaman 1dari 20

Teks tersebut mengisahkan perjalanan beberapa tokoh dan peristiwa yang terjadi di Pasundan.

Awalnya,
cerita tentang para putra Prabu Siliwangi yang tersebar di berbagai wilayah Pasundan. Salah satunya
adalah Pangeran Welang Sungsang, yang meninggalkan Keraton Pajajaran untuk mencari guru agama
Islam.

Pangeran Welang Sungsang pertama kali bertemu dengan Syekh Quro dan Syekh Darugem saat singgah
di Pesantren Syekh Qora. Kemudian, ia melanjutkan perjalanannya untuk berguru kepada Sang
Danuwarsi. Di sisi lain, Rara Santang, yang masih di Keraton Pajajaran, bertemu dengan Nyahi Endang
Sekati dan Ki Hajar Sasmata sebelum menyusul Pangeran Welang Sungsang. Dari mereka, Rara Santang
memperoleh pelajaran dan hadiah. Setelah beberapa peristiwa, Rara Santang akhirnya bertemu dengan
Pangeran Welang Sungsang yang telah menikahi Nyi Endang Geulis, putri Sang Danuwarsi.

Pangeran Welang Sungsang melanjutkan perjalanannya untuk berguru kepada berbagai tokoh seperti
Sanghyang Naga, Sanghyang Bango, dan Syekh Nurjati. Syekh Nurjati memerintahkan Pangeran Welang
Sungsang untuk membuka lahan pemukiman baru, yang kemudian dihuni oleh orang-orang dari
berbagai daerah.

Selanjutnya, Pangeran Welang Sungsang dan Rara Santang melakukan perjalanan ibadah haji dan
bertemu dengan Syekh Bayanullah. Di sana, Pangeran Welang Sungsang menjadi wali pernikahan Rara
Santang dengan Raja Mesir atau Raja Hutara.

Setelah Rara Santang memiliki anak, Raden Welang Sungsang kembali ke Cirebon. Di perjalanan pulang,
ia singgah di Tanah Negara Aceh. Namun, saat ia pulang ke Jawa, Syekh Bayanullah menyusulnya dan
beralih nama menjadi Pangeran Pejarakan.

Kembali di Cirebon, Nyi Endang Geulis melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Nyimas
Pakungwati. Pangeran Welang Sungsang kemudian mengasuh Nyi Mas Gandasari, yang tumbuh menjadi
wanita yang sakti dan berperan penting dalam menyelamatkan Cirebon.

Teks juga mencatat kelahiran Syarif Hidayatullah dan Syarif Arifin di Mesir, yang merupakan putra-putra
Rara Santang. Syarif Hidayatullah akhirnya mencari Nabi Muhammad saw dan melakukan berbagai
perjalanan serta bertemu dengan berbagai tokoh sebelum akhirnya bertemu dengan Nabi Muhammad
SAW. Ini
Kisah berlanjut dengan perjalanan Raden Sahid atau Sunan Kalijaga, Nyimas Ratu Rasawulan, dan
kelahiran Pangeran Drajat. Selain itu, mencatat peran Sultan Palembang Sunan Butun Arya Damar dalam
pendirian kerajaan Demak.

Teks naskah ditutup dengan mengisahkan Palagan Ki Selapandan, yang memperebutkan Nyimas
Gandasari, dengan Pangeran Karangkendal sebagai pemenangnya. Cerita kemudian mencapai
puncaknya dengan permusyawaratan para Walisanga di Dalem Agung Pakungwati Cirebon untuk
membahas ilmu-ilmu kewalian.

Teks ini menceritakan tentang keturunan Prabu Siliwangi pada masa kerajaan Pajajaran. Prabu Siliwangi
memiliki sembilan putra dan putri yang meninggalkan kerajaan akibat banjir atau perang. Dua di
antaranya yang tetap tinggal di keraton adalah Raden Welang Sungsang dan Nyi Rara Santang. Sembilan
putra-putri ini kemudian memiliki wilayah kekuasaan masing-masing, seperti Raden Rajanagara di
Jaketra, Raden Santang Pratala di Tanjung Kuning, Raden Grantasastra di Lakbok, dan lainnya.

Teks ini menceritakan tentang Pangeran Welang Sungsang yang meninggalkan Keraton Pajajaran setelah
mendapatkan petunjuk dalam mimpi untuk memeluk agama Islam. Meskipun Sang Prabu Siliwangi
menentangnya, Welang Sungsang bersikeras mengikuti petunjuk dari mimpi tersebut. Sang Prabu
bahkan mengeluarkan undang-undang agar warga tidak menerima kehadiran Welang Sungsang.

Welang Sungsang merasa prihatin karena adiknya, Nyi Rara Santang, yang sangat ia cintai, akan
ditinggalkannya. Namun, tekadnya untuk belajar agama Islam sangat kuat. Dia mempersiapkan diri
dengan baik dan meninggalkan keraton dalam perjalanan menuju Pesisir Utara.

Ini adalah awal perjalanan Welang Sungsang yang menarik dalam cerita ini.

Teks ini menceritakan kedatangan tiga tamu dari Arab, Ki Darugem, Ki Tangat, dan Ki Hurmat, yang
datang untuk menguji ilmu seorang Pandhita yang sangat pandai bernama Syekh Qora di Karawang.
Mereka membawa kitab-kitab untuk berdiskusi, namun Syekh Qora kurang berminat karena kitab
tersebut hanya berisi teks, bukan hakikat ilmu.

Selama perdebatan, terjadi peristiwa ajaib di mana sebuah buah mangga tumbuh dan diberikan kepada
tamu. Kemudian, Syekh Darugem meminta air untuk wudhu, dan Syekh Qora menunjukkan air dalam
bungbung. Mereka merasa terkejut dan menganggap hal ini tidak mungkin.
Syekh Qora kemudian menantang tamunya untuk masuk ke dalam bungbung yang berisi air tersebut,
dan setelah mereka masuk, mereka merasa seperti terperosok ke dalam sumur besar yang tidak bisa
naik kembali. Mereka memohon ampun, dan akhirnya, Syekh Darugem bertaubat dan berguru kepada
Syekh Qora. Mereka memutuskan untuk membakar semua kitab yang mereka bawa dari Mekah dan
pulang ke negara asal mereka.

Raden Welang Sungsang mampir ke pondok Syekh Qora, di mana dia diterima dengan ramah oleh Syekh
Qora. Setelah memperkenalkan diri dan menjelaskan asal-usul dan tujuannya, Syekh Qora terkejut
mengetahui bahwa Raden adalah putra Raja Agung dari Pajajaran. Syekh Qora memberikan petunjuk
kepada Raden untuk mencari Gunung Amparan dengan berjalan ke arah Selatan.

Raden Welang Sungsang kemudian melanjutkan perjalanannya, melewati berbagai rintangan seperti
pegunungan, hutan belantara, sungai, dan bengawan. Dia terus berjalan tanpa makan dan tidur hingga
akhirnya tiba di Gunung Merapi.

Raden Welang Sungsang kemudian menemukan padepokan seorang Reshi bernama Sanghyang
Danuwarsih di Gunung Merapi. Dia disambut dengan baik oleh Sang Danuwarsih dan menceritakan asal-
usul dan tujuannya untuk mencari Gunung Amparan dan berguru agama Kanjeng Nabi Muhammad.

