Anda di halaman 1dari 13

Kamis, 20 Februari 2014

Etnografi Sunda

A. LETAK GEOGRAFIS

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang
mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan Lampung. Suku Sunda
merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia
merupakan orang Sunda.[1]

Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5o50’ – 7o50’ Lintang Selatan dan
104o48’ – 108o48’ Bujur Timur, dengan batas wilayah : sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa
dan Provinsi DKI Jakarta; sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; sebelah Selatan
berbatasan dengan Samudra Indonesia; dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Banten.

Luas wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas 3.710.061,32 hektar dan garis
pantai sepanjang 755,829 km. Daratan Jawa Barat dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam
(9,5% dari total luas wilayah Jawa Barat) terletak di bagian Selatan dengan ketinggian lebih dari
1.500 m di atas permukaan laut (dpl); wilayah lereng bukit yang landai (36,48%) terletak di bagian
Tengah dengan ketinggian 10 – 1.500 m dpl; dan wilayah dataran luas (54,03%) terletak di bagian
Utara dengan ketinggian 0 – 10 m dpl. Tutupan lahan terluas di Jawa Barat berupa kebun campuran
(22,89 % dari luas wilayah Jawa Barat), sawah (20,27%), dan perkebunan (17,41%), sementara hutan
primer dan hutan sekunder di Jawa Barat hanya 15,93% dari seluruh luas wilayah Jawa Barat.

Iklim di Jawa Barat yaitu tropis, dengan suhu rata-rata berkisar antara 17,4 – 30,7°C dan
kelembaban udara antara 73–84%. Data BMKG menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2008, turun
hujan selama 1-26 hari setiap bulannya dengan curah hujan antara 3,6 hingga 332,8 mm.

Jawa Barat dialiri 40 sungai dengan wilayah seluas 37.175,97 km2. Jawa Barat juga memiliki
1.267waduk/situdengan potensi air permukaan lebih dari 10.000juta m3.Air permukaan tersebut
dimanfaatkan untuk kebutuhan industri, pertanian, dan air minum.Terdapat peningkatan jumlah
perusahaan yang aktif memanfaatkan air permukaan menjadi 625 perusahaan dari 606 perusahaan
pada tahun 2007.

Secara administratif, Provinsi Jawa Barat terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota; 520 kecamatan; 5.245
desa dan 626 kelurahan.

Ciri utama daratan Jawa Barat adalah bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak
aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi.
Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari
1.500 m di atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 100 1.500 m
dpl, wilayah dataran luas di utara ketinggian 0 . 10 m dpl, dan wilayah aliran sungai.
Rikut ini keterangan tentang yang termasuk daerah dari jawa barat adalah :

1. Kota bogor

2. Kab. Sukabumi

3. Kab. Cianjur

4. Kab. Bandung

5. Kab. Garut

6. Kab. Tasikmalaya

7. Kab. Ciamis

8. Kab. Kuningan Kab. Cirebon

9. Kab. Majalengka

10. Kab. Sumedang

11. Kab. Indramayu

12. Kab. Subang

13. Kab. Purwakarta

14. Kab. Karawang

15. Kab. Bekasi

16. Kab. Bandung Barat

17. Kota Bogor

18. Kota Sukabumi

19. Kota Bandung

20. Kota Cirebon

21. Kota Bekasi

22. Kota Depok

23. Kota Cimahi

24. Kota Tasikmalaya

25. Kota Banjar

26. Kab. Lebak


Dan keterangannya tentang daerah yang masuk kedalam ruang lingkup sunda adalah seluruh daerah
jawa barat minus(-) cirebon.[2]

B. EBUDAYAAN FISIK

 Sistem Religi

Sebagain besar masyarakat suku Sunda menganut agama Islam, namun ada pula yang beragama
kristen, Hindu, Budha, dll. Islam (93,87%), Protestan (4,34%), Katolik (1,11%), Buddha (0,46%), Hindu
(0,22%) Mereka itu tergolong pemeluk agama yang taat, karena bagi mereka kewajiban beribadah
adalah prioritas utama. Contohnya dalam menjalankan ibadah puasa, sholat lima waktu, serta
berhaji bagi yang mampu. Mereka juga masih mempercayai adanya kekuatan gaib. Terdapat juga
adanya upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup,
mendirikan rumah, menanam padi, dan lain-lainnya.[3]

