Anda di halaman 1dari 5

A.

LETAK GEOGRAFIS

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang
mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan Lampung. Suku Sunda
merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia
merupakan orang Sunda.[1]

Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5o50’ – 7o50’ Lintang Selatan dan
104o48’ – 108o48’ Bujur Timur, dengan batas wilayah : sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa
dan Provinsi DKI Jakarta; sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; sebelah Selatan
berbatasan dengan Samudra Indonesia; dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Banten.

Luas wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas 3.710.061,32 hektar dan garis
pantai sepanjang 755,829 km. Daratan Jawa Barat dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam
(9,5% dari total luas wilayah Jawa Barat) terletak di bagian Selatan dengan ketinggian lebih dari
1.500 m di atas permukaan laut (dpl); wilayah lereng bukit yang landai (36,48%) terletak di bagian
Tengah dengan ketinggian 10 – 1.500 m dpl; dan wilayah dataran luas (54,03%) terletak di bagian
Utara dengan ketinggian 0 – 10 m dpl. Tutupan lahan terluas di Jawa Barat berupa kebun campuran
(22,89 % dari luas wilayah Jawa Barat), sawah (20,27%), dan perkebunan (17,41%), sementara hutan
primer dan hutan sekunder di Jawa Barat hanya 15,93% dari seluruh luas wilayah Jawa Barat.

Iklim di Jawa Barat yaitu tropis, dengan suhu rata-rata berkisar antara 17,4 – 30,7°C dan
kelembaban udara antara 73–84%. Data BMKG menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2008, turun
hujan selama 1-26 hari setiap bulannya dengan curah hujan antara 3,6 hingga 332,8 mm.

Jawa Barat dialiri 40 sungai dengan wilayah seluas 37.175,97 km2. Jawa Barat juga memiliki
1.267waduk/situdengan potensi air permukaan lebih dari 10.000juta m3.Air permukaan tersebut
dimanfaatkan untuk kebutuhan industri, pertanian, dan air minum.Terdapat peningkatan jumlah
perusahaan yang aktif memanfaatkan air permukaan menjadi 625 perusahaan dari 606 perusahaan
pada tahun 2007.

Secara administratif, Provinsi Jawa Barat terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota; 520 kecamatan; 5.245
desa dan 626 kelurahan.

Ciri utama daratan Jawa Barat adalah bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak
aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi.
Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari
1.500 m di atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 100 1.500 m
dpl, wilayah dataran luas di utara ketinggian 0 . 10 m dpl, dan wilayah aliran sungai.

Rikut ini keterangan tentang yang termasuk daerah dari jawa barat adalah :

1. Kota bogor

2. Kab. Sukabumi
3. Kab. Cianjur

4. Kab. Bandung

5. Kab. Garut

6. Kab. Tasikmalaya

7. Kab. Ciamis

8. Kab. Kuningan Kab. Cirebon

9. Kab. Majalengka

10. Kab. Sumedang

11. Kab. Indramayu

12. Kab. Subang

13. Kab. Purwakarta

14. Kab. Karawang

15. Kab. Bekasi

16. Kab. Bandung Barat

17. Kota Bogor

18. Kota Sukabumi

19. Kota Bandung

20. Kota Cirebon

21. Kota Bekasi

22. Kota Depok

23. Kota Cimahi

24. Kota Tasikmalaya

25. Kota Banjar

26. Kab. Lebak

Dan keterangannya tentang daerah yang masuk kedalam ruang lingkup sunda adalah seluruh daerah
jawa barat minus(-) cirebon.[2]
B. EBUDAYAAN FISIK

 Sistem Religi

Sebagain besar masyarakat suku Sunda menganut agama Islam, namun ada pula yang beragama
kristen, Hindu, Budha, dll. Islam (93,87%), Protestan (4,34%), Katolik (1,11%), Buddha (0,46%), Hindu
(0,22%) Mereka itu tergolong pemeluk agama yang taat, karena bagi mereka kewajiban beribadah
adalah prioritas utama. Contohnya dalam menjalankan ibadah puasa, sholat lima waktu, serta
berhaji bagi yang mampu. Mereka juga masih mempercayai adanya kekuatan gaib. Terdapat juga
adanya upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup,
mendirikan rumah, menanam padi, dan lain-lainnya.[3]

Dalam mitologi Sunda yaitu himpunan dongeng – dongeng suci masyarakat Sunda kuno banyak
unsur – unsur yang bukan berasal dari ajaran Islam. Seperti halnya di Jawa dalam masyarakat Sunda
pun dikenal banyak kegiatan upacara yang bersifat keagamaan / ritual, seperti selamatan
memperingati Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha, Selamatan Kelahiran, dll.

Sampai sekarang ini masyarakat Sunda masih berkunjung ke makam orang – orang dahulu yang
dianggap sakti dan berjasa dalam bidang agama dan kemasyarakatan. Tujuannya untuk
menyampaikan permohonan dan restu sebelum mengadakan sesuatu usaha, pesta, atau
perlawatan. Lebih – lebih jika memasuki bulan Maulud orang yang berkunjung ke makam leluhurnya
menjadi semakin banyak.