Sang Danuwarsih menyambut Raden dengan gembira, dan setelah mendengarkan cerita Raden, dia
menyadari bahwa Raden adalah calon pembaharu agama Islam di Pulau Jawa. Sang Danuwarsih
menjelaskan tentang ilmu kabudhaan yang membahas cara mencapai pencerahan hidup dan memahami
eksistensi manusia sebelum mengenal agama. Mereka mulai belajar ilmu sejatineng ngurip yang
membahas tahapan awal pencerahan hidup.

Raden Welang Sungsang kemudian memohon agar ilmu tersebut diajarkan kepadanya, dan Sang
Danuwarsih setuju. Raden tinggal bersama Sang Danuwarsih selama 9 bulan, belajar dengan tekun, dan
menerima seluruh ilmu yang diajarkan oleh gurunya.

Nyi Rara Santang, setelah melihat kakaknya, Raden Welang Sungsang, pergi, merasa sangat sedih dan
kasihan atas nasibnya. Dia memutuskan untuk menyusul kakaknya, meskipun itu berarti meninggalkan
Keraton Pajajaran tanpa sepengetahuan siapapun.

Pada suatu malam yang gelap dan sunyi, Nyi Rara Santang dengan diam-diam meninggalkan istana
dengan bersembunyi. Dia berhasil melewati para penjaga dan babu-babu tanpa diketahui. Perjalanan
yang dia tempuh sangat berat, melalui hutan belantara, gunung, dan sungai, tetapi tekadnya kuat untuk
menemukan kakandanya, Raden Welang Sungsang.
Ketika hilangnya Nyi Rara Santang diketahui di istana, suasana menjadi geger dan penuh duka cita. Ratu
Subanglarang sangat sedih dan menangis, sementara Prabu Siliwangi juga terpukul hatinya. Dia
memerintahkan Ki Patih Arga untuk segera mencari putrinya dan tidak kembali sebelum
menemukannya, bahkan jika itu memakan waktu berbulan-bulan.

Nyi Rara Santang terus berjalan melalui hutan yang belum dijamah manusia dan naik turun gunung
dengan tekad bulat untuk menyusul kakaknya, meskipun dia belum tahu arah pastinya. Yang jelas,
tujuannya adalah menemukan dan bergabung kembali dengan Raden Welang Sungsang.

Nyi Rara Santang, setelah melewati perjalanan yang melelahkan, sampai di Gunung Tangkuban Perahu.
Karena kelelahan, kelaparan, dan dahaga, dia pingsan hingga terjatuh. Untungnya, keadaannya
ditemukan oleh Nyi Endang Saketi, yang merupakan bibi kandungnya sendiri. Nyi Endang Saketi sangat
terkejut dan segera merawat dan membangunkan Sang Rara.

Setelah sadar, Nyi Rara Santang menceritakan mengapa dia meninggalkan Keraton Pajajaran dan
perjuangannya mencari kakaknya, Raden Welang Sungsang. Nyi Endang Saketi yang mendengar kisah
hidup kedua keponakannya ini sangat terharu.

Ternyata, Nyi Endang Saketi adalah saudara kandung dari ayah Nyi Rara Santang, yang merupakan Prabu
Siliwangi. Nyi Endang Saketi menikah dengan Ki Celeng Srenggi dan pindah ke Gunung Tangkuban
Perahu bersama suaminya.

Setelah Nyi Rara Santang cukup pulih, dia melanjutkan perjalanan mencari saudaranya. Nyi Endang
Saketi memberinya baju ajaib bernama "Kelambi Peri" yang memungkinkan dia berjalan dengan cepat
seperti kilat. Nyi Endang Saketi juga memberinya nama Nini Bating. Sebelum pergi, Nyi Rara Santang
mendapatkan petunjuk untuk mengunjungi seorang pertapa sakti di Gunung Cilawung.

Dengan restu dan bekal dari Ibu Bibi dan Rama Pamannya, Nyi Rara Santang melanjutkan perjalanannya
dengan hati yang penuh tekad. Ibu Bibi dan Rama Pamannya merasa bangga namun juga prihatin atas
perjuangan keponakannya.

Kisah ini menceritakan tentang Ki Hajar Sasmata, seorang pertapa sakti, yang sedang bersemedi di
Gunung Parahyangan. Dia adalah putra Nabi Nuh dan merupakan cikal bakal Galuh. Ki Hajar mencari
pencerahan rasa dan akhirnya merasakan diri sejati di dalam hatinya.
Namun, saat dalam meditasi, dia disadarkan oleh Nyi Rara Santang, yang mencari saudaranya, Raden
Welang Sungsang. Ki Hajar memberikan petunjuk kepada Nyi Rara Santang untuk pergi ke Gunung
Merapi, di mana kakaknya berada bersama Pandhita Sanghyang Danuwarsih. Ki Hajar juga memberi
nama "Nini Eling" kepada Nyi Rara Santang dan memberikan wasiat penting tentang keturunan yang
akan datang.

Nyi Rara Santang melanjutkan perjalanannya dengan tekad kuat, menghadapi berbagai rintangan, dan
berharap menemukan kakaknya, Raden Welang Sungsang.

Kisah berlanjut dengan Nyi Rara Santang yang berhasil bertemu dengan Raden Welang Sungsang di
Padepokan Sanghyang Danuwarsih di Gunung Merapi. Raden Welang Sungsang telah menerima ilmu
kaweruh Budha dari Pandhita Danuwarsih. Ketika Nyi Rara Santang muncul, Sanghyang Danuwarsih
terkejut dan segera memanggil Raden Welang Sungsang untuk memberitahunya.

Ketika mereka berdua bertemu, meskipun Nyi Rara Santang telah berpenampilan berbeda dan memakai
Baju Hiperi, Raden Welang Sungsang segera mengenali adiknya. Mereka berdua berpelukan dalam
keharuan, menangis dalam campuran perasaan sedih, bahagia, dan prihatin. Pandhita Danuwarsih dan
putrinya, Nyi Endang Geulis, ikut terharu dan menghibur keduanya.

Setelah beberapa saat, Nyi Endang Geulis memberikan kenang-kenangan berupa Cincin Ampal kepada
Raden Welang Sungsang. Cincin itu memiliki khasiat khusus. Selanjutnya, Raden Welang Sungsang
menerima Nyi Endang Geulis sebagai istri dengan tulus.

Kemudian, mereka berdua dimasukkan ke dalam Cincin Ampal untuk menjalani perjalanan bersama.
Sang Pandhita mengganti nama Raden Welang Sungsang menjadi Ki Samadullah dan memberikan
petunjuk untuk mencari Sanghyang Naga di Gunung Ciyangkup.

Selanjutnya, Ki Samadullah berpamitan kepada Sanghyang Danuwarsih dan pergi menuju Gunung
Ciyangkup untuk mendapatkan petunjuk lebih lanjut dalam perjuangannya mencari agama Islam yang
mulia. Raden Welang Sungsang meninggalkan Gunung Merapi dengan berbagai harapan dan tugas yang
harus dilaksanakannya.

Kisah ini berlanjut dengan Raden Welang Sungsang yang bertemu dengan Sanghyang Naga di Gunung
Cingkup. Sanghyang Naga sedang bertapa dan mencari pencerahan spiritual. Ketika Raden Welang
Sungsang datang dengan maksud mencari Pandhita Sidik untuk mempelajari agama Islam, Sanghyang
Naga memberikan petunjuk dan pusaka berupa Golok Cabang.