Dalam mitologi Sunda yaitu himpunan dongeng – dongeng suci masyarakat Sunda kuno banyak
unsur – unsur yang bukan berasal dari ajaran Islam. Seperti halnya di Jawa dalam masyarakat Sunda
pun dikenal banyak kegiatan upacara yang bersifat keagamaan / ritual, seperti selamatan
memperingati Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha, Selamatan Kelahiran, dll.

Sampai sekarang ini masyarakat Sunda masih berkunjung ke makam orang – orang dahulu yang
dianggap sakti dan berjasa dalam bidang agama dan kemasyarakatan. Tujuannya untuk
menyampaikan permohonan dan restu sebelum mengadakan sesuatu usaha, pesta, atau
perlawatan. Lebih – lebih jika memasuki bulan Maulud orang yang berkunjung ke makam leluhurnya
menjadi semakin banyak.

Multi religion of sunda

Sunda Wiwitan Pada proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda
menerima sepenuhnya, di beberapa tempat terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran
leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak
yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam
dan terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari komunitas Muslim Sunda dan tetap
melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.

Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat
monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni
Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara
Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana
Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh
untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia
sakti, Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui
Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buana bagi orang Baduy berkaitan dengan
titik awal perjalanan_dan_tempat_akhir_kehidupan.(Garna,1992:5).

Menurut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga buana,
yaitu

1. Buana Nyungcung sama dengan Buana Luhur atau Ambu Luhur; tempat bersemayam Sang
Hyang Keresa di tempat paling atas;

2. Buana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut
Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia dan mahluk lainnya; dan

3. Buana Larang sama dengan Buana Handap atau Ambu handap yaitu tempatnya neraka. Manusia
yang hidup di Buana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buana Akhir yaitu Buana Larang,
sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buana Luhur. Antara Buana Nyungcung dan Buana
Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut
Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan tempat Sunan Ambu dan para pohaci bersemayam.

Pada pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius diwujudkan dalam berbagai
upacara yang pada dasarnya memiliki empat tujuan utama: yaitu

1. menghormati para karuhun atau nenek moyang

2. menyucikan Pancer Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya

3. menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi; dan

4. melaksanakan pikukuh Baduy untuk mensejahterakan inti jagat.

Dengan demikian, mantra-mantra yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan
permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta
perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera.

Masuknya agama Islam ke tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas penganut ajaran
Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang menganut Islam. Masyarakat penganut Sunda
Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam
memasuki kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini dapat ditemukan dalam cerita Budak Buncireung, Dewa
Kaladri, dan pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng_dalam_lakon_Pajajaran_Seureun_Papan.

Secara sadar, masyarakat Kanekes dengan tegas mengakui perbedaan mereka dengan masyarakat
Sunda lainnya di luar Kanekes hanyalah dalam sistem religi, bukan etnis. Menurut Djatisunda
(1992;2-3) mereka menyebut orang Sunda di luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang
Sunda yang beragama Islam) dan dianggap sebagai urang Are atau dulur are. Arti dari istilah urang
are atau dulur are dikemukakan Ayah Kaiti bekas seurat Tangtu Cikeusik bahwa: harti urang are ta, ja
dulur are. Dulur-dulur na mah, ngan eslam hanteu sabagi kami di dieu (arti urang are yaitu dulur are.
Saudara sih saudara, tetapi menganut agama Islam tidak seperti saya di sini). Ungkapan tersebut
memperjelas pengakuan kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa Sunda yang
membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama Islam.
Madrais_dan_aliran_perjalanan Berbeda dengan masyarakat Baduy yang bertahan dengan
tradisinya akibat desakan pengaruh Islam, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dalam
komunitas lain malah melahirkan kepercayaan baru seperti yang dikembangkan Madrais di Cigugur
Kabupaten Kuningan dan Mei Kartawinata di Ciparay Kabupaten Bandung.

