Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

ANALISA DAN DATA

2.1 Sumber Data dan Informasi

Sumber data dan informasi untuk mendukung proyek Tugas Akhir saya diperoleh dari

beberapa sumber yang terdiri dari:

2.1.1 Website :

• http://www. my-curio.us

• http://www.wisatanet.com

• http://www.iai-banten.org

• http://www.potlot-adventure.com

2.1.2 Artikel, literatur dan Buku :

• Artikel

o Artikel dari Bapak Prof. Drs. Yongky Safanayong tentang Baduy

o Artikel dari Bapak Prof.Drs. Don Hasman tentang Baduy

o Buku Tata Kehidupan Masyarakat Baduy Daerah Jawa Barat

terbitan Departemen kebudayaan dan pendidikan,1986

o Buku Kehidupan masyarakat Kanekes terbitan Departemen

kebudayaan dan pendidikan, tahun 1986

o Artikel Badui dalam tantangan Modernitas, dari majalah Prisma

tahun 1993

o Dan beberapa artikel penunjang dari perpustakaan Kompas.


2.2 Data Pendukung

2.2.2.1 Wilayah Badui

Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan

108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan

Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten,

berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari

Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut

mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai

45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan

tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C. Kadang kala suku Badui juga menyebut

dirinya sebagai orang Kanekes, karena berada di Desa Kanekes. Mereka berada di wilayah

Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan

Cikanekes di Pegunungan Keundeng.Atau sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta dan 65

km sebelah selatan ibu kota Serang. Tidak begitu mengherankan, untuk mencapai lokasi

diperlukan waktu sekitar 9 jam, baik berkendaran dan berjalan kaki.

Lokasi dan Tempat Demografi Baduy yang berlokasi di desa Kanekes Kecamatan

Leuwidamar Kabupaten Rangkasbitung Banten terdiri dari kampung Gajebo, Cikeusik,


Cibeo,dan Cikertawana.dan terbagi atas abaduy luar dan baduy dalam.Daerah yang berluas 138

ha, terdiri atas 117 kk yang menempati 99 rumah yang dinamakan Culah Nyanda atau rumah

panggung, sedangkan rumah kokolot atau duku dinamakan Dangka, yang menghadap keselatan.

Masyarakat suku Baduy yang berpenduduk kurang lebih 10 ribu jiwa ini tinggal di wilayah yang

berbukit-bukit, dan berhutan-hutan, dengan memilki lembah yang curam sedang, sampai curam

sekali. Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan wilayah - wilayah pemukiman

Baduy rata-rata terletak pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut, dengan wilayah

pemukiman di daerah yang cukup rendah 150 m diatas permukaan air laut dan pemukiman yang

cukup tinggi pada ketinggian 400 m diatas permukaaan laut. Wilayah Baduy itu berdasarkan

lokasi geografinya terletak pada 60 27′ 27″ - 60 30′ LU dan 1080 3′ 9″ - 1060 4′ 55″ BT.

Wilayahnya berbukit - bukit dengan rata -rata terlelak pada ketinggian 250m diatas permukaan

laut.

2.2.2.2 Bahasa

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk

berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun

mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak

mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang

hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. untuk terus mempelajari Bahasa nasional yakni

bahasa Indonesia. Terbukti, tidak sedikit masyarakat Baduy yang dapat berbahasa Indonesia.
2.2.2.3 Asal-Usul

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara

Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula

dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka,

Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik

(mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda

dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari

beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta

cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes

dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di

Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah

ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan

pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan

ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian

penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa

kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan

yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di

wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut
tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami

wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan

pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan

kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy

sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,

menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang

mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri

pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu

kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan

penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena

penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek

moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan

Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena

itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy

sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa. Ada pula yang mempercayai awal kebedaraan

suku Badui, merupakan sisa-sisa pasukan Pajajaran yang setia pada Prabu Siliwangi. Mereka

melarikan diri dari kejaran pasukan Sultan Banten dan Cirebon. Namun pada akhirnya, mereka

dilindungi Kesultanan Banten dan diberi otonomi khusus. (zal/ken) Mengenai asal usul orang

Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari

tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan

Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan

keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk
menjaga harmoni dunia. Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy merupakan peradaban

masyarakat yang pertama kali ada di dunia.

2.2.2.4 Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada

pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga

dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan

adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang

Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep

"tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:Objek kepercayaan terpenting bagi

masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling

sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali

pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang

merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti

rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang

menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam

keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa

hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila

batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana,
2003a). Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang

dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda

secara umum sebelum masuknya Islam. Masyarakat Baduy sangat taat pada pimpinan yang

tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan

kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya.

Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya

mengakui kepercayaan sunda wiwitan.Yang mana kepercayaan ini meyakini akan danya Allah

sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan

sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kepercayaan

sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah

dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang

mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak mengunakan listrik,t

embok, mobil dll.

2.2.2.5 Kelompok-kelompok Baduy

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu,

panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal

sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga
kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya

berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat

panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung

yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot,

Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian

dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah

Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2

kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung

Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana,

2001). Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Badui Dalam atau Urang Tangtu.

Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan

Cikartawana.Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Badui Dalam menyebut

Badui Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam

dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan.

2.2.2.6 Pemerintahan

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang

mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat
istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan

sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin

oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan

secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun". Pemimpin adat

tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan

tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat

juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada

kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro,

yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro

pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan

berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara

tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang,

yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari

jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas

sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam

tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung. Setiap kampung

di Badui Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya.

Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik,

Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan wakilnya pimpinan

adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa,

pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Badui Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan
kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan

Baris Kokolot.

2.2.2.7 Mata Pencaharian

Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama

masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan

tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam

keranji, serta madu hutan. Suku Badui biasa bercocok tanam dan berladang. Selain itu membuat

kerajinan seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang,

baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu. Mereka taat pada tradisi lama dan

hukum adat.

2.2.2.8 Interaksi dengan masyarakat luar


Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai

dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa,

dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan

untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang

berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam,

tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap

terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai

sekarang selalu ditolak masuk. Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy

juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki.

Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang,

berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil

kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang

untuk mencukupi kebutuhan hidup.

2.2.2.9 Busana Tradisional Suku Baduy

Ciri khas suku Baduy yang tinggal di pegunungan Kendeng, desa Kanekes, kecamatan

Leuwidamar, Lebak, Banten Selatan adalah masih kokohnya tradisi yang diwariskan oleh

karuhun mereka. Salah satu tradisi yang masih bertahan adalah menenun dan cara berbusana.
Oleh karena itu, ada yang beranggapan bahwa busana suku Baduy saat ini merupakan bentuk

busana yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat pada masa silam. Baduy Dalam, untuk laki-

laki memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara memakainya

hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilobangi/dicoak

pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai

kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.

Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan

dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.Bagian bawahnya memakai kain

serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan

tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Mereka tidak memakai celana, karena

pakaian tersebut dianggap barang tabu. Selain baju dan kain sarung yang dililitkan tadi,

kelengkapan busana pada bagian kepala menggunakan ikat kepala berwarna putih pula. Ikat

kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang. Kemudian dipadukan dengan

selendang atau hasduk yang melingkar di lehernya. Pakaian Baduy Dalam yang bercorak serba

putih polos itu dapat mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum

terpengaruh budaya luar. Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret

berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya

terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan

potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari

benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Panamping memamg ada sedikit kelonggaran

bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Melihat warna, model maupun corak busana Baduy

Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Kelengkapan

busana bagi kalangan kali-laki Baduy adalah amat penting. Rasanya busana laki-laki belum
lengkap apabila tidak memakai senjata. Bagi Baduy Dalam maupun Luar kalau bepergian selalu

membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya. Pakaian ini biasanya

masih dilengkapi pula dengan tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.

Sedangkan, busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy, baik Kajeroan maupun Panamping

tidak menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali

baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman

dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di

rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas,

sedangkan bagi para gadis bagian dadanya harus tertutup. Untuk pakain bepergian, biasanya

wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman,

karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan

bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.

2.2.2.10 Pertanian Suku Baduy

Pola Pertanian Tradisional Masyarakat Baduy Sistem perladangan berpindah atau

perladangan daur ulang telah dipraktekkan selama berabad-abad dan merupakan bentuk

pertanian yang paling awal di wilayah tropika dan subtropika. Sistem pertanian dilakukan adalah

tanaman pangan dalam waktu dekat (pada umumnya 2 – 3 tahun), dan kemudian diikuti dengan
fase regenerasi atau masa berakhir yang lebih lama (pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan

hutan biasanya menggunakan alat sederhana, dilakukan secara tradisional, dan menggunakan

cara tebang bakar (Nair, 1993).Pada waktu hutan dibuka maka tumbuhan alam yang berguna

biasanya dibiarkan atau sedikit disiangi dan dimanfaatkan hasilnya. Lama waktu perladangan

dan masa bera atau masa lahan diistirahatkan adalah sangat bervariasi, dan lama masa bera

merupakan faktor kritis bagi regenerasi kesuburan tanah, keberlanjutan, dan hasil pertanian yang

didapatkan. Regenerasi kesuburan tersebut melibatkan tumbuh kembalinya tanaman tahunan atau

tumbuhan asli. Masyarakat Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman

Kerajaan Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah tersebut sejak

kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi selama 1

sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan meninggalkan huma

tersebut dan membuka kembali huma baru dari bagian hutan alam yang mereka peruntukkan

bagi kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan

periode masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun.Namun demikian, karena wilayah

Baduy yang semakin sempit ditambah dengan pertambahan penduduk, maka lahan huma yang

tersedia juga semakin sempit sehingga dari tahun ke tahun masa bera ladang menjadi semakin

pendek, yaitu 3 sampai 5 tahun. Hal tersebut merupakan indikator terjadinya penurunan kualitas

lingkungan dan daya dukung secara ekologis. Pada saat penelitian dilakukan, wilayah Baduy

yang tersisa adalah 5.101 hektar, dengan pembagian peruntukan tanah pertanian 2.585 ha atau

51% (709 ha atau 14% ditanami dan sisanya bera yaitu 1.876,25 ha atau 37%); lahan pemukiman

24,5 ha atau 0,48%; hutan tetap atau hutan lindung yang tak boleh digarap 2.492 ha atau 49%

(Purnomohadi, dalam Permana, 2001). Luas tanah yang digunakan untuk bertani dan luas tanah

bera bervariasi dari tahun ke tahun. Sebagaimana masyarakat agraris lainnya di Indonesia,
masyarakat Baduy mempunyai jadwal pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan didasarkan

kepada letak benda astronomi tertentu, seperti kemunculan bintang tertentu dan letak matahari.

Adapun patokan bintang yang digunakan adalah bintang kidang (Waluku atau rasi Orion) dan

bintang Kartika atau bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang kidang lebih banyak dipakai

karena lebih jelas terlihat (Permana, 2001). Kemunculan bintang kidang tersebut menandai

dimulainya proses berladang karena masyarakat mulai bersiap-siap turun ke ladang dan mulai

mengolah lahan pertanian. Dalam ungkapan mereka disebutkan: “Mun matapoe geus dengek

ngaler, lantaran jagad urang geus mimiti tiis, tah dimimitian ti wayah eta kakara urang

nanggalkeun kidang, tanggal kidang mah laju turun kujang”. (Terjemahan: “Jika matahari telah

condong ke utara, ketika bumi kita telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita mengamati

penanggalan dengan munculnya bintang kidang, waktu muncul bintang kidang kita mulai

menggunakan alat pertanian (kujang)” (Permana, 2001)Adapun alat pertanian yang mereka

gunakan adalah terbatas sekali, dan prinsip pengolahan lahan mereka adalah sesedikit mungkin

mengganggu tanah. Mereka membuka huma dengan bedog atau parang panjang dan kujang

(parang pendek atau pisau), dan menanam benih padi dengan cara menugal atau melubangi tanah

dengan sepotong kayu. Pengolahan lahan dengan cara mencangkul atau membajak adalah

terlarang. Kalender sebagai penanda waktu pada masyarakat Baduy adalah kalender yang

berpatokan pada perputaran bulan (komariah). Satu tahun dibagi menjadi 12 bulan. Menurut

Narja, seorang penduduk kampung Cibeo, urutan bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut:

Kapat, Kalima, Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu,

Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan tersebut juga mengikuti tahapan dalam proses perladangan.

Bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang merupakan bulan-bulan akhir masa berladang dan masa
panen disebut pula masa Kawalu yang dipenuhi dengan berbagai upacara adat dan berbagai

bentuk larangan. Pada masa tersebut tamu atau pengunjung dari luar biasanya tidak diterima.

2.2.2.11 Upacara-upacara Adat Suku Baduy

Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan

sunda wiwitan:

• Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan

kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy

melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.

• Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas

terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan.

Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran.

• Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan

tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk

penghargaan dari masyarakat baduy.

• Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai

penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran.


Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot

menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai

mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.

Dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan

penanggalan: Bulan Kasa,Bulan Karo,Bulan Katilu,Bulan Sapar,Bulan Kalima,Bulan Kaanem

Bulan Kapitu,Bulan Kadalapan,Bulan Kasalapan,bulan Kasapuluh,Bulan Hapid Lemah,Bulan

Hapid Kayu Seperti yang telah diuraikan diatas, apabila ada masyarakat baduy yang melanggar

asalah satu pantangan maka akan dikenai hukuman berupa diasingkan ke hulu atau dipenjara

oleh pihak polisi byang berwajib.

