Sumber data dan informasi untuk mendukung proyek Tugas Akhir saya diperoleh dari
2.1.1 Website :
• http://www. my-curio.us
• http://www.wisatanet.com
• http://www.iai-banten.org
• http://www.potlot-adventure.com
• Artikel
tahun 1993
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan
berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari
Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut
mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai
45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan
tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C. Kadang kala suku Badui juga menyebut
dirinya sebagai orang Kanekes, karena berada di Desa Kanekes. Mereka berada di wilayah
Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan
Cikanekes di Pegunungan Keundeng.Atau sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta dan 65
km sebelah selatan ibu kota Serang. Tidak begitu mengherankan, untuk mencapai lokasi
Lokasi dan Tempat Demografi Baduy yang berlokasi di desa Kanekes Kecamatan
ha, terdiri atas 117 kk yang menempati 99 rumah yang dinamakan Culah Nyanda atau rumah
panggung, sedangkan rumah kokolot atau duku dinamakan Dangka, yang menghadap keselatan.
Masyarakat suku Baduy yang berpenduduk kurang lebih 10 ribu jiwa ini tinggal di wilayah yang
berbukit-bukit, dan berhutan-hutan, dengan memilki lembah yang curam sedang, sampai curam
Baduy rata-rata terletak pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut, dengan wilayah
pemukiman di daerah yang cukup rendah 150 m diatas permukaan air laut dan pemukiman yang
cukup tinggi pada ketinggian 400 m diatas permukaaan laut. Wilayah Baduy itu berdasarkan
lokasi geografinya terletak pada 60 27′ 27″ - 60 30′ LU dan 1080 3′ 9″ - 1060 4′ 55″ BT.
Wilayahnya berbukit - bukit dengan rata -rata terlelak pada ketinggian 250m diatas permukaan
laut.
2.2.2.2 Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun
mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak
mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang
hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. untuk terus mempelajari Bahasa nasional yakni
bahasa Indonesia. Terbukti, tidak sedikit masyarakat Baduy yang dapat berbahasa Indonesia.
2.2.2.3 Asal-Usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara
Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula
dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka,
Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik
(mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda
dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari
beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta
cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes
dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di
Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah
ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan
pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan
ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian
penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa
kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan
yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di
wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut
tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami
wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan
pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan
kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang
mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri
pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu
kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan
penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena
moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan
Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena
itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy
sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa. Ada pula yang mempercayai awal kebedaraan
suku Badui, merupakan sisa-sisa pasukan Pajajaran yang setia pada Prabu Siliwangi. Mereka
melarikan diri dari kejaran pasukan Sultan Banten dan Cirebon. Namun pada akhirnya, mereka
dilindungi Kesultanan Banten dan diberi otonomi khusus. (zal/ken) Mengenai asal usul orang
Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari
tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan
Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk
menjaga harmoni dunia. Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy merupakan peradaban
2.2.2.4 Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada
pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga
dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan
adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang
Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep
"tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:Objek kepercayaan terpenting bagi
masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling
sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali
pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang
merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti
rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang
menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam
keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa
hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila
batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana,
2003a). Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang
dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda
secara umum sebelum masuknya Islam. Masyarakat Baduy sangat taat pada pimpinan yang
tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan
kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya.
Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya
mengakui kepercayaan sunda wiwitan.Yang mana kepercayaan ini meyakini akan danya Allah
sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan
sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kepercayaan
sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah
dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu,
panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal
sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga
kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya
berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat
panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung
yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot,
Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian
dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah
Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung
Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana,
2001). Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Badui Dalam atau Urang Tangtu.
Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan
Cikartawana.Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Badui Dalam menyebut
Badui Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam
2.2.2.6 Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang
mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat
istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin
oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan
secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun". Pemimpin adat
tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan
tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat
juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada
yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro
pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan
berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara
tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang,
yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari
jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas
sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam
tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung. Setiap kampung
di Badui Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya.
Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik,
Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan wakilnya pimpinan
adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa,
pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Badui Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan
kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan
Baris Kokolot.
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama
masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan
tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam
keranji, serta madu hutan. Suku Badui biasa bercocok tanam dan berladang. Selain itu membuat
kerajinan seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang,
baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu. Mereka taat pada tradisi lama dan
hukum adat.
dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa,
dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan
untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang
berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam,
tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap
terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai
sekarang selalu ditolak masuk. Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy
juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki.
Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang,
berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil
kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang
Ciri khas suku Baduy yang tinggal di pegunungan Kendeng, desa Kanekes, kecamatan
Leuwidamar, Lebak, Banten Selatan adalah masih kokohnya tradisi yang diwariskan oleh
karuhun mereka. Salah satu tradisi yang masih bertahan adalah menenun dan cara berbusana.