Madrais semula dibesarkan dalam tradisi Islam kemudian melahirkan ajaran baru yang
mengajarkan faham Islam dengan kepercayaan lama (pra-Islam) masyarakat Sunda yang agraris dan
disebutnya sebagai Ajaran Djawa Sunda atau Madraisme pada tahun 1921. Ia menetapkan tanggal 1
Sura sebagai hari besar seren taun yang dirayakan secara besar-besaran antara lain dengan
ngagondang (menumbukkan alu pada lesung sambil bernyanyi). Menurut ajarannya, Dewi Sri atau
Sanghyang Sri adalah Dewi Padi yang perlu dihormati dengan upacara-upacara religius daur ulang
penanaman padi serta ajaran budi pekerti dengan mengolah hawa nafsu agar hidup selamat. Di
pihak lain, ia pun memuliakan Maulid Nabi Muhammad, tetapi menolak Alquran dengan anggapan
bahwa Alquran yang sekarang tidak sah sebab Alquran yang sejati akan diturunkan menjelang
kiamat. Ajaran Madraisme ini, setelah Madrais meninggal dunia tahun 1939 dilanjutkan anaknya
bernama Pangeran Tejabuana, serta cucunya Pangeran Jati Kusumah yang 11 Juli 1981 mendirikan
Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) mengharuskan para pengikutnya untuk melestarikan
ajaran karuhun Sunda dan ke luar dari agama Islam.

Sementara itu, Mei Kartawinata (1898-1967) seorang tokoh kebatinan mendirikan aliran
kepercayaan perjalanan yang dikenal dengan “Agama Kuring” (Agamaku) dan pendiri Partai Permai
di Ciparay Kabupaten Bandung. Kisahnya, 17 September 1927, di Subang ia mendapat wangsit untuk
berjuang melalui pendidikan, kerohanian, dan pengobatan melalui perkumpulan Perjalanan yang
mengibaratkan hidup manusia seperti air dalam perjalanannya menuju laut dan bermanfaat
sepanjang jalan. Dia menulis buku “Budi Daya” tahun 1935 yang dijadikan ‘kitab suci’ oleh para
pengikutnya. Ajaran ini memadukan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Budha, dan
Islam.[4]

 Sistem Ilmu Pengetahuan & Tekhnologi

Masalah pendidikan dan teknologi di dalam masyarakat suku Sunda sudah bisa dibilang
berkembang baik.Ini terlihat dari peran dari pemerintah Jawa Barat. Pemerintah Jawa Barat memiliki
tugas dalam memberikan pelayanan pembangunan pendidikan bagi warganya, sebagai hak warga
yang harus dipenuhi dalam pelayanan pemerintahan. Visi Pemerintah Jawa Barat, yakni “Dengan
Iman dan Takwa Jawa Barat sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibukota
Negara Tahun 2010″ merupakan kehendak, harapan, komitmen yang menjadi arah kolektif
pemerintah bersama seluruh warga Jawa Barat dalam mencapai tujuan pembangunannya.

Pembangunan pendidikan merupakan salah satu bagian yang sangat vital dan fundamental untuk
mendukung upaya-upaya pembangunan Jawa Barat di bidang lainnya. Pembangunan pendidikan
merupakan dasar bagi pembangunan lainnya, mengingat secara hakiki upaya pembangunan
pendidikan adalah membangun potensi manusia yang kelak akan menjadi pelaku pembangunan.