Sanghyang Naga menjelaskan bahwa meskipun ia tidak mengajarkan ilmu syariat Islam, ia telah
menerima wangsit bahwa agama Budha akan digantikan oleh agama Islam di Pulau Jawa, dan Raden
Welang Sungsang adalah salah satu tokoh yang akan memainkan peran penting dalam perubahan
tersebut. Sanghyang Naga memberikan nama baru, Ki Sangkan, kepada Raden Welang Sungsang dan
memberikan petunjuk untuk pergi ke Gunung Kumbi.

Ki Sangkan menghaturkan sembah bakti dan memulai perjalanannya menuju Gunung Kumbi. Di sana, ia
menemukan Sang Naga Pertapa yang menjaga pusaka leluhur, yaitu Umbul-umbul, Kopiyah Waring, dan
lainnya. Sang Naga menyadari bahwa Ki Sangkan adalah orang yang ditunggu-tunggunya untuk mewarisi
pusaka tersebut.

Sang Naga memberikan pusaka tersebut kepada Ki Sangkan dan memberinya nama baru, Raden
Krakadullah. Raden Krakadullah menerima petunjuk lebih lanjut untuk pergi ke Gunung Cangak dan
mengambil wasiat jimat leluhur lainnya, seperti Piring Panjang, Bareng, dan Pendhil Waja.

Setelah menerima petunjuk ini, Raden Krakadullah menghaturkan sembah bakti kepada Sang Naga,
namun tiba-tiba Sang Naga menghilang. Raden melanjutkan perjalanan menuju Gunung Cangak untuk
mengambil wasiat jimat leluhur dan melanjutkan pencariannya menuju Sang Resi Sejati.

Kisah ini melanjutkan perjalanan Raden Welang Sungsang, yang telah berhasil menjebak Sang Raja
Bango dalam jeratan wadhong. Sang Raja Bango merasa terjebak dan mengajukan permintaan agar ia
tidak dibunuh, melainkan ingin membayar tebusan dengan harta yang berlimpah.

Raden Welang Sungsang setuju untuk melepaskan Sang Raja Bango jika ia setuju untuk memberikan tiga
pusaka yang dimilikinya. Sang Raja Bango setuju dengan syarat tersebut. Pusaka-pusaka tersebut adalah
Panjang, Bareng, dan Pendhil Wesi. Masing-masing pusaka memiliki khasiat khusus, seperti Bareng yang
dapat mendatangkan bala bantuan dalam peperangan, Pendhil Wesi yang membuat nasi tidak habis jika
dimasak untuk banyak orang, dan Piring Panjang yang dapat mengeluarkan makanan beragam jenis.
Sang Raja Bango menghormati kesepakatan tersebut dan membawa Raden Welang Sungsang ke Gunung
Cangak, tempat terletak kerajaannya. Di sana, mereka bertemu dengan para pembesar dan raja bango,
Sanghyang Bango. Sanghyang Bango mempersilakan Raden Welang Sungsang duduk di singgasana.

Namun, Raden Welang Sungsang menolak tawaran tersebut dan hanya meminta pusaka yang akan
digunakan untuk perjuangan dalam menegakkan agama dan budi pekerti yang mulia. Sanghyang Bango
setuju dan menyerahkan pusaka Panjang, Bareng, dan Pendhil Wesi, yang akan membantu Raden
Welang Sungsang dalam perjalanannya untuk mencari Sang Resi Sejati dan mengembangkan agama
Islam.

Ini adalah cerita yang menggambarkan pertemuan antara Pangeran Welang Sungsang dan Syekh Nurjati,
di mana Pangeran Welang Sungsang mencari pandhita Ki Syekh Nurjati untuk berguru dalam ilmu agama
Islam setelah mendapat petunjuk dari mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Syekh Nurjati,
yang sebenarnya bernama Ki Syekh Dhatukafi, telah berada di Gunung Jati selama 200 tahun, berharap
bisa mengembangkan agama Islam di Pulau Jawa. Akhirnya, Pangeran Welang Sungsang menerima
sahadat dan diajarkan ilmu agama Islam oleh Syekh Nurjati. Ini adalah awal dari perjalanan spiritual
Pangeran Welang Sungsang dalam agama Islam.

Cerita ini melanjutkan perjalanan Pangeran Welang Sungsang setelah menerima perintah dari Syekh
Nurjati. Dia membuka hutan di wilayah pesisir dan mendirikan sebuah desa yang diberi nama Kebon
Pesisir. Selanjutnya, dia juga membuka hutan di wilayah Gunung Sembung dan mendirikan cikal bakal
Negara dengan nama Ki Cakra Bumi atau Ki Cakra Buana.

Dengan menggunakan kekuatan dan ilmu kanuragan yang dimilikinya, Pangeran Welang Sungsang
membabad hutan dengan cepat, bahkan menyebabkan hutan terbakar. Setelah itu, dia membangun
sebuah pedukuhan dengan nama Ki Sangkan Kebon, di mana awalnya hanya ada tiga penghuni.

Kemudian, cerita melanjutkan perkembangan pedukuhan tersebut, di mana banyak orang mulai
bergabung dan membangun gubug-gubug dan pondokan. Pangeran Welang Sungsang mendapat julukan
Ki Kuwu Sangkan Kebon. Pedukuhan ini menjadi bawahan Kerajaan Galuh, dan mereka membayar pajak
terasi.

Meskipun banyak orang yang datang bergabung, Pangeran Welang Sungsang pada awalnya tidak
menjalani hubungan suami istri, karena dia ingin mencapai cita-citanya menjadi waliyullah.
Namun, seiring berjalannya waktu, Pangeran Welang Sungsang lupa akan gurunya, Syekh Nurjati, karena
kesibukannya dengan mengurus pedukuhan dan menangkap ikan di laut. Syekh Nurjati, yang merasa
kehilangan murid-muridnya, akhirnya datang ke pedukuhan tersebut untuk menemui Pangeran Welang
Sungsang dan menyambutnya dengan gembira.

Cerita ini menggambarkan perjalanan panjang dan usaha Pangeran Welang Sungsang dalam
membangun sebuah pedukuhan baru dan bagaimana dia lupa akan guru spiritualnya, Syekh Nurjati,
karena kesibukan dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin pedukuhan.

Cerita ini melanjutkan perjalanan Pangeran Welang Sungsang setelah menerima perintah dari Syekh
Nurjati. Kali ini, Syekh Nurjati memerintahkan Pangeran Welang Sungsang dan adiknya, Nyi Rara
Santang, untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah bersama-sama.

Meskipun perjalanan ini dihadang oleh rintangan berat, seperti mengarungi samudra, Pangeran Welang
Sungsang dan Nyi Rara Santang tetap bersemangat dan bertekad untuk melaksanakan perintah gurunya.
Mereka juga dibekali surat dari Syekh Nurjati yang akan mereka serahkan kepada Syekh Bayanullah
ketika tiba di tempat tujuan. Surat ini mungkin untuk memfasilitasi mereka agar bisa ikut mondok
(belajar agama) di sana.

Setelah persiapan selesai, mereka berdua berangkat dengan perahu Konthing dan akhirnya mendarat di
Pasisir Julda. Itu adalah langkah awal mereka dalam perjalanan haji yang penuh makna.