Multi religion of sunda

Sunda Wiwitan Pada proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda
menerima sepenuhnya, di beberapa tempat terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran
leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak
yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam
dan terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari komunitas Muslim Sunda dan tetap
melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.

Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat
monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni
Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara
Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana
Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh
untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia
sakti, Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui
Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buana bagi orang Baduy berkaitan dengan
titik awal perjalanan_dan_tempat_akhir_kehidupan.(Garna,1992:5).

Menurut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga buana,
yaitu

1. Buana Nyungcung sama dengan Buana Luhur atau Ambu Luhur; tempat bersemayam Sang
Hyang Keresa di tempat paling atas;
2. Buana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut
Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia dan mahluk lainnya; dan

3. Buana Larang sama dengan Buana Handap atau Ambu handap yaitu tempatnya neraka. Manusia
yang hidup di Buana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buana Akhir yaitu Buana Larang,
sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buana Luhur. Antara Buana Nyungcung dan Buana
Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut
Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan tempat Sunan Ambu dan para pohaci bersemayam.

Pada pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius diwujudkan dalam berbagai
upacara yang pada dasarnya memiliki empat tujuan utama: yaitu

1. menghormati para karuhun atau nenek moyang

2. menyucikan Pancer Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya

3. menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi; dan

4. melaksanakan pikukuh Baduy untuk mensejahterakan inti jagat.

Dengan demikian, mantra-mantra yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan
permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta
perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera.

Masuknya agama Islam ke tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas penganut ajaran
Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang menganut Islam. Masyarakat penganut Sunda
Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam
memasuki kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini dapat ditemukan dalam cerita Budak Buncireung, Dewa
Kaladri, dan pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng_dalam_lakon_Pajajaran_Seureun_Papan.

Secara sadar, masyarakat Kanekes dengan tegas mengakui perbedaan mereka dengan masyarakat
Sunda lainnya di luar Kanekes hanyalah dalam sistem religi, bukan etnis. Menurut Djatisunda
(1992;2-3) mereka menyebut orang Sunda di luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang
Sunda yang beragama Islam) dan dianggap sebagai urang Are atau dulur are. Arti dari istilah urang
are atau dulur are dikemukakan Ayah Kaiti bekas seurat Tangtu Cikeusik bahwa: harti urang are ta, ja
dulur are. Dulur-dulur na mah, ngan eslam hanteu sabagi kami di dieu (arti urang are yaitu dulur are.
Saudara sih saudara, tetapi menganut agama Islam tidak seperti saya di sini). Ungkapan tersebut
memperjelas pengakuan kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa Sunda yang
membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama Islam.

Madrais_dan_aliran_perjalanan Berbeda dengan masyarakat Baduy yang bertahan dengan


tradisinya akibat desakan pengaruh Islam, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dalam
komunitas lain malah melahirkan kepercayaan baru seperti yang dikembangkan Madrais di Cigugur
Kabupaten Kuningan dan Mei Kartawinata di Ciparay Kabupaten Bandung.

Madrais semula dibesarkan dalam tradisi Islam kemudian melahirkan ajaran baru yang
mengajarkan faham Islam dengan kepercayaan lama (pra-Islam) masyarakat Sunda yang agraris dan
disebutnya sebagai Ajaran Djawa Sunda atau Madraisme pada tahun 1921. Ia menetapkan tanggal 1
Sura sebagai hari besar seren taun yang dirayakan secara besar-besaran antara lain dengan
ngagondang (menumbukkan alu pada lesung sambil bernyanyi). Menurut ajarannya, Dewi Sri atau
Sanghyang Sri adalah Dewi Padi yang perlu dihormati dengan upacara-upacara religius daur ulang
penanaman padi serta ajaran budi pekerti dengan mengolah hawa nafsu agar hidup selamat. Di
pihak lain, ia pun memuliakan Maulid Nabi Muhammad, tetapi menolak Alquran dengan anggapan
bahwa Alquran yang sekarang tidak sah sebab Alquran yang sejati akan diturunkan menjelang
kiamat. Ajaran Madraisme ini, setelah Madrais meninggal dunia tahun 1939 dilanjutkan anaknya
bernama Pangeran Tejabuana, serta cucunya Pangeran Jati Kusumah yang 11 Juli 1981 mendirikan
Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) mengharuskan para pengikutnya untuk melestarikan
ajaran karuhun Sunda dan ke luar dari agama Islam.

Sementara itu, Mei Kartawinata (1898-1967) seorang tokoh kebatinan mendirikan aliran
kepercayaan perjalanan yang dikenal dengan “Agama Kuring” (Agamaku) dan pendiri Partai Permai
di Ciparay Kabupaten Bandung. Kisahnya, 17 September 1927, di Subang ia mendapat wangsit untuk
berjuang melalui pendidikan, kerohanian, dan pengobatan melalui perkumpulan Perjalanan yang
mengibaratkan hidup manusia seperti air dalam perjalanannya menuju laut dan bermanfaat
sepanjang jalan. Dia menulis buku “Budi Daya” tahun 1935 yang dijadikan ‘kitab suci’ oleh para
pengikutnya. Ajaran ini memadukan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Budha, dan
Islam.[4]

Anda mungkin juga menyukai