Dalam setiap upaya pembangunan, maka penting untuk senantiasa mempertimbangkan


karakteristik dan potensi setempat. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa Barat yang mayoritas suku
Sunda memiliki potensi, budaya dan karakteristik tersendiri. Secara sosiologis-antropologis, falsafah
kehidupan masyarakat Jawa Barat yang telah diakui memiliki makna mendalam adalah cageur,
bageur, bener, pinter, tur singer. Dalam kaitan ini, filosofi tersebut harus dijadikan pedoman dalam
mengimplementasikan setiap rencana pembangunan, termasuk di bidang pendidikan. Cageur
mengandung makna sehat jasmani dan rohani. Bageur berperilaku baik, sopan santun, ramah,
bertata krama. Bener yaitu jujur, amanah, penyayang dan takwa. Pinter, memiliki ilmu pengetahuan.
Singer artinya kreatif dan inovatif.Sebagai sebuah upaya mewujudkan pembangunan pendidikan
berfalsafahkan cageur, bageur, bener, pinter, tur singer tersebut, ditempuh pendekatan social
cultural heritage approach. Melalui pendekatan ini diharapkan akan lahir peran aktif masyarakat
dalam menyukseskan program pembangunan pendidikan yang digulirkan pemerintah.[5]

Dan terbukti, sekarang ini sudah sangat banyak wadah untuk mengembangkan mutu pendidikan
dan tekhnologi di jawa barat, seperti lembaga-lembaga formil dll. Berikut ini lembaga-lembaga formil
yang ada di jawa barat:

Perguruan Tinggi Negeri

Ø Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD), Bekasi

Ø Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (STPB), d/h National Hotel Institute (NHI),Bandung.

Ø Universitas Indonesia (UI), Kota Depok.

Ø Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung.

Ø Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN Bandung), Bandung

Ø Universitas Padjadjaran (Unpad), dengan lokasi kampus di,Bandung dan Sumedang.

Ø Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), d/h IKIP Bandung, Bandung.

Ø Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.

Ø Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS Bandung), Bandung.

Ø Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung (STSI Bandung), d/h ASTI Bandung, Bandung.

Ø Politeknik Negeri Bandung (POLBAN), d/h Politeknik ITB Bandung,Bandung.

Ø Politeknik Manufaktur Bandung (POLMAN), d/h Politeknik Mekanik Swis-ITB Bandung, Bandung.

Ø Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung (POLTEKKES),Bandung

Ø Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon

Ø Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati, Cirebon

Ø Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Sumedang

Ø Politeknik Negeri Bandung (Polban), Bandung

Ø Politeknik Negeri Sukabumi (Polsu), Sukabumi

Perguruan Tinggi Swasta

Ø Institut Teknologi Nasional (Itenas), di Bandung

Ø Institut Agama Islam Cipasung (IAIC), di Tasikmalaya

Ø Institut Teknologi Telkom (IT Telkom), di Bandung


Ø Institut Teknologi Harapan Bangsa (ITHB), di Bandung

Ø Universitas Katolik Parahyangan (Unpar),di Bandung

Ø Universitas Langlangbuana (UNLA), di Bandung

Ø Universitas Kristen Maranatha ,di Bandung

Ø Universitas Islam Bandung (Unisba),di Bandung

Ø Universitas Pasundan (Unpas), di Bandung

Ø Universitas Widyatama (UTAMA), di Bandung

Ø Universitas Garut (UNIGA), di Garut

Ø Universitas Islam Nusantara (UNINUS), di Bandung

Ø Universitas Siliwangi (unsil), di Tasikmalaya

Ø Universitas Galuh (unigal), di Ciamis

Ø Universitas Ibn Khaldun Bogor (UIKA), di Bogor

Ø Universitas Pakuan (Unpak), di Bogor

Ø Universitas Komputer Indonesia (Unikom), di Bandung

Ø Universitas Winaya Mukti (Unwim), di Jatinangor Sumedang

Ø Institut Koperasi Indonesia (Ikopin), di Jatinangor Sumedang

Ø Universitas Sebelas April (Unsap), di Sumedang

Ø Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia (UNIBI), di Bandung

Ø Universitas Majalengka (UNMA), di Majalengka

Ø Universitas Kuningan (UNIKU) , di Kuningan

Ø Sekolah Tinggi Kesehatan Kuningan (STIKKU) , di Kuningan

Ø Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI Al-IHYA) , di Kuningan

Ø Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Al-Ishlah (STEI Al-ISHLAH) , di Cirebon