Cerita ini melanjutkan perjalanan Pangeran Welang Sungsang dan adiknya, Nyi Rara Santang, setelah
tiba di Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka berhasil menemukan Syekh Bayanullah dan
menyerahkan surat dari Syekh Nurjati.

Syekh Bayanullah dengan senang hati menerima mereka sebagai murid dan mondok di rumahnya
selama mereka menunaikan ibadah haji. Pangeran Welang Sungsang dan Nyi Rara Santang menerima
pengajaran ilmu agama dari Syekh Bayanullah, termasuk mempelajari Kitab Qur'an.

Pengajaran ini berlanjut sampai mereka menyelesaikan bahan atau ilmu yang dapat diajarkan oleh
Syekh Bayanullah. Perjalanan mereka ke Mekah tidak hanya sebagai ibadah haji, tetapi juga sebagai
kesempatan untuk memperdalam ilmu agama Islam di bawah bimbingan Syekh Bayanullah.
Cerita ini melanjutkan perjalanan Pangeran Welang Sungsang dan adiknya, Nyi Rara Santang, ke Mekah
untuk menunaikan ibadah haji dan belajar agama di bawah bimbingan Syekh Bayanullah. Di sana,
mereka bertemu dengan Ki Patih Anwar, utusan Raja Mesir.

Ki Patih Anwar, yang telah diberikan tugas oleh Sang Nata (Raja Mesir), mencari seorang wanita yang
mirip dengan permaisuri yang telah meninggal. Setelah perjalanan panjang mencari, Ki Patih Anwar
akhirnya menemukan Nyi Rara Santang yang sangat mirip dengan permaisuri tersebut. Mereka juga
bertemu dengan Pangeran Welang Sungsang.

Ki Patih Anwar membawa mereka bertiga ke rumah Syekh Bayanullah, dan setelah menjelaskan maksud
kedatangannya, mereka semua bersama-sama pergi ke Mesir. Di sana, mereka diterima dengan baik
oleh Sang Raja Hutara, yang terkejut melihat kemiripan Nyi Rara Santang dengan permaisuri yang telah
meninggal.

Cerita ini menggambarkan bagaimana Pangeran Welang Sungsang, adiknya, dan Ki Patih Anwar bertemu
dengan Sang Raja Hutara Mesir dan Nyi Rara Santang yang mirip dengan permaisuri yang telah
meninggal, serta bagaimana mereka sampai di Mesir setelah perjalanan yang panjang.

Cerita ini melanjutkan perjalanan Nyi Rara Santang, Pangeran Welang Sungsang, dan Ki Patih Anwar di
Mesir. Setelah diperiksa oleh Raja Mesir, Sang Raja kemudian memohon izin kepada Syekh Bayanullah
untuk menikahi Nyi Rara Santang dan menjadikannya permaisuri kerajaan Mesir.

Sang Raja juga meminta persetujuan dari Raden Welang Sungsang sebagai kakak Nyi Rara Santang.
Raden Welang Sungsang dengan tulus memberikan persetujuannya, bahkan menyatakan bahwa jika
Sang Raja menginginkannya, ia juga bersedia menjadi permaisuri. Ini menggambarkan kesetiaan dan
pengorbanan mereka dalam menjalani takdir yang telah terjadi.

Pernikahan antara Nyi Rara Santang dan Sang Raja Mesir akhirnya dilangsungkan dengan perayaan yang
meriah, melibatkan para ulama, fakir, penghulu, khotib, dan modin. Sebagai hadiah wali, Raden Welang
Sungsang menerima sorban peninggalan Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang panjangnya 60 hasta,
yang kemudian dipotong menjadi dua bagian. Salah satu bagian diberikan kepada wali untuk dibawa ke
tanah Jawa.
Selain itu, Nyi Rara Santang juga diberi julukan "Syekh Abdul Iman." Ini adalah akhir dari perjalanan Nyi
Rara Santang dalam cerita ini, di mana dia menjadi permaisuri Mesir.

Cerita ini melanjutkan perjalanan Pangeran Welang Sungsang yang kembali ke Jawa meninggalkan Nyi
Rara Santang di Mesir setelah pernikahan mereka. Meskipun mereka berdua merasa sedih dan berat
hati berpisah, mereka sadar bahwa ini adalah kehendak Allah SWT dan bagian dari kehidupan manusia
untuk membentuk keluarga.

Raden Welang Sungsang memberikan pesan kepada adiknya, Nyi Rara Santang, untuk menghadapi
kehidupan yang baru dengan keteguhan hati. Dia mengingatkan akan pesan yang pernah diberikan oleh
Hyang Bathara Angganali di Gunung Cilawung. Meskipun berpisah, mereka berdua memahami bahwa
inilah takdir mereka.

Setelah Raden Welang Sungsang kembali ke Jawa, Nyi Rara Santang mengalami kesedihan yang
mendalam. Dia menolak tidur bersama Sang Raja Mesir dan terus merindukan saudaranya.

Di sisi lain, Syekh Bayanullah menginginkan untuk kembali ke Jawa bersama Pangeran Welang Sungsang
dan berdiskusi tentang kitab-kitab agama. Namun, Pangeran Welang Sungsang, yang sekarang dikenal
sebagai Syekh Abdul Iman, memutuskan untuk berkeliling negeri Arab terlebih dahulu untuk
mengetahui situasi di sana. Dia meminta Syekh Bayanullah untuk menunggunya selama satu setengah
bulan di rumahnya sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Jawa.

Dalam perjalanan Pangeran Welang Sungsang (Syekh Abdul Iman) di tanah Aceh, ia menemukan bahwa
negeri tersebut sedang dilanda wabah penyakit pageblug yang merenggut banyak nyawa. Sang Raja
Aceh, Sultan Kut, juga menderita sakit parah, dan keadaan di keraton sangat berduka.

Seorang haji yang berasal dari Jawa, Syekh Abdul Iman, ingin menjenguk Sultan Kut untuk
menyembuhkan penyakitnya. Setelah mendapat izin, dia berhasil menyembuhkan Sultan Kut dengan
karomah waliyullahnya. Sultan Kut sembuh dengan cepat hanya setelah diucapkan kata-kata oleh Syekh
Abdul Iman.

Kemudian, mereka duduk bersama dan bercerita tentang pengalaman mereka. Selama kunjungannya,
mereka mendengar tangisan bayi yang baru lahir yang ditinggal oleh ibunya yang telah meninggal. Syekh
Abdul Iman merasa sangat sayang pada bayi itu dan meminta izin untuk mengangkatnya sebagai
putrinya. Sultan Kut setuju, dan bayi itu dengan ajaibnya hilang dan masuk ke dalam Cincin Ampal.
Setelah semua beres, Syekh Abdul Iman dan Sultan Kut saling berpisah dengan perasaan bersyukur dan
doa untuk mendapatkan rahmat dan kemuliaan dari Allah SWT.

Setelah Syekh Abdul Iman (Raden Welang Sungsang) kembali ke pondok Syekh Bayanullah dan
mengetahui bahwa tuan rumah telah pergi ke Pulau Jawa, ia mencari cara untuk mengejar Syekh
Bayanullah. Perahunya telah dibawa pergi oleh Syekh Bayanullah, dan dia melihat Jangon dan Waring
yang ada di pantai.