2.2.2.12 Kesenian dan Kerajinan Suku Baduy

Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk

memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu: Seni Musi (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan

Kidung ( pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan). Alat musik (Angklung Buhun dalam

acara menanan padi dan alat musik kecapi)Seni Ukir Batik. Bicara soal tembakau, ternyata

tembakau adalah salah satu hasil utama mereka.


2.3 Spesifikasi Buku

Buku ini memiliki pembahasan utama mengenai potret kehidupan, adat istiadat dan

kebudayaan orang Baduy yang mampu diselesaikan secara baik. Dan berikut spesifikasi dari

buku “ BADUY Jejak Terasing Prajurit Padjajaran”

* Penulis : Siti Astari

* Desainer : Siti Astari

* Penerbit : PT Gramedia

* Tebal : 128 halaman

* Harga : Rp 65.000,-

* Ukuran : 20 x 20 cm

2.3.1 Struktur Buku :

* Prakata

* Daftar Isi

* Baduy

* Asal-Usul

* Tatanan Masyarakat

* Pemerintahan

* Upacara Adat
* Arsitektur

* Ekonomi

* Masa Kini

* Penutup

* Daftar Pustaka

2.3.2 Buku Pembanding

Penulis : Wendy Schivour

Penerbit: Lonely Planet

Tebal : 112 Halaman

Harga : Rp 263.000,-
2.4 Data Penyelenggara

2.4.1 PT Gramedia

Toko Buku Gramedia didirikan 02 Februari 1970 oleh P.K. Ojong, yang juga merupakan

pendiri KKG, dengan misi turut serta menyebarkan produk pendidikan dan informasi, demi

tercapainya cita-cita bersama mencerdaskan kehidupan bangsa, menuju masyarakat baru

Indonesia yang berkehidupan Pancasila. MISI: Ikut serta dalam upaya mencerdaskan bangsa

dengan menyebarluaskan penegtahuan plus informasi melalui berbagai sarana usaha ritel dan

distribusi buku , alat sekolah dan kantor serta produk multimedia, ditandai dengan pelayanan

unggul, manajemen proaktif dan perilaku bisnis yang sehat.Tak bisa dipungkiri bahwa distribusi

merupakan mata rantai yang lemah dalam dunia bisnis di Indonesia. Penerbit dan percetakan saja

tidaklah cukup untuk dapat mendistribusikan produk secara merata ke seluruh pelosok tanah air.

Itulah sebabnya Kelompok Kompas - Gramedia (KKG) mendirikan jaringan toko buku, dengan

maksud memperkuat penyebaran produk, tanpa berkeinginan untuk lepas dari jaringan distribusi

yang ada.Departemen Impor bertugas khusus untuk mengelola dan mengembangkan jalinan

kerja sama dengan penerbit luar negeri yang kini berjumlah lebih dari 250 penerbit. Penerbit luar

negeri yang aktif menjalin kerja sama: Amerika Serikat: Simon & Schuster, Prentice Hall,

McGraw Hill, Maxwell Macmillan, Addison Wesley, John Wiley, Harper Collins, Bantam,

Random House, Baker & Taylor, dan lain-lain. Eropa: Penguin, Cambridge, Oxford, Elsevier,

Grossohaus, Hachette, Longman, MacMillan UK, dan lain-lain. Asia: Kondasha, Japan

Publication, Toppan, Canfonian, Asiapac, UBSPD, S. Chand, S.S. Mubaruk, Pan Pacific, Mighty

Mind, Federal Publication, dan lain-lain.


2.5 Target Audience

* Umur : Dewasa, 25-45 tahun.

* Gender : Pria/Wanita.

* Tingkat Ekonomi : Kalangan kelas menegah ke atas.

* Psikografik : Pencinta Alam, Para Peneliti, dan para Budayawan.

2.6 Analisa

2.6.1 Strength

• Dapat menjadi buku pengetahuan baru tentang suku dan kebudayaan yang ada di

Indonesia

2.6.2 Weakness

• Pembuatan buku tersebut harus disesuaikan dengan daya beli target konsumen

2.6.3 Oppourtunity

• Belum ada buku yang mengangkat topik tentang suku pendalaman Baduy

• Banyaknya petualang dan pelancong yang berminat akan keasrian budaya dan

tradisi yang ada di Baduy

2.6.4 Threat

Sudah banyak buku-buku dipasaran tentang budaya dan suku-suku yang ada di

Indonesia. Contohnya buku tentang suku Asmat.

Anda mungkin juga menyukai