Ø Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI Al-AMIN) , di Sukabumi

Ø Universitas Wiralodra (UNWIR) , di Indramayu

Ø Universitas Subang (UNSUB), di Subang

Ø Universitas Gunadarma (UG), di Depok

Ø Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI), di Sukabumi

Ø Universitas Sukabumi (UNSU), di Sukabumi

Ø Universitas Singaperbangsa (UNSIKA) di Karawang

Ø Universitas Purwakarta (UNPUR) di Purwakarta


Ø Universitas Sutan Mahesa (UNSUMA), di Sukabumi Utara

Ø STIE DR.KHEZ Muttaqien (STIE Muttaqien) di Purwakarta

Ø Universitas Islam “45” (UNISMA), di Bekasi

Ø Politeknik Pos Indonesia (POLPOSINDO), di Bandung

Ø Universitas Muhammadiyah Bandung (UNIMBA), di Bandung

Ø Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA), di Tanjung Barat

Ø Universitas Surya Kencana (UNSUR), di Cianjur[6]

 Bahasa

Bahasa Sunda (Basa Sunda, dalam aksara Sunda Baku ditulis sebuah bahasa dari cabang Melayu-
Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini dituturkan oleh sekitar 34 juta orang (sekitar
1 juta orang di luar negeri) dan merupakan bahasa dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia.
Bahasa Sunda dituturkan di hampir seluruh provinsi Jawa Barat, melebar hingga sebagian Jawa
Tengah mulai dari Kali Pemali (Cipamali) di wilayah Brebes dan Majenang, Cilacap, di kawasan
provinsi Banten dan Jakarta, serta di seluruh provinsi di Indonesia dan luar negeri yang menjadi
daerah urbanisasi Suku Sunda.Dari segi linguistik, bersama bahasa Baduy, bahasa Sunda membentuk
suatu rumpun bahasa Sunda yang dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa.

Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda. Namun kini telah
banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi menggunakan bahasa
tersebut dalam bertutur kata. Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung dan
Bogor, dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.[7]

Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-
Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam
dialek yang berbeda.

1. Dialek-dialek ini adalah:

· Dialek Barat

· Dialek Utara

· Dialek Selatan

· Dialek Tengah Timur

· Dialek Timur Laut

· Dialek Tenggara

Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten selatan

2. Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa bagian Pantura.

3. Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya.
Sementara itu

4. dialek Tengah Timur adalah dialek di sekitar Majalengka.


5. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kuningan, dialek ini juga dipertuturkan di beberapa
bagian Brebes, Jawa Tengah. Dan akhirnya

6. dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis.[8]

Bahasa Sunda juga mengenal tingkatan dalam bahasa, yaitu unda-usuk bahasa untuk membedakan
golongan usia dan status sosial antara lain yaitu:

1. Bahasa Sunda lemes (halus) yaitu dipergunakan untuk berbicara dengan orang tua, orang yang
dituakan atau disegani.

2. Bahasa Sunda sedang yaitu digunakan antara orang yang setaraf, baik usia maupun status
sosialnya.

3. Bahasa Sunda kasar yaitu digunakan oleh atasan kepada bawahan, atau kepada orang yang
status sosialnya lebih rendah.

Namun demikian, di Serang, dan Cilegon, bahasa Banyumasan (bahasa Jawa tingkatan kasar)
digunakan oleh etnik pendatang dari Jawa.[9]

Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki Tatar
Sunda/Pasundan. Namun demikian, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah,
khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih
merupakan nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, dan
sebagainya.

Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturannya
sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama “Dieng” yang dianggap
sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuna). Seiring mobilisasi
warga suku Sunda, penutur bahasa ini kian menyebar bahkaN sampai ke luar negeri. Misalnya, di
Lampung, di Jambi, Riau dan Kalimantan Selatan banyak sekali warga Sunda menetap di daerah baru
tersebut.[10]

Bahasa Sunda Kuna adalah bentuk bahasa Sunda yang ditemukan pada beberapa catatan tertulis,
baik di batu (prasasti) maupun lembaran daun kering (lontar). Tidak diketahui apakah bahasa ini
adalah dialek tersendiri atau merupakan bentuk yang menjadi pendahulu bahasa Sunda modern.
Sedikitnya literatur berbahasa Sunda menyulitkan kajian linguistik varian bahasa ini.