Syekh Abdul Iman merakit Jangon dan Waring sebagai alternatif perahu pengganti. Setelah berdoa dan
memohon bantuan kepada Allah SWT dan guru Syekh Dhatukafi, terjadi keajaiban. Meskipun
menggunakan perahu yang sangat sederhana, ia melaju di atas samudra dengan cepat, seolah-olah
menaiki kilat, dan tiba di Kebon Pasisir dalam sekejap.

Kemudian, Syekh Abdul Iman berubah penampilannya menjadi seorang kakek tua yang mencari ikan di
pesisir, menunggu kedatangan Syekh Bayanullah. Saat Syekh Bayanullah tiba di pesisir, ia bertemu
dengan kakek tua tersebut dan meminta petunjuk untuk mencari Syekh Dhatukafi. Kakek tua
memberinya petunjuk menuju Gunung Gajah, tempat dia mungkin akan bertemu dengan Ki Kutub Wali
Linuwih, yang merupakan guru Syekh Dhatukafi. Syekh Bayanullah kemudian berangkat menuju arah
Timur.

Setelah sampai di Gunung Gajah, Syekh Bayanullah mengubah namanya menjadi Pangeran Pejarakan.
Dia memutuskan untuk menetap di sana dan mendirikan sebuah padukuhan. Selama tinggal di Gunung
Gajah, dia menjalani kehidupan asketis dengan mengurangi makan, tidur, dan mengerjakan amal ibadah.
Pangeran Pejarakan juga memberikan air kepada penduduk yang lewat di jalan besar sebagai amal. Ia
menjalani kehidupannya dengan penuh kesabaran di sana.

Setelah Ki Sangkan, atau Syekh Abdul Iman, selesai menjalani laku askesis dan mencari ikan di laut, dia
memutuskan untuk membuat petilasan di setiap pesisir sebagai penanda untuk anak cucu kelak. Selama
perjalanan ini, ia merenungkan tentang asal-usul hidup dan tujuannya. Ia ingin memahami makna sejati
kehidupan dan menghindari kesesatan pada saat ajal menjemput, seperti yang sering terjadi pada
hewan seperti kerbau dan sapi.

Selanjutnya, Ki Sangkan merasa rindu kepada gurunya, Syekh Dhatukafi, yang perintahannya untuk naik
haji ke Mekah sudah lama belum terpenuhi. Dia memutuskan untuk mencari gurunya di Pondok
Panjunan. Namun, ketika tiba di sana, ia menemukan pesan dari gurunya yang mengarahkannya ke
Pandan Jalma dan memberikan petunjuk bahwa sudah saatnya baginya untuk berputra.
Ki Sangkan kembali ke rumahnya dan bertemu dengan Nyi Endang Geulis. Mereka akhirnya bersatu
kembali sebagai suami istri setelah berpisah begitu lama. Nyi Endang Geulis mengidam untuk memiliki
seorang anak. Ki Sangkan memberikan pesan padanya untuk menjaga sebuah Kendhaga dengan baik.
Jika suatu hari seorang putra dari Mekah datang ke Pulau Jawa, Kendhaga itu harus diserahkan
kepadanya, dan bayi yang lahir akan diberi nama Pakungwati jika perempuan dan nama lain jika laki-laki.

Nyatanya, Nyi Endang Geulis sangat taat kepada suaminya dan menjalankan pesan-pesannya dengan
setia.

Setelah mencari gurunya, Ki Sangkan, atau Ki Sela Pandhan, menemukan pesan yang mengarahkannya
untuk membuat sebuah pedukuhan. Ia pun mematuhi petunjuk sang guru dan membabad hutan untuk
menjadikannya pedukuhan. Ki Sangkan kemudian bergelar Ki Sela Pandhan.

Selama waktu ini, Nyi Gandasari, putri Ki Sangkan, telah dewasa dan dikeluarkan dari cincin Ampalnya. Ia
sangat cantik dan disebut Nyi Gandasari. Ki Sangkan sangat menyayangi putrinya, dan mereka membuka
pedukuhan di hutan Kartasari, di mana Nyi Gandasari mendapat gelar Nyai Wanasaba. Kemudian, Nyi
Gandasari pindah ke daerah Sungsang, Panguragan, dan dikenal sebagai Nyi Gedhe Panguragan.

Ki Sangkan selalu mengikuti keinginan putrinya dan bekerja keras sebagai petani. Mereka menggarap
sawah dan ladang dengan penuh dedikasi. Panen padi mereka sangat subur, dan meskipun saat itu
belum ada kandek (karung), mereka tetap berhasil mengelola hasil panen dengan baik, menggunakan
gedhengan yang diikat dengan rumput duk kawat. Ki Sangkan dan Nyi Panguragan menjadi petani yang
makmur dan sejahtera.

Cerita ini mengisahkan tentang Nyi Rara Santang, permaisuri Raja Mesir, yang menolak tidur bersama
dengan paduka raja karena kesedihan mendalam akibat berpisah dengan Sang Raka, Raden Welang
Sungsang. Meskipun telah dibujuk rayu, Nyi Rara Santang tetap menolak karena keadaan yang
mematikan hasratnya. Paduka raja, yang kasmaran padanya, akhirnya meminta petunjuk kepada Allah
SWT dan mendapat jawaban melalui utusan surga. Nyi Rara Santang akhirnya setuju tidur bersama
paduka raja dengan syarat akan memiliki putra kembar yang istimewa.

Setelah doa sang raja dikabulkan oleh Allah, sebuah burung besar turun dari surga sebagai utusan dan
menghampiri Nyi Rara Santang di pertamanan. Meskipun terkejut, Nyi Rara Santang mendengar pesan
burung tersebut yang menyatakan bahwa ia adalah utusan Allah dan meminta Nyi Rara Santang untuk
memenuhi hasrat sang raja yang merupakan keturunan nabi. Burung tersebut juga meminta agar Nyi
Rara Santang berdoa agar kelak mempunyai putra kembar yang istimewa.
Nyi Rara Santang teringat akan pesan dari gurunya di Gunung Amparan dan Sang Bathara Angganali di
Gunung Cilawung, dan dengan segera menghaturkan sembah bakti. Kemudian, burung itu menghilang.

Singkat cerita, Nyi Rara Santang akhirnya memenuhi hasrat sang raja, dan keduanya bertemu dalam
suasana hangat dan manis. Sang raja mengizinkan Nyi Rara Santang untuk meminta sesuatu, dan ia pun
menceritakan permohonannya, yaitu memiliki putra kembar yang istimewa yang akan menjadi panutan
bagi wali sanga.

Setelah Nyi Rara Santang menceritakan permintaannya kepada sang raja, yang menginginkan tidur
bersama asalkan diberikan putra kembar yang istimewa, sang raja terdiam dalam beberapa lama karena
merasa bahwa permintaan itu sangat sulit untuk dipenuhi oleh manusia.

Maka, sang raja masuk ke dalam sanggar pamujan untuk memohon petunjuk kepada Allah SWT. Ketika
tengah malam, terdengar suara tanpa rupa memberikan wasiat kepada sang raja, mengatakan agar sang
raja bersabar dan sanggupilah permintaan Nyi Rara Santang. Suara itu juga meyakinkan bahwa Allah
akan mengabulkan semuanya.

Mendengar pesan tersebut, sang raja bangun dan mengakhiri semedinya. Pagi berikutnya, sang raja
mengunjungi permaisuri di taman keputren, dan Nyi Rara Santang menerima sang raja dengan
menghaturkan sembah bakti. Akhirnya, mereka merengkuh asmara dan memadukan tali kasih.