Oleh karena itu, ada yang beranggapan bahwa busana suku Baduy saat ini merupakan bentuk
busana yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat pada masa silam. Baduy Dalam, untuk laki-
laki memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara memakainya
hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilobangi/dicoak
pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai
kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan
dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.Bagian bawahnya memakai kain
serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan
tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Mereka tidak memakai celana, karena
pakaian tersebut dianggap barang tabu. Selain baju dan kain sarung yang dililitkan tadi,
kelengkapan busana pada bagian kepala menggunakan ikat kepala berwarna putih pula. Ikat
kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang. Kemudian dipadukan dengan
selendang atau hasduk yang melingkar di lehernya. Pakaian Baduy Dalam yang bercorak serba
putih polos itu dapat mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum
terpengaruh budaya luar. Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret
berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya
terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan
potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari
benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Panamping memamg ada sedikit kelonggaran
bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Melihat warna, model maupun corak busana Baduy
Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Kelengkapan
busana bagi kalangan kali-laki Baduy adalah amat penting. Rasanya busana laki-laki belum
lengkap apabila tidak memakai senjata. Bagi Baduy Dalam maupun Luar kalau bepergian selalu
membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya. Pakaian ini biasanya
masih dilengkapi pula dengan tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.
Sedangkan, busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy, baik Kajeroan maupun Panamping
tidak menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali
baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman
dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di
rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas,
sedangkan bagi para gadis bagian dadanya harus tertutup. Untuk pakain bepergian, biasanya
wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman,
karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan
perladangan daur ulang telah dipraktekkan selama berabad-abad dan merupakan bentuk
pertanian yang paling awal di wilayah tropika dan subtropika. Sistem pertanian dilakukan adalah
tanaman pangan dalam waktu dekat (pada umumnya 2 – 3 tahun), dan kemudian diikuti dengan
fase regenerasi atau masa berakhir yang lebih lama (pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan
hutan biasanya menggunakan alat sederhana, dilakukan secara tradisional, dan menggunakan
cara tebang bakar (Nair, 1993).Pada waktu hutan dibuka maka tumbuhan alam yang berguna
biasanya dibiarkan atau sedikit disiangi dan dimanfaatkan hasilnya. Lama waktu perladangan
dan masa bera atau masa lahan diistirahatkan adalah sangat bervariasi, dan lama masa bera
merupakan faktor kritis bagi regenerasi kesuburan tanah, keberlanjutan, dan hasil pertanian yang
didapatkan. Regenerasi kesuburan tersebut melibatkan tumbuh kembalinya tanaman tahunan atau
tumbuhan asli. Masyarakat Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman
Kerajaan Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah tersebut sejak
kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi selama 1
sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan meninggalkan huma
tersebut dan membuka kembali huma baru dari bagian hutan alam yang mereka peruntukkan
bagi kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan
periode masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun.Namun demikian, karena wilayah
Baduy yang semakin sempit ditambah dengan pertambahan penduduk, maka lahan huma yang
tersedia juga semakin sempit sehingga dari tahun ke tahun masa bera ladang menjadi semakin
pendek, yaitu 3 sampai 5 tahun. Hal tersebut merupakan indikator terjadinya penurunan kualitas
lingkungan dan daya dukung secara ekologis. Pada saat penelitian dilakukan, wilayah Baduy
yang tersisa adalah 5.101 hektar, dengan pembagian peruntukan tanah pertanian 2.585 ha atau
51% (709 ha atau 14% ditanami dan sisanya bera yaitu 1.876,25 ha atau 37%); lahan pemukiman
24,5 ha atau 0,48%; hutan tetap atau hutan lindung yang tak boleh digarap 2.492 ha atau 49%
(Purnomohadi, dalam Permana, 2001). Luas tanah yang digunakan untuk bertani dan luas tanah
bera bervariasi dari tahun ke tahun. Sebagaimana masyarakat agraris lainnya di Indonesia,
masyarakat Baduy mempunyai jadwal pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan didasarkan
kepada letak benda astronomi tertentu, seperti kemunculan bintang tertentu dan letak matahari.
Adapun patokan bintang yang digunakan adalah bintang kidang (Waluku atau rasi Orion) dan
bintang Kartika atau bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang kidang lebih banyak dipakai
karena lebih jelas terlihat (Permana, 2001). Kemunculan bintang kidang tersebut menandai
dimulainya proses berladang karena masyarakat mulai bersiap-siap turun ke ladang dan mulai
mengolah lahan pertanian. Dalam ungkapan mereka disebutkan: “Mun matapoe geus dengek
ngaler, lantaran jagad urang geus mimiti tiis, tah dimimitian ti wayah eta kakara urang
nanggalkeun kidang, tanggal kidang mah laju turun kujang”. (Terjemahan: “Jika matahari telah
condong ke utara, ketika bumi kita telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita mengamati
penanggalan dengan munculnya bintang kidang, waktu muncul bintang kidang kita mulai
menggunakan alat pertanian (kujang)” (Permana, 2001)Adapun alat pertanian yang mereka
gunakan adalah terbatas sekali, dan prinsip pengolahan lahan mereka adalah sesedikit mungkin
mengganggu tanah. Mereka membuka huma dengan bedog atau parang panjang dan kujang
(parang pendek atau pisau), dan menanam benih padi dengan cara menugal atau melubangi tanah
dengan sepotong kayu. Pengolahan lahan dengan cara mencangkul atau membajak adalah
terlarang. Kalender sebagai penanda waktu pada masyarakat Baduy adalah kalender yang
berpatokan pada perputaran bulan (komariah). Satu tahun dibagi menjadi 12 bulan. Menurut
Narja, seorang penduduk kampung Cibeo, urutan bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut:
Kapat, Kalima, Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu,
Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan tersebut juga mengikuti tahapan dalam proses perladangan.
Bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang merupakan bulan-bulan akhir masa berladang dan masa
panen disebut pula masa Kawalu yang dipenuhi dengan berbagai upacara adat dan berbagai
bentuk larangan. Pada masa tersebut tamu atau pengunjung dari luar biasanya tidak diterima.
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan
sunda wiwitan:
• Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan
kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy
melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
• Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas
• Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan
tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk
menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai
mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Hapid Kayu Seperti yang telah diuraikan diatas, apabila ada masyarakat baduy yang melanggar
asalah satu pantangan maka akan dikenai hukuman berupa diasingkan ke hulu atau dipenjara
memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu: Seni Musi (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan
Kidung ( pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan). Alat musik (Angklung Buhun dalam
acara menanan padi dan alat musik kecapi)Seni Ukir Batik. Bicara soal tembakau, ternyata
Buku ini memiliki pembahasan utama mengenai potret kehidupan, adat istiadat dan
kebudayaan orang Baduy yang mampu diselesaikan secara baik. Dan berikut spesifikasi dari
* Penerbit : PT Gramedia
* Harga : Rp 65.000,-
* Ukuran : 20 x 20 cm
* Prakata
* Daftar Isi
* Baduy
* Asal-Usul
* Tatanan Masyarakat
* Pemerintahan
* Upacara Adat
* Arsitektur
* Ekonomi
* Masa Kini
* Penutup
* Daftar Pustaka
Harga : Rp 263.000,-
2.4 Data Penyelenggara
2.4.1 PT Gramedia
Toko Buku Gramedia didirikan 02 Februari 1970 oleh P.K. Ojong, yang juga merupakan
pendiri KKG, dengan misi turut serta menyebarkan produk pendidikan dan informasi, demi
Indonesia yang berkehidupan Pancasila. MISI: Ikut serta dalam upaya mencerdaskan bangsa
dengan menyebarluaskan penegtahuan plus informasi melalui berbagai sarana usaha ritel dan
distribusi buku , alat sekolah dan kantor serta produk multimedia, ditandai dengan pelayanan
unggul, manajemen proaktif dan perilaku bisnis yang sehat.Tak bisa dipungkiri bahwa distribusi
merupakan mata rantai yang lemah dalam dunia bisnis di Indonesia. Penerbit dan percetakan saja
tidaklah cukup untuk dapat mendistribusikan produk secara merata ke seluruh pelosok tanah air.
Itulah sebabnya Kelompok Kompas - Gramedia (KKG) mendirikan jaringan toko buku, dengan
maksud memperkuat penyebaran produk, tanpa berkeinginan untuk lepas dari jaringan distribusi
yang ada.Departemen Impor bertugas khusus untuk mengelola dan mengembangkan jalinan
kerja sama dengan penerbit luar negeri yang kini berjumlah lebih dari 250 penerbit. Penerbit luar
negeri yang aktif menjalin kerja sama: Amerika Serikat: Simon & Schuster, Prentice Hall,
McGraw Hill, Maxwell Macmillan, Addison Wesley, John Wiley, Harper Collins, Bantam,
Random House, Baker & Taylor, dan lain-lain. Eropa: Penguin, Cambridge, Oxford, Elsevier,
Grossohaus, Hachette, Longman, MacMillan UK, dan lain-lain. Asia: Kondasha, Japan
Publication, Toppan, Canfonian, Asiapac, UBSPD, S. Chand, S.S. Mubaruk, Pan Pacific, Mighty
* Gender : Pria/Wanita.
2.6 Analisa
2.6.1 Strength
• Dapat menjadi buku pengetahuan baru tentang suku dan kebudayaan yang ada di
Indonesia
2.6.2 Weakness
• Pembuatan buku tersebut harus disesuaikan dengan daya beli target konsumen
2.6.3 Oppourtunity
• Belum ada buku yang mengangkat topik tentang suku pendalaman Baduy
• Banyaknya petualang dan pelancong yang berminat akan keasrian budaya dan
2.6.4 Threat
Sudah banyak buku-buku dipasaran tentang budaya dan suku-suku yang ada di