* Kesenian

1. KIRAB HELARAN

Kirap helaran atau yang disebut sisingaan adalah suatu jenis kesenian tradisional atau seni
pertunjukan rakyat yang dilakukan dengan arak-arakan dalam bentuk helaran. Pertunjukannya biasa
ditampilkan pada acara khitanan atau acara-acara khusus seperti ; menyambut tamu, hiburan
peresmian, kegiatan HUT Kemerdekaan RI dan kegiatan hari-hari besar lainnya. Seperti yang diikuti
ratusan orang dari perwakilan seluruh kelurahan di Cimahi, yang berupa arak-arakan yang pernah
digelar pada saat Hari Jadi ke-6 Kota Cimahi. Kirap ini yang bertolak dari Alun-alun Kota Cimahi
menuju kawasan perkantoran Pemkot Cimahi, Jln. Rd. Demang Hardjakusumah itu, diikuti oleh
kelompok-kelompok masyarakat yang menyajikan seni budaya Sunda, seperti sisingaan, gotong
gagak, kendang rampak, calung, engrang, reog, barongsai, dan klub motor.
KARYA SASTRA Di bawah ini disajikan daftar karya sastra dalam bahasa Jawa yang berasal dari
daerah kebudayaan Sunda. Daftar ini tidak lengkap, apabila para pembaca mengenal karya sastra
lainnya dalam bahasa Jawa namun berasal dari daerah Sunda

Babad Cerbon

Cariosan Prabu Siliwangi

Carita Ratu Galuh

Carita Purwaka Caruban Nagari

Carita Waruga Guru

Kitab Waruga Jagat

Layang Syekh Gawaran

Pustaka Raja Purwa

Sajarah Banten

Suluk Wuyung Aya

Wahosan Tumpawarang

Wawacan Angling Darma

Wawacan Syekh Baginda Mardan

Kitab Pramayoga/jipta Sara

2. PENCAK SIALAT CIKALONG

Pencak silat Cikalong tumbuh dikenal dan menyebar, penduduk tempatan menyebutnya
“Maempo Cikalong”. Khususnya di Jawa Barat dan diseluruh Nusantara pada umumnya, hampir
seluruh perguruan pencak silat melengkapi teknik perguruannya dengan aliran ini.

Daerah Cianjur sudah sejak dahulu terkenal sebagai daerah pengembangan kebudayaan Sunda
seperti; musik kecapi suling Cianjuran, klompen cianjuran, pakaian moda Cianjuran yang sampai kini
dipergunakan dll.

3. SENI TARI

* TARI JAIPONGAN

Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan adalah
salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya
merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari
tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu.Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas
pula, yaitu Degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti Kendang, Go’ong,
Saron, Kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan ‘Orkestra’ dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari
Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling
menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau
berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan,
selamatan atau pesta pernikahan.

* TARI MERAK

* TARI TOPENG

3. SENI MUSIK DAN SUARA

Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan Degung
biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan yang
khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan Sinden. Tidak sembarangan orang dapat
menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan
dipelajari.Dibawah ini salah salah satu musik/lagu daerah Sunda :

Bubuy Bulan

Es Lilin

Manuk Dadali

Tokecang

Warung Pojok

4. WAYANG GOLEK

Jepang boleh terkenal dengan ‘Boneka Jepangnya’, maka tanah Sunda terkenal dengan kesenian
Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan
dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang
memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan
Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya
dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun
unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga
pukul 04.00 pagi. Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan
(tokoh baik melawan tokoh jahat). Ceritanya banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India, seperti
Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah
India.Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang
dinamakan Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka
merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing
gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan variasi
yang sangat menarik.

5. ALAT MUSIK

CALUNG adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan
angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul
batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada)
pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung
(bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).