Singkat cerita, setelah tidur bersama dengan sang raja, Nyi Rara Santang hamil selama 7 bulan. Pada
suatu hari, Raja Mesir ingin pergi menemui adiknya yang menjadi raja di Negara Erum, namun karena
Nyi Rara Santang sedang hamil dan perjalanan itu dianggap berbahaya bagi bayi yang ada dalam
kandungannya, sang permaisuri tidak boleh ikut. Kemudian, mereka berangkat menuju Negara Erum. Di
sana, Raja Mesir bertemu dengan saudara tuanya dan menceritakan tentang kehilangan istri tercintanya
dan pernikahannya dengan Nyi Rara Santang keturunan raja Jawa yang memiliki paras dan wajah yang
sama persis dengan permaisuri yang telah meninggal.

Setelah kedatangan Raja Mesir ke Negara Erum, selain rindu kepada adiknya, niatnya juga untuk
mengadakan sedekahan atas kehamilan Nyi Rara Santang yang telah mencapai usia 7 bulan. Raja Erum
menyambut niat kakandanya itu dengan gembira. Mereka mempersiapkan segala keperluan, termasuk
juwada (jajanan pasar), yang telah diangkut dengan beberapa onta.
Pada malam harinya, kakak beradik itu tidur bersama. Raja Mesir bermimpi bertemu dengan leluhurnya,
Eyang Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang memerintahkan agar sang raja segera pulang ke alam
kelanggengan, dan sukmanya akan ditunggu di Aras. Namun, tiba-tiba Raja Mesir terjangkit penyakit
kolera yang akut, dan ia tidak dapat tertolong lagi, akhirnya meninggal di Negara Erum. Raja Erum dan
seluruh keraton sangat sedih melihat nasib kakandanya itu.

Dengan bijaksana, jenazah Raja Mesir dimakamkan di Negara Erum, dan kemudian sang raja membuat
surat duka yang ditugaskan kepada Ki Patih untuk mengantarkannya kepada Nyi Ratu Rara Santang di
Mesir. Ki Patih segera berangkat dengan beberapa prajurit khusus, dan setelah tiba di Mesir, mereka
menghaturkan sembah bakti kepada Nyi Ratu Rara Santang.

Ketika surat duka dibuka dan isinya mengabarkan kematian mendadak Sang Raja Mesir akibat penyakit
kolera, Nyi Rara Santang sangat terkejut dan sampai pingsan tak sadarkan diri. Seluruh istana menjadi
gaduh dan terkejut mendengar berita duka yang mendadak ini. Setelah situasi tenang, Ki Patih Erum pun
berpamitan untuk pulang ke negaranya.

Nyi Rara Santang sangat terpukul oleh kematian Sang Raja Mesir, yang merupakan satu-satunya
tumpuan hidupnya di Negara Mesir. Ia merasa sangat berkabung, terlebih lagi karena mengkhawatirkan
nasib putra kembar mereka yang akan lahir.

Setelah berbulan-bulan mengandung, akhirnya Nyi Rara Santang melahirkan dua bayi laki-laki kembar.
Kedua bayi tersebut lahir dengan sempurna, mulus, dan tampak sangat indah, sepertinya seperti bulan
purnama yang bersinar terang. Bayi pertama diberi nama Syarif Hidayat, sementara bayi kedua diberi
nama Syarif Arifin.

Ketika kedua bayi ini mencapai usia 14 tahun, mereka sudah menginjak masa baligh (usia dewasa).
Selain itu, mereka telah sangat pandai dalam memahami Kitab Qur'an. Kecerdasan mereka menjadi
terkenal di seluruh Negara Mesir, dan mereka menjadi pembicaraan di kalangan orang-orang yang ahli
dalam beribadah, termasuk para guru sufi.

Pada suatu malam, Syarif Hidayat berada di ruangan langgar yang sunyi, tempat ayahnya dahulu
bertafakur. Saat membaca berbagai kitab, ia menemukan sebuah kitab Si Demplek yang memakai tinta
emas. Isinya berisi ajaran syari’at, tarekat, hakekat, dan ma’rifat yang berasal dari warisan Nabi
Muhammad SAW. Dalam bab ma’rifat kitab itu tertulis, "Jika engkau ingin menjadi luhur, maka carilah
nabi rasul. Jika hidupmu ingin menjadi mulia maka carilah Nabi Muhammad."
Meskipun awalnya ragu, Syarif Hidayat akhirnya tertidur karena kelelahan setelah membaca banyak
kitab. Saat tidur, ia melihat cahaya putih bersih yang berkilauan, yaitu cahaya agung dari Nabi
Muhammad SAW yang menampakkan diri padanya. Cahaya tersebut memberikan petunjuk, bahwa jika
Syarif ingin kehidupannya menjadi mulia, maka ia harus mencari Nabi Muhammad. Hal ini menjadi titik
awal perjalanan penting dalam hidup Syarif Hidayat.

Setelah terbangun dan mendengar petunjuk dari cahaya Nabi Muhammad SAW yang muncul dalam
mimpinya, Syarif Hidayat merasa terkejut. Namun, saat ia bangun, tak ada siapa pun di sekitarnya. Ia
memikirkan bahwa suara tadi mungkin saja merupakan petunjuk dari leluhurnya. Karena masih merasa
lelah, ia tiduran kembali. Namun, suara petunjuk itu muncul kembali untuk yang kedua kalinya. Syarif
Hidayat terbangun kembali, dan kali ini cahaya dari mimpinya benar-benar nyata sebelum perlahan-
lahan menghilang. Ini membuatnya sedih, teringat akan ayahnya yang telah meninggal ketika ia masih
dalam kandungan.

Syarif Hidayat kemudian bercerita kepada ibunya tentang pengalaman mimpinya. Ia menjelaskan bahwa
ia telah bermimpi bertemu dengan cahaya agung dari Nabi Muhammad yang berkilauan dan
memberikan petunjuk agar mencari Nabi Muhammad jika ia ingin hidup mulia. Cahaya tersebut muncul
dalam mimpi dua kali dengan pesan yang jelas, dan saat ia terbangun, cahaya itu masih terlihat sangat
terang sebelum akhirnya hilang.

Nyi Ratu Santang mencoba meyakinkan putranya bahwa mencari orang yang sudah meninggal adalah
tindakan sia-sia. Ia menyarankan agar Syarif Hidayat menikahi seorang putri yang dicintainya dan
membangun hidupnya di Mesir. Namun, Syarif Hidayat dengan halus menolak keinginan ibunya dan
memilih untuk mengikuti petunjuk yang telah diterimanya, yaitu mencari Nabi Muhammad langsung.

Meskipun ibunya merasa sedih, ia tidak bisa menghentikan tekad mulia putranya. Setelah kepergian
Syarif Hidayat, Nyi Rara Santang pergi ke sanggar pamujan untuk mendoakan keselamatan putranya,
berharap agar ia selalu dilindungi oleh Allah SWT dalam perjalanannya.

Setelah berkelana ke berbagai tempat keramat dan petilasan leluhur tanpa mendapatkan petunjuk,
Syarif Hidayat akhirnya tiba di makam Rasulullah. Di sana, ia melakukan shalat hajat dan bertafakur. Saat
itulah, ia mendengar suara tanpa wujud yang mengatakan bahwa jika ia ingin hidup mulia dan menjadi
wali yang linuwih, maka ia harus mencari sampai menemui Nabi Muhammad Sejati.

Syarif Hidayat pun melanjutkan perjalanannya, mengunjungi berbagai tempat yang angker dan tidak
biasa. Ia menjelajahi gunung, sungai, hutan, rawa, dan candi, tetapi tetap tidak mendapatkan petunjuk.
Akhirnya, perjalanannya membawanya ke Gunung Jambini, di mana ia bertemu dengan seekor naga
besar bernama Naga Pratala. Naga tersebut sedang menderita sakit yang membuatnya tidak dapat
bergerak. Naga Pratala meminta pertolongan kepada Syarif Hidayat dan menanyakan tujuannya yang
telah membawanya ke gunung tersebut.

Syarif Hidayat menceritakan bahwa ia adalah putra dari Mesir dan sedang mencari Nabi Muhammad
SAW. Namun, Naga Pratala menyarankan bahwa mencari orang yang sudah meninggal adalah tindakan
sia-sia. Ia menawarkan untuk membantu sang naga yang sedang menderita dan berjanji untuk mengabdi
jika kelak telah mencapai kedudukan sebagai seorang wali auliya setelah membantu sang naga sembuh
dari penyakitnya yang parah.

Setelah Syarif Hidayat menawarkan pertolongan kepada Naga Pratala yang sangat sakit, dengan ajaib,
bengkak-bengkak di seluruh tubuh naga itu tiba-tiba menghilang. Syarif Hidayat telah berhasil
menyembuhkan naga tersebut. Naga Pratala sangat bersyukur dan memberikan hadiah kepada Syarif
Hidayat berupa cincin Marembut Putih, sebuah pusaka leluhur.

Cincin Marembut Putih memiliki kemampuan luar biasa, yaitu memungkinkan pemakainya melihat
dengan jelas semua yang ada di bumi dan langit. Selain itu, cincin ini tidak akan basah oleh air dan tidak
dapat terbakar oleh api. Setelah memakai cincin tersebut, Syarif Syarif merasakan perubahan yang
signifikan dalam penglihatannya.

Naga Pratala memberikan petunjuk kepada Syarif Hidayat untuk pergi ke pulau Manjethi. Di pulau ini,
ada seorang Syekh yang sedang bertapa di pulau Mardada. Selanjutnya, Syarif Hidayat berpamitan
kepada Naga Pratala dan melanjutkan perjalanannya menuju pulau Manjethi.

Di pulau Manjethi, Syarif Hidayat melihat berbagai jenis binatang seperti sapi, babi, banteng, dan ular
yang berkumpul secara tidak teratur. Mereka semua mengelilingi jasad Kanjeng Nabi Sulaiman AS yang
berada dalam Kathil Rukmin. Dahulu, jasad Nabi Sulaiman menjadi rebutan para raja manusia dan jin.
Namun, raja bangsa Marut, yaitu Jin Ngasik, berhasil menguasainya.

Tampaknya perjalanan Syarif Hidayat terus membawanya ke tempat-tempat yang penuh dengan
keajaiban dan misteri.
Pada pulau Manjethi, Syarif Hidayat mengetahui bahwa jasad Kanjeng Nabi Sulaiman AS, yang menjadi
rebutan antara manusia dan jin, saat ini berada dalam Kathil Rukmin di pulau tersebut. Jasad tersebut
dikelilingi oleh berbagai jenis binatang, jin, dan setan yang menjaganya sebagai pepunden atau keramat
bagi bangsanya.

Kemudian, kisah beralih kepada seorang Pandhita bernama Syekh Nataullah yang berasal dari Mekah. Ia
datang ke Pulau Mardada mencari Syekh Datukiman untuk berbai'at dan berguru. Namun, ia mendapat
wangsit bahwa ada sebuah pusaka linuwih berbentuk cincin yang disebut cincin Malukat Tunggul
Malekat. Ia melihat jasad Kanjeng Nabi Sulaiman yang dijaga ketat oleh makhluk-makhluk yang
mengerikan seperti jin, setan, binatang, dan ular berbisa.

Syekh Nataullah memanjat pohon Cemara Putih di sekitar tempat penyimpanan jenazah tersebut untuk
menghindari gangguan dari makhluk-makhluk tersebut. Dia berdoa dan bermeditasi agar diberikan jalan
kemudahan untuk mendapatkan cincin pusaka tersebut.

Pada saat yang sama, Syarif Hidayat tiba di lokasi tersebut. Syekh Nataullah melihatnya dan turun dari
pohon Cemara Putih untuk menyambutnya. Setelah berkenalan dan saling mengucapkan salam, Syarif
Hidayat menjelaskan bahwa maksud dan tujuannya adalah untuk bertemu dan berguru langsung kepada
Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Kedua tokoh ini nampaknya memiliki tujuan yang besar dan penuh dengan keajaiban dalam perjalanan
spiritual mereka.Selanjutnya, Syekh Nataullah memberikan petunjuk kepada Syekh Syarif Hidayat untuk
mencari hal yang pasti dan jelas, yaitu cincin pusaka yang sangat agung yang berada di dekat jenazah
Nabi Sulaiman AS. Cincin tersebut memiliki kekuatan besar, dan jika dimiliki oleh seseorang, akan diikuti
oleh seluruh umat manusia dan ditakuti oleh bangsa jin, setan, dan makhluk berbahaya lainnya.

Syekh Syarif Hidayat menerima ajakan ini dan mereka berdua mendekati Khatil Rukmin tempat jenazah
Nabi Sulaiman tersimpan, yang telah berada di Pulau Manjethi selama 100 tahun. Jenazah tersebut
masih terlihat seperti orang yang tertidur dan mengeluarkan cahaya putih yang bersinar terang.

Ketika mereka tiba di lokasi penyimpanan jenazah, Syekh Nataullah mengucapkan salam, tetapi tidak
ada petunjuk yang diberikan oleh jenazah. Kemudian, Syekh Syarif Hidayat maju dan mengucapkan
salam, dan jenazah Nabi Sulaiman AS membalas salamnya. Setelah itu, jenazah Nabi Sulaiman
memberikan petunjuk kepada Syekh Syarif untuk mendekatinya dan memberikan cincin Malakut. Syekh
Syarif menerima cincin tersebut dan memakainya di kelingkingnya.

Namun, tiba-tiba, Syekh Nataullah merampas cincin itu dari tangan Syekh Syarif, dan hal ini
menyebabkan suara yang menggelegar seperti petir bersamaan dengan pusaran angin topan.

Nyi Ratu Rara Santang, yang sangat sedih karena putranya, Syekh Syarif Hidayat, telah pergi dan tidak
diketahui keberadaannya, memutuskan untuk mencari petunjuk dari Allah SWT. Kesedihannya
membuatnya bahkan tidak makan dan tidur. Meskipun putra bungsunya, Syekh Abdul Safingi, telah
menjadi Raja di Mesir, prihatin Nyi Rara Santang masih berfokus pada putranya yang pertama yang
hilang.