ANGKLUNG adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang
ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung
masih sebatas kepentingan kesenian local atau tradisional

KETUK TILU Ketuk Tilu adalah suatu tarian pergaulan dan sekaligus hiburan yang biasanya
diselenggarakan pada acara pesta perkawinan, acara hiburan penutup kegiatan atau diselenggrakan
secara khusus di suatu tempat yang cukup luas. Pemunculan tari ini di masyarakat tidak ada
kaitannya dengan adat tertentu atau upacara sakral tertentu tapi murni sebagai pertunjukan hiburan
dan pergaulan. Oleh karena itu tari ketuk tilu ini banyak disukai masyarakat terutama di pedesaan
yang jarang kegiatan hiburan.

SENI BANGRENG Seni Bangreng adalah pengembangan dari seni “Terbang” dan “Ronggeng”. Seni
terbang itu sendiri merupakan kesenian yang menggunakan “Terbang”, yaitu semacam rebana tetapi
besarnya tiga kali dari alat rebana. Dimainkan oleh lima pemain dan dua orang penabu gendang
besar dan kecil.

RENGKONG Rengkong adalah salah satu kesenian tradisional yang diwariskan oleh leluhur
masyarakat Sunda. Muncul sekitar tahun 1964 di daerah Kabupaten Cianjur dan orang yang pertama
kali memunculkan dan mempopulerkannya adalah H. Sopjan. Bentuk kesenian ini sudah diambil dari
tata cara masyarakat sunda dahulu ketika menanam padi sampai dengan menuainya

KUDA RENGGONG Kuda Renggong atau Kuda Depok ialah salah satu jenis kesenian helaran yang
terdapat di Kabupaten Sumedang, Majalengka dan Karawang. Cara penyajiannya yaitu, seekor kuda
atau lebih di hias warna-warni, budak sunat dinaikkan ke atas punggung kuda tersebut, Budak sunat
tersebut dihias seperti seorang Raja atau Satria, bisa pula meniru pakaian para Dalem Baheula,
memakai Bendo, takwa dan pakai kain serta selop.

KECAPI SULING Kacapi Suling adalah salah satu jenis kesenian Sunda yang memadukan suara
alunan Suling dengan Kacapi (kecapi), iramanya sangat merdu yang biasanya diiringi oleh mamaos
(tembang) Sunda yang memerlukan cengkok/ alunan tingkat tinggi khas Sunda. Kacapi Suling
berkembang pesat di daerah Cianjur dan kemudian menyebar kepenjuru Parahiangan Jawa Barat
dan seluruh dunia.[11]

6. RUMAH ADAT

RUMAH DI PAPANDAK, WANARAJA, GARUT

Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m – 0,8 m atau
1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada
yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-
binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul,
bajak, garu dan sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga yang disebut Golodog yang
terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog
berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.

Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap
dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing,
Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit Gunting, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya
itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar
budaya atau di desa-desa.

Jolopong memiliki dua bidang atap yang dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan
rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang
sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong
tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.

Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang
disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping
disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan
tempat menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi untuk
menerima tamu. Dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga
seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk. Jika tamu datang barulah yang empunya
rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu. Seiring waktu, kini sudah disediakan meja dan kursi
bahkan peralatan lainnya. Ruang balandongan berfungsi untuk menambah kesejukan bagi penghuni
rumah. Untuk ruang tidur, digunakan Pangkeng. Ruangan sejenis pangkeng ialah jobong atau gudang
yang digunakan untuk menyimpan barang atau alat-alat rumah tangga. Ruangan tengah digunakan
sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan sering digunakan untuk melaksanakan upacara atau
selamatan dan ruang belakang (dapur) digunakan untuk memasak.

Ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini memiliki pemahaman
yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda ditujukan untuk
menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang
ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar tiang digunakan
paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai
penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia, karena rumah adat Sunda sangat
jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh
rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau
palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban
barbar. Rumah untuk komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh
manusia, tapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.[12]

Rumah di Papandak, Wanaraja, Garut

7. PAKAIAN ADAT

Provinsi Jawa Barat yang ibukota Provinsi nya terletak di Bandung mempunyai beberapa suku,
diantaranya Suku Sunda sebagai suku mayoritas dan suku Badui yang dibedakan menjadi Suku Badui

Anda mungkin juga menyukai