Dalam pencarian putranya, Nyi Rara Santang mendengar suara tanpa rupa yang memerintahkan agar
pergi ke Pulau Jawa jika ingin bertemu dengan putranya. Tanpa ragu, Nyi Rara Santang bersiap dan pergi
ke Pulau Jawa, tiba di Gunung Amparan, dan bertemu dengan gurunya, Ki Syekh Nurjati. Setelah
menceritakan keinginannya untuk bertemu putranya, Syekh Nurjati memberinya nama "Babu
Dhampun" dan menyuruhnya menunggu di Gunung Amparan, sementara ia akan mencoba
menghubungi putranya untuk memfasilitasi pertemuan mereka.

Syekh Syarif Hidayatullah, setelah jatuh di sebuah gunung, menemukan sebuah Kendhi Pratula yang
berisi air dari surga. Kendhi Pratula menyambutnya dengan salam dan mempersilakan untuk meminum
air tersebut. Syekh Syarif meminum separuh dari air tersebut, tetapi Kendhi Pratula memberi pertanda
bahwa kekuasaannya akan ada yang merebut, tidak sampai langgeng sampai ke anak cucu.

Syekh Syarif kemudian meminum sisa air Kendhi Pratula dan menerima pertanda bahwa meskipun
keratonnya bisa direbut, Negara yang akan dia bangun akan tetap utuh sampai ke anak cucunya, dan
Kendhi Pratula akan datang lagi jika Syekh Syarif sudah menjadi Sultan Negara Carbon.

Setelah Kendhi Pratula menghilang, Syekh Syarif bertemu dengan Syekh Kamarullah, seorang pertapa
yang mencari guru bernama Syekh Dhatukiman. Meskipun telah bertafakur selama 10 tahun, Syekh
Kamarullah belum berhasil bertemu dengan guru tersebut atau mendapatkan pencerahan tentang ilmu
sejatineng ngurip dan sejatineng rasul.

Syekh Syarif Hidayatullah dan Syekh Kamarullah berdialog tentang konsep ketuhanan. Syekh Kamarullah
berpendapat bahwa Allah tidak memiliki bentuk, warna, atau tempat tinggal, dan mengajarkan tentang
ketauhidan yang murni, bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa atas segalanya.
Namun, Syekh Syarif Hidayatullah mengajukan pertanyaan tentang di mana tempat Allah berada jika Dia
memang ada. Jika ada seseorang yang mengaku sebagai Allah, maka itu merupakan bentuk kekafiran.
Syekh Kamarullah setuju dengan Syekh Syarif Hidayatullah, mengatakan bahwa kekuasaan Allah meliputi
bumi, langit, dan kehidupan manusia, tetapi mengaku sebagai Allah adalah tindakan kafir dan agama
Islamnya akan menjadi tidak sah.

Sultan Erum, setelah gagal menemui guru Syekh Kamarullah, memutuskan untuk mencari gurunya di
Pulau Jawa, di Gunung Muria. Namun, Syekh Syarif Hidayatullah memberinya pilihan, entah mencari
guru atau menjalani tapabrata di Pulau Kencana jika ingin menjadi wali.

Sultan Erum, setelah berdoa kepada Allah, tiba-tiba menghilang dan muncul di Pulau Jawa, di mana ia
menjalani tapabrata dengan tekun.

Syarif Hidayatullah bertemu dengan wanita cantik bernama Dewi Atma yang memberinya sepotong roti
ajaib. Setelah memakan roti tersebut, Syarif Hidayatullah bisa menguasai seribu macam bahasa
manusia. Dewi Atma memberikan petunjuk kepada Syarif Hidayatullah agar menunggu seorang
penunggang kuda dan memegang erat ekor kuda tersebut agar bisa terbang ke awing-awang. Setelah
memberikan pesan, Dewi Atma menghilang.

Setelah terjatuh di negeri Jin, Syarif Hidayatullah ditemui oleh Raja Jin, Syekh Abdul Safari. Syekh Abdul
Safari terkejut dengan kehadiran manusia tersebut dan setelah Syarif Hidayatullah menceritakan asal-
usul dan tujuannya, mereka mulai memahami. Syarif Hidayatullah menolak makanan yang ditawarkan
karena sedang menjalankan laku prihatin. Syekh Abdul Safari kemudian memberikan dua buah buah
Kalmuksan dari pemberian malaikat tempo dahulu. Saat Syarif Hidayatullah memakan salah satu buah,
rasanya sangat nikmat, tetapi saat memakan yang kedua, rasanya sangat menyakitkan hingga
membuatnya lupa diri.

Setelah meninggalkan jasadnya di Memolo Masjid Sungsang, roh Syarif Hidayatullah melayang ke lapisan
langit dunia. Di sana, ia bertemu dengan roh-roh orang-orang mu'min yang mati dalam perang sabil dan
mereka memuji Syarif Hidayatullah sebagai hamba yang terkasihi oleh Allah. Kemudian, ia naik ke
lapisan langit yang kedua dan bertemu dengan malaikat berwujud manusia berkepala burung. Para
malaikat menyambutnya dengan pujian karena kedudukan tingginya di mata Allah.

Selanjutnya, Syarif Hidayatullah naik ke lapisan langit yang ketiga, di mana ia bertemu dengan malaikat
berwujud binatang seperti sapi, naga, atau kambing, yang juga menyambutnya dengan sukacita. Lalu, ia
melanjutkan perjalanan ke lapisan langit keempat, di mana ia bertemu dengan Nabi Isa AS yang sedang
tidur. Setelah berbicara dengan Nabi Isa AS, ia diberi nama Syekh Sidiq Amatunggal dan mendapatkan
restu untuk tujuannya.
Syarif Hidayatullah melanjutkan perjalanan ke lapisan langit kelima, di mana ia bertemu dengan malaikat
dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya.

Syarif Hidayatullah melanjutkan perjalanan ke langit yang ketujuh, di mana ia melihat sebuah tenda
agung yang tampak sepi. Setelah melewati titian Shirath di atas neraka, ia tiba di Teraju Talngim (Mizan),
tempat di mana amal perbuatannya ditimbang. Jika amal baiknya lebih berat, ia akan selamat, tetapi jika
lebih ringan, ia akan diceburkan ke dalam neraka. Syarif Hidayatullah melihat orang-orang yang disiksa
di neraka, di mana mereka terbakar hingga habis, namun prosesnya terulang lagi dan lagi.

Syekh Syarif Hidayatullah, setelah mencapai tempat yang penuh cahaya dan kemuliaan, melihat cahaya
yang sangat terang yang menerangi seluruh alam, yang merupakan cahaya Nabi Muhammad SAW. Ia
sujud khusu dan melakukan shalat di hadapan cahaya tersebut. Setelah itu, Syekh Syarif Hidayatullah
mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang duduk di kursi Gilang Rukmin. Setelah
beberapa kali mencoba, akhirnya Nabi Muhammad SAW menjawab salamnya.Syekh Syarif Hidayatullah
menjelaskan niatnya untuk bertemu dengan Nabi Muhammad SAW agar bisa memperoleh pengajaran
langsung mengenai berbagai aspek agama dan rahasia-rahasia yang bersifat spiritual. Namun, Nabi
Muhammad SAW menjelaskan bahwa banyak hal tersebut termasuk dalam larangan dan rahasia para
nabi. Membuka larangan tersebut akan berakibat hukuman mati.Nabi Muhammad SAW juga
menjelaskan bahwa ajaran agama yang telah diajarkan sudah lengkap dan terdapat dalam Al-Quran, dan
tidak perlu mencari hal-hal yang mustahil

Anda mungkin juga menyukai